Rincian Hukum Mencium Istri ketika Berpuasa

Salah satu masalah yang seringkali muncul dan ditanyakan adalah bagaimanakah hukum mencium istri ketika sedang berpuasa Ramadhan. Pada kesempatan kali ini, akan kami bahas perbedaan pendapat ulama dan juga rincian hukum berkaitan dengan hal tersebut.

Perselisihan ulama tentang hukum mencium istri di siang hari bulan Ramadhan

Pendapat pertama, boleh secara mutlak. Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip pendapat ini dari sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Atha’, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ahmad, dan Ishaq, bahwa mereka memberikan keringanan (memperbolehkan) orang yang berpuasa untuk mencium istri di siang hari bulan Ramadhan.

Dalil pendapat ini di antaranya adalah hadits dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium dan mencumbu (istri-istri beliau) padahal beliau sedang berpuasa. Dan beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya dibandingkan kalian.” (HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106)

Juga dari sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

هَشَشْتُ فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَضْمَضْتَ مِنْ الْمَاءِ وَأَنْتَ صَائِمٌ

“Aku merasa bahagia, lalu aku mencium (istriku), sementara aku dalam keadaan berpuasa. Lalu aku katakan, “Wahai Rasulullah, pada hari ini aku telah melakukan suatu perkara yang besar. Saya mencium (istriku) sementara saya sedang berpuasa.”

Beliau berkata, “Bagaimana pendapatmu apabila Engkau berkumur-kumur menggunakan air sementara Engkau sedang berpuasa?” (HR. Abu Daud no. 2385, Ad-darimi no. 1724, An-Nasa’i no. 3084, shahih)

Pendapat kedua, haram secara mutlak. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, dan Malik, sebagaimana dikutip oleh Ibnul Mundzir. Mereka mengatakan bahwa perbuatan tersebut akan menyebabkan rusaknya puasa, sehingga dilarang dalam rangka mencegah rusaknya puasa, lebih-lebih jika masih muda.

Pendapat ketiga, pendapat yang memberikan rincian. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka mengatakan, jika perbuatan tersebut dapat membangkitkan syahwat, maka tidak diperbolehkan. Akan tetapi, apabila tidak membangkitkan syahwat, maka tidak menjadi masalah (boleh).

Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ فَإِذَا الَّذِي رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَالَّذِي نَهَاهُ شَابٌّ

“Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai cumbuan orang yang berpuasa, lalu beliau memberikan keringanan kepadanya. Dan ada orang lain datang kepada beliau dan bertanya mengenai hal yang sama, lalu beliau melarangnya. Ternyata orang yang beliau beri keringanan adalah orang yang sudah tua, sedangkan orang yang beliau larang adalah orang yang masih muda.” (HR. Abu Daud no. 2387 dan Ahmad no. 24631. Al-Albani berkata, “Hadits hasan shahih.”)

Pendapat ketiga inilah pendapat yang lebih kuat, yaitu membedakan antara yang berpotensi membangkitkan syahwat ataukah tidak, juga apakah masih muda atau sudah tua. Karena usia tua pada umumnya syahwatnya sudah lebih banyak berkurang. Inilah pendapat yang juga dipilih oleh mayoritas ulama.

At-Tirmidzi rahimahullah berkata,

“Para ulama dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbeda pendapat tentang hukum mencium istri bagi orang yang berpuasa. Sebagian sahabat memberikan keringanan (memperbolehkan) untuk mencium istri bagi mereka yang sudah berusia tua, dan tidak memberikan keringanan kepada mereka yang masih muda karena khawatir puasanya akan rusak (batal). Adapun mencumbu istri menurut mereka itu perkaranya lebih besar (dibandingkan mencium).” (Sunan At-Tirmidzi, 1: 387)

Tiga keadaan setelah mencium istri dan rincian hukum masing-masing

Keadaan pertama, jika mencium istri kemudian keluar air mani. Maka puasanya batal, ini berdasarkan ijma’ para ulama. Hal ini karena keluarnya mani karena bercumbu itu serupa dengan hubungan badan tanpa (maaf) memasukkan kemaluan suami ke kemaluan istri.

Keadaan kedua, jika tidak keluar cairan apa pun. Maka puasanya tetap sah, dan ini pun sesuai dengan ijma’ para ulama. Hal ini berdasarkan hadits dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan juga sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang telah kami kutip di atas.

Keadaan ketiga, jika yang keluar adalah madzi, dan bukan mani. Untuk kondisi ketiga ini terdapat dua pendapat di kalangan ulama.

Pendapat pertama, puasa tetap sah. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i. Mereka mengatakan bahwa hal ini dianalogikan dengan keluarnya air kencing yang tidak menghasilkan keturunan (tidak seperti air mani). Sehingga jika yang keluar adalah madzi, maka puasa tidak batal.

Pendapat kedua, puasa menjadi batal. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad. Mereka mengatakan bahwa kasus ini dianalogikan dengan keluarnya mani, karena sama-sama keluar karena adanya syahwat.

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama, yaitu keluarnya madzi tidaklah membatalkan puasa. Hal ini karena beberapa alasan berikut ini,

Pertama, keluarnya madzi tidak tepat diqiyaskan dengan keluarnya mani (seperti yang dikemukakan oleh pendapat kedua). Karena perkara ini telah terjadi pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada dalil tegas (nash) dalam masalah tersebut.

Kedua, jika kita berdalil dengan qiyas, maka qiyas tersebut tidak tepat. Karena terdapat perbedaan antara madzi dan mani, misalnya keluarnya madzi tidak menyebabkan mandi wajib, tidak menyebabkan terjadinya pembuahan, dan keluarnya madzi tidak memancar sebagaimana mani. Keluarnya madzi juga tidak dirasakan (tidak disadari) oleh manusia, berbeda dengan mani (disertai rasa nikmat).

Ketiga, syahwat yang sesungguhnya adalah ketika keluar mani. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,

قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟

“Wahai Rasulullah, jika salah seorang di antara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala?” (HR. Muslim no. 1006)

Keempat, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa keluarnya madzi membatalkan puasa, sehingga hukumnya kembali ke hukum asal (tidak batal).

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

 Artikel: Muslim.or.id

Panduan Puasa Ramadhan

Hukumnya

Alloh Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al Baqoroh: 183)

Umat Islam telah bersepakat tentang wajibnya puasa Romadhon dan merupakan salah satu rukun Islam yang dapat diketahui dengan pasti merupakan bagian dari agama. Barang siapa yang mengingkari kewajiban puasa Romadhon maka dia kafir, keluar dari Islam.

Keutamaannya

“Orang yang berpuasa di bulan Romadhon karena iman dan mengharap pahala dari Alloh maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman dalam hadits Qudsi, “Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

“Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Alloh pada hari kiamat daripada bau misk/kasturi. Dan bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, ketika berbuka mereka bergembira dengan bukanya dan ketika bertemu Alloh mereka bergembira karena puasanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang disebut Ar-Royyaan. Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa masuk surga melalui pintu tersebut dan tidak masuk melalui pintu tersebut seorang pun kecuali mereka. Dikatakan kepada mereka, ‘Di mana orang-orang yang berpuasa?’ Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan tidak masuk melalui pintu tersebut seorang pun kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Kewajiban Berpuasa Romadhon Dengan Melihat Hilal

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah karena melihat hilal Romadhon, berhari raya-lah karena melihat hilal Syawwal. Jika hilal tertutupi mendung maka genapkanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (Muttafaqun ‘alaih. Lafazh Muslim)

Dengan Apa Bulan Romadhon Ditetapkan ?

Bulan Romadhon ditetapkan dengan melihat hilal meskipun dari satu orang yang sholih atau dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhu berkata, “Banyak orang berusaha melihat hilal. Kemudian aku mengabarkan kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa aku sungguh-sungguh melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa.” (Shohih. Al Irwa’)

Jika hilal tidak dapat dilihat karena mendung atau sejenisnya maka bulan Romadhon ditetapkan dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Untuk awal bulan Syawwal tidak boleh ditetapkan kecuali dengan persaksian dua orang. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika ada 2 orang muslim bersaksi, maka berpuasalah dan berhari raya-lah kalian.” (Shohih. Shahih Ibnu Majah)

Catatan:

Barang siapa yang melihat hilal seorang diri maka tidak boleh berpuasa sampai masyarakat berpuasa, dan tidak boleh berhari raya sampai masyarakat berhari raya. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah hari di mana kalian semua berpuasa. Berhari raya adalah hari di mana kalian semua berhari raya. Dan berkurban adalah hari di mana kalian semua berkurban.” (Shohih. Shahih Al-Jami’ Ash-Shoghir. At Tirmidzi berkata, “Sebagian ahlul ‘ilmi menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, ‘Maknanya bahwa puasa dan hari raya adalah bersama jama’ah [pemerintah kaum muslimin, pent] dan mayoritas manusia [masyarakat, pent].’”)

Siapa yang Diwajibkan Berpuasa ?

Ulama bersepakat bahwa puasa diwajibkan atas orang Islam, berakal, sudah baligh, sehat dan tidak sedang bepergian. Bagi wanita harus tidak dalam keadaan haid dan nifas. (Fiqh Sunnah). Jika ada orang sakit dan musafir tetap berpuasa, maka puasanya sah. Karena bolehnya berbuka bagi keduanya adalah keringanan/rukhshoh, maka jika keduanya tidak mengambil rukhsokh-nya maka itu juga hal yang baik.

Mana yang Lebih Utama, Berbuka atau Berpuasa ?

Jika orang sakit dan musafir tidak menemukan kesulitan untuk berpuasa, maka berpuasa lebih utama. Namun jika keduanya menemukan kesulitan untuk berpuasa, maka berbuka lebih utama.

Abu Sa’id Al-Khudzri rodhiallohu ‘anhu berkata, “Kami dulu berperang bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam di bulan Romadhon. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Orang yang berpuasa tidak memarahi orang yang tidak berpuasa begitu pula sebaliknya. Kami berpendapat bahwa barang siapa yang merasa mampu kemudian berpuasa maka hal itu baik. Dan kami juga berpendapat bahwa barang siapa yang merasa lemah kemudian tidak berpuasa maka hal itu juga baik.” (Shohih. Shohih Tirmidzi)

Adapun tentang tidak wajibnya berpuasa bagi wanita yang sedang haid dan nifas adalah karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah jika wanita sedang haid tidak boleh sholat dan berpuasa? Maka itulah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhori)

Jika wanita yang sedang haid dan nifas berpuasa, maka puasanya tidak sah. Karena suci dari haid dan nifas termasuk salah satu syarat puasa sehingga wajib bagi keduanya untuk meng-qodho’ puasanya. ‘Aisyah rodhiallohu ‘anha berkata, “Dulu kami mengalami haid di masa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Maka kami diperintahkan untuk meng-qodho’ puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qodho’ sholat.” (Shohih. Shohih Tirmidzi)

Kewajiban Bagi Laki-Laki dan Wanita yang Sudah Tua Serta Orang Sakit yang Tidak Dapat Diharapkan Lagi Kesembuhannya

Bagi yang tidak mampu berpuasa karena sudah tua atau sejenisnya maka boleh untuk berbuka dengan memberi makan bagi orang miskin setiap hari yang dia tidak berpuasa karena firman Alloh Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqoroh: 184)

Wanita Hamil dan Menyusui

Jika wanita hamil dan menyusui tidak mampu berpuasa atau khawatir terhadap anaknya jika berpuasa, maka boleh bagi keduanya untuk berbuka. Dan wajib bagi keduanya untuk membayar fidyah namun tidak ada kewajiban qodho’ bagi keduanya.

Ukuran Makanan yang Wajib Diberikan

Dari Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu“Sesungguhnya dia tidak mampu untuk berpuasa Ramadhan pada suatu tahun. Kemudian dia membuat roti dalam satu piring besar dan memanggil 30 orang miskin dan membuat mereka semua kenyang.” (Sanadnya Shohih. Al Irwa’)

Rukun-Rukun Puasa

Pertama, Niat. Karena sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Niat harus dilakukan setiap malam sebelum terbit fajar karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak niat berpuasa sebelum fajar terbit maka puasanya tidak sah’.” (Shohih, Shohih Al-Jami’ Ash-Shoghir)

Kedua, menahan diri dari hal-hal yang membatalkan dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari.

Alloh Ta’ala berfirman,

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Alloh untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al Baqoroh: 187)

Hal-Hal yang Membatalkan Puasa Ada Enam Perkara

Pertama dan Kedua, makan dan minum dengan sengaja. Jika seseorang makan atau minum dalam keadaan lupa maka tidak ada qodho’ baginya dan juga tidak membayar kaffaroh/denda.

Ketiga, muntah dengan sengaja. Jika muntah dengan tidak sengaja maka tidak ada kewajiban qodho’ dan tidak perlu membayar kafaroh.

Keempat dan Kelima, haid dan nifas meskipun menjelang berbuka puasa mengingat adanya kesepakatan ulama tentang hal tersebut.

Keenam, hubungan suami istri. Orang yang melakukannya wajib untuk membayar kaffaroh: Memerdekakan budak jika punya, jika tidak maka berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin. (Muttafaqun ‘alaih)

Adab-Adab Puasa

Dianjurkan bagi orang yang berpuasa untuk memperhatikan adab-adab berikut ini:

Pertama, makan sahur. Dianjurkan pula untuk mengakhirkan makan sahur.

Dari Anas rodhiallohu ‘anhu dari Zaid bin Tsabit rodhiallohu ‘anhu berkata, “Kami makan sahur bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kemudian melaksanakan sholat.” Aku (Anas) berkata, “Berapa lama antara iqomah dan makan sahur?” Zaid bin Tsabit rodhiallohu ‘anhu berkata, “Jangka waktu untuk membaca Al Quran 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih)

Jika azan terdengar sedangkan makanan dan minuman masih berada di tangan, maka boleh untuk meneruskan makan dan minum.

Kedua, menahan diri dari kata-kata sia-sia dan kotor/menjijikkan dan sejenisnya yang bertentangan dengan puasa.

Ketiga, dermawan dan mempelajari Al Quran.

Keempat, menyegerakan berbuka puasa.

Kelima, berbuka puasa secara sederhana dengan hal-hal yang disebutkan dalam hadits berikut.

“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan kurma basah sebelum sholat. Jika tidak ada kurma basah maka beliau berbuka dengan kurma kering. Jika tidak ada kurma kering maka beliau minum beberapa teguk air.” (Hasan Shohih. HR. Abu Daud, Tirmidzi)

Keenam, berdoa pada saat berbuka sesuai dengan hadits berikut.

“Apabila Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berbuka beliau berdoa yang artinya, ‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, pahala telah ditetapkan, Insyaa Alloh.’” (Hasan. Shohih Sunan Abu Daud)

Hal-Hal yang Diperbolehkan Ketika Berpuasa

Pertama, mandi untuk menyegarkan badan.

Kedua, berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung namun tidak berlebihan.

Ketiga, berbekam. Hukumnya berubah menjadi makruh jika khawatir dirinya menjadi lemah. Yang dihukumi sama dengan bekam adalah donor darah. Jika orang yang ingin mendonorkan darahnya merasa khawatir menjadi lemas maka tidak boleh mendonorkan darah ketika siang hari kecuali sangat dibutuhkan.

Keempat, mencium dan bercumbu dengan istri bagi yang mampu menahan dirinya.

Kelima, dalam keadaan junub ketika sudah terbit fajar.

Keenam, menyatukan sahur dan berbuka.

Ketujuh, menggosok gigi, memakai minyak wangi, minyak rambut, celak mata, obat tetes mata dan suntik.

Dasar dibolehkannya perkara-perkara tersebut adalah kaidah baroo’ah ashliyyah (seseorang terbebas dari suatu hukum sampai ada dalil, pent) Seandainya perkara-perkara itu termasuk perkara yang diharamkan ketika berpuasa niscaya Alloh dan Rosul-Nya akan menjelaskannya.

Alloh berfirman,

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيّاً

“Dan tidaklah Robb kalian itu lupa.” (QS. Maryam: 64)

I’tikaf

I’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Romadhon adalah sunnah yang sangat dianjurkan untuk mencari kebaikan dan mencari malam Lailatul Qodar.

‘Aisyah berkata, “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir pada bulan Romadhon. Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Carilah malam Lailatul Qodar di sepuluh hari terakhir bulan Romadhon.’” (HR. Bukhori). ‘Aisyah juga berkata, “Carilah malam Lailatul Qodar pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Romadhon.” (Muttafaq ‘alaih)

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga mendorong dan memotivasi umatnya untuk mencarinya. Abu Huroiroh rodhiallohu ‘anhu berkata, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang melaksanakan sholat pada malam Qodar karena keimanan dan mengharap pahala dari Alloh, maka dosanya yang telah lalu pasti diampuni.” (Muttafaqun ‘alaih)

I’tikaf tidak boleh dilakukan kecuali di dalam masjid karena firman Alloh Ta’ala,

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, pada saat kamu ber-i’tikaf di dalam masjid.” (QS. Al Baqoroh: 187)

Dan juga karena masjid adalah tempat Nabi bert-i’tikaf.

Dianjurkan bagi orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan dirinya dengan amal ketaatan kepada Alloh seperti sholat; membaca Al Quran; berzikir, sholawat kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam; dan sebagainya.

Dimakruhkan bagi orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan dirinya dengan perkataan atau perbuatan yang tidak ada manfaatnya. Sebagaimana dimakruhkan pula menahan diri dari berbicara karena menyangka bahwa hal tersebut mendekatkan diri kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. (Fiqh Sunnah).

Dan diperbolehkan untuk keluar dari tempat beri’tikaf karena ada kebutuhan yang harus dilaksanakan. Sebagaimana diperbolehkan juga untuk menyisir rambut, mencukur rambut kepala, memotong kuku dan membersihkan badan. I’tikaf batal apabila seseorang keluar tanpa ada keperluan atau berhubungan suami istri. Alhamdulillaahilladzii bi ni’matihi tatimmush shoolihaat.

(Diringkas dari kitab Al Wajiiz fii Fiqhi Sunnati wal Kitaabil ‘Aziiz Kitab Shiyaam, karya Syaikh Abdul ‘Azhim Badawi Al Kholafi hafizhohullohu)

***

Penulis: Abu Ibrahim Muhammad Saifuddin Hakim (Alumni Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar

Artikel muslim.or.id

Bagi Anda yang ingin berzakat untuk membersihkan penghasilan setiap bulannya, silakan klik di sini!

Calon Jamaah Haji di Berbagai Daerah Mulai Divaksin Covid-19

Calon jamaah haji (calhaj) Indonesia dari berbagai daerah mulai menjalani vaksinasi Covid-19. Vaksin ini diprioritaskan untuk calon jamaah haji yang sudah melunasi biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) tahun 2020.

Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kementerian Agama (Kemenag), Ramadhan Harisman mengatakan, salah satu amanah dari rapat kerja antara menteri agama, menteri kesehatan dan menteri perhubungan adalah meminta calon jamaah haji yang sudah lunas tahun lalu untuk segara divaksin. Target Kementerian Kesehatan, vaksinasi selesai Mei 2021.

“Ada kewajiban bagi setiap jamaah (jamaah haji) dan petugas (panitia penyelenggara ibadah haji) kalau (penyelenggaraan ibadah) haji ada wajib divaksin,” kata Ramadhan kepada Republika, Jumat (26/3).

Ia menyampaikan, vaksinasi calon jamaah haji oleh Kementerian Kesehatan adalah upaya yang bagus. Sebenarnya calon jamaah haji tidak masuk dalam kategori tahapan untuk divaksin. Namun, Kementerian Kesehatan punya inisiatif yang luar biasa untuk memvaksin calon jamaah haji.

Ramadhan mengatakan, mereka mengkategorikan calon jamaah haji ke dalam kategori rentan. Artinya calon jamaah haji adalah orang yang punya risiko karena bepergian ke luar negeri. “Prioritas (calon jamaah haji) yang divaksin yang sudah lunas di tahun 2020,” ujarnya. 

Sebelumnya, Wakil Menteri Agama (Wamenag), KH Zainut Tauhid Sa’adi menegaskan sejumlah persiapan penyelenggaraan haji terus dilakukan pemerintah Indonesia. Hal ini dilakukan meski belum ada kepastian dari Arab Saudi terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun ini.

“Kementerian Agama terus melakukan persiapan sembari menunggu informasi resmi dari pemerintah Arab Saudi terkait kemungkinan keberangkatan jamaah haji Indonesia,” kata Wamenag, Selasa (23/3).

Sementara itu, Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Esam Abid Althagafi menyampaikan bahwa pemerintah Arab Saudi sedang menyusun strategi terkait pelaksanaan ibadah haji tahun 2021. 

“Alhamdulillah sampai saat ini pemerintah Arab Saudi sedang menyusun kegiatan rencana dan strategi, tinggal tunggu pengumuman resmi dari pemerintah Arab Saudi,” kata Esam kepada Republika usai penutupan MHQH ke-13 di Millenium Hotel Sirih, Jakarta, Kamis (25/3).

Mengenai kemungkinan ibadah haji akan diselenggarakan tahun ini, Esam mengatakan bahwa sangat mungkin ibadah haji dilaksanakan. Mengenai mekanisme penyelenggaraan hajinya seperti apa, ia mengatakan mekanismenya belum bisa diumumkan sekarang.

“Nanti akan ada aturan-aturan (dalam penyelenggaraan ibadah haji) yang belum bisa umumkan secara resmi sekarang,” ujar Esam.

IHRAM

Pengaruh Al-Qur’an dalam Meraih Ketenangan Jiwa

Allah Swt berfirman :

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS.al-An’am:82)

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS.ar-Ra’d:28)

Tidak diragukan lagi bahwa setiap dari kita mencari kebahagiaan dan berusaha meraihnya. “Bahagia” adalah cita-cita dan tujuan dari setiap manusia, yang dengannya manusia bisa meraih ketenangan jiwa.

Kebahagiaan yang kita maksud adalah kebahagiaan jiwa yang melahirkan kerelaan dan ketenangan. Yang bisa mewujudkan rasa aman di dalam diri.

Al-Qur’an telah menjelaskan kepada kita dalam banyak ayatnya tentang pentingnya keimanan dalam jiwa manusia. Dan besarnya peran “iman” ini dalam menciptakan rasa aman, tenang dan optimis dalam menghadapi kehidupan.

Al-Qur’an menggiring manusia menuju kebahagiaan dan ketenangan, karena barangsiapa yang mengikuti jalan Al-Qur’an tidak pernah merasa takut kecuali kepada Allah. Selalu bersabar dan bersyukur dalam setiap kondisi. Dan bisa menyadari besarnya nikmat Allah dan besarnya kecintaan Allah pada hamba-Nya.

Semua perasaan ini yang akan menumbuhkan kebahagiaan dalam jiwa manusia. Bahwa ia selalu merasa kuat bersama Allah, bahagia karena besarnya kecintaan Allah, bersyukur karena besarnya kenikmatan yang Allah berikan, tenteram karena rasa aman disaat bersama Allah.

Al-Qur’an memiliki pengaruh yang besar dalam mewujudkan rasa aman di dalam jiwa. Karena mustahil kebahagiaan itu akan di raih tanpa rasa aman di dalam hati manusia. Dan manusia tidak akan pernah mendapatkan rasa aman itu kecuali dengan cahaya Allah yang menerangi seluruh penjuru alam. Dan cahaya yang menerangi itu adalah Al-Qur’an.

Dan Al-Qur’an telah menekankan kepada kita bahwa ketenangan itu tidak akan didapat kecuali dengan berdzikir dan mengingat Allah Swt.

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS.ar-Ra’d:28)

Maka sudah seharusnya kita berpegang kepada Al-Qur’an dan tidak boleh jauh darinya.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Penyebab Rezeki tak Berkah dan Cara Menghindarinya

Rezeki tak berkah karena banyak faktor salah satunya maksiat.

Allah SWT menjamin rezeki tiap makhluknya. Namun, Allah tidak menjamin keberkahan rezeki yang diperoleh. Apa dan bagaimana mendapatkan rezeki yang berkah? 

Keberkahan sebuah rezeki dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, dari mana dan dengan cara apa mendapatkannya. Kedua, ke mana dan bagaimana membelanjakannya. Ukuran utama kualitas keberkahan sebuah rezeki adalah seberapa besar ketaatan keluarga kepada Allah SWT dari penggunaan rezeki yang dihasilkan.

Imam Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya al-Da`wa al-dawa` mengatakan, di antara akibat maksiat itu adalah akan menghapuskan keberkahan umur, rezeki, ilmu, amal, dan ketaatan. Secara umum maksiat menghapuskan keberkahan agama dan dunia. Karena itu, orang yang bermaksiat kepada Allah tidak akan mendapat kan berkah dalam umurnya, agamanya, dan dunianya. 

Bahkan, sebagian ulama mengatakan, “Sungguh saya telah bermaksiat kepada Allah, dan saya mengetahui hal itu dari perilaku istri dan binatang tunggangan saya.” Mulailah dengan meningkatkan ketakwaan dalam keluarga. Inilah cara pertama membuka pintu keberkahan langit dan bumi. 

Allah berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayatayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS al-A’raf [9]: 96). 

Dengan demikian, ketakwaan itu akan mendatangkan banyak keajaiban, seperti ada banyak jalan ataupun solusi dari berbagai kesulitan yang tiba-tiba terbentang dan tercurahnya rezeki dari arah yang tak pernah diduga-duga. 

Allah berfirman, “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka nya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (di kehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS al-Thalaq [65]: 2-3). 

Pada saat yang sama, perbanyaklah istighfar dan bertobat karena pintu tobat adalah pembersih rezeki dari musibah dan bencana. Beristigfar dan bertobat akan melancarkan saluran rezeki dari sumbatan-sumbatan. Allah berfirman: “Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu. Dan, mengadakan untukmu kebun-kebun serta mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungaisungai.’” (QS Nuh [71]: 10-12)

Di tingkat teknis aplikatif, Rasulullah berpesan dengan ungkapan yang sangat indah dan meyakinkan, “Sesunguhnya Jibril telah menyampaikan kepadaku bahwa tidak ada jiwa yang mati sebelum disempurnakan rezekinya. Maka, bertakwalah kalian kepada Allah dan perbaguslah dalam mencari rezeki. Dan janganlah karena anggapan terlambatnya rezeki yang menjadi hakmu, menjadikannya kamu memintanya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya, ia tidak akan mendapatkan rezeki yang ada pada-Nya kecuali dengan ketaatan.” (HR Ibnu Abi Syaibah).

KHAZANA REPUBLIKA

Membersihkan Harta Haram (4)

Keuntungan yang Tumbuh dari Modal Haram

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah bagaimanakah hukum harta yang tumbuh dari investasi harta yang haram. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menjelaskan mengenai perselisihan ulama dalam masalah ini dan menyimpulkan pendapat terkuat. Beliau rahimahullah mengatakan,

“Mengenai harta hasil curian yang dimanfaatkan oleh pencuri hingga mendapatkan hasil setelahnya, para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Apakah harta yang tumbuh itu kembali menjadi si pemilik pertama saja? Ataukah harta tersebut si pencuri dan pemilik menyedekahkannya?” … Terhadap harta semacam ini, ‘Umar bin Al Khottob pada awalnya menyikapinya dengan memerintahkan untuk menyerahkan seluruhnya pada Baitul Maal. Keuntungan sama sekali tidak boleh diambil oleh mereka yang memanfaatkan harta haram tadi. Lalu ‘Abdullah bin ‘Umar menyanggah ayahnya dengan mengatakan bahwa seandainya harta tersebut rusak, maka dhoman (ganti rugi) bagi yang memegangnya saat itu. Kalau punya kewajiban ganti rugi, lalu mengapa dalam masalah keuntungan tidak didapat? ‘Umar lantas terdiam. Kemudian sebagian sahabat mengatakan pada ‘Umar bahwa harta tersebut di bagi saja untuk mereka dan separuhnya lagi untuk (maslahat) kaum muslimin, yaitu setengah keuntungan pada mereka dengan setengahnya lagi pada kaum muslimin. ‘Umar pun memilih melaksanakan hal itu.

Inilah yang jadi pilihan para fuqoha dalam masalah mudhorobah yang berasal dari ketetapan ‘Umar bin Al Khottob dan para sahabat pun sependapat dengannya, dan inilah bentuk keadilan. Keuntungan yang tumbuh dari harta haram tersebut tidaklah dikhususkan milik salah satunya. Begitu pula tidaklah harta tersebut disucikan seluruhnya melalui sedekah dengan seluruh harta tadi. Yang tepat, keuntungan tersebut milik mereka berdua, sebagaimana pembagian dalam akad mudhorobah.” (Majmu’ Al Fatawa, 30: 323)

Sehingga misalnya ada seseorang yang memanfaatkan harta curian atau korupsi untuk investasi, maka ia hanya berhak mendapat 50% dari hasil keuntungan. Sisanya diserahkan kepada pemilik harta yang sebenarnya. Jika tidak memungkinkan mengembalikan kepada pemilik sebenarnya, maka modal dan separuh dari keuntungan tadi disucikan dengan disalurkan untuk kemaslahatan kaum muslimin, seperti untuk menolong orang fakir, membangun rumah sakit, atau membangun sekolah. Jika ternyata pemilik harta tadi datang, maka jelaskan bahwa seluruh hartanya telah disedekahkan atau mengembalikan sejumlah uang yang menjadi haknya. Lihat Fatwa Islamweb.

***

Kaedah Fikih: Keuntungan bagi yang Berani Menanggung Resiko

Siapa yang berani menanggung resiko kerugian, maka dialah yang berhak mendapatkan keuntungan. Dalam kasus mudhorobah (bagi-hasil) misalnya, jika pelaku usaha rugi karena gagal usaha, maka si pemodal pun harus menanggung kerugian. Karena jika si pemodal mendapat keuntungan ketika usaha mendapatkan profit, maka ketika mendapatkan rugi pun demikian, harus berani memikul resiko.

Dalam kaedah fikih disebutkan,

الخراج بالضمان

“Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian”.

Maksud kaedah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian -jika hal itu terjadi-. Keuntungan ini menjadi milik orang yang berani menanggung kerugian karena jika barang tersebut suatu waktu rusak, maka dialah yang merugi. Jika kerugian berani  ditanggung, maka keuntungan menjadi miliknya.

Dalil Kaedah

Asal kaedah ini adalah dari hadits berikut ini,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا، فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم: (الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ).

“Dari sahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka penjual berkata, ‘Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Keuntungan adalah imbalan atas kerugian.’” (HR. Abu Daud no. 3510, An Nasai no. 4490, Tirmidzi no. 1285, Ibnu Majah no. 2243 dan Ahmad 6: 237. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Penerapan Kaedah
  1. Dalam akad mudhorobah, jika sama-sama mendapat untung, maka pihak pemodal dan pelaku usaha harus sama-sama menanggung rugi. Jika pelaku usaha, sudah mendapatkan rugi karena usahanya gagal, maka pemodal pun harus menanggung rugi. Karena jika pemodal mendapat untung, maka kerugian pun -artinya: tidak mendapatkan apa-apa- harus berani ia tanggung. Termasuk kekeliruan jika si pemodal minta modalnya itu kembali selama bukan karena kecerobohan pelaku usaha.
  2. Dalam sistem dropshipping, ada reseller/ retailer yang memajang barang di toko online. Jika jika reseller tidak menanggung resiko sama sekali dalam pengiriman barang oleh dropshipper (produsen atau grosir), maka berarti transaksinya bermasalah. Karena kalau ia berani meraup untung, maka harus berani pula menanggung kerugian.
  3. Bermasalahnya transaksi riba, simpan pinjam yang menarik keuntungan. Jika pihak kreditur dalam posisi aman, hanya mau ingin uangnya kembali, tanpa mau menanggung resiko karena boleh jadi yang meminjam uang adalah orang yang susah, maka berarti ini masalah. Karena kalau ia ingin uangnya kembali, maka ia pun harus berani menanggung resiko tertundanya utang tersebut. Alasannya adalah kaedah yang kita bahas saat ini.
  4. Orang yang memanfaatkan harta curian untuk investasi, ia berhak mendapatkan 50% dari keuntungan dan sisanya diserahkan kepada pemilik harta sebenarnya. Karena jika merugi, dialah yang menanggungnya. Maka keuntungan berhak juga ia dapat sebabnya ia berani menanggung resiko kerugian.
  5. Orang yang menggunakan modal riba dari koperasi atau bank, maka ia boleh memanfaatkan keuntungan dari usaha tersebut. Karena jika usahanya bangkrut, ia menanggungnya, bukan ditanggung oleh pihak yang memberikan pinjaman riba. Kalau ia menanggung resiko demikian, dialah yang berhak mendapatkan keuntungan.اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَAllahummak-finii bi halaalika ‘an haroomik, wa aghniniy bi fadhlika ‘amman siwaak. [Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dari-Mu dan jauhkanlah aku dari yang Engkau haramkan. Cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dan jauhkan dari bergantung pada selain-Mu]. (HR. Tirmidzi no. 3563 dan Ahmad 1: 153. Kata Tirmidzi, hadits ini hasan ghorib)

Hanya Allah memberi petunjuk dan hidayah. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Membersihkan Harta Haram (3)

Sedekah dengan Harta Haram

Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:

  1. Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya.
  2. Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.
  3. Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
    Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224).
    Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya yang telah disebutkan, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014). Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 92-93.

Adapun bersedekah dengan harta yang berkaitan dengan hak orang  lain (barang curian, misalnya), maka Ibnu Rajab membaginya menjadi dua macam,

  1. Jika bersedekah atas nama pencuri, sedekah tersebut tidaklah diterima, bahkan ia berdosa karena telah memanfaatkannya. Pemilik sebenarnya pun tidak mendapatkan pahala karena tidak ada niatan dari dirinya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
  2. Jika bersedekah dengan harta haram tersebut atas nama pemilik sebenarnya ketika ia tidak mampu mengembalikan pada pemiliknya atau pun ahli warisnya, maka ketika itu dibolehkan oleh kebanyakan ulama di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad.  Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 264-268.

Kaedah dalam Harta Haram Karena Usaha (Pekerjaan)

Kaedah dalam memanfaatkan harta semacam ini -semisal harta riba- disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,

أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح.

“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Contoh dari kaedah di atas:

  1. Boleh menerima hadiah dari orang yang bermuamalah dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
  2. Boleh transaksi jual beli dengan orang yang bermuamalan dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
  3. Jika ada yang meninggal dunia dan penghasilannya dari riba, maka hartanya halal pada ahli warisnya. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 10)

Contoh-contoh di atas dibolehkan karena harta haram dari usaha tersebut diperoleh dengan cara yang halal yaitu melalui hadiah, jual beli dan pembagian waris.

Di Manakah Menyalurkan Harta Haram?

Dari pendapat terkuat dari pendapat yang ada, harta haram harus dibersihkan, tidak didiamkan begitu saja ketika harta tersebut tidak diketahui lagi pemiliknya atau pun ahli warisnya. Namun di manakah tempat penyalurannya? Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:

Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.

Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).

Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.

Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah asal yaitu  shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta haram tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid. [Disarikan dari penjelasan Syaikh Kholid Mihna, http://www.almoslim.net/node/82772]

Dalam rangka hati-hati, harta haram disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi si pemilik harta haram. Wallahu a’lam.

-bersambung insya Allah pada tulisan terakhir-

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Membersihkan Harta Haram (2)

Pembagian Harta Haram

Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan,

Harta haram ada dua macam: (1) haram karena sifat atau zatnya, (2) haram karena pekerjaan atau usahanya.

Harta haram karena usaha seperti hasil kezholiman, transaksi riba dan maysir (judi).

Harta haram karena sifat (zat) seperti bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih atas nama selain Allah.

Harta haram karena usaha lebih keras pengharamannya dan kita diperintahkan untuk wara’ dalam menjauhinya. Oleh karenanya ulama salaf, mereka berusaha menghindarkan diri dari makanan dan pakaian yang mengandung syubhat yang tumbuh dari pekerjaan yang kotor.

Adapun harta jenis berikutnya diharamkan karena sifat yaitu khobits (kotor). Untuk harta jenis ini, Allah telah membolehkan bagi kita makanan ahli kitab padahal ada kemungkinan penyembelihan ahli kitab tidaklah syar’i atau boleh jadi disembelih atas nama selain Allah. Jika ternyata terbukti bahwa hewan yang disembelih dengan nama selain Allah, barulah terlarang hewan tersebut menurut pendapat terkuat di antara pendapat para ulama yang ada. Telah disebutkan dalam hadits yang shahih dari ‘Aisyah,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ قَوْمٍ يَأْتُونَ بِاللَّحْمِ وَلَا يُدْرَى أَسَمَّوْا عَلَيْهِ أَمْ لَا ؟ فَقَالَ : سَمُّوا أَنْتُمْ وَكُلُوا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai suatu kaum yang diberi daging namun tidak diketahui apakah hewan tersebut disebut nama Allah ketika disembelih ataukah tidak. Beliau pun bersabda, “Sebutlah nama Allah (ucapkanlah ‘bismillah’) lalu makanlah.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 56-57)

Pekerjaan yang Haram

Pertama: Karena mengandung ghoror (ketidakjelasan)

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).

Berbagai bentuk ghoror:

a- Ghoror dalam akad

Misalnya tunai dengan harga sekian dan kredit dengan harga lebih mahal dan tidak ada kejelasan manakah akad yang dipilih. Dari Abu Hurairah, ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua bentuk transaksi dalam satu akad” (HR. An Nasai no. 4632, Tirmidzi no. 1231 dan Ahmad 2: 174. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Jaami’ Ash Shohih no. 6943). Sedangkan jika sudah ada kejelasan, misalnya membeli secara kredit –walau harganya lebih tinggi dari harga tunai-, maka tidak termasuk dalam larangan hadits di atas. Karena saat ini sudah jelas transaksi yang dipilih dan tidak ada lagi dua bentuk transaksi dalam satu akad. Sehingga dalil di atas bukanlah dalil untuk melarang jual beli kredit. Jual beli secara kredit itu boleh selama tidak ada riba di dalamnya.

b- Ghoror dalam barang yang dijual

Ghoror dalam barang bisa jadi pada jenis, sifat, ukuran, atau pada waktu penyerahan. Ghoror bisa terjadi pula karena barang tersebut tidak bisa diserahterimakan, menjual sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dilihat.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari munabadzah, yaitu seseorang melempar pakaiannya kepada yang lain dan itulah yang dibeli tanpa dibolak-balik terlebih dahulu atau tanpa dilihat keadaan pakaiannya. Begitu pula beliau melarang dari mulamasah, yaitu pakaian yang disentuh itulah yang dibeli tanpa melihat keadaaannya” (HR. Bukhari no. 2144). Jual beli ini terdapat jahalah (ketidakjelasan) dari barang yang dijual dan terdapat unsur qimar (spekulasi tinggi) dan keadaan barang tidak jelas manakah yang dibeli.

c- Ghoror dalam bayaran (uang)

Ghoror dalam masalah bayaran boleh jadi terjadi pada jumlah bayaran yang akan diperoleh, atau pada waktu penerimaan bayaran, bisa jadi pula dalam bentuk bayaran yang tidak jelas.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir” (HR. Bukhari, no. 2143 dan Muslim, no. 3883). Cucu dari unta tersebut tidak jelas diperoleh kapankah waktunya. Pembayarannya baru akan diberi setelah cucu unta tadi muncul dan tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula unta tersebut tidak memiliki cucu.

Kedua: Karena mengandung riba

Riba ada tiga macam:

a. Riba fadhel, yaitu riba yang terjadi pada barang yang sejenis karena adanya tambahan.

Contoh: Menukar emas 24 karat dengan emas 18 karat dengan salah satu dilebihkan dalam hal timbangan. Atau menukar uang Rp 10 ribu dengan pecahan seribu rupiah namun hanya 9 lembar.

b. Riba nasi-ah, yaitu riba yang terjadi pada barang yang sejenis atau beda jenis namun masih dalam satu sebab (‘illah) dan terdapat tambahan dalam takaran atau timbangan dikarenakan waktu penyerahan yan tertunda.

Contoh: Membeli emas yaitu menukar uang dengan emas, namun uangnya tertunda, alias dibeli secara kredit atau utang.

c. Riba qordh, yaitu riba dalam utang piutangan dan disyaratkan adanya keuntungan atau timbal balik berupa pemanfaatan. Seperti, berutang namun dipersyaratkan dengan pemanfaatan rumah dari orang yang berutang.

Contoh: Si B meminjamkan uang sebesar Rp 1 juta pada si A, lalu disyaratkan mengembalikan Rp 1,2 juta rupiah, atau disyaratkan selama peminjaman, rumah si A digunakan oleh si B (pemberi utang). Hal ini  berlaku riba qordh karena para ulama sepakat, “Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba”.

Contoh jual beli yang mengandung riba: Jual beli kredit lewat pihak ketiga (leasing)

Jual beli secara kredit asalnya boleh selama tidak melakukan hal yang terlarang. Namun perlu diperhatikan bahwa kebolehan jual beli kredit  harus melihat beberapa kriteria.  Jika tidak diperhatikan, seseorang bisa terjatuh dalam jurang riba.

Kriteria pertama, barang yang dikreditkan sudah menjadi milik penjual (bank). Kita contohkan kredit mobil. Dalam kondisi semacam ini, si pembeli boleh membeli mobil tadi secara kredit dengan harga yang sudah ditentukan tanpa adanya denda jika mengalami keterlambatan. Antara pembeli dan penjual bersepakat kapan melakukan pembayaran, apakah setiap bulan atau semacam itu. Dalam hal ini ada angsuran di muka dan sisanya dibayarkan di belakang.

Kriteria kedua, barang tersebut bukan menjadi milik si penjual (bank), namun menjadi milik pihak ketiga. Si pembeli meminta bank untuk membelikan barang tersebut. Lalu si pembeli melakukan kesepakatan dengan pihak bank bahwa ia akan membeli barang tersebut dari bank. Namun dengan syarat, kepemilikan barang sudah berada pada bank, bukan lagi pada pihak ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan lainnya adalah bank, bukan lagi pihak ketiga. Pada saat ini, si pembeli boleh melakukan membeli barang tersebut dari bank dengan kesepakatan harga. Namun sekali lagi, jual beli bentuk ini harus memenuhi dua syarat: (1) harganya jelas di antara kedua pihak, walau ada tambahan dari harga beli bank dari pihak ketiga, (2) tidak ada denda jika ada keterlambatan angsuran. (Faedah dari islamweb.net)

Jika salah satu dari dua syarat di atas tidak bisa dipenuhi, maka akan terjerumus pada pelanggaran. Pertama, boleh jadi membeli sesuatu yang belum diserahterimakan secara sempurna, artinya belum menjadi milik bank, namun sudah dijual pada pembeli. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ

“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)

Atau bisa jadi terjerumus dalam riba karena bentuknya sama dengan mengutangkan mobil pada pembeli, lalu mengeruk keuntungan dari utang. Padahal para ulama berijma’ (bersepakat) akan haramnnya keuntungan bersyarat yang diambil dari utang piutang.

3- Mengandung dhoror (bahaya) dan pengelabuan (tindak penipuan)

Contohnya adalah menimbun barang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

“Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa” (HR. Muslim no. 1605).

Imam Nawawi berkata, “Hikmah terlarangnya menimbun barang karena dapat menimbulkan mudhorot bagi khalayak ramai.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 43). Artinya di sini jika menimbun barang tidak menyulitkan orang lain maka tidak ada masalah. Seperti misalnya kita membeli hasil panen di saat harga murah. Lalu kita simpan kemudian kita menjualnya lagi beberapa bulan berikutnya ketika harga menarik, maka seperti ini tidak ada masalah karena jual beli memang wajar seperti itu. Jadi, larangan memonopoli atau yang disebut ihtikar, maksudnya ialah membeli barang dengan tujuan untuk mempengaruhi pergerakan pasar. Dengan demikian ia membeli barang dalam jumlah besar, sehingga mengakibatkan stok barang di pasaran menipis atau langka. Akibatnya masyarakat terpaksa memperebutkan barang tersebut dengan cara menaikkan penawaran atau terpaksa membeli dengan harga tersebut karena butuh.

Contoh jual beli yang mengandung pengelabuan atau penipuan disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no. 102). Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu menunjukkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ.

“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 2: 326. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1058).

4- Terlarang karena sebab lain

a- Jual beli saat shalat jum’at

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ , فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10). Perintah meninggalkan jual beli dalam ayat ini menunjukkan terlarangnya jual beli setelah dikumandangkannya azan Jum’at, yaitu azan kedua.

b- Jual beli di lingkungan masjid

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَقُولُوا: لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُم مَنْ يُنْشِدُ فِيْهِ ضَالَةً فَقُولُوا: لاَ رَدَّ الههُ عَلَيْكَ

“Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya: ‘Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang.’” (HR. Tirmidzi, no. 1321. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Termasuk juga terlarang adalah berjualan di lingkungan masjid yang masih masuk dalam pagar masjid. Hal ini karena para ulama telah menggariskan satu kaidah yang menyatakan,

الْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيْمٌ لَهُ

“Sekelilingnya sesuatu memliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu tersebut.” (Al Asybah wan Nazha-ir, 240, As Suyuthi).

c- Jual beli barang yang nanti digunakan untuk tujuan haram

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya (yakni Buraidah), beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَبَسَ الْعِنَبَ أَيَّامَ الْقِطَافِ حَتَّى يَبِيعَهُ حَتَّى يَبِيعَهُ مِنْ يَهُودِيٍّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ أَوْ مِمَّنْ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَتَّخِذُهُ خَمْرًا فَقَدْ تَقَحَّمَ فِي النَّارِ عَلَى بَصِيرَةٍ

“Siapa saja yang menahan anggur ketika panen hingga menjualnya pada orang yang ingin mengolah anggur tersebut menjadi khomr, maka dia berhak masuk neraka di atas pandangannya” (HR. Thobroni dalam Al Awsath. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

 -bersambung insya Allah-

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Membersihkan Harta Haram (1)

Sebagian kita tidak memperhatikan bagaimana makanan yang ia makan, apakah berasal dari yang halal ataukah haram. Segala cara pun ditempuh demi mendapatkan sesuap nasi. Padahal pekerjaan yang halal sangat penting sekali diperhatikan. Adapun jika kita memiliki harta yang haram, maka mesti dibersihkan.

Pengaruh Harta Haram

1- Harta haram mempengaruhi do’a

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ».

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.’” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (HR. Muslim no. 1015)

Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada Sa’ad,

أطب مطعمك تكن مستجاب الدعوة

Perbaikilah makananmu, maka do’amu akan mustajab.” (HR. Thobroni dalam Ash Shoghir. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if jiddan sebagaimana dalam As Silsilah Adh Dho’ifah 1812)

Ada yang bertanya kepada Sa’ad bin Abi Waqqosh,

تُستجابُ دعوتُك من بين أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ؟ فقال : ما رفعتُ إلى فمي لقمةً إلا وأنا عالمٌ من أين مجيئُها ، ومن أين خرجت .

“Apa yang membuat do’amu mudah dikabulkan dibanding para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya?” “Saya  tidaklah memasukkan satu suapan ke dalam mulutku melainkan saya mengetahui dari manakah datangnya dan dari mana akan keluar,” jawab Sa’ad.

Dari Wahb bin Munabbih, ia berkata,

من سرَّه أنْ يستجيب الله دعوته ، فليُطِب طُعمته

“Siapa yang bahagia do’anya dikabulkan oleh Allah, maka perbaikilah makanannya.”

Dari Sahl bin ‘Abdillah, ia berkata,

من أكل الحلال أربعين يوماً  أُجيبَت دعوتُه

“Barangsiapa memakan makanan halal selama 40 hari, maka do’anya akan mudah dikabulkan.”

Yusuf bin Asbath berkata,

بلغنا أنَّ دعاءَ العبد يحبس عن السماوات بسوءِ المطعم

“Telah sampai pada kami bahwa do’a seorang hamba tertahan di langit karena sebab makanan jelek (haram) yang ia konsumsi.”

Gemar melakukan ketaatan secara umum, sebenarnya adalah jalan mudah terkabulnya do’a. Sehingga tidak terbatas pada mengonsumsi makanan yang halal, namun segala ketaatan akan memudahkan terkabulnya do’a. Sebaliknya kemaksiatan menjadi sebab penghalang terkabulnya do’a.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Melakukan ketaatan memudahkan terkabulnya do’a. Oleh karenanya pada kisah tiga orang  yang masuk dan tertutup dalam suatu goa, batu besar yang menutupi mereka menjadi terbuka karena sebab amalan yang mereka sebut. Di mana mereka melakukan amalan tersebut ikhlas karena Allah Ta’ala. Mereka berdo’a pada Allah dengan menyebut amalan sholeh tersebut sehingga doa mereka pun terkabul.”

Wahb bin Munabbih berkata,

العملُ الصالحُ يبلغ الدعاء ، ثم تلا قوله تعالى : { إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُه }

Amalan sholeh akan memudahkan tersampainya (terkabulnya) do’a. Lalu beliau membaca firman Allah Ta’ala, “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10)

Dari ‘Umar, ia berkata,

بالورع عما حرَّم الله يقبلُ الله الدعاء والتسبيحَ

“Dengan sikap waro’ (hati-hati) terhadap larangan Allah, Dia akan mudah mengabulkan do’a dan memperkanankan tasbih (dzikirsubhanallah).”

Sebagian salaf berkata,

لا تستبطئ الإجابة ، وقد سددتَ طرقها بالمعاص

Janganlah engkau memperlambat terkabulnya do’a dengan engkau menempuh jalan maksiat.” (Dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, 1: 275-276)

2- Rizki halal mewariskan amalan sholeh

Rizki dan makanan yang halal adalah bekal dan sekaligus pengobar semangat untuk beramal shaleh. Buktinya adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thoyyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mu’minun: 51). Sa’id bin Jubair dan Adh Dhohak mengatakan bahwa yang dimaksud makanan yang thoyyib adalah makanan yang halal (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 10: 126).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal sholeh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah pembangkit amal shaleh. Oleh karena itu, para Nabi benar-benar memperhatikan bagaimana memperoleh yang halal. Para Nabi mencontohkan pada kita kebaikan dengan perkataan, amalan, teladan dan nasehat. Semoga Allah memberi pada mereka balasan karena telah member contoh yang baik pada para hamba.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 126).

Bila selama ini kita merasa malas dan berat untuk beramal? Alangkah baiknya bila kita mengoreksi kembali makanan dan minuman yang masuk ke perut kita. Jangan-jangan ada yang perlu ditinjau ulang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْخَيْرَ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ أَوَ خَيْرٌ هُوَ

Sesungguhnya yang baik tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan. Namun benarkah harta benda itu kebaikan yang sejati?”  (HR. Bukhari no. 2842 dan Muslim no. 1052)

3- Rizki halal bisa sebagai pencegah dan penawar berbagai penyakit

Allah Ta’ala berfirman,

وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang hanii’ (baik) lagi marii-a (baik akibatnya).” (QS. An Nisa’: 4).

Al Qurthubi menukilkan dari sebagian ulama’ tafsir bahwa maksud firman Allah Ta’ala “هَنِيئًا مَرِيئًا” adalah, “Hanii’ ialah yang baik lagi enak dimakan dan tidak memiliki efek negatif. Sedangkan marii-a ialah yang tidak menimbulkan efek samping pasca dimakan, mudah dicerna dan tidak menimbulkan peyakit atau gangguan.” (Tafsir Al Qurthubi, 5:27). Tentu saja makanan yang haram menimbulkan efek samping ketika dikonsumsi. Oleh karenanya, jika kita sering mengidap berbagai macam penyakit, koreksilah makanan kita. Sesungguhnya yang baik tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.

4- Di akhirat, neraka lebih pantas menyantap jasad yang tumbuh dari yang haram

Dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

مَنْ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Siapa yang dagingnya tumbuh dari pekerjaan yang tidak halal, maka neraka pantas untuknya.” (HR. Ibnu Hibban 11: 315, Al Hakim dalam mustadroknya 4: 141. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 4519)

-bersambung insya Allah-

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Kewajiban Mencari Rezeki yang Halal

Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta Alam, Dzat Yang Maha Tinggi dengan sifat-sifat-Nya yang mulia dan nama-nama-Nya yang berada pada puncak keindahan. Semoga shalawat dan salam-Nya selalu Ia curahkan keharibaan Rasul-Nya Muhammad, keluarga, sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman.

Mencari rezeki merupakan tuntutan kehidupan yang tak mungkin seseorang menghindar darinya. Seorang muslim tidak melihatnya sekadar sebagai tuntutan kehidupan. Namun ia mengetahui bahwa itu juga merupakan tuntutan agamanya, dalam rangka menaati perintah Allah l untuk memberikan kecukupan dan ma’isyah kepada diri dan keluarganya, atau siapa saja yang berada di bawah tanggung jawabnya.

Dari sinilah seorang muslim bertolak dalam mencari rezeki. Sehingga ia tidak sembarangan dan tanpa peduli dalam mencari rezeki. Tidak pula bersikap materialistis atau ‘Yang penting kebutuhan tercukupi’, ‘Yang penting perut kenyang’ tanpa peduli halal dan haram. Atau bahkan lebih parah dari itu ia katakan seperti kata sebagian orang, ‘Yang haram saja susah apalagi yang halal’.

Sekali-kali tidak! Itu adalah ucapan orang yang tidak beriman. Bahkan yang halal insya Allah jauh lebih mudah untuk didapatkan daripada yang haram. Dengan demikian sebagai seorang muslim yang taat, ia akan memerhatikan rambu-rambu agamanya sehingga ia akan memilah antara yang halal dan yang haram. Ia tidak akan menyuapi dirinya, istri dan anak-anaknya kecuali dengan suapan yang halal. Terlebih di zaman seperti yang disifati oleh Nabi n:

يَأْتِي عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ أَمِنَ الْحَلَالِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ

“Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak peduli apa yang dia ambil, apakah dari hasil yang halal atau yang haram.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan An-Nasa’i dari hadits Abu Hurairah z, Shahih At-Targhib no. 1722)

Suapan yang haram tak lain kecuali akan menyebabkan pemakannya terhalangi dari surga. Diriwayatkan dari Abu Bakr Ash-Shiddiq z, dari Nabi n, beliau bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ جَسَدٌ غُذِيَ بِحَرَامٍ

“Tidak akan masuk ke dalam surga sebuah jasad yang diberi makan dengan yang haram.” (Shahih Lighairihi, HR. Abu Ya’la, Al-Bazzar, Ath-Thabarani dalam kitab Al-Ausath dan Al-Baihaqi, dan sebagian sanadnya hasan. Shahih At-Targhib 2/150 no. 1730)

Oleh karenanya, istri para as-salaf ash-shalih (para pendahulu kita yang baik) bila suaminya keluar dari rumahnya, iapun berpesan:

إِيَّاكَ وَكَسْبَ الْحَرَامِ، فَإِنَّا نَصْبِرُ عَلَى الْجُوْعِ وَلاَ نَصْبِرُ عَلىَ النَّارِ

“Jauhi olehmu penghasilan yang haram, karena kami mampu bersabar atas rasa lapar tapi kami tak mampu bersabar atas neraka.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin)

Tentu mencari yang halal merupakan kewajiban atas setiap muslim, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah t dalam kitabnya Mukhtashar Minhajul Qashidin: “Ketahuilah bahwa mencari yang halal adalah fardhu atas tiap muslim.” Karena demikianlah perintah Allah l dalam ayat-ayat-Nya dan perintah Rasul n dalam hadits-haditsnya. Di antaranya:

ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 168)

As-Sa’di t menafsirkan: “Ini adalah pembicaraan yang ditujukan kepada manusia seluruhnya mukmin maupun kafir, bahwa Allah  l memberikan karunia-Nya kepada mereka yaitu dengan Allah l perintahkan mereka agar memakan dari seluruh yang ada di muka bumi berupa biji-bijian, buah-buahan, dan hewan-hewan selama keadaannya halal. Yakni, dibolehkan bagi kalian untuk memakannya, bukan dengan cara merampok, mencuri, atau dengan cara transaksi yang haram, atau cara haram yang lain, atau untuk membantu yang haram.” (Tafsir As-Sa’di)

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (Al-Ma’idah: 88)

“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (An-Nahl: 114)

“Hai rasul-rasul, makanlah dari ath-thayyibaat, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mu’minun: 51)

Ath-Thayyibaat artinya adalah yang halal. Allah l perintahkan untuk memakan yang halal sebelum beramal.

Di samping perintah untuk mencari yang halal, Allah l dan Nabi-Nya n melarang dan memperingatkan kita dari penghasilan yang haram. Allah l berfirman:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 188)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ: {ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ } وَقَالَ: {ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلىَ السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ؛ وَمَطَعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَام، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik, dan sungguh Allah l perintahkan mukminin dengan apa yang Allah l perintahkan kepada para Rasul, maka Allah l berfirman: ‘Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’ dan berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.’ Lalu Nabi n menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya kusut masai, tubuhnya berdebu, ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berucap: ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, disuapi gizi yang haram, bagaimana mungkin doanya terkabul?” (HR. Muslim dan At-Tirmidzi)

Dari Abdullah bin Amr c, bahwa Rasulullah n bersabda:

أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيْكَ فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيْثٍ، وَحُسْنُ خَلِيْقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِي طَعْمَةٍ

“Empat perkara bila keempatnya ada padamu maka tidak mengapa apa yang terlewatkanmu dari perkara duniawi: menjaga amanah, ucapan yang jujur, akhlak yang baik, dan menjaga (kehalalan) makanan.” (Shahih, HR. Ahmad dan Ath-Thabarani dan sanad keduanya hasan, Shahih At-Targhib no. 1718)

Ath-Thabarani t juga meriwayatkan dari Abu Thufail dengan lafadz:

مَنْ كَسَبَ مَالاً مِنْ حَرَامٍ فَأَعْتَقَ مِنْهُ وَوَصَلَ مِنْهُ رَحِمَهُ كَانَ ذَلِكَ إِصْرًا عَلَيْهِ

“Barangsiapa mendapatkan harta yang haram lalu ia membebaskan budak darinya dan menyambung silaturrahmi dengannya maka itu tetap menjadi beban atasnya.” (Hasan lighairihi. Shahih Targhib, 2/148 no. 1720)

Dari Al-Qasim bin Mukhaimirah z ia berkata bahwa Rasulullah n bersabda:

مَنِ اكْتَسَبَ مَالًا مِنْ مَأْثَمٍ فَوَصَلَ بِهِ رَحِمَهُ أَوْ تَصَدَّقَ بِهِ أَوْ أَنْفَقَهُ فِي سَبِيلِ اللهِ، جَمَعَ ذَلِكَ كُلَّهُ جَمِيعًا فَقُذِفَ بِهِ فِي جَهَنَّمَ

“Barangsiapa mendapatkan harta dengan cara yang berdosa lalu dengannya ia menyambung silaturrahmi atau bersedekah dengannya atau menginfakkannya di jalan Allah, ia lakukan itu semuanya maka ia akan dilemparkan dengan sebab itu ke neraka jahannam.” (Hasan lighairihi, HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Marasiil, lihat Shahih At-Targhib, 2/148 no. 1721)

Abdullah bin Mas’ud z juga pernah menyampaikan pesan Rasulullah n:

اسْتَحْيُوا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ. قال: قلنا: يَا نَبِيَّ اللهِ، إِنَّا لَنَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ لِلهِ. قَالَ: لَيْسَ ذَلِكَ، وَلَكِنَّ الْاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى، وَتَحْفَظَ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى، وَتَذْكُرَ الْمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

“Hendaklah kalian malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” Kami (para sahabat) berkata: “Wahai Nabiyullah, kami punya rasa malu kepada Allah, alhamdulillah.” Beliau berkata: “Bukan itu, akan tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah kamu jaga kepala dan apa yang diliputinya (yakni lisan, mata, telinga), kamu jaga (isi) perutmu (yakni dari yang haram) dan jaga yang bersambung dengannya, kamu ingat kematian dan kehancuran. Barangsiapa yang menghendaki akhirat tentu dia tinggalkan perhiasan dunia. Siapa saja yang melakukan itu semua, berarti dia telah malu dari Allah dengan sebenar-benarnya.” (Hasan lighairihi, HR. At-Tirmidzi, Shahih At-Targhib: 2/149 no. 1724)

Keutamaan Memakan dari Hasil Tangan Sendiri

Allah l telah memberikan kepada kita karunia-Nya, berupa kesempatan, sarana dan prasarana untuk mencukupi kebutuhan kita. Allah l menjadikan waktu siang agar kita gunakan untuk mencari penghidupan. Allah l berfirman:

“Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (An-Naba’: 11)

Allah l pun menjadikan di muka bumi ini ma’ayisy, sarana-sarana penghasilan yang beraneka ragam yang dengannya seseorang dapat memenuhi kebutuhannya, walaupun sedikit dari mereka yang menyadari dan mensyukurinya.

“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.” (Al-A’raf: 10)

Untuk itulah Allah l mempersilakan kita untuk berkarya dan berwirausaha dalam mencari karunia Allah l.

”Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (Al-Baqarah: 198)

Karena demikian terbukanya peluang untuk kita, maka Nabi n pun menganjurkan kepada kita:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ

”Bersemangatlah untuk sesuatu yang bermanfaat buatmu.” (Shahih, HR. Muslim)

Yakni bermanfaat baik dalam urusan akhirat maupun dunia.

Sehingga seseorang hendaknya bersemangat untuk mencari kecukupannya dengan tangan sendiri. Itulah sebaik-baik penghasilan yang ia makan. Jangan menjadi beban bagi orang lain dengan selalu bergantung kepadanya. Demikianlah yang dilakukan para pendahulu kita termasuk para sahabat bahkan para Nabi.

Al-Munawi t dalam bukunya Faidhul Qadir mengatakan: “Mencari penghasilan dengan bekerja adalah sunnah para Nabi. Dari Miqdam bin Ma’dikarib z dari Nabi n, beliau bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidaklah seorangpun memakan makanan sama sekali yang lebih bagus dari memakan dari hasil kerja tangannya sendiri dan Nabiyyullah Dawud dahulu memakan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)

Nabi Muhammad n menyebut Nabi Dawud q secara khusus bukan Nabi yang lain, karena Nabi Dawud q adalah seorang khalifah di muka bumi, yang sebenarnya tidak butuh untuk berusaha sendiri. Namun demikian, hal itu tidak menghalangi beliau untuk melakukan yang paling utama. Demikian dijelaskan Ibnu Hajar t (Fathul Bari, 4/306).

Demikian pula halnya Nabi Zakariyya q. Beliau adalah seorang tukang kayu. Nabi n menyebutkan:

كَانَ زَكَرِيَّاءُ نَجَّارًا

“Zakariyya adalah seorang tukang kayu.” (Shahih, HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah z)

Hadits ini menunjukkan keutamaan beliau, sebagaimana ungkap Al-Imam An-Nawawi t. Karena beliau dengan itu makan dari hasil kerjanya sendiri. Keadaannya sebagai nabi tidak menghalanginya untuk berprofesi sebagai tukang kayu. Bahkan dengan itu, beliau memberi contoh kepada umat. Nabi n juga bersabda:

لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حِزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيهِ أَوْ يَمْنَعُهُ

”Salah seorang di antara kalian mencari/mengambil seikat kayu bakar di atas punggungnya lebih baik atasnya daripada meminta-minta seseorang lalu orang itu memberinya atau (mungkin) tidak memberinya.” (Shahih, HR. Al-Imam Malik, Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i dari sahabat Abu Hurairah z)

Dalam hadits lain:

”Lalu ia menjual kayu bakar itu sehingga dengannya Allah l lindungi wajahnya (yakni dari kehinaan), maka lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia. Mereka mungkin memberi atau tidak.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)

Dari Sa’id bin ’Umair, dari pamannya ia berkata:

سُئِلَ رَسُولُ اللهِ n: أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِه،ِ وَكُلُّ كَسْبٍ مَبْرُورٍ

Rasulullah n ditanya: ”Penghasilan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab: ”Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua penghasilan yang mabrur (diterima di sisi Allah).” (Shahih Lighairihi, HR. Al Hakim. Shahih At-Targhib: 2/141 no. 1688)

Nabi n juga menyebutkan bahwa seorang yang bekerja untuk anaknya dan memenuhi kebutuhan orang yang berada dalam tanggungannya berarti dia berada di jalan Allah l. Dalam hadits dari Ka’b bin ‘Ujrah, ia berkata:

مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ n رَجُلٌ فَرَأَى أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ n مِنْ جَلَدِهِ وَنَشَاطِهِ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيْرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ

Seseorang telah melewati Nabi n maka para sahabat Nabi melihat keuletan dan giatnya, sehingga mereka mengatakan: “Wahai Rasulullah, seandainya ia lakukan itu di jalan Allah l.” Maka Rasulullah n bersabda: “Bila ia keluar (rumah) demi mengusahakan untuk anak-anaknya yang kecil maka ia berada di jalan Allah. Bila ia keluar demi mengusahakan untuk kedua orangtuanya yang telah berusia lanjut maka ia berada di jalan Allah. Bila dia keluar demi mengusahakan untuk dirinya sendiri agar terjaga kehormatannya maka ia berada di jalan Allah. Namun bila dia keluar dan berusaha untuk riya’ (mencari pujian orang) atau untuk berbangga diri, maka ia berada di jalan setan.” (Shahih lighairihi, HR. At-Thabarani. Shahih At-Targhib, 2/141 no. 1692)

Al-Imam Ahmad t ditanya: “Apa pendapatmu tentang seseorang yang duduk di rumahnya atau di masjidnya, dan berkata: ‘Saya tidak akan bekerja apapun sampai rezekiku nanti datang’.” Beliau menjawab: “Orang ini tidak tahu ilmu. Tidakkah dia mendengar sabda Nabi: ‘Allah jadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku’ dan beliau bersabda ketika menyebutkan burung: ‘Pergi waktu pagi dengan perut kosong dan pulang waktu sore dengan perut kenyang’. Dahulu para sahabat Nabi berdagang baik di darat maupun di laut. Mereka juga bertani di kebun korma mereka. Mereka adalah teladan.”

(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi)

Asy Syariah