Arab Saudi Larang Haji dan Umroh untuk Wanita di Bawah 45 Tahun tanpa Mahram

Arab Saudi dilaporkan telah menangguhkan keputusan mengizinkan wanita melakukan haji dan umroh tanpa wali atau mahram laki-laki. Kebijakan ini dijelaskan anggota komite nasional untuk haji dan umroh, Saeed Bahashwan kepada media Mesir, Masrawy.

Keputusan awal disebutnya hanya mempengaruhi umroh, bukan haji. Klaim Bahashwan bertentangan dengan laporan pers sebelumnya.

Komentar Bahashwan muncul beberapa hari setelah Al Azhar mengonfirmasi kebolehan wanita bepergian untuk melakukan haji dan umroh tanpa wali laki-laki selama mereka berada di perusahaan yang aman. Namun, otoritas Saudi mengontrol apakah ini dapat dilakukan melalui proses visa haji dan umroh, terlepas dari izinnya.

Dilansir dari The New Arab, Senin (28/3/2022), mengomentari pengumuman awal Arab Saudi, Wakil Al-Azhar Abbas Shoman mengatakan wanita dapat melakukan haji jika mereka merasa aman. Ia menambahkan keputusan itu adalah pendapat kontemporer tentang aturan Islam yang melarang wanita bepergian tanpa wali pria. Meski demikian, Shoman menekankan wanita tetap lebih baik bepergian dengan didampingi oleh wali laki-laki yang dapat menjaga mereka jika mereka sakit selama perjalanan.

Arab Saudi yang ‘moderat’

Tahun lalu, Kementerian Haji Saudi mengumumkan akan mengizinkan wanita dari segala usia untuk melakukan haji tanpa wali laki-laki dengan syarat mereka bepergian sebagai bagian dari kelompok. Keputusan itu datang sebagai bagian dari reformasi sosial yang seharusnya diluncurkan oleh kerajaan di bawah penguasa de facto Putra Mahkota Mohammed bin Salman.

Dalam Visi 2030, ia berusaha untuk membuka kerajaan ultra-konservatif dan menjauhkan ekonominya dari ketergantungan minyak. Sejak naik ke tampuk kekuasaan, perempuan Saudi telah diizinkan untuk mengemudi dan bepergian ke luar negeri tanpa wali laki-laki, bahkan dengan latar belakang tindakan keras tanpa henti terhadap kritikus pemerintahannya, termasuk aktivis hak-hak perempuan.

Pembatasan sosial juga telah dilonggarkan. Larangan selama beberapa dekade di bioskop dicabut, konser musik dengan penonton pria dan perempuan diizinkan. Acara olahraga juga diizinkan.

Sebagai bagian dari upaya liberalisasi, masjid-masjid Arab Saudi tahun lalu diperintahkan untuk menurunkan volume pengeras suara masjid selama adzan. Ada laporan Arab Saudi juga akan mengizinkan restoran untuk menyajikan makanan selama jam-jam puasa Ramadhan, yang dimulai pekan depan, untuk pertama kalinya dalam sejarahnya, tetapi pihak berwenang telah membantahnya. 

IHRAM

20 Mutiara Keindahan Bahasa dalam Al-Fatihah (Bag. 1)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Al-Qur’an dan Al-Fatihah

Al-Qur’an Al-Karim adalah kitabullah yang paling sempurna diantara seluruh kitab-Nya. Allah Ta’ala menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab, yang merupakan bahasa paling sempurna. Al-Qur’an tentunya memiliki mutu bahasa yang paling tinggi. Tata bahasa Al-Qur’an, gaya bahasa Al-Qur’an, dan keindahan bahasa Al-Qur’an memiliki nilai tertinggi karena Al-Qur’an adalah kalamullah yang paling sempurna. Tidak ada satu pun yang menyamai Al-Qur’an, apalagi mengalahkannya.

Al-Fatihah merupakan salah satu surah di dalam Al-Qur’an. Keindahan surah Al-Fatihah tentunya memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan surah lainnya. Surah Al-Fatihah juga merupakan surah paling utama dalam Al-Qur’an. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا أُنْزِلَتْ فِي التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ وَلَا فِي الزَّبُورِ وَلَا فِي الْفُرْقَانِ مِثْلُهَا

“Demi Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, tidaklah diturunkan dalam At-Taurah, Al-Injil, Az-Zabuur, dan Al-Furqan (Al-Qur’an), semulia Al-Fatihah” (HR. At-Tirmidzi, sahih).

Al-Fatihah memiliki banyak keutamaan

Surah Al-Fatihah memiliki banyak nama. Surah Al-Fatihah disebut juga dengan nama Ummul Qur’an (induk Al-Qur’an), Ummul Kitab (induk kitabullah), dan masih banyak nama lainnya. Imam As-Suyuthi Rahimahullah menyebutkan ada 25 nama untuk surah Al-Fatihah.

Surah Al-Fatihah mengandung tujuan Al-Qur’an yang terbesar, yaitu penetapan tauhid, janji dan ancaman, perintah dan larangan Allah dalam hal ibadah, jalan kebahagiaan dan bagaimana melaluinya, dan kisah-kisah orang yang melanggar hukum Allah. Al-Fatihah juga mencakup tiga macam tauhid, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid asma’ wa sifat.

Surah Al-Fatihah dapat menjadi obat untuk hati dan badan. Surah Al-Fatihah juga mengandung doa terpenting dan mengandung sebab terkabulkannya doa. Masih banyak keistimewaan surah ini sehingga tidak heran jika para ulama Rahimahumullah memberi perhatian yang khusus terhadapnya.

Para ulama membuat penjelasan ilmiah dan pengamalan terkait surah Al-Fatihah. Ulama melakukan hal tersebut dikarenakan surah Al-Fatihah mengandung prisnsip-prinsip keimanan yang dibutuhkan oleh setiap muslim dan muslimah. Oleh karena itu, surah Al-Fatihah benar-benar surah yang paling istimewa.

Keindahan Bahasa Al-Fatihah

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ (١) ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ (٢) ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ (٣) مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ (٤) إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ (٥) ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ (٦) صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ (٧)

“(1) Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (2) Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (3) Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (4) Yang menguasai di Hari Pembalasan. (5) Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. (6) Tunjukilah kami jalan yang lurus, (7) (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” (QS. Al-Fatihah: 1-7).

Indahnya pembukaan surah Al-Fatihah

Pembukaan surah Al-Fatihah sangat indah karena diawali dengan menyebut seluruh nama Allah Ta’ala dan pujian kepada-Nya dengan berbagai sifat ketuhanan yang sempurna. بِسْمِ اللّٰهِ mengandung makna, “Saya memulai bacaan ini dengan menyebut hanya seluruh nama Allah sembari memohon pertolongan dan keberkahan kepada-Nya.”

Alasan diartikan sebagai “seluruh nama Allah” karena adanya kata tunggal ismun yang disandarkan kepada lafaz Allah yang menunjukkan makna umum, seluruh nama Allah. Apabila isim mufrod (tunggal) disandarkan kepada isim lainnya, maka akan menunjukkan makna umum yang cakupannya menyeluruh.

Rahasia huruf ba’ yang ada dalam ayat pertama

Mengucapkan { بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ } hakikatnya adalah memohon pertolongan dan keberkahan kepada Allah Ta’ala.

Huruf ba’ dalam ayat ini adalah ba’ lilisti’anah. Maknanya memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala semata. Segala permohonan pertolongan kepada Allah semata pasti memohon keberkahan dari Allah juga. Keberkahan adalah kebaikan yang banyak dan tetapnya kebaikan tersebut. Tentu saja permohonan pertolongan seorang hamba kepada Allah Ta’ala hakikatnya memohon pertolongan terbaik sehingga mengandung keberkahan.

Makna ayat pertama adalah, “Saya mulai bacaanku dengan hanya [1] menyebut seluruh nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang sembari memohon pertolongan dan keberkahan kepada-Nya dalam bacaanku ini [2].”

Rahasia yang mengagumkan dalam lafzhul jalaalah “الله”

Dalam lafzhul jalaalah “الله” terdapat beberapa keindahan bahasa yang mengagumkan, yaitu:

Pertama, keindahan maknanya

“الله” adalah salah satu dari nama-nama-Nya yang paling indah (al-asma’ul husna). Sifat yang terkandung dalam nama “الله” adalah sifat al-uluhiyyah karena setiap nama-Nya pasti mengandung sifat-Nya.

Ulama tafsir dari kalangan sahabat, Ibnu Abbas Radiyallahu‘anhuma, berkata ketika menjelaskan makna nama “الله”,

الله ذو الألوهية والعبودية على خلقه أجمعين

“Allah adalah Yang memiliki hak untuk diibadahi atas seluruh makhluq-Nya.”

Inilah yang disebut dengan sifat al-uluhiyyah (berhak untuk diibadahi/disembah).

Kedua, keindahan akar bahasanya

Menurut Al-Kisaa’i dan Al-Farraa’ Rahimahumullah [3] bahwa lafzhul jalaalah “الله” asalnya dari الإله dengan hamzah yang dihilangkan. Kemudian di-idgham-kan huruf lam yang satu ke lam yang lainnya. Sehingga menjadi satu lam saja, namun ber-tasydid dan dibaca tebal.

Sebagian ahli bahasa menyebutkan ditebalkan (di-tafkhim) dalam membaca “الله” dalam rangka mengagungkan Allah Ta’ala.

Hamzah setelah alif lam dihilangkan dari lafzhul jalaalah “الله” karena hamzah itu berat diucapkan oleh lisan Arab jika letaknya di tengah kata [4].

Alif (setelah lam sebelum ha’) dihilangkan dalam penulisan lafzhul jalaalah “الله”, meski tetap ada saat diucapkan. Ini merupakan pendapat terkuat menurut para ulama. Dikarenakan lafzhul jalaalah “الله” banyak diucapkan dan ditulis, sehingga diringankan dalam penulisannya dengan cara menghilangkan alif dari lafzhul jalaalah “الله”.

Sebagaimana dihilangkan alif (setelah mim sebelum nun) dalam penulisan الرحمن, maka huruf alif (setelah lam sebelum ha’) dihilangkan juga dalam penulisan إله dan اللهم, meski tetap ada saat diucapkan [5].

Az-Zujaji Rahimahullah berpendapat bahwa alif lam ta’riif dimasukkan pada awal lafzhul jalaalah “الله” untuk menunjukkan bahwa Allah adalah tuhan yang haqq. Lafaz إله itu umum penggunaannya sehingga bisa untuk tuhan yang haqq dan bisa juga untuk tuhan yang batil. Sedangkan lafzhul jalaalah “الله” hanya untuk nama bagi tuhan yang haqq, yaitu Allah Ta’ala semata [6].

Adapun الإله disini mengikuti wazan فعال yang maknanya adalah sesembahan (yang berhak disembah). Hal ini berdasarkan qira’ah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma,

وَقَالَ الْمَلَاُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ اَتَذَرُ مُوْسٰى وَقَوْمَهٗ لِيُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ وَيَذَرَكَ وَاٰلِهَتَكَۗ

“Dan para pemuka dari kaum Fir‘aun berkata, ‘Apakah engkau akan membiarkan Musa dan kaumnya untuk berbuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkanmu dan tuhan-tuhanmu?‘” (QS. Al-A’raf: 127).

Ini adalah qiro’ah yang terkenal di tengah-tengah kaum muslimin. Akan tetapi, Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma membacanya dengan salah satu dari Qiro’ah Sab’ah lainnya, yaitu (وَيَذَرَكَ وَ إِلاَهَتَكَ) yang artinya, “dan meninggalkanmu serta penyembahan terhadap dirimu”. Apabila dua macam qiro’ah ini digabungkan, maka akan menunjukkan bahwa beliau memahami makna الإله sebagai sesembahan (yang berhak disembah) [7].

Ketiga, keindahan statusnya sebagai nama Allah yang teragung

Nama “الله” adalah nama-Nya yang paling agung [8]. Seluruh nama Allah Ta’ala yang lain merupakan turunan dari nama “الله”.

“الله” adalah nama Allah yang khusus bagi-Nya dan mengandung sifat al-uluhiyyah (berhak diibadahi). Tidak boleh makhluk bernama dengan nama tersebut dan tidak boleh pula makhluk bersifat dengan sifat yang terkandung di dalamnya.

Nama “الله” adalah nama Allah yang paling agung dan asal dari seluruh nama-nama Allah yang lain. Dengan demikian, seluruh nama-nama Allah yang lain disandarkan kepada nama “الله”. Nama Allah yang lain digunakan untuk menyifati nama “الله”.

Nama “الله” menunjukkan kepada seluruh nama-nama yang lain secara global. Sedangkan nama-nama Allah yang lain adalah perincian dan penjelasan makna nama “الله”.

Allah disifati dengan sifat al-uluhiyyah (berhak diibadahi) karena menunjukkan bahwa Allah Mahasempurna dalam segala sifat-sifat-Nya. Konsekuensi nama “الله” itu menunjukkan kepada seluruh nama dan sifat Allah lainnya.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/73265-20-mutiara-keindahan-bahasa-dalam-al-fatihah-bag-1.html

Viral PA 212 Sholat Memakai Sepatu, Bagaimana hukumnya?

PA 212 kembali jadi sorortan nitizen. Yang terbaru, kelompok ini sholat di tengah jalan. Yang tak kalah bikin gemes nitizen adalah satu di antaranya sholatnya itu dengan memakai sepatu.  Lantas bagaimana fikih memandang hukum sholat memakai sepatu?

Pertama-tama, baiknya kita mengetahui dulu, bahwasanya sholat di jalan raya itu hukumnya makruh. Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Kaff menjelaskan mengenai perkara makruh dalam sholat dengan panjang lebar, di antaranya adalah sholat di jalan.

 Beliau memasukkan ini dalam hukum makruh, yang ditinjau dari tempatnya sholat. Selain sholat di jalan, hukum sholat menjadi makruh jika dikerjakan di kamar mandi, gereja, Pasar, kuburan, tempat sampah, dan lain-lain. (Al-taqrirat Al-Sadidah fi al-Masail al-Mufidah, I/254)

Maka dari itu, baiknya kita mengerjakan sholat ya di tempat yang semestinya. Meski seluruh penjuru bumi bisa dijadikan tempat sholat, seyogyanya kita menjaga adab, dengan melakukan sholat di masjid. Terlebih di zaman sekarang, masjid sudah ada di mana-mana, bahkan musholla juga. Maka usahakan sholat di selain tempat yang disebutkan di atas, kecuali adanya hajat atau darurat.

Adapun mengenai orang yang sholat dengan menggunakan sepatu, maka ini bisa dianalogikan dengan sholatnya orang yang memakai sandal.

ويسنّ كشف اليدين والرجلين أي في حق الرجل إذ المرأة يجب عليها ستر قدميها ، ويكره كشف كفيها كما يؤخذ من علة كشف الركبتين ق ل

“Disunnahkan untuk membuka kedua tangan dan kedua kaki, yakni dalam konteks Musalli (orang yang sholat) laki-laki.

Adapun Musalli yang perempuan, maka ia wajib menutup kedua telapak kaki, dan makruh baginya untuk membuka kedua telapak tangannya, poros hukumnya (illat) sama dengan dimakruhkannya membuka kedua lutu bagi laki-laki (yakni berhati-hati, akan tersingkapnya aurat). 

Demikianlah pendapat Imam Al-Qulyubi. (Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfat al-habib ala syarh al-khatib, jamak disebut dengan Hasyiyah Al-Bujairimi ala al-khatib II/35)

Dari keterangan tersebut kita bisa mengambil kesimpulan dengan metode mafhum mukhalafah (pemahaman dengan mengambil kebalikan dari teks), yakni jika sunnah untuk membuka kaki ketika sholat, maka sholat dengan menutupnya (yakni memakai sepatu atau semisalnya), maka dihukumi makruh. 

Jadi, baiknya untuk membuka saja. Terlebih ketika ragu, apakah sepatunya suci atau tidak. Jadi boleh sholat dengan menggunakan sepatu, ketika memang sepatunya suci. 

Namun yang demikian dihukumi makruh, meski sah. Adapun jika mereka yang sholat dengan menggunakan sepatu, yang menganalogikannya dengan perintah sholat memakai sandal, dengan bertendensi pada hadis berikut;

عَنْ يَعْلَى بْنِ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ، وَلَا خِفَافِهِمْ

“Berbedalah kalian dengan orang Yahudi, sebab mereka tidak sholat dengan menggunakan sandal atau sepatu mereka”. HR Abi Daud No. 652 (Sunan Abi Daud/176)

Maka kita harus merujuk pada anotasinya, sebab hadis tidak bisa dimaknai secara literal. Berikut penjelasan dari salah satu syarih (komentator) hadis ini: 

(خَالِفُوا الْيَهُودَ) ، أَيْ: بِالصَّلَاةِ فِي نَحْوِ النُّعُولَ ( «فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ وَلَا خِفَافِهِمْ» ) : قَالَ ابْنُ الْمَلَكِ: يَعْنِي وَيَجُوزُ الصَّلَاةُ فِيهِمَا إِذَا كَانَا طَاهِرَيْنِ … إلى أن قال … فَالْأَوْلَى أَنْ يُحْمَلَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ عَلَى أَنَّ الْأَدَبَ الَّذِي اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ أَخِرَ أَمْرِهِ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – خَلْعُ نَعْلَيْهِ، أَوِ الْأَدَبَ فِي زَمَنِنَا عِنْدَ عَدَمِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى أَوْ عَدَمِ اعْتِيَادِهِمَا الْخَلْعَ، ثُمَّ سَنَحَ لِي أَنَّ مَعْنَى الْحَدِيثِ: خَالِفُوا الْيَهُودَ فِي تَجْوِيزِ الصَّلَاةِ مَعَ النِّعَالِ وَالْخِفَافِ، فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ أَيْ لَا يُجَوِّزُونَ الصَّلَاةَ فِيهِمَا وَلَا يَلْزَمُ مِنْهُ الْفِعْلُ، وَإِنَّمَا فَعَلَهُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – كَمَا فِي الْحَدِيثِ الْآتِي تَأْكِيدًا لِلْمُخَالَفَةِ، وَتَأْيِيدًا لِلْجَوَازِ خُصُوصًا عَلَى مَذْهَبِ مَنْ يَقُولُ: إِنَّ الدَّلِيلَ الْفِعْلِيَّ أَقْوَى مِنَ الدَّلِيلِ الْقَوْلِيِّ.

Maksud dari hadis tersebut adalah boleh sholat dengan sandal, ketika memang suci. Ketika ada pertentangan antara memakai sandal atau tidak, maka yang dipilih adalah sebagaimana ucapan Imam Syafi’i di atas. 

Yaitu tidak memakai sandal karena dengan alasan lebih beradab dan Rasulullah SAW pun lebih sering sholat dengan tidak memakai keduanya.

Adapun sabda beliau tentang hadits tersebut, beliau hanya bermaksud untuk menjelaskan akan kebolehan seseorang sholat dengan sandal atau khuf  (sepatu yang terbuat dari kulit) selama keduanya suci, bukan di haruskannya setiap kali sholat. (Ali Mulla Al-qari, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih)

Dari anotasi tersebut kita bisa mengetahui bahwa Nabi SAW hanya memberikan penjelasan bahwa sholat dengan sandal itu boleh, ketika memang suci. Namun dalam rangka berhati-hati, maka baiknya sholat di masjid tanpa memakai sepatu. Wallahu A’lam. 

Demikianlah penjelasan mengenai hukum sholat dengan memakai sepatu, semoga bermanfaat.

BINCaNG SYARIAH

Saudi Siap Terima Kedatangan 30 Juta Jamaah Haji dan Umroh Pada 2030

Pemerintah Arab Saudi telah mengumumkan beberapa inisiatif dan strategi untuk memperkuat sistem transportasi dan layanan logistik. Ini dilakukan dalam persiapan untuk menerima hingga 30 juta jamaah haji dan umroh setiap tahun, pada 2030.

Kementerian Transportasi dan Layanan Logistik Arab Saudi menerbitkan beberapa proyek yang ditargetkan untuk menerima jamaah. Hal ini disampaikan dalam infografis di akun Twitter resminya, Jumat (25/3/2022).

Salah satu upaya yang akan dilakukan adalah mengembangkan indeks konektivitas antara bandara domestik dan utama dunia, dengan menawarkan akses ke 250 lebih tujuan penerbangan internasional.

Dilansir di Bernama, Senin (28/3), Kementerian juga akan fokus pada peningkatan kapasitas operasional Kereta Peluru Al Haramain, serta arus lalu lintas di pelabuhan domestik.

Mengutip kementerian yang sama, dilaporkan kerangka strategi pemberdayaan telah digariskan oleh Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman. Rinciannya telah dipresentasikan oleh perwakilan kementerian selama Konferensi Internasional tentang Layanan Haji dan Umrah baru-baru ini.

Menurut media resmi Pemerintah Saudi, saat ini mereka sedang dalam proses peningkatan kapasitas Jalan Raya Madinah-Makkah. Ini merupakan salah satu fasilitas jaringan jalan utama dan tersibuk, yang menghubungkan provinsi Makkah dan Madinah.

“Jalan raya yang panjangnya 397,3 kilometer ini melintasi lebih dari 33 kota dan pemukiman. Hal ini dilengkapi dengan 231 jembatan dan terhubung dengan lebih dari 20 tingkat persimpangan jalan raya,” tulis SPA.  

IHRAM

Fatwa Ulama: Hikmah Diwajibkannya Puasa Ramadan

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Apakah hikmah diwajibkannya puasa Ramadan?

Jawaban:

Kalau kita membaca firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

kita mengetahui apa hikmah dari kewajiban berpuasa (Ramadan). Hikmahnya adalah (untuk meraih) ketakwaan dan beribadah kepada Allah Ta’ala. Takwa adalah meninggalkan hal-hal yang Allah Ta’ala haramkan. Kalau disebutkan secara mutlak (tidak ada tambahan keterangan apapun, pent.), istilah “takwa” mencakup melakukan perkara-perkara yang diperintahkan dan menjauhi perkara-perkara yang dilarang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan keji (kotor), Allah tidak butuh orang itu meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari no. 1903)

Oleh karena itu, sangat ditekankan bagi orang yang berpuasa untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Maka, janganlah orang yang sedang berpuasa itu melakukan gibah terhadap orang lain, berdusta, tidak melakukan namimah (adu domba) di antara mereka, tidak melakukan jual beli yang haram, dan menjauhi seluruh perbuatan yang diharamkan. Jika seseorang melakukan hal itu selama sebulan penuh (di bulan Ramadan), maka dirinya akan terus-menerus melakukan hal itu di bulan-bulan sisanya di tahun itu.

Akan tetapi, sangat disayangkan, banyak di antara orang yang berpuasa itu tidak ada bedanya antara hari ketika mereka berpuasa (yaitu selama bulan Ramadan, pent.) dan hari ketika mereka tidak berpuasa (yaitu di luar bulan Ramadan, pent.). Mereka tetap berada pada kebiasaan mereka, yaitu meninggalkan kewajiban dan melakukan hal-hal yang dilarang. Tidak ada pengaruhnya bagi mereka kemuliaan puasa (Ramadan). Perbuatan-perbuatan ini memang tidak membatalkan puasa, akan tetapi mengurangi pahala puasa. Dan terkadang ketika ditimbang, dosa tersebut lebih besar daripada pahala puasa yang didapatkan, sehingga sia-sialah pahala puasanya.

***

@Rumah Kasongan, 16 Sya’ban 1443/ 19 Maret 2022

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/73554-fatwa-ulama-hikmah-diwajibkannya-puasa-ramadan.html

Makrifatullah dan Urgensinya (Bag. 3)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Jangan Sampai Kita Melupakan Allah Jika Tidak Ingin Dijadikan Lupa Akan Diri Kita Sendiri

Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Hasyr ayat 19,

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Allah Ta’ala melarang kita menjadi orang-orang yang lupa kepada Allah. Dan Allah mengancam orang-orang yang lupa kepada Allah dengan menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri!

Bagaimana maksud “lupa akan diri sendiri”?

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan saat menafsirkan ayat yang mulia ini. Maksudnya adalah Allah menghukum orang-orang yang lupa kepada Allah dengan menjadikan ia lupa akan perkara yang bermanfaat baginya, lupa akan memperbaiki aibnya, serta lupa akan kebutuhan jiwanya yang paling bermanfaat, yaitu mengingat Allah, mencintai-Nya, dan mensyukuri-Nya dengan taat kepada-Nya. Inilah hakikat lupa akan diri sendiri”.

Beda halnya dengan orang yang ingat Allah, maka Allah akan ganjar dengan menjadikannya ingat akan perkara yang bermanfaat baginya, dan ingat akan aibnya. Sehingga Allah jadikan ia sibuk memperbaiki aibnya, dan ingat akan kebutuhan jiwanya yang paling bermanfaat, yaitu mengingat Allah, mencintai-Nya, dan mensyukuri-Nya dengan taat kepada-Nya. Allah takdirkan sebab dan akibat kebaikan untuknya. Inilah hakikat “ingat terhadap diri sendiri”.

Itulah beberapa alasan urgensi makrifatullah. Dan sebenarnya masih banyak alasan lainnya dari pentingnya kita mempelajari makrifatullah, seperti: agar kita dicintai Allah, agar Allah memasukkan kita ke dalam surga-Nya, agar doa kita terkabul, serta agar kita mudah meninggalkan larangan Allah dan melaksanakan perintah-Nya. Makrifatullah adalah asas perbaikan hati dan jasad.

Buah Makrifatullah yang Terpenting

Buah makrifatullah yang terpenting adalah mengesakan Allah (tauhidullah). Karena dari mengenal nama dan sifat Allah dapat disimpulkan bahwa Allah Mahaesa dalam kekhususan ketuhanan-Nya, maka kita wajib mengesakan-Nya.

Maksud mengesakan Allah (Tauhid) adalah mengesakan-Nya dalam kekhususan ketuhanan-Nya, yaitu dalam perbuatan-Nya (Ar-Rububiyyah), hak untuk diibadahi (Al-Uluhiyyah), serta nama dan sifat-Nya (Al-Asma’ wash Shifat). Sehingga di antara bentuk mengesakan Allah adalah mengesakan-Nya dalam nama dan sifat-Nya, atau yang lebih dikenal dengan Tauhidul Asma’ wash Shifat (Tauhid nama dan sifat).

Baca Juga: Mengenal Allah Hanya di Bulan Ramadhan Saja

Apa Itu Tauhid “Nama dan Sifat” dan Bagaimana Mengesakan Allah dalam Nama dan Sifat-Nya?

Tauhid nama dan sifat adalah, “Mengesakan Allah dalam nama-nama-Nya yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang termulia, yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dan beriman terhadap nama, sifat, dan tuntutan yang terkandung dalam nama dan sifat-Nya, tanpa menolak maupun menyamakan-Nya dengan makhluk.

Penjelasan dari definisi tersebut adalah:

Mengesakan Allah, adalah meyakini dalam hati dan melaksanakan tuntutan ucapan maupun perbuatan bahwa Allah Mahaesa dalam nama-nama-Nya yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang termulia.

Ciri khas nama Allah adalah “Husna” (Terindah), yaitu tidak ada nama yang sama atau lebih indah dari nama-Nya karena nama-Nya mengandung sifat termulia.

Ciri khas sifat Allah adalah “’Ula (A’la)” (Termulia), yaitu paling sempurna, tidak ada sifat yang lebih sempurna dari sifat-Nya karena seluruh sifat-Nya itu sempurna. Tidak ada aib sedikit pun dari sisi mana pun.

Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “Tauqifiyyah“, yaitu harus berdasarkan dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, baik dalam itsbat (penetapan kesempurnaan bagi Allah), maupun dalam nafi (peniadaan aib dan kekurangsempurnaan dari Allah). Oleh karena itu, kita tidak boleh menamai Allah dan mensifati-Nya dengan nama dan sifat yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Beriman terhadap tuntutan yang terkandung dalam nama Allah dan sifat-Nya. Yang dimaksud tuntutan di sini adalah konsekuensi hukum dan tuntutan peribadatan, serta pengaruhnya pada keimanan.

Tanpa menolak maupun menyamakan-Nya dengan makhluk. Maksudnya adalah tidak menolak penetapan nama dan sifat Allah, namun menetapkan keduanya dengan benar, yaitu tanpa menyamakan Allah dengan selain-Nya dalam nama maupun sifat-Nya.

Contoh penerapan tauhid nama dan sifat:

Di antara nama Allah adalah السميع (Yang Mahamendengar), maka berdasarkan definisi tauhid nama dan sifat, barulah kita dikatakan mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya dalam nama dan sifat-Nya dengan benar, jika meyakini:

Pertama, penetapan nama Allah السميع (Yang Maha Mendengar).

Kedua, penetapan makna, yaitu sifat Allah yang terkandung di dalam nama-Nya, yaitu sifat السمع (Mendengar). Dan setiap nama Allah pasti mengandung sifat-Nya.

Ketiga, beriman terhadap tuntutan yang terkandung dalam nama dan sifat-Nya. Allah mendengar seluruh suara yang keras maupun pelan, jauh maupun dekat, suara seorang hamba sedang beribadah maupun suaranya saat bermaksiat. Semua itu membuahkan keyakinan tentang adanya janji Allah dan ancaman-Nya.

Dengan beriman terhadap tuntutan yang terkandung dalam nama dan sifat-Nya, maka akan muncul pengaruh berupa: 1) takut kepada Allah Ta’ala yang didasari ilmu tentang-Nya; 2) yakin diawasi oleh Allah Ta’ala; 3) malu kepada Allah Ta’ala; 4) berhati-hati dalam berucap, dengan berusaha mengucapkan ucapan yang diridai oleh Allah dan menjauhi ucapan kemaksiatan bahkan ucapan yang makruh.

Dan dalam setiap nama Allah dan sifat-Nya pasti mengandung tuntutan peribadatan atas hamba-Nya.

Menetapkan Nama dan Sifat Allah Tanpa Menyamakan Allah dengan Makhluk

Allah berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Tidak ada sesuatu apapun yang sama dengan-Nya. Dan Dia Mahamendengar lagi Mahamelihat.” (QS. Asy-Syura: 11)

Ayat ini mengandung kaidah tauhidul asma` wash shifat yang agung, mencakup nafi dan itsbat, menunjukkan bahwa keimanan terhadap nama dan sifat Allah terbangun atas nafi dan itsbat.

Nafi (peniadaan)

Meniadakan seluruh yang ditiadakan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah dari Allah, berupa aib dan kekurangsempurnaan, berarti meniadakan aib dan kekurangsempurnaan dari Allah Ta’ala.

Itsbat (penetapan)

Menetapkan seluruh yang ditetapkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah bagi Allah, berupa nama yang husna dan sifat yang ‘ula.

Di dalam ayat yang telah disebutkan di atas terdapat terdapat nafi (peniadaan) kesamaan Allah dengan makhluk-Nya, yaitu dalam firman Allah,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatu apapun yang sama dengan-Nya.”

Oleh karena itu, tidak boleh menyamakan Allah dengan selain-Nya, baik dalam nama maupun sifat-Nya.

Dalam ayat tersebut juga terdapat pula penetapan (itsbat), yaitu dalam firman Allah,

 و هو السميع البصير 

“Dan Dia Mahamendengar lagi Mahamelihat.”

Yaitu penetapan dua nama maupun dua sifat Allah,

Pertama, nama Allah السَّمِيعُ (Yang Mahamendengar) dan nama البَصِيرُ (Yang Mahamelihat).

Kedua, sifat  السَمْع (mendengar) dan sifat البَصَر  (melihat).

Masuk Surga dengan Menghapal Al-Asma’ul Husna, Mempelajarinya, dan Berdoa kepada Allah Dengannya

Allah berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 180,

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَاۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اَسْمَاۤىِٕهٖۗ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Dan Allah memiliki al-asma’ul husna (nama-nama yang terbaik), maka berdoalah kepada-Nya dengan al-asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari sikap wajib terhadap nama-nama-Nya, mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”

Hakikatnya dalam ayat ini, Allah ‘Azza wa Jalla menyeru hamba-hamba-Nya untuk mengenal-Nya dengan mempelajari nama dan sifat-Nya, serta menyeru mereka untuk memuji-Nya dengannya, dan melaksanakan tuntutan ibadah yang terkandung di dalam nama dan sifat-Nya.

Maksud “berdoa kepada Allah dengan asma’ul husna” adalah:

Pertama, berdoa dengan menyebut nama Allah yang sesuai dengan isi doa.

Kedua, berdoa dengan memuji Allah dengan menyebut nama-Nya.

Ketiga, berdoa dengan beribadah kepada Allah dengan ibadah selain doa dan pujian, yaitu dengan melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung di dalam asma’ul husna.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam Shahihul Bukhari,

إنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وتِسْعِينَ اسْمًا مِئَةً إلَّا واحِدًا، مَن أحْصَاهَا دَخَلَ الجَنَّةَ

“Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, barangsiapa yang meng-ihsho’-nya, niscaya ia akan masuk Surga.” (HR. Al-Bukhari)

Penjelasan:

Pertama, 99 nama Allah ini dikenal dengan asma’ul husna. Namun ini bukan batasan jumlah asma’ul husna, karena dalam dalil lain menunjukkan bahwa nama Allah tidak dibatasi dengan bilangan tertentu. Bahkan, banyak nama-nama Allah yang tidak Allah beritahukan kepada kita, dan hanya Allah yang mengetahuinya.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما أصاب أحدًا قط همٌّ و لا حزنٌ ، فقال : اللهمَّ إني عبدُك ، و ابنُ عبدِك ، و ابنُ أَمَتِك ، ناصيتي بيدِك ، ماضٍ فيَّ حكمُك ، عدلٌ فيَّ قضاؤُك ، أسألُك بكلِّ اسمٍ هو لك سميتَ به نفسَك ، أو علَّمتَه أحدًا من خلقِك ، أو أنزلتَه في كتابِك ، أو استأثرتَ به في علمِ الغيبِ عندَك ، أن تجعلَ القرآنَ ربيعَ قلبي ، و نورَ صدري ، و جلاءَ حزني ، و ذَهابَ همِّي ، إلا أذهبَ اللهُ همَّهُ و حزنَه ، و أبدلَه مكانَه فرجًا قال : فقيل : يا رسولَ اللهِ ألا نتعلَّمُها ؟ فقال بلى ، ينبغي لمن سمعَها أن يتعلَّمَها

“Tidaklah seseorang tertimpa kegelisahan dan tidak pula kesedihan lalu mengucapkan,

‘Ya Allah, sesungguhnya saya adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu pria maupun wanita, ubun-ubunku ada di tangan-Mu, hukum-Mu pastilah berlaku atas diriku, keputusan-Mu selalu adil, saya memohon dengan setiap nama-Mu yang Engkau beri nama diri-Mu dengannya, atau Engkau ajarkannya kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau Engkau turunkannya dalam Kitab-Mu, atau Engkau khususkan diri-Mu (dalam mengetahuinya) di ilmu gaib di sisi-Mu, agar Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai air kehidupan bagi hatiku, cahaya kelapangan dadaku, penghilang kesedihanku, dan penghilang kegelisahanku.’

Melainkan Allah akan hilangkan kegelisahan dan kesedihannya, serta Allah akan gantikannya dengan kegembiraan.”

Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita tertuntut untuk mempelajarinya?”, lalu beliau bersabda, “Tentu! Selayaknya orang yang mendengarnya itu mempelajarinya!” (HR. Imam Ahmad dan selainnya, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah)

Kedua, makna “ihsho’” yang dijanjikan surga bagi pelakunya, yaitu: menghapal 99 asma’ul husna tersebut, mempelajari maknanya, dan mengamalkan tuntutannya. Wallahu Ta’ala a’lam.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/73257-marifatullah-dan-urgensinya-bag-3.html

Agar Semakin Dekat dengan Alquran di Bulan Suci Ramadhan

Allah SWT menjanjikan pahala kepada siapa saja yang cinta pada Alquran

KH Ahsin Sakho Muhammad mengungkap untuk mendekatkan diri dengan Alquran dapat dimulai dengan membentuk mindset bahwa Alquran merupakan kitab suci yang perlu diimani, dan merupakan hidayah yang diberikan Allah SWT sebagai petunjuk bagi manusia. 

“Alquran merupakan kitab yang berisi nasehat-nasehat tentang kehidupan, obat dari penyakit hati, dan bukti kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya,” ujar Mantan Rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) itu. 

Alquran mengandung beragam macam aspek yang bermanfaat bagi manusia, sebagai obat dari segala penyakit hati, hidayah, rahmah, dan nasihat tentang kehidupan, diharapkan, dengan mengetahui aspek tersebut, akan muncul ketertarikan dan rasa cinta pada Alquran, ujar Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Fatwa Indonesia (MUI) Pusat itu. 

“Allah SWT menjanjikan pahala kepada siapa saja yang cinta pada Alquran, setiap huruf yang dia baca akan bernilai 10 kebaikan, melihat mashaf juga dianggap sebagai ibadah, bahkan mendengarkan orang membaca Alquran juga termasuk ibadah,” jelasnya. 

Penasihat Yayasan Karantina Tahfidz Al-Quran Nasional (YKTN) Pusat itu menerangkan, dengan membaca Alquran dan menghayati setiap redaksi kata dan maknanya, akan membawa ketenangan hati dan menciptakan perasaan dekat dengan Sang Pencipta.  “Orang yang dekat dengan Alquran, akan menemukan kehadiran Allah melalui Kalam-Nya, jadi ini yang perlu kita tanamkan dalam benak kita agar bisa lebih dekat dengan Alquran.” 

“Ramadhan adalah bulan diturunkannya Alquran. kalau ramadhan dianalogikan sebagai tamu kita, maka kita perlu menyenangkannya dengan sesuatu yang disenangi olehnya, yaitu dengan membaca Alquran, dan memaknai maksud didalamnya,” tutur Ahli Ilmu Qira’at dan Tafsir Alquran itu.

“Ramadhan adalah bulannya Alquran dan kita berharap, dengan mengisi ramadhan dengan membaca Alquran akan semakin menambah keimanan dan keyakinan kita terhadap keistimewaan Alquran. Selain itu, membaca Alquran itu tidak pernah menjemukan, dan itu keistimewaannya,” sambungnya. 

Teruntuk mereka yang masih ‘jauh’ atau belum mengenal Alquran, Mantan Sekretaris Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Kementerian Agama ini menyarankan agar bergabung dalam komunitas pencinta Alquran. 

“Untuk orang yang belum akrab dengan Alquran, perlu mempunyai komunitas atau masuk dalam komunitas pencinta Alquran, seperti komunitas one day one juz atau sejenisnya, karena dengan bergabung dengan pecinta Alquran, maka akan menular pula rasa kecintaan itu,” sarannya. 

“Kalau ada komunitas Alquran maka ikut saja, karena disana kita akan didorong untuk lebih intens mendekatkan diri pada Alquran,” ujarnya menambahkan. 

Cara lain yang dapat dilakukan agar lebih ‘dekat’ dengan Alquran adalah dengan mengakses informasi tentang orang-orang yang dapat dijadikan panutan dalam mempelajari ilmu Alquran, baik itu qari, atau da’i. “Melalui cara itu kita bisa menyadari pentingnya mempelajari Alquran, terlebih dalam situasi dimana resiko distorsi keimanan cukup tinggi, Alquran dapat menjadi penyelamat kita untuk mempertahankan keimanan, karena orang yang selalu bersama Alquran akan terhindari dari resiko tersebut.” 

“Mari kita merawat keimanan kita melalui Alquran,” pungkasnya.

Hal serupa juga diungkapkan Prof Didin Hafidhuddin. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini menjelaskan, Alquran adalah pedoman hidup bagi kaum Muslimin, terutama mereka yang mengingainkan kesuksesan dan keselamatan dunia maupun akhirat.

Menumbuhkan kecintaan pada Alquran, harus diupayakan dan dilakukan secara terus-menerus, terutama selama bulan Ramadhan, waktu diturunkannya Alquran. “Alquran harus dibaca dan dipahami secara bertahap namun konsisten, serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Mantan Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) itu.

Adapun cara yang dapat dilakukan, menurut Guru Besar Ilmu Agama Islam Institut Pertanian Bogor ini, adalah membiasakan menyertakan Alquran dalam aktivitas sehari-hari. “Ini bisa dimulai dari lingkup keluarga, seperti mengadakan tadarus bersama.”

Ketua Pembina Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) ini menjelaskan, orang-orang yang gemar membaca Alquran dan senantiasa mendekatkan diri dengan Alquran, Allah SWT janjikan syafaat di hari akhir nanti. 

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,” (QS. Fathir: 29)

“Membaca Alquran tidak akan membuat siapapun merugi, sebaliknya akan membawa manfaat dan syafaat yang besar bagi kehidupan di dunia maupun akhirat,” pungkasnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Mempercepat Vaksinasi Calon Jamaah Haji

Pemerintah Indonesia melalui Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan terus mendorong calon jamaah haji agar mengikuti vaksinasi tahap I dan II serta vaksin lanjutan (booster). Terlebih setelah Arab Saudi melonggarkan pembatasan Covid-19 yang memungkinkan pelaksanaan ibadah haji untuk jamaah internasional tahun ini dapat dibuka kembali.

Kepala Pusat Kesehatan Haji Budi Sylvana mengatakan kebijakan penanggulangan pandemi di suatu negara sangat terkait dengan tingkat penularan dan cakupan vaksinasi. Ia memaparkan bahwa tingkat penularan di Arab Saudi sebesar 8 persen atau 8 kasus per 100 ribu penduduk. Cakupan penuh vaksinasi di Arab Saudi pun hampir mencapai 70 persen. Menurutnya meski telah keluar kebijakan pelonggaran protokol kesehatan namun Arab Saudi terus melakukan pemantauan yang ketat.

Sebab itu menurutnya calon jamaah haji Indonesia yang akan berangkat ke Arab Saudi harus sudah divaksin Covid-19 dua dosis dan mengikuti kebijakan penanggulangan Covid-19 di Indonesia baik sebelum maupun setelah melaksanakan ibadah haji. 

Budi mengatakan terkait  kebijakan pelonggaran prokes Arab Saudi, Pukes haji Kemenkes telah bersiap bila Indonesia mendapat lampu hijau untuk memberangkatkan jamaah ke tanah suci tahun ini. 

“Sambil menunggu keputusan lebih lanjut dari Kemeang, Pusat Kesehatan haji Kemenkes menyiapkan skenario pemberangkatan 100 persen. Tenaga kesehatan sudah disiapkan, berikut juga sarana prasarana beserta logistik yang dibutuhkan,” kata Budi kepada Republika beberapa waktu lalu.

Selain itu Budi mengatakan Kantor Kesehatan Haji Indonesia yang berada di Jeddah, Makkah dan Madinah sudah siap dioperasikan untuk tahun 2022. Sementara itu, terkait vaksinasi bagi calon jamaah haji Budi mengatakan sejah ini jumlah jamaah haji yang sudah divaksinasi Covid-19 sebanyak 120.769 (69,76%). 

“Jamaah haji sangat dianjurkan untuk melakukan booster untuk meningkatkan imunitas terutama saat berinteraksi dengan jamaah haji dari negara lain. Dengan dibooster, ibadah haji bisa berjalan aman, keselamatan bersama juga Insya Allah terjaga,” katanya. 

Ketua Umum Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), Ismed Hasan Putro mengapresiasi kebijakan Arab Saudi yang melonggarkan pembatasan Covid-19 seiring kondisi Arab Saudi yang tengah kembali normal. Ismed berharap kebijakan Arab Saudi tersebut terus berlanjut hingga pelaksanaan ibadah haji tahun 2022 dapat normal kembali. Kendati demikian Ismed mengatakan Pemerintah Indonesia harus segera menyiapkan berbagai perangkat untuk menghadapi kemungkinan pelaksanaan ibadah haji dibuka lagi. Mulai dari kesiapan hotel, katering, bus, pesawat dan lain-lain. Terlebih waktu pelaksanaan haji yang tinggal beberapa bulan.  

Selain itu menurut Ismed, Pemerintah Indonesia juga harus segera mengatur mekanisme jamaah yang akan berangkat tahun ini. Serta kejelasan tentang pembiayaan ibadah haji apakah terjadi penambahan biaya atau tidak.   

“Secara umum harapan kita bagaimana pemerintah merespon sinyal positif dari Kerajaan Arab Saudi itu untuk benar-benar mempersiapkan. Begitu juga tentang alokasi jumlah jamaah,  apakah masih sama atau ada penambahan atau ada pengarungan,” katanya. 

Ismed meminta agar pemerintah memberikan pembekalan yang komprehensif kepada calon jamaah haji bila jadi diberangkatkan tahun ini. Sebab menurutnya tantangan pemberangkatan haji tahun ini berbeda dari sebelum-sebelumnya. Menurutnya meski Arab Saudi telah melakukan pelonggaran pembatasan Covid-19, namun kasus Covid-19 belum benar-benar hilang. Selain itu Ismed  juga mendorong agar pemerintah dapat menyelesaikan segera vaksinasi tahap I, II dan booster bagi jamaah. 

“Sebenarnya problem yang dialami oleh jamaah haji Indonesia itu adalah problem soal kesehatan mereka yang tidak ada cek up rutin. Bahkan ada yang sudah mendaftar lima tahun, sepuluh tahun di cek up  baru empat bulan sebelum keberangkatan. Dalam konteks haji tahun ini, menjadi tantangan bagaimana sebelum berangkat jamaah haji sudah mendapatkan vaksin,” katanya. 

IHRAM

Tata-cara Sujud Tilawah saat Salat

Kebanyakan ulama mengatakan bahwa ketika membaca ayat sajdah dalam salat, baik salat wajib maupun sunah, maka disunahkan untuk melakukan sujud tilawah. Jika posisi sebagai makmum dan mendengar imam membaca ayat sajdah, maka apabila imam melakukan sujud tilawah, dia harus melakukan sujud tilawah mengikuti imam. Namun jika imam tidak melakukan sujud tilawah, maka dia tidak boleh melakukan sujud tilawah. Di bawah akan diterangkan tata-cara sujud tilawah.

Kesunahan melakukan sujud tilawah dalam salat ini berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Rafi’, dia berkata;

صَلَّيْتُ مَعَ أَبِى هُرَيْرَةَ الْعَتَمَةَ فَقَرَأَ ( إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ ) فَسَجَدَ فَقُلْتُ مَا هَذِهِ قَالَ سَجَدْتُ بِهَا خَلْفَ أَبِى الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ أَزَالُ أَسْجُدُ بِهَا حَتَّى أَلْقَاهُ

“Aku salat Isya’ (salat ‘atamah) bersama Abu Hurairah, lalu beliau membaca; ‘Izas sama’un syaqqat.’ Kemudian beliau sujud. Aku bertanya kepada beliau, ‘Apa ini?.’ Abu Hurairah menjawab, ‘Aku bersujud di belakang Abul Qasim (Nabi saw.). Ketika sampai pada ayat sajdah dalam surat tersebut.’ Sejak saat aku selalu sujud setiap membaca surat tersebut hingga aku meninggal.”

Sujud tilawah dalam salat berbeda dengan di luar salat. Hal ini karena ada beberapa rukun sujud tilawah yang harus dilakukan di luar salat namun tidak boleh dilakukan ketika dalam salat. Dalam kitab I’anatut Thalibin disebutkan, tata-cara sujud tilawah dalam salat hanya melakukan sujud satu kali. Lalu mengucapkan takbir sebelum turun untuk sujud dan bangun dari sujud, tanpa ada niat, takbiratul ihram, duduk setelah sujud dan salam.

أما المصلي إذا أراد أن يسجد فليسجد من غير نية وتكبير تحرم وسلام ويندب له أن يكبر للهوى إليها والرفع منها ولا يندب له رفع اليدين عند تكبيره للهوى والرفع بل يكره ولا تندب جلسة الإستراحة بعدها وقيل أن النية واجبة من غير تلفظ بها لأن نية الصلاة لا تشملها

“Adapun orang yang salat jika ingin melakukan sujud tilawah, maka hendaknya sujud tanpa niat, takbiratul ihram dan salam. Disunahkan mengucapkan kalimat takbir sebelum turun untuk sujud dan bangun dari sujud. Tidak disunahkan mengangkat tangan ketika mengucapkan takbir baik ketika turun maupun ketika bangun, bahkan dimakruhkan. Tidak disunahkan duduk istirahah setelah sujud. Sebagian ulama mengatakan, niat sujud tilawah adalah wajib tanpa melafalkannya karena niat salat tidak mencakupnya.”

Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa tata-cara sujud tilawah dalam salat sebagai berikut;

Pertama, mengucapkan kalimat takbir sebelum turun untuk sujud tanpa mengangkat kedua tangan.

Kedua, melakukan sujud tilawah satu kali.

Ketiga, langsung bangun dari sujud tanpa duduk istirahah terlebih dulu dengan mengucapkan kalimat tanpa mengangkat kedua tangan.

BINCANG SYARIAH

Orangtua Sudah Meninggal, Ini Lima Cara Berbakti Kepadanya

Berbakti kepada orangtua termasuk perintah dari Allah dan Nabi Saw. Begitu juga durhaka kepada orang tua termasuk perkara yang dilarang oleh Allah dan Nabi Saw. Berbakti kepada orang tua dapat dilakukan ketika mereka masih hidup, dapat pula dilakukan ketika mereka sudah meninggal.

Terdapat lima cara berbakti kepada orang tua setelah mereka meninggal, sebagaimana disebutkan dalam hadis hadis riwayat Abu Daud dari Abi Usaid Malik bin Rabiah, dia berkata;

بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلِمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِىَ مِنْ بِرِّ أَبَوَىَّ شَىْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ  نَعَمِ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا

Suatu saat kami pernah berada di sisi Rasulullah Saw, tiba-tiba datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?” Rasulullah Saw menjawab, “Iya, dengan cara mendoakan keduanya, meminta ampun untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan memuliakan teman dekat keduanya.

Pertama, mendoakan kebaikan kepada orang tua yang sudah meninggal. Ini salah satu bisa dilakukan dengan cara melaksanakan shalat li birril walidain dua rakaat. Shalat ini lebih utama dilakukan pada malam Kamis antara Maghrib dan Isya.

Kedua, memohonkan ampun untuk keduanya. Ini bisa dilakukan dengan cara membaca doa berikut setiap selesai melaksanakan shalat wajib lima waktu;

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَلِوَ الِدَىَّ وَارْ حَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَا نِى صَغِيْرًا

Ya Allah, ampunilah semua dosa-dosaku dan dosa-dosa kedua orang tuaku, serta berbelaskasihlah kepada mereka berdua seperti mereka berbelas kasih kepada diriku di waktu aku kecil.

Ketiga, mematuhi dan melaksanakan wasiat dan petuah-petuahnya. Selama wasiat tersebut tidak melanggar aturan Allah, maka anak sebisa mungkin mematuhi dan melaksanakannya.

Keempat, menjalin hubungan baik dan silaturrahim dengan semua keluarga dan kerabat kedua orang tua.

Kelima, memuliakan dan menghormati teman-teman kedua orang tua. Semua teman baik orang tua, sebaiknya tetap dijaga dengan cara bersilaturrahmi, memuliakan dan menghormati mereka.

BINCANG SYARIAH