Kesalahan Saat Minum Air Zamzam

Air zamzam memiliki keutamaan yang begitu banyak karena keberkahan di dalamnya. Namun, sebagian orang melakukan beberapa kesalahan saat meminumnya.

Dikutip dari buku Bekal Haji karya Ustadz Firanda Andirja, pertama, sebagian jamaah menyangka minum air zamzam disunnahkan sambil berdiri. Padahal, sundah tatkala minum adalah kondisi duduk. Jadi, tidak ada bedanya minum air zamzam atau bukan air zamzam, demikian pula pendapat para ulama.Baca Juga

Nabi SAW pernah minum zamzam dalam kondisi berdiri (HR Bukhari dan Muslim). Meskipun demikian, hal itu untuk menjelaskan bahwa diperbolehkan minum berdiri, bukannya menguatkan sunnah bahwa meminum zamzam dengan berdiri.

Kedua, sebagian orang mengambil zamzam, lalu mengusapkan di matanya atau bagian tubuhnya yang sakit. Padahal, cara pengobatan air zamzam adalah meminumnya sambil diniatkan sebagai obat, bukan dengan mengusapkannya di bagian tubuh yang sakit.

Adapun air zamzam merupakan obat segala penyakit. Rasulullah bersabda, وَشِفَاءُ سُقْمٍ “Air zamzam adalah obat penyakit“.

Dalam hal ini, air zamzam menjadi obat yang mencakup penyakit badan dan penyakit hati. Banyak orang yang sembuh dari penyakitnya berkat air zamzam, padahal para dokter tidak mampu mengobati penyakit mereka.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hubungan antara Seorang Hamba dengan Rabb dan dengan Sesama Manusia

Menjaga hubungan dengan Allah (hablun minallah) dan menjaga hubungan antar sesama manusia (hablun minannas) merupakan hal yang sangat penting bagi seorang hamba yang menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Menjaga hablun minallah tentu saja dilakukan dengan memaksimalkan ibadah kepada-Nya dengan mempelajari dan mengamalkan segala konsekuensinya.

Sementara menjaga hablun minannaas bukan berarti mencari rida manusia dengan mengorbankan konsekuensi hablun minallah. Menjaga hubungan dengan sesama manusia memang perkara yang penting. Namun, menjaga hubungan dengan Allah Ta’ala adalah perkara yang jauh lebih penting. Tentu saja manusia yang cerdas adalah yang mampu menjaga hubungannya sesama manusia tanpa melanggar segala konsekuensi yang dapat merusak hubungannya dengan Alla Ta’ala.

Perusak hubungan antara manusia dengan Rabbnya

Kaca yang pecah, jika disusun (disambung) kembali, tetap tidak akan sama dengan semula.

Sebuah ungkapan bijak yang populer, khususnya di kalangan remaja yang berada dalam masa pubertas. Menggambarkan perasaan yang hancur karena suatu sebab, baik karena hubungan yang bermasalah dengan orang tua maupun dengan teman-temannya. Kalimat tersebut memang dapat merefleksikan hubungan antar sesama manusia. Akan tetapi, apakah kalimat itu berlaku bagi Allah Ta’ala?

Jawabannya tentu saja tidak. Karena Allah Ta’ala adalah Rabb Yang Maha Pengampun atas segala perbuatan dosa-dosa hamba-Nya yang setiap hari berbuat kekeliruan. Akan tetapi, ada sebuah perbuatan dosa yang sangat fatal dan dapat merusak hubungan antara seorang hamba dengan Rabb-Nya. Dosa itu bernama “kesyirikan“. Itu pun masih ada celah untuk memperbaikinya dengan bertaubat sebelum ajal datang.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Allah Ta’ala menciptakan jin dan manusia dengan tujuan agar kedua makhluk ini senantiasa menyembah Rabbnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).

Konsekuensi yang paling penting dalam hal menyembah kepada Allah Ta’ala adalah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Perbuatan menyekutukan Allah merupakan bentuk kesyirikan yang merupakan dosa yang paling besar dan tidak akan mendapatkan ampunan kecuali dengan bertaubat sebelum ajal menjemput. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-Nisa’: 48).

Kaidah-kaidah tentang kesyirikan tersebut tentu menjadi suatu hal yang umum diketahui oleh kaum muslimin. Namun, kaidah-kaidah tentang bentuk-bentuk ibadah secara rinci masih banyak yang tidak diketahui oleh sebagian besar muslimin.

Banyak yang melakukan suatu ritual tertentu yang terlihat seperti ritual adat biasa, namun mengandung makna ibadah di dalamnya. Sedangkan maksud dari pelaku ritual tersebut bukanlah untuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Maka jatuhlah dia kepada kesyirikan. Seperti ritual sedekah bumi atau sedekah laut dimana di dalamnya ada penyembelihan hewan yang diniatkan untuk persembahan kepada bumi yang subur atau laut yang sedang berlimpahan ikan. Padahal menyembelih merupakan perkara ibadah yang sangat agung dalam agama Islam.

Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)’” (QS. Al-An’am: 162-163).

Ketika menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan bahwa termasuk orang musyrik adalah mereka yang menyembelih kepada selain Allah. Beliau Rahimahullah berkata,

يأمره تعالى أن يخبر المشركين الذين يعبدون غير الله ويذبحون لغير اسمه ، أنه مخالف لهم في ذلك

“Allah memberintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memberi tahu kepada orang-orang musyrik yang menyembah kepada selain Allah dan menyembelih dengan tidak menyebut nama Allah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi mereka (tidak sesuai dengan ajaran Islam)”  (Tafsir Ibn Katsir).

Berdasarkan dalil di atas, terdapat 2 (dua) hak Allah Ta’ala yang wajib ditunaikan oleh seorang hamba, yaitu (1) at-tauhid (mengesakan Allah dalam peribadatan) dan (2) menghindari kesyirikan. Apabila dua hak Allah Ta’ala atau salah satunya ini tidak dapat ditunaikan oleh seorang hamba, maka rusaklah hubungan (hablun) antara dia dengan Rabbnya. Hubungan yang rusak tersebut dapat menyengsarakan sang hamba yang sejatinya faqir terhadap rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala.

Oleh karenanya, telah jelas bahwa tiada tujuan lain dari penciptaan manusia dan jin selain menyembah hanya kepada Allah Ta’ala. Sebagai seorang hamba, sangat layak bagi kita untuk mendalami secara terperinci konsekuensi dari peribadatan kepada Allah. Hal-hal apa saja yang wajib dan terlarang bagi kita dalam memberikan dua hak Allah tersebut. Tentu hal demikian itu kita lakukan agar hubungan kita dengan-Nya tidak rusak. Karena rusaknya hubungan dengan Allah akan menjerumuskan kita ke dalam kemurkaan dan azab-Nya –waliyadzubillah-.

Perusak hubungan antara sesama manusia 

Sering kita mendengar perjalanan hidup seorang manusia yang dihormati, dihargai, dipuja, dan dipuji baik karena ilmunya yang luas, jabatan yang tinggi, kekayaan yang melimpah maupun karisma dan popularitas yang membawanya pada sebuah titik puncak kesuksesan duniawi.

Namun, tidak jarang dalam hitungan detik decak kagum terhadap manusia tersebut berubah menjadi kebencian, caci maki hingga sumpah serapah. Dalam waktu yang bersamaan pula dia kehilangan jabatan, kekayaan dan popularitasnya. Apa sebab hal yang demikian itu terjadi?

Jawabannya adalah karena ia tidak menjaga hubungan (hablun) dengan sesama manusia, yaitu adab dan akhlak. Seorang pejabat yang menyelewengkan jabatan atau menjalin hubungan terlarang dengan lawan jenis dapat menghacurkan popularitasnya. Seorang akademisi yang dikenal dengan ilmunya yang tinggi, namun tidak tahan dengan godaan plagiarisme, maka serta merta dia kehilangan reputasinya dari orang-orang yang menghormatinya. Seorang pengusaha kaya raya yang merusak komitmen dengan melakukan penipuan dan kecurangan, maka dia akan kehilangan mitra kerja dan dapat menghancurkan bisnisnya.

Allah Ta’ala telah mengajarkan kita tentang bagaimana menghiasi diri dengan akhlak al-karimah agar menjadi amanah dalam kepemimpinannya sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil” (QS. An-Nisa’: 58).

Dalam urusan bisnis, Allah Ta’ala juga memperingatkan kita agar tidak berbuat curang sebagaimana firman-Nya,

وَيۡلٞ لِّلۡمُطَفِّفِينَ ,ٱلَّذِينَ إِذَا ٱكۡتَالُواْ عَلَى ٱلنَّاسِ يَسۡتَوۡفُونَ, وَإِذَا كَالُوهُمۡ أَو وَّزَنُوهُمۡ يُخۡسِرُونَ

“Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dicukupkan. Dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi” (QS. Al-Muthaffifin: 1-3).

Secara terperinci juga Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam banyak menjelaskan tentang bagaimana menjaga hubungan baik antar sesama manusia, khususnya dalam urusan muamalah dengan mengedepankan adab dan akhlak yang tinggi. Di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فيِ كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

“Menolong semua makhluk bernyawa itu berpahala” (HR. Bukhari no. 2363 dan Muslim no. 2244).

Dalam hadis lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنّ الله كَتَبَ الإحسانَ على كُلِّ شيء

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mewajibkan untuk berbuat baik kepada segala sesuatu” (HR. Muslim no. 5167).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

ليس المؤمن بالطعان ولا اللعان، ولا الفاحش، ولا البذي

“Orang mukmin bukan orang yang suka mencela, melaknat, berkata keji, dan berkata kotor” (HR. Tirmidzi no. 1977).

Dalam hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سباب المسلم فسوق، وقتاله كفر

“Mencela seorang muslim itu merupakan kefasikan, dan membunuhnya merupakan kekufuran” (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, tidak ada yang dapat melanggengkan hubungan antar sesama manusia kecuali dengan adab dan akhlak yang baik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri tauladan yang sempurna dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam hal adab dan akhlak seharusnya menjadi pedoman kita dalam rangka menjaga hablun minannaas. Sehingga dalam menjalankan prioritas kehidupan kita (yaitu beribadah kepada Allah Ta’ala), kita dapat menjalankan dengan aman dan nyaman karena adanya kasih sayang dan cinta sesama manusia yang sama-sama mengharapkan ridha Rabbnya.

***

Penulis: Fauzan Hidayat, S.STP., M.PA

Artikel: Muslim.or.id

Nasihat Bagi yang Terjerumus dalam Kesyirikan

Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Banyak dari ikhwah kita yang menghadapi permasalahan dengan ayah/ibu, paman/bibi, dan orang-orang terdekat mereka yang terjerumus ke dalam praktik kesyirikan dengan melakukan ritual-ritual ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a, ber-istighotsah, bertawakkal bahkan sampai mencela Allah Ta’ala dan agama-Nya. Sementara sebagian besar mereka menolak untuk dinasihati. Mohon nasihatnya atas cobaan yang berat yang menimpa saudara kita dan keluarganya ini. Jazakallah khairan

Jawaban:

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb Semesta Alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan atas utusan Allah -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– rahmat bagi semesta alam. Juga atas para sahabat dan keluarganya hingga hari akhir.

Allah Ta’ala murka kepada pelaku kesyirikan dan Allah perintahkan kepada hamba-Nya untuk berlepas diri dari mereka serta tiada hak bagi mereka untuk mendapatkan mahabbah (rasa cinta) dan kesetiaan. Sebab aqidah al-wala’ wal bara’ merupakan pondasi iman yang paling pokok bagi seorang muslim dan menjadi syarat kesempurnaan syahadat yang menyatukan hati muslimin. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ

“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. al-Mujadilah: 22)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidaklah (sempurna) iman salah seorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada orangtuanya, anaknya dan segenap umat manusia.”  [1]

Allah Ta’ala juga telah memerintahkan Rasul-Nya untuk berlepas diri dari perbuatan keluarga/saudara yang menentang perintah Allah Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya,

وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ (٢١٤) وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ (٢١٥) فَإِنۡ عَصَوۡكَ فَقُلۡ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تَعۡمَلُونَ (٢١٦)

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu. Kemudian jika mereka mendurhakaimu, maka katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab (berlepas diri) terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. as-Syu’ara: 214-216)

Akan tetapi, berlepas diri dari perbuatan buruk mereka tidak berarti bermaksud menyinggung perasaan mereka, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Justru mengajak dan mendakwahkan mereka agar kembali ke jalan Allah merupakan kewajiban seorang muslim terhadap kerabat terdekatnya (ayah, ibu, saudara, dan seterusnya) sebagaimana firman Allah,

فَذَكِّرۡ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكۡرَىٰ

Maka berikanlah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat.” (QS. Al-A’la: 9)

Hendaklah dia berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun keduanya berbuat kesyirikan. Tidak boleh meninggalkan mereka, bahkan dia harus memperlakukan mereka dengan baik. Sebagaimana Allah perintahkan hal ini dalam al-Qur’an,

عليه الآيةُ في قوله تعالى: ﴿وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗا

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku, sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 15)

Hukum terhadap kerabat sama dengan hukum terhadap kedua orang tua. Mereka memiliki hak untuk menyambung persaudaraan, nafkah, dan mendapatkan perilaku yang baik. Sebagaimana keumuman  firman Allah Ta’ala,

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapaK, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. an-Nisa’: 36)

Namun demikian, kebaikan bagi mereka bukan berarti mendukung kekufuran dan penentangan mereka terhadap agama Islam. Sebab perbuatan tersebut terlarang dalam syariat. Allah Ta’ala telah membatasi perilaku kita terhadap mereka dengan firman-Nya,

وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ

“Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia [wali, pelindung atau pemimpin], maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Ma’idah: 51)

Dalam hal mendakwahi mereka hendaklah dilakukan dengan cara yang telah diajarkan dalam agama (yaitu lemah lembut dan penuh hikmah -pen.), tanpa menggunakan cara-cara yang kasar sebagaimana firman Allah Ta’ala,

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl: 125)

Karena dengan cara ini (sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur’an -pen.) merupakan metode yang paling penting dalam dakwah dan sangat bermanfaat serta membekas di hati manusia. Rasulullah shallahahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda mengenai hal ini,

نْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

“Sungguh seandainya Allah memberi hidayah kepada seseorang lewat perantaraan kamu, hal itu lebih baik buatmu dari pada unta merah (harta yang paling baik).” [2]

Pengetahuan (ilmu) hanya milik Allah Ta’ala, dan akhir kalam walhamdulillah Rabbil ‘alamin, wa shalllahu ‘ala Nabi Muhammad wa ‘ala ashhabihi wa ikhwanihi ila yaumiddin, wa sallim tasliman.

[Selesai]

**

Penerjemah: Fauzan Hidayat, S.STP, MPA.

Artikel: Muslim.or.id

Persiapan Haji 2021, Kemenag Lakukan Analisis Situasi

Arab Saudi hingga saat ini masih belum memberikan kepastian terkait pelaksanaan haji 2021. Meski demikian, Kementerian Agama (Kemenag) menyebut terus melakukan persiapan.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, dalam rapat kerja (Raker) bersama Komisi VIII DPR/RI menyebut persiapan tetap dilakukan, mengingat masa penyelenggaraan ibadah haji yang semakin dekat.

Berdasarkan kalender hijriyah dan asumsi normal, pemberangkatan jamaah haji tahun 1442H/2021M untuk kloter pertama diperkirakan akan dilaksanakan pada tanggal 4 Dzulqa’dah atau 15 Juni 2021. 

Plt Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Oman Fathurahman, menyebut pihaknya terus melakukan analisis terkait situasi yang berkembang. “Kami masih terus melakukan analisis situasi, baik situasi di Saudi maupun di Indonesia, khususnya terkait perkembangan vaksinasi masal,” kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (31/1).

Terkait persiapan akomodasi dan katering untuk jamaah haji nantinya, ia menyebut akan melanjutkan yang sebelumnya. Meski demikian, akan dilakukan beberapa penyesuaian.

Pada 2020,Kemenag telah melakukan penjajakan dengan sejumlah perusahaan penyedia layanan haji di Arab Saudi. Kemenag bahkan telah melakukan survei ke Arab Saudi pada Februari 2020.

Meski demikian, mengikuti imbauan dari Kerajaan Arab Saudi, Kemenag tidak menandatangani kontrak apa pun dengan penyedia layanan haji. Yaqut dalam Raker tersebut menyebut ruang lingkup pelayanan penyelenggaraan ibadah haji sangat luas. Dengan waktu yang ada, persiapan haji harus segera dilakukan.

“Waktu yang tersisa untuk persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/2021 M hanya berkisar lima bulan. Mengingat ruang lingkup pelayanan penyelenggaraan ibadah haji yang begitu luas, maka waktu yang tersisa sangat terbatas, sehingga berbagai persiapan harus segera dilakukan,” katanya saat itu.

Mengingat sampai dengan saat ini wabah Covid-19 belum berakhir, ia menyebut Kemenag telah membentuk Tim Manajemen Krisis Haji dalam rangka mempersiapkan rencana mitigasi penyelenggaraan ibadah haji 1442 H/2021 M. 

“Tim ini telah saya launching, dan langsung bekerja saat ini juga,” ujar Yaqut.

Sejauh ini, pemerintah tengah menyiapkan tiga opsi penyelenggaraan ibadah haji. Yakni, haji dengan kuota penuh, kuota terbatas, dan tidak memberangkatkan jamaah haji.

IHRAM

Suami Menghina Istri, Apakah Istri Boleh Balas Menghina?

Hubungan suami-istri merupakan sebuah hubungan yang sangat sakral dalam islam. Ikatan pernikahan yang sah secara syariat Islam menandakan bahwa Allah telah menghalalkan hubungan antara lelaki dan perempuan yang sebelumnya adalah haram. Suami dan istri harus saling menjaga dan menghormati. Oleh karena itu, suami menghina istri atau sebaliknya itu harus dihindari semaksimal mungkin. Dalam menjaga keharmonisan hubungan tersebut, Allah telah mengaturnya lewat QS. An-Nisa: 19:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Artinya: “… Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak pada-nya.”

Meskipun dalam berbagai ayat yang lain, Allah menjelaskan bahwa seorang suami merupakan imam atau pemimpin dalam keluarga yang harus ditaati oleh istri, namun demikian, ayat QS. An-Nisaa: 19 di atas memberikan kejelasan bahwa seorang suami tidak boleh semena-mena terhadap istrinya dan harus mengedepankan prinsip kebaikan dalam mempergauli istri. Kebaikan dalam mempergauli ini meliputi segala macam interaksi antara suami dan istri, termasuk di dalamnya adalah pola komunikasi.

Begitu pentingnya komunikasi yang baiki  antara suami dan istri, sampai-sampai Rasulullah SAW sendiri menyatakan bahwa suami terbaik adalah mereka yang mampu mempertahankan kebaikan akhlaknya di hadapan istri:

 أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ

Artinya: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada isterinya.” HR. Ahmad

Sebaliknya, bagi seorang istri, sebagaimana kita ketahui, wajib taat dan berbakti kepada suaminya mengingat suami adalah Imam atau pemimpin bagi Istri.

Namun demikian, dalam kenyataannya seringkali perdebatan terjadi antara suami istri hingga berujung pada komunikasi yang tidak baik hingga sering terlontar kata-kata kasar, makian, ataupun hinaan yang saling bersautan antara keduanya. Tidak jarang, hinaan tersebut justru keluar terlebih dahulu dari mulut suami kepada istrinya. Jika sudah begini, apakah seorang istri boleh balas menghina?

Secara hukum, ketika seseorang mengalami penghinaan atau tersakiti, maka ia boleh membalas hinaan tersebut dengan kadar tidak boleh melebihi dari hinaan yang ia terima. Namun, perlu diingat bahwa syariat Islam bukan hanya menilai aspek hukum saja, namun ada aspek lainnya yaitu akhlak. Apalagi jika ini terkait dengan kelangsungan rumah tangga, maka pertimbangannya bukan hanya pertimbangan hukum saja, namun membutuhkan sebuah solusi yang baik hingga di kemudian hari.

Secara umum, Rasulullah SAW sudah mengingatkan pada mukminin dan mukminah untuk tidak saling menghina, siapapun mereka, baik antara suami-istri atau lainnya:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Tidak boleh seorang mukmin menjelekkan seorang mukminah. Jika ia membenci satu akhlak darinya maka ia ridha darinya (dari sisi) yang lain.” HR. Muslim

Khususnya dalam hubungan pernikahan, Rasulullah bahkan menjanjikan surga bagi para istri yang tetap sabar terutama ketika menghadapi suaminya yang sedang marah:

وَنِسَاؤُكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ: اَلْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا؛ اَلَّتِي إِذَا غَضِبَ جَائَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِيْ يَدِ زَوْجِهَا وَتَقُوْلُ: لاَ أَذُوْقُ غَمْضًا حَتَّى تَرْضَى

“Wanita-wanita kalian yang menjadi penghuni Surga adalah yang penuh kasih sayang, banyak anak, dan banyak kembali (setia) kepada suaminya yang apabila suaminya marah, ia mendatanginya dan meletakkan tangannya di atas tangan suaminya dan berkata, ‘Aku tidak dapat tidur nyenyak hingga engkau ridha.” HR. Ath-Thabrani, No. 307

Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa ketika seorang suami menghina istrinya, maka ia wajib bertaubat dan meminta maaf kepada istrinya, dan bagi seorang istri, apabila ia mampu bersabar, maka Allah sudah menyiapkan surga untuknya. Wallahu a’lam bi shawab.

BINCANG SYARIAH

Tanda Akhir Zaman, 10 Keadaan Mirip Kondisi Saat Ini?

PERLU  ditekankan terlebih dahulu bahwa judul ini tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti terjadinya kiamat, bukan juga malampaui kapasitas bak peramal yang mangait-ngaitkan kondisi terkini dengan yang akan terjadi. Ini hanya semacam perenungan tentang hadits-hadits akhir zaman yang puncaknya bertujuan untuk semakin bersemangat dalam menyiapkan bekal untuk Hari Akhir.

Kalau dibaca dan diamati hadits-hadits mengenai tanda-tanda akhir zaman –baik yang kecil maupun besar; yang terjadi maupun yang belum terjadi– ada kesamaan pola yang bisa dicatat, yaitu: banyak sekali tanda-tanda akhir zaman yang sudah terjadi bahkan sejak di abad pertama kelahiran Islam. Kelaharin Nabi Muhammad ﷺ sendiri, menurut keterangan hadits, juga menunjukkan akhir zaman.

Oleh karena itu, ketika di sini dikemukakan 10 tanda mengenai akhir zaman yang mirip dengan kondisi saat ini, maka itu bukan berarti memastikan atau menentukan tapi hanya sebagai bahan renungan agar umat Islam lebih bersiap untuk menyiapkan bekal akhirat.  Kalau di zaman Nabi saja dikatakan kiamat sudah dekat, terlebih di masa sekarang yang sudah 15 abad lebih.

Pertama, terangkatnya ilmu. Maksud dengan terangkatnya ilmu di sini adalah banyaknya ulama yang diwafatkan. Kematian ulama disebut sebagai tanda akhir zaman. Ketika mereka banyak yang meninggal, maka itu artinya sebagian ilmu dicabut Allah dari bumi. Akibat sosialnya, masyarakat kehilangan suluh untuk menerangkan setiap persoalan agama yang ingin mereka tanyakan.

Ada beberapa hadits terkait tanda ini, di antaranya:

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: أَنْ يُرْفَعَ العِلْمُ وَيَثْبُتَ الجَهْلُ، وَيُشْرَبَ الخَمْرُ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا

“Sesungguhnya diantara tanda-tanda kiamat adalah diangkatnya ilmu dan merebaknya kebodohan dan diminumnya khamer serta praktek perzinahan secara terang-terangan.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits yang lain, yang dimaksud diangkatnya ilmu bukanlah sekaligus, tapi dengan diwafatkannya ulama. Sabda Nabi:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari).

Pada masa pandemi ini, satu persatu ulama diambil oleh Allah. Bukan saja di Indonesia, di luar negeri pun demikian. Fenomena semacam ini seyogianya membuat mukmin semakin semangat dan wasapada. Semangat menyiapkan bekal akhirat, dan waspada dalam memilah dan memilih ulama untuk berkonsultasi.

Kedua hingga kelima: (2) banyak terjadi gempa, (3) waktu terasa berjalan cepat, (4) timbul berbagai fitnah, (5) banyak terjadi pembunuhan. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ.

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقْبَضَ العِلْمُ، وَتَكْثُرَ الزَّلاَزِلُ، وَيَتَقَارَبَ الزَّمَانُ، وَتَظْهَرَ الفِتَنُ، وَيَكْثُرَ الهَرْجُ – وَهُوَ القَتْلُ القَتْلُ – حَتَّى يَكْثُرَ فِيكُمُ المَالُ فَيَفِيضَ

“Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali setelah hilangnya ilmu, banyak terjadi gempa, waktu seakan berjalan dengan cepat, timbul berbagai macam fitnah, Al Haraj -yaitu pembunuhan- dan harta melimpah ruah kepada kalian.” (HR. Bukhari).

Kalau diperhatikan informasi BMKG betapa gempa hampir terjadi tiap hari. Kejadian baru-baru ini di Mamuju adalah penting untuk dijadikan renungan. Kelak ketika kiamat sudah tiba, maka akan terjadi gempa yang lebih dahsyat. Oleh karena itu, fenomena gempa yang ada bisa dijadikan pemantik untuk mengingat dahsyatnya hari kiamat sehingga semakin gencar beramal shalih.

Sebelum era digital, orang sudah banyak yang merasa waktu terasa cepat. Di era digital seperti itu, waktu terasa semakin singkat dan cepat. Apa-apa sangat dimudahkan dimanjakan oleh kecanggihan teknoligi. Seoalah-olah waktu sudah seperti dilipat; terasa tidak ada jarak meski secara teritorial berjauhan.

Kalau diperhatikan dewasa ini, betapa fitnah memang sedang gencar-gencarnya. Di dalam negeri betapa sesama umat Islam saja kadang tak jarang yang saling tuduh. Beda orientasi politik saja sudah bermusuhan seolah-olah bukan saudara sesama Muslim. Pemebelahan internal umat terlihat dengan kasat mata. Umat Islam seolah dipaksa untuk berkubu-kubu: kalau tidak di kubu A, bararti divonis kubu B dan seterusnya.

Peristiwa pembunuhan sebelum pandemi, sudah sangat banyak diberitakan oleh berita-berita kriminal. Terlebih setelah pandemi, betapa banyak terjadi pembunuhan. Seorang ibu membunuh tiga anaknya lalu bunuh diri akibat kesusahan ekonomi dan masih banyak yang lainnya.

Keenam sampai sepuluh : (6) pemimpin bodoh (7) banyak aparat yang tak adil (8) hukum diperjual belikan (9) darah ditumpahkan dengan mudah (10) Saling memotong silaturahmi.

بَادِرُوا بِالْمَوْتِ سِتًّا: إِمْرَةَ السُّفَهَاءِ، وَكَثْرَةَ الشُّرَطِ، وَبَيْعَ الْحُكْمِ، وَاسْتِخْفَافًا بِالدَّمِ، وَقَطِيعَةَ الرَّحِمِ، وَنَشْوًا يَتَّخِذُونَ الْقُرْآنَ مَزَامِيرَ يُقَدِّمُونَهُ يُغَنِّيهِمْ، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْهُمْ فِقْهًا

“Bersegeralah melakukan enam hal sebelum datang kematian: dari pemimpin bodoh, banyaknya ajudan (aparat yang tak menjalankan hokum dengan adil), hukum diperjualbelikan, darah tertumpah dengan mudah, saling memotong tali silaturrahmi, dan keturunan yang menjadikan Al Qur’an bagaikan seruling, mereka dahulukan siapa saja yang bisa menyanyikannya walaupun dia adalah orang yang tidak mengerti persoalan agama.”  (HR. Ahmad).

Di sini kita tidak hendak menuduh siapa-siapa, fenomena seperti jauh sebelum pandemi juga sudah banyak: bagaimana seorang pemimpin dipilih bukan berdasarkan keahlian dan kapasitasnya, tapi lebih dipilih karena citra dan elektabilitasnya, sehingga yang menang tidak otomatis yang layak dan patut mengemban kekuasaan. Ini bisa direnungkan di berbagai lini.

Dalam riwayat Ahmad yang lain disebutkan Nabi Muhammad ﷺ bersabda kepada Ka’b bin’ Ujroh, “Semoga Allah melindungimu dari pemerintahan orang-orang yang bodoh”, (Ka’b bin ‘Ujroh Radliyallahu’anhu) bertanya, apa itu kepemerintahan orang bodoh? (Rasulullah ﷺ) bersabda: “Yaitu para pemimpin negara sesudahku yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak pula berjalan dengan sunnahku, barangsiapa yang membenarkan mereka dengan kebohongan mereka serta menolong mereka atas kedholiman mereka maka dia bukanlah golonganku, dan aku juga bukan termasuk golongannya, mereka tidak akan datang kepadaku di atas telagaku, barang siapa yang tidak membenarkan mereka atas kebohongan mereka, serta tidak menolong mereka atas kedholiman mereka maka mereka adalah golonganku dan aku juga golongan mereka serta mereka akan mendatangiku di atas telagaku.”

Demikian juga ketidak adilan juga banyak dijumpai. Hukum tegak hanyak ke bawah dan tumpul ke atas. Hanya ditegakkan kepada orang yang bersebrangan, tapi kepada kawan dan sejawat sendiri, tiba-tiba menjadi lunak.  Demikian pula kasus penumpahan darah dengan sangat mudah.

Fenomena memutus silaturahim juga sangat gencar diera digital. Memang kemajuan teknologi membuat silaturahim semestinya lebih gampang dan mudah. Namun, juga sangat gampang terputus. Hanya karena beda pendapat, beda pilihan politik, beda dukungan dan perbedaan kecil lainnya yang seharusnya tak semestinya memutus silaturahim, akhirnya terputus dan berkelanjutan di media sosial. Saling sindir, bully, nyinyir dan lain seabagainya.

Sebenarnya, masih banyak hadits-hadits lain mengenai fenomena akhir zaman. Hanya saja, 10 tanda dalam tulisan ini kiranya cukup untuk dijadikan pelajaran bahwa kiamat semakin dekat. Tanda-tanda kecilnya sudah banyak terjadi. Melihat tanda-tanda ini, seyogianya membuat umat Islam kian mengintrospeksi diri, memperbanyak amal shalih, menjaga persatuan dan kesatuan serta sibuk menyiapkan bekal untuk akhirat.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Jadilah Manusia yang Beruntung

Kewajiban berdakwah, menurut Ibnu Taimiyah, bersifat fardhu kifayah. Artinya, jika sebagian telah melakukannya maka yang lain gugurlah kewajibannya. Begitu pula sebaliknya, jika tak ada yang melakukannya, maka berdosalah seluruhnya.

Meski demikian, bukan berarti kita memilih untuk berlepas tangan dari dakwah karena berharap orang lain yang melakukannya. Justru seharusnya kaum Muslim berlomba-lomba melakukan dakwah, bukan menjauhinya. Sebab, ada begitu banyak keutamaan orang yang menapaki jalan dakwah.

Ibarat orang-orang yang dijanjikan bakal mendapat hadiah berlimpah bila mau melakukan sesuatu, maka logikanya mereka akan berlomba-lomba melakukannya, bukan berdiam diri dan mempersilahkan orang lain melakukannya. Apalagi bila hadiah yang akan diterima luar biasa menarik.

Allah Ta’ala menyebutkan dalam al-Qur’an Surat Ali-‘Imran [3] ayat 104 bahwa Muslim yang mengerjakan dakwah adalah orang yang beruntung. “Dan hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan, menyuruh (berbuat ) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Lantas, mengapa justru sedikit orang yang mau mengikuti jalan dakwah? Jawabnya, karena mereka belum benar-benar yakin tentang “hadiah” yang akan diberikan Allah Ta’ala kepada mereka yang menjalankannya. Juga mereka belum benar-benar mengimani hukuman yang akan mereka terima jika tak sungguh-sungguh berada di jalan yang lurus.

Itulah iman. Jika iman betul-betul telah tertanam pada hati seseorang maka mudah baginya untuk taat. Sebaliknya, jika iman masih goyah, maka beribu alasan akan ia kemukakan ketika diseru untuk berlomba menapaki jalan kebaikan.

Keutamaan Dakwah

Dakwah menjadi pembeda antara orang-orang yang beriman dan orang-orang munafik. Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar…” (QS: At-Taubah [9]: 71).

Sebaliknya, tentang orang-orang munafik, Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang munafik lelaki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama). Mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah perbuatan yang makruf…” (QS: at-Taubah [9]: 67)

Perkataan para juru dakwah dalam menegakkan kebajikan dan mencegah kemungkaran adalah sebaik-baik perkataan. Ini ditegaskan oleh Allah Ta’ala adalam Al-Qur’an Surat Fussilat [41] ayat 33, “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan kebajikan dan berkata,  ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’.”

Para juru dakwah adalah penyelamat bagi kaum Muslim yang lain. Sebab, jika dalam sebuah masyarakat tak ada yang mau melakukannya, maka Allah Ta’ala akan menghukum mereka semua, sebagaimana ungkapan Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Hudzaifah, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Benar-benar kalian harus memerintahkan yang makruf dan melarang dari yang mungkar, atau Allah akan mengirimkan untuk kalian hukuman dari sisi-Nya kemudian kalian pun berdoa kepada-Nya namun permohonan kalian tak lagi dikabulkan.” (Riwayat Ahmad).

Bani Israil, di masa Nabi Daud AS dan Isa AS, adalah contoh kaum yang dilaknat oleh Allah Ta’ala karena meninggalkan tugas dakwah. Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melaalui lisan (ucapan) Daud dan Issa Putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, amat buruk apa yang mereka perbuat.” (QS: Al-Ma’idah [5]: 78-79)

Syeikh As-Sa’di, seorang ahli tafsir dalam Taysir Al-Karim Ar-Rahman  menjelaskan,  “Tindakan mereka itu (mendiamkan kemungkaran) menunjukkan bahwa mereka meremehkan perintah Allah, dan kemaksiatan mereka anggap sebagai perkara yang sepele. Seandainya di dalam diri mereka terdapat pengagungan terhadap Rabb niscaya mereka akan merasa cemburu karena larangan-larangan Allah dilanggar dan mereka pasti akan marah karena mengikuti kemurkaan-Nya…”

Jadi, jika tugas dakwah ini telah dijalankan dengan baik maka pelakunya tak sekadar memperoleh keberuntungan, namun juga menjadikan dirinya sebagai pahlawan, bahkan Allah Ta’ala menjadikan pelaku dakwah dan kaum Muslim di sekelilingnya sebagai umat terbaik di antara umat yang lain.

Allah Ta’ala berfirman, “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kalian) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…” (QS: Ali-‘Imran [3]: 110).

Yang tak kalah penting, dakwah akan menjadi alasan bagi seorang hamba di hadapan Rabbnya kelak. Allah Ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah) ketika suatu kaum di antara mereka berkata, ‘Mengapa kalian tetap menasihati suatu kaum yang akan Allah binasakan atau Allah akan mengazab mereka dengan siksaan yang amat keras?’ Maka mereka menjawab, ‘Agar ini menjadi alasan bagi kami di hadapan Rabb kalian dan semoga saja mereka mau kembali bertakwa’.” (QS: Al-A’raaf [7]: 164)

Syeikh As-Sa’di, dalam Taysir Al-Karim Ar-Rahman, mengatakan, “Inilah maksud paling utama dari pengingkaran terhadap kemungkaran; yaitu agar menjadi alasan untuk menyelamatkan diri (di hadapan Allah), serta demi menegakkan hujjah kepada orang yang diperintah dan dilarang dengan harapan semoga Allah berkenan memberikan petunjuk kepadanya sehingga dengan begitu dia akan mau melaksanakan tuntutan perintah atau larangan itu.”

Namun, tugas menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, pasti akan menemukan tantangannya. Akan ada orang yang tak suka diajak kepada kebaikan. Bahkan, mereka melakukan perlawanan kepada para dai ini.

Allah Ta’ala telah mengingatkan hal ini dan menyuruh agar mereka bersabar. “… dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (QS: Luqman [31]: 17).

Selain bersabar, teruslah berdoa, meminta pertolongan Allah Ta’ala. Sebab, Allah Ta’ala berjanji akan menolong mereka yang berjuang membela yang haq.

Dalam surat Al-Hajj [22] ayat 40 dan 41, Allah Ta’ala berfirman, “… Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan milik Allah lah akhir dari segala urusan.” Wallahu a’lam.* /Mahladi Murni

HIDAYATULLAH

Dakwah Penuh Hikmah

Dakwah adalah kewajiban bagi setiap Muslim, laki-laki dan perempuan. Tidak ada alasan untuk tidak aktif dalam berdakwah. Mengingat, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat ….” (HR: Tirmidzi).

Pertanyaannya, adakah seorang Muslim di dunia ini yang tidak mengetahui dan memahami satu ayatpun? Dalam berdakwah, ada nasihat yang menyentuh dari Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI),   bahwa ulama adalah pewaris para Nabi, sungguh mulia dan luar biasa antara pewaris dan yang mewarisi.

Nilai-nilai keutamaan inilah yang seharusnya diangkat kembali. Yakni bagaimana menjadi ulama dan jati diri ulama yang mendapatkan sebuah amanah untuk mengeret bendera Islam secara benar.

Kita perlu menengok kisah Nabi Musa ketika menghadapi Fir’aun.

فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS: Thaha ayat 44).

Dakwah itu merangkul bukan memukul. Hakikatnya dakwah itu mengajak umat ke jalan kebaikan sesuai akhlak mulia Rasulullah ﷺ. Dengan akhlak mulia, hati objek dakwah akan tersentuh sehingga mendekat; dengan akhlak tercela objek dakwah akan berlari menjauh bahkan antipati kerena merasa dipukul.

Abdullah al-Jadali berkata,  “Aku bertanya kepada Aisyah RA tentang akhlak Rasulullah ﷺ, lalu ia menjawab, ‘Beliau bukanlah orang yang keji (dalam perkataan ataupun perbuatan), suka kekejian, suka berteriak di pasar-pasar atau membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan orang yang suka memaafkan.” (HR Tirmidzi).

Dakwah itu menyayangi bukan menyaingi. Akhlak seorang dai berikutnya adalah, dalam menunaikan dakwah harus mengedepankan rasa kasih sayang dan lemah lembut sehingga objek dakwah tidak merasa disaingi, justru merasakan kehangatan sehingga menyambut seruan dakwah bukan berlari menjauhi dakwah.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ وَقَالُوا۟ لِإِخْوَٰنِهِمْ إِذَا ضَرَبُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ أَوْ كَانُوا۟ غُزًّى لَّوْ كَانُوا۟ عِندَنَا مَا مَاتُوا۟ وَمَا قُتِلُوا۟ لِيَجْعَلَ ٱللَّهُ ذَٰلِكَ حَسْرَةً فِى قُلُوبِهِمْ ۗ وَٱللَّهُ يُحْىِۦ وَيُمِيتُ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS: Ali Imran [3]: 156).

Dakwah itu mendidik bukan membidik. Dari Anas bin Malik RA, beliau berkata, “Ada seorang Arab Badui pernah memasuki masjid, lantas dia kencing di salah satu sisi masjid. Lalu para sahabat menghardiknya. Namun Nabi ﷺ melarang tindakan para sahabat tersebut. Tatkala orang tadi telah menyelesaikan hajatnya, Nabi ﷺ lantas memerintah para sahabat untuk mengambil air, kemudian bekas kencing itu pun disirami.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dakwah itu membina bukan menghina. Karena dakwah itu membina, maka gunakan cara-cara yang penuh hikmah.  “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS an-Nahl [16]: 125).

Dakwah itu mencari solusi bukan mencari simpati. Nabi ﷺ bersabda, “Sungguh, seseorang dari kalian mengambil tali lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau tidak memberinya.” (HR Bukhari).

Dakwah itu membela bukan mencela. “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS al-An’am [6]: 108).

Semoga Allah membimbing para dai agar dapat berdakwah dengan penuh hikmah sehingga dapat menarik simpati umat untuk menyambut seruan dakwah. Amin.*/ Imam Nur SuharnoPengurus Korps Mubaligh Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

HIDAYATULLAH