Alquran Ungkap Alasan Neraka Banyak Dihuni Jin dan Manusia

Surah Al-A’raf Ayat 179 dan tafsirnya menjelaskan alasan neraka jahanam akan banyak dihuni oleh jin dan manusia.

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ

بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ

Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (QS Al-A’raf: 179).

Tafsir Kementerian Agama menerangkan, Allah dalam ayat ini menguraikan apa yang tidak terperinci pada ayat-ayat yang sebelumnya tentang hal-hal yang menyebabkan terjerumusnya manusia ke dalam kesesatan. Allah menjelaskan banyak manusia menjadi isi neraka jahanam seperti halnya mereka yang masuk surga, sesuai dengan amalan mereka masing-masing.

Hal-hal yang menyebabkan manusia itu diazab di neraka jahanam adalah akal dan perasaan mereka tidak dipergunakan untuk memahami keesaan dan kebesaran Allah. Padahal kepercayaan pada keesaan Allah itu membersihkan jiwa mereka dari segala macam was-was dan dari sifat hina serta rendah diri, lagi menanamkan pada diri mereka rasa percaya terhadap dirinya sendiri.

Mereka juga tidak menggunakan akal pikiran mereka untuk kehidupan rohani dan kebahagiaan abadi. Jiwa mereka terikat kepada kehidupan duniawi, sebagaimana difirmankan Allah ini.

“Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (QS Ar-Rum: 7)

Mereka tidak memahami bahwa tujuan mereka diperintahkan menjauhi kemaksiatan, dan berbuat kebajikan, adalah untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Mereka tidak memahami hukum-hukum masyarakat dan pengaruh kepercayaan agama Islam dalam mempersatukan umat. Mereka tidak memahami tanda-tanda keesaan Allah, baik dalam diri manusia maupun yang ada di permukaan bumi. Mereka tidak memahami dan merenungkan wahyu Tuhan yang disampaikan kepada Rasul-Nya.

Mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat bukti kebenaran dan keesaan Allah. Segala kejadian dalam sejarah manusia, segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia setiap hari, yang dilihat dan yang didengar, tidak menjadi bahan pemikiran dan renungan untuk dianalisa dan hal ini disimpulkan Allah dalam firman-Nya.

“Dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka (selalu) mengingkari ayat-ayat Allah dan (ancaman) azab yang dahulu mereka memperolok-olokkannya telah mengepung mereka.” (QS Al-Ahqaf: 26)

Mereka tidak dapat memanfaatkan mata, telinga, dan akal sehingga mereka tidak memperoleh hidayat Allah yang membawa mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Keadaan mereka seperti binatang bahkan lebih buruk dari binatang, sebab binatang tidak mempunyai daya-pikir untuk mengolah hasil penglihatan dan pendengarannya.

Binatang bereaksi dengan dunia luar berdasarkan naluri dan bertujuan hanyalah untuk mempertahankan hidup. Dia makan dan minum, serta memenuhi kebutuhannya, tidaklah melampaui dari batas kebutuhan biologis hewani.

Tetapi bagaimana dengan manusia, bila sudah menjadi budak hawa-nafsu. Akal mereka tidak bermanfaat lagi. Mereka berlebihan dalam memenuhi kebutuhan jasmani mereka sendiri, berlebihan dalam mengurangi hak orang lain. Diperasnya hak orang lain bahkan kadang-kadang di luar perikemanusiaan.

Bila sifat demikian menimpa satu bangsa dan negara, maka negara itu akan menjadi serakah dan penindas bangsa dan negara lain. Mereka mempunyai hati (perasaan dan pikiran), tetapi tidak digunakan untuk memahami ayat-ayat (Allah).

Mereka lupa dan melalaikan bukti-bukti kebenaran Allah pada diri pribadi, pada kemanusiaan dan alam semesta ini, mereka melupakan penggunaan perasaan dan pikiran untuk tujuan-tujuan yang luhur dan meninggalkan kepentingan yang pokok dari kehidupan manusia sebagai pribadi dan bangsa.

IHRAM

Aturan Umroh Sementara, Jamaah Wajib Karantina Lima Hari di Saudi

Wakil Ketua Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) Azhar Ghazali yang menjadi bagian dari tim advance umroh menyampaikan peraturan umroh sementara yang berlaku adalah jamaah umroh Indonesia wajib karantina lima hari di Arab Saudi.

“Hasil meeting muassasah dengan Kementerian Haji dan Umrah dan General Authority of Civil Aviation (GACA) sampai saat ini yang diberlakukan adalah aturan GACA, semua maskapai dari Indonesia wajib karantina lima hari,” kata Azhar kepada Republika.co.id, Senin (27/12).

Azhar mengatakan, tim uji coba umroh atau tim advance umroh berangkat di masa saat varian baru Covid-19, yaitu Omicron sedang mewabah di dalam negeri dan Arab Saudi. Maka, tim uji coba umroh menyesuaikan kebijakan karantina yang diberlakukan Arab Saudi.

Penyesuaian tersebut seperti Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Indonesia yang dinamis. Menurut pengamatan Azhar, peraturan umroh di Arab Saudi juga akan dinamis.

Dia juga menyarankan agar Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tetap memberangkatkan jamaah umroh yang punya kemampuan finansial untuk membayar biaya karantina. “Tetap saja jualan (ke) market yang punya kemampuan membayar dan siap menjalani masa karantina, sambil menunggu kondisi sedikit lebih membaik,” ujarnya.

Azhar merekomendasikan agar PPIU terus memberangkatkan umroh selama Arab Saudi tetap membuka pintu umroh bagi Indonesia. Bisa dimulai dengan memberangkatkan para pemilik PPIU dan timnya.

“Jangan sampai ini berhenti, kita tidak bisa memprediksi bagaimana kebijakan Arab Saudi lagi nantinya, tetap semangat,” ujarnya.

Azhar menginformasikan, tim uji coba umrah menjalani karantina selama lima hari di hotel bintang lima dan memakan biaya sebesar Rp 7 juta, itu sudah lengkap termasuk tes PCR dua kali. Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily mengatakan sejak awal konsisten memberi saran agar selalu mengutamakan kesehatan para calon jamaah umroh. Menurutnya, tidak perlu memaksakan diri untuk umroh jika itu membahayakan kesehatan jamaah.

“Saya dari awal selalu konsisten, lebih baik selalu mengutamakan kesehatan para calon jamaah umroh daripada kita memaksakan diri untuk melaksanakan ibadah umroh, apalagi sekarang varian baru Covid-19 yaitu Omicron sedang menyebar,” kata Ace kepada Republika.co.id, Ahad (26/12)

Ace mengatakan, memang pemerintah Arab Saudi telah membuka kesempatan kepada Indonesia untuk mengirimkan jamaah umroh dengan jumlah yang masih sangat terbatas. Jika ingin memanfaatkan hal itu dan mengirim jamaah, tentu harus tetap mengutamakan protokol kesehatan yang sangat ketat. 

IHRAM

Derajat Hadits Nabi Mencium Istrinya Lalu Tidak Wudhu Lagi

Diriwayatkan oleh Abu Daud (179) dalam Sunan-nya,

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ حَبِيبٍ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ»، قَالَ عُرْوَةُ: مَنْ هِيَ إِلَّا أَنْتِ؟ فَضَحِكَتْ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: هَكَذَا رَوَاهُ زَائِدَةُ، وَعَبْدُ الْحَمِيدِ الْحِمَّانِيُّ، عَنْ سُلَيْمَانَ الْأَعْمَشِ

“Utsman bin Abi Syaibah menuturkan kepada kami, ia berkata, ‘Waki’ menuturkan kepada kami, ia berkata, ‘Al A’masy menuturkan kepada kami, ia berkata, ‘Dari Habib, dari Urwah, dari Aisyah Radhiallahu’anha, ‘Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium salah seorang istrinya (yaitu Aisyah sendiri), kemudian beliau keluar untuk salat dan tidak berwudu lagi.’ Urwah lalu berkata, ‘Siapa lagi jika bukan engkau wahai Aisyah.’ Kemudian Aisyah tertawa.” Abu Daud mengatakan, ‘Demikian juga diriwayatkan dari Zaidah dan Abdul Hamid Al Himmani dari Sulaiman Al A’masy.’”

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah (502),

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ،قَالَا:حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ: حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ،عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:«قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ، وَلَمْ يَتَوَضَّأْ»قُلْتُ: مَا هِيَ إِلَّا أَنْتِ«فَضَحِكَتْ»

“Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ali bin Muhammad menuturkan kepada kami, mereka berdua berkata, ‘Waki’ menuturkan kepada kami, ia berkata, ‘Al A’masy menuturkan kepada kami, ia berkata, ‘Dari Habib bin Abi Tsabit, dari Urwah bin Az Zubair, dari Aisyah Radhiallahu’anha, ‘Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium sebagian istrinya (yaitu Aisyah sendiri), kemudian beliau keluar untuk salat dan tidak berwudu lagi.’  Urwah lalu berkata, ‘Siapa lagi jika bukan engkau wahai Aisyah.’ Kemudian Aisyah tertawa.”’”

Dalam riwayat Ibnu Majah ini disebutkan secara jelas bahwa Habib adalah Habib bin Abi Tsabit dan Urwah adalah Urwah bin Az Zubair.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Jami‘-nya (86), Imam Ahmad dalam Musnad-nya (25766), Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (485), Ishaq bin Rahuwaih dalam Musnad-nya (566), Ad Daruquthni dalam Sunan-nya (495), dengan jalan yang sama dari Waki’ bin al-Jarrah Rahimahullah.

Sanad riwayat ini sahih, semua perawinya tsiqah. Adapun Habib bin Abi Tsabit adalah Habib bin Qais Al Qurasyi. Yahya bin Ma’in dari riwayat Ahmad bin Sa’ad,  bahwa Yahya berkata, “(Habib bin Abi Tsabit) tsiqah, hujjah.” Adz Dzahabi mengatakan, “Ia tsiqah tanpa keraguan.” (Siyar A’lamin Nubala).

Inti masalah

Sebagian ulama melemahkan hadis di atas karena mengklaim bahwa Habib bin Abi Tsabit tidak pernah mendengar hadis dari Urwah bin Al Zubair. Sehingga terdapat inqitha’ (keterputusan sanad). Sebagaimana perkataan Al Bukhari,

عَنِ البُخَارِيِّ، قَالَ: لَمْ يَسْمَعْ حَبِيْبٌ مِنْ عُرْوَةَ شَيْئاً

“Dari Al Bukhari, ia berkata, ‘Habib tidak pernah mendengar hadis dari Urwah sama sekali’” (dinukil dari Siyar A’lamin Nubala).

Sehingga Al Bukhari adalah salah satu ulama yang men-dhaif-kan hadis ini. Demikian juga Yahya bin Sa’id Al Qathan Rahimahullah.

Maka, jawaban para ulama terhadap masalah ini adalah:

Pertama, Habib bin Abi Tsabit di-mutaba’ah oleh perawi yang lain, yaitu Ibrahim at-Taimi dalam jalan yang lain. Diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnad-nya (25767),

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي رَوْقٍ الْهَمْدَانِيِّ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ” قَبَّلَ ثُمَّ صَلَّى، وَلَمْ يَتَوَضَّأْ “

“Waki’ menuturkan kepadaku, ia berkata, ‘Sufyan menuturkan kepadaku, dari Abu Rauq Al Hamdani, dari Ibrahim At Taimi, dari Aisyah Radhiallahu’anha, ‘Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menciumnya kemudian salat dan tidak berwudu lagi.””

Sanad riwayat ini lemah, karena Ibrahim at-Taimi tidak pernah mendengar hadis dari ‘Aisyah.  Sebagaimana dikatakan oleh Abu Daud As Sijistani dan Ad Daruquthni. Sehingga terdapat inqitha‘ dalam riwayat ini. Dan Ibrahim at-Taimi perawi yang tsiqah namun sering me-mursal-kan hadis. Ibnu Hajar mengatakan, “Ia tsiqah, ahli ibadah, namun ia sering me-mursal-kan hadis dan melakukan tadlis.” Yahya bin Ma’in mengatakan, “Ia tsiqah.” Sehingga riwayat ini bisa menjadi mutaba’ah bagi riwayat Habib bin Abi Tsabit.

Kedua, terdapat mutaba’ah yang lain, yaitu Hisyam bin Urwah, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ad Daruquthni (1/136),

عن أبي بكر النيسابوري، حدثنا حاجب بن سليمان، حدثنا وكيع، عن هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة، قالت: قبل رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بعض نسائِه ثم صلَّى ولم يتوضأ

“Dari Abu Bakar An Naisaburi, ia berkata, ‘Hajib bin Sulaiman menuturkan kepadaku, ia berkata, ‘Waki’ menuturkan kepadaku, ia berkata, ‘Dari Hisyam bin Urwah, dari Urwan bin az-Zubair, dari Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium sebagian istrinya kemudian salat dan tidak berwudu lagi.”””

Riwayat ini sahih. Semua perawinya tsiqah. Hajib bin Sulaiman, dikatakan oleh Ibnu Hajar, “Shaduq dan meriwayatkan hadis yang wahm (lemah).” Adz Dzahabi mengatakan, “Ia tsiqah.” Ia juga di-tsiqah-kan oleh An Nasa’i dan juga dimasukkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat. Sehingga ia tsiqah insyaallah.

Sedangkan Abu Bakar An Naisaburi adalah Abdullah bin Muhammad bin Ziyad An Naisaburi. Abu Ya’la Al Khalili mengatakan, “Ia tsiqah hafizh faqih.” Al Khathib mengatakan, “Hafizh mutqin, salah satu masyaikh yang paling berilmu.” Adz Dzahabi mengatakan, “Ia adalah seorang al imam al hafizh.”

Sehingga selain riwayat ini sahih, juga menjadi mutaba’ah bagi riwayat Habib bin Abi Tsabit.

Ketiga, terdapat mutaba’ah yang lain, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya,

حدثنا إسماعيل ابن يعقوب بن صَبيح، حدثنا محمد بن موسى بن أعين، حدثنا أبي، عن عبد الكريم الجزري، عن عطاء، عن عائشة أنه -عليه السلام- كان يقبل بعض نسائه ولا يتوضأ

“Ismail bin Ya’qub bin Shabih menuturkan kepadaku, ia berkata, ‘Muhammad bin Musa bin A’yun menuturkan kepadaku, ia berkata, ‘Ayahku (Musa bin A’yun) menuturkan kepadaku, ia berkata, ‘Dari Abdul Karim Al Juzri, dari Atha (bin Abi Rabah) dari Aisyah Radhiallahu’anha, ‘Bahwa Nabi ‘Alaihis salam mencium sebagian istrinya, dan tidak berwudhu lagi.”””

Riwayat ini juga sahih, semua perawinya tsiqah. Abdul Karim Al Juzri adalah salah satu perawi Malik dalam Al Muwatha’, juga perawi Bukhari-Muslim. Ia di-tsiqah-kan oleh Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, dan Abu Zur’ah.

Musa bin A’yun, juga di-tsiqah-kan oleh Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, dan Ad Daruquthni. Sehingga tidak diragukan lagi ia tsiqah.

Sedangkan Muhammad bin Musa bin A’yun ia adalah salah satu perawi Al Bukhari dalam Shahih-nya. Di-tsiqah-kan oleh An Nasa’i, Abu ‘Awwanah, dan Adz Dzahabi.

Sehingga selain riwayat ini sahih, juga menjadi mutaba’ah bagi riwayat Habib bin Abi Tsabit.

Keempat, Habib bin Abi Tsabit dan Urwah hidup sezaman, sama-sama tabi’in dan sama-sama dari Kufah. Urwah wafat pada tahun 94 H sedangkan Habib wafat pada tahun 119 H. Syekh Syu’aib Al Arnauth menjelaskan,

وحبيب لا يُنكر لقاؤه عُروة لروايته عمن هو أكبرُ من عُروة، وأقدم موتاً، وهو إمام ثقة، من أئمة العلماء الأجلة. وقال ابن سيد الناس: وقولُ أبي عمر هذا أفاد إثبات إمكان اللقاء، وهو مزيل للانقطاع عند الأكثرين، وأرفع من هذا قول أبي داود فيما رويناه عنه بالسند المتقدم (وهو عنده بإثر الرواية (١٨٠) قال: وقد روى حمزةُ الزياتُ عن حبيب، عن عروة بن الزبير، عن عائشة حديثاً صحيحاً، فهذا يثبت اللقاء، فهو مزيلٌ للانقطاع عندهم

“Habib bin Abi Tsabit tidak dapat dipungkiri bahwa beliau bertemu dengan Urwah, karena Habib meriwayatkan hadis dari tabi’in yang lebih senior dari Urwah dan lebih dahulu wafatnya dari Urwah, dari kalangan para ulama tabi’in yang utama. Ibnu Sayyidin Nas berkata, Perkataan Abu Umar memberi faedah kepada kita tentang validnya kemungkinan pertemuan antara Habib dan Urwah. Dan ini menghilangkan prasangka adanya inqitha’ menurut jumhur ulama.’ Dan yang lebih meyakinkan lagi, apa yang disebutkan oleh Abu Daud dalam riwayat yang sebelumnya (yaitu hadis nomor 180), Abu Daud berkata, ‘Hamzah Az Zayyat meriwayatkan hadis dari Habib, dari Urwah bin az-Zubair, dari Aisyah sebuah hadis yang sahih.’ Maka perkataan Abu Daud ini menetapkan adanya pertemuan di antara keduanya dan menghilangkan prasangka adanya inqitha’” (Takhrij Musnad Ahmad, 42/498-499).

Kelima, dengan semua indikasi-indikasi di atas jelaslah kekeliruan klaim bahwa hadis di atas munqathi’. Abdul Haqq Al Isbili, setelah membawakan riwayat Al Bazzar di atas, beliau mengatakan,

لا أعلم له علة توجب تركه

“Dari sini saya tidak mengetahui adanya illah yang membuat kita harus meninggalkan hadis ini” (Al Ahkam Al Wustha, 1/142).

Syekh Syu’aib Al Arnauth mengatakan,

ودعوى الانقطاع وأن حبيب بن أبي ثابت لم يسمع من عروة دعوى باطلة ردها غير واحد من الأئمة

“Klaim bahwa dalam hadis ini ada inqitha’ dan bahwa Habib bin Abi Tsabit tidak mendengar hadis dari Urwah adalah klaim yang batil, yang telah dibantah oleh beberapa imam ahli hadis” (Takhrij Musnad Ahmad, 42/498).

Kesimpulannya, hadis ini adalah hadis yang sahih tanpa keraguan. Sebagaimana disahihkan oleh Abdul Haqq Al Isybili (Al Ahkam Al Wustha, 1/142), Ibnu Hajar Al Asqalani (Ad Dirayah, 1/45), Ibnu Abdil Barr (Al Istidzkar, 3/52), Azhim Al Abadi (‘Aunul Ma’bud, 1/153), Ibnu Sayyidin Nas (Syarh Sunan At Tirmidzi, 1/199), Syu’aib Al Arnauth (Takhrij Musnad Ahmad, 42/498), dan Al Albani (Shahih Abu Daud, no. 179).

Dan di antara fikih dari hadis ini adalah bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudu. Wallahu a’lam.

***

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Referensi:

Diringkas dari penjelasan Syekh Syu’aib Al Arnauth Rahimahullah dalam Takhrij Musnad Ahmad (42/498-500).

Sumber: https://muslim.or.id/71280-derajat-hadits-nabi-mencium-istrinya-lalu-tidak-wudhu-lagi.html

Siapakah Tetangga Anda?

Bismillahirrahmanirrahim

Di dalam Islam, tetangga memiliki kedudukan yang sangat mulia. Haknya sangat besar atas kita. Bahkan, Allah Ta’ala menyandingkan perintah berbuat baik kepada tetangga dengan perintah untuk menyembah dan mentauhidkan-Nya serta berbakti kepada kedua orangtua,

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالٗا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabīl, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An-Nisa’: 36)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga tegas mengingatkan umatnya soal tetangga. Beliau sampai mengabarkan orang yang mengganggu tentangga tidak akan masuk surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Tidak akan masuk surga, orang yang membuat tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari dan Muslim, hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Saking seringnya malaikat Jibril mengingatkan Nabi tentang hak tentangga, sampai beliau berprasangka tentangga akan menjadi ahli waris,

مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

Jibril terus berpesan kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga. Hingga aku mengira, tetangga akan menjadi ahli warisnya.” (HR. Bukhari dan Muslim, hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Oleh karenanya, wajib bagi setiap muslim untuk mengilmui apa definisi atau batasan tetangga yang dimaksud dalam perintah-perintah suci di atas. Ada sejumlah pendapat ulama mengenai batasan tetangga. Berikut pendapat-pendapat tersebut:

1. Yang rumahnya menempel dengan dinding rumah kita.

2. Jama’ah salat masjid yang sama dengan kita.

3. Warga yang tinggal satu kampung

5. Warga satu kota.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

لَّئِن لَّمۡ يَنتَهِ ٱلۡمُنَٰفِقُونَ وَٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ وَٱلۡمُرۡجِفُونَ فِي ٱلۡمَدِينَةِ لَنُغۡرِيَنَّكَ بِهِمۡ ثُمَّ لَا يُجَاوِرُونَكَ فِيهَآ إِلَّا قَلِيلٗا

“Sungguh, jika orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah tidak berhenti (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan Engkau (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah), kecuali sebentar.” (QS. Al-Ahzab: 60)

Di ayat ini, Allah menyebutkan orang-orang munafik yang tinggal di kota Madinah sebagai tetangga.

6. Empat puluh rumah (40) dari setiap penjuru arah rumah kita.

7. Kembali kepada budaya atau padangan umumnya masyarakat di tempat yang kita tinggali (‘Urf).

(Mughnil Muhtaj, 4: 95; Hasyiah Ibnu ‘Abidin, 2: 259; kami kutip dari Islamqa dan Al-Inshaf, 7: 243)

Wallahua’lam, dari rangkuman pendapat ulama tentang batasan tetangga di atas, pendapat yang paling tepat adalah pendapat terakhir. Bahwa tetangga adalah siapa saja yang dianggap tetangga secara budaya daerah yang kita tinggali (‘urf).

Keterangan ini dikuatkan oleh Ibnu ‘Abidin rahimahullah,

والجار عرفا : الملاصق ، أو من يسكن في المحلة” انتهى

[والمحلة : المكان تنزله القبيلة وتقيم فيه، وهو أشبه بالحي الصغير].

“Tetangga dalam pandangan budaya adalah rumah yang menempel atau yang tinggal satu mahallah.” (Hasyiah Ibni ‘Abidin, 3: 146, cet. Darul Kutub Ilmiyyah)

Mahallah adalah kampung. Jadi, menurut budaya masyarakat di tempat Ibnu Abidin tinggal, tetangga adalah dimulai dari rumah yang paling dekat dengan kita sampai warga satu kampung.

Imam Al-Mardawi rahimahullah menerangkan,

وَقِيلَ : يُرْجَعُ فِيهِ إلَى الْعُرْفِ .
قُلْت : وَهُوَ الصَّوَابُ ، إنْ لَمْ يَصِحَّ الْحَدِيثُ

“Ada pendapat ulama yang menyatakan bahwa batasan tentangga dikembalikan kepada budaya.” Komentarku (Imam Al-Mardawi), “Inilah pendapat yang benar, jika memang hadis batasan tetangga tidak sahih.” (Al-Inshof, 7: 244)

Hadis yang dimaksud adalah hadis yang mengabarkan bahwa tetangga adalah 40 rumah dari semua arah angin rumah kita. Hadis tersebut dinilai dha’if oleh para ulama hadis, di antaranya Syekh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (6: 100, cetakan Al-Maktab Al-Islami). Andai hadis itu sahih, maka tidak perlu ada perdebatan dalam mendefinisikan tetangga. Namun, ternyata tidak sahih, sehingga dikembalikan kepada ‘urf (adat budaya setempat). Sekian, wallahu a’lam bis showab.

***

Penulis: Ahmad Anshori, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/71282-siapakah-tetangga-anda.html

Detik-Detik Imam Ghazali Wafat; Minta Dikafani Saudaranya

Untuk mengenang jasanya Imam Ghazali, sebelum kita menyimak detik-detik Imam Ghazali wafat, mari kita berkenalan dengan sang Imam terlebih dahulu. Hujjatul Islam Imam Ghazali adalah sosok dengan karya yang bejibun, bahkan ia menelurkan karya tulis dalam setiap disiplin keilmuan. Dalam fikih, beliau mencapai derajat mujtahid mazhab. Tapi meskipun demikian, beliau adalah seorang akademisi yang polymath, yakni dalam segala bidang disiplin keislaman itu beliau kuasai.

Melalui Ihya’ ‘Ulumiddin, namanya harum dalam segala penjuru, kredibilitasnya diakui oleh kawan maupun lawan. Bahkan karya monumentalnya yang satu ini, menurut sebagian kalangan, Hampir seperti al-qur’an, karena saking berbobotnya. Namun melalui karyanya yang ini pula, beliau dituduh -oleh sebagian kalangan- mematikan aktifitas Intelektual. bahkan beliau dituduh sebagai sosok yang meninabobokkan ummat, yang pada akhirnya Islam mengalami kemunduran. Sungguh tuduhan yang sangat naif dan tidak realistis sekali. sebab bagaimana mungkin seorang yang sangat ngalim dan pakar, hanya karena melalui karyanya yang mendekati sempurna, dituduh sebagai biang kemandegan.

Mengenai kredibilitasnya Imam Ghazali, Syekh Murtadha Az-zabidi dalam Ithaf as-Sadat al-Muttaqin mengutip ceritanya Tajuddin As-subki yang menceritakan bahwasanya Abu al-hasan as-syadzili itu pernah mimpi bahwasanya beliau melihat Rasulullah SAW sedang membanggakan atau menyanjung-nyanjung imam ghazali kepada nabi Musa dan Isa As. Lantas Rasulullah SAW menanyakan kepada beliau berdua, “Apakah ada di umat kalian ada yang sama dengan orang ini”, syahdan Nabi Musa dan Isa As menjawab “tidak”. Masih dalam kitab yang sama, Syekh Murtadha Az-zabidi juga menuliskan pendapatnya Ulama’ yang berkata;

و نقل المناوي في طبقاتهعن  القطب اليافعي عن بعض العلماء الجامعين بين علم الظاهر و الباطن أنه قال “لو كان نبي بعد النبي لكان الغزالي”

“jika ada nabi lagi pasca diutusnya Rasulullah SAW, niscaya Al-ghazali adalah salah satu orangnya” (Ithaf as-sadat al-muttaqin 1/13 ).

Imam Ghazali lahir pada tahun 450 H atau 1085 M, dan wafat di tahun 505 H/ 19 Desember 1111 M, jadi umur beliau itu sekitar 55 tahun sahaja. Namun meski umurnya yang relatif singkat, namanya jamak diketahui oleh seluruh kalangan.

Detik-detik Imam Ghazali wafat, saudara beliau bernama Ahmad mengisahkan bahwasanya pada bulan Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah di hari senin waktu Subuh, Imam Ghazali berwudu dan shalat.

Kemudian beliau meminta tolong kepadaku untuk mengkafaninya, setelah itu beliau menselonjorkan kakinya. tak lama kemudian, berhentilah nafas beliau. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, Imam Al-ghazali sudah berpulang ke rahmatullah. Seluruh antero negeri berduka atas kepergiannya, semoga Allah membalas semua amal kebaikannya. (Ithaf as-Sadat al-Muttaqin, 1/15)

Demikianlah salah sekian karamahnya sang imam, beliau mentajhiz dirinya sendiri. Pusara beliau dalam konteks geografi sekarang itu berada di Iran. Meski sudah 910 tahun yang lalu beliau intaqola ila rohmatillah, namun namanya tetap malang melintang dalam telinga. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Perempuan dan Pentingnya Pendidikan

Mendengar kata perempuan, seketika muncul pandangan diskriminasi yang telah ada sejak dahulu sebelum Islam tersiar. Penindasan, pembunuhan, pengkerdilan dan tidak adanya penghargaan bagi sosok perempuan di mata masyarakat pada zaman dahulu. Namun semenjak Islam hadir, kedudukan perempuan mulai teradakan dan dihargai.

Semakin berjalannya waktu hingga sekarang, meskipun perempuan sudah dihargai dan terhormat, masih ada juga yang mengucilkan dan menganggap rendah perempuan. Hingga terjadinya kekerasan seksual, psikologi perempuan, dan bahkan pembunuhan terhadap perempuan. Kekerasan yang terjadi pada perempuan, perlulah diperhatikan sehingga tidak terjadi salah perspektif mengenai perempuan.

Maka dari itu, untuk menghindari dan setidaknya meminimalisir terjadinya kekerasan pada perempuan pada zaman ini, khususnya perempuan perlu mengenyam pendidikan. Setidaknya sebagai perempuan melalui pendidikan dapat mengetahui tentang keperempuanan, kesetaraan gender, dapat mendapatkan kedudukan yang setara dengan laki-laki di mata masyarakat, serta dapat menjadi madrasah yang baik untuk anak-anknya kelak.

Pendidikan untuk perempuan

Feminisme yang diusung oleh R.A Kartini bukanlah semata-mata untuk menggeser kedudukan laki-laki dan menggantikannya dengan perempuan. Akan tetapi fenimisme ini diusung untuk mengangkat derajat perempuan dalam ranah apapun. Sehingga tidak ada lagi sikap merendahkan kepada perempuan. Selain itu, fenimisme ini memberikan pengertian bahwa perempuan juga berhak untuk mengenyam pendidikan yang tinggi layaknya laki-laki, berhak mendapatkan kedudukan yang setara dengan laki-laki, misal di ranah politik.

Untuk mewujudkan kesetaraan gender ataupun feminisme yang diusung oleh R.A Kartini, yang pertama dilakukan oleh perempuan adalah belajar. Dengan belajar setidaknya perempuan memiliki wawasan ilmu pengetahuan yang luas, baik dari segi ilmu tentang keperempuanan maupun dari segi ilmu yang umum. Sehingga dengan pengetahuan yang memadahi yang telah dimiliki oleh perempuan, akan memberikan pencerahan, mengarahkan tingkah laku serta langkah yang akan diambil dan diputuskan untuk kebaikan.

Dengan feminisme ataupun kesetaraan gender, kini perempuan dapat bercita-cita yang tinggi. Sebagaimana gambaran sekarang sudah banyak perempuan yang menempati kedudukan di perkantoran seperti yang orang laki-laki duduki, sudah ada perempuan yang menjadi presiden, anggota DPR/DPRD, bupati, dan masih banyak yang lain. Selepas dari kedudukan layaknya kedudukan laki-laki itu, feminisme tidak menghilangkan kodrat perempuan sebagai seorang ibu dari anak-anak mereka. Semua kedudukan yang ditempati oleh perempuan itu memerlukan pengetahuan yang luas. Oleh karena itu, pendidikan sangat penting bagi perempuan.

Pentingnya pendidikan selain untuk menyetarakan gender antara laki-laki dan perempuan, pendidikan bagi perempuan juga sangat penting untuk mendidik calon pemimpin yaitu anak-anaknya kelak. karena menurut islam perempuan atau seorang ibu murupakan madrasatu al-uula bagi anak-anaknya. Sebagai calon pemimpin, seorang anak berhak mendapatkan pendidikan yang terbaik dari orang tuanya terutama ibu. Berhasil dan tidaknya seorang calon pemimpin masa depan dapat dilihat dari didikan seorang ibu terhadapnya.

Seorang ibu harus memiliki keahlian dan pendidikan yang tinggi untuk menunjang masa depan anak-anak mereka. Seorang ibu harus memiliki keahlian layaknya seorang chef, karena ia dituntut untuk memberi makanan dan memasak makanan yang baik dan sehat untuk keluarganya. Seorang Ibu harus memiliki kemampuan seperti dokter yang siap siaga dan mengetahui apa yang terjadi pada keluarganya.

Kemudian seorang ibu harus miliki kemampuan psikologi, karena ia harus mampu memahami psikologi anak-anaknya, keluarganya serta mampu memberikan kasih sayang dan solusi terhadap masalah yang dihadapi anak-anaknya. Seorang ibu juga harus ahli dalam masalah agama, karena ia harus mampu mngajarkan serta membimbing anak dan keluarganya sesuai dengan syariat. Ia juga harus ahli layaknya guru, dosen serta profesor, sebab ia dituntut menjadi contoh yang spesifik bagi anak-anaknya kelak. Ia juga harus menjadi motivator yang ulung untuk bisa membangkitkan semangat anggota keluarganya yang sedang lemah, selain itu masih banyak kemampuan yang lain.

Akhir kata, dengan perempuan yang berpendidikan dapat menimbang serta memilah dan memilih mengenai sesuatu yang baik dan buruk untuk diri pribadinya, sehingga tidak ada lagi perendahan terhadap perempuan. Selain itu dengan perempuan berpendidikan dapat mencetak calon pemimpin yang berakhlak baik, yang dapat membanggakan orang tua, agama, bangsa dan negara. Oleh kerena itu, bagi perempuan jangan sampai mendeskriminasikan diri sendiri untuk tidak berpendidikan. Wa Allahu a’lamu bi ash-Showaab.

BINCANG SYARIAH

Menilik Alasan Haram Selamat Natal

Tak jadi rahasia umum lagi, menjelang hari besar agama lain, senantiasa diwarnai keriuhan dalam internal umat Islam. Yang dalam waktu dekat, adalah Hari Natal. Kebisingan sudah mulai terdengar sejak beberapa waktu.

Tak menjadi rahasia umum lagi, ada pro dan kontra para ulama terkait mengucapkan Selamat Natal. Ada yang membelohkan. Pun banyak juga ulama yang mengharamkan. Tentu dengan pelbagai alasan yang dijadikan rujukan.

Profesor Ali Musthafa Yaqub, dalam at Tasamuh baina ad Diyanat, menjelaskan bahwa terdapat pelbagai alasan ulama mengapa mengharamkan persoalan yang erat kaitannya dengan akidah, seperti mengucapkan selamat Natal.

Pakar ilmu Hadis ini menyebutkan di antara alasan ulama adalah menjaga akidah. Pasalnya, itu merupakan anjuran agama Islam, untuk senantiasa merawat akidah (hifzh aqidah). Untuk itu, tak diragukan lagi, menjaga agama dan merawat akidah merupakan suatu kewajiban.

Alasan kedua terkait pengharaman selamat Natal, adanya indikasi kekhawatiran dalam tolong menolong dalam dosa. Tentu hal ini sangat dilarang dalam Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S al Maidah/5;2, Allah berfirman;

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِ

Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.

Ibnu Katsir dalam kitab tafsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, menjelaskan bahwa memerintah seorang beriman untuk saling tolong menolong dalam kebajikan. Pun sebaliknya, Allah melarang keras, upaya tolong menolong dalam kebathilan, dosa, dan sesuatu yang diharamkan.

Dengan demikian, para ulama yang mengharamkan selamat Natal, menyatakan seorang muslim yang hadir dalam acara perayaan umat agama lain adalah termasuk dalam kategori tolong menolong dalam kebathilan, dosa, dan sesuatu yang diharamkan. Ini tindakan yang dilarang tegas oleh syariat.

Selanjutnya, alasan pengaharaman selamat Natal adalah adanya indikasi merusak aqidah. Pengucapan selamat Natal, dinilai sebagian ulama termasuk yang diharamkan. Pasalnya, terdapat potensi di dalamnya penyebaran terhadap simbol-simbol kekufuran dan kebathilan. Untuk itu diharamkan.

Mencampuradukkan antara hak dan bathil. Hal ini juga disebutkan motif diharamkan mengucapkan selamat Natal. Ibnu Jarir Ath Thabari dalam kitab Jami’ al Bayan, Allah melarang umat Islam untuk mencampuradukkan antara ajaran Yahudi, Kristen dengan ajaran Islam.

Dengan demikian, menghadiri perayaan hari raya non muslim, dinilai merupakan sikap menyampuradukkan antara yang hak dengan yang bathil. Untuk itu, tidak diragukan lagi, hal itu sesuatu yang diharamkan, sebab mengandung kebathilan.

Demikianlah penjelasan sebagian ulama yang mengharamkan selamat Natal dan selamat hari raya non muslim lainnya. Hal itu tentu biasa dimaklumi. Sebab perbedaan pendapat merupakan suatu yang tak terhindarkan. Ada yang membolehkan, pun ada yang melarang. Seyogianya umat dewasa dalam menerima keragaman dalam keberagaman.

BINCANG SYARIAH

Apakah Ada Surat dalam Alquran yang Bawa Keberuntungan?

Mungkin sebagian Muslim sempat terbersit pertanyaan apakah ada surat dalam Alquran yang membawa keberuntungan. Syariat Islam tentu tidak mengakui adanya keberuntungan karena setiap Muslim harus beriman kepada Allah SWT.

Orang yang beriman, meyakini bahwa apapun yang terjadi dan menimpanya adalah atas kuasa Allah SWT. Pada prinsipnya, seorang Muslim tidak boleh mencari sesuatu untuk mendatangkan keberuntungan. Lantas apakah ada surat dalam Alquran yang membawa keberuntungan?

Dalam riwayat Abu Said bin Al-Mu’alla, dia bercerita bahwa dirinya sedang sholat lalu Rasulullah SAW memanggilnya tetapi tidak dia jawab hingga ia menyelesaikan sholat. Kemudian Rasulullah SAW mendatangi Al-Mu’alla dan bertanya, “Mengapa engkau tidak segera datang kepadaku?”

Al-Mu’alla menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang sholat.” Beliau SAW pun bersabda, “Bukankah Allah SWT telah berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian.” (Al-Anfal ayat 24).

Kemudian Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya aku benar-benar akan mengajarkan kepadamu surat yang paling besar dalam Alquran sebelum kamu keluar dari masjid ini.”

“Lalu beliau memegang tanganku. Ketika beliau hendak keluar dari masjid, aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau tadi mengatakan bahwa engkau akan mengajarkan kepadaku sebuah surat Alquran yang paling agung.” Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Ya, Alhamdulillahi rabbil ‘alamin adalah sab’ul masani, dan Al-Qur’anul ‘azim yang diberikan kepadaku.”

As-Sab’ul Matsani berarti tujuh ayat yang berulang-ulang, dan ini mengacu pada ayat ke-87 Surah Al-Hijr, “Sungguh, Kami telah memberikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Alquran yang agung.”

Sab’ul Masani yang dimaksud adalah Surah Al-Fatihah. Seorang Muslim yang menyadari keutamaan Surah Al-Fatihah tentu akan merasakan kegembiraan dan kebaikan yang ada di dalamnya. Namun Surah tersebut tidak diucapkan untuk memperoleh rezeki tetapi untuk menemukan karunia yang sejati.

Surah Al-Fatihah adalah harta bagi mereka yang menyadari, dan surah tersebut merupakan salah satu wahyu terbesar dari Alquran. Selain itu, salah satu keutamaan dan rahasia terbesar Surah Al-Fatihah yaitu sebagai obat untuk segala penyakit dan malapetaka.

IHRAM

Bersemangatlah dalam Hal yang Bermanfaat

Orang beriman meyakini bahwa waktu dan kesempatan untuk menjalani kehidupan yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepadanya adalah anugerah yang besar, yang tidak didapatkan oleh hamba-hamba Allah yang lain. Maka  pantas bagi kita untuk memanfaatkan waktu dan kesempatan dalam rangka membekali diri dan melakukan amalan saleh agar menggapai kebahagiaan di akhirat.

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abu Bakrah, dari bapaknya, bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang terbaik?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ

“Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.”

Dia bertanya lagi, “Lalu siapakah orang yang terburuk?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ

“Orang yang berumur panjang dan buruk amalnya” (HR. Ahmad; Tirmidzi; dan al-Hâkim. Disahihkan oleh al-Albâni Rahimahullah dalam Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, 3/313, no. 3363, Maktabul Ma’arif, cet. 1, th 1421 H/ 2000 M).

Namun, kadangkala waktu dan kesempatan itu tanpa kita sadari telah diisi dengan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk dunia maupun akhirat kita. Bahkan sebagian dari kita justru menggunakan waktu dan kesempatan itu untuk berbuat hal-hal yang Allah murkai. Wal-iyadzu billah.

Kita semestinya menyadari bahwa setan selalu menggoda kita untuk melakukan dosa. Setan akan menghasut, membisik, merayu, dan menggoda kita agar melakukan hal yang sia-sia jika kita tidak mempersiapkan diri untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Iblis sendiri telah bersumpah,

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ. ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukumku tersesat, maka saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari depan dan belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur” (QS. Al-A’râf: 16-17).

Kemakiatan dalam waktu luang

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewanti-wanti kita untuk berhati-hati dengan waktu luang. Manusia sangat mungkin tertipu dengan waktu luang yang dia miliki. Oleh karena itu, hendaklah kita waspada terhadap hal ini.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu pada keduanya adalah kesehatan dan waktu luang” (HR. Bukhari no. 5933).

Apabila kita tidak memikirkan hal ini, maka dikhawatirkan kita akan terus menerus berada di tepi jurang kemaksiatan yang akan merugikan diri kita sendiri. Maka sudah sepantasnya kita merenungi segala amal, tutur kata, tingkah laku, dan segala perbuatan kita. Apakah semua itu berhubungan dengan kebaikan dunia dan akhirat kita? Atau bahkan sebaliknya? Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ .وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. Al-Hasyr: 18-19).

Memanfaatkan waktu terhindar dari kemunafikan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan para sahabat ridhwanullah ‘alaihim; generasi terbaik umat Islam, layak untuk kita jadikan suri tauladan. Maka selayaknya bagi kita untuk menggali lebih dalam bagaimana para sahabat memanfaatkan waktu mereka demi kebaikan akhiratnya. Di antara hal yang sangat penting untuk kita ketahui adalah perkataan Ibnu Malikah Rahimahullah,

أَدْرَكْتُ ثَلاَثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ

“Aku telah mendapati 30 orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, semuanya khawatir pada dirinya tertimpa kemunafikan” (HR. Bukhari no. 36).

Lihatlah, betapa mereka mengkhawatirkan diri mereka sendiri untuk berbuat kemunafikan. Kemunafikan itu secara umum berkaitan dengan dosa. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مِنْ عَلاَمَاتِ الْمُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ

Di antara tanda munafik ada tiga: jika berbicara, dusta; jika berjanji, tidak menepati; jika diberi amanat, ia khianat” (HR. Muslim no. 59).

Bagi orang-orang yang memanfaatkan waktu yang diberikan dengan amal-amal saleh, tentu saja akan terhindar dari kemunafikan. Begitu pun orang-orang yang menyadari pentingnya melakukan hal yang bermanfaat untuk urusan dunia dan akhiratnya dalam setiap waktu, insyaallah akan terhindar dari segala perbuatan dan sifat orang-orang munafik.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. al-‘Ashr: 1-3).

Orang merugi adalah mereka yang selama hidupnya melakukan hal-hal yang dibenci oleh Allah, dengan cara menghabiskan waktu dan aktivitas yang tidak bermanfaat bagi agama mereka sendiri.

Lantas bagaimana kita mengetahui apakah hal yang kita lakukan tersebut mengandung hal-hal yang tidak bermanfaat atau bahkan dosa?

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita ciri-ciri hal yang keji (al-itsm) dalam sabdanya sebagai berikut,

وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِيْ نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

“Kejelekan (dosa) itu adalah sesuatu yang meresahkan jiwamu dan engkau benci apabila manusia mengetahuinya” (HR. Muslim no. 2553).

Cara mengetahui apakah perbuatan yang kita lakukan tersebut bermanfaat atau tidak adalah dengan bertanya ke hati nurani kita sendiri. Tanyakanlah, apakah hati nurani kita ini takut orang lain mengetahui perbuatan yang kita lakukan? Jika iya, maka itulah perbuatan yang memiliki ciri mengandung dosa.

Tanda baiknya keislaman

Alangkah baiknya bagi kita untuk meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat tersebut. Kita tanyakan pada diri kita sendiri sebelum melakukan perbuatan dengan pertanyaan, “Apakah hal ini bermanfaat bagi dunia atau akhiratku?” Karena sangat jelas, di antara ciri seseorang yang baik Islamnya adalah ia meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahuanhu, Nabi shallallahualaihi wasallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

“Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya” (Hadis Hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya seperti itu).

Penting pula bagi kita menyadari bahwa waktu dan kesempatan yang Allah berikan kepada kita untuk hidup dunia yang fana ini tidaklah lama. Apabila kita bandingkan dengan umat-umat terdahulu, Allah berikan kita waktu yang cukup singkat untuk berbekal demi kebahagiaan akhirat kelak. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَعْمَارُ أُمَّتـِيْ مَا بَيــْنَ سِتِّيْنَ وَسَبْعِيْنَ. وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَلِكَ

“Usia umatku (umat Islam) antara 60 hingga 70 tahun. Dan sedikit dari mereka yang melewatinya” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Mâjah. Shahîhul Jâmi’, 1073).

Sekali lagi, mari kita gunakan sisa umur yang Allah anugerahkan kepada kita ini dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia, utamanya akhirat kita. Tidak ada hal yang bermanfaat kecuali dengan melakukan amalan-amalan saleh selain meraih rida dari Allah Ta’ala.

Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiallahu ‘anhu berkata,

إِنَّ لِلَّهِ حَقًّا بِالنَّهَارِ لَا يَقْبَلُهُ بِاللَّيْلِ، وَلِلَّهِ حَقٌّ بِاللَّيْلِ لَا يَقْبَلُهُ بِالنَّهَارِ

“Sesungguhnya Allah memiliki hak pada waktu siang, Dia tidak akan menerimanya di waktu malam. Dan Allah juga memiliki hak pada waktu malam, Dia tidak akan menerimanya di waktu siang” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, no. 37056).

Al Hasan Rahimahullah juga pernah mengatakan,

اِبْنَ آدَمَ إِيَّاكَ وَالتَّسْوِيْفَ فَإِنَّكَ بِيَوْمِكَ وَلَسْتَ بِغَدٍّ فَإِنْ يَكُنْ غَدٌّ لَكَ فَكُنْ فِي غَدٍّ كَمَا كُنْتَ فِيْ الْيَوْمَ وَإِلَّا يَكُنْ لَكَ لَمْ تَنْدَمْ عَلَى مَا فَرَّطْتَ فِيْ الْيَوْمِ

“Wahai anak Adam, janganlah engkau menunda-nunda (amalan-amalan), karena engkau memiliki kesempatan pada hari ini, adapun besok pagi belum tentu engkau memilikinya. Jika engkau bertemu besok hari, maka lakukanlah pada esok hari itu sebagaimana engkau lakukan pada hari ini. Jika engkau tidak bertemu esok hari, engkau tidak akan menyesali sikapmu yang menyia-nyiakan hari ini” (Taqrib Zuhd Ibnul Mubarok, 1: 28).

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menganugerahkan kepada kita hidayah untuk selalu mengerjakan hal-hal yang bermanfaat, berupa amalan-amalan saleh di setiap waktu, di sisa-sisa usia yang Allah berikan. Semoga kita menjadi sebaik-baik manusia yang Allah berikan umur panjang, yang dipenuhi dengan amal ibadah, aamiin.

Wallahu a’lam bi ashawab.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/71105-bersemangatlah-dalam-hal-yang-bermanfaat.html

Iman itu Bertambah dan Berkurang

Pertanyaan:

Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengajarkan sahabat tentang iman, bahwa iman itu dapat bertambah dan berkurang? Bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan?

Jawaban:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد

Dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah banyak menunjukkan bahwa iman dapat bertambah dan berkurang. Inilah yang menjadi landasan para sahabat dan jumhur salaf. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

الصحابة وجمهور السلف على أن الإيمان يزيد وينقص

“Para sahabat dan jumhur salaf berada di atas pendapat bahwa iman itu dapat berkurang dan bertambah.” [Jami’ al-Masa’il]

Beliau juga berkata, “Oleh karena itu, pendapat Ahlussunnah dan Ahlul Hadits bahwa iman itu bertingkat-tingkat. Jumhur mereka berkata, ‘(Iman itu) bertambah dan berkurang.’ Sebagian mereka mengatakan bahwa iman itu bertambah, namun tidak berkurang sebagaimana riwayat dari Malik dalam salah satu dari dua riwayat. Sebagian mereka menggunakan istilah tafadhul (bertingkat-tingkat) sebagaimana pendapat Abdullah bin Mubarak. Adapun istilah “yazid wa yanqus” (bertambah dan berkurang) telah sahih dari para sahabat serta diketahui tidak ada yang mengingkari dari mereka.” [Majmu’ Al-Fataawa]

Dalam penjelasan Kitab At-Thohawiyah karya Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi rahimahullah dijelaskan bahwa dalil tentang bertambah dan berkurangnya iman adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan pendapat salaf yang sangat banyak. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًا

“Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya).” (Q.S. Al-Anfal: 2)

وَيَزِيدُ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ٱهْتَدَوْا۟ هُدًى

“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (Q.S. Maryam: 76)

وَيَزْدَادَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِيمَٰنًا

“Supaya orang yang beriman bertambah imannya.” (Q.S. Al-Mudatsir: 31)

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ فِى قُلُوبِ ٱلْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوٓا۟ إِيمَٰنًا مَّعَ إِيمَٰنِهِمْ

“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (Q.S. Al-Fath: 4)

ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدْ جَمَعُوا۟ لَكُمْ فَٱخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَٰنًا وَقَالُوا۟ حَسْبُنَا ٱللَّهُ وَنِعْمَ ٱلْوَكِيلُ

“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.’ Maka, perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.’” (Q.S. Ali ‘Imran: 173)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَإِذَا مَآ أُنزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَٰذِهِۦٓ إِيمَٰنًا ۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ فَزَادَتْهُمْ إِيمَٰنًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ, وَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَىٰ رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا۟ وَهُمْ كَٰفِرُونَ

“Dan apabila diturunkan suatu surah, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surah ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surah itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (Q.S At-Taubah: 124-125)

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده ووالده والناس أجمعين

”Tidak beriman salah seorang di antara kalian, hingga menjadikan aku lebih dicintai melebihi kecintaannya kepada anaknya, bapaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Muslim no. 44, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Maksud dari “tidak beriman” adalah tidak sempurna imannya. Dan hadis semisal ini cukup banyak seperti hadis tentang “cabang iman”, hadis tentang “syafa’at”. Di mana maksud dari hadis-hadis tersebut adalah bahwa orang yang dalam hatinya ada iman meskipun lebih kecil dari atom akan keluar dari neraka (masuk surga).

Maka, bagaimana mungkin bisa kita benarkan perkataan, “Iman semua penduduk langit dan bumi adalah sama, yang berbeda adalah hal-hal yang lain, namun bukan imannya”? Ini perkataan batil.

Begitu pula, perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum tentang masalah iman ini juga banyak.

Di antaranya adalah perkataan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu,

من فقه العبد أن يتعاهد إيمانه وما نقص منه، ومن فقه العبد أن يعلم أيزداد هو أم ينقص

“Di antara tanda kefakihan seorang adalah ia senantiasa memperhatikan imannya dan segala hal yang dapat menguranginya. Dan di antara tanda kefakihan seseorang adalah mengetahui kondisi imannya, apakah sedang bertambah atau berkurang.”

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada sahabat-sahabatnya,

هلموا نزدد إيمانًا، فيذكرون الله عز وجل

“Mari kita tambah iman dengan berzikir kepada Allah.”

Sedangkan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata dalam doanya,

اللهم زدنا إيمانًا، ويقينًا، وفقهًا

“Ya Allah tambahkan kepada kami keimanan, keyakinan, dan kefahaman.”

(HR. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal [As-Sunnah, 1: 368], lihat kitab Syarhu At-Thahawiyyah, hal. 290)

Juga Mu’adz bin Jabal juga berkata kepada seseorang,

اجلس بنا نؤمن ساعة

“Mari duduk bersama kami, untuk menambah iman sesaat saja.”

Demikian Ammar bin Yasir berkata,

ثلاث من كن فيه، فقد استكمل الإيمان: إنصاف من نفسه، والإنفاق من إقتار، وبذل السلام للعالم

“Tiga hal bila dimiliki seseorang maka ia telah menyempurnakan imannya, yaitu adil terhadap diri sendiri, berinfak ketika sempit, dan memberi salam kepada semua orang.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya)

Maka, tidak ada keraguan bahwa para sahabat belajar tentang perkara agama dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara ilmu yang mereka pelajari itu adalah yang berkaitan dengan bertambah dan berkurangnya keimanan. Wallahua’lam.

Sumber : https://www.islamweb.net/amp/ar/fatwa/432355

***

Penerjemah: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/71216-iman-itu-bertambah-dan-berkurang.html