Ayat Alquran yang Biasa Menjadi Legitimasi Kekerasan Terhadap Perempuan

Islam seringkali dituduh sebagai agama yang melanggengkan praktik patriarki. Beberapa ayat Alquran dan hadis Nabi dituding penuh dengan nilai superioritas laki-laki. Ditambah lagi, penjelasan dari para ulama klasik yang masih cenderung tidak berpihak pada pengalaman perempuan.

Buya Husein dalam bukunya, “Islam Agama Ramah Perempuan” menyebutkan setidaknya ada dua ayat yang menjadi legitimasi laki-laki bahkan perempuan membenarkan tindakan kekerasan kepada perempuan, baik dalam relasi suami dan istri, ayah dan anak atau relasi lainnya.

Ayat pertama adalah surat an-Nisa ayat 34,

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ

Artinya: Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya

Secara eksplisit, menurut Buya Husein, ayat ini menujukkan superioritas laki-laki atas perempuan. Kelebihan laki-laki atas kemampuan mencari harta dijadikan alasan atas sikap superior dan relasi yang tidak seimbang, bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua. Atas ayat ini, para ulama klasik hampir seluruhnya menyetujui superioritas laki-laki sebagai pandangan Islam.

Maka pemahaman dengan cara pandang ini dituangkan oleh para ulama klasik dalam fatwa-fatwa keagamaan. Lebih dari itu, narasi yang disampaikan oleh para pendakwah di setiap khutbah juga mendukung narasi seperti ini. Sehingga, Islam terkesan sebagai agama yang hanya mementingkan pihak laki-laki.

Ayat berikutnya adalah surat al-Baqoroh ayat 228,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

Artinya: Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka.

Senada dengan ayat 34 surat an-Nisa, ayat ini juga secara eksplisit mendukung superioritas laki-laki atas perempuan. Dua ayat ini, oleh para ulama klasik yang kemudian menjadi rujukan utama para pendakwah, melahirkan pemahaman domestikasi terhadap perempuan. Dalam ranah publik pun, perempuan juga sering diposisikan secara tidak adil. Dianggap tidak bisa memimpin, tidak bisa berpikir logis, dan sering diberi jabatan atau posisi yang sifatnya domestik semata.

Masih pada ayat 34 surat an-Nisa, pembenaran akan tindakan kekerasan juga seolah didukung oleh ayat ini,

وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا

Artinya: Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya.

Para ulama klasik menafsirkan ayat ini sebagai kebolehan untuk memukul istri yang nusyuz. Nusyuz diartikan sebagai sikap istri yang membangkang seperti tidak mau diajak berhubungan intim, tidak menjawab panggilan, dan mengucapkan kata kasar.

Kata ad-Dharb dalam beberapa kamus yang menjadi rujukan para penafsir dimaknai dengan “memukul”. Meskipun beberapa catatan dari para ulama tentang praktik memukul seperti tidak boleh melukai, tidak boleh dengan benda tajam, tetap saja ayat ini ditunjukkan atas kebolehan memukul istri.

Bagaimana seharusnya memahami ayat-ayat tersebut?

Rekontruksi tafsir terhadap ayat Alquran yang biasa menjadi legitimasi kekerasan terhadap perempuan kini dilakukan oleh banyak ulama kontemporer. Pengkajian ayat secara holistik dan pendekatan sosial dikedepankan agar mendapatkan makna yang dalam dan adil gender, sesuai pesan-pesan Alquran yang sesungguhnya dan ajaran dimaksudkan oleh Nabi Muhammad.

Buya Husein, dalam buku “Perempuan, Islam & Negara” menyebutkan Islam menyediakan dua kategori teks. Keduanya ialah universal dan particular. Teks universal adalah teks yang mengandung pesan-pesan kemanusiaan untuk setiap manusia di segala ruang dan waktu. Ulama tersohor kita, Imam Ghazali menyebutnya dengan al-Kulliyat al-Khams yang mengandung hak-hak asasi manusia. Kelimanya adalah hifz ad-Din (perlindungan terhadap keyakinan), hifz an-nafs (perlindungan hak hidup), hifz al-Aql (perlindungan kebebasan berpikir), hifz an-nasl (perlindungan bereproduksi dan kehormatan diri) dan hifz al-mal (perlindungan atas hak milik).

Adapun ayat partikular, menurut penjelasan Buya Husein adalah ayat yang menunjukkan kasus tertentu. Sifatnya tidak permanen dan merespon pada kasus tertentu saja. Misal, ayat-ayat tentang kepemimpinan, perwalian dikategorikan sebagai ayat yang partikular (mutasyabihat) yang melahirkan pandangan yang berbeda di kalangan para penafsir.

Mayoritas ulama mengatakan, jika ada dua ayat universal dan partikular bertentangan maka dahulukanlah ayat partikular. Tapi Imam as-Syatibi menolak pandangan itu. Dalam al-Muwafaqat, Imam as-Syatibi menyebutkan bahwa ayat universal itu bersifat normatif sedang yang partikular bersifat relative. Maka teks universal lebih didahulukan daripada yang partikular.

Seperti ayat tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan pada surat an-Nisa ayat 34 bertentangan dengan surat al-Hujurat ayat 13,

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”

Ayat pertama menunjukkan teks partikular sedangkan ayat berikutnya, al-Hujurat ayat 39 bersifat universal yang menyatakan kesetaraan manusia di hadapan Allah. Maka Imam as-Syatibi mendahulukan teks universal dan mengatakan bahwa ayat kepemimpinan sifatnya khsusus dan sosiologis serta belaku kontekstual.

Ayat-ayat lain yang menunjukkan nilai universal dan cara berelasi dengan manusia secara adil dan setara juga terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 11,

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman.”

Hal paling penting dalam memahami ayat Alquran yang biasa menjadi legitimasi kekerasan terhadap perempuan adalah dengan meninjau kembali dan melakukan pendekatan yang berbeda. Selain itu, nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan cinta adalah visi yang dibawa oleh Nabi Muhammad atas perintah Allah. Tidaklah masuk akal apabila dikatakan ayat-ayat Alquran melanggengkan tindakan kekerasan terhadap perempuan. Wallahu a’lam.

BINCANG MUSLIMAH

Hukum Menggabungkan Puasa Rajab dengan Qadha Ramadhan

Berpuasa di Rajab merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan sebagaimana bulan-bulan mulia lainnya (Muharram, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah). Sekalipun tidak ada hadis shahih yang secara khusus menjelaskan fadilah puasa Rajab, namun kesunnahan puasa Rajab sudah termasuk dalam dalil anjuran berpuasa secara umum dan anjuran berpuasa di bulan-bulan mulia. Yang menjadi pertanyaan adalah ketika sebagian orang masih memiliki tanggungan hutang puasa Ramadhan, apakah ia boleh menggabungkan niat puasa Rajab dengan puasa qadha ramadhan?

Puasa sunnah Rajab sebagaimana puasa sunnah lainnya sah (boleh) dilakukan dengan niat berpuasa secara mutlak, tidak disyaratkan menentukan jenis puasanya (ta’yin). Contohnya dengan niat “Saya berniat puasa karena Allah”, tidak wajib menambahkan lafadz “Karena melakukan kesunnahan puasa Rajab”. 

Sedangkan puasa qadha Ramadhan tergolong puasa wajib yang harus ditentukan jenis puasanya (ta’yin), contoh dengan niat “Saya niat berpuasa qadha Ramadhan fardu karena Allah”.

Menggabungkan (tasyrik) niat puasa Rajab dengan puasa qadha Ramadhan hukumnya adalah sah dan pahala keduanya bisa didapatkan. Bahkan menurut Syaikh Al-Barizi, meski hanya niat mengqadha puasa Ramadhan, secara otomatis pahala berpuasa Rajab bisa didapatkan.

Hal ini sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Hasyiyah I’anah At-Thalibin [Juz 2, Hal: 224] karya Syaikh Syata’ Ad-Dimyati, sebagaimana berikut,

 وبالتعيين فيه النفل أيضا فيصح ولو مؤقتا بنية مطلقة كما اعتمده غير واحد  (وقوله ولو مؤقتا) غاية في صحة الصوم في النفل بنية مطلقة أي لا فرق في ذلك بين أن يكون مؤقتا كصوم الاثنين والخميس وعرفة وعاشوراء وأيام البيض أو لا كأن يكون ذا سبب كصوم الاستسقاء بغير أمر الإمام أو نفلا مطلقا   (قوله بنية مطلقة ) متعلق بيصح فيكفي في نية صوم يوم عرفة مثلا أن يقول نويت الصوم  ( قوله كما اعتمده غير واحد) أي اعتمد صحة صوم النفل المؤقت بنية مطلقة  وفي الكردي ما نصه في الأسنى ونحوه الخطيب الشربيني والجمال الرملي الصوم في الأيام المتأكد صومها منصرف إليها بل لو نوى به غيرها حصلت إلخ زاد في الإيعاب ومن ثم أفتى البارزي بأنه لو صام فيه قضاء أو نحوه حصلا نواه معه أو لا  وذكر غيره أن مثل ذلك ما لو اتفق في يوم راتبان كعرفة ويوم الخميس  انتهى 

“Dan dikecualikan dengan pensyaratan ta’yin (menentukan jenis puasa) dalam puasa fardlu, yakni puasa sunnah, maka sah hukumnya berpuasa sunnah dengan niat puasa mutlak, meski puasa sunnah yang memiliki jangka waktu sebagaimana pendapat yang dipegang oleh lebih dari satu ulama.

“Perkataan Syaikh Zainuddin, meskipun puasa sunnah yang memiliki jangka waktu, ini adalah puncak kebolehan puasa sunnah dengan niat puasa mutlak, maksudnya tidak ada perbedaan dalam ke-sah-an tersebut antara puasa sunnah yang berjangka waktu seperti puasa hari Senin-Kamis, Arafah, Asyura’ dan hari-hari tanggal purnama. Atau selain puasa sunnah yang berjangka waktu, seperti puasa yang memiliki sebab, sebagaimana puasa istisqa’ dengan tanpa perintah imam, atau puasa sunnah mutlak”. 

“Ungkapan Syaikh Zainuddin, dengan niat puasa mutlak, maka cukup dalam niat puasa Arafah dengan niat semisal, saya niat berpuasa.”  

Khatib Al-Syirbini dan Syaikh Jamal Al-Ramli, berpuasa di hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa secara otomatis tertuju pada hari-hari tersebut, bahkan apabila seseorang berniat puasa beserta niat puasa lainnya, maka pahala keduanya berhasil didapatkan. 

Dalam kitab Al-I’ab ditambahkan, dari kesimpulan tersebut, Syaikh Al-Barizi berfatwa bahwa apabila seseorang berpuasa qadha (Ramadhan) atau lainnya di hari-hari yang dianjurkan berpuasa, maka pahala keduanya bisa didapat, baik disertai niat berpuasa sunnah atau tidak. Ulama lain menyebutkan, demikian pula apabila berketepatan bagi seseorang dalam satu hari dua puasa rutin, seperti puasa hari Arafah dan puasa hari Kamis.

Itulah penjelasan perihal hukum menggabungkan niat puasa Rajab dan puasa qadha Ramadhan. Wallahu A’lam.

BINCANG MUSLIMAH

KJRI Jeddah : Paket Karantina dan PCR di Arab Saudi Senilai Rp 8 Juta

Biaya yang harus dikeluarkan untuk paket karantina di Arab Saudi. Rata-rata, untuk lima hari karantina menghabiskan biaya sekitar Rp 8 hingga 10 juta.

“Paket karantina termasuk dua kali tes PCR di Arab Saudi antara 1.500 hingga 5.000 riyal atau sekitar Rp 5,7 juta hingga Rp 19,1 juta,” kata Konsul Jenderal (Konjen) RI Jeddah, Eko Hartono, saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (23/2/2022). 

Kisaran biaya ini disebut bergantung pada pilihan hotel yang digunakan untuk karantina. Namun, sejauh ini rata-rata biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 8 juta hingga 10 juta.

Eko lantas menyebut, selama ini dalam pelaksanaan umrah, jamaah melakukan tes PCR sebanyak tiga kali, hal ini terhitung mulai dari kedatangan hingga kepulangan.

Terakhir, dia menyebut sejauh ini masih belum ada informasi pasti tentang pelaksanaan ibadah haji, termasuk pengaturannya. Namun, sudah beredar kabar jika haji tetap akan dilakukan. 

“Masih belum pasti walau ada informasi bahwa haji akan diadakan. Tapi kuota dan pengaturannya masih belum jelas,” lanjutnya. 

Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Sistem Informasi Haji Terpadu (SIHDU) Ditjen PHU, Jaja Jaelani, sebelumnya menyebut kenaikan besaran BPIH disebabkan adanya biaya prokes jamaah dan kenaikan biaya penerbangan. 

“Berkaitan dengan kenaikan BPIH tahun ini menjadi 45 juta, hal ini dikarenakan adanya biaya prokes yang cukup besar yakni sekitar 7,6 juta, yang mana pada tahun 2020 itu tidak ada,” kata dia dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Senin (21/2/2022). 

Selanjutnya, kenaikan BPIH ini berkaitan dengan kenaikan biaya penerbangan dan juga ada kenaikan biaya operasional di Arab Saudi maupun di Tanah Air. 

Rincian komponen biaya prokes jamaah haji tahun ini meliputi biaya tes Swab PCR di Asrama Haji sebanyak dua kali, saat keberangkatan ke Arab Saudi dan setibanya di Tanah Air. Tes Swab PCR juga dilakukan di Arab Saudi sebanyak tiga kali, saat tiba, karantina dan akan pulang ke Tanah Air. 

Akomodasi dan konsumsi selama lima hari karantina di Jeddah dan akomodasi dan konsumsi di Asrama Haji setiba dari Arab Saudi juga menjadi komponen lain dalam hal prokes tersebut.  

IHRAM

Flexing Ala Sultan, Begini Penjelasan Quraish Sihab tentang Tahaddus Bin Ni’mah

Belakangan ini marak suatu istilah populer yang dinamakan flexing. Flexing sendiri berarti pamer kekayaan. Hal yang dipamerkan bisa berupa saldo rekening, kendaraan mewah, tas langka, jam branded, outfit mahal, liburan ke luar negeri, parfum mahal dan lainnya. 

Tren flexing bahkan berubah menjadi semacam tingkah konyol dengan membuang uang, melempar gadget mahal dan menghancurkan barang mewah lainnya. Growth Stefany, seorang psikolog klinis, sebagaimana dilansir dalam kompas.com membagi motif pamer menjadi dua hal. 

Pertama, pamer disebabkan ada hal yang ingin dibanggakan dan mencoba membagikaannya kepada orang lain. Kedua, disebabkan rasa insecurity atau merasa ada yang kurang dalam dirinya. Sehingga dia merasa perlu menyembunyikan insecurity dengan memamerkan pencapaian. 

Fenomena flexing ini tentu saja perlu disoroti lebih lanjut dalam kajian al-Quran.  Al-Quran yang merupakan pedoman setiap muslim dalam menjalani roda kehidupan, tentulah selalu bisa menemukan kontekstualisasinya dalam setiap jaman.  Berkenaan dengan pamer online atau flexing ini, Allah berfirman dalam QS. al-Dzuha [93]:11

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur)”.

Berkaitan ayat ini, Prof. Quraish Shihab menjelaskan pendapat ulama yang menyatakan bahwa, pembicaraan (tahaddus) disini haruslah dapat mencitrakan kesyukuran tentang nikmat tersebut. Sehingga ayat ini dapat ditafsirkan, “Adapun nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau syukuri.” 

Quraish Shihab menambahkan bahwa termasuk bentuk pengejawantahan bersyukur adalah menyebut nikmat Tuhan dengan disertai kepuasan serta menghindari perasaan riya’ dan bangga. 

Al-Qurtubi bahkan, tutur Quraish Shihab, mengutip suatu riwayat yang isinya tidak hanya membatasi bentuk penyampaian anugerah yang bentuknya material, akan tetapi juga dalam hal immaterial seperti kedudukan dan nama baik serta pelaksanaan ibadah. 

Riwayat yang dikemukakan al-Qurthubi berasal dari Sayyidina al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang menyatakan: “Jikalau dirimu mendapatkan kebajikan atau melakukan kebaikan maka kabarkanlah hal tersebut kepada saudara yang engkau percaya”. 

Pembicaraan nikmat dalam konteks ini tentulah diperbolehkan dengan catatan tidak diikuti perasaan ingin disanjung dan merasa bangga. Hal tersebut dapat dibenarkan bahkan dianjurkan karena bisa memicu pendengarnya untuk melaksanakan kebajikan atau ibadah serupa. 

Menceritakan anugerah Allah tidak terbatas hanya dalam bentuk oral semata, namun juga mencakup dalam bentuk sikap praktis. Hadis lain yang menguatkan kesimpulan ini diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i. 

Beliau meriwayatkan bahwa suatu ketika Malik Ibn Nadhrah al-Jusyami bersandingan dengan Nabi. Melihat pakaian Malik yang sangat jelek, Nabi pun bertanya: “Apakah engkau mempunyai harta?” Malik menjawab: “Saya punya berbagai harta”. 

Nabi pun lalu menasehatinya :”Bila Allah menganugerahkanmu harta, maka baiknya terlihat tanda/bekas anugerahnya pada dirimu.” Nabi dalam suatu riwayat bersabda: “Sesungguhnya Allah Mahaindah, menyukai keindahan dan suka bila melihat tanda/bekas nikmat (anugerah-Nya) kepada hamba-Nya.” 

Terdapat juga pakar tafsir yang menafsirkan kata haddits dengan makna “perintah menyampaikan secara lisan.” Hanya Saja, mereka menafsirkan kata ni’mah dalam pengertian yang terbatas kepada ajaran agama atau wahyu Allah.

Penafsiran tersebut didasarkan fakta bawa agama atau petunjuk Allah jika diperbandingkan dengan kelebihan, kesenangan dan kenyamanan apapun yang manusia peroleh tidak mempunyai arti tanpa disertai nikmat agama.  Sebaliknya, seberat apapun beban kehidupan seseorang, jika ia telah mengecap manisnya nikmat agama, semua cobaan akan terasa ringan.

Menyimak penjelasan Prof. Quraish Shihab tersebut, kita bisa simpulkan bahwa pamer terhadap kenikmatan Allah pada dasarnya dianjurkan, dengan catatan mempunyai tendensi untuk memotivasi pendengar.  

Pada akhirnya, Flexing adalah sesuatu yang netral. Positif negatifnya tergantung pada niat masing-masing. Jika niatnya baik, maka menjadi baik. Jika buruk, maka menjadi buruk. Jika ditilik lebih dalam kenetralan Flexing senada dengan konteks menampakkan dan menyembunyikan sedekah, Allah berfirman dalam QS al-Baqarah[2]: 271

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Jika kamu menampakkan sedekahmu, itu baik. (Akan tetapi,) jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, itu lebih baik bagimu. Allah akan menghapus sebagian kesalahanmu. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Kendati flexing bersifat netral, akan tetapi fenomena di media sosial acapkali berkonotasi negatif. Sehingga kita perlu merenungi rentetan ayat yang mengisahkan Qarun, pelaku flexing dengan tujuan menyombongkan diri. Allah berfirman dalam QS. al-Qashash [28]: 76-83, yakni menceritakan nasib Qarun. Yang pada ujungnya mendapatkan adzab. 

BINCANG SYARIAH

Tafsir Ringkas Surah Al-Fatihah (Bag. 3)

Bismillah walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,Daftar Isisembunyikan 1. Tafisr surah Al-Fatihah ayat keenam 1.1. Faedah ayat keenam 1.2. Kesimpulan tafsir ayat keenam 2. Tafsir surah Al-Fatihah ayat ketujuh 2.1. Kesimpulan tafsir ayat ketujuh

Tafisr surah Al-Fatihah ayat keenam

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

Maksud (ٱهۡدِنَا)

adalah memohon seluruh macam petunjuk (hidayah) Allah.

Karena firman Allah Ta’ala

(ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) ini mengandung makna yang menyeluruh, yaitu:

Pertama, teguhkanlah kami di atas agama Islam.

Kedua, tunjukilah kami perincian agama Islam, baik ilmu syar’i maupun pengamalannya.[1]

Oleh karena inilah, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan bahwa maksud ayat ini adalah berilah kami petunjuk, taufik, dan ilham.[2]

Sedangkan macam-macam hidayah Allah dalam ayat keenam ini, yaitu:

Ditinjau dari sisi ilmu dan amal, maka hidayah Allah Ta’ala dalam ayat yang agung ini terbagi dua, yaitu:[3]

Pertama, hidayatul irsyad berupa ilmu syar’i.

Kedua, hidayatut taufiq berupa amal saleh.

Ditinjau dari sisi Islam dan perinciannya, maka hidayah Allah Ta’ala dalam ayat yang agung ini terbagi dua, yaitu:

Pertama, hidayah agar istikamah tetap di atas agama Islam dan meninggalkan agama selainnya dan perkara yang membatalkan keislaman, berupa kesyirikan dan kekafiran. Oleh karena inilah, Ali radhiyallahu ‘anhu menafsirkan (ٱهۡدِنَا) dengan “Teguhkanlah kami”.[4]

Kedua, hidayah berupa tambahan petunjuk dalam bentuk perincian ajaran Islam, baik ilmu syar’i maupun pengamalannya, baik dalam hal akidah dan tauhid, muamalah, ibadah, akhlak, dan selainnya.[5]

Dengan demikian, petunjuk Allah Ta’ala sangat dibutuhkan oleh makhluk dalam semua kondisinya, seperti petunjuk ilmu tentang jenis amal saleh, petunjuk agar hati bisa menghendakinya (kehendak melakukan amal saleh), petunjuk mampu mengamalkannya dengan benar dan terhindar dari penghalang-penghalangnya, petunjuk setelah beramal untuk bisa istikamah dan bisa menghindari penggugur amalan, petunjuk mendakwahkannya serta bersabar atas gangguan di jalan dakwah[6], serta petunjuk berdoa agar mampu melakukan amal ibadah dengan terpenuhi dua syarat diterima amal ibadah, serta agar diterima amalannya oleh Allah Ta’ala.

Karena demikan luasnya kandungan ayat ini, maka doa dalam ayat ini disebutkan dalam Tafsir As-Sa’di rahimahullah, sebagai doa yang paling lengkap, paling menyeluruh, dan paling bermanfaat bagi seorang hamba.

Maksud (ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ)

Berdasarkan surah Al-Ahqaf ayat 30 dan surah Asy-Syura ayat 52, maka (ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) adalah jalan Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah, atau dengan kata lain adalah jalan Islam, karena keduanya adalah dasar ajaran agama Islam.

Oleh karena itu, ulama ahli tafsir di kalangan sahabat, Abdullah Ibnu Abbas dan Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma, serta dari kalangan tabi’in Al-Hasan dan Abul ‘Aliyah rahimahumallah menafsirkan (ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) dengan agama Islam.

Inilah dalil bahwa jalan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah jalan yang lurus (Ash-Sirath Al-Mustaqim). Allah Ta’ala berfirman,

یَهۡدِیۤ إِلَى ٱلۡحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِیقࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ

“Al-Qur’an membimbing kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Ahqaf : 30)

وَإِنَّكَ لَتَهۡدِیۤ إِلَىٰ صِرَ ٰ⁠طࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ

“Dan sungguh, Engkau (Rasulullah) benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52)

Faedah ayat keenam

Pertama, karena kandungan ayat ini adalah memohon hidayah Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam melaksanakan agama Islam ini, maka hakikatnya ayat ini adalah isyarat kepada kewajiban memenuhi salah satu dari dua syarat diterimanya amal ibadah, yaitu al-mutaba’ah. Al-mutaba’ah adalah meniti jalan lurus yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah kepada-Nya.

Sedangkan syarat diterimanya amal ibadah yang satu lagi adalah ikhlas, mencari rida Allah Ta’ala semata dalam melaksanakan agama Islam ini, beribadah kepada-Nya. Hal ini ditunjukkan dalam ayat kelima (إِيَّاكَ نَعْبُدُ).

Kedua, dalam ayat ini, ash-sirath al-mustaqim” disebutkan dalam bentuk tunggal. Sedangkan dalam ayat yang lain di surah Al-An’am ayat 153, “jalan kesesatan” disebutkan dalam bentuk jamak. Hal ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu, yaitu Islam, sedangkan jalan kesesatan itu banyak.

Kesimpulan tafsir ayat keenam

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ

Bermakna,

“Teguhkanlah kami di atas agama Islam dan jauhkanlah kami dari segala perkara yang membatalkan keislaman. Serta berilah kami tambahan petunjuk ilmu perincian ajaran Islam dan perincian pengamalannya.”

Tafsir surah Al-Fatihah ayat ketujuh

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ

“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”

Maksud (صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ)

Maksud dari “Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”, yaitu:

Pertama, Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwa mereka adalah ahli hidayah (orang-orang yang berilmu syar’i) dan istikamah beramal saleh lagi ta’at kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana juga Ibnul Qoyyim rahimahullah menafsirkan mereka ini adalah orang-orang yang berilmu syar’i dan beramal saleh.

Kedua, Al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya menukilkan tafsir Salaf Shalih:

Ahli tafsir dari kalangan tabi’ut tabi’in, Abdur Rahman bin Zaid rahimahullah menafsirkan bahwa mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

Pakar tafsir dari kalangan tabi’in, Abul ‘Aliyah rahimahullah menyatakan bahwa mereka adalah para pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar bin Al-Khaththab, dan ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sorang ulama besar tabi’in, Syahr bin Hausyab rahimahullah menafsirkan bahwa mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ahli baitnya.

Ketiga, Ibnul Qoyyim rahimahullah menukilkan tafsir seorang ulama tafsir kota Madinah dari kalangan tabi’in, Zaid bin Aslam rahimahullah yang menyatakan bahwa mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhum.[7]

Pelajaran besar dari tafsir para Salaf Shalih terhadap ayat (صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ)[8]

Pertama, jika Anda ingin meniti ash-sirath al-mustaqim, maka ikutilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Bagaimanakah jalan mereka dalam memahami agama Islam dan mengamalkannya.

Kedua, jika Anda ingin memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah (ash-sirath al-mustaqim) dengan benar, maka ikuti pemahaman dan pengamalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Inilah yang dimaksud dengan bermanhaj Salaf Shalih dalam beragama Islam.

Dengan demikian, ayat ketujuh ini mengisyaratkan bahwa tidak cukup kita hanya berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah saja, namun haruslah ditambah dengan pemahaman dan pengamalan Salaf Shalih terhadap keduanya. Sehingga pilar beragama Islam itu tiga, yaitu: 1) Al-Qur’an; 2) As-Sunnah; 3) manhaj Salaf Shalih. Salaf Shalih adalah sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, serta murid-muridnya (tabi’in), dan murid-murid tabi’in (tabi’ut tabi’in) berdasarkan hadis yang muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

Ketiga, barangsiapa yang dalam beragama Islam menyimpang dari jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, maka pastilah berada dalam kesesatan, sebagaimana di dalam surah An-Nisa’ ayat 115 dan diancam neraka Jahannam.

Maksud (غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ)

Maksud “bukan (jalan) mereka yang dimurkai” adalah bukan jalan orang-orang yang berilmu tapi meninggalkan amal, seperti Yahudi. Karena Allah Ta’ala menghukumi Yahudi dengan mendapatkan kemurkaan-Nya, sebagaimana dalam surah Al-Maidah ayat 60,

قُلۡ هَلۡ أُنَبِّئُكُم بِشَرࣲّ مِّن ذَ ٰ⁠لِكَ مَثُوبَةً عِندَ ٱللَّهِۚ مَن لَّعَنَهُ ٱللَّهُ وَغَضِبَ عَلَیۡهِ

“Katakanlah (Muhammad), “Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang fasik) di sisi Allah? Yaitu, orang yang dilaknat dan dimurkai Allah.” (QS. Al.Maidah: 60)

Maksud (وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ)

Maksud “dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” adalah bukan jalan orang-orang yang beramal tanpa dasar ilmu, seperti nashara. Karena Allah Ta’ala menghukumi nashara dengan sesat sebagaimana dalam surah Al-Maidah ayat 77,

قُلۡ یَـٰۤأَهۡلَ ٱلۡكِتَـٰبِ لَا تَغۡلُوا۟ فِی دِینِكُمۡ غَیۡرَ ٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوۤا۟ أَهۡوَاۤءَ قَوۡمࣲ قَدۡ ضَلُّوا۟ مِن قَبۡلُ وَأَضَلُّوا۟ كَثِیرࣰا وَضَلُّوا۟ عَن سَوَاۤءِ ٱلسَّبِیلِ

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah: 77)

Kesimpulan tafsir ayat ketujuh

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ

Bermakna,

“Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka berupa ilmu syar’i dan amal saleh, bukan jalan mereka yang dimurkai, yaitu mereka yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya dan bukan pula jalan mereka yang sesat, yaitu mereka yang beramal tanpa ilmu.”

[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/72512-tafsir-ringkas-surah-al-fatihah-bag-3.html

Keindahan Pencitptaan Alam Semesta yang Diungkap Alquran

Ada banyak ayat dalam Alquran mengungkapkan keindahan penciptaan alam semesta. Berikut ayat-ayat tersebut seperti dilansir aboutislam, Selasa (22/2/2022).

Pertama, keindahan dan manfaat hewan ternak , surat An Nahl ayat 5-6,

وَلَكُمْ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ

Kamu memperoleh keindahan padanya ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika melepaskannya (ke tempat penggembalaan).

Kedua, manfaat hujan yang bermanfaat untuk tanaman dan bunga, sehinga terlihat indah. Surat An Naml  ayat 60

أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنْبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ مَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُنْبِتُوا شَجَرَهَا ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ يَعْدِلُونَ

Apakah (yang kamu sekutukan itu lebih baik ataukah) Zat yang menciptakan langit dan bumi serta yang menurunkan air dari langit untukmu, lalu Kami menumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah (yang) kamu tidak akan mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah ada tuhan (lain) bersama Allah? Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).

Ketiga, penciptaan bintang untuk menghias langit agar indah As saffat ayat 6

إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ

Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit dunia (yang terdekat) dengan hiasan (berupa) bintang-bintang.

Keempat, menciptakan langit berlapis-lapis agar dunia seimbang. Surat al Mulk ayat 3-4 

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا ۖ مَا تَرَىٰ فِي خَلْقِ الرَّحْمَٰنِ مِنْ تَفَاوُتٍ ۖ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِنْ فُطُورٍ.ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ 

(Dia juga) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu tidak akan melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih ketidakseimbangan sedikit pun. Maka, lihatlah sekali lagi! Adakah kamu melihat suatu cela?

Kemudian, lihatlah sekali lagi (dan) sekali lagi (untuk mencari cela dalam ciptaan Allah), niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu dengan kecewa dan dalam keadaan letih (karena tidak menemukannya).

IHRAM

Sabda Nabi Tentang Pentingnya Persatuan

Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Demikianlah salah satu peribahasa Indonesia tentang pentingnya persatuan. Kalimat tersebut selalu menjadi pengingat kita tentang dua hal. Pertama, sesuatu akan berhasil apabila dikerjakan bergotong-royong (bersama-sama). Kedua, suatu kelompok/kaum/bangsa akan menjadi kuat dan maju apabila tidak terpecah belah.

Rasulullah saw. pun pernah mengingatkan di dalam salah satu sabdanya tentang pentingnya persatuan sebagaimana riwayat berikut.

عَنْ أَبِيْ مُوْسَى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ المُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا» وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ. رواه البخاري ومسلم

Dari Abi Musa dari Nabi saw., beliau bersabda, “Sungguh (sebagian) mukmin kepada (sebagian) mukmin lainnya seperti bangunan, yang menguatkan sebagian dengan sebagian lainnya.” Dan beliau menyilangkan jari-jarinya. “(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Menurut imam Ibnu Battal, hadis tersebut tidak hanya menunjukkan tentang pentingnya saling tolong menolong dalam urusan akhirat, tetapi juga dalam urusan dunia yang diperbolehkan. Karena di dalam hadis lain riwayat Abu Hurairah, Rasulullah saw. mengatakan bahwa Allah swt. akan menolong hamba Nya, selama ia mau menolong saudaranya.

Di dalam hadis tersebut Rasulullah saw. menggambarkan suatu persatuan itu dengan menyilangkan jari-jari kedua tangannya yang saling menggenggam satu dengan lainnya.

Selain itu, Rasulullah saw. juga pernah menggambarkan bahwa orang-orang mukmin itu seperti satu tubuh, yang jika salah satu anggotanya sakit, maka anggota tubuh lainnya akan ikut merasakannya.

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِير قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَرَى المُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ والحُمَّى». رواه مسلم

Dari An-Nu’man bin Basyir, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Kamu melihat orang-orang mukmin di dalam saling berkasih sayang, mencintai, dan bersimpatnya seperti tubuh. Jika (sebagian) anggotanya sakit, maka sebagian tubuh lainnya akan tertatih-tatih (ikut merasakannya) sebab tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim)

Imam Nawawi menegaskan bahwa hadis tersebut sangat jelas menunjukkan tentang besarnya hak sebagian mukmin kepada sebagian lainnya, serta motivasi kepada mereka akan pentinya saling berkasih sayang, berempati, dan bahu membahu tidak di dalam dosa dan hal-hal yang tidak patut.

Demikianlah sabda Nabi saw. tentang pentingnya persatuan. Khususnya bagi sesama muslim yang seharusnya saling menyayangi, mencintai, menguatkan, berempati, dan tolong menolong satu dengan lainnya dalam kebaikan.  Bukan malah sebaliknya, saling menghina, mencaci, dan menjatuhkan satu dengan lainnya. Wa Allahu A’lam bis Shawab.

BINCANG SYARIAH

Matan Taqrib: Seputar Hukum Jual Beli

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata,

أَحْكَامُ البُيُوْعِ

البُيُوْعُ ثَلاَثَةُ أَشْيَاءَ: بَيْعُ عَيْنٍ مُشَاهَدَةٍ فَجَائِزٌ ، وَبَيْعُ شَيْءٍ مَوْصُوْفٍ فِي الذِّمَّةِ فَجَائِزٌ إِذَا وُجِدَتِ الصِّفَةُ عَلَى مَا وُصِفَ بِهِ ، وَبَيْعُ غَائِبَةٍ لَمْ تُشَاهَدْ فَلاَ يَجُوْزُ .

وَيَصِحُّ بَيْعُ كُلِّ طَاهِرٍ مُنْتَفَعٍ بِهِ مَمْلُوْكٍ، وَ لاَ يَصِحُّ بَيْعُ عَيْنٍ نَجِسَةٍ، وَلاَ مَا لاَ مَنْفَعَةَ فِيْهِ.

Ahkam Al-Buyu’

Jual beli itu ada tiga macam:

  1. Jual beli barang yang dapat disaksikan, maka hukumnya boleh.
  2. Jual beli sesuatu yang dijelaskan sifat-sifatnya dalam perjanjian, maka hukumnya boleh jika sifatnya sesuai dengan yang disebutkan.
  3. Jual beli sesuatu yang tidak ada dan tidak bisa disaksikan, maka hukumnya tidak boleh.

Jual beli sesuatu yang suci, yang bermanfaat, dan dimiliki, maka hukumnya sah. Sebaliknya, jual beli sesuatu yang najis dan tidak ada manfaatnnya, maka hukumnya tidak sah.

SEPUTAR BUYU’

Buyu’ adalah bentuk jamak dari bai’. Secara bahasa, bai’ adalah muqobalah syai’ bi syai’, saling menukar sesuatu dengan sesuatu.

Secara istilah, bai’ adalah:

تَمْلِيْكُ عَيْنٍ مَالِيَّةٍ بِمُعَاوَضَةٍ بِإِذْنٍ شَرْعِيٍّ أَوْ تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ مُبَاحَةٍ عَلَى التَّأْبِيْدِ بِثَمَنٍ مَالِيٍّ،

Kepimilikan suatu benda berupa harta dengan prinsip mu’awadhoh (saling mengambil keuntungan) dengan izin syari atau kepemilikan manfaat yang mubah yang berlaku ta’bid (selamanya) dengan tsaman (harga) yang berupa harta.

Yang tidak termasuk dalam pengertian bai’:

– al-qardh (utang piutang).

– Riba karena tidak diizinkan syariat.

– Ijaroh, karena ijaroh menggunakan ujroh (upah) bukan tsaman (harga).

Rukun jual beli ada tiga:

  1. Aqidaan, dua orang yang berakad, yaitu penjual dan pembeli.
  2. Ma’qud ‘alaih, yaitu harga (tsaman) dan barang yang ditaksir harganya (mutsman).
  3. Shighah, adanya ijab dan qabul, baik dengan ijab sharih (tegas), maupun ijab kinayah (tidak tegas, tergantung niat).

Ada Tiga Macam Jual Beli

Pertama: bai’ ‘ain musyahadah, menjual sesuatu benda yang dapat dilihat, artinya hadhiroh (benda yang ada). Hukumnya adalah jaiz (boleh).

Syarat kebolehannya:

  1. Mabi’ (barang yang dijual) itu suci
  2. Mabi’ bisa diambil manfaatnya
  3. Mampu menyerahterimakannya pada orang yang berakad yang mana ia memiliki kekuasaan dalam jual beli
  4. Adanya shighah, yaitu ijab (menyatakan saya menjual kepadamu) dan qabul (menyatakan saya membeli darimu).

Kedua: bai’ syai’ mawshuf fidz dzimmah, menjual sesuatu yang disifati dalam suatu tanggungan. Hal ini dikenal dengan jual beli salam. Secara hukum, jual beli salam itu boleh jika terpenuhi syarat-syaratnya.

Ketiga: bai’ ainin ghaibah lam tusyahad, menjual sesuatu yang ghaib yang tidak dapat dilihat oleh kedua orang yang melakukan akad. Hukumnya adalah tidak boleh melakukan jual beli semacam ini. Karena ada larangan jual beli gharar.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim, no. 1513).

Jika jual beli dihukumi boleh, itu berarti jual belinya sah.

Sifat barang yang diperjualbelikan adalah:

Pertama: Suci (thahir).

Walaupun mutanajjis (terkena najis), tetapi masih bisa dicuci, maka sah untuk diperjualbelikan. Seperti misalnya pakaian yang terkena najis.

Kedua: Yang dapat diambil manfaat (muntafa’in bihi).

Pemanfaatan di sini adalah pemanfaatan yang tujuannya mubah, walaupun pemanfaatannya di masa akan datang seperti membeli anak keledai.

Ketiga: Dimiliki (mamluukin).

Maksudnya adalah yang melakukan akad memiliki atau sebagai wakil.

Keempat: Diketahui barang tersebut oleh orang yang melakukan akad yaitu ‘ain (barangnya terlihat), qadr (ukurannya), dan shifah (sifatnya).

Kelima: Barang tersebut mampu sampai pada penerima.

Barang yang tidak sah diperjualbelikan adalah:

– Barang najis atau mutanajjis yang tidak mungkin disucikan. Contoh: darah yang mengalir, bangkai, khamar, barang najis yang tidak mungkin dicuci najisnya seperti minyak dan cuka yang najis menurut kebanyakan ulama.

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada tahun Fathul Makkah, dan ia berada di Makkah,

إنَّ اللهَ ورَسُولَهُ حرَّمَ بَيعَ الخَمْرِ وَالمَيتَةِ والخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ )) فَقِيْلَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ المَيتَةِ ، فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ ، ويُدْهَنُ بِهَا الجُلُودُ ، وَيَسْتَصَبِحَ بِهَا النَّاسُ ؟ قَالَ : (( لاَ ، هُوَ حَرامٌ )) ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عِنْدَ ذَلِكَ : (( قَاتَل اللهُ اليَهُوْدَ ، إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الشُّحُوْمَ ، فَأَجْمَلُوْهُ ، ثُمَّ بَاعُوهُ ، فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ

Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual-beli khamar (minuman keras, segala sesuatu yang memabukkan), bangkai, babi, dan berhala.” Lalu dikatakan (kepada beliau), “Wahai, Rasulullah. Bagaimana menurutmu tentang lemak bangkai? Karena sesungguhnya lemak bangkai (dapat digunakan) untuk melapisi (mengecat) perahu, menyamak kulit, dan digunakan orang-orang untuk lampu-lampu pelita?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, (jual beli) itu adalah haram.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika itu, “Semoga Allah membinasakan orang Yahudi. Sesungguhnya Allah, tatkala mengharamkan atas mereka lemak bangkai, mereka mencairkannya, kemudian menjualnya, lalu memakan upahnya (hasil jual belinya).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang dari upah jual beli anjing, walaupun anjing ada manfaatnya.

Dari Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan pelacur dan upah perdukunan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini jadi dalil diharamkannya jual beli barang najis dan yang lain diqiyaskan seperti itu pula.

– Barang yang tidak bermanfaat, yaitu kalajengking, semut, dan binatang buas yang tidak bermanfaat. Barang-barang ini tidak dianggap sebagai harta. Membelinya termasuk membuang-buang harta dan mengambil harta orang lain dengan jalan yang batil. Begitu pula yang terlarang adalah jual beli barang yang pemanfaatannya haram seperti alat musik, buku sihir dan semacamnya.

– Jual beli sesuatu yang belum dimiliki oleh pembeli dan tidak ada kepemilikan padanya, dan tidak sebagai wakil.

– Jual beli barang yang majhul (tidak jelas) juga tidak sah.

– Jual beli barang yang tidak bisa diserahterimakan juga tidak sah.

Referensi:

Diambil dari Fathul Qarib, Al-Imta’, dan Tashilul Intifa’ bi Matan Abi Syuja’ wa Syai’ Mimma Tata’allaq bihi Min Dalil wa Ijma’.

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/32393-matan-taqrib-seputar-hukum-jual-beli.html

Keliru Paham Tentang Nahi Mungkar

Amar Makruf nahi mungkar, mengajak kepada kebaikan mencegah kemungkaran, tidak bisa dipahami semua kemungkaran harus dicegah. Ada batas dan klasifikasi kemungkaran yang harus dihilangkan. Wilayah ini yang menjadi medan dakwah untuk para dai/mubaligh dan umat Islam secara umum. Nahi mungkar pun ada petunjuk teknisnya, bukan pencegahan sembarangan.

Petunjuk teknis dalam berdakwah adalah titah Tuhan ini. “Mengajak lah kepada jalan Tuhanmu dengan bijak dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia paling tahu tentang orang-orang yang mendapat hidayah”. (Al Nahl: 125).

Dakwah dan agama Islam merupakan dua hal yang tak terpisahkan, keduanya berjalan dalam satu tarikan nafas yang sama. Ini, karena finalisasi kebenaran agama Islam harus selalu didenyutkan dalam nadi setiap manusia. Namun demikian, akhlak sebagai ruh agama Islam harus dikedepankan dalam berdakwah. Karenanya, agama Islam sendiri membuat kalsifikasi dan batas tentang “nahi mungkar”. Dengan kata lain, tidak semua kemungkaran harus diingkari.

Satu kaidah fikih, “Perbedaan pendapat bukan kemungkaran, kemungkaran yang harus diingkari adalah apa yang telah disepakati oleh ulama”.

Demikian, tidak boleh ada tuduhan amaliah seseorang yang didalilkan kepada pendapat satu madhab sebagai kesesatan yang harus dimusnahkan. Sikap seperti ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Perbedaan cara pandang atau penafsiran terhadap teks Islam harus dihormati karena juga memungkinkan menyimpan kebenaran.

Pemahaman seperti ini yang sering tidak dipahami oleh dai/mubaligh. Terutama mereka yang pemula dan hanya menguasai retorika dan popularitas namun kering pengetahuan agama. Demikian pula, terhadap kemungkaran yang telah disepakati oleh ulama sebagai suatu kemungkaran yang harus dicegah/dihilangkan harus dilakukan secara bajik dan bijak seperti dalam titah Tuhan (al Nahl: 125).

Sebagai penutup, sebaiknya memperhatikan perkataan Imam Nawawi dalam Syarah Sullam Taufik ini. “Seseorang yang akalnya sedikit (dangkal tentang agama) tidak layak menjadi dai/mubaligh, karena kemudharatan/kerusakan yang ditimbulkan lebih besar dari kebaikan dakwahnya”.

‘Ala kulli hal, setiap kita yang berada dalam ruang ejawantah yang dangkal tentang ilmu agama, sebaiknya menahan diri untuk berdakwah. Kalau hanya pribadi kita yang sesat masih ada peluang ampunan dari Tuhan, tapi manakala telah menyesatkan orang lain kita telah berinvestasi saham dosa jariyah yang dosa-dosa itu terus dialirkan sekalipun kita telah meninggal dunia.

ISLAM KAFFAH

Bisakah Mencukupkan dengan Alquran tanpa Hadits?

Umat islam tidak bisa hanya mencukupkan dengan Alquran.

Bisakah kaum muslimin hanya mencukupkan dengan Alquran saja, tanpa dengan hadits yang disampaikan Rasulullah ﷺ?

Dikutip dari buku Ambilah Aqidahmu dari Alquran dan As-sunnah yang shahih yang difahami Shahabat Radhiyallahu Anhum, umat islam tidak bisa hanya mencukupkan dengan Alquran. Allah Ta’ala berfirman,

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

“…Dan Kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS An-Nahl ayat 44)

Dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

ألا إني أو تيت الكتاب و مثله معه.

“Ingat, sesungguhnya aku telah diberi Alquran dan yang serupa dengannya (yaitu hadits) bersama dengan itu” (Hadits sahih diriwayatkan Abu Dawud)

Adapun beramal dengan hadits shahih adalah wajib. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ…

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…” (QS Al-Hasyr ayat tujuh) 

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِىْ  وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ ارَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا

“Kewajiban bagi kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa yang mendapatkan petunjuk dan bimbingan. Berpeganglah dengan kuat padanya” (Hadits sahih diriwayatkan Imam Ahmad)

IHRAM