Berlindung dari Hati yang Tidak Khusu’

Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh. Ustad, akhir-akhir ini saya shalat tidak bisa tenang. Untuk beberapa saya kadang dianggap kurang lembut, tidak empatik, sampai-sampai disindir teman, hati saya ‘hampir beku’. Apakah ada doa agar khusu’ dan melembutkan hati?

Anwar | Surabaya

Nabi  memerintahkan kita untuk selalu berlindung kepada Allah dari empat hal, yaitu: (1) dari ilmu yang tidak bermanfaat, (2) dari hati yang tidak khusyu’, (3) dari jiwa yang tidak merasa kenyang, dan (4) dari doa yang tidak dikabulkan.

DARI Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda;

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لا تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لا يُسْتَجَابُ لَهَا

Allahumma innii a’udzubika min ‘ilmi laa yanfa’u wa min qalbin laa yakhsya’ wa min nafsin laa yasba’ wa min da’watin laa yustajabu Laha

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusu’, dari jiwa yang tidak merasa kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR: Muslim)

Di dalam riwayat lain disebutkan,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ، ومِنْ دُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ، وَمِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَؤُلاَءِ الأَرْبَعِ

(HR. at-Tirmidzi, 3482, Abu Daud, 1549, an-Nasai, 5470)

Hati yang tidak khusu’

Hati yang tidak khusu’ membuat seseorang tidak takut terhadap Allah. Dia akan meremehkan perintah-perintah Allah, ancaman Allah dianggap ringan.

Ini karena hatinya terpaut dengan kesenangan dunia. Oleh karenanya, setia muslim diperintahkan untuk memohon kepada Allah agar dijauhkan dari hati yang tidak khusu’.

Pengertian Khusu’

 Khusu’ secara bahasa artinya tunduk, tenang dan rendah diri serta tawadhu’. Allah berfirman,

وَخَشَعَتِ الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَنِ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْسًاً

“Dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.”(QS: Thaha: 108).

Khusu’ secara istilah diartikan: “Keadaan jiwa yang berdampak pada ketenangan dan tawadhu’ dalam bersikap.” Pengertian khusu’ menurut al-Qur’an sebagaimana di dalam firman-Nya,

وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“Dan mintalah pertolongan (kepada) Allah dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusu’, (yaitu) orang-orang yang menyakini bahwa mereka akan menemui Rabb-nya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS: al-Baqarah: 45-46).

Pengertian khusu’ menurut ayat di atas mempunyai dua makna:

(1) Orang yang menyakini bahwa dia akan meninggalkan dunia yang fana ini cepat atau lambat, dan segera akan bertemu dengan Rabb-nya untuk mendapatkan balasan dari perbuatannya selama hidup di dunia.

(2) Orang yang menyakini bahwa kematian akan menjemputnya setiap saat, sehingga dia selalu mempersiapkan bekal untuknya, yaitu dengan menjalankan segala perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhi segala larangan-Nya.

Pembagian Khusu’

Khusu’ dibagi menjadi dua, yaitu:

Penjelasan Pertama: Khusu’ Mahmud

Khusu’ Mahmud (khusu’ yang terpuji), yaitu khusu’ yang terdapat dalam hati, dan efeknya terlihat dalam sifat dan sikap serta gerak-gerik. Oleh karenanya, orang yang khusu’ dalam shalat akan selalu menundukkan pandangan dan tidak melirik ke kanan atau ke kiri atau melihat ke atas.

Tentang khusu’ dalam hati, berkata Ibrahim An-Nakh’i: “Khusu’ itu bukan dengan memakai baju kasar dan compang-camping, ataupun makan makanan yang keras, dan selalu menundukkan kepala.

Akan tetapi khusu’ adalah jika kamu memandang semua orang sama derajatnya, baik para pejabat maupun orang awam, serta kamu tunduk dengan apa yang diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala.”

Suatu ketika Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu melihat seorang pemuda berjalan sambil menundukkan kepalanya, beliaupun menegur pemuda tersebut seraya berkata: ”Wahai pemuda angkat kepalamu, karena khusu’ itu hanya di hati.”

Berkata Ali bin Abi Thalib: “Khusu’ itu terdapat dalam hati, dan tandanya kamu berbuat lembut terhadap sesama muslim, serta tidak menoleh-noleh ketika sedang melakukan shalat.”

Penjelasan Kedua: Khusu’ Madzmum

Khusu’ Madzmum (khusu’ yang tercela) adalah khusu’ yang dibuat-buat, padahal hatinya tidak demikian, seperti berpura-pura menangis dan menunduk-nundukkan kepala. Pernah pada suatu ketika seseorang mengambil nafas panjang dan berpura-pura sedih di depan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, melihat seperti itu, Umar langsung menamparnya.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa Umar bin Khattab jika berbicara lantang, jika berjalan cepat, jika memukul keras, tetapi walaupun begitu beliau adalah seorang ahli ibadah yang benar dan orang yang benar-benar khusu’. Artinya khusu’ yang hakiki tidaklah bertentangan dengan sikap yang tegas dan suara yang lantang serta berjalan yang tegap, karena khusu’ letaknya di hati saja.

Sebab-sebab hati menjadi keras dan tidak khusu’:

(1) Terlalu banyak berangan-angan tentang dunia, dan lupa akan Akhirat.

(2) Tidak membaca doa dan dzikir dalam setiap kegiatannya.

(3) Tidak membaca al-Qur’an dan mentadabburinya.

Tiga sebab itu terkumpul dalam firman Allah,

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ

فَاسِقُونَ

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS: al-Hadid: 16).

(4) Tidak berdoa agar hatinya diteguhkan untuk selalu melaksanakan ajaran Islam. Ini dijelaskan sebagaimana di dalam hadits  Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى دِينِكَ

“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu.” (Hadits Shahih. HR. Nasa’i, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah)

Begitu juga doa memohon keteguhan hati dalam setiap urusan sebagaimana di dalam Dari Syadad bin Aus radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika manusia menyimpan emas dan perak, maka simpanlah doa-doa di bawah ini,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِي الْأَمْرِ وَالْعَزِيمَةَ عَلَى الرُّشْدِ وَأَسْأَلُكَ شُكْرَ نِعْمَتِكَ وَأَسْأَلُكَ حُسْنَ عِبَادَتِكَ وَأَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيمًا وَأَسْأَلُكَ لِسَانًا صَادِقًا وَأَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا تَعْلَمُ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا تَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا تَعْلَمُ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِAllahumma inni as’aluka al-tsabata fil amri wa as’aluka al-azimata fir rusydi. Wa asaluka syukra ni’matika wa husna ibadatika wa as’aluka lisanan shadiqan wa qalban saliman wa audzubika min syarri ma ta’lamu wa as’aluka min khairi ma ta’lamu. wa astaghfiruka mimma ta’lamu innaka anta allamul ghhuyub.

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu keteguhan dalam segala perkara, dan kemauan kuat untuk berbuat sesuatu yang benar, aku memohon kepada-Mu rasa syukur atas nikmat-Mu dan ibadah dengan baik kepada-Mu, aku memohon kepada-Mu hati yang bersih dan lisan yang jujur. aku memohon kepada-Mu dari kebaikan yang Engkau mengetahuinya dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang Engkau mengetahuinya. Dan aku memohon ampunan-Mu atas (dosa-dosaku) yang Engkau mengetahuinya, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui yang ghaib.” (Hadits Hasan. HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Hibban. Lafadh dari Ahmad). Wallahu A’lam.*

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Wajibkah Fidyah bagi Wanita Hamil atau Menyusui jika Tidak Puasa Ramadhan? (Bag. 1)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

Hukum Asal

Hukum asal bagi wanita hamil atau menyusui adalah wajib berpuasa Ramadhan.

Namun kondisi wanita hamil atau menyusui itu beraneka ragam, sehingga hukumnyapun juga mengikuti kondisi yang dialaminya.

Kondisi wanita hamil atau menyusui beserta hukumnya

  1. Apabila bagi wanita hamil/ menyusui berpuasa Ramadhan itu

– tidak berat, atau

– berat/kesulitan yang wajar dan lumrah dialami serta masih kuat menjalaninya, atau

– tidak dikhawatirkan membahayakan bayi/janinnya, maka ia wajib berpuasa Ramadhan. Dan apabila ia nekad tidak berpuasa padahal ia tahu hukumnya, maka ia berdosa.

  1. Wanita menyusui atau hamil apabila berpuasa Ramadhan menyebabkan :

– rasa berat yang tidak wajar, atau

– khawatir membahayakan dirinya, atau

– khawatir membahayakan bayi/janinnya, atau

– menurut dokter yang amanah bahwa ia disarankan untuk tidak berpuasa,

maka berarti ia memiliki udzur Syar’i untuk tidak berpuasa sehingga tidak berdosa jika tidak berpuasa, dan ini pendapat empat madzhab sekaligus : Hanafiyyah, Malikiyyah,  Syafi’iyyah, & Hanabilah.

Dan hukum tidak berpuasa bagi wanita menyusui atau hamil merasa berat yang tidak wajar

Hukum tidak berpuasa baginya adalah afdhol, sehingga justru makruh baginya berpuasa.

Sedangkan apabila puasanya sampai membahayakan dirinya atau janin/bayinya, maka wajib baginya tidak berpuasa, dan haram berpuasa.

Apa kewajiban wanita hamil atau menyusui, jika tidak berpuasa Ramadhan karena udzur Syar’i hamil/menyusui?

Dalam masalah ini terdapat 7 pendapat[1] :

Pendapat Pertama :

Apabila wanita hamil/lmenyusui tidak berpuasa karena khawatir membahayakan janin/bayi, maka ia wajib menqodho’ dan menunaikan fidyah,

namun apabila ia tidak puasa karena khawatir membahayakan diri sendiri atau membahayakan diri sendiri & janin/bayi sekaligus, maka ia wajib mengqodho’ saja.

Ini adalah pendapat Hanabilah, pendapat yang masyhur di kalangan Syafi’iyyah, pendapat Sufyan, serta sebuah riwayat dari Mujahid.

Pendapat Kedua :

Apabila wanita hamil/lmenyusui tidak berpuasa karena khawatir membahayakan diri sendiri atau janin/bayi, maka wajib qodho’ saja, ini madzhab Hanafiyyah, pendapat Al-‘Auza’i, Abu ‘Ubaid dan Abu Tsaur

Pendapat Ketiga :

Apabila wanita hamil/lmenyusui tidak puasa karena udzur Syar’i hamil/menyusui, maka untuk wanita hamil wajib mengqodho’ saja, sedangkan wanita menyusui wajib menqodho’ dan menunaikan fidyah apabila mengkhawatirkan bayinya, ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan Malikiyyah.

Pendapat Keempat :

Apabila wanita menyusui tidak puasa karena mengkhawatirkan bahaya, maka ia menunaikan fidyah, sedangkan wanita hamil jika tidak puasa karena mengkhawatirkan bahaya menimpa dirinya, maka ia mengqodho’, ini pendapat Al-Hasan Al-Bashri dan sebuah riwayat dari Yunus bin ‘Ubaid.

Pendapat Kelima :

Wanita hamil / menyusui jika tidak puasa karena udzur Syar’i hamil/menyusui, maka bebas memilih antara menunaikan fidyah saja atau mengqodho’ saja, ini adalah pendapat Ishaq.

Pendapat Keenam :

Apabila wanita yang hamil / menyusui tidak berpuasa karena mengkhawatirkan janin atau bayinya, maka tidak ada kewajiban qodho’ dan fidyah bagi keduanya, ini pendapat Ibnu Hazm Azh-Zhahiri.

Pendapat Ketujuh :

Wanita hamil / menyusui jika tidak puasa karena udzur Syar’i hamil/menyusui, maka wajib menunaikan fidyah saja, dan ini pendapat dua sahabat yang mulia, yaitu Ibnu Abbas, dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma serta pendapat para imam dari kalangan Tabi’iin, seperti : Sa’id bin Al-Musayyib (tentang wanita hamil), Sa’id bin Jubair (tentang wanita hamil), Al-Qosim bin Muhammad (tentang wanita hamil), Atha’, Mujahid, Thawus, ‘Ikrimah, Ibrahim An-Nakha’i (tentang wanita hamil), As-Suddi (tentang wanita menyusui) serta selain mereka, seperti Ishaq bin Rohawaih[2]. Dan diantara ulama zaman-zaman ini adalah Syaikh Al-Albani, Syaikh Ali Hasan Al-Halabi rahimahumullah.  Wallahu a’lam

Pendapat ketujuh ini adalah pendapat terkuat dengan beberapa alasan ilmiah yang akan kami sampaikan, in sya Allah.

Wallahu a’lam

[1]              . https://www.almoslim.net/node/280212

[2]              . Al-Istidzkar, Mushannaf Abdur Razzaq, Tafsir Ath-Thabari (https://www.almoslim.net/node/280212)

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/63340-wajibkah-fidyah-bagi-wanita-hamil-atau-menyusui-jika-tidak-puasa-ramadhan-bag-1.html

Adab-adab Bersedekah pada Ramadhan

Sedekah merupakan amal yang sangat mulia. Kaum Muslimin dianjurkan untuk memperbanyak amalan tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an:

لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَىٰهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَٰحٍۭ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

‘’Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberi kepadanya pahala yang besar.’’ (An Nisaa [4]: 114).

Bulan Ramadhan juga disebut juga bulan sedekah. Karenanya pada bulan tersebut kaum Muslimin diperintahkan untuk memperbanyak sedekah.

Pertama, dalam bersedekah dilakukan semata-mata untuk mencari ridha Allah SWT. Sedekah yang niatnya bukan karena mencari ridha Allah SWT tidak akan diterima. Dalam sebuah Hadits disebutkan ada orang kaya yang suka berderma, namun akhirnya dimasukkan ke neraka karena niatnya ingin dikenal sebagai orang yang senang bersedekah. (Riwayat Muslim).

Kedua, Bersedekah harus dilakukan dengan harta halal. Islam melarang umatnya bersedekah dengan barang haram. Allah SWT hanya menerima sedekah dari harta yang halal. Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam (SAW) bersabda,

لاَ يَتَصَدَّقُ أَحَدٌ بِتَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلاَّ أَخَذَهَا اللهُ بِيَمِيْنِهِ فَيُرَبِّيْهَا كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ قَلُوْصَهُ حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ أَوْ أَعْظَمَ

“Barangsiapa yang bersedekah dengan sesuatu yang senilai dengan sebutir kurma dari usaha yang halal, sedangkan Allah tidaklah menerima kecuali yang baik, maka Allah akan menerima sedekahnya dengan tangan kanan-Nya kemudian mengembangkannya untuk pemiliknya seperti seorang di antara kalian membesarkan kuda kecilnya hingga sedekah tersebut besar seperti gunung.” [Riwayat Bukhari dan Muslim).

Ketiga, dalam kondisi sehat.  Bersedekah dalam kondisi sehat dan kuat lebih utama daripada ketika sakit atau menjelang ajal. Rasulullah SAW bersabda, “Sedekah yang paling utama adalah engkau bersedekah ketika dalam keadaan sehat dan bugar, ketika engkau menginginkan kekayaan melimpah dan takut fakir. Maka jangan kau tunda sehingga ketika ruh sampai tenggorokan baru kau katakan, “Untuk fulan sekian, untuk fulan sekian.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Keempat, setelah kebutuhan wajib terpenuhi. Sedekah dianjurkan setelah kebutuhan wajib seperti menafkahi keluarga terpenuhi.  Allah telah berfirman, “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (al-Baqarah [2]:219).

Demikian juga Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada sedekah kecuali setelah kebutuhan (wajib) terpenuhi.” Dan dalam riwayat yang lain, “Sebaik-baik sedekah adalah jika kebutuhan yang wajib terpenuhi.” (Riwayat Bukhari)

Kelima, memberikan yang terbaik dan dilakukan secara maksimal, bukan seadanya. Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham telah mengalahkan seratus ribu dirham.” Para sahabat bertanya,” Bagaimana itu (wahai Rasululullah)? Beliau menjawab, “Ada seseorang yang hanya mempunyai dua dirham lalu dia bersedakah dengan salah satu dari dua dirham itu. Dan ada seseorang yang mendatangi hartanya yang sangat melimpah ruah, lalu mengambil seratus ribu dirham dan bersedekah dengannya.” (Riwayat an-Nasai).

Keenam, dengan cara sembunyi. Sedekah yang utama dilakukan dengan cara sembunyi dalam rangka menjaga hati agar ikhlas dan selamat dari sifat pamer. Allah SWT berfriman: “Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah [2]:271).

Demikian juga sabda Rasulullah, ”Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Allah…, di antaranya adalah seseorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disha-daqahkan oleh tangan kanannya.” [Riwayat Bukhari dan Muslim).

Para ulama menjelaskan, sedekah yang tersembunyi tersebut terbatas kepada fakir miskin secara khusus. Hal ini dikarenakan ada banyak jenis sedekah yang mau tidak mau harus tampak, seperti membangun sekolah, jembatan, membuat sumur, membekali pasukan jihad dan lain sebagainya.

Demikianlah beberapa adab dalam bersedekah. Semoga Allah SWT memberi kekuatan kita senang bersedekah. Amin

Oleh Bahrul Ulum

*Pengajar di STAIL Hidayatullah Surabaya

HIDAYATULLAH

Anda ingin membayar zakat untuk membersihkan rezeki Anda? Siakan kunjungi https://bit.ly/zakatyes

Tiga Doa Malaikat

Malaikat pernah mengucapkan tiga buah doa yang berkaitan dengan kaum Muslimin.

Doa adalah sebentuk permohonan kepada Allah SWT. Di dalam doa, tebersit keyakinan bahwa Tuhan akan mengabulkan keinginan hamba-Nya. Tidak hanya manusia, malaikat pun memanjatkan doa kepada-Nya.

Menurut sebuah hadis, malaikat pernah mengucapkan tiga buah doa yang berkaitan dengan kaum Muslimin. Ketiga doa itu disimak oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau kemudian mengaminkan masing-masing doa tersebut.

Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu anhu, pada suatu hari Nabi SAW naik ke mimbar. Ketika menapaki anak tangga pertama, kedua, dan ketiga, beliau selalu mengucapkan, “Amiin.” Melihat itu, para sahabat pun berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah SAW, kami semua mendengar engkau berkata, ‘amiin, amiin, amiin’.”

Muliakan Ramadhan

Mereka bertanya, “Mengapa engkau melakukan itu?” Nabi SAW menjawab, “Ketika aku menaiki tangga pertama, Jibril datang kepadaku dan berkata, ‘Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadan tetapi dosanya tidak diampuni. Maka aku pun mengucapkan, ‘Amiin.’

Kemudian dia (Jibril) berkata, ‘Celakalah seorang hamba jika mendapati kedua atau salah satu orang tuanya masih hidup, tetapi keberadaan orang tuanya tidak membuatnya masuk ke dalam surga.’ Aku pun berkata, ‘Amiin.’ Selanjutnya, dia berkata, ‘Celakalah seorang hamba jika namamu (Muhammad) disebutkan di hadapannya tetapi dia tidak bershalawat untukmu.’ Maka aku pun berkata, ‘Amiin.’

Dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW antara lain mengingatkan kita tentang kemuliaan Ramadhan. Ternyata, masih banyak umat Islam yang menjalani bulan suci tetapi justru enggan memohon ampun dan rahmat kepada Allah SWT. Akhirnya, Ramadhan berlalu, sedangkan dirinya masih berlumuran dosa. Malaikat Jibril pun mendoakan celaka atas mereka.

Berbakti ke Orang Tua

Dalam doa yang dikutip hadis tersebut, Malaikat Jibril juga menyinggung perihal anak yang tidak berbakti kepada orang tua. Islam mengajarkan manusia agar merawat dan menyayangi kedua orang tua.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu” (QS Luqman: 14).

Berbakti kepada kedua orang tua tak terbatas waktu. Selama hayat masih dikandung badan, seorang anak bisa berbakti kepada bapak dan ibunya. Bakti itu bisa berupa mencukupi kebutuhan hidupnya, mendoakannya, atau menyambung silaturahim kepada karib-kerabatnya.

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya (orang tua) dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil’.” (QS al-Isra’: 24).

Bershalawat

Akhirnya, Malaikat Jibril turut mengecam Muslim yang tidak bershalawat ketika nama Nabi Muhammad SAW disebut. Shalawat merupakan ungkapan rasa cinta dan kerinduan kita kepada Rasulullah SAW. Caranya dengan mengucapkan lafaz-lafaz, seperti “Allahumma shalli ‘ala Muhammad” dan sebagainya.

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalawat kepada Nabi (Muhammad). Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kepada Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (QS al-Ahzab: 56).

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, “Alangkah kikirnya umatku manakala namaku disebut, tetapi tidak bershalawat kepadaku.” Dengan bershalawatm, insya Allah kita akan mendapatkan syafaat di akhirat kelak. “Manusia yang paling berhak bersamaku (Nabi SAW) pada hari kiamat ialah yang paling banyak membaca shalawat kepadaku.” (HR Tirmidzi).

OLEH HASANUL RIZQA

REPUBLIKA ID

Santri Tunanetra Menjalankan Ibadah Ramadhan

Hati senang sekali dapat bertemu kembali dengan bulan suci ramadhan. Dimana beberapa saat lagi seluruh umat Islam di dunia dan khususnya di Indonesia. Melaksanakan ibadah puasa wajib bagi yang mampu menjalankannya.

Tentunya tanpa terkecuali, selama tak ada halangan yang dibenarkan oleh syariat tetap harus melakukan ibadah tersebut. Termasuk tunanetra, juga harus menunaikan ibadah puasa ramadhan. Jika kondisi jasmaninya memang memungkinkan untuk menjalaninya. Karena siapapun orangnya baru dibolehkan tak melaksanakan puasa di bulan ramadhan apabila sedang sakit, dalam perjalanan jauh dan sebagainya.

Mau dia tunanetra ataupun bukan jika ada di dalam kreteria tersebut, dibolehkan untuk tak berpuasa. Tetapi tetap harus menggantinya sejumlah hari yang ditinggalkannya, di bulan lain.

Puasa di bulan ramadhan merupakan ibadah wajib untuk setiap umat Islam, dimanapun tempat tinggalnya. Demikian juga dengan tunanetra, yang mempunyai keterbatasan dalam penglihatan. Namun jika fisiknya atau tak mempunyai riwayat sakit apapun seperti magh misalnya, juga harus melaksanakan ibadah tersebut. Sesuai apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, terhadap sahabatnya Ummi Maktum. Dimana beliau adalah seorang tunanetra, yang hidup pada zaman Rasulullah. Tetapi Ummi Maktum tetap melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan dan Rasulullah tak melarangnya mengetahui hal itu. Selama menunaikan ibadah puasa Ummi Maktum, juga sama dengan sahabat yang lainnya sejak pagi hingga waktu maghrib tiba. Jadi tak ada kompensasi untuk Ummi Maktum, dari mulai jadwal jam maupun jumlah harinya tetap sama dengan apa yang telah ditetapkan. Semangat tersebut yang ditiru oleh sahabat santri tunanetra muslim di Raudlatul Makfufin. Hal tersebut dapat diketahui jelas dari raut wajah para santri Makfufin, dalam menyambut momen bahagia yang ditunggu-tunggu yakni bulan suci ramadhan. Setiap selesai shalat subuh, secara bergantian kuliah tujuh menit Kultum selama bulan ramadhan. Dan membaca Al-quran bersama-sama sebelum waktu buka tiba. Dari kegiatan tersebut diharapkan agar nanti sahabat-sahabat tunanetra muslim yakni para santri Raudlatul Makfufin. Dapat mengaplikasikan apa yang telah dipelajarinya di tengah-tengah masyarakat. Lantaran selama tenggelam dalam arus pembelajaran para sahabat santri tunanetra Raudlatul Makfufin, bukan hanya diberikan ilmu duniawi saja. Tetapi pembekalan untuk menuju akhiratpun tak ditinggalkan. Karena setiap perjalanan hidup manusia akan berhenti di ujung cerita jalan kehidupan.

Bulan ramadhan merupakan ajang berlomba-lomba melakukan hal kebaikan, yang dimana segala amal dilipat gandakan. Sampai-sampai tidur juga mempunyai nilai ibadah. Apalagi dalam membaca Al-quran. Sehingga tak sedikit orang berusaha untuk menghatamkan keseluruhan isi Al-quran, juz 1 sampai juz 30 selama satu bulan penuh. Demikian juga dengan sahabat-sahabat santri tunanetra yang ada di Raudlatul Makfufin. Mereka juga tak mau ketinggalan sama teman-teman awas, yang notabennya dapat melihat.

Dengan huruf arab braille, sahabat santri tunanetra di Raudlatul Makfufin. Melakukan hal yang sama membaca arab braille huruf demi huruf, berusaha untuk menghatamkan isi Al-quran, juz 1 hingga juz 30.

Setiap sore sampai menjelang waktu buka puasa tiba. Membaca dengan bersama-sama walau surat dan juznya berbeda sesuai apa yang telah dipelajarinya dari ustad dan ustazah. Tetapi keterbatasan penglihatan tak menjadi penghalang bagi sahabat santri tunanetra yang ada di Raudltul Makfufin tersebut. Bisa karena mau belajar, namun tak bisa karena tak belajar. Semangat yang terus menyala dapat di lihat dari gerakkan jari, menelusuri huruf arab braille.

Dan lembaran kertas di balik untuk berpindah antar surat maupun ayat. Selain itu kehangatan kebersamaan di antara sahabat-sahabat seperti di tengah-tengah keluarga sendiri. Jadi dalam melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan, di lalui dengan diwarnai hati yang gembira. Memang sebaiknya seperti itu, tetap berjalan sesuai tenaga yang dimilikinya.

Allah SWT, tak pernah melihat siapa dan bagaimana orang tersebut. Melainkan hanya di lihat dari pakaian taqwanya. Dan berlomba-lomba dalam lautan kebaikkan bebas untuk siapa saja.

***Aksara Wicara

YAYASAN MAKFUFIN

Kebutuhan Alquran Braille Sangat Tinggi

Penyandang tuna netra memakai Alquran braille agar lebih memahami tajwid yang dibaca.

Kegiatan produksi Alquran Braille di percetakan milik Yayasan Raudlatul Makfufin, Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel) tampak menggeliat. Kertas berwarna putih berisi huruf Braille yang baru saja keluar dari mesin Braillo 300 S2 lantas menumpuk di area ruang percetakan yang luasnya hanya sekira 7×4 meter.

Tiga orang pekerja tampak sibuk menjaga proses pencetakan dengan mesin komputerisasi, memotong dan melubangi kertas, hingga menjilidnya menjadi Alquran Braille dengan cover berwarna hijau dan merah marun.

Di area luar percetakan, tampak puluhan dus berisi Alquran Braille yang sudah siap didistribusikan kepada para penyandang tunanetra yang ada di berbagai wilayah di Indonesia.

Kepala Percetakan Braille Yayasan Raudlatul Makfufin Ahmad Wahyudi mengatakan, kegiatan mencetak Alquran Braille telah dilakukan yayasan tersebut sejak dua dekade lalu.

Yayasan Raudlatul Makfufin yang berdiri pada 1990-an itu kerap disebut Taman Tunanetra yang di dalamnya digelar pengajian tiap pekan bagi tunanetra. Namun, proses pembelajaran mendalami kitab suci mengalami kendala karena kesulitan pengadaan Alquran Braille pada masa itu.

Lantas atas inisiasi pendiri dari yayasan tersebut, muncullah ide untuk mencetak Alquran Braille secara mandiri dengan mengumpulkan donasi. Pada 1997 terciptalah file master Alquran Braille yang selanjutnya mendapatkan surat tanda tashih dari Kementerian Agama. Sementara pengadaan printer Alquran Braille baru dapat diadakan pada sekira tahun 2000.

“Sejak punya mesin itulah banyak teman tunanetra mengetahui yayasan ini mencetak Alquran Braille, dan mereka menginginkan untuk mendapatkannya. Akhirnya kami mencarikan donatur untuk dapat memenuhi permintaan mereka,” cerita Wahyu, sapaan akrabnya saat ditemui Republika di Yayasan Raudlatul Makfufin, Tangsel, beberapa waktu lalu.

Seiring berjalannya waktu, Wahyu mengaku permintaan Alquran Braille terus bergulir. Hal itu, menurutnya seiring dengan semakin banyaknya komunitas dan pengajian tunanetra yang mengadakan program pengadaan Alquran Braille. Terlebih saat Ramadhan, Wahyu permintaan mengalami peningkatan, bahkan sampai masuk daftar tunggu atau waiting list.

“Peningkatan penjualan dan permohonan semakin meningkat karena memang biasanya pada Ramadhan banyak teman-teman tunanetra ingin seperti kita, bertadarus. Syukur dibarengi dengan para donatur atau lembaga yang memiliki program yang sama bagi teman-teman tunanetra untuk pengadaan Alquran Braille,” ujar dia.

Menurut catatannya, permintaan pengadaan Alquran Braille pada Ramadhan tahun ini mengalami peningkatan hingga 40 persen. Peningkatan itu terjadi tidak hanya dari kalangan tunanetra yang terdata di Yayasan Raudlatul Makfufin, juga dari lembaga, perusahaan, atau individu dari luar yayasan yang jumlahnya mencapai belasan hingga puluhan lembaga.

Yayasan ini diketahui hanya mencetak maksimal 40 sheet per bulan. Satu sheet terdiri dari 30 eksemplar yang meliputi 30 juz. Berdasarkan penuturannya, lembaga yang ingin mencetak Alquran Braille untuk diwakafkan bahkan membutuhkan Alquran Braille hingga mencapai ratusan sheet.

Sebagai informasi, terdapat dua jenis Alquran Braille yang dicetak, yakni Alquran Braille tanpa terjemahan yang berukuran kecil dan Alquran Braille dengan terjemahan yang didesain berukuran besar.  Adapun, harga dari Alquran Braille berukuran kecil mencapai Rp 1,2 juta per sheet, sedangkan yang ukuran besar seharga Rp 2,2 juta per sheet.

“Pada Ramadhan kali ini, ada pergeseran permintaan dari yang tanpa terjemahan menjadi cetak dengan terjemahan,” kata dia.

Satrio (39 tahun), seorang tunanetra mengatakan pentingnya Alquran Braille dalam hidupnya. Alquran disebut merupakan petunjuk hidup sehingga pengadaan Alquran Braille sangat dibutuhkan untuk dapat mendalami makna yang terkandung di dalamnya, terutama kaitannya dengan ilmu tajwid.

“Penting sekali karena kan sarana apa lagi selain Alquran Braille, memang ada MP3 sarana mengenal dan menghafal Alquran, cuma enggak maksimal tajwid segala macam. Itu (tajwid) kan baru bisa dipahami kalau baca sendiri, dari sarana huruf arab Braille,” tutur Satrio.

KHAZANAH REPUBLIKA

Salah Kaprah Pelaku Terorisme Berkedok Jihad (Bag. 1)

Dalam artikel ini, akan kita bahas dengan ringkas beberapa syubhat (pemahaman yang salah kaprah) yang menjadi latar belakang sebagian orang melakukan terorisme berkedok jihad. Dengan harapan –musta’inan billah– tidak ada lagi orang-orang yang terjerumus pada terorisme karena pemahaman yang keliru.

Salah kaprah: “Bom bunuh diri adalah jihad”

Bagaimana mungkin bom bunuh diri adalah jihad, padahal bunuh diri itu dilarang dalam Islam dan termasuk dosa besar?

Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا * وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An Nisa: 29-30).

Dari Tsabit bin ad-Dhahhak radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

ومَن قَتَلَ نَفْسَهُ بشيءٍ في الدُّنْيا عُذِّبَ به يَومَ القِيامَةِ

“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, ia akan di adzab dengan hal itu di hari kiamat” (HR. Bukhari no. 6105, Muslim no. 110).

Bahkan sebagian ulama memandang perbuatan bunuh diri adalah kekufuran (walaupun ini pendapat yang lemah), karena melihat zahir dari beberapa dalil. Di antaranya, dari Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘ahu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda:

كانَ فِيمَن كانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ به جُرْحٌ، فَجَزِعَ، فأخَذَ سِكِّينًا فَحَزَّ بهَا يَدَهُ، فَما رَقَأَ الدَّمُ حتَّى مَاتَ، قالَ اللَّهُ تَعَالَى: بَادَرَنِي عَبْدِي بنَفْسِهِ، حَرَّمْتُ عليه الجَنَّةَ

“Dahulu ada seorang lelaki yang terluka, ia putus asa lalu mengambil sebilah pisau dan memotong tangannya. Darahnya terus mengalir hingga ia mati. Allah Ta’ala berfirman: ”Hamba-Ku mendahului-Ku dengan dirinya, maka Aku haramkan baginya surga” (HR. Bukhari no. 3463, Muslim no. 113).

Namun yang tepat, orang yang bunuh diri mereka tidak keluar dari Islam, namun mereka terjerumus dalam kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari Islam.

‘Ala kulli haal, tidak mungkin perbuatan yang parah dan dosa besar seperti ini malah dianggap jihad?!

Adapun amalan istisyhad (mencari status syahid) ini dilakukan dalam perang dan jihad yang syar’i, bukan dalam kondisi aman. Dan istisyhad yang dilakukan para salaf terdahulu bukan dengan bunuh diri, namun dengan menerjang musuh walaupun musuh dalam jumlah besar. Oleh karena itu, aksi bom bunuh diri dalam perang dan jihad yang syar’i pun dilarang oleh mayoritas ulama kibar Ahlussunnah seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syekh Shalih Al Fauzan, Syekh Shalih Alu Syekh dan selain mereka -semoga Allah merahmati mereka-.

Syekh Abdullah bin Jibrin menjelaskan: “Baik ia adalah mu’ahhad dari kalangan Yahudi, Nasrani atau golongan orang kafir selain mereka. Perjanjian dengan mereka semua wajib ditepati dan tidak boleh memberikan gangguan kepada mereka hingga mereka kembali ke negeri mereka.

Dan apa terjadi beberapa waktu lalu, berupa aksi pengeboman yang menyebabkan banyak korban jiwa serta korban luka-luka, tidak ragu lagi ini merupakan kejahatan yang mengerikan. Dan pengeboman ini menyebabkan korban jiwa dan korban luka dari orang-orang yang dijamin keamanannya serta juga kaum muslimin yang ada di tempat-tempat tersebut. Dan ini tidak ragu lagi merupakan pengkhianatan, dan merupakan gangguan terhadap orang-orang yang dijamin keamanannya serta membahayakan mereka. Orang-orang yang melakukan perbuatan ini adalah merupakan orang-orang mujrim (jahat). Keyakinan mereka bahwasanya perbuatan ini adalah jihad dengan alasan bahwa orang-orang yang ada di tempat tersebut adalah orang kafir dan halal darahnya, kami katakan, “ini adalah sebuah kesalahan.” Tidak diperbolehkan memerangi mereka, dan perang tidak terjadi kecuali setelah memberikan pemberitahuan perang kepada pihak kuffar dan setelah sepakat untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ

“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur” (QS. Al Anfal: 58).

Maka tidak boleh memerangi mereka yang dijamin keamanannya, demi kemaslahatan. Bahkan dengan memerangi mereka akan timbul mafsadah syar’iyyah, yaitu kaum Muslimin dituduh sembarangan sebagai kaum pengkhianat atau dituduh sebagai kaum teroris” (Sumber: web ibn-jebreen.com fatwa nomor 5318).

Baca Juga: Jenggot Bukan Ciri Teroris

Salah kaprah: “Membunuh non muslim di negeri kaum muslimin adalah jihad”

Jihad itu ibadah yang agung. Oleh karena itu, yang namanya ibadah harus dilakukan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jihad yang tidak sesuai dengan tuntunan, maka sejatinya bukanlah jihad yang syar’i. Sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ’anhu pernah berkata kepada Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu:

أرأيت رجلا خرج يضرب بسيفه يبتغي وجه الله فقتل أيدخل الجنة؟ فقال أبو موسى: نعم. فقال له حذيفة: لا. إن خرج يضرب بسيفه يبتغي وجه الله فأصاب أمر الله فقتل دخل الجنة

“Apakah menurutmu orang yang keluar dengan pedangnya untuk berperang dengan mengharap ridha Allah lalu terbunuh ia akan masuk surga? Abu Musa menjawab: ‘Ya’. Hudzaifah lalu berkata kepadanya: ‘Tidak demikian. Jika ia keluar lalu berperang dengan pedangnya dengan mengharap ridha Allah dan menaati aturan Allah, lalu terbunuh, barulah ia masuk surga‘” (HR. Sa’id bin Manshur dalam Sunan-nya, sanadnya sahih).

Maka jihad yang syar’i itu ada aturan-aturannya. Dan salah satu tuntunan jihad adalah: dilakukan bersama ulil amri (pemerintah). Disebutkan dalam matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah karya Imam Ath-Thahawi:

والحج والجهاد ماضيان مع أولي الأمر من المسلمين‏:‏ برهم وفاجرهم

“Haji dan jihad itu terus ada (sampai hari kiamat). Dilakukan bersama ulil amri kaum Muslimin, baik mereka orang saleh maupun orang fajir (ahli maksiat)”.

Sehingga yang dilakukan para teroris tersebut, berupa aksi-aksi individu atau kelompok saja, tentu tidak bisa disebut sebagai jihad yang syar’i.

Juga di antara ketentuan jihad adalah tidak boleh membunuh non Muslim yang sudah ada perjanjian untuk hidup rukun dan dijamin keamanannya oleh kaum Muslimin. Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

مَن قَتَلَ مُعاهَدًا لَمْ يَرِحْ رائِحَةَ الجَنَّةِ، وإنَّ رِيحَها تُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ أرْبَعِينَ عامًا

“Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahad, ia tidak akan mencium wangi surga. Padahal wanginya tercium dari jarak 40 tahun” (HR. Bukhari no. 3166).

Dan secara umum tidak boleh berbuat zalim walaupun kepada non Muslim. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

اتَّقُوا دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، وَإِنْ كَانَ كَافِرًا، فَإِنَّهُ لَيْسَ دُونَهَا حِجَابٌ

“Waspadalah terhadap doa orang yang terzalimi, walaupun ia kafir. Karena tidak ada hijab antara ia dengan Allah” (HR. Ahmad no.12549, disahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 767).

Juga di antara ketentuan jihad lainnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: tidak boleh membunuh wanita, tidak boleh membunuh anak-anak, tidak boleh menghancurkan gereja, dan ketentuan-ketentuan lainnya. Yang andaikan aksi-aksi para teroris tersebut dianggap jihad yang syar’i (walaupun hakekatnya bukan), ternyata malah melanggar ketentuan-ketentuan ini. Allahul musta’an.

Baca Juga: Berdialog Dengan Teroris

Salah kaprah: “Membunuh polisi dan pejabat pemerintah di negeri kaum muslimin adalah jihad”

Bagaimana mana mungkin seperti ini dikatakan jihad ketika ternyata yang dibunuh oleh para teroris itu adalah sesama kaum muslimin juga?!

Padahal membunuh sesama muslim itu adalah dosa yang sangat besar. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

سِبابُ المسلِمِ فُسوقٌ ، و قتالُه كُفرٌ

“Mencela seorang Muslim itu kefasikan, dan membunuh seorang Muslim itu kekufuran” (HR. Bukhari no. 48, Muslim no.64).

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda:

لَزَوالُ الدُّنيا أهْوَنُ علَى اللَّهِ مِن قتلِ رجلٍ مسلمٍ

“Hancurnya dunia itu lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim” (HR. At Tirmdzi no.1395, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).

Dan para teroris tersebut mungkin menganggap orang yang mereka bunuh telah kafir keluar dari Islam. Maka ini juga bentuk penyimpangan. Yaitu bermudah-mudahan dalam menjatuhkan vonis kafir kepada sesama muslim. Padahal Nabi telah memperingatkan agar kita waspada terhadap perbuatan seperti ini. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا

“Apabila seseorang bermudahan mengatakan kepada saudaranya (sesama muslim): “Wahai kafir”, maka status kafir itu akan kembali kepada salah satunya” (HR. Bukhari no.312, Muslim no.60).

Masalah takfir (vonis kafir) itu masalah berat. Sehingga para ulama mengatakan: “salah ketika tidak mengkafirkan orang yang kafir, itu lebih ringan daripada salah memvonis kafir orang yang tidak kafir”.

Demikian juga masalah berhukum dengan selain hukum Allah. Kita sepakat bahwa tidak boleh berhukum dengan selain hukum Allah ta’ala. Namun tidak semua orang yang melakukannya itu kafir keluar dari Islam, dan juga bukan berarti itu dibolehkan. Namun ada rinciannya yang disebutkan para ulama dalam kitab-kitab akidah. Menggeneralisir semuanya kafir, polisi kafir, pejabat kafir, PNS kafir, karena berhukum dengan selain hukum Allah ini adalah pemahaman yang keliru. Syekh Shalih Al-Fauzan mengatakan:

فمسألة الحكم بغير ما أنزل الله مسألة عظيمة وفيها تفصيل كما ذكر أهل التفسير فلا يطلق الكفر على كل من حكم بغير ما أنزل الله بل يفصل في هذا

“Masalah berhukum dengan selain hukum Allah, ini adalah masalah yang besar. Dan di dalamnya ada rincian, sebagaimana disebutkan para ulama tafsir. Tidak boleh menggeneralisir semua yang berhukum dengan selain hukum Allah itu kafir. Namun seharusnya merinci hal ini” (Syarah Nawaqidhul Islam).

Selain itu juga, andaikan kita benarkan asumsi mereka, bahwa yang diperangi tersebut kafir keluar dari Islam, maka tidak semua orang kafir itu boleh diperangi atau dibunuh. Sebagaimana sudah disebutkan di atas.

[bersambung]

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/63338-salah-kaprah-pelaku-terorisme-berkedok-jihad-bagian-1.html

Keistimewaan Ramadhan, Ada Nuzulul Quran dan Turunnya Berbagai Kitab Suci

Inilah keistimewaan bulan Ramadhan, bukan hanya diturunkan kitab suci Al-Qur’an, tetapi diturunkan pula berbagai kitab suci lainnya.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bulan Ramadhan adalah bulan pilihan diturunkannya Al-Qurán yang mulia. Bahkan kitab suci ilahiyah juga diturunkan oleh Allah di bulan Ramadhan pada para nabi.”(Tafsir Al-Qurán Al-Ázhim, 2:57)

Dari Watsilah bin Al-Asqa’, Rasulullah shallallahu álaihi wa sallam bersabda, “Shuhuf Ibrahim diturunkan pada awal Ramadhan. Taurat diturunkan pada awal-awal Ramadhan. Injil turun pada 13 Ramadhan. Sedangkan Al-Qurán diturunkan oleh Allah pada 24 Ramadhan.” (HR. Ahmad, 4:107, dihasankan oleh Imam As-Suyuthi. Syaikh Al-Albani menyebutkan hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1575).

Diriwayatkan dari Jabir bin Ábdillah, Zabur diturunkan pada 12 Ramadhan, Injil diturunkan pada 18 Ramadhan, sedangkan yang lainnya sama seperti disebutkan di atas. (HR. Abu Ya’la, hadits ini dhaif jiddan).

Shuhuf (lembaran) Ibrahim, Taurat, Zabur, dan Injil diturunkan masing-masing pada nabi-nabinya sekaligus (jumlatan waahidatan). Sedangkan Al-Qurán diturnkan sekaligus di Baitul Ízzah di langit dunia, ini terjadi pada Lailatul Qadar di bulan Ramadhan. Inilah yang difirmankan Allah Taála,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadr: 1).

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.” (QS. Ad Dukhon: 3).

Kemudian setelah itu, Al-Qurán turun secara berangsur-angsur sesuai peristiwa yang dialami oleh Rasulullah shallallahu álaihi wa sallam. Hal ini diriwayatkan dari berbagai jalan dari Ibnu Ábbas.

Ibnu Ábbas berkata, “Al-Qurán diturunkan pada bulan Ramadhan pada Lailatul Qadar di malam penuh berkah. Al-Qurán tersebut turun sekaligus (jumlatan waahidatan). Kemudian Al-Qurán turun secara bertahap sesuai dengan peristiwa, pada bulan dan hari.”(HR. Ibnu Abi Hatim, sanadnya hasan)

Ada juga riwayat dari Ibnu Ábbas yang menyebutkan bahwa Al-Qurán itu diturunkan pada pertengahan Ramadhan ke langit dunia. Al-Qurán diletakkan di Baitul Ízzah. Kemudian Al-Qurán itu turun dalam kurun waktu 24 tahun untuk memberikan jawaban kepada manusia.”(HR. Ath-Thabari, sanadnya saling menguatkan satu dan lainnya).

Lihat bahasan dalam Tafsir Al-Qurán Al-Ázhim, 2:58.

Kesimpulan: Kitab suci Al-Qurán diturunkan sekaligus di Baitul Ízzah di langit dunia pada bulan Ramadhan pada malam Lailatul Qadar. Kemudian Al-Qurán akan turun secara berangsur-angsur sesuai peristiwa. Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya kitab suci lainnya yaitu Shuhuf Ibrahim, Zabur, Taurat, dan Injil. Namun, turunnya keempat kitab ini secara sekaligus (jumlatan waahidatan).

Referensi:

Tafsir Al-Qurán Al-Ázhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Doa Sepanjang Ramadhan

Salah satu ibadah yang selayaknya kita perbanyak di hari-hari Bulan Ramadhan adalah berdoa. Begitu banyak waktu  mustajab sepanjang Ramadhan yang hendaknya kita manfaatkan untuk berdoa memohon kebaikan urusan dunia dan akhirat kita.

Perintah Berdoa Setelah Ayat Kewajiban Puasa

Dalam surat Al Baqarah ayat 183-185 Allah menjelaskan tentang kewajiban untuk berpuasa Ramadhan. Dalam ayat selanjutnya Allah Ta’ala berfirman :

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah: 186)

Syaikh Ibnu al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan di antara faidah ayat ini menunjukkan bahwasanya puasa merupakan kemungkinan besar sebab terkabulnya doa, karena Allah Ta’ala menyebutkan ayat ini dalam serangkaian ayat-ayat tentang puasa. Apalagi ayat ini disebutkan di akhir ayat-ayat tentang puasa. Sebagian ulama mengambil faidah bahwa hendaknya memperbanyak berdoa di akhir hari ketika berpuasa yakni saat berbuka. (Lihat Tafsir Surat Al Baqarah karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah)

Banyak Doa Saat Puasa

Di antara sebab terkabulnya doa adalah saat kita berpuasa.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Tiga golongan yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi.” (HR. Ahmad, shahih)

Dalam hadits yang lain disebutkan secara khusus saat berbuka, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  :

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Ada tiga golongan yang doanya tidak ditolak : Pemimpin yang adil, orang yang berpuasa ketika dia berbuka, doa orang yang terzalimi.” (HR. Tirmidzi, hasan)

Oleh karena itu tidak selayaknya kita meninggalkan doa di hari-hari puasa kita, lebih-lebih lagi saat menjelang waktu berbuka puasa.

Doa dan Istighfar di Waktu Sahur

Demikian pula hendaknya kita banyak memanfaatkan waku sahur untuk berdoa dan istighfar. Waktu sahur termasuk sepertiga malam terakhir yang memiliki keutamaan yang luar biasa.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Kemudian Allah berfirman, “Siapa saja yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku penuhi. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku  maka akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Di antara sifat ahli surga adalah orang yang memperbanyak istighfar di waktu sahur. Allah berfirman Ta’ala berfirman :

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

Merekalah orang-orang yang penyabar, jujur, tunduk, rajin berinfak, dan rajin istighfar di waktu sahur.” (Ali Imran: 17)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan:

دَلَّ عَلَى فَضِيلَةِ الِاسْتِغْفَارِ وَقْتَ الْأَسْحَارِ

“ Ayat ini menunjukkan keutamaan memperbanyak istighfar di waktu sahur.” (Tafsir Ibnu katsir)

Betapa istimewanya waktu sahur yang merupakan sepertiga malam terakhir yang penuh keutamaan. Oleh karena itu jangan lewatkan waktu ini untuk beramal ketaatan dan berdoa serta memohon ampun kepada Allah.

Jangan Lupa Berdoa Untuk Kebaikan Akhirat Kita

Kaum muslimin, gunakanlah kesempatan ketika berdoa untuk meminta kebaikan bagi urusan dunia dan akhirat kita. Apapun yang kita minta, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa kepada Allah. Namun yang perlu diingat, jangan lupa kita perbanyak minta doa untuk kebaikan agama dan akhirat kita. Kebanyakan manusia, umumnya hanya minta kebaikan urusan dunia mereka. Meminta kelancaran atas rezekinya, dimudahkan jodohnya, disembuhkan sakitnya, menjadi sukses dan berkembang usahanya, dipermudah urusan kariernya, dan berbagai urusan dunia lainnya.

Terkadang manusia lupa untuk meminta kebaikan berkaitan urusan agamanya. Padahal ini lebih penting. Kita meminta kepada Allah hal-hal yang berkaitan kebaikan agama dan akhirat kita. Meminta untuk dimudahkan dalam beramal, meminta untuk bisa istiqomah di atas Islam, meminta untuk dimantapkan dalam keimanan, meminta untuk dihapuskan dosa dan diterimanya amal kita, meminta kematian khusnul khotimah, meminta untuk mendapat surga yang terbaik, meminta agar dijauhkan dari siksa neraka, dan sebagainya. Jangan sampai permintaan kita dalam berdoa hanyalah berkenaan urusan kebaikan dunia kita, sampai lupa untuk berdoa meminta kebaikan akhirat kita.

Mari, jadikanlah doa menghisasi sepanjang hari-hari Ramadhan kita. Semoga Allah mengabulkan setiap doa-doa kita. Wallahu waliyyu at tauifiiq.

Penyusun : Adika Mianoki

Artikel: Muslim.or.id

Sahur dan Berbuka dengan Thibbun Nabawi

Rasa lemah dan mengantuk saat puasa bisa jadi karena asupan saat sahur dan buka

Puasa dalam Islam jauh lebih dari sekedar himyah (menahan makan). Puasa dalam Islam adalah ibadah, bentuk penyehatan diri dan untuk menggapai takwa. Maka ada baiknya kita mempelajari juga perihal berbuka dan bersantap di antara dua puasa agar ketika berpuasa tidak mengalami gangguan, penyakit atau kelemahan fisik.

Rasa lemah dan mengantuk terus-menerus yang sering mendera selama Ramadhan dan akhirnya membuat malas melaksanakan ibadah lainnya, bisa jadi dipengaruhi asupan sejak berbuka hingga sahur.

Terlalu banyak makan dapat menyebabkan lambung menjadi dingin (kurang enzim pencernaan). Mengonsumsi berbagai makanan, seperti yang lambat dan cepat dicerna secara bersamaan, justru dapat menyebabkan penyakit. Oleh karenanya Rasulullah SAW pun ketika dapat tersedia makanan, beliau memilih menu berbuka dan sahur yang sederhana lagi baik untuk tubuh.

Berikut ini makanan dan minuman yang terdokumentasi dalam hadits dan dapat menjadi pilihan untuk sahur dan berbuka :

  1. Ruthob (Kurma Segar)

“Rasulullah SAW biasa berbuka dengan rothob (kurma segar) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada ruthob (kurma basah), maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan seteguk air.” (Riwayat Abu Daud dan Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Menurut Ibnu Muflih, sifat kurma ruthob panas dan lembab pada tingkat kedua, dapat menguatkan lambung yang dingin dan cocok untuk tipe lambung tersebut. Ruthob dapat meningkatkan libido dan memberi nutrisi untuk tubuh.

Namun bagi yang belum terbiasa mengonsumsinya bisa mengalami pusing, sembelit dan nyeri kandung kemih apabila terlalu banyak memakannya. Untuk mencegah hal tersebut dapat mengonsumsi ruthob bersama dengan mentimun atau semangka.

  1. Tamr (Kurma Kering)

Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian akan berbuka puasa, maka berbukalah dengan kurma sebab kurma itu berkah, kalau tidak ada, maka dengan air karena air itu bersih dan suci.” (Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi)

Kurma kering (tamr) saat ini telah sangat mudah ditemukan di Indonesia, tak hanya banyak di bulan Ramadhan. Tentunya menu ini sangat memungkinkan untuk diterapkan sebagai makanan utama ketika berbuka, tentunya juga sahur.

Hadits Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, “Sebaik-baik (menu) makan sahur seorang mukmin adalah tamr (kurma kering).” (Riwayat Abu Dawud: 23345, hadits ini hadits shahih)

Mengenai berbuka dengan tamr, Ibnu Muflih menjelaskan, puasa itu mengosongkan perut dari makanan, sehingga liver dan stamina pun melemah. Sedangkan stamina sangat tertarik dan suka kepada sesuatu yang manis, sehingga ia bisa menguat dengan cepat bila mendapatkannya.

Kurma, khususnya ruthob dan tamr adalah makanan pokok penduduk Madinah zaman Rasulullah SAW. Mereka memperlakukannya seperti nasi bagi orang Indonesia. Apabila kita telah terbiasa insya Allah bersantap sahur dengan tamr akan mendapatkan manfaat yang sama. Namun apabila belum terbiasa bisa saja mengalami efek samping berupa sakit kepala, haus dan perut terasa panas. Hal itu dapat diatasi dengan meminum sakanjabin setelah mengonsumsi tamr yang resepnya telah dijelaskan di edisi lalu.

Apabila kurma terlalu manis, efek negatif yang ditimbulkan adalah rasa haus, maka dapat berbuka dan sahur dengan kurma dan segelas air. Kurma tersebut juga dapat dibuat naqi’ agar tidak terlalu manis dan lebih cepat diserap tubuh. Selain itu bagi ibu hamil dan menyusui dapat mengonsumsi kurma tamr yang direndam dalam susu.

  1. Susu

Dari Anas RA berkata, “Adalah (Nabi) SAW bila puasa, beliau berbuka dengan susu.” (Riwayat Thabarani dan Daraquthni, hadits lemah)

Dalam hadits ini susu yang dimaksud adalah laban, bahasa lainnya labneh, yaitu berupa susu yang telah diasamkan, seperti yoghurt. Sedangkan susu yang segar dan belum asam disebut laban halib. Hadits ini lemah.

Rasulullah SAW sering meminum susu di malam hari, misalnya ketika beliau sedang dalam perjalanan hijrah dan menetap di gua. Penggembala kambing milik Abu Bakar RA lah yang memasak dan membawakan laban marduf untuk mereka berdua.

  1. Sawiq (Air Biji Barley-Gandum)

Dari Abdullah bin Abi Aufan RA, dia berkata, “Kami bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan sedangkan dia dalam keadaan puasa. Ketika matahari terbenam, dia berkata kepada sebagian orang, ‘Wahai fulan, campurkan sawiq dengan air dan aduklah agar dapat kita minum.’ Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, hari masih sore.’ Beliau berkata, ‘Turunlah dan buatkan minuman itu untuk kami.’ Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, hari masih sore.’ Beliau berkata, ‘Turunlah dan buatkan minuman itu.’ Dia berkata, ‘Hari masih siang.’ Maka dia singgah untuk membuatkan minuman, lalu Nabi SAW meminumnya. Kemudian beliau bersabda, ‘Jika kalian menyaksikan malam telah datang dari sini dan sini, maka orang berpuasa boleh berbuka.” (Riwayat Bukhari (1955) dan Muslim (1101))

Sawiq adalah minuman yang menyegarkan dan bergizi. Biasanya terbuat dari butir biji-bijian seperti biji barley atau gandum yang telah disangrai, ditambah dengan kacang-kacangan seperti almond, gula dan air. Minuman ini dapat membuat wanita menjadi gemuk berisi, cantik dan sehat.

Sawiq yang dibuat dari gandum dapat meredakan hawa panas dan haus, direkomendasikan untuk orang-orang dengan liver yang bersifat panas. Sawiq dari tepung barley lebih mendinginkan, menutrisi, lebih manis dan lebih lembut dari sawiq gandum.

Sawiq adalah menu berbuka bagi para traveller, terutama seperti yang dialami oleh Rasulullah SAW yang harus mengembara menerjang gurun yang panas. Berbuka dengan sawiq akan menyegarkan tubuh dan meredakan panas tubuh serta haus yang sangat.

Di zaman Rasulullah SAW lebih mudah ditemukan biji barley sebagai makanan pokok dibanding gandum. Sementara di Indonesia gandum lebih mudah didapat dibanding dengan biji barley. Dalam kitab At-Tabikh, Ibnu Sayyar menempatkan satu bab mengenai resep sawiq bagi kalangan traveller.

  1. Air

Diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda, “Bersahurlah! meski hanya dengan meminum seteguk air” (Riwayat Ibnu Hibban (3476), hadits ini hasan)

Air adalah materi paling sederhana, juga untuk keadaan darurat bagi menu sahur dan berbuka, mengingat pentingnya menjaga kesehatan air dapat melaksanakan tugas itu. Wallahu ‘Alam, semoga bermanfaat!

Oleh : Joko Rinanto, S.Farm

HIDAYATULLAH