Hukum Ahli Waris Memakai Uang Takziah

Kematian merupakan suatu keniscayaan yang akan dialami oleh seluruh makhluk hidup. Tentunya dengan adanya kematian akan menyisakan isak tangis dan kesedihan bagi keluarga yang ditinggal. Adat takziah yang biasa terjadi di Indonesia khususnya, para pelayat akan membawa amplop yang berisikan uang untuk diberikan kepada keluarga si mayit yang biasa disebut uang duka cita. Dari peristiwa ini memunculkan sebuah pertanyaan, bagaimanakah hukumnya jika ahli waris memakai uang takziah tersebut?

Perlu kita ketahui, bahwa Rasulullah Saw menganjurkan untuk memberi sesuatu kepada keluarga duka, terutama memberi makanan. Hal ini sebagaimana berita kematian anak pamannya Ja’far bin Abi Thalib ra dalam perang mu’tah. Rasulullah Saw bersabda :

اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا ، فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ

“Masakkan makanan untuk keluarga Ja’far, sungguh telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkannya.” (HR. Tirmizi)

Dari hadis di atas, dapat kita pahami bahwa yang disunahkan ketika melayat adalah memberikan makanan. Lalu bagaimana jika yang diberi kepada keluarga duka adalah sejumlah uang? Dalam hal ini syaikh bin Baz dalam kitab Majmu’ Fatawa wa Maqalat juz 13 halaman 389 mengatakan :

أما إعطاؤهم النقود فهذا غير مشروع، إلا إذا كانوا فقراء ومحتاجين، فهؤلاء لا يعطون وقت العزاء، ولكن في وقت آخر من أجل فقرهم وحاجتهم

“Adapun memberi uang kepada keluarga duka ialah tidak disyariatkan, kecuali jika mereka orang fakir yang membutuhkan, dan pemberiannya tidak pada saat takziah melainkan diwaktu lain”

Redaksi di atas menjelaskan, tidak ada syariat yang menjelaskan untuk memberi uang kepada keluarga duka kecuali memang mereka termasuk orang fakir yang membutuhkan. Pemberian uang tersebut tidak mesti diberikan pada saat takziah, melainkan pada waktu lain di luar itu.

Kemudian soal status uang yang diberikan pelayat tersebut, bisa kita kategorikan kepada hibah, karena para pelayat yang datang memang memberikan uang tersebut kepada keluarga si mayit dan memasrahkan perihal penggunaan uang tersebut. Syaikh Imam Syihabuddin dalam kitabnya Hasyiyatul Qalyubi juz 3 halaman 205 menjelaskan perihal pengguanaan uang hibah yang diterima seseorang:

فلو أعطاه درهما ليأخذ به رغيفا لم يجز له صرفه في إدام مثلا أو أعطاه رغيفا ليأكله لم يجز بيعه , ولا التصدق به , وهكذا إلا إن ظهرت قرينة بأن ذكر الصفة لنحو تجمل كقوله لتشرب به قهوة مثلا فيجوز صرفه فيما شاء.

“Seandainya seseorang diberi uang untuk membeli roti, maka tidak boleh dipakai untuk membeli lauk atau dia diberi roti untuk dimakan maka tidak boleh dijual ataupun mensodaqohkannya, namun jika ada indikasi berbasa-basi dari si pemberi, semisal ‘ini uang buat minum kopi’ maka boleh menggunakannya untuk membeli apa yang dia inginkan”

Dari redaksi di atas kita bisa simpulkan, bahwa ahli waris boleh memakai uang takziah tersebut untuk membeli apa yang dia mau, karena memang uang tersebut adalah hak ahli waris dan si pemberi sendiri tidak menentukan uang tersebut harus digunakan untuk apa. Allahu A’lamu bis Showab.

BINCANG SYARIAH

Kisah Mualaf Donna Latief: Tak Terpikirkan Masuk Islam

Donna Latief mengakui ada kebahagian saat belajar dan membaca Alquran

Donna Latief menjadi salah satu sosok pembawa berita yang cukup populer di era 2000-an. Rupanya, istri Abdul Latief ini mengaku menjadi mualaf usai menikah dan akhirnya merasa bahagia untuk mendalami islam. Bagaimana kisahnya?

Abdul Latief merupakan pengusaha dan mantan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) pada era Soeharto. Donna dipertemukan dengan Abdul Latief saat ia bekerja di perusahaan televisi nasional dan akhirnya dipinang hingga menjadi mualaf.

“Nama asli saya itu sebelum saya mualaf, namanya Donna Luisa Maria. Setelah saya mualaf, suami saya memberikan nama Islam kepada saya. Namanya (jadi) Aina Haq Donna Abdul Latief,” ujar mantan mertua Nikita Mirzani itu, dalam kanal YouTube Venna Melinda.

Diakui Donna, tak pernah terpikirkan sebelumnya untuk memeluk agama Islam karena semasa hidupnya dibesarkan dengan agama Katolik yang kuat. Bahkan, seluruh kegiatan dan pendidikannya pun berlatar agama Katolik.

“Saya dibesarkan di keluarga Katolik, dari kecil, saya ambil S2 pun saya semuanya itu background-nya semua Katolik,” kata Donna Latief.

Usai menempuh pendidikan dan meraih gelar magister, Donna mencapai cita-citanya untuk menjadi seorang jurnalis. Di sini, Donna dipertemukan dengan suaminya yang kala itu menjabat sebagai atasannya.

Tak disangka, perbedaan usia yang terpaut 35 tahun dan agama, tetap membuat Donna dan Abdul Latief yakin untuk menikah. Hidayah Islam yang ditemui Donna, dirasakan pasca menikah karena sosok Abdul Latief yang memegang kuat prinsip agama Islam.

“Saya memang cari suami yang penting tuh agamanya kuat, memang cari yang itu. Dan memang ini juga jalannya, menjawab hidayah saya jauh sebelum bertemu dengan Pak Latief,” kata Donna.

“Jadi, ketika mendapat panggilan ini, bertemu dengan beliau. Beliau membimbing saya untuk Islam saya. Dan Alhamdulillah.. itu lah.. amazing aja gitu,” imbuh Donna Latief.

Setelah menikah selama 18 tahun dan menjadi mualaf, Donna Latief mengaku mendalami agama Islam dengan belajar membaca Al Quran. Ada kebahagiaan yang dirasakannya saat membaca Al Quran.

“Saya benar-benar mendalami sampai insya Allah saya fasih baca kaligrafinya itu. Karena saya memang senang saja,” ucapnya.

Lebih dalam, Donna menyebut tak masalah apabila iman yang dirasakan tengah turun. Kuncinya, kata Donna, dengan istiqomah sehingga mata hati akan lebih terjaga. Selain itu, Donna menegaskan pentingnya mendalami Al Quran agar lebih istiqomah.

“Saya akhirnya baca bisa kaligrafi Arab karena saya belajar 6 bulan, intens sih,” kata Donna.

“Saya juga sudah khatam, tapi saya juga khatam (tulisan) Arabnya. Tapi benar deh Venna, jangan baca Latinnya harus baca Arabnya. Beda rasanya, beneran deh. Aku juga belajar itu, fokus itu. Tapi aku bahagia akhirnya aku bisa khatam dengan Bahasa Arab. Aku pengen teruskan, aku juga ambil kajian studi Islam,” tambah Donna Latief.

KHAZANAH REPUBLIKA

Loe Kwang Ik, Syahadat Usai Diskusi Empat Mata

Pendiri komunitas Tionghoa Muslim Indonesia ini menjadi mualaf sejak masih anak-anak.

Dalam hidup, perkara yang sangat disyukurinya ialah berislam. Loe Kwang Ik, demikian nama aslinya, mulai mengenal agama ini dari seseorang yang dekat dengannya. Pada akhirnya, lelaki kelahiran Jakarta itu mantap mengimani tauhid. Sejak menjadi Muslim, dirinya memilih nama baru: Muhammad Abdul Aziz.

Pria yang akrab disapa Koh Aziz itu kini mendedikasikan waktunya untuk syiar Islam. Menurut sosok berdarah Tionghoa tersebut, dakwah adalah jalan hidup yang ideal bagi seorang Muslim. Dengannya, pesan rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin) yang juga merupakan karakteristik agama ini dapat disampaikan kepada seluas-luasnya khalayak.

Ketertarikannya pada Islam bermula dari keluarga. Memang, kedua orang tuanya adalah non-Muslim. Namun, kakaknya menjadi mualaf ketika Aziz masih berusia kanak-kanak. Kesan yang didapatnya terus membekas dalam benak pikiran.

Ayah dan bundanya sangat menentang keputusan abangnya itu. Alhasil, suasana di rumah sempat menjadi kurang harmonis. Apalagi, keduanya menganggap budaya mereka tidak akan sesuai dengan Islam. Kaum Muslimin dipandangnya sebelah mata. Kebanyakan orang Islam distigmakan sebagai bukan kaum kaya, berpakaian tidak bersih dan rapi, serta pelbagai perilaku negatif lainnya.  

Saat itu, Aziz adalah bocah berumur 11 tahun. Namun, nalarnya sudah mencoba mengurai ketidakharmonisan dalam rumah. Ia tidak ikut-ikutan menghakimi kakaknya, sebagaimana yang ditunjukkan bapak dan ibunya. Yang dilakukannya ialah berdialog dengan abangnya itu.

Dari obrolan tersebut, Aziz kecil mulai mengenal sedikit tentang dasar-dasar Islam. Misalnya, bagaimana konsep ketuhanan menurut agama ini. Selain itu, diceritakan pula tentang Nabi Muhammad SAW, sosok yang menyebarkan risalah tersebut.

“Saya ditanya mengenai keyakinan akan Tuhan dan koko (kakak) saya menjelaskan tentang konsep ketuhanan dalam Islam. Itu dikaitkannya dengan fakta yang ada. Akhirnya, saya semakin ragu dengan konsep ketuhanan yang saya yakini selama itu (di agama lama),” ujar Muhammad Abdul Aziz mengenang.

Seharian itu, ia bertukar wawasan dengan kakaknya. Sang abang tiap memasuki waktu azan, selalu pamit untuk mendirikan shalat. Begitu seterusnya hingga tak terasa, malam pun tiba.

Keesokan harinya, Aziz menemui kakaknya. Dalam hatinya, tidak ada keraguan sama sekali. Ia meyakini bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Terlebih lagi, tauhid sangat mudah dipahami. Hanya ada satu Tuhan. Dialah Allah Yang Maha Esa. Dia Yang tidak beranak, tidak pula diperanakkan. Bagi Aziz, dalil tersebut begitu masuk akal.

Waktu itu, suatu hari pada tahun 1991, ia pun menyatakan diri masuk Islam. Oleh abangnya, lelaki kelahiran 23 Agustus 1980 itu dibimbing untuk melafalkan dua kalimat syahadat. Pelan-pelan, meski terbata-bata, akhirnya meluncurlah ikrar ini dari lisannya: “Asyhaduan Laa Ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah”, ‘saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.’

Sesudah itu, Aziz mulai merasakan kekhawatiran. Sebabnya tidak ada selain bahwa kedua orang tuanya dapat mengetahui keislamannya. Karena itu, ia memutuskan untuk menyembunyikan iman tersebut untuk sementara waktu. Perkara ibadah dan lain-lain tetap dijalaninya. Bahkan, kadang-kadang dirinya terpaksa shalat di tempat ibadah agama sebelumnya.

Semua dijalaninya dengan penuh kesabaran. Syukurlah, kakaknya dengan setia membimbing dan mendampinginya. Abangnya itu pun membimbing dengan arahan seorang ustaz. Ada lagi mentornya, yakni seorang kawannya, mantan mahasiswa universitas Islam yang pernah kuliah kerja nyata (KKN) di kantor orang tuanya.

Tahun demi tahun berganti. Aziz berhasil melalui satu per satu jenjang pendidikan. Setelah lulus SMP, ia berpisah dengan kedua orang tuanya. Mereka kembali ke Jakarta, sedangkan Aziz tetap di Jawa Timur, tepatnya Jember. Karena jauh dari keduanya, ia merasa lebih bebas untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya sekarang: Islam.

“Tiga tahun saya menjadi Muslim dan beribadah secara sembunyi-sembunyi. Sejak hidup mandiri, saya bertekad untuk serius menjalani dan mendalami ajaran Islam,” katanya.

Dalam hal ini, tentu saja belajar agama tidak bisa sendirian. Ia pun mulai mencari seorang dai atau ustaz yang bersedia mengajarinya. Pemuda itu berkunjung dari satu masjid ke masjid lainnya.

Bersyukur ke hadirat Allah Ta’ala. Saat itu, dia biasa mengadakan perjalanan hingga ke Yogyakarta. Di Kota Pelajar, barulah ada seorang ahli agama Islam yang bisa membimbing kalangan mualaf, seperti dirinya.

Terlebih lagi, di sana cukup banyak mualaf yang berusia sebaya dengannya. Aziz pun kian bersemangat untuk mempelajari Islam, terutama mengaji Alquran dan melancarkan bacaan-bacaan shalat. Salah seorang pengajar yang cukup berkesan baginya kala itu ialah Ustaz Nuke Anugrah Lesmana.

Banyak hal yang diajarkan Ustaz Nuke kepadanya. Tidak hanya ilmu-ilmu agama, motivasi pun kerap disampaikannya. Pesan yang berulang kali ditekankannya: seorang Muslim harus terus istikamah di jalan takwa.

Sebagai seorang mualaf, Aziz mengenang, saat itu dirinya merasakan cobaan yang cukup berat. Tiga tahun lamanya sempat menyembunyikan keimanan. Rasanya, tidak mudah untuk menerapkan hidup islami dengan baik, semisal perkara makanan dan sebagainya. Karena itu, perantauannya selama di Jawa Timur dan juga Yogyakarta adalah blessing in disguise. Mulai saat itu, konsistensi bisa dipupuknya tahap demi tahap.

Memilih takzim

Pada akhirnya, Aziz mengungkapkan jati dirinya sebagai Muslim. Sebelum itu, ia terlebih dahulu curhat ke Ustaz Nuke dan sahabat-sahabat terdekat. Semuanya mendukung keputusannya untuk mulai terbuka dengan kedua orang tuanya mengenai iman. Kalaupun nanti, umpamanya, Aziz diusir dari rumah, beberapa kawan bersedia memberikan tempat untuk bernaung.

Hari yang dinanti-nanti tiba. Tentu saja, ayah dan ibunya terkejut dengan pengakuan putranya itu. Dalam bayangan mereka, terulang lagi perkara yang pernah terjadi pada si sulung—kakaknya Aziz.

Karena itu, diputuskanlah bahwa tidak ada “pengusiran”. Menurut keduanya, percuma diusir karena nanti seisi rumah hanya menjadi sasaran cibiran tetangga. Belum lagi, di luar sana anaknya itu bisa saja mendapatkan lebih banyak dukungan.

Alhasil, Aziz dibiarkan untuk tinggal di rumah. Namun, perlakuan terhadapnya kian terasa berubah. Sering kali ia dibujuk rayu atau disindir agar kembali ke agama lama.

Sampai di sini, Aziz teringat pesan Ustaz Nuke: perlakukanlah kedua orang tua dengan penuh cinta, hormat, dan sopan santun. Sebab, itulah yang diajarkan Islam. Jangan sampai perbedaan iman menjadi penyebab kedurhakaan seorang anak terhadap ayah dan ibu.

Maka, Aziz terus menunjukkan baktinya kepada mereka. Harapannya, Allah membukakan pintu hidayah bagi kedua orang tuanya. Atau, setidaknya, suasana harmonis dapat kembali hidup di dalam rumah.

“Di keluarga, saya adalah anak paling muda. Sikap saya, ingin tetap takzim, menghormati mereka. Dengan begitu, harapannya, mereka menyadari bahwa akhlak seorang Muslim adalah (anak) tetap menghormati orang tua,” ucapnya.

Tibalah masanya Aziz lulus SMA. Dengan komitmen ingin hidup mandiri, yakni tidak terus-menerus membebani orang tua, ia memutuskan untuk menikah. Waktu itu, dia sudah memperoleh pekerjaan tetap walau dengan gaji tidak begitu banyak.

Ia pun melamar seorang perempuan Muslimah. Setelah lamaran, Aziz kemudian berbicara bahwa dia akan menikah. Tentu kedua orang tuanya terkejut. Sebab, semua itu seperti tanpa persiapan. Waktu akad hanya selang dua hari sejak lamaran.

Usai menikah, Aziz dan istrinya menyewa sebuah rumah. Pasangan ini beberapa tahun kemudian dikaruniai seorang anak. Meski dengan keterbatasan ekonomi, keluarga kecil ini tak patah semangat. Istri Aziz pun kerap menyemangatinya agar selalu memiliki waktu untuk terus belajar agama.

Pada 2000, Aziz mendaftar kuliah pada jurusan tarbiyah di sebuah kampus. Sembari itu, ia tetap meneruskan usahanya sendiri. Allah berkehendak, lambat laun usahanya itu membuahkan hasil. Keadaan ekonominya meningkat. Enam tahun kemudian, ia bisa membangun rumah sendiri.

Aziz kini memiliki lima orang anak. Sementara itu, usahanya kian maju walaupun sempat terimbas pandemi akhir-akhir ini. Bisnisnya tidak menjadi alasan untuk berpaling dari dunia dakwah.

Pada 2014 lalu, ia membentuk komunitas Tionghoa Muslim Indonesia (TMI). Organisasi itu bertujuan mempererat silaturahim dan menyebarluaskan dakwah Islam, khususnya di kalangan keturunan Tiongha. Sifatnya terbuka, baik untuk Muslimin, mualaf, atau siapapun yang tertarik mengenal agama Islam.

Hingga saat ini, TMI terus berkembang. Di Semarang, Jawa Tengah, komunitas tersebut berhasil mendirikan sebuah sekolah mualaf. Pelbagai kajian keislaman digelar rutin di sana, dengan mengundang sejumlah mubaligh.

Ia dan keluarga berniat pula untuk membangun sebuah pondok pesantren khusus penghafal Alquran di Ibu Kota. Rencananya, para santri itu tak hanya dibekali pendidikan agama dan umum, tetapi juga keterampilan berkuda. “Masih proses. Nantinya santri, selain belajar agama, juga akan diberikan homeschooling dan fasilitas maksimal lainnya,” tutur Aziz.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

KHAZANAH REPUBLIKA

Mengapa Umat Manusia Harus Beribadah kepada Allah SWT?

Allah SWT memberikan anugerah dan nikmat kepada hamba-Nya

Atas dasar kepemilikan mutlak Allah itu lahir kewajiban menerima semua ketetapan-Nya, serta menaati seluruh perintah dan larangan-Nya. Atas dasar itu pula manusia tidak dibenarkan memilah-milah aktivitasnya, sebagian karena Allah dan sebagian untuk yang lain. 

قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS Al Anam 162)

Dalam buku berjudul “M Quraish Shihab Menjawab” dijelaskan bahwa dari sini dapat dipahami mengapa perintah beribadah dalam Alquran dikaitkan antara lain dengan sifat rububiyah (pemeliharaan) Allah, misalnya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai seluruh manusia, beirbadahlah kepada (Tuhanmu) yang memelihara kamu dan menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu.” (QS Al Baqarah 21), atau “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhan Pemeliharamu maka beribadahlah kepada-Ku.”

Perintah beribadah juga dikaitkan dengan perintah berserah diri setelah upaya yang maksimal (tawakkal), seperti firman Allah berikut: 

وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ ۚ “Milik Allah rahasia langit dan bumi dan kepada-Nya lah dikembalikan seluruh persoalan, karena itu beribadahlah kepada-Nya dan berserah dirilah.” ( QS Hud 123 ).

Lebih lanjut, M Quraish Shihab menjelaskan bahwa Allah SWT adalah wujud yang Maha-Agung, Mahakuat, dan sangat dibutuhkan semua makhluk. Oleh karena itu, menurut dia, puncak dari ketundukan harus diarahkan kepada-Nya semata.

“Benar bahwa Allah membenarkan seseorang tunduk dan taat kepada manusia, namun ketundukan dan ketaatan ini tidak boleh bertentangan dengan ketetapan-Nya,” jelas Prof Quraish.  

Seluruh makhluk yang berkehendak dan beperasaan adalah hamba-hamba Allah SWT, termasuk manusia.

Pemilikan Allah atas hamba-Nya adalah kepemilikan mutlak dan sempurna. Karena itu, makhluk tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan aktivitasnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Berharganya Waktu Dalam Islam

Banyak orang-orang jurusan dunia yang berkata bahwa waktu adalah uang, hal ini menunjukkan bahwa waktu itu benar-benar berharga. Apalagi di dalam Islam, maka hal itu lebih berharga lagi dan sangat berharga.

Bahkan ulama pun ada yang berkata bahwa waktu adalah pedang, dalam kitab Al-Jawaabul Kaafi karya imam Ibnul Qayim rahimahullahu disebutkan bahwa Imam Syafi’i berkata,

الوقت سيف فإن قطعته و إلّا قطعتك, و نفسك إن لم تشغلها بالحق و إلاّ شغلتك بالباطل

“Waktu laksana pedang, jika engkau tidak menggunakannya maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia”.
Hal ini menunjukkan bahwa kita harus mengolah waktu ke hal-hal yang positif dan bermanfaat. Dan janganlah sekali-kali menggunakannya untuk hal-hal yang sia-sia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس, الصحت و الفراغ

Ada dua kenikmatan yang banyak dilupakan oleh manusia, yaitu nikmat sehat dan waktu luang” (Muttafaqun ‘alaih)

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari membawakan perkataan Ibnu Bathal. Beliau mengatakan “makna hadits ini adalah bahwa seseorang tidaklah dikatakan memiliki waktu luang hingga badannya yang sehat. Barang siapa yang mendapatkan seperti ini maka bersemangatlah agar tidak tertipu dengan lalai dari bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan-Nya. Dan diantara bentuk bersyukur ialah dengan melakukan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya, dan barangsiapa yang luput dari syukur semacam ini maka dialah orang yang telah tertipu”.

Dan seperti yang telah kita saksikan sekarang, banyak manusia yang telah terjerumus ke lubang kelalaian banyak yang telah terbuai dengan waktu luang dan jasad yang sehat, padahal Allah Ta’ala akan menanyakan atas setiap nikmat yang telah diberikan padanya. Allah Ta’ala berfirman:

ثم لتسألنّ يومئذ عن النعيم

Kemudian kamu pasti akan ditanya tentang kenikmatan (yang kamu bermegah-megahan di dunia itu)” (QS. At-Takatsur: 8).

Syaikh Abdul Malik Al-Qasim berkata, ‘Waktu yang sedikit adalah harta berharga bagi setiap muslim di dunia ini. Waktu adalah nafas yang terbatas dan hari-hari yang dapat terhitung. Jika waktu yang sedikit itu yang hanya sesaat atau beberapa jam bisa berbuah kebaikan, maka ia sangat beruntung. Sebaliknya jika waktu disia-siakan dan dilalaikan, maka sungguh ia benar benar merugi. Dan waktu yang berlalu tidak mungkin bisa kembali selamanya” (Risalah Al-Waqtu Anfus laa Ta’ud, hal. 3).

Sobat yang dirahmati Allah Ta’ala, seharusnya kita sadar dan menyadari bahwa waktu itu sesuatu yang sangat berharga bagi seorang hamba, sangat amat disayangkan jika waktu itu berlalu saja tanpa ada selipan ketaatan di dalamnya. Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata:

ما ندمت على شيء ندمي على يوم غربت شمسه نقص فيه أجلي و لم يزد فيه عملي

“Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari tenggelam ajalku berkurang, namun amalku tidak bertambah”.

Dan tanda Allah menelantarkan hamba ialah salah satunya Allah jadikan ia sibuk dalam hal-hal yang sia-sia. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:

من علامة إعراض الله عن العبد أن يجعله شغله فيما لا يعنيه خذلانا من الله عزوجل

“Di antara tanda Allah berpaling dari seorang hamba, Allah menjadikannya sibuk dalam hal yang sia-sia sebagai tanda Allah menelantarkannya” (Al Bahrur Ra’iq, hal. 70).

Dan ketahuilah bahwa kematian lebih layak bagi orang yang menyia-nyiakan waktu. Seperti yang dikatakan imam Ibnul Qayyim rahimahullahu: “Jika waktu hanya dihabiskan untuk hal-hal yang lalai, untuk sekedar menghamburkan syahwat (hawa nafsu), berangan-angan yang batil, hanya dihabiskan dengan banyak tidur dan digunakan dalam kebatilan maka sungguh kematian lebih layak bagi dirinya (Al Jawaabul Kaafi, 109).

Dan janganlah menyia-nyiakan waktumu selain untuk mengingat Allah. Dari Abdullah bin Abdil Malik, beliau berkata, “Kami suatu saat berjalan bersama ayah kami di atas tandunya, lalu dia berkata pada kami ‘Bertasbihlah sampai sampai di pohon itu’, lalu kami pun bertasbih sampai di pohon yang ia tunjuk. Kemudian nampak lagi pohon lain, lalu dia berkata pada kami,’Bertakbirlah sampai di pohon itu’. Lalu kami pun bertakbir. Inilah yang biasa diajarkan oleh ayah kami ( Az-Zuhdu li Ahmad bin Hambal).

Dari penggalan cerita di atas terdapat beberapa faedah, yaitu:
⚫ Waktu yang berkah adalah waktu yang digunakan untuk ketaatan dan sibuk dengan menambah amal.
⚫Hendaknya orang tua mengajarkan kepada anaknya sedini mungkin tentang pentingnya waktu.
⚫Kehidupan para ulama tak lepas dari menambah dan memperkuat ketaatan.

Setelah kita mengetahui bahwa waktu itu adalah hal yang sangat berharga, maka selanjutnya ialah bagaimana kita mengatur waktu itu sendiri, di antaranya ialah:

Pertama: Usahakan untuk membuat batasan waktu untuk setiap aktifitas kita. Misal dari awal bangun tidur sampai jam berapa waktu untuk bersih-bersih lalu berapa jam untuk belajar, menulis, meringkas, menghafal dan lain-lain.

Kedua: Meninggalkan suatu hal yang sia-sia atau hal mubah yang berlebihan seperti makan, ngobrol tidur dan lain-lain. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam beliau bersabda:

من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه

Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no2317 Ibnu Majah no 3976, Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ketiga: Jangan punya kebiasaan menunda-nunda.

Keempat: Memanfaatkan setiap detiknya untuk hal kebaikan dan beribadah.

Kelima: Membuat jadwal belajar dan waktu mengulang pelajaran.

Di dalam surah Al-‘Ashr Allah bersumpah dengan waktu. Dan ini menunjukkan pentingnya masa (waktu). Di dalam masa terdapat keajaiban-keajaiban, di dalam masa terjadi kesenangan, kesusahan, sehat sakit, kekayaan, dan kemiskinan. Dan sesungguhnya masa merupakan anugerah Allah Ta’ala, tidak ada cela padanya, manusialah yang tercela ketika tidak memanfaatkannya.

Dan manusia tak tahu kapan berakhir waktunya, maka dari itu Allah Ta’ala banyak memerintahkan untuk segera berlomba-lomba dalam ketaatan. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan umatnya untuk bersegera melakukan amalan-amalan shalih. Al-Hasan rahimahullah berkata: “Wahai anak Adam janganlah engkau menunda-nunda (amalan-amalan) karena engkau memiliki kesempatan pada hari ini, adapun besok maka lakukanlah pada esok hari itu sebagaimana engkau lakukan pada hari ini. Jika engku tidak bertemu esok hari engkau tidak akan menyesali sikapmu yang menyia-nyiakan hari ini” (Taqribuz Zuhd, 1/28)

Maka dari itu sobat perlu kita ingat lagi bahwa waktu itu adalah nikmat yang luar biasa yang kita miliki. Waktu tak bisa dinilai dengan materi dan kekayaan. Waktu berjalan dengan cepat dan tidak terasa, waktu yang berjalan tak akan bisa terulang kembali. Waktu adalah kehidupan, jika waktu habis maka habislah kehidupan, bersyukurlah saat ini kita masih diberi waktu, terkhusus waktu untuk memperbaiki dan memperkuat ketaatan kita pada-Nya.

Penulis: Fauziah

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/13952-berharganya-waktu-dalam-islam.html

Pandemi: Kepastian Janji Allah dan Ujian bagi Orang-Orang Sabar

Ajaran Islam yang paripurna telah mengakomodir seluruh lini kehidupan untuk menjadi pedoman dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tidak terkecuali dengan kondisi umat manusia dewasa ini yang sedang dihadapkan dengan sebuah musibah besar yang bernama Covid-19.

Sudah satu tahun lebih pandemi ini membersamai kehidupan manusia. Wabah yang kemudian menjelma menjadi musibah yang sangat berat bagi sebagian besar manusia. Dua aspek pokok kehidupan yang paling terkena imbas covid-19 adalah kesehatan dan perekonomian. Seluruh dunia saat ini fokus untuk memperbaiki kondisi kesehatan dengan melakukan berbagai ikhtiar agar terhindar dari virus serta melakukan berbagai upaya agar kondisi perekonomian kembali stabil.

Sebab, kesehatan dan perekonomian bisa menjadi washilah menuju kematian. Orang yang tidak menjaga kesehatan dan orang yang tidak mendapatkan jalan untuk bertahan hidup di tengah-tengah kesulitan ekonomi masa pandemi ini juga rentan terhadap kematian baik yang disebabkan oleh penyakit maupun akibat kelaparan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah : 155)

Dalam tafsir As-Sa’di dijelaskan bahwa musibah/cobaan telah menjadi keharusan untuk ditimpakan kepada manusia untuk diuji dan memperjelas beda antara orang-orang yang benar dan orang yang berdusta serta antara orang yang sabar dan orang kufur.

Apabila kita telisik lebih rinci bentuk-bentuk musibah tersebut. Maka dapat kita simpulkan bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi ujian bagi manusia, yaitu: ketakutan, kelaparan, kekurangan harta dan jiwa, serta kekurangan buah-buahan. Berbagai ujian tersebut saat ini sedang kita hadapi bersama. Bagaimana cara kita menyikapi berbagai cobaan itu kemudian yang akan menjadi ukuran kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala.

Ujian Ketakutan dan Kematian

Banyak informasi yang kita dengar tentang perkembangan Covid-19 melalui berbagai sumber media. Umumnya kita ketahui bahwa varian virus yang bermutasi semakin cepat dan lebih menular. Maka berbagai perilaku manusia pun ikut berubah menyesuaikan dengan dinamisnya perkembangan virus mulai dari pengetatan protokol kesehatan, pembatasan kegiatan masyarakat, hingga penggunaan double mask yang kini menjadi tren.

Mari sejenak kita renungkan, bukankah kondisi demikian menjadi bukti bahwa manusia saat ini sedang dalam ketakutan? Apakah yang ditakuti sebenarnya?

Tentu saja, kematian. Kekurangan jiwa pada ayat di atas juga dimaknai sebagai hilangnya jutaan nyawa akibat dari Covid-19. Upaya dilakukan oleh manusia agar terhindar dari serangan virus yang mematikan itu merupakan hal yang wajar dan memang kita dianjurkan untuk melakukannya. Namun, tentu saja jika upaya yang dilakukan dengan niat untuk menghindar dari kematian adalah hal yang keliru. Sebab kematian merupakan sesuatu yang pasti. Allah Ta’ala telah menegaskan tentang kematian dalam firman-Nya,

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. (QS. An-Nisa : 78)

Artinya bahwa dalam kondisi apapun tetap saja kematian menjadi hal yang niscaya bagi umat manusia. Namun, segala ikhtiar untuk menggapai suatu akhir kehidupan yang husnul khotimah sudah barang tentu menjadi inti doa orang-orang yang beriman.

Meletakkan rasa takut di kala musibah yang sedang menimpa semestinya dikuatkan dengan keyakinan bahwa Allah sedang memberikan ujian kepada manusia melalui pandemi ini. Ketakutan yang kita rasakan kiranya merupakan manifestasi dari kekhawatiran akan pahala amal ibadah kita yang masih kurang, sedangkan dosa dan kemaksiatan kita banyak sehingga bekal untuk menghadapi kematian amatlah sedikit.

Oleh karenanya, ketakutan dan kekhawatiran terhadap pandemi kini kiranya dapat membawa kita untuk lebih dekat dengan Allah Ta’ala. Sebab, dalam keadaan yang serba kritis ini, notifikasi kematian dari orang-orang yang kita kenal semakin intens yang semestinya menggerakkan jiwa dan raga ini untuk lebih taat kepada-Nya.

Kelaparan, Kekurangan Harta dan Jiwa

Kondisi pandemi ternyata juga memberikan dampak terhadap hilangnya banyak lapangan pekerjaan. Para pekerja yang sebelumnya penuh dengan aktivitas kerja serta merta mendapati perputaran roda perekonomian semakin perlahan bahkan ada yang terhenti. Ancaman kelaparan pun menjadi permasalahan baru sebab sumber-sumber ekonomi semakin sulit untuk dicari. Maka, statistik angka kemiskinan di berbagai belahan bumi pun menanjak naik yang dibarengi pula dengan semakin bertambahnya masyarakat miskin sebab pandemi.

Oleh karenanya, tidak jarang kita melihat bendera putih di beberapa rumah sengaja diletakkan di depan halaman pertanda bahwa ahlul bait di dalamnya sedang mengalami permasalahan serius yang berkaitan dengan pangan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (QS. an-Nahl : 112)

Ayat yang agung ini sangatlah bermakna. Maha Benar Allah, bukankah sebelumnya kita merasakan aman dan tenteram?. Tetapi, tiba-tiba kita menghadapi suatu cobaan kelaparan dan ketakutan melalui musibah wabah yang mematikan yang bahkan hingga saat ini pun kita belum berada pada titik aman. Allah menegaskan alasannya, tiada lain adalah sebab kekufuran kita terhadap nikmat-nikmat Allah Taala dengan kalimat فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ .

Hikmah Mulia di Balik Musibah

Manusia memang cenderung dekat dengan kesalahan dan kekhilafan. Sebagaimana janji Iblis yang senantiasa menggoda manusia hingga hari kiamat.

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukumku tersesat, maka saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS, Al-A’râf:16-17)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat”. (HR. Ahmad (III/198); at-Tirmidzi (no. 2499); Ibnu Majah (no. 4251) dan al-Hakim (IV/244)).

Maka dengan ke-Mahamurahan-Nya, Allah Ta’ala memberikan kepada kita kesempatan untuk mendapatkan pahala yang besar dan ampunan yang melimpah dari-Nya. Di antara cara Allah dalam memberikan pahala dan ampunan tersebut kepada hamba-Nya adalah diberikannya ujian yang berat. Ujian tersebut pula menjadi pertanda cinta Allah kepada hamba-Nya. Oleh karenanya, kesabaran dalam menghadapi setiap musibah dan ujian yang melanda merupakan ikhtiar untuk mendapatkan rida Allah. Sedangkan orang yang tidak sabar dan tidak rida terhadap ketetapan Allah dalam musibah ini, Allah pun akan murka kepadanya. Naudzubillah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang rida, maka ia yang akan meraih rida Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, dihasankan oleh Syekh Al-Albani).

Ujung dari pada memahami hakikat musibah pandemi covid-19 ini tiada lain adalah kesabaran. Sabar pula yang dapat menuntun kita agar mendapatkan rida dan ampunan dari Allah Ta’ala. Oleh karenanya, sangat penting bagi kita untuk mengetahui cara bagaimana agar kita dapat mengaplikasikan kesabaran dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam menghadapi wabah ini.

Berkaitan dengan kesabaran, Imam al-Ghazali rahimahullah pernah berkata,

والصبر على اوجه صبر على طاعة الله وصبر على محارمه وصبر على المصيبة

Sabar terdiri dari beberapa bagian, yaitu (1) sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, (2) sabar dalam menjahui larangan-larangan Allah,  (3) sabar dalam menerima musibah. (Mukasyafatul Qulub Hlm 10).

Sabar dalam Melakukan Ketaatan kepada Allah

Umumnya pengertian terhadap sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah mengandung makna bahwa hendaklah kita melaksanakan segala perintah Allah dengan rasa sabar tanpa rasa mengeluh sedikit pun. Akan tetapi, dalam situasi pandemi seperti ini ketika sebelumnya kita sudah mulai merasakan kenikmatan beribadah kepada Allah dengan melaksanakan salat lima waktu secara berjamaah di masjid, menghadiri majelis ilmu dan berbagai ibadah syar’i yang bersifat jamaah serta merta kenikmatan ibadah tersebut dengan berat hari harus kita tinggalkan demi keselamatan jiwa dari keganasan virus. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kondisi dan keadaan yang mengharuskan kita melakukannya. Sebagaimana kaidah,

درء المفاسد مقدم علي جلب المصالح

Menolak sesuatu yang mendatangkan kerusakan didahulukan atas sesuatu yang mendatangkan manfaat.

Maka level kesabaran kita kiranya lebih ter-upgrade dengan sendirinya. Kita harus bersabar untuk tetap taat kepada Allah Ta’ala dalam kondisi apapun. Ibadah di rumah, mengikuti kajian Islam secara online serta melakukan berbagai amaliah lainnya yang lebih individualistik sesuai dengan anjuran para ulama kita hafidzahumullah.

Sabar dalam Menjahui Larangan-Larangan Allah

Begitu juga kesabaran dalam menjauhi larangan-larangan Allah mengandung makna bahwa dalam keadaan perekonomian yang cukup sulit saat ini. Celah-celah untuk berbuat dosa seperti penipuan, pencurian, perjudian dan berbagai bentuk dosa lainnya tetap saja terbuka lebar. Oleh karenanya, kita dituntut untuk menahan diri dan bersabar tidak melakukan kekeliruan itu semua. Masih banyak cara lain yang halal dan lebih berkah untuk mencari nafkah. Kita harus yakin bahwa kasih sayang Allah Ta’ala terhadap orang yang menjaga kesuciannya amatlah besar, bagaimana mungkin pula Allah menelantarkannya?!

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 37).

Sabar dalam Menerima Musibah

Adapun kesabaran dalam menghadapi musibah dapat kita wujudkan dengan memahami dengan baik bahwa di balik wabah yang Allah timpakan ini, terdapat pahala yang besar dan ampunan yang luas dari Allah kepada kita. Allah Ta’ala memberikan kita kesempatan untuk mendapatkan pahala dan ampunan tersebut tanpa batas. Di sisi lain, dengan memahami bahwa notifikasi kematian dalam pandemi ini adalah hal yang nyata. Kita pun wajib bersyukur karena dengannya akan mendorong diri kita untuk senantiasa instrospeksi dalam meningkatkan perbekalan menuju Allah Ta’ala.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kepada kita kekuatan sabar, baik dalam ketaatan terhadap perintah-perintah-Nya, maupun dalam menjauhi larangan-larangan-Nya, serta kesabaran dalam menghadapi musibah, khususnya pandemi covid-19 yang sedang melanda. Semoga dengan seiring berjalannya waktu, kita semakin dekat dalam ketaatan kepada Allah, sehingga dengannya Allah Ta’ala dengan ke-Mahamurahan-Nya mengakhiri ujian musibah ini. Amin.

Sumber: https://muslim.or.id/67693-pandemi-kepastian-janji-allah-dan-ujian-bagi-orang-orang-sabar.html