Memukul Istri yang Berlaku Salah, Bolehkah?

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia cukup tinggi. Salah satu penyumbangnya adanya misoginis terhadap perempuan. Di tambah dengan narasi, bahwa memukul istri itu mendapatkan legitimasi dari kitab suci. Benarkah klaim itu? Bagaimana hukum suami memukul istri yang berlaku salah, bolehkah?

Pada prinsipnya, menyikapi istri yang berlaku “salah” itu sudah dijelaskan penanggulangannya di al-qur’an, tepatnya di surat An-nisa’ ayat 34. Bahkan secara gradual, Al-qur’an memberikan solusi.

Namun perlu dicatat, al-qur’an tidak dipahami secara literal. Kesemua tahap itu harus dijalani secara runtut. Mungkin semuanya sudah bisa dan faham mengenai makna menasehati, namun solusi kedua dan ketiga, yakni hijr dan memukul istri, sering disalahpahami. Berikut penjelasan Syekh Nawawi Al-bantani Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq az-Zaujain, halaman 17 :

(وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ) أي اعتزلوهن في الفراش دون الهجر في  الكلام، ولا يضربها، لأن في الهجر أثرا ظاهرا في تأديب النساء.

Dan Hijr (jauhilah) lah istri-istri kamu dalam tempat tidurnya, maksudnya adalah jangan seranjang bersamanya, bukan dalam artian tidak menyapanya dan memutuskan komunikasi dengannya. dan tidak memukulnya, karena dalam Hijr ada pengaruh tersendiri bagi istri.

(وَاضْرِبُوهُنَّ) ضربا غير  مبرّح إن أفاد الضرب، وإلا فلا ضرب. ولا يجوز الضرب على الوجه والمهالك،  بل يضرب ضرب التعزير. والأولى له العفو.

Dan pukullah  istri-istrimu dengan pukulan yang tidak membuatnya memar atau  terluka, jika dengan memukulnya memberikan faidah, yakni bisa menghentikan  nusyuznya. Namun jika dengan memukulnya tidak berpengaruh apa-apa, maka  tidak diperbolehkan memukulnya. 

Dalam memukul pun tidak diperkenankan memukul  wajah dan anggota yang berbahaya (rawan) jika dipukul, akan tetapi denngan  pukulan ta’zir (cara memukul dalam maksud memberi pelajaran), namun yang  paling utama adalah memaafkannya.

Jadi memukul istri itu ada syarat dan ketentuan yang berlaku, tidak bisa seorang suami serta merta memukul istrinya dengan bertendensi pada legitimasinya al-qur’an. Amat sangat ceroboh, jika al-qur’an dipahami secara literal, di sini lah kita butuh pada interpretasi para mufassir. 

Namun jika dihitung-hitung, agaknya memukul istri yang berlaku salah itu justru membuat hubungan tidak harmonis. Padahal tujuan dari memukul adalah mendidik, dan bagaimana mungkin bisa mendidik, jika hubungan sedang tidak stabil.

Bahkan patut diketahui oleh para suami, toh ketika istri sudah memenuhi prasyarat untuk dipukul, tetap yang utama itu tidak memukulnya. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Bahuti, Kasyyaf al-Qina’ an Matn al-Iqna’, jilid V, halaman 210.:

وَالْأَوْلَى تَرْكُ ضَرْبِهَا إبْقَاءً لِلْمَوَدَّةِ

Yang lebih utama adalah tidak memukul istri, demi mempertahankan keharmonisan rumah tangga. 

 Demikianlah, konteks hukum memukul istri harus dipahami secara komprehensif. Istri bukanlah bahan pukulan, melainkan sosok yang harus disayang dan diperhatikan. 

BINCANG SYARIAH

Bersyukurlah maka Engkau akan Bahagia

Ketika merasa kurang terhadap nikmat Allah, kita baru saja berbuat keliru. Karena Tuhan-lah yang lebih tahu apa yang harus diberikan kepada hamba-hamba-Nya. Seandainya si miskin diberi banyak harta boleh jadi tidak mampu memanfaatkan hartanya dengan baik dan terjerumus dalam jurang kenistaan. Si kaya andaikan ditakdir menjadi miskin ia tidak sanggup dan terperosok ke dalam kekufuran.

Karena itu, al Qur’an mengingatkan, “Boleh jadi kau membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kau menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (al Baqarah: 216).

Sesungguhnya nikmat yang Allah berikan tidak terhitung jumlahnya. Kealfaan kita untuk mensyukuri nikmat itu karena menyangka bahwa nikmat hanya berupa harta duniawi. Sementara kesehatan, keselamatan, kedamaian, dan seterusnya bukan nikmat. Terlalu naif kalau nikmat-nikmat yang tak terbilang jumlahnya tidak disyukuri.

Dalam al Qur’an surat al Rahman Allah menyinggung sebanyak 31 kali nikmat-nikmat yang diberikan kepada manusia dengan firman-Nya’ “Nikmat apa lagi yang kau dustakan?”. Tabiat manusia yang selalu merasa kurang menyebabkan ia lupa untuk bersyukur. Alangkah sering kita merasa Allah tidak peduli dan tidak kasih sayang gara-gara kita merasa harta duniawi sedikit dan sulit diperoleh.

Bersyukur bukan berarti menafikan usaha untuk memperoleh yang lebih. Justru, usaha giat dan bekerja keras sangat dianjurkan oleh Allah supaya menjadi muslim yang kuat secara ekonomi. Bersyukur adalah wujud pernyataan seorang bahwa segala yang diperoleh sesungguhnya merupakan pemberian Allah.

Maka, rumus bahagia tidak lain adalah syukur. Berterimakasih kepada Allah atas segala yang telah diberikan dan tidak berputus asa untuk selalu berusaha. Kaya belum tentu bahagia, miskin demikian juga. Bahagia hanya milik mereka yang bersyukur, baik kaya maupun miskin.

Untuk melengkapi rasa syukur dan supaya hidup tenang serta bahagia Rasulullah mengajarkan doa “Ya Allah, kami mohon perlindungan dari gelisah dan sedih, lemah dan malas, pengecut dan pelit, dibelit hutang dan dikuasi orang lain”.

Apabila kita mampu mengejawantahkan semua ini kabahagiaan yang didambakan bukan angan-angan, tapi menjadi nyata. Hidup akan selalu damai dan tenang. Di lingkungan keluarga penuh canda tawa, bersama sanak kadang dan tetangga bercengkrama penuh tawa, dan pastinya tenang dalam beribadah.

Karena itu, sejak saat ini, jadilah orang yang bersyukur supaya hidup di dunia yang hanya persinggahan sementara ini dijalani dengan penuh kebahagiaan dan ketentraman.

ISLAM KAFFAH

Apakah Pasangan yang Bercerai Dipersatukan Kembali di Surga?

Semua penghuni surga akan memiliki apa pun yang mereka inginkan.

Surga adalah tempat yang dijanjikan Allah SWT dan menjadi dambaan bagi semua manusia. Tempat bagi para kekasih Allah SWT dan Rasul-Nya di setiap zaman dan impian bagi kaum pria atau wanita.

Tempat dengan kenikmatan yang melebihi bayangan manusia itu akan menyediakan segala keinginan penghuninya. Namun, timbul berbagai pertanyaan, seperti tentang bagaimana pasangan mereka kelak?

Apakah sepasang suami istri di dunia akan disatukan lagi dengan pasangannya di surga nanti? Bahkan jika mereka telah bercerai saat di dunia?

Seorang cendekiawan Muslim dari Karachi, Pakistan Sadaf Farooqi mengatakan prinsip dasar dan realitas surga adalah bahwa semua penghuninya akan memiliki apa pun yang mereka inginkan. Hal ini dijelaskan Allah SWT dalam Alquran:

يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِصِحَافٍ مِنْ ذَهَبٍ وَأَكْوَابٍ ۖ وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ ۖ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas, dan piala-piala dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya”. (QS. Az-Zukhruf:71)

Karena itu, kata dia, jika seseorang menikah dengan orang tertentu dalam kehidupan dunia, tetapi pernikahan mereka berakhir dengan perceraian, dan kemudian mereka berdua menikah dengan orang lain, maka pertanyaan tentang siapa mereka masing-masing akan dinikahi di surga, memiliki lebih dari satu kemungkinan jawaban.

Surga juga disebutnya memiliki banyak tingkatan, yang lebih tinggi jauh lebih baik daripada yang lebih rendah. Tingkat tertinggi disebut Al-Firdaus.

Penghuni di setiap tingkat akan menerima nikmat berdasarkan kualitas iman dan amal baik mereka. Mereka yang berusaha lebih keras menyenangkan Allah SWT dalam hidup ini, dan membuat lebih banyak pengorbanan untuk Islam akan mendapat ganjaran yang setimpal. Kenikmatan dikatakan akan berdasarkan tingkat yang sama dengan amal di dunia.

Dengan demikian, menurutnya, prinsip dasar di balik apakah seseorang akan bersama orang lain di surga, tergantung pada apakah keduanya memiliki tingkat keimanan dan amal yang sama selama hidup di dunia ini. 

Pasangan Bercerai

Kedua, sejauh menyangkut pasangan suami istri, jika seorang istri atau suami ingin dipersatukan kembali di surga dengan mantan pasangannya, maka ini akan tergantung pada apakah yang terakhir juga ingin bertemu kembali dengan mereka. Dalam skenario seperti itu, jika salah satu pasangan ingin bersatu kembali, tetapi yang lain tidak, maka Allah Maha Tinggi akan memberkati keduanya dengan apa yang diinginkan hati mereka, dan mereka akan sangat bahagia.

Artinya, pasangan yang ingin bertemu kembali dengan mantannya, akan diberikan pasangan yang jauh lebih baik dari yang diinginkannya.  Dan mantan pasangan mereka juga akan diberikan seseorang yang lebih baik dari pasangan yang mereka ceraikan dalam kehidupan dunia juga.

Surga

Keyakinan yang mendasari seorang Muslim tentang kehidupan di surga memiliki beberapa prinsip dasar, yang tidak boleh kita lupakan, yakni setiap orang yang masuk surga akan mendapatkan apa pun yang mereka inginkan atau harapkan, atau sesuatu (atau seseorang) yang lebih baik dari itu, dan mereka akan sangat bahagia.

Penghuni surga juga tidak akan diperlakukan secara tidak adil.  Bahkan ketidakadilan sebesar atom pun tidak akan dilakukan kepada siapa pun. Tidak akan ada juga perasaan atau emosi negatif di antara para penghuni surga, hanya akan ada cinta timbal balik.

“Sebagai pengganti hal di atas, kita harus percaya bahkan jika mantan pasangan kita ada di tingkat surga yang sama dengan kita, tetapi mereka menikah dengan orang lain, dan kita juga menikah dengan orang lain, tidak akan ada niat buruk. Sakit hati, sakit, cemburu, kepahitan, dendam, atau perasaan keras di antara mereka akan hilang. Setiap orang di Firdaus akan tinggal bersama dengan harmoni yang sempurna dan abadi dan tidak memiliki apa-apa selain cinta timbal balik satu sama lain,” katanya.

“Mereka juga akan lebih dari senang dan bersyukur atas apa pun yang Allah berikan kepada mereka di surga, karena karunianya akan jauh melebihi apa yang mereka harapkan atau bayangkan. Allah Maha Mengetahui,” tambahnya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Meminta Cerai Karena Suami Malas Bekerja, Apakah Dibenci Allah?

Dari berbagai kasus penceraian antara suami dan istri, banyak di antaranya karena diajukan dan permintaan dari istri. Terdapat banyak alasan seorang istri meminta dan mengajukan cerai kepada suami, di antaranya adalah karena suami tidak bertanggung jawab dan malas bekerja sehingga tidak bisa menafkahi istri dengan selayaknya. Bagaimana hukum meminta cerai karena suami malas berkerja ini, apakah termasuk perbuatan yang dibenci Allah?

Dalam Islam, seorang suami bukan hanya dituntut untuk memenuhi kebutuhan biologis seorang istri, namun juga sangat dituntut untuk memenuhi kebutuhan lahir yang bersifat dasar, seperti nafkah untuk makan, pakaian dan tempat yang layak. Mengabaikan nafkah terhadap istri termasuk perbuatan dosa dalam Islam.

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Muslim, dari Abdullah bin Umar, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

Cukup berdosa orang yang membiarkan orang yang wajib diberi makan.

Oleh karena itu, jika seorang suami malas atau enggan bekerja dalam mencari nafkah untuk istrinya sehingga tidak mampu memenuhi hak-hak istrinya, seperti nafkah, maka boleh bagi istrinya untuk meminta cerai pada suaminya. Permintaan cerai dari istri karena alasan suami malas bekerja tidak termasuk bagian yang dibenci Allah. Yang dibenci oleh Allah adalah permintaan cerai dari istri tanpa didasari alasan yang kuat dan dibenarkan.

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Abu Dawud dan Imam Al-Tirmidzi, bahwa Nabi Saw bersabda;

أيما امرأة سألت زوجها الطلاق من غير ما بأس فحرام عليها رائحة الجنة.

Siapapun perempuan yang meminta talak kepada suaminya tanpa ada alasan, maka haram baginya wewangian surga.

Dalam fiqih, pemintaan cerai dari istri kepada suaminya disebut dengan khulu’. Khulu’ dibolehkan dalam Islam. Ibnu Qudamah berkata dalam kitab Al-Mughni sebagai berikut;

وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها

Kesimpulannya, jika seorang istri benci suaminya baik karena fisiknya, karakternya, agamanya, tuanya atau lemahnya, atau lainnya, dan dia khawatir tidak bisa melaksanakan hak Allah dalam bentuk taat kepada suaminya, maka dia boleh minta cerai dengan memberi harta sebagai tebusan dirinya.

BINCANG SYARIAH

Seperti ini Gambaran Kehidupan Manusia di Alam Barzah

Setelah manusia meninggal dari alam dunia, IA akan berada di alam barzah atau yang biasa dikenal dengan alam kubur. Proses ini harus dilewati, sebelum nantinya ke alam Akhirat.

Barzah sendiri memiliki arti sekat antara alam dunia dan alam akhirat, sejak Nabi Adam hingga saat ini. Meski hanya menjadi tempat persinggahan, tetapi waktu yang dihabiskan di alam ini cukup panjang. Bahkan kabarnya, lebih lama dibandingkan di alam dunia.

Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, KH Nurul Irfan, menjelaskan bagaimana gambaran dan kondisi manusia di alam Barzah. Menurutnya, sebagai sekat antara dunia dan akhirat, manusia yang sudah berada di alam Barzah dapat melihat alam dunia dan akhirat.

“Dia (alam barzah) sebagai sekat, mereka ahli kubur atau ahli barzah bisa melihat dunia dan bisa melihat akhirat. Mereka berada di satu tempat yang namanya Barzah bisa melihat dunia dan akhirat,” ujarnya dikutip di laman resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI), Rabu (9/2).

Selama di dunia, manusia yang telah meninggal tidak dapat membawa gelar, jabatan, bahkan harta yang selama hidupnya dikejar. Hal yang dapat dibawa sebagai bekal dan dapat menyelamatkan manusia hanyalah amalan ibadah dan perbuatan baik selama hidup di dunia.

Dia mengatakan, terkait perhitungan amal baik dan buruk telah dijelaskan Allah SWT dalam QS Al-Zalzalah ayat 7 dan 8. Dalam ayat tersebut dituliskan, “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Barang siapa yang mengerjakan keburukan seberat dzarrah, niscaya akan melihat (balasan)nya pula”.

Menurut Kiai Nurul, sekecil apapun perbuatan baik dan buruk yang kita lakukan selama menjalani hidup di alam dunia, pasti akan dihitung Allah SWT. Sebagai miniatur akhirat, manusia akan diperlihatkan Allah kenikmatan di akhirat bagi yang selalu melakukan ibadah dan perbuatan baik.

Tapi sebaliknya, Allah SWT juga melihatkan siksaan bagi yang melakukan perbuatan buruk selama di dunia, meskipun itu sangat kecil, tapi imbasnya sudah bisa dialami saat di alam Barzah.

Lalu, sampai kapan manusia akan berada di alam barzah? Kiai Nurul menjawab manusia akan berada di alam barzah sampai dengan hari kiamat tiba. Saat itu, semua manusia yang berada di alam barzah akan dibangkitkan Allah.

Allah SWT berfirman dalam surat Ghafir ayat 46, “Kepada mereka diperlihatkan nereka, pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (dikatakan kepada malaikat) ‘Masukan Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras'”.

Ia menyebut, dalam ayat ini dijelaskan selama di alam barzah manusia akan diperlihatkan Allah SWT surga dan nereka. Namun, meski baru diperlihatkan, tetapi sudah ada yang terkena imbasnya terutama bagi mereka yang suka berbuat dosa.

Bagi yang berbuat dosa, kata Kiai nurul, akan mendapatkan siksa kubur di alam barzah. Sampai-sampai, dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW pun berdoa agar terhindar dari siksa kubur.

Doa yang dimaksud adalah : اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذَ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ ومن عذاب النار، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا الْمَمَاتِ وَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَالِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur, adzab nereka, cobaan hidup dan mati, dan fitnah Dajjal yang terhapus dari rahmat Allah”.   

IHRAM

Menjadi Pribadi Muhsin

Pengertian Ihsan

Sebagai hamba Allah yang menginginkan kebaikan baik di dunia maupun akhirat, sudah semestinya kita mengenali diri dan agama ini dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana kita ketahui, dalam Islam terdapat tiga tingkatan seorang hamba, yaitu : Islam, Iman dan Ihsan. Wujud keislaman kita dapat dibuktikan dengan mengerjakan amalan-amalan badaniyyah seperti syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan wujud keimanan adalah amalan hati (bathiniyyah), yaitu mengimani Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Adapun wujud Ihsan dapat dimanifestasikan dalam segala bentuk amalan baik badaniyyah maupun bathiniyyah, baik wajib maupun sunnah yang dipersembahkan hanya bagi Allah dengan cara meyakini bahwa Allah Ta’ala mengawasi setiap tutur kata, tingkah laku, perbuatan dan segala gerak-gerik kita dimanapun dan kapanpun.

Ihsan adalah sebuah istilah yang menggambarkan derajat tertinggi seorang hamba yang muslim dan beriman. Untuk menggapai derajat Ihsan, kita mesti memahami hakikat Ihsan dan mengerti tentang betapa pentingnya upaya kita untuk sampai pada derajat ini.

Dalam sebuah hadits populer yang dikenal dengan Hadits Jibril, Rasulullah shallallahualaihiwasallam menjelaskan makna Ihsan sebagai berikut :

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu”. [HR Muslim, no.8 dari Umar bin Al Khattab radhiyallahuanhu]

Dalam Kitab Bahjatu Qulubil Abraar Halaman 168-169, Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di rahimahullah membagi pengertian Ihsan dalam dua macam, yaitu Ihsan dalam ibadah kepada Allah dan Ihsan dalam bermuamalah dengan makhluk Allah.

Namun, dalam artikel ini penulis mengkhususkan untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan Ihsan dalam pengertian Ibadah kepada Allah Ta’ala saja. Syaikh As-Sa’di kemudian melanjutkan penjelasan tentang Ihsan kepada Allah yaitu dengan melaksanakan perintah Allah seakan-akan melihat-Nya atau merasa diawasi oleh-Nya.

Bagaimana Beribadah dengan Ihsan

Tentu, secara umum kita faham maksud dari ‘beribadah kepada Allah dan meyakini bahwa Allah mengawasi ibadah kita. Tapi, bagaimana dengan maksud dari ‘كَأَنَّكَ تَرَاهُ’ (seakan-akan engkau melihatNya)?

Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar radhiallahuanhu bahwa Rasulullah shallallahualaihiwasallam menasehati seorang sahabat yang Bernama Ibnu Umar Faidah radhiallahuanhu dengan bersabda :

اعبدِ اللهَ كأنَّك تراه وكنْ في الدُّنيا كأنَّك غريبٌ أو عابرُ سبيلٍ

“Beribadahlah kepada Allah seakan-akan kamu melihat Allah dan jadilah kamu di dunia seakan-akan orang asing atau musafir” (HR. Ahmad No. 6156)

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahualaihiwasallam bersabda :

اعبدِ الله كأنكَ تراهُ ، فإن لم تكنْ تراهُ فإنه يراك ، واعددْ نفسكَ في الموتَى ، وإياكَ ودعوةُ المظلومِ فإنها تستجابُ ، ومن استطاعَ منكم أن يَشهدَ الصلاتينِ العشاءَ والصبحَ ولو حَبوا فليفعلْ

“Beribadahlah kepada Allah seakan-akan kamu melihat Allah, jika kamu tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia yang melihatmu dan anggaplah bahwa seakan-akan kamu hendak mati, jauhi dan hati-hati dari do’a orang-orang yang didzalimi, dan siapa diantara kalian yang mampu untuk shalat subuh dan ‘isya berjamaah walaupun dia merangkah untuk mendatanginya, hendaknya dia lakukan”(HR. Abu Dawud, dihasankan oleh Al-Albani dalam Kitab As-Silsilah As-Shahihah No 1474)

Rasulullah shalallahualaihiwasallam menjelaskan tentang bagaimana kita semestinya menghadirkan perasaan bahwa seakan-akan kita berada di ambang kematian -dan memang kita berada di titik itu saat ini-. Maka dengannya, kita kemudian akan mempersembahkan ibadah terbaik kita kepada Allah, mulai dari tuma’ninahnya hingga kekhusyu’annya.

Beribadah seakan-akan melihat Allah juga mengandung makna bahwa beribadah mestinya dengan didahului oleh mempelajari ilmu tentang ibadah tersebut. Adapun pokok ilmu adalah Ma’rifatullah (Mengenal Allah). Semakin dalam kita mempelajari ilmu tentang Allah, maka semakin dalam pula tingkat pengetahuan kita tentang Allah. Mengenal Allah tentu saja dengan cara mempelajari Ilmu Tauhid, mulai dari rububiyyah-Nya, Uluhiyyah-Nya, dan Asma’ Was-Shifat-Nya.

Demikianlah maksud dari “beribadah seakan-akan melihat Allah”. Oleh karenanya, betapa pentingnya berilmu sebelum beramal. Pada akhirnya, dengan memperdalam ilmu tentang Ma’rifatullah akan semakin mendekatkan kita pada derajat Ihsan yang merupakan level tertinggi seorang hamba.

Buah Kepribadian Ihsan

Telah kita ketahui bahwa dengan mengenal Allah lebih dalam akan semakin memudahkan kita untuk mencapai derajat Ihsan. Jika kita telah sampai pada suatu titik dimana segala hal yang kita lakukan kita sadari bahwa Allah selalu mengawasi, maka insyaallah kita kemudian akan menjadi hamba yang mendapat keberkahan disetiap tutur kata dan tingkah laku baik dalam konteks hablun minallah maupun hablun minannaas.

Menjadi hamba Allah yang mendapat keberkahan itulah yang disebut Muhsin, yaitu orang yang telah sampai pada derajat Ihsan dan akan mendapatkan karunia serta pahala terbaik di syurga. Allah Ta’ala berfirman:

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ ۖ

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.
(QS. Yunus: 26).

Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim menjelaskan bahwa maksud dari al-husna adalah surga. Sedangkan maksud dari ziyadatun adalah nikmat terbesar berupa dapat melihat wajah Allah pada hari kiamat.

Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنْ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَزَادَ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

“Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala berfirman, (yang artinya) “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)?” Maka mereka menjawab, “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka?” Maka (pada waktu itu) Allah membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Mahamulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allah ‘azza wa jalla.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas (Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya). (HR. Muslim, no. 181)

Maka apalagi yang mesti kita tunggu? Mari segera bertekad dan berupaya semaksimal mungkin untuk menggapai derajat Ihsan. Mengetahui lebih dalam tentang Ma’rifatullah agar dalam beribadah kita dapat menghadirkan Allah seakan-akan kita melihat-Nya. Begitu pula agar kita meyakini dengan haqqul yaqin serta senantiasa menyadari bahwa Allah Maha Melihat dan Mengawasi apapun yang kita lakukan dimanapun dan kapanpun.

Wallahua’lam bi ashawab.

Sumber: https://muslim.or.id/72262-menjadi-pribadi-muhsin.html

Ini Amalan Zikir Abu Dzar di Waktu Pagi dan Sore

Dalam Islam, kita sangat dianjurkan untuk memperbanyak dzikir dan doa di waktu pagi dan sore. Berikut ini adalah doa dan amalan zikir Abu Dzar di waktu pagi dan sore. Amalan ini bisa dibaca kaum muslim selepas subuh, dan setelah shalat ashar. 

Tak bisa dipungkiri, dalam kitab-kitab hadis sudah banyak disebutkan riwayat-riwayat mengenai bacaan dzikir dan doa yang dianjurkan untuk dibaca di waktu pagi dan sore, baik yang bersumber dari Rasulullah Saw maupun yang bersumber dari para sahabat.

Di antaranya adalah amalan dan zikir bersumber dari sahabat Abu Dzar. Amalan dzikir beliau di waktu pagi dan sore, sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Ali bin Abdul Malik Al-Muttaqi Al-Hindi, adalah sebagai berikut;


سُبْحَانَ اللهِ وَاْلحَمْدُ للهِ وَلَا اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ اِلاَّ باللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيْماَناً داَئِماً، وَأَسْأَلُكَ قَلْباً خاَشِعاً، وَأَسْأَلُكَ عِلْماً ناَفِعاً، وَأَسْأَلُكَ يَقِيْناً صاَدِقاً، وَأَسْأَلُكَ دِيْناً قَيِّماً، وَأَسْأَلُكَ الْعاَفِيَةَ مِنْ كُلِّ بَلِيَّةِ، وَأَسْأَلُكَ تَماَمَ الْعاَفِيَةِ، وَأَسْأَلُكَ دَواَمَ الْعاَفِيَةِ، وَأَسْأَلُكَ الشُّكْرَ عَلَى الْعاَفِيَةِ ، وَأَسْأَلُكَ الْغِنَى عَلَى النَّاسِ

Subhaanallaahi walhamdu lillaahi walaa ilaaha illallaahu wallaahu akbar walaa hawla walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim. Allohumma innii as-aluka iimaanan daa-iman. Wa as-aluka qolban khoosyi’an.

Wa as-aluka ‘ilman naafi’an. Wa as-aluka yaqiinan shoodiqon. Wa as-aluka diinan qoyyman. Wa as-aluka ‘aafiyata min kulli baliyyah. Wa as-aluka tamaamal ‘aafiyah. Wa as-aluka dawamal ‘aafiyah. Wa as-alukasy syukro ‘alal ‘aafiyah. Wa as-alukal ghinaa ‘aninnaas.

Maha Suci Allah. Segala puji bagi Allah. Tiada Tuhan selain Allah. Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Ya Allah, sungguh hamba mohon iman yang kekal pada-Mu. Dan hamba mohon hati yang khusuk pada-Mu. Dan hamba mohon ilmu yang bermanfaat pada-Mu.

Dan hamba mohon keyakinan yang benar pada-Mu. Dan hamba mohon agama yang lurus pada-Mu. Dan hamba mohon afiat (selamat) dari segala bahaya pada-Mu. Dan hamba mohon sempurnanya afiat (selamat) pada-Mu.

Dan hamba mohon kekalnya afiat (selamat). Dan hamba mohon bisa mensyukuri atas afiat (keselamatan). Dan hamba mohon kekayaan sehingga tidak butuh pada manusia. 

Demikian amalan zikir Abu Dzar di waktu pagi dan sore. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Ini Akibat Umat Islam Jika Meninggalkan Ajaran-Ajaran Alquran

Alquran adalah kitab suci yang mempunyai banyak keistimewaan

Allah SWT menegaskan bahwa Alquran mengandung kebenaran namun kebanyakan orang tidak beriman kepada Alquran. 

Tasir Surat Ar Rad Ayat 1 menerangkan akibat yang akan terjadi jika umat Islam meninggalkan Alquran, mereka menjadi umat yang terbelakang, bodoh dan miskin. 

الۤمّۤرٰۗ تِلْكَ اٰيٰتُ الْكِتٰبِۗ وَالَّذِيْٓ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ الْحَقُّ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُوْنَ

“Alif Lam Mim Ra. Ini adalah ayat-ayat Kitab (Alquran). Dan (Kitab) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya).” ( QS Ar Rad 1) 

Ayat ini dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama mengandung arti bahwa Alquran adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Alquran tidak mengandung hal-hal yang bisa meragukan orang terhadap kebenarannya. 

Kebenaran Alquran meliputi seluruh aspek yang terkandung di dalamnya seperti hukum, syariat yang bersifat shalih fi kulli zaman wa makan (syariat yang cocok untuk sepanjang zaman dan di semua tempat), bermacam-macam perumpamaan, kisah, dan petunjuknya yang harus diikuti oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. 

Kebenaran Alquran telah terbukti pada masa-masa awal Islam. Dengan berpegang teguh pada Alquran, umat Islam mampu membangun bangsa yang berbudaya tinggi dan berakhlak mulia. 

Alquran memotivasi manusia untuk bangkit berjuang menegakkan kebenaran, menghancurkan kemungkaran, menegakkan keadilan, dan melenyapkan kezaliman. Dengan menjalankan petunjuk Alquran umat Islam mampu menjadi bangsa yang berwibawa. 

Tapi ketika Alquran ditinggalkan, umat Islam lebih memilih keduniaan daripada akhirat yang kekal. Akibat ketidakyakinan umat Islam terhadap janji-janji Allah yang termaktub dalam Alquran, umat Islam berubah menjadi bangsa yang terbelakang, terbelit kemiskinan dan kebodohan. 

Jika umat Islam saat ini tidak menyadari kekeliruannya dan tidak berusaha memperbaikinya, dengan cara kembali menjalankan pesan-pesan Alquran, maka umat Islam akan tetap terpuruk dalam kebodohannya. 

Allah  SWT tidak akan mengubah nasib mereka jika mereka tidak mengubah nasib mereka sendiri. Firman Allah SWT:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS Ar Rad ayat 11) 

KHAZANAH REPUBLIKA

Jika Umat Islam Meninggalkan Alquran

Tafsir Surah Ar-Ra’d Ayat 1 menerangkan akibat yang akan terjadi jika umat Islam meninggalkan Alquran, mereka menjadi umat yang terbelakang, bodoh dan miskin.

الۤمّۤرٰۗ تِلْكَ اٰيٰتُ الْكِتٰبِۗ وَالَّذِيْٓ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ الْحَقُّ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Alif Lam Mim Ra. Ini adalah ayat-ayat Kitab (Alquran). Dan (Kitab) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu itu adalah benar; tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya). (Ar-Ra’d: 1)

Ayat ini dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama mengandung arti bahwa Alquran adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Alquran tidak mengandung hal-hal yang bisa meragukan orang terhadap kebenarannya.

Kebenaran Alquran meliputi seluruh aspek yang terkandung di dalamnya seperti hukum, syariat yang bersifat shalih fi kulli zaman wa makan (syariat yang cocok untuk sepanjang zaman dan di semua tempat), bermacam-macam perumpamaan, kisah, dan petunjuknya yang harus diikuti oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Kebenaran Alquran telah terbukti pada masa-masa awal Islam. Dengan berpegang teguh pada Alquran, umat Islam mampu membangun bangsa yang berbudaya tinggi dan berakhlak mulia.

Alquran memotivasi manusia untuk bangkit berjuang menegakkan kebenaran, menghancurkan kemungkaran, menegakkan keadilan, dan melenyapkan kezaliman. Dengan menjalankan petunjuk Alquran umat Islam mampu menjadi bangsa yang berwibawa.

Tapi ketika Alquran ditinggalkan, umat Islam lebih memilih keduniaan daripada akhirat yang kekal. Akibat ketidakyakinan umat Islam terhadap janji-janji Allah yang termaktub dalam Alquran, umat Islam berubah menjadi bangsa yang terbelakang, terbelit kemiskinan dan kebodohan.

Jika umat Islam saat ini tidak menyadari kekeliruannya dan tidak berusaha memperbaikinya, dengan cara kembali menjalankan pesan-pesan Alquran, maka umat Islam akan tetap terpuruk dalam kebodohannya.

Allah tidak akan mengubah nasib mereka jika mereka tidak mengubah nasib mereka sendiri. Firman Allah SWT: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (QS Ar-Rad: 11)

IHRAM

Pentingnya Menjaga Pendengaran

Pakar tafsir Alquran yang juga pengisi kajian tafsir Masjid Istiqlal, KH. Amin Zaini membeberkan tafsir Alquran surat At Taubah dari kitab Shafwatut Tafasir karya syekh Muhammad Ali Ash Shabuni tentang bagaimana agar Muslim dapat menjaga pendengarannya serta agar terjauh dari fitnah orang-orang munafik yang selalu menghembuskan kabar-kabar bohong.

Allah SWT berfirman: 

وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ وَيَقُولُونَ هُوَ أُذُنٌ ۚ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ ۚ وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan: “Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya”. Katakanlah: “Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu”. Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih. (Alquran surat At Taubah 61)

Kiai Amin Zaini menjelaskan sebagaimana menukil keterangan  syekh Ash Shabuni bahwa ayat tersebut mengabarkan tentang orang-orang munafik pada masa lalu yang senang menyakiti nabi Muhammad ﷺ dengan menuding atau menuduh bahwa nabi Muhammad itu senang mendengar semua ucapan, kabar, atau informasi baik itu yang benar maupun yang salah, yang baik atau pun yang buruk. Maka Allah Subahanahu wa Ta’ala memerintahkan kapada nabi agar menegaskan bahwa Rasulullah itu hanya mendengarkan ucapan atau kata-kata yang baik saja. Artinya pendengaran Rasulullah ﷺ terjaga dari setiap keburukan. Seperti menguping percakapan orang lain, menerima hasud orang lain, atau mempercayai kabar bohong. 

Kiai Amin Zaini menjelaskan bahwa orang yang beriman itu tidak mungkin mempercayai atau mengikuti perkataan yang buruk dari orang lain. Orang beriman juga tidak akan mengikuti kabar-kabar bohong yang datang padanya. Maka dari itu agar indra pendengaran menjadi maslahat agar menggunakan untuk mendengarkan kebaikan dan menjauhi setiap perkataan atau informasi yang buruk atau menyesatkan.  

“Karena itu orang munafik itu sifatnya adalah mereka senang membuat berita hoaks, bohong. Mereka sebarkan kepada masyarakat sehingga menimbulkan keresahan. Lalu bagaimana mengefektifkan pendengaran ini? Mendengarlah kata-kata yang baik, mengikuti yang terbaik, artinya yang benar. Bukan yang hoaks,” kata kiai Zaini dalam kajian dzuhur di masjid Istiqlal Jakarta beberapa hari lalu.

Lebih lanjut kiai Zaini mengatakan orang-orang munafik senang bersumpah dengan menyebut nama Allah agar ucapannya dipercaya padahal terdapat kebohongan di dalamnya. Mereka berupaya meryakinkan orang-orang yang beriman akan suatu informasi yang sejatinya kabar hoaks, bahkan sampai bersumpah atas nama Allah. 

يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ لِيُرْضُوكُمْ وَاللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوهُ إِنْ كَانُوا مُؤْمِنِينَ

Mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari keridhaanmu, padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang mukmin. (Alquran surat At Taubah 62).

Sejatinya orang-orang munafik yang senantiasa menyebarkan kabar bohong itu telah menentang Allah dan Rasul. Kelak orang-orang munafik yang senang menghembuskan kebohongan akan dimasukan dalan neraka. Sebagaimana firman Allah:

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ۚ ذَٰلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ

Tidaklah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka jahannamlah baginya, kekal mereka di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar.  (Alquran surat At Taubah 63).

“Jadi kalau kita perhatikan orang-orang munafik yang berdusta yang membuat, menyebarkan hoaks itu sangat berat azabnya. Makanya cek dulu jangan sembarangan fitnah dan sebagainya,” katanya. 

IHRAM