Masalah Menumpuk ? Kembali lah Pada-Nya !

Allah Swt berfirman :

وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَىٰ رَبِّي سَيَهْدِينِ

Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. (QS.as-Shaffat:99)

Jika engkau mengharapkan hidayah, janganlah engkau menoleh ke kanan dan kiri tapi pergilah menuju Allah Swt. Karena hanya Penciptamu yang mampu memberi hidayah padamu.

الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ

(yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku. (QS.as-Syuara:78)

Hidayah tidak akan turun kepada orang yang tidur dan bermalas-malasan, namun hidayah akan turun kepada orang yang bergerak dan mencari Tuhannya.

قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”. (QS.al-Baqarah:142)

Jika kau merasa hidupmu sempit dan penuh kegelisahan maka pergilah menuju Tuhanmu, karena segala sesuatu berada dibawah kekuasaan-Nya.

Ingatlah Nabi Musa as ketika terjepit di antara kejaran pasukan Fir’aun dan dihadapannya lautan yang ganas, beliau hanya berkata (seperti yang di abadikan dalam Al-Qur’an.

قَالَ كَلَّا ۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ

Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (QS.asy-Syuara:62)

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ISLAM

Mau Masuk Surga? Janganlah Iri dan Hasad

Diriwayatkan dari Anas bin Malik dia berkata, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau bersabda, Sebentar lagi akan datang seorang laki-laki penghuni surga.”


Tak lama seorang laki-laki dari Anshar lewat di hadapan mereka sementara bekas air wudhu masih membasahi jenggotnya, sedangkan tangan kirinya menenteng sandal.

Esok harinya Nabi SAW bersabda lagi, Akan lewat di hadapan kalian seorang laki-laki penghuni surga. Kemudian muncul lelaki kemarin dengan kondisi persis seperti hari sebelumnya. Demikian pula esok harinya lagi Rasulullah SAW kembali bersabda,” Akan lewat di hadapan kalian seorang lelaki penghuni surge. “

Tidak berapa lama kemudian orang itu masuk sebagaimana kondisi sebelumnya; bekas air wudhu masih memenuhi jenggotnya, sedangkan tangan kirinya menenteng sandal .

Setelah itu Rasulullah bangkit dari tempat duduknya. Sementara Abdullah bin Amr bin Ash mengikuti lelaki tersebut, lalu ia berkata kepada lelaki tersebut, “Aku sedang punya masalah dengan orang tuaku, aku berjanji tidak akan pulang ke rumah selama tiga hari. Jika engkau mengizinkan, maka aku akan menginap di rumahmu untuk memenuhi sumpahku itu.”

Laki-laki itu menjawab, “Silakan.”

Anas berkata bahwa Amr bin Ash setelah menginap tiga hari tiga malam di rumah lelaki tersebut, tidak pernah mendapatinya sedang qiyamul lail. Hanya saja setiap kali terjaga dari tidurnya ia membaca zikir dan takbir hingga menjelang subuh. Kemudian mengambil air wudhu.



Abdullah juga mengatakan, “Saya tidak mendengar ia berbicara, kecuali yang baik.”

Setelah menginap tiga malam, saat hampir saja Abdullah menganggap remeh amal laki-laki itu, Abdullah berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya aku tidak sedang bermasalah dengan orang tuaku. Hanya saja aku mendengar Rasulullah selama tiga hari berturut-turut di dalam satu majelis beliau bersabda, “Akan lewat di hadapan kalian seorang lelaki penghuni Surga.” Setiap kali beliau usai bersabda, kaulah orang yang muncul tiga kali berturut-turut. Terang saja, aku menginap di rumahmu ini karena ingin tahu amalan apa yang engkau lakukan agar aku dapat mengikuti amalanmu. Sejujurnya aku tidak melihatmu mengerjakan amalan yang berpahala besar. Sebenarnya amalan apakah yang engkau kerjakan sehingga Rasulullah berkata demikian?”

Kemudian lelaki Anshar itu menjawab,”Sebagaimana yang kamu lihat, aku tidak mengerjakan amalan apa-apa. Hanya saja aku tidak pernah mempunyai rasa iri kepada sesama muslim atau hasad terhadap kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya.”

Abdullah bin Amr berkata, Rupanya itulah yang menyebabkan kamu mencapai derajat itu, sebuah amalan yang kami tidak mampu melakukannya.” []
Sumber: Az-Zuhdu, Ibnul Mubarak, hal. 220

INILAH MOZAIK

Ini 8 Manfaat Puasa Menurut Ulama

Diantara rukun-rukun Islam yang diwajibkan bagi semua orang Islam adalah puasa, kewajiban itu sebagaimana difirmankan oleh Allah swt dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183. Selain itu, manfaat puasa juga sangat banyak menurut ulama. Terkait kewajiban puasa, Allah Swt. berfirman:

ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan bagimu berpuasa sebagaimana di wajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu betakwa”. (QS. Al-Baqarah: 183)

Pengertian Puasa

Secara bahasa, puasa berarti menahan. Sementara menurut terminologi, puasa adalah melakukan ibadah dengan niat mendekatkan diri pada Allah, menahan diri dari makan dan minum serta dari semua hal yang bisa membatalkan puasa. Puasa dilakukan sejak terbitnya fajar kedua (fajar shodiq) sampai terbenamnya matahari, dilakukan oleh orang tertentu, dengan syarat dan rukun tertentu.

Manfaat Puasa dan penjelasannya

Puasa sebenarnya tidak hanya tentang menahan diri dari makan dan minum, lebih dari itu puasa bisa merefleksi diri dari dan menumbuhkan sisi spiritual, berikut tujuh manfaat yang di dapatkan sebab melakukan puasa sebagaimana yang di dampaikan oleh Syaikh Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab Maqasid al-Shaum,

  1. Raf’u al-Darajat (Meninggikan Derajat)

Orang yang melakukan puasa akan di angkat derajatnya oleh Allah swt. Diangkatnya derajad ini di dasari oleh beberapa Hadist Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam, diantara hadist tersebut adalah:

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ

“Ketika bulan Ramadhan telah datang, maka pintu-pintu syurga di buka, pintu-pintu neraka di tutup, dan setan-setan di belenggu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Sulthanul Ulama Syaikh Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab Maqasid al-Ibadah menjelaskan maksud dari di bukanya syurga, di tutupnya pintu neraka, dan setan-setan di belenggu, beliau mengatakan:

أما تفتيح أبواب الجنة فعبارة عن تكثير الطاعات الموجبة لفتح أبواب الجنان. وتغليق أبواب النار عبارة عن قلة المعاصي الموجبة لاغلاق أبواب النيران. وتصفيد الشياطين عبارة عن انقطاع وسوستهم عن الصائمين لأنهم لا يطمعون في اجابتهم الى المعاصي.

Adapun yang dimaksud terbukanya pintu syurga pada bulan Ramadhan adalah, sebuah perumpamaan dari banyaknya keta’atan, yang bisa menjadi penyebab terbukanya pintu-pintu syurga.

Yang dimaksud di tutupnya pintu neraka adalah perumpamaan dari sedikitnya maksiat (pada bulan Ramadhan), yang menjadi penyebab tertutupnya pintu neraka.

Sedangkan maksud dari terbelenggunya syaitan adalah, perumpamaan dari terlepasnya orang-orang yang sedang melakukan puasa dari bisikan-bisikan syaitan, sebab orang yang puasa tidak akan terlalu ambisi untuk melakukan maksiat. (Lihat Syaikh Izzuddin, Maqasidul Ibadat, hlm. 38)

  1. Takfir al-Khati’at (Menghapus Kesalahan)

Orang yang melakukan puasa akan dihapus dosanya oleh Allah swt. Dasar Faidah kedua ini adalah hadist Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam yaitu:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)

Yang dimaksud “imanan-karena iman” dalam hadist diatas ialah meyakini kewajiban puasa dan melakukannya. Dan maksud dari “Ihtisaban-mengharap pahal” ialah merendahkan diri dan memohon pahala pada Allah swt. (Lihat Syaikh Izzuddin, Maqasidul Ibadat, hlm. 40)

  1. Kasr al-Syahwat (Menetralisasi Syahwat)

Dengan berpuasa seseorang bisa menetralisasi syahwatnya. Dasar Faidah ini adalah hadist Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam yaitu:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَة فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih mudan menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, karena puasa bisa menjadi penekan syahwatnya”. (HR. Imam Ahmad dan Imam Bukhari)

Dengan hadist di atas Imam Izzuddin berpendapat bahwa lapar dan haus bisa mengancurkan atau mengalahkan syahwat. Beliau mengatakan:

فان الجوع والظمأ يكسران شهوات المعاصي

“Sesungguhnya lapar dan haus bisa menghancurkan syahwat untuk bermaksiat”. (Lihat Syaikh Izzuddin, Maqasidul Ibadat, hlm. 40)

  1. Taktsir al-Sadaqat (Memerbanyak Sodakoh)

Menurut Imam Izzuddin al-Sulami, dengan berpuasa seseorang bisa membuat manusia memperbanyak Sodakoh. Beliau mengatakan,

لأن الصائم اذا جاع تذكّر ما عنده من الجوع فحثه ذلك على اطعام الجائع

“Karena sesungguhnya orang berpuasa ketika merasakan lapar, dia akan mengingat rasa lapar itu. Dengan itulah akan memberikan semangat dan dorongan kepadanya untuk memberi makan pada orang yang lapar”. (Syaikh Izzuddin bin Abdissalam, Maqasidul Ibadat, hlm. 41).

  1. Taufir al-Tha’at (Menyempurnakan Ketaatan)

Dengan berpuasa seseorang bisa lebih terdorong untuk memperbanyak ketaatan. Sebagaimana yang di sampaikan oleh Syaikh Izzuddin bahwa manfaat memperbanyak melakukan ketaatan itu di dasari oleh rasa lapar dan haus orang berpuasa akan mengingatkan mereka pada lapar dan hausnya ahli neraka. Beliau mengatakan:

وأما توفير الطاعات فلأنه تذكر جوع أهل النار وظمأهم فحثه ذلك على تكثير الطاعات لينجو بها من النار

“Faidah memperbanyak ketaatan bagi orang berpuasa disebabkan karena dengan puasa mengingatkan kelaparan dan hausnya ahli neraka. Dengan itulah akan memberikan semangat dan dorongan kepadanya untuk memperbanyak melakukan ketaatan kepada Allah swt agar bisa selamat dari api neraka”. (Syaikh Izzuddin bin Abdissalam, Maqasidul Ibadat, hlm. 41)

  1. Syukr Alim al-Khafiyyat (Bersyukur Mengetahui Nikmat Tersembunyi)

Dengan berpuasa seseorang bisa ingat terhadap nikmat tersembunyi yang sering dilupakan. Sebagaimana yang di sampaikan oleh Syaikh Izzuddin bahwa puasa bisa mengembalikan ingatan itu sehingga bisa membuat orang puasa mensyukurinya. Beliau mengatakan:

اذا صام عرف نعمة الله عليه في الشبع والري فشكرها لذلك فان النعم لايعرف مقدارها الا بفقدها

“Ketika berpuasa, seseorang menjadi tahu nikmat Allah swt kepadanya berupa kenyang dan terpenuhinya rasa haus, sehingga mereka bersyukur. Sebab, kenikmatan tidak akan diketahui nilainya tanpa melalui hilangnya rasa nikmat itu”. (Syaikh Izzuddin bin Abdissalam, Maqasidul Ibadat, hlm. 41)

  1. Al-Inzijar an Khawatir al-Ma’ashi wa al-Mukhalafat (Mencegah Keinginan Bermaksiat dan Tentangan)

Dengan berpuasa seseorang bisa mencegah dirinya dari melakukan maksiat dan sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Menurut pandangan Syaikh Izzuddin bahwa berpuasa memiliki rasa kecenderungan terhadap makanan dan minuman, yang di pikirkan hanylah tentang makanan dan minuman, dan dengan keadaan seperti ini, orang yang berpuasa minim kemungkinan untuk berpikir tentang maksiat, sehingga secara otomatis puasa menjadi salah satu penyebab pencegah dari melakukan maksiat.

Jika ditanya, apa manfaat dari berpikir tentang makanan dan minuman ketika puasa?

Syaikh Izzuddin bin Abdissalam menjawab pada penjelasan selanjutnya,

وطموح النفس الى المناجات واشتغالها بها خير من تشوفها الى المعاصي والزلات ولذلك قدم بعض السلف الصوم على سائر العبادات. فسئل غن ذلك فقال لأن يطلع الله على نفسي وهي تنازعني الى الطعام والشراب أحب الي من أن يطلع عليها وهي تنازعني الى معصيته.

Keinginan jiwa terhadap munajat serta sibuk dengannya, lebih baik dari keinginan terhadap melakukan kemaksiatan dan kesalahan, oleh sebab itu sebagian Ulama salaf lebih mengedepankan puasa dari ibadah yang lain.

Ketika ditanya tentang hal itu (mengedepankan puasa dari ibadah yang lain), Ulama salaf menjawab, “sebab ketika Allah melihat terhadap jiwaku yang sedang mengajak terhadap makanan dan minuman, lebih saya senangi di banding Allah melihat jiwaku yang sedang mengajak pada kemaksiatan”. (Syaikh Izzuddin bin Abdissalam, Maqasidul Ibadat, hlm. 41)

BINCANG SYARIAH

Teror Kaum Neo Khawarij, Kanker Ganas di Tubuh Umat Islam?

Serangan teror yang terjadi adalah manivestasi pemikiran Khawarij era klasik

Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa semua perintah di dalam agama dilengkapi dengan tata cara pelaksanaannya, baik perintah itu bersifat wajib maupun sunnat. Mereka hanya berbeda pendapat tentang apakah tata cara pelaksanaan perintah itu datang bersamaan dengan perintah, lebih dulu, atau belakangan.  Umar bin Abdul Azis mengatakan siapapun yang bergegas melaksanakan perintah tanpa belajar dulu tata cara pelaksanaannya, maka dia akan lebih banyak membuat kerusakan daripada kebaikan.  

Jihad, tablig, menegakkan hukum Allah SWT, menegakkan keadilan, mencegah kemunkaran, semua adalah perintah agama. Siapapun yang hendak menjalankan perintah tersebut harus belajar dulu tata cara pelaksanaannya dengan benar.  

Para ulama sejak zaman salaf saleh selalu mengingatkan tentang hubungan amal perbuatan dan ibadah yang benar dengan etika dan ilmu. Dalam Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah mengutip para ulama yang mengatakan bahwa ilmu hanya bisa didapatkan dengan adab, dan ibadah hanya akan sah jika didasari ilmu.  

Putra Imam Ahmad bin Hanbal menyampaikan wasiat dari ayahnya, yaitu Imam Ahmad, dari Imam Syafi’i, dari Imam Malik, yang mengatakan siapapun tidak boleh mempelajari ajaran agama Islam hanya melalui bacaan, catatan, atau kitab. Dia harus mempelajarinya dari seorang guru yang juga memiliki guru dengan silsilah jalur transmisi keilmuan yang muttashil sampai generasi para sahabat.  

Mereka yang hanya belajar agama dari catatan atau buku, disebut sebagai kaum suhufi dan mushafi. Sejak zaman salaf saleh, orang yang demikian ini dianggap daif, atau tidak valid keilmuannya dan tidak boleh diambil pendapatnya. 

Dari sini kita bisa memahami kenapa di kalangan Ahlussunnah wal-Jama’ah hanya empat mazhab yang terus diajarkan sampai saat ini, padahal Imam Bukhari, setelah lama bermazhab Syafi’i dan belajar Mazhab Hanafi, dia berhasil mencapai derajat mujtahid muthlaq dan memiliki mazhab sendiri. Mazhab Imam Bukhari, Imam Laits, Sufyan Al-Tsauri, dan lain-lain tidak diajarkan sebagai mazhab yang baku hari ini karena pemahaman Islam mereka yang juga benar itu, tidak diajarkan di setiap generasi oleh para guru.  

Imam Muslim dan Imam Baihaqi yang ahli hadis dan hafal Alquran itu sampai meninggal dunia memahami dan mengamalkan ajaran Islam dengan cara mengikuti Madzhab Syafi’i. Dalam catatan Ibnu Hajar dan ibnu Taimiyah, kebanyakan ahli hadis yang juga hafal Alquran itu tetap bermazhab, kecuali Abu Dawud dan Imam Bukhari.  

Mayoritas umat Islam yang disebut dengan kelompok Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengikuti etika berislam seperti ini sehingga tetap selamat di atas jalan yang benar. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa di antara mereka ada yang menjadi mujtahid, tetapi sebelum sampai pada derajat mujtahid itu, mereka juga mengaji dan mempelajari ajaran agama melalui guru-guru yang benar. 

Ada pula yang tetap berada pada level taqlid, dan ini adalah kelompok mayoritas. Mereka juga sah ibadahnya. Lalu ada sebagian ulama yang mumpuni keilmuannya tetapi tidak sampai derajat mujtahid. Ibnu Taimiyah menyebutnya dengan kelompok muttabi’. 

Di luar kelompok ini ada kaum muda, dalam artian muda usia maupun muda pemahaman agamanya, yang di dalam catatan sejarah Islam selalu membuat kegaduhan dan kerusakan. Mereka tidak peduli pada silsilah transmisi keilmuan melalui jalur sanad yang ketat. Mereka sangat semangat memurnikan Islam dan menegakkan keadilan serta hukum Allah SWT, tetapi tidak memiliki ilmu dan pemahaman yang benar. Mereka inilah yang kemudian diidentifikasi sebagai kaum Khawarij.   

Golongan ini selalu merasa lebih sholih, lebih benar, dan lebih baik Islamnya dibandingkan dengan siapapun. Dalam hadis-hadits tentang Khawarij disebutkan bahwa pemuka Khawarij bahkan merasa lebih adil dari Rasulullah SAW, merasa lebih saleh dan lebih baik dari Abu Bakar, Umar, dan para sahabat lain. 

Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, mereka melakukan aksi politik besar pertama pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, meskipun yang terkenal adalah ketika mereka melakukan perlawanan terhadap Ali bin Abi Thalib.  

Ibnu Katsir mengatakan bahwa demonstran Khawarij yang membunuh Utsman bin Affan itu adalah kaum baru Islam, bukan para sahabat Rasulullah. Mereka menuduh Ustman dengan tuduhan tidak menegakkan keadilan, melakukan nepotisme, dan tidak menegakkan syariat Islam dengan benar. Seandainya mereka memahami ajaran Islam dengan baik, mereka tidak akan menuduh Utsman bin Affan, menantu Rasulullah yang dijamin masuk surga itu dengan tuduhan-tuduhan keji.  

Ketika mereka melawan Ali bin Abi Thalib dan pasukannya, mereka juga merasa sebagai orang-orang yang menegakkan keadilan dan hukum Allah. Mereka menuduh Ali bin Abi Thalib sebagai orang yang tidak mnegakkan hukum dan syariat Allah. Padahal Ali bin Abi Thalib yang juga dijamin masuk surga itu tentu jauh lebih paham tentang ajaran Islam daripada mereka. 

Dari sini kita juga paham kenapa kaum Khawarij hari ini, yang disebut Syekh Ali Jumah dan para ulama Al Azhar Mesir sebagai Khawariju al-‘Ashr atau Neo Khawarij, begitu mudah membunuh, menteror, dan menyakiti orang. Jangankan non-Muslim, sesama orang Islampun mereka bunuh dan mereka teror. Itulah yang dilakukan Alqaeda, ISIS, JAD, dan ratusan kelompok Neo Khawarij lainnya.  

Khawarij sebagai sebuah mazhab hanya tersisa kelompok Ibadhiyah yang saat ini dianut oleh sekelompok kecil umat Islam di salah satu negara Teluk. Tetapi sebagai sikap beragama, kaum Khawarij ini berada di mana-mana. Meskipun mereka sendiri terkadang tidak menyadari dan mengklaim bahwa perilakunya dalam beragama dan berpolitik sama persis dengan ajaran kaum Khawarij.  

Hadits-hadits mengenai kelompok dan perilaku kaum Khawarij ini sangat banyak jumlahnya. Para ulama juga mengakui validitas hadits-hadits tersebut. Dan Rasulullah menyebutkan bahwa Khawarij adalah seburuk-buruknya manusia. Di dunia ini banyak manusia keji, tetapi Rasulullah menyebut Khawarij sebagai makhluk paling buruk, bukan lainnya.  

Rasulullah menyebut ciri-ciri kaum Khawarij yang sangat rajin beribadah, yang jika para sahabat beliau membandingkan ibadah mereka dengan ibadah kaum Khawarij, para sahabat nabi pun merasa kalah rajin. Kaum Khawarij juga sangat fanatik dengan Alquran, tetapi tidak paham ajaran Islam dalam Alquran, sehingga mereka suka mengacungkan senjata kepada sesama Muslim sambil menuduh mereka dengan tuduhan musyrik atau tuduhan kafir.  

Mereka rajin membaca Alquran, tetapi hanya lewat kerongkongan mereka saja, tidak masuk ke dalam hati. Bahkan Rasulullah menyebutkan bahwa Islam keluar dari dada mereka seperti anak panah yang melesat dari busur dan menembus binatang buruan.

Ali bin Abi Thalib pernah meminta Ibnu Abbas untuk berbicara dengan kaum Khawarij dan memberi penjelasan tentang ayat-ayat Alquran serta ajaran Islam yang dipahami secara salah oleh mereka. Sekali datang, Ibnu Abbas pernah membuat delapan ribu orang Khawarij taubat.  

Kaum Khawarij yang tersisa dan terus melawan Ali bin Abi Thalib kemudian diperangi Ali dan pasukannya. Saat itu, Ali dan pasukannya sedang bersiap untuk berangkat perang melawan kafir harbi. Tetapi Ali memutuskan untuk mendahulukan memerangi kaum Khawarij yang saleh, khusyuk, dan anti maksiat itu terlebih dahulu. Kesalehan, kekhusyukan, dan ghirah Islam yang tinggi tanpa didasari ilmu dan pemahaman Islam yang benar, selalu menjadi masalah sejak masa Rasulullah.  

Dalam mukadimah Syarah Muslim karya Imam Nawawi maupun Syarah ‘Ilal al-Tirmidzi karya Ibnu Rajab, disebutkan bahwa orang-orang khusyuk, saleh, dan zuhud tetapi tidak berilmu, menjadi musuh bersama para ahli hadits dan para ulama karena mereka mengacaukan ajaran agama Islam. Sebagian ada yang menjadi Khawarij, sebagian lagi menjadi penyebab kesesatan dan kerancuan ajaran Islam.  

Rasulullah tidak mengkafirkan kaum Khawarij, meskipun menyebut mereka sebagai makhluk terburuk. Ali bin Abi Thalib menyebut mereka orang-orang tersesat, tetapi tidak mengkafirkan mereka. Al Azhar Mesir juga tidak mengkafirkan Khawarij ISIS. Bagaimanapun, mereka itu beragama Islam. Mereka itu tersesat. Mereka adalah penyakit, layaknya kanker. Dan penyakit itu ada di dalam tubuh kita, umat Islam.     

Rasulullah  SAW memberitahukan kepada kita umat Islam, bahwa kaum Khawarij itu akan selalu ada sampai akhir dunia.  Mereka bisa menjelma menggunakan nama apa saja. Berupa kelompok teror maupun kelompok politik radikal. Mereka menjadi bagian dari ujian umat Islam.

Tugas dan kewajiban kita adalah berusaha menghentikan kejahatan dan kekejian mereka, melalui usaha-usaha pengajaran yang benar maupun tindakan-tindakan tegas dan pendekatan keamanan. Seperti yang dilakukan Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas.  

Tetapi jika kita tidak mengakui bahwa penyakit bernama Khawarij itu ada di dalam tubuh umat kita, maka usaha menangani penyakit itu juga akan semakin sulit. Bagaimana kita akan mengobati suatu penyakit, jika penyakit itu tidak diakui keberadaannya. Padahal yang menyebutkan keberadaan penyakit itu adalah Rasulullah SAW sendiri. 

Bibit radikalisme adalah ideologi dan ajaran yang salah. Bukan ketidakadilan yang ada dalam persepsi kaum Khawarij. Apakah kita akan membenarkan tindakan kaum Khawarij yang membunuh Utsman bin Affan karena mereka merasa ada masalah ketidak-adilan? Wallahu A’lam. 

Oleh Ali Mashar Lc MSi, Sekretaris PP MDS Rijalul Ansor  

KHAZANAH REPUBLIKA

Siapakah Tokoh Di Balik Radikalisme dan Terorisme?

Dunia internasional secara umum dan negeri-negeri Islam secara khusus, telah digegerkan oleh ulah segelintir orang yang menamakan dirinya sebagai pejuang kebenaran. Dahulu, banyak umat Islam yang merasa simpatik dengan ulah mereka, karena sasaran mereka adalah orang-orang kafir, sebagaimana yang terjadi di gedung WTC pada 11 September 2001. Akan tetapi, suatu hal yang sangat mengejutkan, ternyata sasaran pengeboman dan serangan tidak berhenti sampai di situ. Sasaran terus berkembang, sampai akhirnya umat Islam pun tidak luput darinya. Kasus yang paling aktual ialah yang menimpa Pangeran Muhammad bin Nayif Alus Sa’ûd, Wakil Menteri Dalam Negeri Kerajaan Saudi Arabia.

Dahulu, banyak kalangan yang menuduh bahwa pemerintah Saudi berada di belakang gerakan tidak manusiawi ini. Mereka menuduh bahwa paham yang diajarkan di Saudi Arabia telah memotivasi para pemuda Islam untuk bersikap bengis seperti ini. Akan tetapi, yang mengherankan, tudingan ini masih juga di arahkan ke Saudi, walaupun telah terbukti bahwa pemerintah Saudi termasuk yang paling sering menjadi korbannya?

Melalui tulisan ini, saya mengajak saudara sekalian untuk menelusuri akar permasalahan sikap ekstrim dan bengis yang dilakukan oleh sebagian umat Islam ini. Benarkah ideologi ini bermuara dari Saudi Arabia?

Harian “Ashsharqul-Ausat” edisi 8407 tanggal 4/12/2001 M – 19/9/1422 H menukil catatan harian Dr. Aiman al-Zawâhiri, tangan kanan Usâmah bin Lâdin. Di antara catatan harian Dr Aiman al-Zawâhiri yang dinukil oleh harian tersebut ialah:

أَنَّ سَيِّدَ قُطُبٍ هُوَ الَّذِيْ وَضَعَ دُسْتُوْرَ التَّكْفِيْرِييِْنَ الْجِهَادِيِيْنَ) فِيْ كِتَابِهِ الدِّيْنَامِيْتِ مَعَالِمَ عَلَى الطَّرِيْقِ، وَأَنَّ فِكْرَ سَيِّدٍ هُوَ (وَحَدَهُ) مَصْدَرُ اْلأَحْيَاءِ اْلأُصُوْلِيْ، وَأَنَّ كِتَابَهُ الْعَدَالَةَ اْلاِجْتِمَاعِيَّةَ فِيْ اْلإِسْلاَمِ يُعَدُّ أَهَمَّ إِنْتَاجٍ عَقْلِيٍّ وَفِكْرِيٍّ لِلتَّيَّارَاتِ اْلأُصُوْلِيَّةِ، وَأَنْ فِكْرَ سَيِّدٍ كاَنَ شَرَارَةَ الْبَدْءِ فِيْ إِشْعَالِ الثَّوْرَةِ (الَّتِيْ وَصَفَهَا بِاْلإِسْلاَمِيَّةِ) ضِدَّ (مَنْ سَمَّاهُمْ) أَعْدَاءَ اْلإِسْلاَمِ فِيْ الدَّاخِلِ وَالْخَارِجِ، وَالَّتِيْ مَا زَالَتْ فَصُوْلُهَا الدَّامِيَةُ تَتَجَدَّدُ يَوْماً بَعْدَ يَوْمٍ

“Sesungguhnya Sayyid Quthub dalam kitabnya yang bak bom waktu “Ma’âlim Fî At-Tharîq’ meletakkan undang-undang pengkafiran dan jihad. Gagasan-gagasan Sayyid Quthublah yang selama ini menjadi sumber bangkitnya pemikiran radikal. Sebagaima kitab beliau yang berjudul ” Al-’Adâlah Al-Ijtimâ’iyah fil Islâm” merupakan. Hasil pemikiran logis paling penting bagi lahirnya arus gerakan radikal. Gagasan-gagasan Sayyid Quthub merupakan percikan api pertama bagi berkobarnya revolusi yang ia sebut sebagai revolusi Islam melawan orang-orang yang disebutnya musuh-musuh Islam, baik di dalam atau di luar negeri. Suatu perlawanan berdarah yang dari hari ke hari terus berkembang.”

Pengakuan Dr Aiman al-Zawâhiri ini selaras dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia, Pangeran Nayif bin Abdul Azîz al-Sa`ûd. Pangeran Nayif menyatakan kepada Hariah “As-Siyâsah Al-Kuwaitiyah” pada tanggal 27 November 2002 M.

“Tanpa ada keraguan sedikitpun, aku katakan bahwa sesungguhnya seluruh permasalahan dan gejolak yang terjadi di negeri kita bermula dari organisasi Ikhwânul Muslimîn. Sungguh, kami telah banyak bersabar menghadapi mereka walaupun sebenarnya bukan hanya kami yang telah banyak bersabar. Sesungguhnya mereka itulah penyebab berbagai masalah yang terjadi di dunia arab secara khusus dan bahkan meluas hingga ke seluruh dunia Islam. Organisasi Ikhwânul Muslimîn sungguh telah menghancurkan seluruh negeri Arab.”

Lebih lanjut Pangeran Nayif menambahkan:
“Karena saya adalah pemangku jabatan terkait, maka saya rasa perlu menegaskan bahwa ketika para pemuka Ikhwânul Muslimin merasa terjepit dan ditindas di negeri asalnya (Mesir-pen), mereka mencari perlindungan dengan berhijrah ke Saudi, dan sayapun menerima mereka. Dengan demikian, -berkat karunia Allah Azza wa Jalla – mereka dapat mempertahankan hidup, kehormatan dan keluarga mereka. Sedangkan saudara-saudara kita para pemimpin negara sahabat dapat memaklumi sikap kami ini. Para pemimpin negara sahabat menduga bahwa para anggota Ikhwânul Muslimin tidak akan melanjutkan gerakannya dari Saudi Arabia. Setelah mereka tinggal di tengah-tengah kita selama beberapa tahun, akhirnya mereka butuh mata pencaharian. Dan kamipun membukakan lapangan pekerjaan untuk mereka. Dari mereka ada yang diterima sebagai tenaga pengajar, bahkan menjadi dekan sebagian fakultas. Kami berikan kesempatan kepada mereka untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah dan perguruan tinggi kami. Akan tetapi, sangat disayangkan, mereka tidak melupakan hubungan mereka di masa lalu. Mulailah mereka memobilisasi masyarakat, membangun gerakan dan memusuhi Kerajaan Saudi.”

Dan kepada harian Kuwait “Arab Times” pada hari Rabu, 18 Desember 2002 M, kembali pangeran Nayif berkata: “Sesungguhnya mereka (Ikhwânul Muslimîn) mempolitisasi agama Islam guna mencapai kepentingan pribadi mereka.”

Sekedar membuktikan akan kebenaran dari pengakuan Dr Aiman Al-Zawâhiri di atas, berikut saya nukilkan dua ucapan Sayyid Quthub:

Nukilan 1 :

نَحْنُ نَدْعُوْ إِلَى اسْتِئْنَافِ حَيَاةٍ إِسْلاَمِيَّةٍ فِيْ مُجْتَمَعٍ إِسْلاَمِيٍّ تَحْكُمُهُ الْعَقِيْدَةُ اْلإِسْلاَمِيَّةُ وَالتَّصَوُّرُ اْلإِسْلاَمِيُّ كَمَا تَحْكُمُهُ الشَّرِيْعَةُ اْلإِسْلاَمِيَّةُ وَالنِّظَامُ اْلإِسْلاَمِيُّ. وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ الْحَيَاةَ اْلإِسْلاَمِيَّةَ عَلَى هَذَا النَّحْوِ قَدْ تَوَقَّفَتْ مُنْذُ فَتْرَةٍ طَوِيْلَةٍ فِيْ جَمِيْعٍ ِلأَنْحَاءِ اْلأَرْضِ، وَإِنَّ وُجُوْدَ اْلإِسْلاَمِ ذَاتِهُ مِنْ ثَمَّ قُدْ تَوَقَّفَ كَذَالِكَ

“Saya menyeru agar kita memulai kembali kehidupan yang islami di satu tatanan masyarakat yang islami. Satu masyarakat yang tunduk kepada akidah Islam, dan tashawur (pola pikir) yang islami pula. Sebagaimana masyarakat itu patuh kepada syari’at dan undang-undang yang Islami. Saya menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan semacam ini telah tiada sejak jauh-jauh hari di seluruh belahan bumi. Bahkan agama Islam sendiri juga telah tiada sejak jauh-jauh hari pula.” [Al ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah 182].

Nukilan 2 :

وَحِيْنَ نَسْتَعْرِضُ وَجْهَ اْلأَرْضِ كُلَّهُ اْليَوْمَ عَلَى ضَوْءِ هَذا التَّقْرِيْرِ اِْلإلَهِيْ لِمَفْهُوْمِ الدِّيْنِ وَاْلإِسْلاَمِ، لاَ نَرَى لِهَذَا الدِّيْنِ وُجُوْدًا

“Dan bila sekarang kita mengamati seluruh belahan bumi berdasarkan penjelasan ilahi tentang pemahaman agama dan Islam ini, niscaya kita tidak temukan eksistensi dari agama ini.” [Al- ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah hlm. 183].

Saudaraku! sebagai seorang Muslim yang beriman, apa perasaan dan reaksi anda setelah membaca ucapan ini?

Demikianlah, ideologi ekstrim yang diajarkan oleh Sayyid Quthub –semoga Allah mengampuninya– melalui bukunya yang oleh Dr Aiman Al-Zawâhiri disebut sebagai “Dinamit”. Pengkafiran seluruh lapisan masyarakat yang tidak bergabung ke dalam barisannya.

Mungkin karena belum merasa cukup dengan mengkafirkan masyarakat secara umum, Sayyid Quthub dalam bukunya “Fî Zhilâlil Qur’ân” ketika menafsirkan surat Yûnus ayat 87, ia menyebut masjid-masjid yang ada di masyarakat sebagai “Tempat peribadahan Jahiliyah“. Sayyid Quthub berkata:

اعْتِزَالُ مَعَابِدِ الْجَاهِلِيَّةِ وَاتِّخَاذُ بُيُوْتِ الْعِصْبَةِ الْمُسْلِمَةِ مَسَاجِدَ. تُحِسُّ فِيْهَا بِاْلاِنْعِزَالِ عَنِ الْمُجْتَمَعِ الْجَاهِلِيِّ؛ وَتُزَاوِلُ فِيْهَا عِبَادَتَهَا لِربِّهَا عَلَى نَهْجٍ صَحِيْحٍ؛ وتُزَاوِلُ بِالْعِبَادَةِ ذَاتِهَا نَوْعاً مِنَ التَّنْظِيْمِ فِيْ جَوِّ الْعِبَادَةِ الطَّهُوْرِ

“Bila umat Islam ditindas di suatu negeri, maka hendaknya mereka meninggalkan tempat-tempat peribadahan jahiliyah. Dan menjadikan rumah-rumah anggota kelompok yang tetap berpegang teguh dengan keislamannya sebagai masjid. Di dalamnya mereka dapat menjauhkan diri dari masyarakat jahiliyah. Di sana mereka juga menjalankan peribadahan kepada Rabbnya dengan cara-cara yang benar. Di waktu yang sama, dengan mengamalkan ibadah tersebut, mereka berlatih menjalankan semacam tanzhîm dalam nuansa ibadah yang suci.”

Yang dimaksud “Ma`âbid Jâhiliyah”(tempat-tempat ibadah jahiliyah) adalah masjid-masjid kaum Muslimin yang ada. Bisa bayangkan! Para pemuda, yang biasanya memiliki idealisme tinggi dan semangat besar, lalu mendapatkan doktrin semacam ini, kira-kira apa yang akan mereka lakukan? Benar-benar Sayyid Quthub menanamkan ideologi teror pada akal pikiran para pengikutnya.

Dan sudah barang tentu, ia tidak berhenti pada penanaman ideologi semata. Ia juga melanjutkan doktrin terornya dalam wujud yang lebih nyata. Simaklah, bagaimana ia mencontohkan aplikasi nyata dari ideologi yang ia ajarkan:

لِهَذِهِ اْلأَسْبَابِ مُجْتَمِعَةً فَكَّرْنَا فِيْ خِطَّةٍ وَوَسِيْلَةٍ تَرُدُّ اْلاِعْتَِدَاءَ .. وَالَّذِيْ قُلْتُهُ لَهُمْ لِيُفَكِّرُوْا فِيْ الْخِطَّةِ وَالْوَسِيْلَةِ بِاعْتِبَارِ أَنَّهُمْ هُمُ الَّذِيْنَ سَيَقُوْمُوْنَ بِهَا ِبِمَا فِيْ أَيْدِيْهِمْ مِنْ ِإمْكَانِيَاتٍ لاَ أَمْلِكُ أَنَا مَعْرِفَتَهَا بِالضَّبْطِ وَلاَ تَحْدِيْدَهَا…….. .. وَهَذِهِ اْلأَعْمَالُ هِيَ الرَّدُّ فَوْرَ وُقُوْعِ اعْتِقَالاَتٍ ِلأَعْضَاءِ التَّنْظِيْمِ بِإِزَالَةِ رُؤُوْسٍ فِيْ مَقْدَمَتِهَا رَئِيْسُ الْجُمْهُوْرِيَّةِ وَرَئِيْسُ الْوِزَارَةِ وَمُدِيْرُ مَكْتَبِ الْمُشِيْرِ وَمُدِيْرُ الْمُخَابِرَاتِ وَمُدِيْرُ اْلبُوْلِيْسِ الْحَرْبِيْ، ثُمَّ نَسْفٌ لِبَعْضِ الْمَنْشَآتِ الَّتِيْ تَشِلُ حَرَكَةً مَوَاصَلاَتِ الْقَاهِرَةِ لِضِمَانِ عَدَمِ تَتَبًّعِ بَقِيَّةِ اْلإِخْوَانِ فِيْهَا وَفِيْ خَارِجِهَا كَمَحَطَّةِ الْكَهْرَبَاءِ وَالْكِبَارِيْ،

“Menimbang berbagai faktor ini secara komprehensif, saya memikirkan suatu rencana dan cara untuk membalas perbuatan musuh. Aku pernah katakan kepada para anggota jama`ah: “Hendaknya mereka memikirkan suatu rencana dan cara, dengan mempertimbangkan bahwa mereka pulalah yang akan menjadi eksekutornya. Tentunya cara itu disesuaikan dengan potensi yang mereka miliki. Saya tidak tahu dengan pasti cara apa yang tepat bagi mereka dan saya juga tidak bisa menentukannya …… Tindakan kita ini sebagai balasan atas penangkapan langsung beberapa anggota organisasi Ikhwânul Muslimîn. Kita membalas dengan menyingkirkan pimpinan-pimpinan mereka, terutama presiden, perdana mentri, ketua dewan pertimbangan agung, kepala intelijen dan kepala kepolisian. Balasan juga dapat dilanjutkan dengan meledakkan mengebom berbagai infrastruktur yang dapat melumpuhkan transportasi kota Kairo. Semua itu bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada anggota Ikhwânul Muslimîn di dalam dan luar kota Kairo. Serangan juga dapat diarahkan ke pusat pembangkit listrik dan jembatan layang.” [Limâzâ A’adamûni oleh Sayyid Quthub hlm: 55]

Pemaparan singkat ini menyingkap dengan jelas akar dan sumber pemikiran ekstrim yang melekat pada jiwa sebagian umat Islam di zaman ini.

Hanya saja, perlu diketahui bahwa menurut beberapa pengamat, gerakan Ikhwânul Muslimîn dalam upaya merealisasikan impian besarnya, telah terpecah menjadi tiga aliran:

1. Aliran Hasan al-Banna
Dalam mengembangkan jaringannya, Hasan al-Banna lebih mementingkan terbentuknya suatu jaringan sebesar-besarnya, tanpa perduli dengan perbedaan yang ada di antara mereka. Kelompok ini senantiasa mendengungkan slogan:

نَجْتَمِعُ عَلَى مَا اتَّفَقْنَا عَلَيْهِ وَيَعْذِرُ بَعْضُنَا بَعْضًا فِيْمًا اخْتَلَفْنَا فِيْهِ

“kita bersatu dalam hal yang sama, dan saling toleransi dalam setiap perbedaan antara kita”.

Tidak mengherankan bila para penganut ini siap bekerja sama dengan siapa saja, bahkan dengan non Muslim sekalipun, demi mewujudkan tujuannya. Prinsip-prinsip agama bagi mereka sering kali hanya sebatas pelaris dan pelicin agar gerakannya di terima oleh masyarakat luas. Tidak heran bila corak politis nampak kental ketimbang agamis pada kelompok penganut aliran ini. Karenanya, dalam perkumpulan dan pengajian mereka, permasalahan politik, strategi pergerakan dan tanzhîm sering menjadi tema utama pembahasan.

2. Aliran Sayyid Quthub
Setelah bergabungnya Sayyid Quthub ke dalam barisan Ikhwânul Muslimîn, terbentuklah aliran baru yang ekstrim pada tubuh Ikhwânul Muslimîn. Pemikiran dan corak pergerakannya lebih mendahulukan konfrontasi. Ia menjadikan pergerakan Ikhwânul Muslimîn terbelah menjadi dua aliran. Melalui berbagai tulisannya Sayyid Quthub menumpahkan ideologi ekstrimnya. Tanpa segan-segan ia mengkafirkan seluruh pemerintahan umat Islam yang ada, dan bahkan seluruh lapisan masyarakat yang tidak sejalan dengannya. Karenanya ia menjuluki masjid-masjid umat Islam di seluruh penjuru dunia sebagai “Tempat peribadatan jahiliyyah”.

Dan selanjutnya, tatkala pergerakannya mendapatkan reaksi keras dari penguasa Mesir di bawah pimpinan Jamal Abdun Nâsir, ia pun menyeru pengikutnya untuk mengadakan perlawanan dan pembalasan, sebagaimana diutarakan di atas.

3. Aliran Muhammad Surûr Zaenal Abidin
Setelah pergerakan Ikhwânul Muslimîn mengalami banyak tekanan di negeri mereka, yaitu Mesir, Suria, dan beberapa negeri Arab lainnya, mereka berusaha menyelamatkan diri. Negara yang paling kondusif untuk menyelamatkan diri dan menyambung hidup ketika itu ialah Kerajaan Saudi Arabia. Hal itu itu karena penguasa Kerajaan Saudi saat itu begitu menunjukkan solidaritas kepada mereka yang ditindas di negeri mereka sendiri. Lebih dari itu, pada saat itu kerajaan Saudi sedang kebanjiran pendapatan dari minyak buminya, mereka membuka berbagai lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang, sehingga mereka kekurangan tenaga pengajar. Jadi, keduanya saling membutuhkan. Untuk itu, mereka diterima dengan dua tangan terbuka oleh otoritas Pemerintah Saudi Arabia. Selanjutnya, mereka pun dipekerjakan sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di sana.

Di sisi lain, Pemerintah Mesir, Suria dan lainnya merasa terbebaskan dari banyak pekerjaannya. Mereka tidak berkeberatan dengan sikap Pemerintah Saudi Arabia yang memberikan tempat kepada para pelarian Ikhwânul Muslimîn, sebagaimana ditegaskan oleh Pangeran Nayif bin Abdul Azîz di atas.

Selama tinggal di Kerajaan Saudi Arabia inilah, beberapa tokoh gerakan Ikhwânul Muslimîn berusaha beradaptasi dengan paham yang diajarkan di sana. Sebagaimana kita ketahui, Ulama’-Ulama’ Saudi Arabia adalah para penerus dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb rahimahullah yang anti-pati dengan segala bentuk kesyirikan dan bid’ah. Sehingga, selama mengembangkan pergerakannya, tokoh-tokoh Ikhwânul Muslimîn turut menyuarakan hal yang sama. Hanya dengan cara inilah mereka bisa mendapatkan tempat di masyarakat setempat. Inilah faktor pembeda antara aliran ketiga dari aliran kedua, yaitu adanya sedikit perhatian terhadap tauhid dan sunnah. Walaupun pada tataran aplikasinya, masalah tauhid acap kali dikesampingkan dengan cara membuat istilah baru yang mereka sebut dengan tauhîd hakimiyyah.

Istilah ini sebenarnya bukanlah baru, istilah ini tak lebih dari kamuflase para pengikut Sayyid Quthub untuk mengelabuhi pemuda-pemuda Saudi Arabia semata. Istilah ini mereka ambil dari doktrin Sayyid Quthub yang ia tuliskan dalam beberapa tulisannya. Berikut salah satu ucapannya yang menginspirasi mereka membuat istilah tauhîd hakimiyyah ini:

تَقُوْمُ نَظَرِيَّةُ الْحُكْمِ فِي اْلإِسْلاَمِ عَلَى أَسَاسِ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَمَتَى تَقَرَّرَ أَنَّ اْلأُلُوْهِيَّةَ ِللهِ وَحْدَهُ بَهَذِهِ الشَّهَادَةِ، تَقَرَّرَ بِهَا أَنَّ الْحَاكِمِيَّةَ فِيْ حَيَاةِ الْبَشَرِ ِللهِ وَحْدَهُ. وَاللهُ سُبْحَانَهُ يَتَوَلَّى الْحَاكِمِيَّةَ فِيْ حَيَاةِ الْبَشَرِ عَنْ طَرِيْقٍ أَمَرَهُمْ بِمَشِيْئَتِه وَقَدْرِهِ مِنْ جَانِبٍ، وَعَنْ طَرِيْقِ تَنْظِيْمِ أَوْضَاعِهِمْ وَحَيَاتِهِمْ وَحُقُوْقِهِمْ وَوَاجِبَاتِهِمْ وَعَلاَقَاتِهِمْ وَارْتِبَاطَاتِهِمْ بِشَرِيْعَتِهِ وَمَنْهَجِهِ مِنْ جَانِبٍ آخَرَ…. وَبِنَاءً عَلَى هَذِهِ الْقَاعِدَةِ لاَ يُمْكِنُ أَنْ يَقُوْمَ اْلبَشَرُ بِوَضْعِ أَنْظِمَةِ الْحُكْمِ وَشَرَائِعِهِ وَقَوَانِيْنِهِ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ؛ ِلأَنَّ هَذَا مَعْنَاهُ رَفْضُ أُلُوْهِيَّةِ اللهِ وَادِّعَاءِ خَصَائِصِ اْلأُُلُوْهِيَّةِ فِيْ الْوَقْتِ ذَاتِهِ، وَهُوَ اْلكُفْرُ الصَّرَاحُ

“Teori hukum dalam agama Islam dibangun di atas persaksian bahwa tiada ilâh yang behak diibadahi selain Allah. Dan bila dengan persaksian ini telah ditetapkan bahwa peribadatan hanya layak ditujukan kepada Allah semata, maka ditetapkan pula bahwa perundang-undangan dalam kehidupan umat manusia adalah hak Allah Azza wa Jalla semata. Dari satu sisi, hanya Allah Yang Maha Suci, yang mengatur kehidupan umat manusia dengan kehendak dan takdir-Nya. Dan dari sisi lain, Allah Azza wa Jalla jualah yang berhak mengatur keadaan, kehidupan, hak, kewajiban dan hubungan mereka, juga keterkaitan mereka dengan syari’at dan ajaran-ajaran-Nya…… Berdasarkan kaidah ini, manusia tidak dibenarkan untuk membuat undang-undang, syari’at, dan peraturan pemerintahan menurut gagasan diri-sendiri. Karena perbuatan ini artinya menolak sifat ulûhiyyah Allah Azza wa Jalla dan mengklaim bahwa pada dirinya terdapat sifat-sifat ulûhiyah. Dan sudah barang tentu ini adalah nyata-nyata perbuatan kafir.” [Al ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah hlm. 80]

Ketika menafsirkan ayat 19 surat al An’âm, Sayyid Quthub lebih ekstrim dengan mengatakan: “Sungguh, sejarah telah terulang, sebagaimana yang terjadi pada saat pertama kali agama Islam menyeru umat manusia kepada “lâ ilâha illallâhu”. Sungguh, saat ini umat manusia telah kembali menyembah sesama manusia, mengalami penindasan dari para pemuka agama, dan berpaling dari “lâ ilâha illallâhu”. Walaupun sebagian dari mereka masih tetap mengulang-ulang ucapan “lâ ilâha illallâhu”, akan tetapi tanpa memahami kandungannya. Ketika mereka mengulang-ulang syahadat itu, mereka tidak memaksudkan kandungannya. Mereka tidak menentang penyematan sebagian manusia sifat “al-hakimiyah” pada dirinya. Padahal “al-hakimiyah” adalah sinonim dengan “al- ulûhiyah “.

Yang dimaksud oleh Sayyid Quthub dalam pernyataan di atas, antara lain adalah para muadzin yang selalu menyerukan kalimat syahadat. Anda bisa bayangkan, bila para muadzin di mata Sayyid Quthub demikian adanya, maka bagaimana halnya dengan selain mereka? Bila demikian cara Sayyid Quthub memandang para muadzin yang menjadi benteng terakhir bagi eksistensi agama Islam di masyarakat, maka kira-kira bagaimana pandangannya terhadap diri anda yang bukan muadzin?

Kedudukan al-hakimiyyah; kewenangan untuk meletakkan syari’at dalam Islam, sebenarnya tidaklah seperti yang digambarkan oleh Sayyid Quthub sampai menyamai kedudukan ulûhiyyah . Al-Hakimiyah hanyalah bagian dari rubûbiyyah Allah Azza wa Jalla . Karenanya, setelah mengisahkan tentang penciptaan langit, bumi, serta pergantian siang dan malam, Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam. Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. [al A’râf/7:54-55]

Pada ayat 54, Allah Azza wa Jalla menegaskan bahwa mencipta dan memerintah yang merupakan kesatuan dari rubûbiyah adalah hak Allah Azza wa Jalla . Pada ayat selanjutnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar kita mengesakan-Nya dengan peribadatan yang diwujudkan dengan berdoa dengan rendah diri dan suara yang halus. Dengan demikian, tidak tepat bila al-hâkimiyah disejajarkan dengan ulûhiyah. Apalagi sampai dikesankan bahwa al-hakimiyah di zaman sekarang lebih penting dibanding al- ulûhiyah.

Ucapan Sayyid Quthub semacam inilah yang mendasari para pengikutnya untuk lebih banyak mengurusi kekuasaan dan para penguasa dibanding urusan dakwah menuju tauhid dan upaya memerangi kesyirikan yang banyak terjadi di masyarakat. Karenanya, di antara upaya Kerajaan Saudi Arabia dalam menanggulangi ideologi sesat ini ialah dengan berupaya membersihkan pemikiran masyarakatnya dari doktrin-doktrin Sayyid Quthub yang terlanjur meracuni pemikiran sebagian mereka. Di antara terobosan yang menurut saya cukup bagus dan layak di tiru ialah:

1. Menarik kitab-kitab yang mengajarkan ideologi ekstrim dari perpustakaan sekolah. Di antara kitab-kitab yang di tarik ialah kitab: Sayyid Quthub Al-Muftarâ ‘alaih dan kitab Al-Jihâd Fî Sabîlillâh

2. Membentuk badan rehabitilasi yang beranggotakan para Ulama’ guna meluruskan pemahaman dan menetralisasi doktrin ekstrim yang terlanjur meracuni akal para pemuda. Terobosan kedua ini terbukti sangat efektif, dan berhasil menyadarkan ratusan pemuda yang telah teracuni oleh pemikiran ekstrim, sehingga mereka kembali menjadi anggota masyarakat yang sewajarnya.

Mengakhiri pemaparan ringkas ini, ada baiknya bila saya mengetengahkan pernyataan Pangeran Sa’ûd al-Faisal, Menteri Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia, pada pertemuan U.S.-Saudi Arabian Business Council (USSABC) yang berlangsung di kota New York, pada tanggal 26 April 2004. Pangeran Sa’ûd berkata: “Menanggapi tuduhan-tuduhan ini, sudah sepantasnya bila anda mencermati fenomena jaringan al-Qaedah bersama pemimpinnya bin Lâdin. Walaupun ia terlahir di Saudi Arabia, akan tetapi ia mendapatkan ideologi dan pola pikirnya di Afganistan. Semuanya berkat pengaruh dari kelompok sempalan gerakan Ikhwânul Muslimîn. Saya yakin, hadirin semua telah mengenal gerakan ini. Fakta ini membuktikan bahwa Saudi Arabia dan seluruh masjid-masjidnya terbebas dari tuduhan sebagai sarang ideologi tersebut.

Dan kalaupun ada pihak yang tetap beranggapan bahwa Saudi Arabia bertanggung jawab atas kesalahan yang telah terjadi, maka sudah sepantasnya Amerika Serikat juga turut bertanggung jawab atas kesalahan yang sama. Dahulu kita bersama-sama mendukung perjuangan mujahidin dalam membebaskan Afganistan dari penjajahan Uni Soviet. Dan setelah Afganistan merdeka, kita membiarkan beberapa figur tetap bebas berkeliaran, sehingga mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak jelas. Kita semua masih mengingat, bagaimana para mujahidin disambut dengan penuh hormat di Gedung Putih. Bahkan tokoh fiktif Rambo dikisahkan turut serta berjuang bersama-sama dengan para mujahidin.” [Sumber situs resmi Kementerian Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia: http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InNewsItemID=39825]

Semoga pemaparan singkat ini dapat sedikit membuka sudut pandang baru bagi kita dalam menyikapi berbagai ideologi, sikap dan pergerakan ekstrim yang berkembang di tengah masyarakat kita. Salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan Sahabatnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10//Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Judul asli: Siapa Sebenarnya Pembangkit Radikalisme dan Terorisme Modern Di Tengah Umat Islam

Penulis: Al Ustadz Muhammad Arifin Baderi, MA

Artikel www.almanhaj.or.id, dipublish ulang oleh www.muslim.or.id

Radikalisme No, Istiqomah Yes!

Islam mencela sikap ghuluw (berlebih-lebihan), radikalisme, ekstrimisme, terorisme atau istilah semisalnya, karena akan membawa banyak dampak negatif seperti penganiyaan diri, terputus dari ketaatan, menghalagi manusia dari agama dan menodai keindahan agama Islam.

Oleh karena itu, banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang mencela perbuatan ghuluw ini, di antaranya dalil-dalil yang secara jelas mencela sikap ghuluw, seperti firman Allah:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ

“Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu”. (QS. An-Nisa’: 171)

Ayat ini sekalipun ditujukan kepada ahli kitab tetapi maksudnya adalah untuk memberikan peringatan kepada umat ini agar menjauhi sebab-sebab yang mengantarkan murka Allah kepada umat-umat sebelumnya.

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِى الدِّينِ

“Wahai sekalian manusia, waspadalah kalian dari sikap berlebih-lebihan dalam agama karena sikap berlebih-lebihan dalam agama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian” (HR. Nasa’i 3057 dengan sanad shohih).

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ, قَالَهَا ثَلاَثًا

“Celakalah orang-orang yang berlebihan, beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali” (HR. Muslim: 2670).

Adapun, berpegang teguh dan komitmen dengan ajaran Islam, maka ini diperintahkan olrh Allah dab rasulNya, tidak ada kaitannya dengan radikalisme sedikitpun.

Allah ta’ala berfirman:

فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِي أُوحِيَ إِلَيْكَ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus”. (QS. Az Zukhruf: 43)

Jadi radikal dan ekstrim itu adalah melampui garis Syariat. Adapun komitmen dan tegar dalam prinsip agama -sekalipun banyak orang menyelisihi- sesuai bimbingan ulama maka itu adalah perintah dan kewajiban dari Robbul Alamin.

Radikal no, istiqomah, yes! Jangan dicampur aduk…

***

Penulis: Ust. Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi

Artikel: Muslim.or.id

Sisi Dakwah dan Sosial dalam Surat Al-Insan

Kali ini kita akan belajar beberapa poin indah dari Surat Al-Insan tentang dakwah dan sosial, yaitu :

1. Dalam berdakwah seseorang harus konsisten dan terus bergerak. Jangan hiraukan para pendosa dan orang-orang kafir yang ingin mengalihkanmu dari tujuanmu. Jangan hiraukan tawaran-tawaran mereka seperti harta, kedudukan dan sebagainya agar engkau meninggalkan kebenaran.

Karena itu pesan dari Al-Qur’an untuk menguatkan Nabi dan orang-orang mukmin tercantum dalam firman-Nya :

فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا

“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antar mereka.” (QS.al-Insan:24)

2. Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah. Dan kitab ini adalah manhaj terbaik yang Allah turunkan di muka bumi ini, maka berpeganglah dengannya !

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلًا

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Quran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. (QS.al-Insan:23)

3. Mengingat Allah dan bertahajjud di malam hari adalah bekal terbaik yang akan membantumu di jalan dakwah.

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا

Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari. (QS.al-Insan:25-26)

4. Manusia yang lalai selalu mengutamakan dunia di atas akhirat. Maka mereka tenggelam dalam kenikmatan dunia dan lupa dengan sesuatu yang menanti mereka kelak di hari kiamat.

إِنَّ هَٰؤُلَاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلًا

Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat). (QS.al-Insan:27)

5. Allah adalah Sang Pencipta seluruh makhluk. Dia lah yang berhak menentukan segalanya. Dan Allah Swt sangat mampu untuk mengganti sebuah generasi dengan generasi yang baru apabila kita menjadi para perusak bumi ini.

نَحْنُ خَلَقْنَاهُمْ وَشَدَدْنَا أَسْرَهُمْ ۖ وَإِذَا شِئْنَا بَدَّلْنَا أَمْثَالَهُمْ تَبْدِيلًا

Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka, apabila Kami menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka. (QS.al-Insan:28)

6. Peringatan atau nasihat itu sangat penting bagi orang-orang mukmin dan orang yang sedang berjalan di jalan Allah.

إِنَّ هَٰذِهِ تَذْكِرَةٌ ۖ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَىٰ رَبِّهِ سَبِيلًا

Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, maka barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya. (QS.al-Insan:29)

7. Segala sesuatu berada di tangan-Nya. Dia lah yang mengasihi orang-orang mukmin dan mendatangkan siksaan bagi orang-orang dzalim. Dia lah yang paling berhak disembah dan dipatuhi.

يُدْخِلُ مَنْ يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ ۚ وَالظَّالِمِينَ أَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Dan memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya (surga). Dan bagi orang-orang zalim disediakan-Nya azab yang pedih. (QS.al-Insan:31)

Itulah beberapa pelajaran dari Surat al-Insan khususnya untuk menguatkan dan memberi energi baru bagi para pendakwah di jalan kebenaran.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Batasan Istighfar saat Sahur

Bismillah. 

Assalamu’alaikum warohmatullah wabarokatuh

‘Afwan Ustadz, izin bertanya. 

Bagaimana cara mengamalkan amalan istighfar di waktu sahur pada saat kita melaksanakan sahur 15 menit sebelum subuh? Tak jarang saya mendapati saat selesai sahur bertepatan dengan waktu subuh

Syukron Ustadz, mohon bimbingannya

Jazaakumullahu khairaa wa barakallaahu fiikum.

Dari : Sani

Jawaban:

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Bismillah, wal hamdulillah was sholaatu was salaam ala Rasulillah wa ba’du.

Allah ta’ala menceritakan salah satu amalan orang-orang yang bertakwa, calon penghuni surga, adalah,

وَبِٱلۡأَسۡحَارِ هُمۡ يَسۡتَغۡفِرُونَ

Mereka memohon ampunan (beristighfar) kepada Allah di waktu sahur. (QS. Adz-Dzariyat: 18)

Di dalam tafsir Ibnu Katsir diterangkan makna istighfar pada ayat ini,

قَالَ مُجَاهِدٌ، وَغَيْرُ وَاحِدٍ: يُصَلُّونَ. وَقَالَ آخَرُونَ: قَامُوا اللَّيْلَ، وَأَخَّرُوا الِاسْتِغْفَارَ إِلَى الْأَسْحَارِ. كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالأسْحَارِ﴾ [آلِ عِمْرَانَ: ١٧] ، فَإِنْ كَانَ الِاسْتِغْفَارُ فِي صَلَاةٍ فَهُوَ أَحْسَنُ

“Mujahid dan ahli tafsir lainnya menjelaskan, “Maknanya adalah mereka shalat.” Yang lain mengatakan, “Mereka mengisi malam dengan ibadah. Lalu mereka akhirkan istighfar sampai ke waktu sahur, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala,

وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالأسْحَارِ

Mereka beristighfar di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17)

Jika istighfar ini dilakukan di dalam shalat, maka lebih afdol.”

Karena saat-saat itu adalah saat mustajab berdoa dan bertaubat. Sebagaimana diterangkan dalam hadis shahih dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 

ينزل رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ : مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

Tuhan kita tabaaraka wa ta’ala turun ke langit dunia di setiap malam, pada sepertiga malam terakhir. Lalu Dia berfirman, “Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku berikan, siapa yang minta ampun kepada-Ku akan Aku ampuni.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Kemudian tentang waktu amalan ini, telah dijelaskan pada ayat ini, yaitu waktu sahur. Jadi selama masih berada di waktu sahur, lalu seorang beristighfar kepada Allah, ia telah mengamalkan ayat di atas.

Kapan waktu sahur mulai dan berakhir?

Mengingat sahur adalah istilah waktu dalam bahasa Arab, untuk mengetahuinya, kita merujuk pada kamus Bahasa Arab yang kredibel. Murtadho Az-Zabidi di dalam kamus Taajul ‘Aruus diterangkan makna sahur,

السحر محركة : قبيل الصبح آخر الليل كالسحر بالفتح والجمع أسحار….. قال وقيل : هو من ثلث الليل الآخر إلى طلوع الفجر

“Sahur adalah:

– waktu menjelang subuh atau akhir malam, seperti sahar, jamaknya Ashaar.

– ada pula ahli bahasa yang menerangkan bahwa sahur adalah sepertiga malam terakhir. Berakhir sampai terbit fajar subuh.” (Taajul ‘Aruus 11 / 512 – 513, diterbitkan: Kementrian Penerangan / Informasi (wizaroh i’lam) Kuwait, th. 1392 H / 1972 M)

Sehingga waktu sahur membentang cukup lama. Dimulai dari sepertiga malam terakhir, cara menghitungnya, jumlah jam antara jadwal azan maghrib dengan subuh, dijumlahkan, lalu dibagi tiga. Misal: jadwal azan maghrib jam 18:00, subuh jam 5:00. Kita jumlahkan ketemu 11 jam. 11 / 3 = 3,66 jam. Maka sepertiga malam terakhir terletak di 3,66 jam terakhir, dimulai kira-kira pukul 1:20 dini hari sampai pukul 05:00. Waktu sahur berakhir dengan tibanya waktu subuh.

Anda memiliki waktu longgar alhamdulillah untuk beristighfar. Tanpa harus terkejar-kejar durasi makan sahur dan waktu subuh.

Selamat mengamalkan.

Wajazaakillah khoiron wabaarakallaah fiikunna.

***

Dijawab oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc.

(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Quran Jogjakarta dan Pengasuh Thehumairo.com)

Referensi: https://konsultasisyariah.com/36882-batasan-istighfar-saat-sahur.html

Menag: Siapkan Haji Sedetail Mungkin

Kemenag menyiapkan enam skenario penyelenggaraan haji. 

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menginstruksikan jajarannya agar mempersiapkan skenario penyelenggaraan haji di tengah pandemi Covid-19 dengan sangat komprehensif. Dengan cara ini, tujuan beribadah dan keselamatan jamaah dinilai bisa terwujud.  

“Siapkan secara detail. Saya harap pelaksanaan haji benar-benar detail persiapannya. Jangan ada yang terlewat sedikit pun karena terkait keselamatan jamaah,” ujar Menag saat membuka Muzakarah Perhajian Indonesia di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (30/3).

Dalam muzakarah yang mengusung tema “Mitigasi Haji di Masa Pandemi” ini, Menag lebih lanjut mengatakan, pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan kehidupan. Perubahan itu antara lain adanya pembatasan, termasuk dalam kegiatan keagamaan yang bersifat massal.

Pembatasan ini juga terjadi dalam penyelenggaraan haji dan umrah sejak tahun lalu. Hal tersebut bisa menjadi pelajaran dalam persiapan, jika haji diputuskan dibuka tahun ini. 

Dalam hal manasik, Menag melanjutkan, selama ini mayoritas jamaah haji Indonesia melaksanakan haji tamattu’ (umrah dulu, baru berhaji). Namun, tahun ini, jika jamaah haji Indonesia diizinkan berangkat dan ada skema karantina, bisa jadi haji yang dilaksanakan adalah ifrad (haji dulu, baru umrah). 

“Hal ini harus dibahas bersama dalam muzakarah. Perlu kajian hukum, termasuk pola manasiknya agar bisa segera disosialisasikan,” ujar dia melalui keterangan tertulis yang diterima Republika, Rabu (31/3). 

Muzakarah Perhajian Indonesia digelar untuk menggali masukan dari berbagai pihak. Masukan ini digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Menag dan Tim Manajemen Krisis dalam mengambil keputusan terbaik terkait penyelenggaraan haji 1442 H/2021 M. 

Muzakarah ini diikuti perwakilan MUI, PBNU, Muhammadiyah, Persis, Al Washliyah, Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), asosiasi penyelenggara haji dan umrah, Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH), serta Balitbang Kemenag. 

Dalam forum tersebut, Sekretaris Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Ramadhan Harisman mengungkapkan, pihaknya telah menyiapkan skenario penyelenggaraan haji 2021. Ada enam skenario berbasis kuota yang telah disiapkan Tim Manajemen Krisis yang dibentuk Menag pada pada akhir Desember 2020.

“Tim krisis telah menyusun skenario untuk kuota 100 persen, 50 persen, 30 persen, 20 persen, 10 persen, dan 5 persen,” kata Ramadhan.

Menurut Ramadhan, selain berbasis kuota, skenario juga dibuat berbasis penerapan protokol kesehatan (prokes). Artinya, masing-masing skenario kuota dibuat dalam skema penerapan prokes dan tanpa penerapan prokes.

“Skenario yang disiapkan juga mempertimbangkan adanya pembatasan rentang usia dan tanpa pembatasan rentang usia,” ujarnya.

Ramadhan menyebut, besaran kuota akan berpengaruh pada lama masa tinggal. Makin banyak kuotanya, makin lama masa tinggal jamaah. “Jumlah kuota juga berdampak pada aspek biaya yang saat ini sedang dibahas bersama oleh Tim Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah dengan Panja Komisi VIII DPR,” katanya.

Skenario yang dibuat, Ramadhan melanjutkan, selalu mempertimbangkan waktu persiapan yang tersedia. Hal ini disebabkan hingga saat ini belum ada informasi resmi tentang kuota dari Arab Saudi.

“Pemerintah dan DPR berkomitmen, berapa pun kuotanya, kami siap melaksanakan,” ujar Ramadhan.

Selanjutnya, hasil muzakarah ini akan dilaporkan kepada Panja BPIH di Komisi VIII DPR. “Kami akan laporkan progres dari hasil muzakarah ini dengan skenario perubahan dan pengembangan dari skenario yang kami sempat bangun dan laporkan sebelumnya,” kata Ramadhan kepada //Republika//, Rabu (31/3).

Ia pun meminta semua pihak berdoa agar Pemerintah Arab Saudi segera memberikan kepastian terkait penyelenggaraan haji tahun ini, termasuk jumlah kuota. 

Jika tahun ini haji diselenggarakan, kata Ramadhan, Kemenag akan membagi porsi di provinsi dan kabupaten/kota secara proporsional dengan kuota tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, suatu daerah dapat jatah 10 ribu, maka dengan kuota 30 persen artinya daerah itu hanya dapat memberangkatkan 3.000 jamaah.

“Tiga ribu itu kita urutkan nanti berdasarkan nomor urut porsi dari jamaah yang berhak melunasi di tahun 2020. Kita urutkan berdasarkan nomor porsi tergantung besaran persentase kuota yang diberikan.

REPUBLIKA

Mualaf: Ini Alasan Marcell Siahaan Masuk Islam

Penyanyi Marcell Siahaan mengungkap perjalanan spiritualnya hingga jadi mualaf

Penyanyi Marcell Siahaan mengungkap perjalanan spiritualnya semasa hidup. Hal itu ia utarakan kepada Daniel Mananta di channel YouTube Daniel Mananta Network.

Marcell diketahui pernah memeluk Katolik. Kemudian, saat masih menikah dengan Dewi Lestari, Marcell berpindah keyakinan menjadi Buddha. Kini, suami dari aktris Rima Melati Adams itu mengaku sudah memeluk Islam.

Marcell pun mengungkapkan alasan yang membuatnya akhirnya memilih memeluk islam. Alasannya lantaran dia merasa nyaman dan senang. 

“Gue nyaman, gue seneng, gue yakin bahwa segala sesuatu harus ada titiknya dan gue merasa gue bisa berbuat lebih banyak ketika ada di sini,” kata Marcell.

Dalam sesi tersebut, Marcell juga menjawab pertanyaan Daniel Mananta mengenai karakter Allah di mata Marcell. Marcell menjelaskan bahwa Allah adalah Maha Kokoh dan juga Maha Penyayang. 

“Karakter Allah di mata lo seperti apa?” tanya Daniel. 

“Dia (Allah) itu menjadi sesuatu yang Maha Kokoh dan at the same time sesuatu yang lovable menurut gue. Jadi bener-bener dua unsur yang menguatkan, istilahnya Dia Cantik dan Agung di waktu yang bersamaan, Dia sesuatu yang Jalal Jamal di saat yang sama,” jawab Marcell.

Tidak hanya itu saja, saat ini Marcell merasa lebih baik dibandingkan saat dirinya tengah mencari jati diri. Salah satu hal baik yang dirasakannya adalah ikhlas dalam menjalani sesuatu. 

“Sekarang di titik ini hidup lo gimana dibanding di masa pencarian lo?” tanya Daniel. 

“Wah terus terang terutama di masa pandemi ini banyak sekali men-trigger gue untuk melihat banyak, lo harus bener-bener dalam kondisi yang lo harus berserah ikhlas. Menurut gue ajaran yang gue jalanin ini adalah yang membuat gue ikhlas melihat dalam segala hal karena itu yang paling susah,” jelas Marcell Siahaan.

KHAZANAH REPUBLIKA