Kemuliaan Akhlak Hasan bin Ali; Tidak Pendendam Meskipun Dicaci dan Dihina

Hasan bin  Ali merupakan cucu tercinta Rasulullah. Baginda Nabi begitu mencintainya. Dalam pelbagai riwayat, dikisahkan kecintaan Nabi terhadap Hasan. Abdullah bin Zubeir menceritakan suatu waktu Nabi sedang sujud—ketika itu baginda sedang shalat—, tiba-tiba Hasan naik ke punggung Nabi. Meskipun dalam keadaan shalat, Nabi tak menurunkan Hasan, hingga ia sendiri yang turun.

Tak hanya itu saja, suatu waktu Nabi sedang rukuk. Melihat Rasulullah membungkuk, Hasan keluar-masuk di antara kedua kaki Nabi Muhammad. Usai shalat Nabi tak membenteknya. Tak juga memarahinya. Bahkan Nabi meletakkan Hasan di pundaknya sembari berkata; ” Ya Allah aku mencintainya, maka cintailah dia,”.

Kelembutan hati dan kemuliaan akhlak Rasulullah sejatinya diwarisi langsung oleh Hasan. Demikian dijelaskan dalam kitab Tārīkh al Khulafā, karya Imam Jalaluddin Suyuthi. Hasan merupakan insan penuh kasih, laiknya kakeknya, baginda Nabi. Ia memiliki kepribadian sempurna. Akhlaknya terpuji. Seorang yang penyabar. Yang tenang pembawaannya.  Tegas dalam bersikap.

Yang tak kalah membuat kagum, Hasan adalah manusia pemurah. Rajin bersedekah. Ia tidak menyukai pertengkaran. Apalagi pertumpahan darah.

Ia pernah dicemooh warga Kufah. Sebab memberikan jabatan khalifah pada Muawiyah.  Ia dituding sebagai pengkhianat. Juga dicap sebagai orang yang menghinakan kaum muslimin.

Ketika mendapat ejekan dan hinaan, apa yang ia perbuat? Melawan? Membela? Tidak. Ia berkata;

لست بمذل المؤمنين، ولكني كرهت أن أقتلكم على الملك

Artinya: Saya bukanlah orang yang menghinakan kaum mukminin, namun saya tidak suka membunuh kalian lantaran berebut kekuasaan.

Marwan Gubernur Hijaz yang Membenci Hasan dan Ali

Sikap tak pendendam Hasan dan kemuliaan budinya, ia pelihara hingga dewasa. Ia tak pernah membenci seorang pun. Meskipun ia dihina. Tak juga berkata kasar. Ia adalah manusia dengan suri tauladan terbaik. Terjelma dari sosok Baginda Nabi.

Imam Suyuthi mengisahkan kelapangan hati Hasan bin Ali. Alkisah, Gubernur Hijaz, Marwan bin Hakam seorang pejabat pemerintah yang diangkat oleh Muawiyah bin Abu Sufyan.  Marwan begitu membenci Ali bin Abu Thalib. Saban Khutbah Jum’at, di mimbar masjid  senantiasa mencaci-maki Ali bin Abu Thalib. Sumpah dan serapah selalu keluar dari mulutnya.

Padahal Hasan ada di masjid itu. Ia mendengar semua yang dikatakan Marwan. Setiap hinaan yang terlontar. Setiap cemooh yang ditujukan pada ayahnya. Ia tak sedikitpun ada rasa ingin balas dendam. Tak ingin juga berdebat. Hasan tak memberikan respons yang memancing perselisihan.

Pada kesempatan lain, Marwan sengaja mengutus seorang laki-laki ke rumah Hasan. Utusan itu untuk menyampaikan pesan Marwan pada Hasan. Pesan apa? “Ali dan Kau! Aku tidak menganggap mu, kecuali sebagai seekor keledai yang jika dikatakan padanya: Siapa ayahmu? Dia menjawab : “Ibuku adalah seekor kuda,” itu pesan hinaan dari Marwan.

Lantas apa jawab Hasan menerima cacian dan makian Marwan terhadap dirinya dan ayahnya, Ali? Hasan lantas menyuruh lelaki itu balik. Dan menyampaikan pesan balasan. Renungi  jawaban Hasan menerima hinaan tersebut;

إني والله لا أمحو عنك شيئًا مما قلت بأن أسبك ولكن موعدي وموعدك الله فإن كنت صادقًا جزاك الله بصدقك وإن كنت كاذبًا فالله أشد نقمة

Artinya: Saya tidak akan membalas apa yang kamu katakan dan saya tidak akan mencacimu karena perkataanmu. Namun ingatlah perjumpaan kita adalah di hadapan Allah, jika kamu benar maka Allah akan mengganjarmu dengan kebenaran yang kamu katakan dan jika kamu bohong maka sesungguhnya siksa Allah sangatlah pedih.

Pada kesempatan lain, terjadi juga perselisihan Hasan dan Marwan juga terus berlanjut. Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Zuraiq bin Siwar menceritakan Marwan datang langsung datang menemui Hasan. Bukan lagi melalui perantara orang lain. Tanpa basa-basi, Marwan langsung mengucapkan pelbagai kata kasar. Penuh cacian dan makian. Umpatan. Sumpah serapah.

Menerima kata-kata kasar tersebut, Hasan hanya diam. Tak balik membalas. Tak ingin melayani emosi  berlebihan. Tak memberikan respons yang diinginkan Marwan. Sehingga membuat emosinya semakin menjadi-jadi. Lalu Marwan membuang ingusnya dengan tangan kirinya. AI-Hasan berkata: “Celaka kamu! Tidakkah engkau tahu bahwa tangan kanan untuk wajah dan tangan kiri untuk kemaluan. Celakalah kamu.” Kata Hasan bin Ali. Mendengar itu, Marwan diam membisu.

Kebencian Marwan terhadap Hasan bin Ali berlanjut sampai akahir hayat. Menjelang ajalnya, Hasan berwasiat pada Husein, jika kelak ia meninggal, ingin dikuburkan berdampingan dengan makam kakeknya, Nabi Muhammad. Ia pun telah berbicara dengan Aisyah  binti Abu Bakar untuk meminta izin. Aisyah pun telah menyetujuinya.

Ketika telah wafat, Husein menemui Aisyah dan menyampaikan wasiat saudaranya, Hasan. Sayang, Gubernur ketika itu, Marwan melarangnya. Penguasa Madinah itu menentang wasiat Hasan tersebut. Ia tak mengizinkan Hasan dikuburkan disebelah makam Rasulullah.

Tak mendapat restu dari Gubernur Hijaz, akhirnya,  jenazah Hasan bin Ali dikuburkan di Baqi. Bersebelahan dengan kuburan ibundanya, Putri Rasulullah, Fatimah bin Muhammad. Itulah akhir riwayat hidup cucu Nabi Muhammad. Manusia yang penuh kasih. Seorang yang baik  akhlaknya. Tak mudah membenci, apalagi berkata kasar.

BINCANG SYARIAH

Hukum Mengambil Sisa Makanan Hajatan

Saban acara hajatan selalu dipenuhi dengan makanan. Pelbagai menu makanan disediakan yang punya hajat. Biasanya ada kue, buah-buahan, soto, nasi, ayam, dan daging. Tentu saja masih banyak lagi, dengan ciri khas makanan yang berbeda-beda tiap daerah.

Terkadang makanan yang disuguhkan terlalu banyak, sehingga banyak yang tersisa. Hal itu ditakutkan mubazir. Atau akan sangat disesalkan bila dibuang begitu saja. Nah dalam Islam, bagaimana hukum mengambil sisa makanan hajatan? Apakah itu halal atau termasuk yang haram sehingga dihukumi berdosa yang mengambil makanan sisa hajatan tersebut?

Adapun mengenai mengambil sisa makanan hajatan, maka hukumnya diperbolehkan oleh syariat Islam. Pasalnya, dalam hal ini karena sisa makanan tersebut sudah menjadi harta yang ditingalkan oleh pemiliknya, sehingga boleh bagi seseorang untuk mengambilnya dan memakannya. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syekh Abdul Qadir A’udah dalam kitab al Tasyrī’ al Jināī fi al Islāmi.  Berikut kata Syekh Abdul Qadir Audah;

اْلأُشْيَاءُ الْمَتْرُوْكَةُ هِىَ اْلأُشْيَاءُ الَّتِىْ كَانَتْ مَمْلُوْكَةً لِلْغَيْرِ ثُمَّ تَخَلَّى عَنْهَا مَالِكُهَا كَالْمَلاَبِسِ الْمُسْتَهْلِكَةِ وَبَقَايَا الطَّعَامِ وَكَنَاسَةِ الْمَنَازِلِ وَحُكْمُ اْلأُشْيَاءِ الْمَتْرُوْكَةِ هُوَ حُكْمُ اْلأَشْيَاءِ الْمُبَاحَةِ ِلأَنَّ اْلأَشْيَاءَ الْمَتْرُوْكَةَ تُصْبِحُ بِتَرْكِهَا لاَ مَالِكَ لَهَا

Artinya; Barang-barang yang ditinggalkan adalah barang-barang yang dimiliki oleh seseorang kemudian dia meninggalkannya, seperti pakaian-pakaian yang mau rusak, sisa makanan, sapu-sapu rumah. Hukum barang-barang yang dinggalkan tesebut adalah seperti halnya hukum barang-barang yang mubah, karena sesungguhnya barang-barang yang ditinggalkan akan menjadi tidak punya pemilik ketika telah ditinggalkan.

Menurut Zainuddin al-Malibari, dalam kitab Fathul Mu’in—begitu juga Imam Nawawi dalam kitab al Majmū’ Syarah al Muhadzab—, mengatakan boleh mengambil makanan yang disuguhkan dalam acara hajatan, pesta, atau walimah. Adapun membawa pulang atau menjualnya harus izin pemilik pesta atau hajatan. Berikut teksnya;

  وفى الانوار: لو قال ابحت لك جميع مافى دارى أو مافى كرمى من العنب: فله اكله دون بيعه وحمله واطعامه لغيره

Artinya: Termaktub dalam kitab al-Anwar : Seandainya seseorang pemilik acara mengatakan, “”Aku telah memberikan kepadamu semua yang ada di rumahku atau di kebun anggur dari pada anggurku, maka boleh baginya memakannya, tetapi tidak boleh menjualnya, membawanya dan memberikan makanan tersebut kepada orang lain.

Demikian penjelasan  dalam hukum mengambil makanan sisa hajatan. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Peter Oudenes: Islam Agama Sempurna

Mualaf asal Negeri Belanda ini menemukan hidayah Islam saat berada di Indonesia.

Mualaf ini lahir di Negeri Belanda, tepatnya Kota Schoonhoven, sekira 34 tahun lalu. Peter Oudenes, demikian namanya, menemukan hidayah Ilahi ketika berada di Indonesia. Perantauannya pertama kali ke negara Asia Tenggara ini terjadi beberapa tahun lalu, sewaktu dirinya mendapatkan pekerjaan selepas kuliah.

Mungkin, pada waktu dahulu tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk memilih Islam. Bagaimanapun, Allah Mahaberkehendak. Cahaya petunjuk-Nya menyinari siapa saja yang dikehendaki-Nya. Bila mengingat hal ini, tidak ada kata terucap dari lisan Peter selain hamdalah, bersykur ke hadirat-Nya.

Lelaki berperawakan tinggi ini menuturkan kisah hidupnya. Ia tumbuh besar tidak jauh berbeda dengan kebanyakan anak-anak Belanda. Begitu lulus dari SMA, dia meneruskan studi pendidikan tinggi.

Sukses meraih gelar, pria berambut pirang ini lantas memutuskan untuk segera mencari pekerjaan. Dalam bayangannya, alangkah menyenangkan hidup mandiri, dapat mengandalkan pemasukan dari kerja sendiri.

Tuntutan profesi membuatnya harus melanglang buana. Pihak kantor menugaskannya bekerja di Indonesia. Saat itu, Peter cukup antusias dengan keputusan tersebut. Apalagi, Bali menjadi tempat tujuannya. Kepindahannya ke Pulau Dewata itu terjadi sekitar 10 tahun silam.

Nasib orang siapa yang tahu. Berada di negara asing tidak membuatnya serba terbatas. Justru, Peter mempunyai banyak kawan, tempatnya berbagi suka dan duka. Di antara mereka, ada seorang perempuan yang membuatnya jatuh hati. Dialah Rika Kartika. Perempuan asal Cianjur, Jawa Barat, itu sedang berada di Bali sembari bekerja. Waktu itu, Muslimah ini merupakan seorang ibu tunggal dengan dua orang anak.

Antara Peter dan Rika pun terjalin perasaan saling suka. Keduanya lantas ingin melangkah ke taraf hubungan yang lebih berkomitmen. Maka mereka memutuskan untuk menikah. Itu terjadi sejak kira-kira satu tahun usai pertama kali berkenalan. Peter mengenang, saat itu perbedaan iman belum menjadi sesuatu yang digubrisnya.  

Peter mengenang, saat itu perbedaan iman belum menjadi sesuatu yang digubrisnya. Apalagi, katanya, Rika saat itu pun tidak mempersoalkan agamanya yang non-Islam. Bagaimanapun, pembicaraan tentang ini tetaplah ada.

Setelah berdiskusi, disepakatilah bahwa sang calon suami-lah yang kemudian memeluk Islam. Peter melakukannya dengan ikhlas. Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, menurut dia, keputusannya saat itu tidak disebabkan adanya pernikahan.

Sebab, sejak pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia, dia sudah ingin mengenal Islam lebih dekat. Sebelum bertemu Rika, keinginan itu hanya didasari rasa penasaran—tidak kurang, tidak lebih. Akan tetapi, saat menjalin hubungan dengan perempuan tersebut, kehendaknya untuk mempelajari agama ini kian kuat.

Pada Mei 2012, Peter mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Denpasar. Prosesi itu disaksikan oleh ulama setempat, beberapa jamaah, dan tentu saja Rika sang calon istri. Beberapa hari sesudahnya, pernikahan antara keduanya pun dilangsungkan. Resmi sudah mereka mulai membina rumah tangga.

Niat Peter untuk serius mendalami Islam tidak berhenti pada ujaran lisan. Setiap hari, dirinya selalu meluangkan waktu untuk membaca banyak buku dan menonton video tentang agama ini. Tidak hanya konten-konten mengenai ibadah harian. Lebih lanjut, ia sungguh-sungguh mengkaji dasar agama ini—Alquran dan hadis—serta sosok mulia yang membawanya, yakni Nabi Muhammad SAW. Pernikahan hanyalah jalan, bukan alasan, Peter untuk menjadi seorang Muslim.  SHARE

Semula, Rika agak terkejut dengan antusiasme suaminya dalam mempelajari Islam. Pernikahan hanyalah jalan, bukan alasan, Peter untuk menjadi seorang Muslim. Berdasarkan pengajian yang disimaknya, ia mendapati bahwa kewajiban seorang Muslim setelah bersyahadat ialah shalat lima waktu. Dan, dalam budaya Indonesia “pakaian shalat” adalah peci, baju koko, serta sarung. Peter langsung meminta istrinya untuk membeli semua perlengkapan tersebut.

Melihat semangat ini, Rika pun ikut mendukungnya. Tidak hanya membelikan apa-apa yang diminta. Wanita tersebut juga memajang poster tuntunan gerakan shalat di dinding kamar. Dengan begitu, suaminya bisa setiap waktu menghafalkan dasar-dasar ibadah tersebut.

Bertobat

Sebagai pasangan, mereka berdua saat itu belum lepas dari kebiasaan buruk. Ya, walaupun secara resmi sudah berislam, beberapa hal masih dilakukannya. Misalnya, meminum minuman keras.

Peter menuturkan, memang istrinya waktu itu belum terlalu taat beribadah. Shalat masih sering bolong-bolong. Sebagai mualaf, keteguhan iman dalam diri Peter pun masih sarat ujian. Karenanya, sering juga dirinya terbawa suasana, hingga mabuk-mabukan atau berpesta sampai pagi.

Hingga suatu saat, Peter memutuskan untuk kembali ke Belanda. Sebab, di tanah airnya itu ada sebuah perusahaan yang menjanjikan karier lebih baik untuknya. Sambil memboyong istri dan anak-anak, ia pun mengurus seluruh dokumen kepulangan di Jakarta.

Setelah semua urusan administrasi selesai, keduanya kembali beristirahat. Di sela-sela waktu luang, pasangan suami-istri ini menikmati minuman beralkohol di salah satu klub malam. Namun insiden pun terjadi. Seorang pengunjung berperilaku tidak sopan kepada Rika.

Peter seketika marah. Ia mengajak pengganggu istrinya itu untuk berkelahi. Kejadian ini begitu memalukan, baik untuk Peter maupun Rika. Beberapa hari kemudian, keduanya saling mengobrol dari hati ke hati. Mereka memutuskan untuk meninggalkan kebiasaan buruk: menenggak khamar. Kita tidak perlu lagi minum minuman keras dan mencari tempat seperti ini lagi (klub malam) ke depannya.  

“Kita tidak perlu lagi minum minuman keras dan mencari tempat seperti ini lagi (klub malam) ke depannya,” ujar Peter menirukan perkataannya kepada sang istri saat itu.

“Untuk apa? Lagipula, kami berdua sudah suami-istri. Lebih baik menghabiskan waktu di rumah,” lanjutnya saat dihubungi Republika baru-baru ini.

Sejak saat itu mereka meninggalkan minuman haram dan gaya hidup bebas di malam hari. Setelah Peter selesai mengurus dokumen, Peter segera berangkat ke Belanda. Tetapi istrinya tetap di Bali karena masih memiliki pekerjaan.

Di Negeri Kincir Angin

Sepasang suami istri ini pun untuk sementara tinggal berjauhan. Yang satu di Belanda, sedangkan yang lain di Indonesia, tepatnya Bali. Rika kemudian, atas saran Peter, memilih menetap di kampung halamannya, Cianjur—dengan meninggalkan Bali.

Selama jauh di negeri Eropa, Peter ternyata kian serius mendalami Islam. Ia berkeinginan kuat untuk menjadi seorang Muslim yang sejati sekuat upaya. Berbagai pengajian diikutinya di Belanda, baik yang offline maupun daring.

Ia menyadari, tidak mudah untuk berubah menjadi lebih baik. Namun, dia bersyukur kepada Allah SWT. Salah satu karunia besar yang dirasakannya ialah memiliki istri dan anak-anak yang penurut.Peter Oudenes (ketiga dari kanan) bersama dengan keluarga. Pernikahan menjadi jalan baginya untuk mendalami dan menerapkan ajaran Islam secara sungguh-sungguh. – (DOK IST)SHARE 

Sebagai contoh, saat itu Peter mulai mengetahui bahwa Islam mewajibkan kaum Muslimin untuk menutup aurat secara benar. Adapun perempuan diharuskan menutupi kepala, tangan, dan kaki. Hanya kepada keluarga dan suami, aurat itu bisa ditampakkan.

Waktu itu, tutur Peter, Rika belum mengenakan hijab. Maka ketika istrinya itu ada kesempatan untuk mengunjunginya di Belanda, keinginan tersebut diutarakannya. Ia ingin, Rika mulai konsisten berbusana islami.

Memang, sempat ada riak-riak kecil. Misalnya, sewaktu hendak menghadiri pesta pernikahan seorang kerabat Peter. Rika justru menyiapkan gaun yang—kalau dipakai—bisa menampakkan auratnya. Melihat baju itu, Peter pun menunjukkan wajah tidak suka. Alhamdulillah, sang istri mau memiliki busana Muslimah yang telah disiapkannya. Bahkan, sejak saat itulah perempuan Indonesia ini konsisten berhijab.

Kini, Peter merasa sangat bahagia. Ia, istri, dan anak-anaknya hidup tenteram di Negeri Kincir Angin. Kepada mereka, dia selalu memberikan teladan dan bimbingan agar menjalani keseharian secara islami.

Memang, diakuinya, menjadi Muslim berarti menjadi minoritas di Belanda. Dan, ini agak sulit. Misalnya, tatkala dihadapkan pada dunia kerja. Syukurlah, Peter bekerja di luar kantor (work from home) sehingga dengan leluasa menunaikan ibadah harian. Karena hidayah datang dari Allah. Hanya Allah yang memutuskan, siapa-siapa saja yang hatinya tersentuh cahaya Islam, agama yang sempurna ini.  SHARE

Meski terkadang dia mendapat sindiran, Peter tidak terlalu peduli. Ia kini lebih senang berdakwah kepada teman-temannya. Tak masalah jika perkataannya didengar atau tidak. Yang terpenting baginya, kewajiban tabligh sebagai seorang Muslim sudah dilaksanakannya.

“Karena hidayah datang dari Allah. Hanya Allah yang memutuskan, siapa-siapa saja yang hatinya tersentuh cahaya Islam, agama yang sempurna ini,” ucapnya dengan penuh keyakinan.

Selain umrah dan haji yang kini menjadi cita-citanya, dia berharap kenikmatan Iman dan Islam ini tidak akan pernah hilang. Dan, tentu saja harapannya adalah melihat anak-anaknya tumbuh besar sebagai insan yang beriman dan bertakwa.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

KHAZANAH REPUBLIKA

Shalat Batal karena Keluar Suara saat Menguap?

Ust, mau tanya, kalau orang angop (menguap, red), pas lagi Sholat terus keluar suara haaah, itu batal ngga ya shalat nya?

Matur suwun Ustdz…

Jawaban:

Bismillah wal hamdulillah was sholaatu was salaamu ‘ala Rasulillah wa ba’du.

Sedikit suara yang keluar ketika menguap di dalam shalat, ada dua macam:

Pertama, di luar kendali dan keinginan.

Maksudnya suara alami yang keluar ketika menguap, batuk, dan yang semisalnya.

Suara menguap yang seperti ini tidak merusak keabsahan shalat.

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menerangkan,

أن تخرج الحروف من فيه بغير اختياره مثل أن يتثاءب فيقول: هاه، أو يتنفس أو يسعل فينطق في السعلة بحرفين وما أشبه هذا، أو يغلط في القراءة فيعدل إلى كلمة من غير القرآن، أو يجيئه البكاء فيبكي ولا يقدر على رده، فهذا لا تفسد صلاته.

“Mengeluarkan suara huruf dari mulutnya, namun di luar kendali, seperti mengucapkan “Haah” atau suara keluar karena bernafas, batuk sampai keluar suara dua huruf, atau semisalnya, atau salah membaca ayat sampai keluar bacaan selain Quran, atau menangis yang tidak kuasa ia tahan, hal-hal seperti ini tidak membatalkan shalat.”

Kedua, suara yang masih dalam kendali dan keinginannya, seperti menambah-nambah suara menguap bersin atau batuk, ini dua pendapat ulama tentang hukumnya:

– Ada ulama yang berpendapat: shalat batal.

– Ada ulama yang berpendapat: shalat tidak batal.

Imam Al-Mardawi (salah seorang ulama Mazhab Hambali) menerangkan dalam kitab Al-Inshaf,

 .. أو نفخ فبان حرفان، فهو كالكلام، وهذا المذهب وعليه الأصحاب. واختار الشيخ تقي الدين: أن النفخ ليس كالكلام، ولو بان حرفان فأكثر، فلا تبطل الصلاة به، وهو رواية عن الإمام أحمد… انتهى.

“Meniupkan nafas saat shalat sampai membentuk suara dua huruf, ini dihukumi seperti kalam (berbicara). Pendapat ini dipegang oleh para ulama Mazhab Hambali. Syaikh Taqiyuddin memilih pendapat, bahwa hembusan nafas tidak termasuk kalam, meskipun sampai mengeluarkan dua huruf atau lebih. Ini tidak membatalkan shalat. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad.”

Kesimpulannya: sebaiknya orang yang sedang shalat menghindari segala yang berpotensi membatalkan shalat. Jika sampai sengaja mengeluarkan suara dua huruf atau lebih dengan menguap atau menghela nafas, sebaiknya memilih sikap hati-hati, ia ulangi shalatnya.

Wallahu a’lam bis showab.

Referensi :

Fatawa Syabakah Islamiyyah nomor 444160

***

Dijawab oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc.

(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Quran Jogjakarta dan Pengasuh Thehumairo.com)

Referensi: https://konsultasisyariah.com/37218-shalat-batal-karena-keluar-suara-saat-menguap.html

Kecurangan dalam Muamalah

SURAH ke-83 dalam Al-Quran, yaitu al-Muthaffifin, adalah surah yang unik karena turun dalam masa transisi Periode Makkah ke Periode Madinah dalam Sirah Nabawiyah. Menurut Jabir bin Zaid dan Ibnu as-Saib, surah al-Muthaffifin turun di tengah-tengah perjalanan hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Sebagiannya turun di daerah yang dekat Makkah, sedang sisanya di daerah yang lebih dekat ke Madinah (Tafsir Zaadul Masir, IV/413).

Apa hikmah di balik posisi penurunan yang unik ini?

Bila kita perhatikan profesi warga Madinah (kaum Anshar) di masa itu, sebagian besar adalah petani atau pekebun. Sampai saat ini pun kebun-kebun kurma masih eksis di Madinah, yang bisa jadi merupakan kawasan perkebunan tua sejak era jahiliyah.

Di sisi lain, profesi penduduk Makkah (kaum Muhajirin dan kabilah Quraisy pada umumnya) adalah berdagang. Rasulullah sendiri termasuk kalangan pedagang sejak masa mudanya.

Kecurangan sejatinya merupakan potensi laten dalam kegiatan ekonomi di mana pun di seluruh dunia, salah satunya dalam hal takaran dan timbangan. Posisi penurunan Surah al-Muthaffifin yang unik ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa Allah hendak menegur semua pihak yang terlibat dalam proses ekonomi; baik produsen, distributor, maupun konsumen.

Dengan lugas Al-Qur’an menyerukan:

(1). وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ

(2). الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ

(3). وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS: Al Muthaffigin: ayat 1-3).

Kenyataannya, ketika berposisi sebagai pembeli seseorang biasa meminta agar timbangan untuknya dipenuhi bahkan diberi bonus. Akan tetapi, pada saat berperan sebagai penjual diam-diam ia justru mengurangi timbangan demi mendongkrak keuntungannya.

Al-Qur’an mencerca perilaku sewenang-wenang dan egois dalam muamalah tersebut. Mestinya, seseorang memperlakukan orang lain sebagaimana ia berharap untuk diperlakukan oleh orang lain. Bila ia senang timbangan untuknya dipenuhkan bahkan ditambahi bonus, seharusnya ia pun senang menimbang dengan penuh dan bahkan memberi bonus.

Alhasil, praktik-praktik penipuan dalam transaksi ekonomi pada hakikatnya mengindikasikan jauhnya jiwa dari keadilan dan empati, serta dominannya kebebalan pikiran dan kerasnya hati. Sebab, pelakunya tidak mau tahu perasaan orang lain dan sengaja menimpakan kerugian kepada mereka.

Kecurangan dalam muamalah (transaksi ekonomi) bukan suatu kejahatan sepele. Al-Qur’an bahkan secara khusus mengisahkan perilaku buruk ini di kalangan umat terdahulu, tepatnya umat Nabi Syu’aib, sebagai pelajaran bagi kita.

Al-Qur’an juga mengabarkan azab yang Allah timpakan sebagai balasan atas kecurangan kepada pelaku kecurangan dalam muamalah. Umat Nabi Syu’aib dikenal juga sebagai penduduk Madyan atau penduduk al-Aykah, yang digambarkan oleh Al-Qur’an sebagai para pelaku ekonomi yang nakal dan gemar menipu.

Dalam Surah al-A’raf: 85, keculasan mereka disajikan dengan gamblang:

وَاِلٰى مَدۡيَنَ اَخَاهُمۡ شُعَيۡبًا‌ ؕ قَالَ يٰقَوۡمِ اعۡبُدُوا اللّٰهَ مَا لَـكُمۡ مِّنۡ اِلٰهٍ غَيۡرُهٗ‌ ؕ قَدۡ جَآءَتۡكُمۡ بَيِّنَةٌ مِّنۡ رَّبِّكُمۡ‌ فَاَوۡفُوا الۡكَيۡلَ وَالۡمِيۡزَانَ وَلَا تَبۡخَسُوا النَّاسَ اَشۡيَآءَهُمۡ وَلَا تُفۡسِدُوۡا فِى الۡاَرۡضِ بَعۡدَ اِصۡلَاحِهَا‌ ؕ ذٰ لِكُمۡ خَيۡرٌ لَّـكُمۡ اِنۡ كُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِيۡنَ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.” (QS: Al-A’raf: 85).

Dalam surah Hud: 84-85 dan asy-Syu’ara’: 176-184 kejahatan ekonomi yang mereka perbuat dikemukakan kembali. Intinya mereka gemar berlaku curang dalam menimbang, menakar, dan merugikan siapa saja yang berbisnis dengan mereka.

Nabi Syu’aib pun berulang kali mengingatkan mereka agar menyudahi praktik-praktik kotor tersebut, namun mereka tetap membandel.

Teguran-teguran keras Al-Qur’an ini semakin diperjelas oleh hadits-hadits yang menyatakan bahwa ketidakberesan muamalah antar sesama manusia bisa berakibat gawat di akhirat. Misalnya, dalam persoalan hutang (kredit); sesuatu yang sudah sangat lazim dalam perekonomian modern.

Sungguh, jangan menyepelekan masalah kredit ini, sebab gugur syahid pun tidak bisa membuat hutang-hutang otomatis lunas. Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah ﷺ bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ

“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim no. 1886).

Riwayat semakna juga diceritakan Anas bin Malik, Abu Qatadah al-Anshari, dan Abu Hurairah.

Sebetulnya, ekonomi merupakan salah satu kajian yang paling terperinci dalam Fikih Islam. Aspek-aspek hukum yang dikaji para ulama pada dasarnya ditujukan untuk memastikan tidak adanya tindakan saling merugikan, mendorong muamalah yang sehat, dan lebih dari itu adalah berupaya meraih keberkahan dan ridha Allah dari setiap aspek kehidupan.

Oleh karenanya, wajar bila Rasulullah ﷺ bersabda:

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: « التَّاجِرُ الأَمِينُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ – وفي رواية: مع النبيين و الصديقين و الشهداء –  يَوْمَ الْقِيَامَةِ » رواه ابن ماجه والحاكم والدارقطني وغيرهم

“Pedagang yang jujur dan bisa dipercaya itu bersama para Nabi, shiddiqin, dan orang-orang yang mati syahid.” (Riwayat at-Tirmidzi, dari Abu Sa’id. Hadits hasan). Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Pedagang yang bisa dipercaya, jujur, dan muslim itu bersama orang-orang yang mati syahid pada Hari Kiamat kelak.” (Riwayat Ibnu Majah, dari Ibnu ‘Umar. Hadits dha’if).

Sebagian orang meragukan hadits ini. Menurut mereka, pahala berdagang dengan jujur dan terpercaya mestinya tidak sehebat itu. Namun, siapa pun yang hari ini terjun berniaga pasti mengerti bahwa menjadi sosok Shaduq (sangat jujur) dan Amin (bisa dipercaya) di dunia bisnis benar-benar tidak sederhana; sehingga cukup layak bila dibalas seperti itu. Wallahu a’lam.*

Oleh: Alimin Mukhtar,

Pengasuh PP Arrahmah, Batu, Jawa Timur

HIDAYATULLAH

Mengisi Hari Libur Puasa Dawud dengan Puasa Senin Kamis?

Bismillahirrahmanirrahim….

Puasa Dawud adalah puasa sunnah yang paling utama. Dasarnya adalah cakupan makna umum dari hadis sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

صُم من الشَّهر ثلاثةَ أيام

“Puasalah tiga hari dalam sebulan!”

Aku sungguh mampu melakukan puasa lebih banyak dari itu, wahai Nabi.” Kata ‘Abdullah bin ‘Amr.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan,

صُم يومًا وأفطِر يومًا؛ فذلك صيام داودَ، وهو أفضل الصيام

Puasalah sehari, berbukalah sehari! Itu adalah puasa Dawud. Dan itu adalah puasa yang paling utama.”

‘Abdullah bin ‘Amr kembali menanggapi, “Aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah.”

لا أفضلَ من ذلك

“Tidak ada puasa (sunnah) yang lebih utama dari itu. Jawab Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menerangkan,

قوله: ( وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ ) يقتضي ثبوت الأفضلية مطلقا، ورواه الترمذي من وجه آخر عن أبي العباس عن عبد الله بن عمرو بلفظ: ( أفضل الصيام صيام داود )، وكذلك رواه مسلم من طريق أبي عياض عن عبد الله، ومقتضاه أن تكون الزيادة على ذلك من الصوم مفضولة

Hadis Nabi (yang berbunyi), “Puasa (sunnah) yang paling dicintai Allah adalah puasa Dawud” menunjukkan bahwa puasa Dawud adalah puasa (sunnah) yang paling utama secara mutlak. Pada riwayat yang lain, yaitu riwayat Tirmidzi, dari Abul ‘Abbas dari ‘Abdullah bin ‘Amr dengan lafadz, “Puasa yang paling utama adalah puasa Dawud.” Keterangan yang sama juga ada dalam hadis riwayat Muslim dari jalur Abu ‘Iyadh dari ‘Abdullah. Ini menunjukkan bahwa puasa tambahan dari rutinitas puasa Dawud, statusnya sebagai puasa yang mafdhul (kurang utama).” (Fathul Bari, 4: 220-221)

Saat sedang berada di hari libur puasa dalam siklus puasa Dawud, bertepatan dengan hari Senin dan Kamis. Apakah dianjurkan juga untuk puasa Senin Kamis?

Berdasarkan dalil tentang keutamaan puasa Dawud di atas dan keterangan para ulama tentang masalah menggabungkan puasa Dawud dengan puasa-puasa sunnah lainnya, dapat dibagi menjadi dua rincian berikut ini:

Pertama, menambah puasa sunnah yang dapat mengubah ciri khas (tatanan) puasa Dawud secara terus-menerus. Seperti menambah puasa Dawud dengan puasa Senin dan Kamis atau puasa Ayyamul Bidh.

Maka puasa Dawud sudah mencukupi, tidak perlu lagi menambah dengan puasa sunnah Senin Kamis atau Ayyamul Bidh. Karena kalau ditambah dengan puasa itu, tatanan puasa Dawud yang sehari puasa sehari tidak, menjadi hilang.

Dasarnya adalah keumuman sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang puasa Dawud,

لاَ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ

“Tidak ada puasa sunnah yang lebih utama dari puasa Dawud.”

Hadis ini merupakan dalil bahwa puasa Dawud secara mutlak adalah puasa sunnah yang paling utama. Sehingga semua puasa sunnah selain puasa Dawud saat disandingkan dengan puasa Dawud statusnya menjadi puasa yang mafdhul (kurang utama). Mafdhul adalah lawan kata dari afdhol. Afdhol itu ungkapan hiperbola yang artinya adalah paling utama. Sehingga mafdhul adalah kebalikannya yaitu, kurang utama. Sementara semua memaklumi bahwa sesuatu yang derajatnya mafdhul tidak boleh ‘merusak’ isi (ciri khas) dari sesuatu yang afdhol.

Kedua, menambah puasa sunnah yang dapat mengubah ciri khas/tatanan puasa Dawud secara terus-menerus seperti menyisipkan puasa Asyura dan puasa Arafah.

Maka hukumnya boleh.

Hal ini karena tidak mengubah tatanan puasa Dawud secara terus-menerus. Karena puasa seperti itu sangat jarang dalam satu tahun. Sesuatu yang jarang, tidak dinilai keberadaannya, sebagaimana diterangkan dalam kaidah fikih,

النادر لا حكم له

Suatu yang jarang, tidak memiliki hukum.” (Islamqa.info)

Demikian, semoga dapat mencerahkan.

Wallahu a’lam bis showab.

***

Penulis: Ahmad Anshori, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/68299-mengisi-hari-libur-puasa-dawud-dengan-puasa-senin-kamis.html

Ayat-Ayat Al Qur’an yang Disunnahkan Dibaca Sebelum Tidur

Di antara sunah sebelum tidur adalah membaca zikir, baik yang merupakan bacaan Al-Quran maupun doa yang bersumber dari hadis-hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada kesempatan ini, kita akan membahas zikir dari ayat-ayat Al-Quran yang hendaknya kita baca sebelum tidur.

Membaca ayat kursi

Disunahkan membaca ayat kursi ketika akan tidur, karena hal tersebut akan menjaga diri dari setan sampai waktu subuh tiba. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah kisah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ketika bermimpi bertemu pencuri zakat. Pada akhir hadis disebutkan,

إذا أويتَ إلى فراشِكَ فاقرأ آيةَ الكرسي ، فإنه لن يزالَ معكَ من اللّه تعالى حافظ ، ولا يقربَك شيطانٌ حتى تُصْبِحَ

“Jika Engkau hendak tidur, maka bacalah ayat kursi. Jika Engkau membacanya, niscaya Allah akan senantiasa menjagamu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai subuh tiba.”

Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

«مَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ». قَالَ لاَ. قَالَ «ذَاكَ شَيْطَانٌ»

“Adapun saat itu dia berkata benar, meskipun dia adalah pendusta. Engkau tahu siapa yang bercakap denganmu sampai tiga malam itu, wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “Tidak.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Dia adalah setan.” (HR. Bukhari)

Yang dimaksud ayat kursi adalah firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 255,

اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Baqarah: 255)

Membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah

Hal ini berdasarkan hadis Abu Mas’ud Al Anshari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن قَرَأَ بِالآيَتَينِ مِن آخِرِ سُورَةِ البَقَرَةِ فِي لَيلَةٍ كَفَتَاهُ

“Siapa yang membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah pada malam hari, maka keduanya akan mencukupinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dua ayat terkahir surat Al Baqarah yang dimaksud adalah ayat 285-286,

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya.’ Dan mereka mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat.’ (Mereka berdoa), ‘Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.’

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang kami tidak sanggup memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.’” (QS. Al-Baqarah: 285-286)

Dua ayat terakhir Surat Al Baqarah bukanlah bacaan yang secara khusus dibaca sebelum tidur. Akan tetapi, bisa dibaca sepanjang waktu pada waktu malam hari. Barang siapa yang belum membacanya di malam hari dan baru teringat sebelum tidur, maka pada saat itu hendaklah dia membacanya.

Para ulama berbeda pendapat tenatng makna (كَفَتَاهُ), diantaranya berpendapat:

1. Ada yang mengatakan bahwa maknaya adalah mencukupinya dari salat malam.

2. Ada pula yang menerangkan bahwa maknanya adalah akan melindunginya  dari setan.

3. Ada juga yang menjelasakan bahwa maknanya adalah menjaganya dari berbagai keburukan/penyakit.

Maka, makna hadis ini mencakup keseluruhan keterangan di atas sebagaimana penjelasan An-Nawawi Rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim.

Membaca surat Al Ikhlas dan mu’awwidzatain

Disunnahkan untuk membaca surat Al Ikhlas dan mu’awwidzatain (Surat An Naas dan Al Falaq), kemudian meniup kedua telapak tangan, dan selanjutnya mengusapkannya ke seluruh badan sebanyak tiga  kali. Hal ni berdasarkan hadis dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيلَةٍ جَمَعَ كَفَّيهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا ( قُل هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ) و ( قُل أَعُوذُ بِرَبِّ الفَلَقِ ) و ( قُل أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ) ، ثُمَّ يَمسَحُ بِهِمَا مَا استَطَاعَ مِن جَسَدِهِ ، يَبدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأسِهِ وَوَجهِهِ وَمَا أَقبَلَ مِن جَسَدِهِ ، يَفعَلُُ ذَلكَ ثَلاثَ مَرَّاتٍ

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasanya ketika akan tidur di setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak tangan kemudian meniup keduanya dan membaca (Qul huwallahu’ahad) dan (Qul a’udzubi rabbil falaq) dan (Qul a’udzubirobbin nass). Kemudian mengusap tubuh dengan keduanya semaksimal mungkin, dimulai dari kepala dan wajahnya, serta bagian depan tubuhnya. Hal itu dilakukan sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari)

Cara melakukannya yaitu membaca surat Al-Ikhlas, An-Naas, dan Al-Falaq, kemudian meniupkan ke kedua telapak tangan, kemudian diusapkan ke seluruh badan, dimulai dari kepala dan wajah. Hal ini diulang sebanyak tiga kali. Demikian penjelasan dari Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Rahimahullah mengenai cara mengamalkan hadits di atas.

Membaca surat Al Kafirun

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Naufal,

 اقْرأ : قُلْ يا أيُّها الكافِرُونَ ثُمَّ نَمْ على خاتِمَتِها فإنَّها بَرَاءَةٌ مِنَ الشِّرْكِ

“Bacalah Qul Yaayyuhal Kafirun (Surat Al-Kafirun), kemudian tidurlah setelah selesai membacanya, karena ia dapat melepaskan dari kesyirikan.” (HR. Abu Dawud, sahih)

Kesimpulan

Di antara ayat-ayat Al-Quran yang hendaknya dibaca di malam hari sebelum tidur adalah:
1. Ayat kursi (surat Al Baqarah ayat 255).
2. Dua ayat terakhir surat Al Baqarah ayat 285-286.
3. Surat Al Ikhlas, Surat Al Falaq, dan Surat An Naas.
4. Surat Al Kafirun.

Inilah di antara zikir sebelum tidur yang berupa ayat-ayat Al-Quran yang hendaknya kita upayakan baca sebelum tidur. Semoga bermanfaat.

***

Penulis: Adika Mianoki

Artikel: Muslim.or.id

Referensi: Al Minahu al ‘Aliyyah fii Bayani as Sunani al Yaumiyyah karya Dr. ‘Abdullah bin Humuud al Fariih Hafidzahullah

Sumber: https://muslim.or.id/68238-ayat-ayat-al-quran-yang-disunnahkan-dibaca-sebelum-tidur.html

Dalil-Dalil tentang Larangan Meminum Miras

Islam melarang meminum miras dan minuman beralkohol.

Islam dengan tegas melarang umatnya untuk meminum minuman keras  (miras) atau minuman beralkohol. Terdapat sejumlah dalil yang menegaskan pelarangan tersebut.

Di dalam Alquran, Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Maidah ayat 90, “Ya ayyuhalladzina aamanuu innamal-khamru wal-maisiru wal-anshabu wal-azlamu rijsun min amalissyaithani fajtanibuhu la’allakum tuflihun,”.

Yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (miras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan,”.

Dalam kitab Mukhtashar Shahih Al-Bukhari disebutkan sejumlah hadis larangan meminum miras. Rasulullah bersabda, “Man syariba al-khamru fi ad-dunya, tsumma lam yatub minha, hurimaha fil-akhirah,”. Yang artinya, “Barang siapa meminum khamar di dunia kemudian dia tidak bertaubat, maka ia tidak akan mendapatkan minuman tersebut di akhirat,”.

Diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah, dia berkata, “Suila Rasulullah anil-bat’I wa huwa nabidzu al-asli, wa kaana ahlul-yamani yasyrabunahu, faqala Rasulullah SAW; kullu syarabin askara fahuwa haramun,”.

Yang artinya, “Rasulullah SAW pernah ditanya tentang bit, yaitu arak yang terbuat dari madu yang biasa diminum oleh orang-orang Yaman. Rasulullah SAW kemudian bersabda, ‘Setiap minuman yang memabukkan adalah haram,”.

Sayyidina Umar berkhutbah, dia berkata, “Wahai manusia sekalian, telah turun pengharaman khamar. Yaitu yang terbuat dari lima benda: anggur (dalam satu riwayat disebutkan kismis), kurma, gandum, tepung gandum, dan madu. Khamar adalah minuman yang menutupi akal,”.

KHAZANAH REPUBLIKA

Kisah Abu Thalhah Infakkan Harta yang Dicintainya

Abu Thalhah menginfakkan harta yang dicintainya.

Para sahabat Nabi Muhammad menjadi teladan bagaimana mengamalkan apa yang diperintahkan Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Contoh bagaimana sahabat mengamalkan perintah Allah seperti dikisahkan Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat Alquran surah Ali-Imran ayat 92.

Ayat ini menegaskan bahwa seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya belum dikatakan telah melakukan kebajikan secara sempurna jika ia belum infakkan harta yang dicintainya.

Ibnu Katsir mengatakan, bahwa Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Malik, dari Ishaq, dari Abdullah ibnu Abu Talhah yang pernah mendengar dari Anas ibnu Malik, bahwa Abu Talhah adalah seorang Ansar yang paling banyak memiliki harta di Madinah  Dan bahwa harta yang paling dicintainya adalah Bairuha (sebuah kebun kurma) yang letaknya berhadapan dengan Masjid Nabawi.

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sering memasuki kebun itu dan meminum airnya yang segar lagi tawar,” katanya.

Sahabat Anas Radhiyallahu Anhu melanjutkan kisahnya, bahwa setelah diturunkan firman-Nya yang mengatakan: Kalian sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. (Ali Imran: 92).

Lalu Abu Talhah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai’ (Ali Imran: 92),”

Dan sesungguhnya hartaku yang paling aku cintai adalah kebun Bairuha ini, dan sekarang Bairuha aku sedekahkan agar aku dapat mencapai kebajikan melaluinya dan sebagai simpananku di sisi Allah SWT. Setelah mendengar ayat tersebut tanpa pikir panjang, Abu Thalhah langsung menyedahkan harta yang dicintainya itu.

“Maka aku mohon sudilah engkau, wahai Rasulullah, mempergunakannya menurut apa yang diperlihatkan oleh Allah kepadamu,”

Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab melalui sabdanya.

” Wah, wah, itu harta yang menguntungkan, itu harta yang menguntungkan; dan aku telah mendengarnya, tetapi aku berpendapat hendaklah kamu memberikannya kepada kaum kerabatmu.”

Abu Talhah menjawab, “Akan aku lakukan sekarang, wahai Rasulullah.”
Lalu Abu Talhah membagi-bagikannya kepada kaum kerabatnya dan anak-anak pamannya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Menuju Kesempurnaan Ibadah Salat (Bag. 9): Syarat Sah Salat

Baca pembahasan sebelumnya Hukum dan Kedudukan Salat

Apabila hendak melaksanakan suatu kewajiban atau perintah Allah Ta’ala, tentu kita wajib mengetahui apa saja syarat-syarat yang mesti dipenuhi sebelum melaksanakan kewajiban tersebut. Hal ini agar ibadah tidak menjadi sia-sia atau tidak sah disebabkan satu atau dua syarat yang belum terpenuhi.

Misalnya: tanpa wudu, maka salat tidak akan sah; karena wudu merupakan syarat sah salat. Sebagaimana makna “syarat” secara istilah menurut Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah adalah sesuatu yang apabila tidak ada, hal itu merupakan sebab yang mengharuskan tidak adanya perkara yang lain. (1) Oleh karenanya, syarat salat menjadi unsur yang sangat penting untuk kita pelajari sebagai ikhtiar kita untuk mendapatkan kesempurnaan ibadah salat yang menjadi cita-cita semua orang beriman.

Syarat-Syarat Salat

Syekh Sa’id bin ‘Ali Wahf al-Qahthani dalam kitabnya “Shalatul Mu’min” mengemukakan bahwa terdapat 7 (tujuh) syarat sah salat, di antaranya:

1. Islam

Orang yang diwajibkan untuk melaksanakan salat adalah seorang muslim. Karena amalan orang kafir adalah tertolak. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

مَا كَانَ لِلۡمُشۡرِكِينَ أَن يَعۡمُرُواْ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ شَٰهِدِينَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِم بِٱلۡكُفۡرِۚ أُوْلَٰٓئِكَ حَبِطَتۡ أَعۡمَٰلُهُمۡ وَفِي ٱلنَّارِ هُمۡ خَٰلِدُونَ

“Tidaklah pantas orang-orang musyrik memakmurkan masjid Allah, padahal mereka mengakui bahwa mereka sendiri adalah orang kafir. Mereka itu sia-sia amal-amalnya, dan mereka kekal di dalam neraka.” (QS. At-Taubah: 17)

2. Berakal/Mumayyiz

Orang yang tidak waras atau gila tidak mendapatkan beban syariat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

Yang terbebas dari hukum itu ada tiga golongan: (1) orang tidak waras yang hilang akalnya hingga waras kembali; (2) orang yang tidur hingga dia bangun, dan (3) anak (kecil) hingga dia bermimpi (mimpi basah).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi dan lainnya). (2)

Berkaitan dengan taklif anak kecil, batas umur mulai diberi pendidikan tentang wajibnya salat adalah 7 (tujuh) tahun sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan salat ketika mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka (karena enggan mengerjakan salat) pada saat mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

3. Suci dari Hadas dan Najis

Sebagaimana telah dibahas dalam artikel sebelumnya, hadas terbagi dua yaitu: hadas kecil dan hadas besar. Hadas kecil dihilangkan dengan cara berwudu dan hadas besar dengan cara mandi wajib.

Terhadap najis yang berasal dari kotoran, dapat dihilangkan dengan istinja’ (bersuci dengan air) dan istijmar (bersuci dengan benda-benda seperti batu dan lainnya). Selengkapnya tentang najis dan cara menyucikannya dapat merujuk pada artikel sebelumnya. (Baca disini).

4. Menutup Aurat

Batas aurat laki-laki adalah dari pusar sampai lutut. Adapun wanita, seluruh anggota badannya adalah aurat yang wajib ditutupi ketika salat kecuali wajahnya. (3)

5. Masuk Waktu Salat

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103)

Berikut penjelasan ringkas terkait dengan waktu-waktu salat wajib:

  1. Salat Zuhur, yaitu mulai dari ketika matahari zawal (condong ke arah barat) hingga ketika bayangan segala benda telah sama dengan panjangnya. (4)
  2. Salat Asar, yaitu mulai sejak selesainya waktu zuhur (ketika bayangan segala benda telah sama dengan panjangnya) hingga ketika bayangan segala benda telah sama dengan dua kali panjangnya atau matahari menguning. (5)
  3. Salat Magrib, yaitu mulai sejak matahari terbenam hingga terbenamnya syafaq (cahaya merah). (6)
  4. Salat Isya, yaitu mulai dari terbenamnya syafaq sampai pertengahan malam. Adapun waktu darurat adalah sampai terbit fajar. (7)
  5. Salat Subuh, yaitu mulai dari terbit fajar shadiq putih (fajar kedua) hingga berakhirnya gelap malam karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  biasa mengerjakannya pada waktu gelap ketika malam masih pekat. Adapun waktu (diperbolehkannya) salat subuh sampai terbit matahari. (8)

6. Menghadap Kiblat

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Sungguh kami melihat wajahmu (sering) menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya.”  (QS. Al-Baqarah : 144)

Oleh karenanya, menghadap ke arah Baitul Haram merupakan syarat sah salat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Jika Engkau hendak mengerjakan salat, sempurnakanlah wudu, kemudian menghadaplah ke kiblat dan bertakbirlah!” (Muttafaqun ‘alaih)

Bagi orang yang dapat melihat Ka’bah secara langsung, wajib berupaya semaksimal mungkin menghadap persis ke arahnya, meskipun antara dirinya dengan Ka’bah terhalang sesuatu atau berada jauh darinya. Namun, jika melenceng sedikit (tidak terlalu banyak), hal itu tidak membatalkan salat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَا بَيْنَ اَلْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

“Antara timur dan barat adalah arah kiblat.” (Muttafaqun ‘Alaih)*

Begitu pula fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah tentang hadis di atas,

“Hadis ini sahih. Ini memperkuat tidak perlunya takalluf (menyulitkan diri) dalam masalah arah kiblat. Bahwasanya kapanpun seseorang salat menghadap ke arah kiblat, namun agak sedikit melenceng darinya, seperti ini atau seperti itu, maka hal itu tidak mengapa. Dengan demikian, arah di mana dia menghadap, adalah kiblat.” (9)

Penting pula untuk kita ketahui bahwa syarat menghadap kiblat menjadi gugur dengan beberapa kondisi berikut:

  1. Apabila seseorang telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencari arah kiblat, kemudian ia melaksanakan salat ke arah kiblat yang ia yakini. Namun, ternyata arah kiblat tersebut salah. (10)
  2. Orang yang tidak mampu. Seperti orang buta yang tidak mengetahui arah kiblat, orang sakit yang tidak dapat bergerak ke arah kiblat dan tidak ada yang bisa membantunya. Begitu pula orang yang ditawan dan diikat. (11)
  3. Ketika dalam keadaan takut akan keselamatan diri dan harta benda. Maka orang yang dalam keadaan demikian diperbolehkan menghadap kiblat sesuai kemampuannya. (12)
  4. Salat sunah di atas kendaraan. (13)

7. Niat

Niat merupakan kemauan keras untuk melakukan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Niat terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:

  1. Niat yang ditujukan untuk Zat yang memerintahkan, yaitu ikhlas tulus karena Allah Ta’ala.
  2. Niat yang ditujukan untuk perbuatan, sebagai pembeda antara satu ibadah dengan ibadah lainnya, sehingga seseorang bisa berniat untuk melakukan ibadah tertentu.

Kedua bentuk niat tersebut menjadi tekad seseorang dalam hatinya. Ketika seseorang hendak melakukan sesuatu berdasarkan apa yang diniatkannya, maka hal itu cukup baginya tanpa harus mengucapkan niat tersebut karena pengucapan niat merupakan ibadah yang tidak dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (14)

Tujuh syarat sah shalat di atas kiranya menjadi pedoman yang sangat penting bagi kita sebagai seorang muslim dalam melaksanakan ibadah yang pertama kali dihisab pada hari akhir kelak ini. Sebelum melaksanakan ibadah salat, kita wajib memperhatikan satu demi satu syarat sah tersebut sehingga ikhtiar kita dalam menggapai salat yang sah dan sempurna telah terlaksana. Selebihnya kita serahkan kepada Allah Ta’ala yang dengan keadilan-Nya menilai kualitas ibadah kita. Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah dan inayah-Nya kepada kita. Wallahu a’lam.

Penulis: Fauzan Hidayat

Artikel: Muslim.or.id

Catatan Kaki:

(1) Lihat Kitab Asy-Syarhul Mumti’ ‘alaa Zaadil Mustaqni’ karya Ibnu ‘Utsaimin (2: 85).

(2) Dinilai sahih oleh al-Albani dalam Kitabnya Irwaa-ul Ghaliil (2: 4) dari hadis ‘Aisyah, ‘Ali dan Abu Qatadah radhiallahu ’anhum.

(3) Lihat Kitab Fataawaa Ibni Taimiyah (21: 116).

(4) Lihat Kitab “Al-Masaajid” Bab “Auqaatu as-Shalawat al-Khamsi” Karya Muslim no. 612.

(5) Ibid.

(6) Ibid.

(7) Ibid.

(8) Lihat Kitab Majmuu’ Fataawa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah (10: 385).

(9) Lihat Kitab Shalatul Mu’min karya Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani hlm. 231

(10) Hadis Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu tentang penduduk Quba’ yang menghadap ke arah Syam, lalu mereka diberitahu bahwa Allah telah memerintahkan untuk menghadap ke Masjidil Haram. Mereka pun segera menghadap Ka’bah sedang mereka dalam salat. (HR. Bukhari dan Muslim)

(11) Lihat QS. At-Tagabun: 16.

(12) Lihat QS. Al-Baqarah: 239.

(13) Lihat Kitab At-Taqshiir, Bab Shalatut Tathawwu ‘ala Dawaabi wa Haitsuma Tawajjahat karya Muslim no. 1093

(14) Lihat Kitab Shalatul Mu’min karya Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, hlm. 235.

* Ditinjau dari posisi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah. (ed.)

Sumber: https://muslim.or.id/68210-menuju-kesempurnaan-ibadah-shalat-bag-9-syarat-sah-salat.html