Menggegerkan! Model Majalah Play Boy Masuk Islam

Menjadi model majalah tersohor di dunia tentu membanggakan. Bayarannya menggiurkan. Bergaya hidup glamor, dan didambakan banyak lelaki. Tetapi model majalah Play Boy ini memilih masuk Islam dan meninggalkan semuanya. Majalah ini suka menampilkan foto-foto model cantik nan seksi. Siapakan model itu dan mengapa hijrah?

Lengkapnya tonton videonya di sini

HIDAYATULLAH.com

Enam Hal Agar Hutang Menjadi Berkah

Hutang-piutang sudah menjadi muamalah yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Hutang-piutang diperbolehkan di dalam Islam karena ia termasuk akad ta’awun (tolong menolong) untuk menolong orang yang membutuhkan bantuan dan juga merupakan akad tabarru’ (sosial) sebagai kepedulian untuk membantu orang-orang yang sedang dalam kesulitan. Bahkan memberikan hutangan kepada orang yang membutuhkan nilai pahalanya lebih besar daripada bersedekah kepada para peminta-minta.

Nabi  ﷺ bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah;

رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ مَكْتُوبًا الصَّدَقَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا وَالْقَرْضُ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ فَقُلْتُ يَا جِبْرِيلُ مَا بَالُ الْقَرْضِ أَفْضَلُ مِنَ الصَّدَقَةِ قَالَ لأنَّ السَّائِلَ يَسْأَلُ وَعِنْدَهُ وَالْمُسْتَقْرِضُ لا يَسْتَقْرِضُ إِلا مِنْ حَاجَةٍ ))

“Pada waktu peristiwa isra’, aku melihat pada pintu sorga tertulis ‘Sedekah dibalas dengan sepuluh kali lipat, dan memberi hutangan dibalas dengan delapan belas kali lipat’. Maka aku (Rasulullah ﷺ) bertanya ‘Wahai Jibril, mengapa memberi hutangan lebih afdhol ketimbang sedekah? Jibril menjawab ‘Karena seorang peminta-minta dia meminta sedekah padahal dia sudah mempunyai sesuatu, sedangkan orang yang berhutang tidaklah ia berhutang kecuali karena ia memang sangat membutuhkan.”

Agar hutang-piutang sesuai syari’ah, mendatangkan pahala dan tidak jatuh kepada riba maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan;

Pertama, pemberi hutang atau pinjaman tidak diperkenankan mengambil manfaat atau keuntungan duniawi dari orang yang berhutang. Sebab keuntungan yang didapat dari pemberian pinjaman termasuk riba. Nabi ﷺ bersabda;

أإِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا ، فَأُهْدِيَ إِلَيْهِ طَبَقًا فَلا يَقْبَلْهُ ، أَوْ حَمَلَهُ عَلَى دَابَّةٍ فَلا يَرْكَبْهَا إِلا أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ

“Apabila salah seorang kalian memberi hutang (pada seseorang) kemudian dia memberi hadiah kepadanya, atau membantunya naik ke atas kendaraan maka janganlah ia menaikinya dan jangan menerimanya, kecuali jika hal itu telah terjadi antara keduanya sebelum itu.” (HR. Ibnu Majah)

Terkecuali kalau keuntungan tersebut tidak disyaratkan diawal akad, maka diperbolehkan bagi pemberi pinjaman untuk menerimanya. Seperti ketika orang yang berhutang pada saat melunasi hutangnya memberi hadiah kepada pemberi hutang sebagai tanda terima kasih atas bantuan hutang atau pinjaman yang diberikan. Jabir bin Abdillah meriwayatkan dari Nabi ﷺ

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَضَانِي وَزَادَنِي

“Aku menemui Nabi  saat Beliau berada di masjid, lalu Beliau membayar hutangnya kepadaku dan memberi lebih kepadaku.” (HR. Bukhari)

Dalam Islam ada dua macam akad, yaitu akad tabarru’ (akad sosial) dan akad mu’awadlah (akad komersial).  Hutang piutang masuk dalam ranah akad tabarru’ atau akad sosial yang oleh karena itu tidak diperkenankan seseorang untuk mengambil keuntungan darinya. Sedangkan untuk mengambil keuntungan materi Allah menjadikan akad jual beli, murabahah, mudharabah dan sebagainya. Bila akad sosial dan tolong-menolong seperti memberi hutangan disalahgunakan untuk mencari keuntungan materi maka itulah riba yang pelakunya diperangi Allah dan Rasul-Nya dan diancam dengan adzab neraka jahanam dalam waktu yang lama (QS. Al Baqarah: 275-277)

Kedua, hutang-piutang seyogyanya dipersaksikan dan tertulis, sebagaimana yang diperintah oleh Allah dalam QS: Albaqarah ayat 282. Hal ini begitu penting untuk menghindari potensi kedzaliman yang mungkin di lakukan oleh salah satu pihak, baik penghutang atau si pemberi hutang di kemudian hari. Banyak kasus terjadi dimana orang-orang yang berhutang mengingkari hutangnya ketika ditagih oleh si pemberi hutang. Maka disinilah perlunya saksi dan pencatatan dalam akad hutang piutang.

Ketiga, ketika berhutang hendaknya seseorang berniat untuk segera melunasinya bila sudah mempunyai kemampuan membayar. Niat yang benar untuk membayar hutang akan membantu seseorang dalam melunasi hutangnya. Rasulullah  ﷺ bersabda;

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

“Siapa yang mengambil harta manusia (berhutang) disertai maksud akan membayarnya maka Allah akan membayarkannya untuknya, sebaliknya siapa yang mengambilnya dengan maksud merusaknya (merugikannya) maka Allah akan merusak orang itu.” (HR. Bukhari)

Rasulullah ﷺ menerangkan seseorang yang berhutang dan mempunyai niat buruk untuk tidak melunasinya maka kelak ia akan menghadap Allah dengan menyandang predikat sebagai seorang pencuri.

فأَيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا

“Orang mana saja yang berhutang dan berniat tidak membayarnya, maka ia akan datang menghadap Allah sebagai seorang pencuri.” (HR. Ibnu Majah)

Keempat, ketika melunasi hutang hendaknya si penghutang melunasi dengan cara yang baik. Termasuk  cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah disepakati bersama. Memberi hadiah atau kelebihan ketika melunasi hutang termasuk salah satu kebaikan yang dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ, hal ini tidak masalah asalkan hadiah atau kelebihan tersebut tidak disyaratkan di awal akad baik oleh yang memberi hutang atau yang berhutang.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah berhutang seekor onta dari seorang laki-laki. Hingga beberapa hari kemudian datanglah orang tersebut kepada Rasulullah ﷺ untuk menagih ontanya. Lalu Rasulullah meminta para sahabat untuk mencari onta semisal untuk dibayarkan kepada laki-laki tersebut. Setelah dicari kesana kemari onta yang dimaksud oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaii Wassallam ternyata tidak ada melainkan onta yang lebih berumur dari yang dihutang oleh Rasulullah. Rasulullah pun bersabda kepada sahabat;

فَاشْتَرُوْهُ فَأَعْطُوْهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Belilah dan berikan kepadanya, karena sebaik-baik kalian adalah yang paling baik ketika membayar hutangnya.”

Kelima, apabila orang yang berhutang mengalami kesulitan sehingga ia belum berkemampuan untuk membayar hutang yang telah tiba jatuh temponya, maka bagi si pemberi hutang hendaklah memberi penangguhan pembayaran. Memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan membayar hutang adalah akhlak terpuji yang memiliki banyak keutamaan, diantaranya;

Ia akan mendapat naungan dan perlindungan dari Allah pada hari kiamat. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ , فَلْيُنْظِرْ مُعْسِرًا , أَوْ لِيَضَعْ عَنْهُ

“Barangsiapa yang ingin diberi naungan oleh Allah dalam naungannya, maka hendaklah ia memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan membayar hutang atau ia bebaskan darinya.” (HR. Muslim)

Setiap harinya ia mendapat pahala sedekah sebesar nilai hutang yang ia berikan ketika ia memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan membayar hutang hingga hutangnya dilunasi. Rasulullah ﷺ bersabda;

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلُهُ صَدَقَةً قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الدَّينُ فَإِذَا حَلَّ الدَّينُ فأنظره فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلُهُ صَدَقَةً

“Barangsiapa yang memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan membayar hutang, maka baginya setiap hari ada pahala sedekah senilai hutang yang ia berikan, sebelum hutang itu lunas. Jika hutang itu belum lunas, lalu dia memberi penangguhan lagi maka baginya setiap hari ada pahala sedekah senilai itu.” (HR. Ahmad)

Allah akan memberinya ampunan dan memasukkannya ke dalam Surga.

إِنَّ رَجُلًا كَانَ فِيْمَنْ قَبْلَكُمْ أَتَاهُ الْمَلَكُ لِيَقْبِضَ رُوْحَهُ ، فَقِيْلَ لَهُ : هَلْ عَمِلْتَ مِنْ خَيْرٍ ؟ قَالَ : ماَ أَعْلَمْ . قِيْلَ لَهُ : اُنْظُرْ . قَالَ : مَا أَعْلَمْ شَيْئًا ، غَيْرَ أَنِّي كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فِي الدُّنْيَا وَأُجَازِيْهِمْ فَأُنْظِرَ الْمُوْسِرَ ، وَأَتَجَاوَزُ عَنِ الْمُعْسِرِ ، فَأَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ

“Sesunguhnya ada seorang laki-laki yang hidup di zaman sebelum kalian yang didatangi malaikat untuk mencabut ruhnya. Lalu dikatakan kepadanya ‘apakah engkau pernah mengerjakan kebaikan?’ ia menjawab ‘aku tidak tahu’. Lalu dikatakan kepadanya ‘lihatlah!’ ia berkata ‘Aku tidak tahu, hanya saja dahulu sewaktu di dunia aku melakukan jual beli dengan orang dan aku memberi kemudahan kepada mereka, aku memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan membayar, bahkan aku membebaskan orang yang kesulitan membayar’. Maka Allah pun memasukkannya ke dalam Surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keenam, bila ada keterlambatan pembayaran dari orang yang berhutang ketika sudah jatuh tempo, jangan sampai dikenakan denda. Karena denda yang muncul karena keterlambatan dalam membayar hutang adalah riba jahiliyah yang diharamkan di dalam Islam.*/Imron Mahmud

HIDAYATULLAH

Mengobati Kegalauan (Bag. 4)

Selawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذا ذهب ثُلُثَا الليلِ قام فقال يا أيُّها الناسُ اذكُروا اللهَ اذكروا اللهَ جاءتِ الراجفةُ تَتْبَعُها الرادِفَةُ جاء الموتُ بما فيه جاء الموتُ بما فيه قال أُبَيٌّ قلْتُ يا رسولَ اللهِ إِنَّي أُكْثِرُ الصلاةَ عليْكَ فكم أجعَلُ لكَ من صلاتِي فقال ما شِئْتَ قال قلتُ الربعَ قال ما شئْتَ فإِنْ زدتَّ فهو خيرٌ لكَ قلتُ النصفَ قال ما شئتَ فإِنْ زدتَّ فهو خيرٌ لكَ قال قلْتُ فالثلثينِ قال ما شئْتَ فإِنْ زدتَّ فهو خيرٌ لكَ قلتُ أجعلُ لكَ صلاتي كلَّها قال : إذًا تُكْفَى همَّكَ ويغفرْ لكَ ذنبُكَ

Dahulu bila berlalu dua per tiga malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun dan berkata, “Wahai, sekalian manusia, berzikirlah kepada Allah, berzikirlah kepada Allah! Pasti datang tiupan Sangkakala pertama yang diikuti dengan yang kedua. Datang kematian dengan kengeriannya, datang kematian dengan kengeriannya”.
Ubai berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai, Rasulullah, Aku memperbanyak selawat untukmu. Berapa banyak aku berselawat untukmu?’.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ”Terserah dirimu” Lalu Ubai berkata lagi,  “Aku berkata, ‘Seperempat.’.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ”Terserah dirimu. Tetapi jika engkau tambah, shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab lagi, “Terserah dirimu, tetapi jika engkau tambah, maka itu lebih baik bagimu.” Maka aku berkata lagi, “Kalau begitu, dua per tiga”.
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ”Terserah dirimu. Jika engkau tambah, maka itu lebih baik bagimu.” Lalu aku berkata, ”Aku jadikan seluruh (doaku) adalah selawat untukmu.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Jika begitu (selawat) itu mencukupkan keinginanmu (dunia dan akhirat) dan Allah akan mengampuni dosamu”. (HR at-Tirmidzi, beliau berkata , “Ini adalah hadis hasan sahih. As-Sunan no. 2457, dinilai hasan oleh Syekh al-Albani)

Tawakal kepada Allah ta’ala dan menyerahkan seluruh perkara kepada-Nya

Allah ta’ala adalah Zat yang maha Kuasa atas segala sesuatu dan tidak butuh bantuan siapa pun dalam mengatur segala urusan. Pengaturan-Nya terhadap hamba lebih baik dari pada pengaturan hamba kepada dirinya sendiri. Dia lebih mengetahui mana yang lebih mashlahat untuk hamba dari pada hamba itu sendiri. Dia lebih menyayangi hamba dari pada hamba itu menyayangi dirinya sendiri. Tidak ada yang mampu mendahulukan atau menunda sesuatu yang telah Dia tetapkan. Barang siapa yang menyadari hal itu semua, maka seharusnya hamba menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Manusia adalah makhluk lemah yang berada di bawah kekuasaan Allah ta’ala yang Maha Merajai, Maha Perkasa lagi Maha Kuasa. Barang siapa yang menyerahkan segala urusannya secara totalitas kepada Allah ta’ala maka akan pergilah berbagai kegalauan, kecemasan, kesesakan hidup dan penyesalan. Semua hajat dan kemashlahatannya akan diurus oleh Allah ta’ala. Hamba tersebut tidak akan lelah memikirkan kebutuhannya dan beban berat yang harus dipikulnya karena dia yakin Allah ta’ala yang akan menyelesaikannya. Betapa indahnya hidup, besarnya kegembiraan dan lapangnya hati ketika Allah ta’ala telah mengosongkan hati dan pikirannya dari berbagai beban tersebut.

Adapun orang yang ingin mengatur dirinya sendiri, maka Allah ta’ala palingkan dia ke mana dia ingin berpaling. Dia hadirkan kegalauan, kecemasan, kesedihan, kesusahan, kekhawatiran, dan keletihan bagi orang tersebut. Mereka berada dalam keadaan yang buruk dan hatinya tertutup. Hatinya keruh, amalnya terkotori, harapannya tak terwujud, kenyamanan tak tergapai, kelezatan tak tercapai, dan dia dihalangi dengan terwujudnya kegembiraan. Dia bersusah payah dalam hidupnya di dunia sebagaimana susahnya binatang, dia tidak mendapatkan apa yang dia angan-angankan. Dia pun tidak mengambil bekal dari dunia untuk menuju tempat kembali nanti. (Al-Fawaid hal. 209)

Jika hati bersandar kepada Allah ta’ala, bertawakal kepada-Nya, tidak pasrah kepada berbagai pikiran, tidak dikuasai dengan angan-angan yang buruk, maka akan tercegah kegalauan dan berbagai penyakit hati serta penyakit badan. Dia akan mendapatkan kegembiraan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Orang yang sehat dan selamat adalah orang yang Allah ta’ala selamatkan dan Allah beri taufik kepadanya untuk terwujudnya sebab-sebab yang manfaat untuk menguatkan hati dan mencegah kecemasan hati. Allah ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُه

“Barangsiapa bertawakal kepada Allah maka Dia akan mencukupinya,”. (QS. Ath-Thalaq: 3)

Maksudnya Allah ta’ala akan mencukupi apa yang dia pikirkan baik masalah agama maupun dunianya. Orang yang bertawakal kepada Allah ta’ala akan kuat hatinya, tidak terpengaruh berbagai bayang-bayang, tidak terganggu berbagai peristiwa karena dia sadari keresahan itu disebabkan karena rapuhnya jiwa, ketakutan yang hanya dalam pikirannya, sedangkan Allah ta’ala pasti menjamin hamba yang bertawakal kepada-Nya dengan kecukupan yang sempurna. Dia yakin kepada Allah ta’ala dan tenang dengan janji-Nya tersebut. Pergilah berbagai kegalauan, kesukaran berganti dengan kemudahan, kesulitan berganti dengan kebahagiaan, kekhawatiran berganti dengan rasa aman. Kita memohon kepada Allah ta’ala keselamatan, semoga Allah ta’ala menganugerahkan kekuatan hati dan tetapnya tawakal yang sempurna kepada kita.

Bersemangat dalam mengerjakan kegiatan yang bermanfaat, fokus mengerjakan apa yang harus dikerjakan saat ini, dan tidak memikirkan sesuatu yang belum terjadi ataupun kesedihan di masa lalu

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta perlindungan kepada Allah ta’ala  dari penyakit hamm dan haznAl-Hamm adalah galau dengan sesuatu yang belum terjadi, sedangkan hazn adalah sedih dengan sesuatu yang telah terjadi. Kiat supaya tidak terpenjara dengan masa lalu, dan tidak galau dengan masa depan adalah menjadi orang yang fokus dengan hari ini. Dia kumpulkan kesungguhannya untuk memperbaiki hari ini. Maka mengumpulkan hati fokus untuk hari ini akan membuahkan aktivitas secara sempurna. Jika orang sibuk dengan aktivitas hari ini maka dia akan terhibur dari kecemasan dan kesedihan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari umat untuk senantiasa berdoa dan juga mengajarkan untuk bersungguh-sungguh beramal supaya harapannya itu terwujud. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya mengajarkan umatnya untuk berdoa saja atau berusaha saja, namun beliau ajarkan umatnya untuk berdoa dan berusaha semaksimal mungkin karena doa itu bergandeng dengan amal.

الْمُؤْمِنُ القَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إلى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وفي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ باللَّهِ ولا تَعْجِزْ، وإنْ أَصَابَكَ شيءٌ، فلا تَقُلْ لو أَنِّي فَعَلْتُ كانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَما شَاءَ فَعَلَ، فإنَّ لو تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.

“Seorang mukmin yang kuat imannya lebih baik dan lebih Allah cintai daripada seorang mukmin yang lemah imannya, dan masing-masing berada dalam kebaikan. Bersungguh-sungguhlah pada perkara-perkara yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu katakan, ‘Seandainya aku berbuat demikian, pastilah akan demikian dan demikian’ Akan tetapi katakanlah, ‘Qodarullah wamaa sya’a fa’ala (Allah telah mentakdirkan hal ini dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi)’. Sesungguhnya perkataan ‘Seandainya’ membuka pintu perbuatan setan.” (HR. Muslim no. 2664)

Dalam hadis tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan untuk:

  1. Senantiasa bersungguh-sungguh, bersemangat dan antusias dalam melakukan hal yang bermanfaat.
  2. Senantiasa meminta kepada Allah ta’ala.
  3. Larangan untuk bersikap lemah dan malas.
  4. Tidak berandai-andai dengan sesuatu yang telah terjadi dan mengembalikan musibah yang telah terjadi kepada takdir Allah ta’ala.

Hadis di atas  membagi perkara menjadi 2 macam:

  1. Perkara bermanfaat yang bisa diusahakan oleh hamba untuk terwujud atau perkara buruk yang bisa diusahakan untuk dicegah. Dalam perkara ini, seorang mukmin hendaknya senantiasa bersungguh-sungguh dan meminta kepada Allah ta’ala.
  2. Perkara yang sudah tidak bisa diusahakan untuk terwujud atau dicegah karena sudah terjadi. Dalam perkara ini, seorang mukmin hendaknya rida, tenang dan menyerahkan semua yang telah terjadi tersebut kepada Allah ta’ala.

Tidak diragukan bahwa memperhatikan hal ini merupakan sebab kebahagiaan dan perginya kegalauan serta kecemasan. (Al-Wasail al-mufiidah lilhayah as-sa’iidah, Ibnu Sa’di).

Hadis di atas juga mengajarkan salah satu sebab yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kegalauan adalah tidak menyibukkan pikirannya dengan apa yang telah terjadi. Lawan hati dari hal yang membuat cemas hatinya dan ketakutan berbagai khayalan di masa depan. Kita harus sadar bahwa masa depan tidak kita ketahui. Masa depan itu di tangan Allah yang Maha Bijaksana. Hamba tidak mampu melakukan apapun selain berusaha untuk mewujudkan kebaikan baginya dengan doa dan ikhtiar semampunya. (Al-Wasail al-mufiidah lilhayah as-sa’iidah, Ibnu Sa’di).

Penulis: apt. Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/67685-mengobati-kegalauan-bag-4.html

Dunia Memang Menggiurkan

Di antara sebab mengapa masih ada yang gemar melakukan ritual pesugihan dan ritual kesyirikan lainnya adalah karena tergiur dengan dunia yang diperkuat dengan lemahnya iman. Akhirnya, segala cara ditempuh, meskipun dimurkai oleh Allah bahkan cara-cara yang tidak masuk akal pun dilakukan. Karena memang demikianlah sifat dunia, membuat setiap orang tergiur karena sifatnya yang hijau nan manis.

Abu Sa’id Al Khudri mengisahkan, pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke mimbar lalu beliau berkhutbah, “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian ialah keberkahan bumi yang akan Allah keluarkan untuk kalian.” Sebagian sahabat bertanya, “Apakah keberkahan bumi itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Perhiasan kehidupan dunia.” Selanjutnya seorang sahabat kembali bertanya: “Apakah kebaikan (perhiasan dunia) itu dapat mendatangkan kejelekan?” Mendengar pertanyaan itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi terdiam, sampai-sampai kami mengira bahwa beliau sedang menerima wahyu. Selanjutnya beliau menyeka peluh dari dahinya, lalu bersabda, “Manakah si penanya tadi?” Sahabat si penanya pun menyahut, “Inilah aku.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

لاَ يَأْتِى الْخَيْرُ إِلاَّ بِالْخَيْرِ ، إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، وَإِنَّ كُلَّ مَا أَنْبَتَ الرَّبِيعُ يَقْتُلُ حَبَطًا أَوْ يُلِمُّ ، إِلاَّ آكِلَةَ الْخَضِرَةِ ، أَكَلَتْ حَتَّى إِذَا امْتَدَّتْ خَاصِرَتَاهَا اسْتَقْبَلَتِ الشَّمْسَ ، فَاجْتَرَّتْ وَثَلَطَتْ وَبَالَتْ ، ثُمَّ عَادَتْ فَأَكَلَتْ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَالَ حُلْوَةٌ ، مَنْ أَخَذَهُ بِحَقِّهِ وَوَضَعَهُ فِى حَقِّهِ ، فَنِعْمَ الْمَعُونَةُ هُوَ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِغَيْرِ حَقِّهِ ، كَانَ الَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ

Kebaikan itu tidaklah membuahkan/mendatangkan kecuali kebaikan. Sesungguhnya harta benda ini nampak hijau (indah) nan manis (menggiurkan). Sungguh perumpamaannya bagaikan rerumputan yang tumbuh di musim semi. Betapa banyak rerumputan yang tumbuh di musin semi menyebabkan binatang ternak mati kekenyangan hingga perutnya bengkak dan akhirnya mati atau hampir mati. Kecuali binatang yang memakan rumput hijau, ia makan hingga ketika perutnya telah penuh, ia segera menghadap ke arah matahari, lalu memamahnya kembali, kemudian ia berhasil membuang kotorannya dengan mudah dan juga kencing. Untuk selanjutnya kembali makan, demikianlah seterusnya. Dan sesungguhnya harta benda ini terasa manis. Barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang benar dan membelanjakannya dengan benar pula, maka ia adalah sebaik-baik bekal. Sedangkan barang siapa yang mengumpulkannya dengan cara yang tidak benar, maka ia bagaikan binatang yang makan rerumputan akan tetapi ia tidak pernah merasa kenyang, (hingga akhirnya ia pun celaka karenanya).” (HR. Bukhari no. 6427 dan Muslim no. 1052).

Itulah keadaan manusia akan saling berlomba untuk meraih dunia. Dari ‘Amr bin Al ‘Ash, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا فُتِحَتْ عَلَيْكُمْ فَارِسُ وَالرُّومُ أَىُّ قَوْمٍ أَنْتُمْ ». قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ نَقُولُ كَمَا أَمَرَنَا اللَّهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ تَتَنَافَسُونَ ثُمَّ تَتَحَاسَدُونَ ثُمَّ تَتَدَابَرُونَ ثُمَّ تَتَبَاغَضُونَ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ ثُمَّ تَنْطَلِقُونَ فِى مَسَاكِينِ الْمُهَاجِرِينَ فَتَجْعَلُونَ بَعْضَهُمْ عَلَى رِقَابِ بَعْضٍ.

Jika Persia dan Romawi telah ditaklukkan, lantas bagaimanakah keadaan kalian? ‘Abdurrahman bin ‘Auf berkata, ”Sebagaimana Allah perintahkan kepada kami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seperti itu, kalian akan saling berlomba, saling dengki, saling bermusuhan, saling benci, atau semacam itu (dalam meraih dunia, pen). Kemudian kalian berangkat ke tempat-tempat tinggal kaum muhajirin dan kalian menjadikan sebagian mereka membunuh sebagian yang lain” (HR. Muslim no. 2962).

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَخْشَى عَلَيْكُمُ الْفَقْرَ وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمُ التَّكَاثُرَ

Yang aku khawatirkan pada kalian bukanlah kemiskinan, namun yang kukhawatirkan adalah saling berbangganya kalian (dengan harta)” (HR. Ahmad 2: 308. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim).

Sifat manusia yang ‘takatsur’ yang saling berlomba untuk bermegah-megahan dalam dunia disebutkan dalam ayat,

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (3) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4) كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (5) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (6) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ (7) ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ (8

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, (1) sampai kamu masuk ke dalam kubur. (2) Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), (3) dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. (4) Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, (5) niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, (6) dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. (7) kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu) (8).” (QS. At Takatsur: 1-8)

Karena ingin saling berbangga, maka lalailah dari ketaatan. Al Hasan Al Bashri berkata mengenai ayat di atas, “Berbangga-bangga dengan anak dan harta benar-benar telah melalaikan kalian dari ketaatan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 442)

Dari Qotadah, dari Muthorrif, dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat “أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ” (sungguh berbangga-bangga telah melalaikan kalian dari ketaatan), lantas beliau bersabda,

يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِى مَالِى – قَالَ – وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ

Manusia berkata, “Hartaku-hartaku.” Beliau bersabda, “Wahai manusia, apakah benar engkau memiliki harta? Bukankah yang engkau makan akan lenyap begitu saja? Bukankah pakaian yang engkau kenakan juga akan usang? Bukankah yang engkau sedekahkan akan berlalu begitu saja?” (HR. Muslim no. 2958)

Allah Ta’ala pun menerangkan bagaimana keadaan manusia yang begitu kagum pada dunia,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid: 20)

Sikap kita terhadap dunia adalah menjadikan dunia tersebut sebagai jalan untuk menggapai ridho ilahi, bukan menjadikan dunia itu sebagai tujuan utama yang kita raih. Itulah yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam ayat,

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ (15) فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (16)

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghobun: 15-16).

Begitu pula dunia dicari bukan dengan sikap tamak, namun dengan sikap qona’ah, yaitu selalu merasa cukup terhadap apa yang Allah beri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Hakim bin Hizam,

يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ، الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى

Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang mencarinya untuk kedermawanan dirinya (tidak tamak dan tidak mengemis), maka harta itu akan memberkahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan, maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah” (HR. Bukhari no. 1472 dan Muslim no. 1035).

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Qona’ah dan selalu merasa cukup dengan harta yang dicari akan senantiasa mendatangkan keberkahan. Sedangkan mencari harta dengan ketamakan, maka seperti itu tidak mendatangkan keberkahan dan keberkahan pun akan sirna.” (Syarh Ibni Batthol, 6: 48)

Semoga Allah memberikan kita sifat takwa dan menjauhkan kita dari sifat tamak terhadap dunia. Hanya Allah yang memberi taufik dan petunjuk.

Sumber https://rumaysho.com/3215-dunia-memang-menggiurkan.html

Tiga Alasan Mengapa Harus Vaksinasi Virus Corona

Vaksinasi virus corona merupakan ikhtiar yang harus dilakukan. Mengapa demikian? Sebab, dengan melakukan vaksinasi, kita tengah berusaha untuk melindungi diri sendiri sekaligus orang sekitar dari virus corona atau virus SARS-CoV-2.

Melakukan vaksinasi virus corona juga merupakan upaya untuk mengendalikan pandemi yang sudah menyerang dunia selama dua tahun. Saat ini,  Indonesia tengah berada dalam fase kedua gelombang besar Covid-19.

Maka, melakukan vaksinasi virus corona adalah langkah yang bijak untuk menganggulangi gelombang tersebut dan merupakan pelaksanan tanggung jawab sebagai warga negara yang baik.

Apa saja sebenarnya alasan mengapa harus melakukan vaksinasi virus corona?

Pengakuan Lembaga Fatwa Islam

Pertama, adanya pengakuan dari lembaga Islam dunia.

Menurut Lembaga Fatwa Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir bahwa pada dasarnya Islam mengaharuskan mempergunakan zat yang suci dan tak berbahaya pada makanan dan obat-obatan. Menurut hukum asal; haram hukumnya memberikan sesuatu yang tak suci dan berbahaya pada  makanan dan obat-obatan.

Namun, Menurut Lembaga Fatwa Al-Azhar ada pengecualian hukum. Ketika dalam keadaan darurat (uzur) dan saat ada kebutuhan mendesak, maka hukumnya boleh menggunakan sesuatu meski bercampur zat yang haram.

Dalam hal ini, termasuk menggunakan vaksin Covid-19 yang mengandung zat babi. Namun dengan catatan; penggunaan zat babi dalam vaksin haru melalui kontrol yang ketat dari pemerintah.  Pendek kata, pada saat pandemi Covid-19 ini, untuk menghilangkan Virus Corona, maka vaksin yang mengandung zat babi, boleh hukumnya.

Ada pun dasar  hukum kebolehan menggunakan vaksin yang mengandung zat babi tersebut sebagai berikut;

Pertama, dalam Al-Qur’an, Allah memberikan keringanan hukum bagi seseorang orang dalam  keadaan darurat. Tegas dalam Al-Qur’an, Allah membolehkan seseorang makan bangkai, ketika dalam keadaan uzur dan terpaksa.

Pun dalam kasus kasus vaksin yang mengandung sebagian zat babi (bukan babi semua), maka hukumnya diperbolehkan. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 173;

حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya: Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Kedua, dalam kaedah ushul fiqih, apabila terdapat dua hal yang membahayakan, maka dipilih yang kecil mudaratnya (kebinasaannya). Nah dalam persoalan antara vaksin yang mengandung zat babi dan Covid-19 yang kian mengganas, maka  Covid-19 tercatat sebagai sesuatu yang lebih besar mudaratnya. Untuk itu, menggunakan vaksin yang mengandung zat babi bisa dipergunakan untuk menyelamatkan nyawa manusia.

Ketiga, sebagaimana dikatakan oleh Imam Jalaluddin Suyuti dalam kitab Al-Asybah Wa An-Nazhair;

الحاجة العامة قد تنزل منزلة الضرورة

Artinya; hajat (kebutuhan) orang banyak, itu akan menempati hukum darurat.

Nah dalam keadaan  ini, hajat (kebutuhan) orang yang banyak itu menempati hukum darurat. Vaksin dalam hal ini, merupakan kebutuhan semua bangsa dan seluruh umat manusia. Bagaimana tidak? Pandemi ini sudah membunuh jutaan orang. Dan menimpa puluhan juta manusia, maka vaksin dalam ini merupakan suatu keniscayaan.

Selanjutnya, Lembaga Komisi Fatwa Al Jazair mengatakan vaksinasi Covid-19 merupakan sesuatu yang dianjurkan syariat. Pasalnya, menurut syariat Islam berobat ketika diserang penyakit suatu perintah hukum syariat.  Untuk itu, vaksinasi Covid-19 diperlukan guna melawan penyebaran virus Corona.

Komisi Fatwa Al Jazair mengeluarkan istruksi berikut;

إنّ التلقيح ضد فيروس كورونا ضروري لمواجهة هذه الجائحة, ينبغي العمل بتوجيهات السلطات الطبية في البلاد التي تؤكد ضرورة تلقي اللقاح

Artinya: Vaksinasi terhadap Covid-19 diperlukan sebagai upaya untuk menghadapi pandemi Corona. Untuk itu, arahan dari pihak otoritas medis berupa vaksinasi harus diikuti oleh setiap warga negara.

Pada dasarnya, syariat Islam memerintahkan setiap orang sakit untuk berobat. Hal itu sejatinya bersumber dari sabda nabi Muhammad yang memerintahkan setiap orang sakit untuk berobat. Pasalnya, saban penyakit yang diturunkan Allah, Tuhan pun juga menurunkan obat sebagai penawar penyakit itu.

Lembaga Fatwa Uni Emirat mengatakan vaksinasi merupakan tuntunan syariat. Para ulama ada yang mengatakan berobat  hukumnya sunat. Namun, dalam keadaan Covid-19, Ketua Lembaga Fatwa UEA, Syekh Abdallah bin Bayyah mengatakan setiap manusia wajib hukumnya menjaga dirinya dan hidupnya agar terhindar dari wabah.

Lebih lanjut, Dewan Fatwa Uni Emirat Arab mengatakan boleh hukumnya menggunakan vaksin Covid-19 yang mengandung babi. Ketua Lembaga Fatwa Syekh Abdallah bin Bayyah menyebutkan pada saat darurat virus Corona seperti saat ini, vaksin sangat diperlukan. Sekalipun vaksin itu mengandung babi, saat darurat hukumnya boleh. Ketika kondisi Covid-19 ini, vaksin itu digolongkan dalam obat, bukan sebagai makanan.

Pada sisi lain, Lembaga Fatwa Uni Emirat Arab pun menjelaskan bahwa vaksinasi saat Ramadhan tak membuat puasa seseorang batal. Pasalnya, vaksinasi menggunakan suntikan intramuskuler tidak membatalkan puasa. Suntikan itu diberikan melalui otot seseorang, sehingga tidak mencapai perut.

Pendapat serupa juga diungkapkan Lembaga Fatwa Arab Saudi  mengatakan, vaksinasi saat Ramadhan tak membatalkan puasa Ramadhan. Pasalnya, vaksin yang disuntikkan pada tubuh seseorang tidak tergolong makanan dan makanan. Dan vaksin itu juga bukan tergolong nutrisi. Vaksin pun disuntikan secara intramuskuler— jadi tak membatalkan puasa.

Mufti Agung Kerajaan Arab Saudi, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, mengatakan boleh hukumnya seorang divaksinasi Covid 19 pada saat ia berpuasa. Vaksinasi Covid 19 tak membatalkan puasa. Pasalnya pemberian vaksin melalui cara Intramuskuler yaitu injeksi ke dalam otot tubuh.

Mufti Kerajaan Arab Saudi Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh mengatakan:

لأنه ليس مفطر لكونه لا يعد طعامًا ولا شرابًا، كما أنه يعطى عن طريق العضل

Artinya: Vaksin tidak membatalkan puasa, karena keadaannya  bukan tergolong kepada makanan dan minuman, dan vaksin itu diberikan secara intramuskuler (suntik ke otot).

Vaksin Sinovac Suci dan Halal

Kedua, vaksin Sinovac suci dan halal.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengumumkan tentang hasil rapat tim auditor vaksin Covid-19 Sivonac untuk Virus Corona. Hasilnya menyatakan bahwa hukum vaksin Covid-19 buatan Sinovac China adalah suci dan halal.

Keputusan tersebut adalah hasil dari sidang pleno Komisi Fatwa MUI pada Jumat (8/1). Sidang tersebut membahas tentang aspek syar’i vaksin Sinovac. Sidang diawali dengan pemaparan Tim Auditor MUI dan dilanjutkan dengan diskusi untuk menentukan kehalalan vaksin tersebut.

Komisi Fatwa MUI kemudian menyatakan bahwa hukum vaksin Covid-19 yang diproduksi produsen asal China, Sinovac. Penyampaian disampaikan oleh Ketua MUI Bidang Fatwa yakni Asrorun Niam Sholeh.

Ia menjelaskan, “komisi Fatwa sepakat vaksin Covid-19 yang diproduksi Sinovac China hukumnya suci dan halal. Ini yang terkait aspek kehalalan.”

Untuk ketentuan penggunaan, Asrorun menyatakan bahwa MUI masih menunggu aspek keamanan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Maka, laporan yang dipaparkan MUI tentang produk vaksin Sinovac belum final sebab menunggu hasil final BPOM.

Fatwa utuhnya akan disampaikan setelah BPOM menyampaikan mengenai aspek keamanan untuk digunakan, apakah itu aman atau tidak, maka fatwa akan melihat aspek yang telah diuji oleh BPOM.

MUI menyatakan bahwa aspek halal dan thoyib adalah sebuah kesatuan yang tak terpisahkan. Keamanan produk vaksin pun menentukan hukum boleh tidaknya untuk menggunakan.

Setelah dilakukan diskusi panjang, rapat Komisi Fatwa pun menyepakati bahwa vaksin Covid-19 produksi Sinovac hukumnya suci dan halal.

Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan terhadap suatu penyakit. Pemberian vaksin (imunisasi) dilakukan untuk mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi penyebab penyakit-penyakit tertentu.

Pemberian vaksin disebut vaksinasi. Vaksinasi merupakan metode paling efektif untuk mencegah penyakit menular. Kekebalan karena vaksinasi terjadi menyeluruh di dunia sebagian besar bertanggung jawab atas pemberantasan cacar dan pembatasan penyakit seperti polio, campak, dan tetanus.

Efektivitas vaksinasi telah dipelajari dan diverifikasi secara luas, misalnya vaksin terbukti efektif termasuk vaksin influenza, vaksin HPV, dan vaksin cacar air. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa vaksin berizin saat ini tersedia untuk dua puluh lima infeksi yang dapat dicegah.

Vaksin Astrazeneca Aman

Ketiga, vaksin Astrazeneca aman digunakan.

Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur mengeluarkan surat keputusan bahwa vaksin Astrazeneca halal dan suci. Untuk PWNU Jatim mengatakan bahwa vaksin tersebut aman digunakan umat Islam.  Pendapat itu merupakan hasil Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU)  memutuskan hukum vaksin Astrazeneca halal dan suci meskipun ada mengandung unsur babi dalam proses pembuatannya.

Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar mengatakan meski vaksin Astrazeneca mengandung zat turunan hewani, namun pada tahapan produksinya menggunakan unsur nabati. Sehingga vaksin tersebut adalah suci. Pasalnya, pada produk akhir tidak terdapat kandungan unsur najis sama sekali.

Selanjutnya, PWNU dalam surat keputusannya No 859/PW/A-ll/L/III/2021 yang mengatakan masyarakat tak perlu gamang tentang kehalalan vaksin AstraZeneca. Pasalnya vaksin ini aman dan suci digunakan oleh umat Islam Indonesia. Untuk LBMNU Jawa Timur, mempunya kewajiban moral untuk membahas tuntas secara tuntas,  kemudian menginformasikan itu kepada masyarakat luas.

Lebih lanjut dalam surat keputusannya No 859/PW/A-ll/L/III/2021 yang mencantumkan pelbagai poin penting terkait penggunan vaksin Astrazeneca sebagai berikut:

Bahwasanya vaksinasi Covid-19 wajib diikuti dan ditaati, karena merupakan kewajiban bersama sebagai warga negara Indonesia.

Perbuatan yang hukumnya wajib apabila diperintahkan oleh pemerintah akan mengukuhkan hukum wajib tersebut.  Sehingga tidak menaati kebijakan tersebut adalah bertentangan dengan syara’.

Di sisi lain, vaksin Astrazeneca telah diterbitkan di sejumlah negara Islam. Seperti Saudi Arabia, Kuwait, Maroko, Bahrain, dan Mesir.

Alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas seharusnya sudah cukup untuk menguatkan kita agarmelakukan vaksinasi virus corona. Sebab, selain menyelamatkan diri sendiri, melakukan vaksinasi virus corona juga merupakan upaya untuk menyelamatkan bangsa.

BINCANG SYARIAH

Wafatnya Ulama Termasuk Tanda Kiamat, Ini Penjelasannya

Angka kematian akibat Covid-19 terus bertambah. Bahkan beberapa hari terakhir kabar duka orang-orang meninggal setelah terpapar virus Covid-19 semakin sering terdengar.

Termasuk kabar duka sejumlah ulama di Tanah Air yang wafat setelah terinfeksi Covid-19. Apakah ini semua pertanda semakin dekatnya kiamat? 

Cendekiawan Muslim yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof KH Nasaruddin Umar, mengingatkan umat untuk bermuhasabah dan lebih mendekatkan diri pada Allah SWT. 

Menurutnya kondisi yang terjadi saat ini merupakan proses pembelajaran bagi setiap manusia khususnya bangsa Indonesia agar dapat menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat. 

Melaksanakan perintah agama dan meninggalkan segala yang dilarang agama. Selain itu menurutnya pandemi Covid-19 telah mengajarkan setiap orang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan melepaskan ego diri atau kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok. Sebab menurutnya Alquran juga telah menjelaskan bahwa setiap kerusakan di muka bumi tidak lepas dari ulah tangan manusia.

Prof Nasaruddin mengatakan Rasulullah telah menginformasikan tentang tanda-tanda kecil semakin dekatnya kiamat. Di antaranya adalah meninggalnya para ulama dan merebaknya penyakit menular. 

Meski demikian tidak satu pun orang mengetahui kapan terjadinya kiamat. Karena itu, Prof Nasaruddin mengajak umat untuk bermuhasabah dan memohon ampun kepada Allah. 

“Ada hadits nabi, matinya seorang ulama itu lebih buruk daripada hilangnya sebuah etnik atau suku. Jadi ini juga salah satu tanda-tanda kecil hari kiamatsudah akan tiba itu merebaknya penyakit menular secara massif yaitu namanya epidemi, epidemi makin merajalela,” kata Prof Nasaruddin bebrapa waktu lalu.  

Prof Nasaruddin mengajak umat untuk membangun kesadaran kolektif memperbanyak zikir, istighasah, membaca qunut nazilah, berdoa bersama keluarga, memperbanyak shalat sunnah, menjalin silaturahim, muhasabah dan muraqabah.  

Prof Nasaruddin menyeru umat menggapai cinta Allah yang Mahamengendalikan segala sesuatu. Sebab menurutnya tak ada satu makhluk pun tega untuk menyakiti orang-orang yang menjadi kekasih Allah SWT.   

“Kalau kita mencintai Allah secara maksimum, tawakal secara penuh kepada Allah sampai ke tingkat taslim maka seluruh makhluk itu akan cinta kepada kita juga kan?,” katanya.     

KHAZANAH REPUBLIKA

Penghasilan Haram, Doa Menjadi Tidak Terkabul

Bismillah….

Doa adalah kebaikan, karena doa adalah ibadah. Bahkan inti dari semua ibadah ada pada doa, yaitu ketundukan dan merasa miskin di hadapan Allah. Maka suatu yang baik, akan tetap baik jika tidak dinodai dengan yang buruk. Dan Allah azza wa jalla, adalah Tuhan yang maha baik, Allah tidak menerima kecuali yang baik. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam mengabarkan,

إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا

“Sesungguhnya Allah itu maha baik, tidak akan menerima kecuali yang baik-baik…” (HR. Muslim).

Salah satu noda doa yang menyebabkan doa tidak akan menembus pintu langit, adalah penghasilan yang haram. Dalam hadis riwayat Muslim dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

ثم ذكر الرجل يطيل السفر أشعث أغبر يمد يديه إلى السماء : يارب يا رب, ومطعمه حرام ومشربه حرام وملبسه حرام, وغذي بالحرام فأنى يستجاله لذلك

“…lalu Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam menyebutkan seorang yang safar jauh, baju compang-camping dan berdebu. Ia menengadahkan tangan ke langit seraya berdoa, ‘Ya Tuhanku ya Tuhanku…’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, ia tumbuh dari harta yang haram, lantas bagaimana mungkin doanya dikabulkan?!” (HR. Muslim)

Ini menunjukkan betapa bahayanya penghasilan yang haram. Ia akan menyebabkan doa tidak dikabulkan Allah Ta’ala. Bersamaan dengan itu, hadis ini juga juga menunjukkan arti sebaliknya (mafhum mukholafah), bahwa makanan yang halal dan baik, dapat menjadi sebab terkabulnya doa. Sebagaimana dinyatakan oleh Wahb bin Munabbih Rahimahullah,

من سره أن يستجيب الله دعوته فليطب طعمته

“Siapa yang senang doanya dikabulkan oleh Allah, maka perbaikilah makanan kalian (makanan yang halal).”

Sahabat Sa’ad bin Abi Waqos Radhiyallahu’anhu pernah ditanya, “Mengapa doa anda termasuk doa-doa sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam yang selalu dikabulkan Allah?”

Sa’ad menjawab,

ما رفعت إلى فمي لقمة إلا وأنا عالم من أين مجيئها ومن أين خرجت

“Aku tidak mengangkat sesuatu pun makanan ke mulutku kecuali aku tahu dari mana datangnya dan ke mana ia dikeluarkan” (Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam, 1/275).

Wallahulmuwaffiq.

__

Referensi utamaFiqh Al-Ad’iyah wal Adz-kar, karya Prof. Abdurrazaq Al-Badr –Hafdzohullah-, diterbitkan oleh: Maktabah Dar Al-Minhaj, Riyadh – KSA, cetakan ke 1.

Ditulis oleh : Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/67619-penghasilan-haram-doa-menjadi-tidak-terkabul.html

Simpanan yang Tak Akan Sirna

Manusia umumnya gemar menumpuk atau menimbun harta. Namun, mungkin tak pernah disadari bahwa harta mereka yang hakiki adalah yang disuguhkan pada kebaikan.

Banyak orang berlomba-lomba mencari harta dan menabungnya untuk simpanan di hari tuanya. Menyimpan harta tentunya tidak dilarang selagi ia mencarinya dari jalan yang halal dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya atas harta tersebut, seperti zakat dan nafkah yang wajib.

Namun, ada simpanan yang jauh lebih baik dari itu, simpanan yang tak akan sirna, yaitu amal ketaatan dengan berbagai bentuknya yang ia suguhkan untuk hari akhir. Suatu hari yang tidak lagi bermanfaat harta, anak, dan kedudukan.

Harta memang membuat silau para pecintanya dan membius mereka sehingga seolah harta segala-galanya. Tak heran jika banyak orang menempuh cara yang tidak dibenarkan oleh syariat dan fitrah kesucian seperti korupsi, mencuri, dan menipu. Padahal betapa banyak orang bekerja, tetapi ia tidak bisa mengenyam hasilnya.

Tidak sedikit pula orang menumpuk harta, tetapi belum sempat ia merasakannya, kematian telah menjemputnya sehingga hartanya berpindah kepada orang lain. Orang seperti ini jika tidak memiliki amal kebaikan, ia rugi di dunia dan di akhirat. Sungguh, betapa sengsaranya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱلۡمَالُ وَٱلۡبَنُونَ زِينَةُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱلۡبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيۡرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيۡرٌ أَمَلًا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi: 46)

Dan firman-Nya,

مَا عِندَكُمۡ يَنفَدُ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ بَاقٍۗ

“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (an-Nahl: 96)

Imam at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari sahabat Tsauban radhiallahu anhu, ia berkata tatkala turun ayat,

وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak….” (at-Taubah: 34)

Tsauban radhiallahu anhu berkata, “Dahulu kami bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada sebagian safarnya. Lalu sebagian sahabat berkata, ‘Telah diturunkan ayat mengenai emas dan perak seperti apa yang diturunkan. Seandainya kita tahum, harta apa yang terbaik yang kita akan mengambilnya?’

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُهُ لِسَانٌ ذَاكِرٌ وَقَلْبٌ شَاكِرٌ وَزَوْجَةٌ مُؤْمِنَةٌ تُعِينُهُ عَلىَ إِيْمَانِهِ

‘Yang utama adalah lisan yang berzikir, hati yang syukur, dan istri mukminah yang membantunya (dalam melaksanakan) agamanya’.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, 3/246—247, no. 3094, cet. al-Maarif)

Tingkatan-Tingkatan Amalan

Amal ketaatan yang dijadikan sebagai simpanan memiliki tingkatan keutamaan dari sisi penekanan dalam pelaksanaannya dan dari sisi pengaruh yang muncul darinya. Adapun dari sisi penekanan, amal-amal yang wajib didahulukan dari yang sunnah. Disebutkan dalam hadits qudsi bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيِءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ

“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan atasnya.” (HR. al-Bukhari, no. 6502)

Demikian pula, sesuatu yang maslahatnya lebih besar didahulukan dari yang lebih kecil. Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Menimba ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Mawa’izh al-Imam asy-Syafi’i, hlm. 53)

Sebab, manfaat ilmu sangat luas, yaitu untuk dia dan orang lain.

Demikian pula suatu amalan lebih mulia dari yang lainnya karena kondisi, waktu, tempat, dan orang yang melakukannya. Suatu contoh, sedekah yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, walaupun sebesar dua cakupan tangan tidak bisa tertandingi nilainya dengan sedekah kita, meskipun sebesar Gunung Uhud.

Dalam kondisi seorang tidak bisa menggabungkan antara amalan yang mulia dengan yang di bawahnya, maka dia mendahulukan yang lebih mulia. Termasuk kesalahan jika seorang mementingkan amalan yang sunnah sehingga meninggalkan yang wajib.

Luasnya Rahmat Allah

Kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-Nya begitu luas. Orang kafir dan ahli maksiat di dunia ini saja masih selalu diberi rezeki oleh Allah subhanahu wa ta’ala, padahal mereka berada di atas kesesatannya. Tentunya orang yang beriman dan beramal saleh akan mendapatkan berbagai limpahan nikmat dan karunia-Nya di dunia ini, serta terus bersambung hingga di hari kiamat nanti.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٌ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةًۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)

Orang yang menggabungkan antara iman dan amal saleh akan Allah subhanahu wa ta’ala beri kehidupan yang baik di dunia ini, berupa tenteramnya jiwa dan rezeki yang halal lagi baik. Adapun di akhirat kelak, dia akan memperoleh berbagai kelezatan yang mata belum pernah melihatnya, telinga belum pernah mendengarnya, dan belum pernah terbetik dalam hati manusia.

Termasuk bentuk luasnya rahmat Allah subhanahu wa ta’ala adalah dilipatgandakannya pahala amalan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

مَن جَآءَ بِٱلۡحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشۡرُ أَمۡثَالِهَاۖ وَمَن جَآءَ بِٱلسَّيِّئَةِ فَلَا يُجۡزَىٰٓ إِلَّا مِثۡلَهَا وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ

“Barang siapa membawa amal yang baik, baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya, dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya(dirugikan).” (al-Anam: 160)

Demikian pula, amal kebaikan akan mengangkat derajat pelakunya dan menghapus dosa yang dilakukannya.

Berkah Keikhlasan

Tidak akan pernah merugi orang yang mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan amalan yang sesuai petunjuk syariat dan dibarengi dengan keikhlasan hati. Orang yang memiliki sifat tersebut akan mendapat berkah pada hartanya, anak keturunannya, dirinya, serta akan diselamatkan dari marabahaya.

Dahulu, di zaman Bani Israil ada seorang lelaki yang saleh lalu wafat dan meninggalkan dua anaknya sebagai anak yatim. Kedua anak tersebut, karena kecil dan lemahnya, Allah subhanahu wa ta’ala jaga harta warisan dari orang tuanya sehingga tidak hilang atau rusak, seperti dalam surah al-Kahfi ayat 82.

Suatu ketika ada tiga orang dari umat sebelum Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bermalam di suatu gua. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba jatuh batu besar hingga menutupi pintunya. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan bisa keluar kecuali dengan bertawasul (menjadikan amal sebagai perantara) kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Masing-masing menyebutkan amalannya yang ia pandang paling ikhlas. Allah subhanahu wa ta’ala kabulkan permohonan mereka. Batu tersebut bergeser sehingga mereka bisa keluar dari gua.

Perhatikanlah, wahai saudaraku….

Orang yang mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dengan melakukan berbagai ketaatan di saat lapang, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mengenalnya saat dia susah. Sungguh, manusia mendambakan kedamaian hidup dan terhindar dari berbagai bencana. Mereka tidak mendapatkannya kecuali ketika mereka tunduk terhadap aturan Allah subhanahu wa ta’ala dan bersimpuh di hadapan-Nya.

Tidak Meremehkan Kebaikan Sekecil Apa Pun

Allah Mahaadil dan tidak menzalimi hamba-Nya. Barang siapa melakukan kebaikan sekecil apa pun, pasti dia akan melihat balasan kebaikannya. Sebagaimana kalau ia berbuat dosa selembut apa pun, niscaya dia melihat pembalasannya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرْنَ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ

“Wahai wanita muslimah, janganlah seorang tetangga menganggap remeh (pemberian) tetangganya, walaupun sekadar kaki kambing.” (HR. al-Bukhari, dalam “Kitabul Adab”, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Hadits ini adalah larangan bagi yang akan memberikan hadiah untuk menganggap remeh apa yang akan ia berikan kepada tetangganya walaupun sesuatu yang sedikit. Sebab, yang dinilai adalah keikhlasan dan kepedulian terhadap tetangganya. Selain itu, memberi sesuatu yang banyak tidak bisa dilakukan setiap saat. Demikian pula, hadits ini melarang orang yang diberi hadiah dari meremehkan pemberian tetangganya. (Lihat Fadhlullah ash-Shamad, 1/215—216)

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam (yang artinya), “Tatkala ada seekor anjing berputar-putar di sekitar sumur yang hampir mati karena haus. Tiba-tiba ada seorang wanita pezina dari para pezina Bani Israil. Lalu ia melepas khuf (sepatu dari kulit yang menutupi mata kaki) miliknya, kemudian ia mengambil air dengannya dan memberi minum anjing tersebut. Ia diampuni (oleh Allah subhanahu wa ta’ala) karenanya.” (Riyadhush Shalihin, Bab ke-13, hadits no. 126)

Lihatlah wahai saudaraku, karena memberi minum seekor binatang yang kehausan, dia mendapatkan ampunan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang memberi minum manusia, baik dengan cara menggali sumur atau mengalirkan parit dan semisalnya, tentunya sangat besar pahalanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

سَبْعٌ يَجْرِي لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ، وهُو فِي قَبْرِهِ: مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا، أَوْ كَرَى نَهْرًا، أَوْ حَفَرَ بِئْرًا، أَوْ غَرَسَ نَخْلا، أَوْ بَنَى مَسْجِدًا، أَوْ وَرَّثَ مُصْحَفًا، أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ

“Tujuh (perkara) yang pahalanya mengalir bagi hamba sedangkan dia berada di kuburannya setelah matinya: (yaitu) orang yang mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam pohon kurma, membangun masjid, mewariskan (meninggalkan) mushaf (Al-Qur’an), atau meninggalkan anak yang memintakan ampunan baginya setelah matinya.” (HR. al-Bazzar, dinilai hasan oleh al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’, no. 3602)

Tersebut dalam hadits,

مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيقٍ فَقَالَ: وَاللهِ لَأُنْحِيَنَّ هَذَا عَنِ الْمُسْلِمِينَ لاَ يُؤْذِيْهِمْ. فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ

“Ada seorang lelaki melewati suatu dahan pohon di tengah jalan, lalu dia mengatakan, ‘Demi Allah, aku akan menyingkirkan dahan ini dari kaum muslimin sehingga tidak mengganggu mereka.’ Orang tersebut dimasukkan (oleh Allah) ke dalam janah (surga).” (HR. MuslimRiyadhus Shalihin, Bab Fi Bayani Katsrati Thuruqil Khair)

Coba renungkan hadits tersebut dengan baik. Bagaimana orang tersebut dimasukkan ke dalam janah karena melakukan cabang keimanan yang terendah, yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Bagaimana kiranya orang yang melakukan cabang iman yang lebih tinggi dari itu?

Inti dari ini semua, lapangan untuk kita beramal saleh sangatlah banyak. Jika kita tidak mampu mengamalkan suatu kebaikan, ada pintu lain yang bisa kita masuki. Demikian juga, terkadang seseorang menganggap suatu amalan itu remeh padahal di sisi Allah subhanahu wa ta’ala itu besar. Kemudian yang terpenting pula dari itu, bahwa pahala akhirat itu tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan dunia.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya,

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dari Aisyah radhiallahu anha)

Shalat sunnah sebelum shalat Subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya, karena apa yang ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala akan kekal. Adapun dunia, seberapa pun seorang mendapatkannya, maka ia akan lenyap.

Harta Kita yang Sesungguhnya

Umumnya, kita menganggap bahwa harta yang disimpan itulah harta kita yang sesungguhnya. Padahal sebenarnya harta kita adalah yang telah kita suguhkan untuk kebaikan.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ؟ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلَّا مَالُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ. قَالَ: فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ وَمَالُ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ

“Siapa di antara kalian yang harta ahli warisnya lebih dia cintai dari hartanya (sendiri)?”

Mereka (sahabat) menjawab, “Wahai Rasulullah, tidak ada dari kita seorang pun kecuali hartanya lebih ia cintai.”

Nabi bersabda, “Sesungguhnya hartanya adalah yang ia telah suguhkan, sedangkan harta ahli warisnya adalah yang dia akhirkan.” (HR. al-Bukhari)

Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada anjuran untuk mendermakan harta yang mungkin bisa disuguhkan pada sisi-sisi takarub kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kebaikan. Supaya ia nantinya bisa mengambil manfaat darinya di akhirat. Sebab, segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang, maka akan menjadi hak milik ahli warisnya. Jika nantinya ahli waris menggunakan harta itu dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, hanya ahli warisnya yang dapat pahala dari itu. Yang mewariskannya hanya dia yang lelah mengumpulkannya….” (Fathul Bari, 11/260)

Aisyah radhiallahu anha pernah menuturkan bahwa dahulu sahabat menyembelih kambing. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang masih tersisa dari kambing itu?” Aisyah berkata, “Tidak tersisa darinya kecuali tulang bahunya.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Semuanya tersisa, kecuali tulang bahunya.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 2470)Simpanan yang Tak Akan SirnaAisyah radhiallahu anha pernah menuturkan bahwa dahulu sahabat menyembelih kambing. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang masih tersisa dari kambing itu?” Aisyah berkata, “Tidak tersisa darinya kecuali tulang bahunya.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Semuanya tersisa, kecuali tulang bahunya.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 2470)

Maksudnya, apa yang kamu sedekahkan, itu sebenarnya yang kekal di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Yang belum disedekahkan, maka itu tidak kekal di sisi-Nya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.

ASYSYARIAH

Allah Tidak Akan Menguji Hambanya Kecuali Sesuai dengan Kemampuannya

Kita hidup di dunia ini adalah ladang akhirat, dan selama kita masih hidup di dunia ini Allah pasti akan menguji kita untk menilai sekuat apa iman kita dan seberpa tingginya derajat kita di sisi Allah.

Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 286 :

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”

Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dan ini merupakan janji Allah, jadi sesungguhnya tidak mungkin Allah membebani kita dengan ujian yang tidak kita sanggup.

Kemudian Allah akan memberikan pahala kebaikan jika seseorang yang sedang diuji tersebut bersabar dan melakukan kebaikan dan mencari jalan keluar dengan cara yang diridhai Allah, dan sebaliknya Allah akan memberikan dosa jika ia tidak bersabar dan mencari jalan keluar dengan cara yang tidak diridhai Allah.

Sebagai contoh orang yang diuji tapi ia malah mencari jalan keluar dengan maksiat  seperti mabuk-mabukan, berfoya-foya atau bahkan na’uzubillah bunuh diri, itu semua adalah hal yang dimurkai Allah

Kemudian Allah juga berfirman dalam surat Al Insyirah ayat 5-6 :

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Allah selalu memberikan kemudahan bagi hambanya dalam setiap ujian dalam ayat tersebut terdapat taukid atau penegasan dengan sebutan sesungguhnya jadi maknya sangat tegas Allah memberikan kemudahan setelah kesulitan, bahkan sampai dua kali Allah menyebutkannya.

Jadi kita harus yakin bahwa kita sebetulnya mampu untuk melewati semua ujian yang Allah berikan pada kita. (RN)

by Abdullah Nasrullah

ISLAM KAFAH

Jangan Engkau Bersedih, Sesungguhnya Allah Bersama Kita

Ini merupakan sebuah penggalan ayat Al Quran yang terdapat pada surat At Taubah ayat 40, ayat ini memberikan perintah agar kita jangan bersedih karena Allah selalu Bersama hambanya yang beriman.

Ayat ini kerkatan dengan peristiwa yang terjadi di gua Tsur, ketika Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan sahabat beliau Abu Bakr tengah bersembunyi. Pada waktu Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada sahabatnya tersebut, tatkala mereka berdua berada di dalam gua,

إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا } [التوبة٤٠).

“Ketika itu dia berkata kepada sahabatnya, ‘Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS At Taubah: 40)

Dan perkataan itu beliau ucapkan ketika orang-orang musyrik datang untuk mencari mereka berdua dan kala itu orang-orang musyrik tersebut berdiri di atas gua, maka berkatalah Abu Bakr karena mengkhawatirkan keselamatan Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullaah, seandainya salah satu dari mereka melihat ke kakinya, niscaya ia akan melihat kita.” Rasulullaah menenangkan, “Wahai Abu Bakr, apa menurutmu jika ada dua orang, sementara Allah yang ketiganya?”.

Ketika itu, Allah memalingkan pandangan kaum musyrikin, sehingga mereka tidak melihat Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihi wa Sallam dan Abu Bakr, padahal mereka berdiri sangat dekat dengannya di atas gua. Ini termasuk kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ini juga merupakan pertolongan yang Allah berikan pada hambanya yang beriman dan mau berjuang di jalan-Nya seperti janji yang Allah berikan pada siapa saja yang mau menolong Agama Allah maka Allah akan menolongnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

Artinya : “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad : 7)

Jadi sebagai seorang mukmin kita tidak boleh bersedih saat berjuang djalan Allah padahal derajat kita jauh lebih tinggi dibandingkan orang kafir.

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (Ali Imran : 139)

Pada ayat di atas selain kita dilarang bersedih kita juga dilarang merasa terhina dihadapan musuh Allah karena derajat kita paling tinggi kata Allah, dengan syarat kita beriman maka derajat kita jauh lebih tinggi dibnadingkan orang kafir, Allah akan hinakan mereka di akhirat kelak dengan neraka dan Allah akan muliakan orang mukmin dengan surga yang begitu indah dan megah.

Wallahu ‘Alam (Abd.N)

ISLAM KAFAH