Agama Baru Bahaiyyah, Apakah Kafir?

Ajaran Bahaiyyah adalah agama yang baru di negeri ini bahkan diisukan sudah akan diresmikan oleh pemerintah. Bagaimana pandangan Islam mengenai ajaran agama bahaiyyah?

Syaikh Ibnu Baz pernah ditanya mengenai agama Bahaiyyah. Ajaran tersebut mengaku adanya nabi sepeninggal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah boleh menguburkan mereka di pemakaman kaum muslimin?

Jawaban dari Syaikh Ibnu Baz, “Jika memang ajaran dari Bahaiyyah sebagaimana yang kalian sebutkan, maka ia kafir. Tidak boleh menguburkan mereka di pemakaman kaum muslimin. Karena siapa saja yang mengklaim masih ada Nabi sepeninggal Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ia benar-benar pendusta dan kafir berdasarkan nash dan ijma’ -kata sepakat- kaum muslimin. Itu juga berarti telah mendustakan firman Allah Ta’ala,

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. ” (QS. Al Ahzab: 40).

Begitu pula terdapat hadits yang banyak yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa tidak ada Nabi lagi sepeninggal beliau dan beliau adalah penutup para nabi.

Begitu pula jika ada yang mengklaim bahwa Allah bersatu dengan nabi tadi atau bersatu dengan satu satu makhluk, ia pun kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Karena Allah Ta’ala tidaklah bersatu dengan salah satu dari makhluk-Nya. Allah itu begitu Agung dan Besar. Siapa yang berkeyakinan seperti itu, maka ia kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Ia telah mendustakan berbagai ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa sebenarnya Allah berada di atas ‘Arsy, menetap tinggi di atas seluruh makhluk-Nya. Allah itu Maha Tinggi dan Maha Besar, tidak ada yang serupa dan semisal dengan Allah. Allah Ta’ala telah memberitahukan pada hamba-Nya,

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Al A’raaf: 54).

Begitu pula disebutkan dalam firman Allah,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thoha: 5)

Juga disebutkan dalam ayat lainnya,

فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ

Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Ghofir: 12)

Allah Ta’ala berfirman pula,

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik[1249] dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10).

Juga ada banyak ayat yang menyebutkan bahwa Allah itu menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya dan beristiwa’ sesuai dengan keagungan-Nya. Tidak ada satu makhluk pun yang serupa dengan Allah. Hanya Allah yang mengetahui hakekat Dia beristiwa’. Begitu pula mengenai hakekat Zat Allah, hanyalah Dia yang mengetahui. Itulah yang diterangkan oleh Allah dan inilah yang menjadi prinsip akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sudah dijelaskan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah juga yang menjadi keyakinan khulafaur rosyidin, para sahabat, tabi’in dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga saat ini.

Ketahuilah wahai saudaraku. Aku sendiri sebenarnya belum mengetahui mengenai kitab-kitab ajaran Bahaiyyah hingga saat ini. Namun aku telah mengetahui dari berbagai info, aliran ini kusimpulkan sebagai aliran sesat, ajarannya ajaran kafir, bukanlah Islam. Dari apa yang telah kusebutkan bisa menjawab pertanyaan di atas.

Setelah itu aku menelaah dan meneliti, terdapat dalam Majalah Al Hadyu An Nabawi yang diterbitkan di Mesir sebanyak empat jilid, terbit di bulan Ramadhan dan Dzulqo’dah tahun 1368 H, yang ketiga diterbitkan pada bulan Rabi’uts Tsani 1369. Diterangkan di situ bahwa Bahaullah adalah Rasul dari aliran Bahaiyyah. Ia mengaku sebagai penghapus syari’at sebelumnya dan meluruskannya. Setiap masa pun dibutuhkan Rasul. Mereka juga mengingkari adanya Malaikat. Hakekat malaikat menurut mereka adalah  arwah mukmin yang berada di atas. Mereka pun mengingkari hari berbangkit. Juga yang mereka ingkari adalah Dajjal. Jelas sekali bahwa mengaku dibutuhkannya Rasul sepeninggal Nabi kita Muhammad seperti yang diyakini oleh aliran Bahaiyyah adalah suatu kekufuran yang nyata.

Allah-lah yang memberi taufik. Tidak ada daya dan kekuatan selain Dia. Kami memohon pada Allah agar kalian dan saudara kita lainnya dari kaum mukminin mendapatkan taufik untuk mengenal kebenaran dan mengikutinya. Dialah yang Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Muhammad selaku hamba dan utusan Allah, sayyid dan pemimpin kita, begitu pula kepada keluarga dan sahabat, juga yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz, juz ke-13).

Alhamdulillah, semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://muslim.or.id/22226-agama-baru-bahaiyyah-apakah-kafir.html

Arab Saudi Buka Umroh, Indonesia Termasuk

Pemerintah Arab Saudi akan menerima lebih dari 20 ribu jamaah dari dalam dan luar negeri untuk pelaksanaan ibadah umroh. Hal tersebut disampaikan oleh Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi. 

Namun demikian menurut juru bicara Kementerian Haji dan Umroh, Hisham bin Saeed mengatakan jamaah luar negeri yang dapat melaksanakan umroh bukan berasal dari negara-negara yang masuk dalam daftar  negara yang dilarang melakukan perjalanan ke Arab Saudi sebagaimana  instruksi dari Kementerian Kesehatan dan Otoritas Umum Penerbangan Sipil (GACA). 

Seperti dilansir Saudi Gazette pada Ahad (1/8) saat ini negara-negara yang menghadapi larangan perjalanan adalah India, Pakistan, Indonesia, Mesir, Turki, Argentina, Brasil, Afrika Selatan, Uni Emirat Arab, Ethiopia, Vietnam, Afghanistan, dan Lebanon. Larangan itu didorong oleh lonjakan kasus virus corona dan variannya yang berkelanjutan di negara-negara tersebut.

Sementara itu sekitar 500 perusahaan dan lembaga layanan umroh dan lebih dari 6.000 agen umroh asing disiapkan untuk menerima jamaah umroh asing yang divaksinasi.

Para calon peziarah itu dapat memesan paket umroh dan melakukan semua pembayaran melalui sekitar 30 situs dan platform elektronik yang tersedia untuk reservasi global, menurut Hani Ali Al-Amiri, anggota Komite Nasional Haji dan Umroh.

Hanya mereka yang telah divaksinasi penuh terhadap virus corona yang dapat mengajukan visa umroh. Jamaah umroh juga harus dalam kondisi kesehatan yang prima dan harus mematuhi protokol kesehatan yang bertujuan untuk memastikan keselamatan jamaah yang datang dari luar negeri.

//Andrian Saputra

IHRAM

Bahaya Misinformasi dalam Bidang Kesehatan dan Bagaimana Seorang Muslim Bersikap

Selama masa pandemi, banyak sekali kita jumpai informasi, berita, dan kabar yang belum tentu teruji kebenarannya. Sayangnya, sebagian di antara kita tanpa sadar ikut serta langsung percaya berita-berita tersebut dan lebih parah lagi, langsung menyebarkannya. Fenomena ini menjadi salah satu sebab mengapa penanganan pandemi di negeri kita menjadi lebih sulit. Karena jika banyak di antara kita yang mudah percaya suatu kabar yang seharusnya tidak benar, itu akan berpengaruh pada sikap dan perilaku kita dalam menyikapi pandemi ini.

Jika seseorang langsung percaya ketika ada yang mengatakan, “Virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 itu tidak ada”, buat apa dia harus repot memakai masker? Jika seseorang itu langsung percaya ketika ada yang mengatakan, “Vaksin Covid-19 itu berbahaya”, buat apa dia ikut program vaksinasi Covid-19? Jika ada yang percaya bahwa “Covid-19 itu hanya seperti flu biasa, jadi seharusnya tidak ada status pandemi”, hampir bisa dipastikan bahwa dia akan menjadi orang yang sangat abai terhadap protokol kesehatan.

Sebaliknya, ada sebagian orang yang langsung percaya klaim “suatu bahan dapat mencegah Covid-19”. Akhirnya, dia memakai atau menggunakan bahan tersebut, dan percaya bahwa dirinya sudah kebal Covid-19, padahal tidak sama sekali. Informasi-informasi yang tidak valid (tidak benar) semacam ini yang kita kenal dengan istilah “misinformasi”, “disinformasi”, atau “hoaks medis”.

Hendaknya seorang muslim selalu memeriksa dengan cermat setiap berita atau kabar yang dia terima. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 6)

Dan sebelum menyebarkan berita-berita yang tidak jelas tersebut, hendaknya kita selalu mengingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang itu sebagai pendusta (pembohong), ketika dia menceritakan semua (berita) yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim no. 5, Abu Dawud no. 4992 dan An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra no. 11845)

Beberapa kiat memilih sumber informasi kesehatan yang kredibel

Masalah kesehatan merupakan salah satu masalah penting dalam kehidupan kita. Sehingga selayaknya seorang muslim ketika mendapati berita seputar kesehatan, dia memeriksa kebenaran berita tersebut melalui beberapa kiat berikut ini:

Pertama, periksa sumber berita.

Cek terlebih dahulu, siapa yang membagikan dan dari mana mereka mendapatkan informasi tersebut? Jika berita tersebut dari akun sosial media, cek terlebih dahulu, apakah akun asli atau palsu? Bagaimana aktivitas isi postingan selama ini? Apakah isi postingan terbaru? Jika sumbernya berasal dari website, maka selalu cek siapa yang mengelola website tersebut. Apakah organisasi profesi kesehatan yang resmi? Seperti IDI, IDAI, PAPDI, dan sebagainya. Hal ini bisa dilihat di bagian “about us” atau “contact us”.

Kedua, baca keseluruhan isi berita.

Judul berita terkadang dibuat sensasional untuk menambah jumlah “clicks”. Oleh karena itu, jangan hanya membaca judul berita, bacalah keseluruhan berita. Jangan hanya bergantung pada satu sumber berita, tetapi lacak berita sejenis di media yang lain.

Kadang kita mendapatkan broadcast WA yang sangat panjang. Katakanlah ada 10 poin yang disampaikan, 2-3 poin sudah terbukti tidak valid, jangan habiskan waktu untuk membaca sisanya.

Ketiga, cek siapakah penulis berita.

Lacaklah profil narasumber berita. Dalam bidang kesehatan, ada banyak profesi yang terlibat, bisa jadi dokter, dokter hewan, perawat, bidan, apoteker, dan lain-lain. Jika mereka mengklaim sebagai “profesor”, sangat mudah untuk dilacak melalui google scholar, website institusi afiliasi (universitas, lembaga penelitian, laboratorium, dan sejenisnya), atau akun yang lain. Selain itu, selalu cek, apakah mereka riil? Benar-benar ada di dunia nyata? Rekam jejak publikasi penelitian orang-orang tersebut juga sangat mudah untuk kita cek.

Dulu, seorang artis memviralkan seorang tokoh bernama “Profesor Hadi Pranoto”. Setelah dilacak, gelar profesor itu dusta. Dia juga bukan akademisi. Jadi, sangat mudah untuk mengecek kredibilitas seorang “tokoh” di era digital seperti sekarang ini.

Keempat, cek tanggal update berita.

Selalu cek terlebih dahulu, apakah ini berita terbaru? Apakah masih relevan dengan konteks peristiwa atau kejadian saat ini? Atau ini adalah berita lama yang sudah tidak relevan lagi untuk saat ini? Ilmu kesehatan itu sangat cepat perkembangannya. Sehingga saat membaca suatu informasi di websitewebsite-website yang kredibel akan selalu mencantumkan, kapan terakhir meng-update informasi yang dia tampilkan tersebut.

Kelima, periksa bukti ilmiah pendukung.

Tips kelima ini membutuhkan sedikit pengalaman dan proses belajar. Apakah informasi tersebut sesuai dengan fakta yang didapatkan melalui penelitian ilmiah? Apakah pernyataan ini masih berupa hipotesis yang masih perlu diklarifikasi lebih lanjut? Jika informasi tersebut disampaikan oleh “pakar”, apakah didukung oleh fakta ilmiah yang sesuai?

Intinya, jangan terlalu silau dengan deretan gelar yang ditulis oleh penyampai berita, orang luar (baca: bule) sekalipun. Akan tetapi, jika ada informasi yang sepertinya “kurang pas” atau “meragukan”, jangan ragu untuk melakukan kroscek lebih lanjut. Atau tanyakan ke orang-orang yang Anda percaya.

Keenam, apakah Anda memiliki bias?

Apakah Anda cenderung percaya dengan informasi model tertentu? Apakah Anda hanya ingin mendapatkan informasi sesuai dengan apa yang Anda inginkan? Apakah Anda cenderung menolak informasi yang tidak sesuai dengan asumsi Anda?

Seseorang yang sudah sangat termakan dengan teori konspirasi, dia akan sangat mudah percaya jika ada yang mengatakan, “Pandemi ini hanya akal-akalan”; “Tenaga kesehatan mengeruk keuntungan besar-besaran dari status pandemi”; dan informasi-informasi sejenis.

Ketujuh, “Fact checkers

Jika ragu, konsultasikan dengan orang yang lebih ahli, atau media yang bisa membantu mengecek kebenaran isi berita. Terkadang, berita-berita hoaks tersebut sudah dikupas tuntas oleh komunitas atau orang-orang tertentu yang memang pakar dalam masalah tersebut.

Beberapa ciri informasi hoaks medis

Setelah mengetahui bagaimana kita melakukan kroscek suatu informasi, berikut ini beberapa ciri informasi yang patut kita curigai kalau itu adalah informasi hoaks.

Pertama, tidak mencantumkan sumber berita yang jelas atau mencatut nama tokoh (dokter) tertentu. Misalnya, nama dokter tertentu, baik dari dalam maupun luar negeri.

Kedua, diksi yang digunakan cenderung berlebihan (“ajaib”; “super”).

Ketiga, diakhiri dengan ajakan untuk menyebarkan (share) berita tersebut.

Keempat, jika disertai gambar/video, maka bagian yang dimaksud tidak jelas.

Kelima, alamat media dan penanggung jawab tidak jelas.

Terakhir, jika kita ragu apakah informasi tersebut valid ataukah tidak, tentu mengambil sikap diam, itulah yang lebih selamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَمَتَ نَجَا

“Barangsiapa yang diam, dia selamat.” (HR. Tirmidzi no. 2501, sahih)

***

@Rumah Kasongan, 22 Dzulhijah 1442/1 Agustus 2021

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD.

Sumber: https://muslim.or.id/67823-bahaya-misinformasi-dalam-bidang-kesehatan.html

Tujuh Rahmat Allah dalam Covid-19

 Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Kalimat tersebut disampaikan secara kontinyu dalam medsos, seiring banyaknya ulama yang meninggal akibat Covid-19 pada beberapa pekan terakhir. Bagi orang beriman, pandemi covid merupakan ujian dari Allah swt. yang patut disikapi secara bijak. Meskipun diliputi kesulitan, kita wajib menjauhkan diri dari pesimisme.

Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. al-Insyirah : 5 – 6).

Allah swt. juga berfirman, “(Dia) yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia maha perkasa, maha pengampun.” (QS. al-Mulk : 2).

Berdasarkan ayat tersebut, kita dimotivasi oleh Allah swt. apapun keadaan kita, susah maupun senang, untuk tetap berbuat kebaikan, bahkan menghasilkan karya terbaik yang bermanfaat bagi umat manusia, dan tentunya karya yang tidak bertentangan dengan petunjuk-Nya.

Sebagai orang beriman, kita dituntut untuk terus optimis, husnuzan terhadap takdir-Nya, berkaitan dengan munculnya pandemi covid. Karena dengan optimisme, kita akan dirahmati Allah swt.

Rasulullah ﷺ. bersabda “(Pandemi) thaun adalah azab yang dikirim Allah bagi siapa pun yang Dia kehendaki, dan Allah menetapkan (thaun) sebagai rahmat bagi orang beriman.” (HR. Bukhari No. 3474).

Ada banyak rahmat dari Allah swt. yang dapat dirasakan oleh kita sebagai orang beriman di masa pandemi covid. Namun dalam tulisan ini hanya disebutkan tujuh saja:

Pertama, mendapatkan pahala mati syahid. Munculnya pandemi covid merupakan rahmat Allah swt. yang dapat dimanfaatkan agar kita memperoleh pahala syahid. Tentu saja kita tidak harus mati terkena covid agar bisa diberi pahala syahid oleh Allah swt. Kita bisa mendapatkan pahala syahid meskipun ditakdirkan selamat dari pandemi tersebut. Asalkan petunjuk dari Allah swt. dan rasul-Nya dipedomani dalam menghadapi pandemi. (al-Asqalani).

Rasulullah ﷺ. bersabda, “Barangsiapa yang ketika thaun menjangkiti, lantas ia tetap berada di negerinya dengan sabar dan ridha, juga tahu (yakin) bahwa tidak ada (apapun) yang (dapat) menimpanya kecuali (apa yang telah) ditetapkan Allah baginya, (maka) baginya seperti pahala syahid.” (HR. Bukhari No. 3474).

Kedua, meningkatkan keharmonisan rumah tangga. Munculnya pandemi covid di satu sisi merupakan rahmat yang diberikan Allah swt. kepada kita, agar bisa memiliki waktu luang bagi keluarga. Mengapa demikian?

Sejak covid melanda negara ini, pemerintah sering memberlakukan lockdown (kini namanya PPKM) yang relatif lama, agar pandemi dapat dikendalikan, bahkan diminimalisir. Saat-saat lockdown itulah, kita bisa melakukan WFH (work from home) sambil menemani, mengasuh, dan mendidik anak-anak kita, yang juga bersekolah di rumah secara daring.

Selain itu, lockdown juga dapat dimanfaatkan untuk lebih banyak mengisi waktu bersama istri kita. Sehingga keharmonisan rumah tangga dapat lebih ditingkatkan. Hak-hak lahir dan batin keluarga sesuai petunjuk Allah swt dan rasul-Nya bisa diberikan secara lebih maksimal ketika lockdown.

Dalam sebuah Hadits, Rasulullah ﷺ. membenarkan Salman al-Farisi ra. yang berkata, “Sesungguhnya bagi Rabb-mu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.” (HR. Bukhari No, 1968).

Ketiga, memaksimalkan teknologi informasi. Setelah pandemi covid melanda, kita menjadi sadar tentang kedahsyatan teknologi informasi yang dapat dimanfaatkan untuk mempermudah berbagai aktivitas, tugas, pekerjaan, maupun urusan kita. Contohnya adalah aplikasi yang kini banyak dipakai orang dari seluruh dunia, Zoom.

Dalam dunia dakwah, Zoom telah memudahkan mereka untuk dapat bersilaturahim secara daring, sambil musyawarah membahas masalah-masalah keumatan maupun kebangsaan, meskipun tidak didukung anggaran yang besar, sebagaimana yang berlaku pada pertemuan offline. Apalagi Zoom dianggap telah memenuhi dua kriteria umum silaturahim, yaitu saling melihat wajah serta saling mengatakan dan mendengarkan antar pelaku komunikasi.

Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. al-Insyirah : 5 – 6).

Keempat, mendekatkan diri kepada Allah swt. Selama 1,5 tahun terakhir ini, sudah banyak orang yang diserang covid, dan tidak sedikit di antara mereka meninggal. Orang beriman menjadi sadar, dan segera mendekatkan diri kepada Allah swt. agar diselamatkan dari akhir su’ul khatimah. Mereka ber-muhasabah untuk segera kembali mendekat kepada Allah swt. dengan cara menghentikan maksiat, memperbanyak ibadah, serta beramal mulia lainnya yang diridhai-Nya. Dengan demikian, pandemi covid dapat menjadi wasilah turunnya rahmat yang patut disyukuri. Karena kebahagiaan hakiki bagi orang beriman adalah bisa bertaubat dan mensucikan diri, untuk mendekat kepada-Nya.

Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. al-Baqarah : 222).

Kelima, mendapatkan ampunan Allah swt. Tidak bisa dipungkiri, munculnya pandemi telah melahirkan berbagai kesusahan dan kesedihan di tengah masyarakat. Seperti pekerja sektor informal yang kesulitan mencari nafkah di luar rumah karena lockdown, karyawan yang di-PHK karena perusahaan bangkrut di masa pandemi, hingga warga yang keluarganya diserang covid hingga sakit kritis, bahkan meninggal dunia.

Bagi orang beriman, semua kesusahan dan kesedihan itu hendaknya dihadapi dengan ikhlas. Sebab Allah swt. menjanjikan ampunan-Nya bagi mereka yang dilanda musibah.

Rasulullah ﷺ. bersabda, “Tidaklah menimpa seorang mukmin (beriman) rasa sakit yang terus-menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari No. 5641)

Keenam, memperkuat persaudaraan dan persatuan. Harus diakui, selama beberapa lama ini banyak terjadi clash antar kelompok di masyarakat karena perbedaan latar belakang. Namun setelah dilanda pandemi covid, kita merasakan hubungan mereka menjadi fluid, untuk bahu-membahu menghadapi dan menanggulangi pandemi tersebut.

Mereka saling bekerjasama menolong orang-orang yang diserang covid, ataupun saling membantu secara materi bagi orang-orang yang terkena dampak sampingan dari adanya pandemi, seperti  karyawan yang di-PHK, serta pengusaha yang pailit. Fenomena ini akhirnya dapat memperkuat persaudaraan dan persatuan, yang patut disyukuri. Karena jika sebelumnya antar kelompok masyarakat sempat ‘dihantui’ ketidakharmonisan, maka rahmat Allah swt. melalui covid membuat masyarakat memiliki kasih sayang dan terjalin persaudaraan.

Rasulullah ﷺ. bersabda, “Para pengasih dan penyayang dikasihi dan disayang oleh Al-Rahman, rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yang ada di langit (Allah).” (HR. Abu Dawud No. 4941).

Ketujuh, meningkatkan kesabaran. Rahmat Allah swt. akan diberikan kepada orang beriman yang sabar, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabar lah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. al-Zumar : 10).

Kesabaran direalisasikan orang beriman dalam wujud ikhlas, ikhtiar, dan tawakkal. Ikhlas artinya rela, tidak berkeluh-kesah, serta tidak emosional ketika diberi ujian oleh Allah swt. Ikhtiar artinya tidak menyerah dan berusaha bersungguh-sungguh melakukan tindakan-tindakan yang menjadi penyebab diberikannya jalan keluar oleh Allah swt. Dan tawakkal artinya menyerahkan sepenuhnya hasil dari ikhlas dan ikhtiar yang telah dilakukan kepada Allah swt.

Dalam melakukan ikhtiar, hendaknya kita mengikuti petunjuk dari pihak-pihak yang kredibilitas, kapasitas, serta kapabilitasnya diakui secara mutawatir. Dalam menghadapi ujian pandemi covid ini, pihak yang memiliki ketiga hal tersebut secara mutawatir adalah pemerintah.

Ketika pemerintah meminta kita melakukan prokes, menjaga asupan gizi, serta tindakan-tindakan lainnya yang secara mutawatir fakta maupun bahasan ilmiahnya telah dibuktikan mampu dalam pengendalian covid, maka permintaan tersebut wajib ditaati. Sebab dengan ikhtiar yang sesuai petunjuk tersebut, mudah-mudahan menjadi wasilah datangnya takdir yang baik dari Allah swt. sehingga pandemi covid dapat segera ditanggulangi dengan baik. Wallahua’lam.*

Penulis adalah Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI Pusat. Tulisan ini diadaptasi dari materi taushiyah penulis pada acara doa umat untuk bangsa, yang diselenggarakan secara daring oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, pada Jumat, 16 Juli 2021

oleh: Muh. Zaitun Rasmin

HIDAYATULLAH

Meneguhkan Tauhid Saat Sakit

ADA dua macam nikmat, yakni nikmat muqayyadah dan nikmat muthlaqah. Nikmat muqayyadah adalah segala nikmat yang dapat membawa manusia kepada kebaikan, dapat pula membawa manusia kepada keburukan. Kesehatan, kebugaran, harta, kecerdasan, waktu luang, keahlian (meskipun dalam bidang agama) adalah sebagian di antara contoh nikmat muqayyadah. Di saat sehat orang bisa sungguh-sungguh taat terhadap syari’at, tetapi sehat juga dapat menggelincirkan manusia kepada maksiat maupun perilaku terlaknat. Maka sehat bukanlah nikmat yang memastikan kebaikan.

Betapa banyak yang di saat sakit justru sangat dekat dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Ia memurnikan tauhid dan tidak berpengharapan selain hanya kepada Allah Ta’ala, tetapi begitu sembuh lain lagi ceritanya. Itu sebabnya ketika sakit, saya sering mengingatkan agar orang yang mendo’akan sembuh tak sekedar sembuh, melainkan sembuh yang penuh barakah. Apalagi jika yang datang bukannya mendo’akan, melainkan mengajari takabbur kepada Allah, “Semangat, Pak. Bapak pasti kuat melawan sakit ini.” Tidak. Sakit itu bukan pertarungan antara kita dengan kondisi sakit. Takabbur orang yang mengatakan bahwa mental yang kuat akan menjadikan kita sebagai pemenang melawan penyakit. Ia bergantung kepada diri sendiri, sedangkan Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita untuk berdo’a agar kita tidak bergantung kepada diri sendiri walaupun hanya sekejap mata. Kita hanya bergantung kepada Allah Ash-Shamad; Dzat yang hanya Dia saja tempat bergantung.

Lalu apa itu nikmat muthlaqah? Nikmat yang mengantarkan kepada keselamatan dan kebahagiaan akhirat, yakni Al-Islam yang kita semua dilahirkan dalam keadaan di atas al-Islam. Tugas kita menjaganya dan tidak mengotori dengan maksiat, syirik maupun kezaliman.

Setiap nikmat muqayyadah adalah ujian. Begitu pula tetapnya, berkurangnya maupun bertambahnya juga merupakan ujian. Sesiapa yang lulus dalam ujian itu, maka ia termasuk orang-orang yang bersyukur, yakni orang yang tetap memuji Allah Ta’ala dengan sebenar-benar pujian dalam segala keadaan, menegakkan imannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan sebaik-baiknya, mengikrarkan syukurnya kepada manusia dan menggunakan nikmat itu untuk mencari ridha Allah ‘Azza wa Jalla.

Seorang mukmin yang lulus ketika diberi ujian sakit bukanlah mereka yang sembuh dengan sempurna, tetapi mereka yang tetap bertawakkal kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam berusaha dan menegakkan tauhid dalam segala keadaan. Sakit itu bukanlah pertarungan melawan penyakit. Bukan. Tetapi sakit adalah ujian yang membedakan manusia menjadi dua; orang-orang yang bersyukur dia tetap beriman, gigih, tawakkal dan senantiasa menegakkan isti’anah (memohon pertolongan) hanya kepada Allah Ta’ala; orang-orang yang kufur, dia bertawakkal kepada selain Allah saat berusaha, atau dia berputus asa dari rahmat Allah ‘Azza wa Jalla.

Mari sejenak kita mengingat seraya tadabbur terhadap do’a memohonkan kesembuhan sebagaimana kita dapati dalam hadis shahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.

‘Abdul ‘Aziz dan Tsabit pernah menemui Anas bin Malik. Tsabit berkata, “Wahai Abu Hamzah (gelaran dari Anas), aku sakit.” Anas berkata, maukah aku meruqyahmu (mengobatimu) dengan ruqyah Rasulullah ﷺ.” Tsabit pun menjawab, “Tentu.”

Lalu Anas membacakan do’a:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ مُذْهِبَ الْبَاسِ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِى لاَ شَافِىَ إِلاَّ أَنْتَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

“Ya Allah Wahai Tuhan segala manusia, Penghilang segala yang membahayakan, sembuhkanlah. Engkaulah yang menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu; kesembuhan yang tidak kambuh lagi.” (HR. Bukhari & Muslim).

Perhatikan dan hayati, cermati dan renungi sepenuh keyakinan. Do’a ini diawali dengan pengakuan saat meminta, bahwa Allah adalah tuhannya seluruh manusia; tuhan yang menciptakan semua manusia tanpa terkecuali. Penyebutan “rabb” merujuk kepada kedudukan Allah ﷻ sebagai pencipta yang Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu; Maha Memelihara.

Selanjutnya kita juga berikrar, menyatakan pengakuan bahwa Allah ﷻ adalah Dzat Yang Menghilangkan segala sesuatu yang membahayakan ﷻ Maknanya adalah bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala dan sungguh-sungguh hanya Allah ﷻ semata yang maha kuasa untuk menghilangkan penyakit dan kesusahan pada diri setiap manusia. Kita mengawali do’a dengan mengatakan pengakuan kita bahwa hanya Allah ﷻ yang dapat menghilangkan segala kesusahan dan atas perkenan-Nya semata segala upaya menghilangkan kesusahan akan dapat membawa manusia keluar dari kesusahan.

Pengakuan ini sekaligus sebagai pengharapan kita agar selain memberi kesembuhan, Allah ﷻ juga menghilangkan kesusahan. Kadang ada yang sembuh dari sakitnya, tetapi tidak hilang kesusahan maupun bahaya dari dirinya. Maka kita mengawali do’a dengan menyatakan pengakuan bahwa sesungguhnya Allah ﷻ Dzat Yang Maha Menghilangkan Segala Kesusahan. Ini kita ikrarkan sesudah menyatakan pengakuan setulus-tulusnya bahwa Ia Rabb seluruh manusia karena kita berharap Allah Ta’ala karuniakan kesembuhan dan sekaligus hilangkan kesusahan serta bahaya darinya.

Selanjutnya, barulah kita memohon kesembuhan dengan menyampaikan hajat kita, “Sembuhkanlah (اشْفِ)”. Sangat ringkas dan singkat karena yang perlu kita mohonkan hanyalah yang paling pokok. Bukankah Allah Ta’ala Maha Tahu, Maha Bijaksana dan Maha Penyayang?

Sesudah itu, kita kembali menyatakan kalimat pengakuan dengan tatkala mengucapkan “أَنْتَ الشَّافِى لاَ شَافِىَ إِلاَّ أَنْتَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا”. Inilah pengakuan yang saling menegaskan, saling menguatkan dan memurnikan pengakuan tauhid kita bahwa hanya Allah dan semata-mata Allah saja yang menentukan kesembuhan. Tidak ada kesembuhan kecuali hanya dari-Nya.

Mari kita ingat kembali maknanya dan perhatikan dengan sepenuh keyakinan, “Engkaulah yang menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu; kesembuhan yang tidak kambuh lagi.”

Inilah yang harus kita yakini. Ini pula yang harus kita pegangi kuat-kuat. Bila perlu kita gigit dengan gigi geraham kita agar keyakinan bahwa hanya Allah dan semata-mata Allah yang dapat memberikan kesembuhan kepada kita atau siapa pun yang sedang sakit. Maka kepada-Nya kita meminta pertolongan (isti’anah ). Dan sesungguhnya isti’anah (meminta pertolongan kepada Allah) itu merupakan konsekuensi dari shalat kita; dari bacaan Fatihah kita. Bukan setiap shalat kita berikrar “hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”?

Apakah kita tidak boleh berobat? Boleh, bahkan harus. Apakah kita tidak perlu berobat? Sangat perlu sebagai bentuk tawakkal kita dan sikap tidak berputus asa dari rahmat Allah, bahkan ketika tampaknya sudah tidak ada harapan.

Nabi ﷺ bersabda:
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ

“Semua penyakit ada obatnya. Jika sesuai antara penyakit dan obatnya, maka akan sembuh dengan izin Allah.” (HR Muslim).
Dari Usamah bin Syariik radhiyaLlahu ‘anhu, ia berkata: “Aku berada di samping Nabi ﷺ kemudian datang seseorang dan berkata, “Ya RasulaLlah, apakah aku perlu berobat?”

Rasulullah ﷺ bersabda:
نَعَمْ يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غير داء واحد

“Ya, wahai hamba Allah, berobatlah Sesungguhnya Allah tidak memberikan penyakit, kecuali Allah juga memberikan obatnya, kecuali untuk satu penyakit.”

قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ قَالَ الْهَرَمُ

Orang tersebut bertanya, “Ya Rasulullah, penyakit apa itu?”

Rasulullah ﷺ bersabda, “Penyakit tua.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

إِنَّ اللهَ لَمْ يَنْزِلْ دَاءً إِلاَّ وَأَنْزَل لَهُشِفَاءً عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ و جَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

“Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit, kecuali Allah juga menurunkan obatnya. Ada orang yang mengetahui ada pula yang tidak mengetahuinya.” (HR Ahmad dan yang lainnya, shahih).

Ini mengisyaratkan bahwa berobat itu penting. Mencari tahu apa obatnya juga penting. Tetapi harus kita ingat bahwa tidak akan pernah ada kesembuhan, kecuali dengan izin Allah. Bi idzniLlah. Kesesuaian obat dengan penyakit yang diobati itu jelas penting dan sungguh sangat penting. Tetapi jika Allah tidak izinkan terjadi kesembuhan, maka kesembuhan itu tidak pernah terjadi. Karena itu jangan takabbur dengan mengatakan, “Nggak usah repot-repot. Begitu merasa sakit, langsung saja kasih ini. Dijamin penyakitnya pasti kabur.”

Jangan pula berkata seolah dapat menentukan takdir, semisal, “Kemenangan hanya milik mereka yang mentalnya kuat. Jika Anda tenang dan mental Anda kuat, maka Anda pasti akan keluar sebagai pemenang melawan pandemi ini.”

Merinding rasanya ketika mendengar kalimat-kalimat semacam ini terus-menerus diucapkan manusia semenjak awal pandemi; dari yang muslim maupun kafir, dari yang alergi kepada agama maupun yang tampak bersemangat kepada agama ini. Maka alangkah perlu kita menjaga diri dari syubhat-syubhat yang berkelebat.

Hari-hari ini banyak saudara kita yang sakit. Tidak sedikit pula justru ada di antara kita yang sakit. Siapa pun itu, hendaklah sakit menjadikan kita semakin memurnikan tauhid, menjaganya dan memeganginya dengan kokoh. Kita berobat dengan segala upaya syar’i; melakukan langkah-langkah medis maupun non medis yang dibenarkan oleh ilmu, yakni memiliki landasan ilmiah, tidak berputus asa terhadap pertolongan-Nya dan menguatkan isti’anah kita hanya kepada Allah Ta’ala seraya mengingat bahwa hanya Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa menyembuhkan siapa saja yang ia kehendaki.

Semoga catatan sederhana ini bermanfaat dan barakah. Semoga upaya-upaya kita, begitu pula keyakinan kita, tidak menyelisihi rangkaian ucapan do’a memohonkan kesembuhan sebagaimana yang telah dituntunkan oleh RasuluLlah Muhammad ﷺ sebagaimana kita dapati dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim tersebut.*
Penulis buku ‘Mencari ketenangan di tengah kesibukan’ dan pengajar Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu’.

HIDAYATULLAH

‘Mematuhi Protokol Covid, Berarti Menjalankan Syariat Islam’

Pemuka agama dan ulama memiliki peran penting untuk mencegah penularan COVID-19.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan para pemuka agama dan ulama memiliki peran penting untuk mencegah penularan COVID-19. Caranya dengan mengajak umat dan masyarakat untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan.

“Dalam situasi seperti inilah, saya menilai peran para ulama dan pemuka agama sangatlah penting dengan terus mengajak umat dan masyarakat untuk selalu mematuhi kedisiplinan dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan,” kata Ma’ruf Amin saat menutup Muktamar IV Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) yang diselenggarakan secara virtual dari Jakarta, kemarin.

Kepatuhan terhadap protokol kesehatan menjadi kunci penting dalam mencegah penularan COVID-19 semakin meluas. Karena, vaksin dan obat untuk penyakit akibat virus tersebut masih dalam tahap penelitian.

Pengabaian terhadap protokol kesehatan akan berisiko tinggi bagi diri sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar. ”Hal ini harus disadari sebagai kepentingan sekaligus kewajiban bersama kita semua,” tegasnya.

Ajaran Islam
Oleh karena itu, para pemuka agama dan ulama diharapkan turut mengampanyekan penerapan protokol kesehatan COVID-19 kepada masyarakat. Utamanya dengan mengajak umat mengenakan masker, rajin mencuci tangan dan menjaga jarak.

Dengan menaati protokol kesehatan, maka hal itu sama dengan mematuhi ajaran agama Islam untuk menjaga diri sendiri, orang lain dan sesama manusia untuk tidak tertular penyakit.

Membiarkan diri tertular berarti membahayakan diri sendiri. Sedangkan, menularkan penyakit kepada orang lain adalah membahayakan diri orang lain.

“Oleh karena itu, menjaga protokol kesehatan bukan sekedar mematuhi anjuran pemerintah, tetapi merupakan perintah agama yang harus ditaati dan itu berarti menjalankan syariat Islam,” ujarnya.

Wapres juga mengatakan penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia masih belum menunjukkan hasil baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan semakin meningkatnya angka kasus penularan, meskipun angka kesembuhan juga ikut naik.

Perkembangan pandemi COVID-19 di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Namun, meskipun jumlah penularan masih terus naik, katanya, Indonesia juga mencatat jumlah kesembuhan yang semakin meningkat.

KHAZANAH REPUBLIKA

Pentingnya Rasa Malu

Rasa malu sangat penting untuk menjaga diri agar terhindar dari perbuatan tercela.

Rasa malu sangat penting untuk menjaga diri agar terhindar dari perbuatan tercela. Seseorang yang memiliki rasa malu tak akan mau turut serta dalam perbuatan maksiat seperti mencuri, berzina, mengkonsumsi minuman keras. Sebab kendati pun tidak diketahui orang-orang, ia memiliki rasa malu kepada Allah SWT yang Maha Mengetahui.

Orang yang memiliki rasa malu juga menandakan memiliki kehormatan, harga diri, dan akhlak yang luhur. Rasulullah SAW pernah berwasiat kepada sahabat Ali bin Abi Thalib berkaitan dengan pentingnya rasa malu pada diri seorang Muslim. Ini dapat ditemukan dalam kitab Wasiyatul Mustofa yang disusun Syekh Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Musa Asy Syarani Al Anshari Asy Syafi’i Asy Syadzili Al Mishri atau dikenal sebagai Imam Asy Syaran.

يَا عَلِيُّ، اَلدِّيْنُ كُلُّهُ فِي الْحَيَاءِ وَهُوَ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا حَوَى وَالْبَطْنَ وَمَا وَعَى

Wahai Ali, agama itu semuanya terdapat pada sifat malu. Sifat malu itu kamu menjaga kepala dan apa-apa yang ada disekitarnya. Dan sifat malu itu menjaga perut serta apa-apa yang ada di dalamnya. 

Maksudnya adalah sifat malu membuat seseorang menjadi punya kehormatan, harga diri. Itu berarti orang tersebut juga menjaga agamanya. Semisal orang yang malu jika harus marah-marah berarti dia sedang menjaga agamanya, orang tak mau mencuri karena punya rasa malu maka ia menjaga agamanya. 

Karena itu juga Rasulullah juga mengingatkan agar menjaga kepala. Maksudnya jangan sampai ada sifat-sifat buruk yang masuk meracuni isi kepala dan bagian-bagian organ lain yang ada di sekitar kepala.

Misalnya saja memfitnah, menuduh, berbohong, mengadu domba, dan lainnya. Begitupun halnya dengan perut yang harus dijaga agar jangan sampai ada barang haram yang masuk. Dengan menjaga itu semua, maka seorang hamba memiliki rasa malu sehingga menjadi terhormat. Maka hamba tersebut telah menjaga agamanya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Memetik Buah Amal

Allah Ta’ala berfirman,

مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

“Barangsiapa melakukan amal salih, maka demi kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang melakukan keburukan, maka hal itu akan merugikan dirinya sendiri. Dan tidaklah Rabbmu berbuat zalim kepada hamba.” (QS. Fushshilat: 46)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Artinya, barangsiapa yang melakukan suatu amal salih, maka sesungguhnya kemanfaatan amalnya itu akan kembali kepada dirinya sendiri. Karena sesungguhnya Allah itu Maha kaya, sehingga tidak membutuhkan perbuatan hamba. Meskipun mereka semuanya berada dalam keadaan sebagaimana orang yang hatinya paling bertakwa, maka hal itu pun tidak akan menambah apa-apa terhadap keagungan kerajaan-Nya barang sedikit pun.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6: 264] cet. Dar Thaibah)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka hanya saja [manfaat] hal itu [juga] demi kepentingan dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar maha kaya sehingga tidak membutuhkan alam semesta.” (QS. al-’Ankabut: 6)

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya bisa jadi ada seorang yang senantiasa berjihad walaupun tidak pernah menyabetkan pedang -di medan perang- suatu hari pun.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6: 264] cet. Dar Thaibah)

Hidup di dunia tidaklah sepi dari ujian dan cobaan. Oleh sebab itu, hendaknya setiap diri berjuang dan bersungguh-sungguh dalam berupaya menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan demi menggapai kebahagiaan. Allah Ta’ala berfirman,

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ

“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan begitu saja masuk surga sedangkan Allah belum mengetahui [melihat] siapakah orang-orang yang bersungguh-sungguh di antara kalian dan untuk mengetahui siapakah orang-orang yang sabar?” (QS. Ali ‘Imran: 142)

Dengan ujian inilah akan tampak siapakah orang yang benar keimanannya dengan orang yang hanya berpura-pura. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka benar-benar Allah akan mengetahui [membuktikan] siapakah orang-orang yang jujur dan akan mengetahui siapakah orang-orang yang dusta.” (QS. al-’Ankabut: 3)

Oleh sebab itu, semestinya setiap hamba yang takut akan perjumpaan dirinya dengan Allah dalam keadaan hina untuk mengisi waktunya dengan amal salih dan nilai-nilai keimanan serta menghadapi berbagai fitnah dengan kesabaran. Allah Ta’ala berfirman,

مَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ اللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللَّهِ لَآتٍ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Barangsiapa yang berharap bertemu dengan Allah, maka sesungguhnya ketetapan ajal dari Allah itu pasti datang, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-’Ankabut: 5)

Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini, “Para ulama ahli tafsir sepakat bahwa maksud ayat ini adalah barangsiapa yang merasa takut akan kematian, hendaklah dia melakukan amal salih. Karena sesungguhnya kematian itu pasti akan mendatanginya.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [16: 338-339])

Kematian tidak bisa dielakkan. Tidak ada yang bisa berlari untuk menghindar darinya. Oleh sebab itu, -wahai saudaraku- membekali diri untuk menyambutnya adalah sebuah keniscayaan. Allah Ta’ala telah menegaskan,

قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ۖ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

“Katakanlah, Sesungguhnya kematian yang kalian senantiasa berusaha lari darinya, sesungguhnya ia pasti datang menemui kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada Dzat yang mengetahui perkara yang gaib dan yang tampak, lalu Allah akan mengabarkan kepada kalian dengan apa yang dahulu kalian kerjakan.” (QS. Al-Jumu’ah: 8)

Membekali diri dengan keimanan, meninggalkan segala bentuk kemaksiatan, dan berjuang di jalan Allah. Membekali diri dengan sabar dan syukur. Membekali diri dengan tauhid dan amal salih. Membekali diri dengan pundi-pundi ketakwaan. Inilah jalan orang-orang yang merindukan rahmat dan ampunan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah serta berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 218)

Dikisahkan, bahwa suatu hari Abud Darda’ radhiyallahu ’anhu melihat seorang lelaki ketika menghadiri jenazah. Lelaki itu berkata, “Jenazah siapakah ini?” Maka Abud Darda’ berkata, “Inilah dirimu, inilah dirimu. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ

“Sesungguhnya Engkau pasti mati dan mereka pun pasti akan mati.” (QS. Az-Zumar: 30) (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i karya Abdul Malik al-Qasim, hal. 110)

Dikisahkan bahwa Muhammad bin al-Munkadir rahimahullah menangis sejadi-jadinya menjelang kematiannya. Lalu ada orang yang bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Maka beliau mengangkat pandangan matanya ke langit seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah memerintah dan melarang kepadaku. Lalu aku justru berbuat durhaka. Jika Engkau mengampuni [diriku] sungguh Engkau telah memberikan anugerah [kepadaku]. Dan apabila Engkau menghukum [aku], sungguh Engkau tidak melakukan kezaliman [kepadaku].” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 94)

Allah Ta’ala berfirman,

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menginginkan ketinggian [keangkuhan] di atas muka bumi dan berbuat kerusakan. Dan sesungguhnya, kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83)

al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Masuk ke alam dunia ini adalah sesuatu yang ringan (mudah). Akan tetapi, keluar darinya -dengan sukses dan selamat, pent- adalah sesuatu yang berat (tidak sederhana).” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 94)

Abud Darda radhiyallahu ’anhu berkata, “Jika disebut nama-nama orang yang sudah mati, maka anggaplah keadaan dirimu seperti halnya salah satu di antara mereka.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 68)

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita kesudahan yang baik di alam dunia ini dan menjadikan kita sebagai penghuni surga-Nya. Allahul musta’aan.

**

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Sumber: https://muslim.or.id/67783-memetik-buah-amal.html

Membantah Argumen Ustadz Yazid Jawas tentang Merenggangkan Shaf Tidak Ada Dalil dan Dilarang Nabi

“Sekarang (masa Covid-19) jutaan kaum muslimin rapat dalam shaf, enggak ada masalah. Nabi juga tidak menyebutkan, nanti kalau ada thaun, shafnya renggang (merenggangkan shaf). Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh lagi kita ubah, tidak boleh kita buat yang baru dalam agama ini.  Kok takut shafnya rapat, ini imannya dipertanyakan. Dalilnya mana ini kok shaf renggang? Enggak ada dalil. Sudah jelas, merengangkan shaf itu melanggar perintah Rasulullah bukan? Ini melanggar. Ini akibatnya berat. Enggak sekarang, cepat atau lambat akan kena orang itu. Yang kita ikut Rasulullah SAW, merapatkan shaf,”.

Itu merupakan isi ceramah yang disampaikan oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Ceramah agama itu untuk menjawab pertanyaan dari seorang jamaah yang bertanya terkait hukum shalat jamaah dengan merenggangkan shaf. Pasalnya, ada himbauan dari pemerintah, MUI, dan juga di Saudi Arabia, melaksanakan shalat dengan shaf renggang. Isi ceramah itu bisa dilihat dalam kanal Youtube MIAH Bogor. Video tersebut berjudul Sholat dengan Shaf Renggang Tidak dibenarkan oleh Rasulullah Shollolhu ‘alaihi  wasalam.

Lebih lanjut, Ustadz Yazid mengatakan pemerintah tak ikut campur urusan shalat kaum mukmin. Ada pun yang disampaikan pemerintah tersebut, sekadar  himbauan semata. Penulis  kutipkan transkip  ceramah tersebut;

“Pemerintah tidak ikut campur berkaitan shalat kaum mukminin dari zaman dahulu sampai sekarang, itu bentuknya himbauan saja, sekarang (masa Covid-19) jutaan kaum muslimin rapat dalam shaf enggak ada masalah, Kalo di bilang masa kesehatan, enggak menular di masjid, jutaan orang shalat sejak sebelum pandemi sampai sekarang, enggak menular, aman aman saja. Masjid tempat yang bersih. Sama Corona takut, sama Allah enggak takut,” Itulah pendapat yang beliau sampaikan terkait persoalan shalat merenggangkan shaf.

Lantas benarkah pendapat  Ustadz Abdul Yazid di atas? Adakah ulama yang membolehkan shalat menjaga jarak? Atau menjaga jarak dalam shaf termasuk yang dibenci Nabi? Untuk menjawab ini mari kita bahas persoalan ini dalam kacamata hukum fikih Islam. Sebagai pembanding dari jawaban yang disampaikan oleh Yang Mulia Ustadz Abdul Yazid Jawas.

Anjuran Islam untuk Menjaga Kesehatan

Menurut syariat Islam, jiwa manusia dalam Islam sangat berharga. Menjaga jiwa adalah tujuan mulia. Melindungi jiwa dari kemusnahan dan keburukan merupakan tujuan tertinggi dari syariah yang mulia. Itulah tujuan syariah yang dibawa oleh Muhammad dan juga para rasul dan nabi lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al Baqarah/2;195;

وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ

Artinya; Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Menurut Shihabuddin Abu’l-‘Abbās Aḥmad ibn Muḥammad ibn Abi Bakr al-Qasṭallānī al-Qutaybī al Syafi’i, yang juga dikenal sebagai Al-Qasṭallānī dalam kitab Irsyādu as Sārī,   ketika menjelaskan firman Allah dalam Q.S an-Nisāa/4:102, bahwa ayat ini menjelaskan wajib waspada dari segala bahaya yang akan datang. Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa berobat dengan obat ketika sakit dan menjaga diri dari wabah penyakit serta menghindari dari duduk-duduk di bawah dinding yang miring adalah wajib.

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ ۖ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ ۗ [النساء: 102] فيه بيانُ الرخصةِ في وضْعِ الأَسْلِحةِ إنْ ثَقُل عليهمْ حَمْلُها بِسببِ مَا يَبُلُّهُم مِن مطرٍ أوْ يُضْعِفُهمْ مِن مرَضٍ وأمَرَهُمْ معَ ذلك بِأخذِ الحذْرِ لِئلا يَغْفَلوا فيَهجُمُ عليهمُ العدوُّ، ودلَّ ذلك على وُجوْبِ الحذرِ عن جميعِ المضارِّ المظنونةِ، ومِنْ ثَمَّ عُلِم أنَّ العلاجَ بالدواءِ والاحْترازَ عنِ الوباءِ والتحرُّزَ عن الجلوسِ تحتَ الجدارَ المائلَ واجبٌ.

Artinya; Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. [an-Nisāa: 102]:

Di dalam ayat ini adanya keringanan untuk meletakkan senjata saat para pasukan terbebani dengan bawaan, seperti dalam keadaan basah kuyup kehujanan atau karena sakit. Meskipun demikian mereka tetap harus waspada terhadap musuh.

Ayat tersebut juga menunjukkan wajibnya menjaga kewaspadaan dari segala bahaya yang akan datang. Dari sinilah dipahami bahwa berobat dengan obat dan menjaga diri dari wabah penyakit serta menghindari dari duduk-duduk di bawah dinding yang miring adalah wajib.

Pada sisi lain, tujuan pokok dari penerapan syariat Islam adalah mewujudkan mashlahah. Intisari  syariat adalah demi kemanusiaan. Menurut Imam Al Ghazali, ada lima hal tujuan syariah. Dalam kitab Al-Mustashfa, Imam Ghazali berkata sebagai berikut:

ومقصود الشرع من الخلق خمسة: وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم، فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة، وكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة، ودفعها مصلحة

Artinya; Tujuan syariat yang berlaku atas makhluk ini ada 5, yaitu menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan hartanya. Segala kebijakanyang berorientasi pada penjaminan terhadap kelima dasar pokok ini disebut juga sebagai maslahah. Sebaliknya, kebijakan yang meninggalkan kelima asas dasar ini, maka termasuk mafsadah. Oleh karena itu, menolaknya, adalah tindakan yang mashlahah.      

Hukum Merenggangkan Shaf Dalam Tinjauan Fikih

Sejatinya terdapat hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari terkait anjuran untuk merapatkan shaf ketika sedang berjamaah. Pasalnya, menurut hadist tersebut merapatkan shalat bagian dari kesempurnaan shalat. Rasulullah bersabda:

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ , فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاةِ

Artinya: Rapatkan kalianlah shaf, karena merapatkan shaf  dari pada kesempurnanan mendirikan shalat (H.R. Bukhari/723)

Menanggapi hadist ini, Syaikh Saad bin Nashir bin Abdulaziz Abu Habib Al-Syatsri,  menyebutkan bahwa hadis tersebut tidak menunjukkan wajib merapatkan shaf. Dewan Ulama Senior Arab Saudi dan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas King Saud Arab Saudi  ini juga menerangkan mayoritas ulama sepakat, hadist ini menunjukkan sunat merapakatkan barisan dalam shalat. Pasalnya, membuat rapat shaf tidak termasuk dalam rukun shalat atau syarat wajib shalat.

Syaikh Saad bin Nashir bin Abdulaziz Abu Habib Al-Syatsri, mengatakan:

إذ تمام الشيء امر زائد على حقيقة التي لا يتحقق بها

Artinya: adalah kesempurnaan sesuatu itu adalah nilai plus/ tambah  atas hakikatnya yang tak akan terpenuhi melainkan dengan adanya hakikat tersebut.

Pendapat serupa juga tercantum dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah Jilid XXVII,  halaman 35, bahwa hukum merapatkan shaf ketika shalat berjamaah adalah sunat, bukan wajib. Untuk itulah, seorang Imam dianjurkan untuk memerintahkan jamaah terlebih dahulu untuk merapatkan barisan sebelum shalat ditunaikan.

Para ulama dalam Kitab  Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah mengeluarkan fatwa berikut:

ذهب الجمهور إلى أنه يستحب تسوية الصفوف في صلاة الجماعة بحيث لا يتقدم بعض المصلين على البعض الآخر, حتى لا يكون في الصف خلل ولا فرجة، ويستحب للإمام أن يأمر بذلك

Artinya: para jumhur ulama berpendapat bahwa sunah hukumnya meluruskan saf ketika shalat jamaah, sekira-kira barisan orang yang shalat tidak lebih maju satu dengan yang lain, sehingga tidak ada dalamshaf itu yang kosong dan berlobang, dan Imam disunatkan menyuruh makmum untuk merapatkan shaf.

Pada sisi lain, Imam Nawawi dalam kitab Syarah al Muhadzab,Jilid  IV, mengatakan bahwa pada saat melaksanakan shalat berjamaah sunah hukumnya meluruskan shaf.  Pun sunah hukumnya Imam menyuruh para makmun merapatkan shaf. Sehingga tidak ada lobang-lobang di antara jamaah. Imam Nawawi berkata;

اتفق أصحابنا وغيرهم على استحباب الصف الأول والحث عليه، وجاءت فيه أحاديث كثيرة في الصحيح، وعلى استحباب يمين الإمام، وسد الفرج في الصفوف، وإتمام الصف الأول ثم الذي يليه إلى آخرها، ولا يَشرع في صف حتى يتم ما قبله

Imam Nawawi Nawawi berkata: “Para sahabat kami dan yang lainnya sepakat bahwa shaf pertama adalah mustahab dan menghimbaunya, dan terdapat banyak hadits-hadist shahih yang membahas tentang hal itu, dan sunah  juga makmum mengisi sebelah kanan imam, menutup celah-celah di shaf, melengkapi baris pertama dan kemudian berikutnya sampai akhir, dan tidak disyariatkan pada shaf berikutnya sehingga sempurna shaf sebelumnya.

Ada dua hal yang menjadi catatan dalam keterangan hadis di atas dan juga pendapat para ulama tersebut. Pertama, terkait hukum merapatkan shaf dalam shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Artinya, tanpa merapatkan shaf pun shalat tetap sah dilakukan. Kedua, kesunnahan merapatkan barisan tersebut berlaku dalam keadaan normal. Bukan dalam keadaan darurat dan uzur.

Hukum Merenggangkan Shaf Saat Darurat

Lantas bagaimana dalam keadaan darurat, seperti adanya wabah, cuaca ekstrim, dan pandemi? Menanggapi persoalan ini Syekh Nawawi Al Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain mengatakan  bila dalam keadaa uzur atau darurat, maka merenggangkan shaf dalam shalat tidak makruh hukumnya. Di samping itu, menjaga jarak ketika shalat berjamaah saat keadaan darurat, juga tetap mendapatkan fadhilah shalat berjama’ah—pahala shalatnya sempurna.

Imam Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain berkata:

نَعَمْ، إِنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ عَنْ سَدِّ الفَرَجَةِ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الحَرِّ بِالـمَسْجِدِ الحَرَامِ لَـمْ يُكْرَهْ لِعَدَمِ التَّقْصِيْرِ فَلَا تَفُوْتُهُمُ الفَضِيْلَةُ

Artinya; Tetapi jika mereka tertinggal (terpisah) dari shaf karena uzur seperti cuaca panas di masjidil haram, maka tidak (dianggap) makruh karena tidak ada kelalaian. Dan mereka tidak kehilangan fadhilah shalat jama’ah”

Sementara itu, Syekhul Islam, Ibn Taimiyah dalam kitab Majmu’ al Fatawa berpendapat bahwa merenggangkan shaf, atau menjaga jarak dalam shalat jamaah adalah boleh hukumya, apabila ada uzur syariat. Misalnya dalam keadaan wabah dan cuaca ekstrim. Syekh Islam Ibnu Taymiyah berkata;

وإذا كان القيام والقراءة وإتمام الركوع والسجود والطهارة بالماء وغير ذلك يسقط بالعجز. فكذلك الاصطفاف وترك التقدم

Artinya: dan apabila berdiri ketika shalat, membaca fatiha, menyempurnakan rukuk, sujud, bersuci dengan air dan selain itu, gugur kewajibannya karena ada uzur (lemah), maka demikian juga dengan merapatkan dan meluruskan shaf.

Sementara itu, Menurut Doktor Syauqi Ibrahim Allam, ulama besar yang pernah jadi Mufti di Lembaga Fatwa Mesir (Dar Ifta Mishriyah) mengatakan bahwa dalam keadaan wabah dan pandemi boleh hukumnya shalat dengan merenggangkan shaf. Pasalnya, dikhawatirkan bila merapatkan barisan, akan memudahkan virus menularkan pada jamaah lain.  Syekh Syauqi Allam berkata;

ومن هنا جاز هذا التباعد بين المصلين في صلاة الجماعة؛ بحيث يترك المصلي مسافةً بينه وبين من يجاوره؛ وبينه وبين من يصلي أمامه وخلفه؛ تحرزًا من الوباء، وخوفًا من انتقال عدواه.

Artinya: Oleh karena itu, menjaga jarak antar jamaah dalam shalat berjamaah diperbolehkan; sehingga orang yang beribadah menjaga jarak antara dia dan orang-orang di sekitarnya; dan antara dia dan orang-orang yang shalat di depannya dan di belakangnya; Untuk menghindari epidemi/wabah, dan karena takut menularkan virus yang menginfeksinya.

Panduan  Rasulullah dalam Menghadapi Wabah

Rasulullah sebagai pun memberikan panduan pada umatnya dalam menghadapi pandemi dan wabah. Panduan dari Rasulullah itu termaktub dalam pelbagai hadist shahih yang bersumber dari para sahabat yang terpercaya dan memenuhi klasifikasi dalam ilmu hadist.  Misalnya sebagaimana dalam hadis Shahih Bukhari vol 7, nomor 5707 yang memerintahkan untuk menghindar dari wabah.

و فِرَّ مِنَ المجذومِ كما تَفِرُّ مِنَ الأسدِ

Artinya; Larilah dari penyakit sebagaimana kamu lari ketika melihat singa

Selanjutnya, disebutkan dalam Shahih Bukhari volume 7 hadist 5728 nabi bersabda agar menjauh dari wabah. Tak memasuki daerah yang terkena wabah. Nabi bersabda;

قَالَ سَمِعْتُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، يُحَدِّثُ سَعْدًا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ “‏ إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

Artinya; Aku berkata, aku mendengar Usamah bin Zayd berkata, kami mendengar Saad, ia mendengar Rasulullah bersabda, “ketika kamu mendengar tersebarnya wabah disuatu negeri, jangan memasuki negeri itu,  dan jika ditempat mu tinggal tersebar suatu wabah, jangan tinggalkan tempat itu”.

Pesan yang sama juga disebutkan dalam Shahih Bukhari vol 7, nomor 5730;

فَجَاءَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَكَانَ مُتَغَيِّبًا فِي بَعْضِ حَاجَتِهِ فَقَالَ إِنَّ عِنْدِي فِي هَذَا عِلْمًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ

Artinya;  Abdurrahman bin Auf kemudian datang, ia tidak hadir musyawarah sebelumnya karena ada keperluan. Abdurrahman lalu berkata, “Sesungguhnya aku punya ilmu tentang hal ini yang aku dengar langsung dari Rasulullah, beliau bersabda;

“Jika kamu mendengar tersebar wabah di suatu negeri,  jangan memasuki tempat itu,  dan jika ditempat tinggal mu terdapat wabah dan jangan melarikan diri dari tempat itu,”.

Selanjutnya ada juga hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa sekelompok orang datang menemui Rasulullah untuk berbaiat, datang untuk mengungkapkan janji setia kepada Rasulullah. Salah seorang mereka terkena penyakit lepra. Jadi rasul mengirim pesan pada orang itu, “Pulanglah, dan baiat mu telah diterima,”.

Demikianlah, penjelasan terkait kebolehan menjaga jarak dalam shalat berjamaah. Terlebih dalam keadaan darurat. Semoga bermanfaat. 

BINCANG SYARIAH

Temukan Uang di Jalan, Bolehkah Dipakai Selagi Belum Ada yang Ngaku?

Pada saat kita menemukan uang di jalan baik berupa, maka yang lebih baik bagi kita adalah mengambilnya. Hal ini jika kita yakin bisa menjaga dan mengamankan barang temuan tersebut. Dalam kesehariannya, seringkali muncul keinginan bagi kita untuk menggunakan dan memanfaatkan barang temuan itu. Lantas, bagaimanakah hukum menggunakan barang temuan? Bolehkah dipakai selagi belum ada yang mengaku?

Islam telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara memperlakukan harta atau barang temuan. Hal ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW :

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ -رضي الله عنه-: «أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- عَنِ اللُّقَطَةِ قَالَ: عَرِّفْهَا سَنَةً ثُمَّ اعْرِفْ وِكَاءَهَا وَعِفَاصَهَا، ثُمَّ اسْتَنْفِقْ بِهَا، فَإِنْ جَاءَ رَبُّهَا فَأَدِّهَا إِلَيْهِ

Artinya : “Dari Zaid bin Khalid al-Juhani bahwa Nabi SAW ditanya oleh seseorang tentang barang temuan, maka Nabi SAW bersabda: “Umumkanlah selama satu tahun, kemudian kenalilah tali pengikatnya atau kantongnya, kemudian kamu pergunakan, jika datang pemiliknya maka berikanlah kepadanya” (HR. Bukhari)

Berdasarkan hadits di atas, dijelaskan bahwa barang temuan harus diumumkan selama satu tahun. Kemudian, setelah itu kita diperbolehkan untuk menggunakan dan memanfaatkan barang tersebut. Tetapi, bila pada suatu saat pemiliknya datang, maka dia masih berkewajiban untuk mengembalikannya. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab Syarhun Nawawi ala Muslim juz 12, halaman 22 :

وَأَمَّا تَعْرِيفُ سَنَةٍ فَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى وُجُوبِهِ إِذَا كَانَتِ اللُّقَطَةُ لَيْسَتْ تَافِهَةً وَلَا فِي مَعْنَى التَّافِهَةِ

Artinya : “Dan dalam urusan mengumumkan barang temuan selama satu tahun merupakan perkara yang telah disepakati kewajibannya oleh para ulama jika barang temuan tersebut bukanlah sesuatu yang remeh atau tidak berharga.”

Kewajiban mengumumkan selama satu tahun diatas berlaku ketika barang atau harta yang ditemukan itu merupakan barang-barang yang memiliki nilai atau berharga. Adapun barang-barang yang tidak berharga, maka tidak diwajibkan mengumumkan selama setahun. Sebagaimana dalam keterangan kitab Maalimus Sunan, juz 2, halaman 87:

وقال قوم ينتفع بالقليل التافه من غير تعريف كالنعل والسوط والجراب ونحوها

Artinya : “Sebagian ulama mengatakan bahwa boleh hukumnya memanfaatkan barang temuan yang sedikit dan tidak bernilai tanpa harus diumumkan selama setahun, seperti sandal, cambuk, kantong, dan yang semisal dengannya”

Imam Abul Abbas menjelaskan mengenai kriteria barang temuan yang dianggap sedikit. Beliau menyebutkan bahwa batasan barang temuan dianggap sedikit adalah senilai harta yang tidak sampai menjatuhkan hukuman potong tangan dalam kasus pencurian, yaitu di bawah 10 dirham atau sekitar 40 ribu rupiah dalam ukuran mata uang Indonesia. Sebagaimana dalam kitab Irsyadus Sari li syarh Shahih Bukhari, juz 4, halaman 251:

وحدّ القليل ما لا يوجب القطع وهو ما دون العشرة

Artinya : “Dan batas bawah barang temuan yang dianggap sedikit adalah yang tidak menjatuhkan hukuman potong tangan dalam kasus pencurian, yaitu di bawah 10 dirham.”

Penjelasan lainnya mengenai batasan harta yang dianggap sebagai barang temuan yang sedikit telah diungkapkan pula oleh Al-Imam Syihabuddin Abul Abbas Ahmad bin an-Naqib al-Mishriy. Beliau menyebutkan bahwa batasan barang temuan dianggap sedikit adalah disaat pemiliknya tidak merasa bersedih atau pemiliknya merasa tidak peduli pada umumnya jika barang tersebut hilang.

Dalam hal ini, penemu tidak diwajibkan untuk mengumumkan selama satu tahun, akan tetapi cukup diumumkan dalam waktu yang diperkirakan bahwa pemiliknya telah merasa tidak peduli terhadap barang tersebut. Sebagaimana dalam kitab Umdatul Masalik wa Uddatun Nasik, juz 1, halaman 179:

وإنْ كانت اللقَطةُ يسيرةً وهيَ مما لا يُتأَسَّفُ عليهِ ويُعرَضُ عنهُ غالباً إذا فُقِدَ لمْ يجبْ تعريفها سنةً بلْ زمناً يُظَنُّ أنَّ فاقدها أعرضَ عنها

Artinya : “Dan jika barang temuan bernilai sedikit yaitu sesuatu yang apabila pemiliknya tidak merasa bersedih atau pemiliknya merasa tidak peduli pada umumnya jika barang tersebut hilang, maka tidak diwajibkan untuk diumumkan selama satu tahun, akan tetapi cukup diumumkan dalam waktu yang diperkirakan bahwa pemiliknya telah merasa tidak peduli terhadap barang tersebut.”

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa uang di jalan yang kita temukan itu harus diumumkan selama satu tahun. Kemudian, setelah itu kita diperbolehkan untuk menggunakan dan memanfaatkan barang tersebut.

Tetapi, ketika uang di jalan yang kita temukan itu hanya berupa recehan, maka tidak diwajibkan untuk mengumumkan selama satu tahun, melainkan cukup diumumkan dalam waktu yang diperkirakan bahwa pemiliknya telah merasa tidak peduli terhadap barang tersebut. Kemudian setelah itu, penemu boleh menggunakan dan memanfaatkannya.

Namun demikian, bila pada suatu saat pemiliknya datang, maka dia masih berkewajiban untuk mengembalikannya.

Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH