Hemat Menggunakan Air Seperti Rasulullah

Rasulullah SAW telah mengajarkan bagaimana cara bijak bagi manusia untuk menggunakan air. Pada zaman Rasulullah SAW, penduduk Arab kala itu sudah membuat kamar mandi di dalam rumah.

Namun demikian, kamar mandi tersebut tidak disediakan kloset untuk membuang air besar. 

Ustaz Ahmad Sarwat dalam buku Mengenal Lebih Dekat Kehidupan Zaman Nabi SAW menjelaskan, meski Madinah merupakan daerah yang subur namun bukan berarti wilayah tersebut berlimpahkan air yang banyak sebagaimana wilayah-wilayah di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Jumlah curah hujan yang berbeda antara dua kawasan ini tentunya berpengaruh terhadap jumlah cadangan air bagi masyarakat yang hidup di dalamnya. 

Di masa Nabi, ketersediaan air baik itu di Makkah maupun Madinah berbeda dengan kondisi sekarang. Di Makkah meskipun ada sumur air zamzam yang airnya deras mengalir hingga sekarang, namun teknologi di masa itu masih amat sederhana. Pada masa itu, air sumur zamzam belum lagi dialirkan ke rumah-rumah penduduk. 

Sehingga penduduk Makkah meski tidak kekurangan air, namun secara teknis mereka tetap harus mengangkut air secara manual dari sumber air ke rumah mereka. Entah menggunakan kendi atau pun tempayan. Sehingga pola hidup masyarakat kala itu menjadi sangat hemat dalam menggunakan air. 

Dan karena tidak setiap rumah memiliki sumur, maka mereka amat sangat hemat menggunakan air. Salah satunya dengan cara tidak mandi rutin sehari dua kali. Saking perhitungannya, Ustaz Sarwat menyebut, umat Islam mengenal adanya hadis bagaimana hematnya Nabi ketika menggunakan air untuk berwudhu atau mandi janabah.

Jika Nabi mandi, airnya hanya satu sha alias 3,5 liter. Jika beliau berwudhu maka beliau hanya membutuhkan satu mud, atau kira-kira 0,7-0,8 liter air. Di dalam salah satu hadis, Rasulullah berwudhu hanya dengan satu mud. 

Rasulullah SAW bersabda, “Kaana Rasulullahi SAW yatawaddha-a bil-muddi wa yughtasilu bisshaa’i ila khamsatu amdaa-din,”. Yang artinya, “Rasulullah SAW berwudhu dengan satu mud air dan mandi dengan satu sha hingga lika mud air,” (HR Bukhari Muslim). 

IHRAM

2 Doa Akhir Tahun dan Awal Tahun dalam Islam Beserta Artinya

Doa akhir tahun Masehi 2022 sebenarnya tidak dijelaskan dalam hadits sabda Rasulullah SAW maupun dalil dalam syariat yang menetapkannya. Terlebih dibaca pada hari khusus tertentu seperti akhir tahun, seperti yang dikutip dari buku Koreksi Doa dan Zikir antara yang Sunnah dan Bid’ah oleh Bakr bin Abdullah Abu Zaid

Namun, ada doa akhir tahun Hijriah yang dapat dilafalkan pada akhir tahun yang bertepatan dengan hari ini, Jumat (31/12/2021). Doa ini bisa dibaca setelah salat ashar hingga sebelum memasuki waktu maghrib.

Melansir dari tulisan Ustadz Abdullah Faqih Ahmad Abdul Wahid dalam buku Kalender Ibadah Sepanjang Tahun, doa akhir tahun ini dibaca dengan harapan dapat terhindar dari godaan atau tipu daya setan dan diampuni dosanya setahun sebelumnya.

2 Doa Akhir dan Awal Tahun Masehi Beserta Artinya
1. Doa Akhir Tahun

– Membaca istigfar 11 kali

اَسْتَغْفِرُاللهَ الْعَظِيْمَ

Bacaan latin: Astaghfirullah ‘azhiim

Artinya: “Saya memohon ampunan kepada Allah yang Maha Agung”

– Membaca sholawat nabi 11 kali

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Bacaan latin: Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa muhammad

Artinya: “Ya Allah semoga sholawat tetap kepada junjungan kami, Nabi Muhammad.”

– Membaca ayat kursi 7 kali

اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Bacaan latin: allāhu lā ilāha illā huw, al-ḥayyul-qayyụm, lā ta`khużuhụ sinatuw wa lā na`ụm, lahụ mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ, man żallażī yasyfa’u ‘indahū illā bi`iżnih, ya’lamu mā baina aidīhim wa mā khalfahum, wa lā yuḥīṭụna bisyai`im min ‘ilmihī illā bimā syā`, wasi’a kursiyyuhus-samāwāti wal-arḍ, wa lā ya`ụduhụ ḥifẓuhumā, wa huwal-‘aliyyul-‘aẓīm

Artinya: “Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Maha hidup, Yang terus menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur. MilikNya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisiNya tanpa izinNya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmuNya melainkan apa yang Dia kehendaki. KursiNya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar.”

Lalu membaca doa akhir tahun dari kitab Maslakul Akhyar dari Sayid Utsman bin Yahya,

– Doa akhir tahun

اَللَّهُمَّ مَا عَمِلْتُ مِنْ عَمَلٍ فِي هَذِهِ السَّنَةِ مَا نَهَيْتَنِي عَنْهُ وَلَمْ أَتُبْ مِنْه وَحَلُمْتَ فِيْها عَلَيَّ بِفَضْلِكَ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى عُقُوبَتِي وَدَعَوْتَنِي إِلَى التَّوْبَةِ مِنْ بَعْدِ جَرَاءَتِي عَلَى مَعْصِيَتِكَ فَإِنِّي اسْتَغْفَرْتُكَ فَاغْفِرْلِي وَمَا عَمِلْتُ فِيْهَا مِمَّا تَرْضَى وَوَعَدْتَّنِي عَلَيْهِ الثّوَابَ فَأَسْئَلُكَ أَنْ تَتَقَبَّلَ مِنِّي وَلَا تَقْطَعْ رَجَائِ مِنْكَ يَا كَرِيْمُ

Bacaan latin: “Allahumma ma ‘amiltu min ‘amalin fi hadzihis sanati ma nahaitani ‘anhu, wa lam atub minhu, wa hamalta fiha ‘alayya bi fadhlika ba’da qudratika ‘ala ‘uqubati, wa da’autani ilat taubati min ba’di jara’ati ‘ala ma’shiyatik. Fa inni astaghfiruka, faghfirlî wa ma ‘amiltu fiha mimma tardha, wa wa’attani ‘alaihits tsawaba, fa’as’aluka an tataqabbala minni wa la taqtha’ raja’i minka ya karim.”

Artinya: “Ya Tuhanku, aku meminta ampun atas perbuatanku di tahun ini termasuk yang Engkau larang sementara aku belum sempat bertobat, perbuatanku yang Engkau maklumi karena kemurahanMu sementara Engkau mampu menyiksaku, dan perbuatan (dosa) yang Engkau perintahkan untuk tobat sementara aku menerjangnya yang berarti mendurhakaiMu. Karenanya aku memohon ampun kepadaMu, ampunilah aku. Ya Tuhanku, aku berharap Engkau menerima perbuatanku yang Engkau ridhai di tahun ini dan perbuatanku yang terjanjikan pahalaMu. Janganlah pupuskan harapanku, wahai Tuhan Yang Maha Pemurah.”
Baca juga:
Polda Metro Kerahkan 1.730 Personel untuk CFN Tahun Baru di Jakarta
2. Doa Awal Tahun

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ اَللَّهُمَّ اَنْتَ اْلاَ بَدِيُّ الْقَدِيْمُ اْلاَوَّلُ وَعَلَى فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ وَكَرَمِ جُوْدِكَ الْمُعَوَّلُ وَهَذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ اَقْبَلَ اَسْأَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَ
اَوْلِيَائِهِ وَالْعَوْنَ عَلَى هَذِهِ النَّفْسِ اْلاَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ وَاْلاِشْتِغَالِ بِمَا يُقَرِّبُنِى اِلَيْكَ زُلْفَى يَاذَالْجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ وَصَلَى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Bacaan latin: Bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Wa shallallaahu ‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa ‘aalihi wa shahbihii wa sallam. Allaahumma antal-abadiyyul-qadiimul-awwalu, wa ‘alaa fadhlikal-‘azhimi wujuudikal-mu’awwali, wa haadza ‘aamun jadidun qad aqbala ilaina nas’alukal ‘ishmata fiihi minasy-syaithaani wa auliyaa’ihi wa junuudihi wal’auna ‘alaa haadzihin-nafsil-ammaarati bis-suu’i wal-isytighaala bimaa yuqarribuni ilaika zulfa yaa dzal-jalaali wal-ikram yaa arhamar-raahimin, wa sallallaahu ‘alaa sayyidina Muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aalihi wa shahbihii wa sallam.

Artinya: “Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga Allah tetap melimpahkan rahmat dan salam (belas kasihan dan kesejahteraan) kepada junjungan dan penghulu kita Muhammad beserta keluarga dan sahabat Beliau. Ya Allah! Engkau Dzat Yang Kekal, yang tanpa Permulaan, Yang Awal (Pertama) dan atas kemurahan-Mu yang agung dan kedermawananMu yang selalu berlebih, ini adalah tahun baru telah tiba.

Kami mohon kepadaMu pada tahun ini agar terhindar (terjaga) dari godaan syetan dan semua temannya serta bala tentara (pasukannya), dan (kami mohon) pertolongan dari godaan nafsu yang selalu memerintahkan (mendorong) berbuat kejahatan, serta (kami mohon) agar kami disibukkan dengan segala yang mendekatkan diriku kepadaMu dengan sedekat-dekatnya. Wahai Dzat Yang Maha Luhur lagi Mulia, wahai Dzat Yang Maha Belas Kasih.”

Demikianlah bacaan lengkap doa akhir tahun dan awal tahun beserta artinya lengkap. Semoga bermanfaat, detikers.

Baca artikel detikedu, “2 Doa Akhir Tahun dan Awal Tahun dalam Islam Beserta Artinya” selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5878460/2-doa-akhir-tahun-dan-awal-tahun-dalam-islam-beserta-artinya.

Fikih Mesin Cuci; Suci tidak Harus Boros Air

Perkembangan teknologi dapat memudahkan segala pekerjaan manusia, termasuk dalam mencuci pakaian. Pada zaman modern ini, mencuci dengan mesin cuci adalah hal yang lumrah. Meski begitu, sebagian orang masih takut dan ragu mencuci dengan mesin cuci, karena khawatir ia tidak dapat menyucikan pakaian.

Kekhawatiran ini agaknya berangkat dari penjelasan sejumlah literatur fikih, bahwa cara menyucikan najis (yang mutawassithah) adalah dengan membuang najisnya kalau masih ada (najis ‘ainiyyah), lalu mengalirkan air pada bekas najis tersebut (najis hukmiyyah) sehingga najisnya hilang.

Kata “mengalirkan air” ini kadang disalahpahami, sehingga melahirkan sikap pemborosan air, bahkan di kalangan santri sekalipun. Padahal, Rasulullah Saw. sejak 14 abad lalu telah mengingatkan untuk tidak berlebihan menggunakan air.

Maka makna dari “mengalirkan air” ini perlu ditelisik lebih teliti, agar fikih tidak tampak seolah bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw., salah satu landasan hukum fikih itu sendiri.

Ada suatu kaidah yang masyhur dalam mazhab Syafi’i terkait menyucikan najis. Kaidah al-warid dan al-mawrud. Sesuatu yang al-warid (yang mendatangi) statusnya lebih dominan dibanding yang al-mawrud (yang didatangi).

Sebelumnya perlu diketahui bahwa kaidah ini hanya diaplikasikan ketika air yang digunakan untuk menyucikan najis kurang dari 2 qullah, sekitar 270 liter air. (lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 1/75).

Adapun jika volume air lebih dari 2 qullah, tidak ada pembedaan antara al-warid dan al-mawrud. Air 2 qullah dapat menyucikan benda bernajis. Baik dengan menyiramkannya kepada benda tersebut, atau dengan mencelupkan benda bernajis ke dalam air 2 qullah.

Praktek kaidah al-warid dan al-mawrud: ketika ada benda bernajis jatuh/dimasukkan ke dalam air yang kurang dari 2 qullah, maka yang menjadi al-warid adalah benda bernajis, dan yang menjadi al-mawrud adalah air. Dalam kasus ini, benda bernajis mendominasi air dan mengubah status air menjadi najis.

Sebaliknya, jika air dialirkan/disiramkan kepada benda bernajis, yang menjadi al-warid adalah air, dan benda bernajis menjadi al-mawrud. Dalam kasus ini, air dapat menyucikan benda bernajis tersebut.

Kaidah ini disimpulkan berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِيْ أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah mencelupkan tangannya ke dalam wadah air sampai ia membasuh tangannya tersebut, karena ia tidak tahu dimana tangannya semalam”. (H.R. Bukhari & Muslim)

Dalam hadis tersebut, Rasulullah Saw. memerintahkan umatnya agar tidak langsung mencelupkan tangannya ke wadah air untuk bersuci. Karena bisa saja tangannya menyentuh najis ketika sedang tidur. Artinya, tangan yang bernajis tersebut statusnya sebagai al-warid akan mengubah status air (al-mawrud) menjadi bernajis dan tidak dapat digunakan untuk bersuci.

Konsep al-warid dan al-mawrud ini merupakan pendapat mayoritas ulama mazhab Syafi’i. Jika air dialirkan kepada benda bernajis, benda tersebut menjadi suci. Sebaliknya jika benda bernajis dimasukkan ke air yang kurang dari 2 qullah, air berubah menjadi najis dan tidak dapat menyucikan benda bernajis tersebut. [lihat al-Rafi’i: al-Syarh al-Kabir, 245; al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab, 1/138].

Jika konsep al-warid dan al-mawrud ini diaplikasikan pada persoalan mencuci pakaian bernajis (najis hukmiyyah) dengan mesin cuci, maka cukup dengan cara meletakkan pakaian di tabung mesin cuci terlebih dahulu. Lalu mengalirkan air tanpa mencampurnya dengan detergen. Dengan cara ini, pakaian sudah suci. Baru selanjutnya membuang air yang dialirkan tadi, kemudian mencuci seperti biasa.

Opsi kedua adalah dengan cara mencuci dengan air dan detergen seperti biasa. Lalu saat hendak membilas, air detergen dibuang habis. Kemudian pakaian dialirkan air untuk membilas dan menyucikannya.

Kedua cara ini sudah cukup untuk mengubah status pakaian bernajis menjadi suci, walaupun air yang digunakan hanya sedikit. Suci tidak mesti boros air. Kalau memang cara menyucikan najis butuh banyak air, tentu akan menyulitkan orang-orang yang tinggal di negeri gersang.

Saking pentingnya hemat air, ada sebagian ulama mazhab Syafi’i yang bersikap lebih longgar perihal menyucikan najis. Salah satunya imam Ibnu Suraij. Menurut beliau, ketika benda bernajis dimasukkan ke dalam air yang kurang dari 2 qullah, benda bernajis tersebut dapat berubah menjadi suci. Asalkan memang diniatkan untuk menyucikannya. Jika tidak ada niat untuk menyucikan, konsep al-warid dan al-mawrud tetap berlaku. [lihat Ibnu Shalah: Syarh Musykil al-Wasith, 1/88].

Oleh karenanya, tidak perlu lagi ada kekhawatiran bahwa mencuci dengan mesin cuci tidak dapat menyucikan pakaian bernajis. Asalkan dengan cara mengalirkan air kepada pakaian bernajis, pakaian akan suci. Meskipun air yang digunakan hanya sedikit.

Bahkan jika dengan cara sebaliknya pun, misal memasukkan pakaian ke dalam tabung mesin yang sudah diisi air, pakaian bisa suci. Asalkan diniatkan untuk menyucikannya, sebagaimana pandangan imam Ibnu Suraij. Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG MUSLIMAH

Tata Cara Bersuci bagi Penyandang Disabilitas

Salah satu syarat sah melakukan ibadah adalah suci dari najis dan hadas. Maka hal yang harus dipelajari oleh setiap muslim saat ia menjadi mukallaf (seseorang yang terkena kewajiban ibadah) adalah tata cara bersuci. Tapi bagaimana dengan suadara muslim yang memiliki kesulitan bersuci dan istjina` yang menjadi penyandang disabilitas? Sedangkan bagi mereka, selama akal pikiran sehat, tetaplah masuk kategori mukallaf.

Tentunya, orang-orang penyandang disabilitas memiliki kemampuan berbeda untuk melakukan tata cara bersuci. Bahkan bisa jadi, tidak sesempurna saudara muslim lainnya. Sebenarnya, para ulama sudah banyak membahas kajian fikih bagi penyandang disabilitas dengan mengangkat beberapa kasus. Mereka mengkajinya dengan menerapkan teori dan kaidah fikih yang ada.

Dalam kajian fikih, seseorang yang tidak mampu bersuci dengan dirinya sendiri, ia boleh dibantu oleh pasangan halalnya atau mahramnya. Jikalau mereka tidak memiliki mahram, maka dibolehkan untuk tetap melanjutkan bersuci semampunya, sebagaimana pendapat ulama Mazhab Hanafi dan Maliki.

Dijelaskan dalam kitab Rad al-Mukhtar karya Ibnu Abidin dari kalangan ulama Mazhab Hanafi, pada halaman 341 juz 1 terbitan Dar al-Fikr,

فِي التَّتَارْخَانِيَّة: الرَّجُلُ الْمَرِيضُ إذَا لَمْ تَكُنْ لَهُ امْرَأَةٌ وَلَا أَمَةٌ وَلَهُ ابْنٌ أَوْ أَخٌ وَهُوَ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْوُضُوءِ قَالَ يُوَضِّئُهُ ابْنُهُ أَوْ أَخُوهُ غَيْرَ الِاسْتِنْجَاءِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَمَسُّ فَرْجَهُ وَيَسْقُطُ عَنْهُ وَالْمَرْأَةُ الْمَرِيضَةُ إذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا زَوْجٌ وَهِيَ لَا تَقْدِرُ عَلَى الْوُضُوءِ وَلَهَا بِنْتٌ أَوْ أُخْتٌ تُوَضِّئُهَا وَيَسْقُطُ عَنْهَا الِاسْتِنْجَاءُ. اهـ. وَلَا يَخْفَى أَنَّ هَذَا التَّفْصِيلَ يَجْرِي فِيمَنْ شُلَّتْ يَدَاهُ؛ لِأَنَّهُ فِي حُكْمِ الْمَرِيضِ

“dalam kitab Tatarkhaniyah disebutkan: seorang laki-laki yang sakit dan tidak memiliki istri atau budak perempuan tetapi mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki sedangkan dia sendiri tidak mampu untuk wudhu, maka anak dan saudaranya itu boleh membantunya berwudhu tetapi tidak boleh membantunya istinja` sebab mereka tidak boleh memegang kemaluannya. Istinja` itu sendiri gugur kewajibannya dari lelaki tersebut.

Seseorang perempuan yang sakit yang tidak mempunyai suami, sedangkan dia tidak mampu untuk berwudhu tetapi memiliki anak perempuan atau saudara perempuan maka boleh dibantu oleh mereka untuk berwudhu dan ia gugur kewajibannya untuk istinja`. Dan sudah jelas bahwa perincian ini juga berlaku bagi orang yang terpotong kedua tangannya sebab dia sama hukumnya dengan orang sakit.

Bahkan dalam Bughyat al-Musytarsyidin karya Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-hadramy, salah satu rujukan Mazhab Syafi’i, mendukung pengikut mazhabnya (seperti mayoritas muslim Indonesia) untuk mengikuti Mazhab Hanafi saat dalam keadaan seperti ini. Meskipun dalam pandangan Mazhab Syafi’i beberapa syarat bersuci yang dilakukan oleh penyandang disabilitas tersebut tidak sah.

Sebab, ulama Mazhab Hanafi menyatakan, seperti yang dikutip dalam Bughyat al-Musytarsyidin,

وقال أبو حنيفة : لا يفترض عليه مطلقاً ، لأن المكلف عنده لا يعد قادراً بقدرة غيره ، وعليه لو تيمم العاجز عن الوضوء بنفسه ، أو صلى بنجاسة أو إلى غير القبلة مع وجود من يستعين به ولم يأمره صحت

Imam Abu Hanifah berkata, secara mutlak tidak wajib baginya (penyandang disabilitas) untuk meminta bantuan (tersebut) karena seorang mukallaf tidak bisa disebut mampu apabila kemampuannya harus dibantu oleh orang lain. Jika ia bertayammum untuk menggantikan wudhunya, atau shalat dengan membawa najis atau tidak menghadap kiblat, sedangkan bersamaan dengan itu ada orang yang bisa membantunya tapi ia tidak meminta bantuan maka sah shalatnya.

Pandangan beliau terkait dengan pengertian mukallaf itu sendiri, sehingga seorang muslim yang mukallaf diwajibkan melaksanakan kewajiban ibadahnya sesuai kemampuannya saja.

Demikian penjelasan mengenai tata cara bersuci, termasuk istinja` bagi penyandang disabilitas. Islam tidaklah menyulitkan umatnya untuk tetap beribadah. Semua dilakukan sesuai kemampuannya saja seperti yang sudah dijelaskan. Tapi bukan berarti memudahkan, hanya saja ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan oleh penyandang disabilitas untuk bersuci dari najis atau hadas.

BINCANG MUSLIMAH

Perbanyak Dzikir untuk Tingkatkan Emosi Positif

Umat Islam perlu mengelola emosi dengan dzikir.

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia menjadi ujian yang perlu dihadapi dengan bijaksana. Virus tersebut bukan hanya menyerang jasmani, namun juga menguji pikiran dan emosi.

Ustazah Aisah Dahlan dalam virtual Zikir Nasional 2021 yang diselenggarakan Republika dengan tema “Terus Membersamai Kebaikan”, Jumat (31/12), memyampaikan pentingnya bagi umat Islam untuk mengelola emosi. Terlebih di dalam kondisi yang masih tegang akibat pandemi Covid-19.

“Kita harus menyadari betapa sangat pentingnya mengelola emosi agar kita dapat menjalani ujian sebaik-baiknya,” kata Ustazah Aisah. 

Bicara emosi, kata dia, di di bagian tengah otak manusia berfungsi sebagai sebuah sistem yang mengatur emosi. Sistem ini mengatur berbagai macam emosi, yang mana para ilmuwan sering menyebutnya sebagai otak mamalia. 

Di dalam otak tengah inilah beragam emosi diatur. Mulai dari emosi negatif seperti marah, prasangka, sombong, dan lainnya. Kemudian ada juga emosi positif seperti damai dan pencerahan. Kedua emosi ini sejatinya menurut dia dapat dikelola. 

Maka sejatinya, kata dia, umat Islam perlu belajar untuk mengelola emosi agar dapat menaikkan level emosinya ke tingkat yang lebih positif. Sebab dalam Islam diketahui bahwa orang yang pandai mengelola emosinya maka dia juga pandai mengelola hawa nafsunya. 

Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai jihad apakah yang paling besar, maka beliau bersabbda, “Jihadunnafsi,”. Yang artinya, “Jihad (memerangi) hawa nafsu,”. 

Ustazah Aisah menyampaikan, salah satu cara untuk dapat menaikkan level emosi ke tingkat yang lebih positif adalah dengan memperbanyak tahlil maupun zikir. “Ternyata dengan menyebut kalimat-kalimat tersebut maka emosi kita naik kembali ke level yang positif, yaifu yang muthmainnah (tenang dan damai),” ujar dia. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Pemberlakuan Kembali Jaga Jarak di Arab Saudi Disambut Positif

Pemberlakuan kembali social distancing di Arab Saudi mendapatkan respons positif dari sejumlah asosiasi penyelenggara haji dan umroh di Indonesia.  

Ketua Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) Firman M Nur, menilai langkah ini merupakan bentuk komitmen Pemerintah Arab Saudi terhadap keselamatan dan kesehatan jamaah haji. Untuk itu semua pihak perlu menghormati kebijakan Pemerintah Arab Saudi ini.

“Ini bagian daripada komitmen Pemerintah Saudi Arabia dan khususnya komitmen pengurus masjid haram dan nabawi tentang kepastian menjaga keselamatan dan kesehatan jamaah dalam menunaikan ibadah di dua masjid suci tersebut,” kata Firman saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (30/12).

Firman mengatakan, Amphuri mengapresiasi kebijakan ini, karena bagian dari pada untuk mastikan jamaah bisa selalu melaksanakan ibadah dengan khusyuk, nyaman dan tetap memperhatikan kesehatan para jamaah. Firman berharap kebijakan ini tidak menutup kembali umroh bagi warga negara asing termasuk Indonesia.

“Kita berharap kondisi ini tetap memberi kesempatan kepada jamaah asal Indonesia untuk tetap bisa menunaikan ibadah umrah ke tanah susi,’ katanya.

Firman memastikan, jamaah Indonesia akan selalu mengikuti semua aturan yang telah ditetapkan Pemerintah Arab Saudi dan Indonesia. Hal ini karena jamaah mengetahui aturan tersebut demi keselamatan jamaah.

“Karena Insya Allah jamaah asal indonesia akan selalu patuh dan tunduk serta mengikuti semua ketentuan prosedur yang ada,” katanya.

Firman mengatakan, Amphuri telah mengirim utusan di tim advance untuk memastikan bagaimana tata laksana, prosedur serta ketentuan umroh di masa pandemi. 

Nantinya tim advance ini akan menyampaikan kepada masing-masing jamaahnya bagaimana pelaksanaan ibadah umroh sesuai dengan protokol Covid yang telah ditetap Arab Saudi, dan Kementerian Haji. “Ataupun ketentuan dari penanggung jawab dua masjid suci,” katanya.

Firman memastikan, setelah megirimkan anggotanya, selanjutnya Amphuri akan memberangkatkan pimpinan penyelenggara umroh PPIU anggota Amphuri. 

Tujuannya sama untuk memastikan lagi secara detail, dan  lebih dalam lagi tentang bagaimana ketentuan umroh di masa pandemi bisa dijalankan.

Menurutnya, target pertama dari kebarangkatan ini, agar semua penyelenggara anggota Amphuri yang akan berangkat menunaikan ibadah umroh mengetahui hasil dari uji coba.  

Mereka jadi bisa langsung mengetahui realita di lapangan, untuk kemudian bisa mencatat dan menyampaikannya kepada calon jamaah haji.

“Kami akan melakukan evaluasi bersama kemudian akan kita sosialisasikan kepada calon jamaah ini akan berangkat ke tanah suci,” katanya.

Dengan demikian mudah-mudah jamaah dapat menjalankan ibada haji penuh percaya diri, karena sudah tidak takut lagi akan masalah yang disebabkan pandemi. Untuk itu sosialisasi hasil peninjauan umroh di masa pandemi ini perlu dilakukan.

“Insya allah lebih akan lebih terbangun confident yang baik daripada calon jamaah yang akan berangkat. Karena mereka telah memiliki pengetahuan dan pelayanan yang baik, sehingga ibadah mereka dapat dilaksanakan secara maksimal danmendapatkan umroh maqbul. Insya Allah,” katanya.

Hal senada disampaikan Gabungan Pengusaha Haji dan Umroh Nusantara (Gaphura). “Kita hormati aturan itu,” kata Anggota Pembina Gaphura, Muharom Ahmad, saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (30/12).

Muharom mengatakan, tujuan diberlakukannya kembali jaga jarak di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi itu demi keselamatan dan kesehatan umum. Khususnya bagi jamaah yang melakukan umroh.

“Tujuannya demi keselamatan dan kesehatan umum, termasuk jamaah umrah, baik oleh otoritas di Arab Saudi maupun di Indonesia,” katanya.

Muharom mengingatkan, setiap terjadi bencana, maka embalilah kepada kaidah bahwa di antara tujuan syariat Islam adalah melindungi jiwa manusia. 

Maka pemberlakuan 3 M (mencuci tangan, menggunakan masker dan menjaga jarak) saat menjalani perjalanan dan ibadah umrah patut tetap dilaksanakan. “Bahkan aturan teranyar adalah wajib karantina institusi selama lima hari saat kedatangan di Arab Saudi,” ujarnya.

Muharom berharap, Pemerintah Arab Saudi dan Indonesia setelah habis tahun 2021 merubah kebijakan waktu karantina, dari lima hari menjadi tiga hari. Karena lamanya karantina mempengaruhi minat jamaah berangkat umroh.

“Gaphura berharap semoga setelah pergantian tahun kebijakan karantina ketibaan baik di Arab Saudi maupun Indonesia bisa kembali ke tiga hari. Karena durasi karantina ini yang sangat mempengaruhi minat atau tidaknya jamaah berangkat umroh,” katanya.

Untuk itu kata dia, Gaphur mempertimbangkan keberangkatan jamaah umrah setelah kebijakan kedua pemerintah lebih ringan dalam karantina. Karena hal itu merupakan ukuran manfaat atau mudharatnya perjalanan internasional. “Termasuk perjalanan umroh,” katanya. 

IHRAM