Puasa Melatih Diri Tiga Hal ini

Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, saat berpuasa, manusia tidak hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, tapi juga dilatih untuk dapat mengendalikan diri, jujur, dan memiliki solidaritas sosial yang tinggi.

“Orang yang melaksanakan puasa dengan pemenuhan ketiga nilai atau prinsip tersebut, yakni pengendalian diri, kejujuran, dan solidaritas sosial, ia akan menjadi bersih tanpa dosa,” kata Wapres saat menghadiri secara virtual Syiar Islam dan Tarhib Ramadan 1443 H, Kamis (31/3/2022).

Dalam acara yang diselenggarakan Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Wapres menguraikan ketiganya. Pertama, hakikat puasa tidak hanya ditujukan sebagai pengendalian diri secara lahiriah, tetapi juga meliputi pengekangan ego dari semua nafsu, sikap dan tindakan tercela, atau kemaksiatan.

Wapres mengatakan, maluri manusia memang memiliki keinginan-keinginan (nafsu), baik nafsu biologis, materi, maupun kekuasaan.

Kedua, sambung Wapres, puasa membentuk nilai kejujuran karena tidak ada yang mengetahui kebenaran seseorang berpuasa atau tidak, kecuali dirinya sendiri dan Allah SWT.

“Dalam ibadah puasa ini, terkandung pula nilai kejujuran yang tinggi karena bisa saja seseorang berpura-pura puasa di hadapan umum, tetapi sebenarnya ia tidak berpuasa,” kata Wapres.

Sementara solidaritas sosial, kata Ketua Dewan Pertimbangan MUI itu, dibangun dengan memperbanyak sedekah selama Ramadan dan menunaikan zakat fitrah pada Idulfitri. Dalam hal ini, umat Islam perlu didorong agar tidak berperilaku konsumtif selama Ramadan, tetapi berempati dengan sedekah.

“Bulan Ramadan ini kita jangan menjadi konsumtif. Bukan karena kita memang pedit [pelit] atau dia kurang mau mengeluarkan hartanya, tapi justru kita mengurangi konsumsi, tapi memperbanyak sedekahnya,” ujarnya.

Wapres menilai solidaritas ini makin penting di tengah situasi pandemi Covid-19 lantaran banyak masyarakat yang terdampak pandemi. Untuk itu, Wapres mengajak umat Islam di Indonesia menyegerakan zakat harta pada Ramadan ini meskipun zakat harta umumnya ditunaikan setahun sekali ketika mencapai nisab.

“Karena banyak orang yang membutuhkan, termasuk juga dalam menghadapi lebaran nanti, apalagi dalam suasana pandemi ini banyak masyarakat yang berkekurangan,” katanya.

Wapres menegaskan pengendalian diri, kejujuran, dan solidaritas yang tinggi perlu dipupuk dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, sejumlah persoalan sosial, seperti korupsi, pencurian, penyalahgunaan wewenang, dan minuman keras, muncul sebagai ekspresi keinginan yang tidak disertai kepemilikan ketiga nilai ini.  

“Oleh karenanya, ketiga nilai ini harus diwujudkan tidak hanya selama bulan Ramadhan, tetapi juga di hari-hari di luar Ramadan,” ungkapnya.

IHRAM

20 Mutiara Keindahan Bahasa dalam Al-Fatihah (Bag. 3)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

  1. Perintah, namun maksudnya adalah doa

Pada ayat {ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیم} terdapat perintah : “Tunjukilah kami jalan yang lurus”, dan “Tunjukilah” disini adalah kata perintah, namun maksudnya bukan untuk memerintah, tapi untuk memohon atau berdoa, yaitu “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu petunjuk jalan yang lurus”.

  1. Rahasia kata kerja berobjek tanpa ditambahi dengan huruf jar

Pada ayat {ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیم}, terdapat kata kerja perintah yang memiliki dua obyek : “kami” dan “Ash-Shiroth Al-Mustaqim”, dan antara kata kerja perintah { ٱهۡدِ } dan obyek { ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیم}tidak diiringi dengan huruf jar sebagaimana pada ayat lainnya.

Rahasianya adalah firman Allah Ta’ala (ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) ini mengandung makna yang menyeluruh, yaitu mengandung :

1) اِهْدِنَا إلى الصِّرَاط الْمُسْتَقِيْم , yaitu teguhkanlah kami di atas agama Islam (jalan lurus).

2) اِهْدِنَا في الصِّرَاط الْمُسْتَقِيْم , yaitu tunjukilah kami perincian agama Islam baik ilmu Syar’i maupun pengamalannya.[1]

Disamping juga mengandung makna permohonan ilmu Syar’i dan amal shaleh sehingga maksud keseluruhan ayat ini adalah

Teguhkanlah kami di atas agama Islam, di atas jalan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan jauhkanlah kami dari segala perkara yang membatalkan keislaman, serta berilah kami tambahan petunjuk ilmu perincian ajaran Islam dan perincian pengamalannya, serta anugerahkanlah ilmu Syar’i dan pengamalannya.

  1. Memohon sesuatu yang maksudnya BUKANLAH agar didapatkannya sesuatu tersebut

Dalam ayat ke-6, terdapat permohonan kepada Allah terhadap sesuatu yang maksudnya bukanlah agar didapatkannya sesuatu tersebut, namun seorang hamba yang telah mendapatkan sesuatu tersebut bertujuan agar sesuatu yang didapatkan itu langgeng dan bertambah sehingga sempurna.

Allah Ta’ala berfirman :

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ

Maksudnya bukanlah agar diberi petunjuk masuk kedalam agama Islam (Ash-Shiraath Al-Mustaqiim), namun maksudnya adalah teguhkanlah kami di atas agama Islam di atas jalan Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga langgeng sampai meninggal dunia dan jauhkanlah kami dari segala perkara yang membatalkan keislaman, serta berilah kami tambahan petunjuk ilmu perincian ajaran Islam dan perincian pengamalannya.

  1. Adanya kalimat penjelasan setelah kalimat sebelumnya yang belum dijelaskan (At-Tashrih ba’dal ibham) dan kalimat perincian setelah kalimat global (At- Tafshiil ba’dal ijmaal)

Hal ini didapatkan pada ayat ke-6 {ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیم} yang bemakna : Tunjukilah kami jalan yang lurus.

Pada ayat ini belum dijelaskan apa itu “Jalan Lurus”, lalu pada ayat selanjutnya (ke-7) barulah dijelaskan :

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Oleh karena itulah, ulama Bahasa Arab ada yang menyatakan kata Shiraath yang terdapat dalam { صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ } bisa dipahami sebagai ‘athaf bayaan (penggabungan berfungsi penjelasan) [2], sehingga faedahnya adalah sebagai penjelasan pada ayat sebelumnya.

Dengan demikian, disamping faedah penjelasan setelah kalimat sebelumnya yang tidak dijelaskan (At-Tashrih ba’dal ibham), juga terdapat faedah perincian setelah kalimat global (At- Tafshiil ba’dal ijmaal), karena dalam ayat terakhir dirinci apa itu Ash-Shiraath Al-Mustaqiim (jalan lurus).

Hikmah penjelasan & perincian setelah disebutkan kalimat global

-Seorang yang membaca ayat ke-6 yang masih global akan menunggu-nunggu dan penasaran terhadap penjelasan & perinciannya pada ayat ke-7, sehingga ketika ia membaca ayat ke-7 akan siap jiwa dan pikirannya dalam merenungi kandungannya dan demikian besar perhatiannya terhadap ayat tersebut.

-Dan hal ini semua sangat membantu pemahaman pembacanya, karena disamping ayat ke-7 mengandung keterangan yang jelas dengan rinci, juga hati, pikiran, jiwa dan perhatiannya telah siap merenunginya.

  1. Rahasia badal yang ada pada { صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ}

Ulama Bahasa Arab menyatakan kata Shiraath yang terdapat dalam { صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ } disamping bisa dipahami sebagai ‘athaf bayaan (penggabungan berfungsi penjelasan), bisa juga dibawakan sebagai badal (pengganti).

Dibawakan sebagai badal (pengganti), dengan maksud menegaskan makna, karena mengandung makna pengulangan

{ ٱهۡدِنَا }, seolah-olah kalimatnya adalah

اهدِنا الصِّراط المستقيم، اهدِنا صراطَ الذين أنعمۡت علیهم

“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Tunjukilah kami jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat”.

Sehingga menegaskan benar-benar bahwa Ash-Shiraath Al-Mustaqiim (jalan lurus) adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri nikmat, yaitu jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum[3], maka ikutilah mereka, dan janganlah menjadi orang yang menyelisihi jalan mereka.[4]

  1. Rahasia Al-Hadzfu : Tidak disebutkannya kata (صِرَ ٰ⁠طَ) pada { غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّین }

Pada asalnya kalimat pada ayat terakhir ini disebutkan kata (صِرَ ٰ⁠طَ) dua kali, yaitu :

غير صراط المغضوب عليهم، وغير صراط الضالين

Hal ini mengandung keindahan bahasa, karena menjadi singkat namun padat makna dan mudah dipahami dengan gaya bahasa yang mengandung keterikatan makna yang selaras.

  1. Rahasia perpindahan seruan (al-iltifaat) pada { غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ}

Allah Ta’ala berfirman :

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai.

Pada ayat { صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ} itu dinyatakan dengan jelas pemberi nikmat adalah Allah Ta’ala, karena kata ganti { أَنۡعَمۡتَ } adalah “Engkau”, namun pada kelanjutan dari ayat tersebut, yaitu : { غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ}, tidak disebutkan siapa yang murka, hanya disebutkan keterangan “bukan jalan orang-orang yang dimurkai”.

Rahasia semuanya adalah dihindarkan penyandaran murka kepada Allah itu sebagai bentuk adab dan kesantunan yang tinggi kepada Allah, Tuhan Yang Menciptakan dan Mengatur seluruh makhluk.

  1. Rahasia perpindahan seruan (al-iltifaat) pada ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

Pada ayat ke-1 sampai ke-4, disebutkan pihak ketiga (dhamiir ghaibah), yaitu pihak yang dibicarakan atau diberitakan,

Allah Ta’ala berfirman :

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ (1) ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ (2) ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ (3) مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ (4)

  1. Dengan menyebut hanya seluruh nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
  2. Segala pujian kesempurnaan hanya bagi Allah, Tuhan Pemelihara seluruh alam,
  3. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
  4. Pemilik Hari Pembalasan.

Pada ayat-ayat ini, dikhabarkan tentang Allah Ta’ala dengan bentuk dhamiir ghaibah (pihak ketiga, pihak yang sedang dikhabarkan)

Sedangkan pada ayat ke-5, seruan (khithaab) ditujukan kepada pihak kedua (mukhaathab), yaitu pihak yang diajak bicara, yaitu Allah Ta’ala, yang diungkapkan dengan {كَ} artinya : “Engkau” :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ  (5)

Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan.

Padahal bisa saja pada seruan (khithaab) ayat ke-5 ditujukan kepada pihak ketiga  “Dia” :

إِيّاه نعبد وإِيّاه نستعينُ

“Hanya kepada Dia-lah kami menyembah dan hanya kepada Dia-lah kami mohon pertolongan”.

Namun Allah Ta’ala tidak berfirman begitu, tetapi beralih dari pihak yang sedang dibicarakan “Dia” (pada ayat ke-1 sampai ke-4) kepada pihak yang diajak bicara “Engkau” (pada ayat ke-5).

Ini adalah sebuah keindahan bahasa yang mengagumkan, karena lebih mengena di hati seorang hamba yang membacanya, lebih merasa dekat dengan Allah Ta’ala, karena setelah seseorang memuji Allah Ta’ala pada ayat pertama sampai keempat dengan dhamiir ghaibah, lalu seolah-olah hamba tersebut hadir dihadapan Allah dan ia menyatakan kepada Allah : Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan.

  1. Kesamaan akhir kata dalam hal timbangan kata (wazan) dan huruf sya’ir (rowiy)

Misalnya :

}بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ……ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ…..ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ{

Lihatlah pada ayat-ayat di atas, ada kesamaan pada akhir kata pada setiap ayat, demikian pula pada kumpulan ayat-ayat di bawah ini :

} ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ….مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ….إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ….صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ{

Tentulah orang yang memahami ilmu Balaghah, khsususnya tentang seluk beluk sya’ir dalam Bahasa Arab akan sadar bahwa Al-Fatihah ini bukan sya’ir buatan manusia, Al-Fatihah adalah wahyu Allah, firman-Nya yang tidak ada sedikitpun aib dan kekurangsempurnaan padanya. Bahkan ia akan bisa merasakan keindahan yang mengagumkan dan sempurna pada surat yang paling agung dalam Al-Qur’an Al-Karim, Al-Fatihah !!

Wallahu a’lam.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

Referensi Pokok

  1. Rawa’iul Bayan, Muhammad Ash-Shabuni rahimahullah.
  2. https://dorar.net/tafseer/1/1bvg
  3. Tafsir Abu Hayan rahimahumallah.
  4. I’rabul Qur’an, Ad-Darwisy rahimahumullah
  5. Dalilul hairan ‘ala maurizh zham’an, Ibrahim At-Tunisi rahimahullah
  6. Syarah Tsalatsatul Ushul, Al-‘Utsaimin rahimahumullah,
  7. Al-Bayan fi Gharib I’rabil Qur’an, Al-Anbari rahimahullah
  8. Ad-Durrul Mashuun, Al-Halabi rahimahumullah
  9. Fathul Majid, Abdur Rahman Alusy Syaikh rahimahullah.
  10. At-Tamhid, Shaleh Alusy Syaikh rahimahullah.
  11. Tafsir Ibnu ‘Asyur rahimahumallah.
  12. Tafsir As-Sa’di rahimahullah
  13. Tafsir Abu Su’ud rahimahullah

[1]  Lihat Tafsir As-Sa’di rahimahullah dan Tafsir Al-Utsaimin rahimahullah di https://tafsir.app/ibn-uthaymeen/1/6 dan Ibnul Anbari rahimahullah di https://tafsir.app/zad-almaseer/1/6

[2] . Tafsir Abu Su’ud & Tafsir Ibnu ‘Asyur rahimahullah

[3] . Tafsir Ahli Tafsir dari kalangan Tabi’ut Tabi’in, Abdur Rahman bin Zaid rahimahullah

[4]  https://bit.ly/3uTKI6d

Sumber: https://muslim.or.id/73269-20-mutiara-keindahan-bahasa-dalam-al-fatihah-bag-3.html

Tafsir Al-Quran: Selamat dari Siksa Api Neraka

JANJI Allah tentang siksa api neraka bagi pelaku dosa dan janji Allah kepada orang-orang beriman yang akan selamat dari api neraka karena amal kebaikan diulas jelas dalam Al-Quran. Ulasan tafsir ini diambil dari Al-Quran Surat Al-Baqarah [2) ayat 80-82, sebagaimana di bawah ini;

وَقَالُوْا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ اِلَّآ اَيَّامًا مَّعْدُوْدَةً ۗ قُلْ اَتَّخَذْتُمْ عِنْدَ اللّٰهِ عَهْدًا فَلَنْ يُّخْلِفَ اللّٰهُ عَهْدَهٗٓ اَمْ تَقُوْلُوْنَ عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ۞ بَلٰى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَّاَحَاطَتْ بِهٖ خَطِيْۤـَٔتُهٗ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ  هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْن ۞ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ۞

“Dan mereka berkata, “Neraka tidak akan menyentuh kami, kecuali beberapa hari saja.” Katakanlah, “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah, sehingga Allah tidak akan mengingkari janji-Nya, ataukah kamu mengatakan tentang Allah, sesuatu yang tidak kamu ketahui? Bukan demikian! Barangsiapa berbuat keburukan, dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.” (QS: al-Baqarah [2]: 80-82)

Sebab turunnya ayat

Pada ayat sebelumnya sudah dijelaskan bahwa para pendeta (pemuka agama) dari ahlul kitab sering mengubah isi Taurat untuk kepentingan dunia. Pada ayat ini Allah menerangkan salah satu ajaran yang diselewengkan mereka yaitu masalah siksa api neraka.

Mereka mengatakan bahwa siksa api neraka tidak akan menimpa mereka kecuali hanya beberapa hari saja, kemudian setelah itu, mereka akan masuk surga. Para ulama berbeda pendapat tentang sebab turunnya ayat di atas :

Pertama, ketika Nabi Muhammad ﷺ datang ke Kota Madinah orang orang Yahudi berkata, “Umur dunia ini 7000 tahun, Allah menyiksa manusia sesuai dengan umur dunia, setiap 1000 tahun umur dunia, Allah hanya menyiksa manusia satu hari di akhirat. Jadi, Allah hanya menyiksa manusia di neraka hanya selama tujuh hari. Maka turunlah ayat ini.

Kedua, orang-orang Yahudi mengatakan bahwa Neraka Jahannam mempunyai dua sisi untuk melewatinya membutuhkan waktu 40 tahun sampai ujung Neraka Jahannam yang terdapat pohon Zaqqum (Syajarah az-Zaqqum). Setelah itu Neraka Jahannam akan hancur dan hilang.

Mereka akan melewati setiap harinya setara dengan jarak tempuh satu tahun sehingga mereka berada di Neraka Jahannam hanya 40 hari.

Ketiga, orang-orang Yahudi mengatakan bahwa Allah bersumpah akan memasukkan mereka ke dalam api Neraka selama 40 hari sebanyak hari di mana mereka menyembah patung anak sapi. Perkataan orang-orang Yahudi di atas dibantah oleh Allah dalam firman-Nya :

“Katakanlah, “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah, sehingga Allah tidak akan mengingkari janji-Nya.”  (QS: al-Baqarah {2} : 80).

Maksudnya wahai orang-orang Yahudi apakah kalian sudah mendapatkan jaminan dari Allah bahwa kalian tidak akan disiksa kecuali hanya beberapa hari saja? Artinya bahwa yang dikatakan orang-orang Yahudi ini tidak benar.

Maka Allah bertanya lagi kepada mereka :

اَمْ تَقُوْلُوْنَ عَلَى اللّٰهِ ما لا تعلمون

“Ataukah kalian mengatakan tenyang Allah, sesuatu yabg tidak kalian ketahui?” (QS: al-Baqarah { 2 } : 80).

Ayat ini menjelaskan bahwa mereka hanya mengira-ngira saja sesuatu yang ghaib, sesuatu yang tidak mereka ketahui.

Selamat dari siksa api neraka

Terus bagaimana cara agar diselamatkan dari api neraka dan masuk surga? Allah menjelaskan pada ayat berikutnya :

بَلٰى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَّاَحَاطَتْ بِهٖ خَطِيْۤـَٔتُهٗ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ  هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْن ¤ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

“Bukan demikian! Barangsiapa berbuat keburukan, dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.”  (QS: al-Baqarah { 2 } : 81-82).

Dua ayat di atas menunjukkan beberapa hal diantaranya :

Pertama: Orang yang akan masuk neraka telah terpenuhi dua hal :

-Dia mengerjakan dosa-dosa selama hidup di dunia. Dosa paling besar adalah syirik. Oleh karenanya para ulama menafsirkan.  سَيِّئَة pada ayat di atas adalah syirik, jadi perbuatan syirik penyebab utama seseorang masuk neraka dan mengalami siksa neraka.

Ini dikuatkan dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala :

وَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَكُبَّتْ وُجُوْهُهُمْ فِى النَّارِۗ هَلْ تُجْزَوْنَ اِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Dan barangsiapa membawa kejahatan, maka disungkurkanlah wajah mereka ke dalam neraka. Kamu tidak diberi balasan, melainkan (setimpal) dengan apa yang telah kamu kerjakan.” (QS: an-Naml { 27 } : 90).

-Dosa-dosanya lebih banyak daripada kebaikannya, bahkan sampai-sampai dosa-dosanya tersebut meliputi dirinya. Sedangkan dia mati dalam keadaan belum bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala

Kedua: Orang-orang kafir yang masuk neraka akan kekal di dalamnya untuk selamanya.

Ketiga: Orang-orang yang masuk surga juga harus memenuhi dua syarat :

-Harus beriman kepada Allah dan Hari Akhir, termasuk beriman dengan rukun iman yang enam, iman tersebut harus mencakup: hati, lisan, dan anggota badan.

-Dia harus beramal shalih yaitu amal yang diikhlaskan karena Allah sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ.

Keempat: Orang-orang beriman dan beramal shalih akan masuk ke dalam surga, kekal di dalamnya selamanya. Wallahu A’lam.*/ Tafsir An-Najah, diasuh Dr. Ahmad Zain An Najah, MA, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Doa Akhir Bulan Sya’ban dan Menjelang Masuk Bulan Ramadhan

Di antara amalan para ulama salaf di akhir bulan Sya’ban dan menjelang masuk bulan Ramadhan adalah memperbanyak membaca Al-Quran dan berdoa kepada Allah. Di antara doa akhir bulan Sya’ban yang sering dibaca, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad Ali Yamani berikut;

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا بَقِيَ مِنْ شَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ يَارَحِيْمُ يَارَحْمَنُ يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَلْهِمْناَ فِيْ أَمْرِنَا الصَّوَابَ وَيَسِّرْ لَنَا فِيْ كُلِّ مَسْأَلَةٍ جَوَاباً وَنَجِّنَا مِنْ كُلِّ أَلْوَانِ اْلعَذَابِ وَبَيِّضْ وُجُوْهَنَا يَوْمَ يَشْتَدُّ اْلحِسَابُ وَزَيِّنْ مَجْلِسَنَا بِخَيْرِ اْلأَصْحَابِ وَاجْعَلْ دُعَائَنَا دُعَاءً مُسْتَجَابًا. اَللًّهُمَّ أَبْعِدْ عَنَّا وَعَنْ أَحِبَّتِنَا مَتَاعِبَ الدُّنْيَا، وَلَا تَذُقْناَ طُعْمَ اْلحَزْنِ وَلَا دُمُوْعَ الضِّيْقِ. اَللَّهُمَّ بِحَجْمِ سَمَائِكَ أَرِحْ قُلُوْبَنَا وَأَسْعِدْنَا سَعَادَةً لاَ تَفْنَى.

وَأجْعَلْ قُبُوْرَهُم بَرْدًا وَسَلاَمًا. اَللَّهُمَّ آنِسْ مَيِّتَنَا فِيْ وَحْدَتِهِمْ وَفِيْ وَحْشَتِهِمْ وَفِيْ غُرْبَتِهِمْ وَافْرُشْ قُبُوْرَهُمْ مِنْ فِرَاشِ اْلجَنَّةِ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

Allohumma Barik lana fima baqiya min Sya’ban wa balligna ramadhana ya rahim ya rahman ya rabbal a’lamina. Allohumma alhimna fi amrina as shawaba wa yassir lana fi kulli masalatin jawabab wa najjina min kulli al wanin al a’zabi wa bayyidh wujuhana yauma yasytaddu al hisabu wa zayyin majlisana bi khorin al habi waj’al dua’ana du’aa mustajaban. 

allohumma ab’id a’nna wa an ahibbatina mata’iba ad dunya  wala tazuqqona thaa’mu al hizni wa la dumu’a ad dhoiq.   

Allohumma bihajmi samaika arih qulubana wa as’id saa’data la tafna. allohumma arham amwatana yantaziruna minna ad dua’a, wa agfirlahum wa nawwir quburohum waj a’l quburohum bardan wa salama. Allohumma anis mayyitana fi wahdatihim wa fi wahsyatihim wa fi gurbatihim min firasyin al jannati birahmatika ya arhama ar rahimin.  

Artinya; Ya Allah, berkahilah kami di sisa hari bulan Sya’ban dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan, wahai Dzat Yang Maha Pengasih, wahai Dzat Yang Maha Penyayang, wahai Tuhan semesta alam. 

Ya Allah, berilah dalam urusan kami kebenaran, mudahkanlah dalam setiap masalah kami untuk menemukan solusi, selamatkanlah kami dari setiap macam-macam siksaan, putihkanlah wajah kami (dengan cahaya) di hari perhitungan yang sangat dahsyat, hiasilah majelis kami dengan sahabat-sahabat yang baik, dan jadikanlah doa kami sebagai doa yang terkabul. 

Ya Allah, jauhkanlah kami dan orang-orang yang kami cintai dari segala penderitaan dunia, dan janganlah Engkau mencicipkan pada kami rasa sedih dan air mata kesempitan. Ya Allah, dengan ukuran langit-Mu, maka tenangkanlah hati kami dan berilah kami kebahagian yang tidak binasa.

Ya Allah, kasihanilah para leluhur kami yang telah mati yang mana mereka senantiasa menunggu doa dari kami, ampunilah mereka, berilah cahaya kuburan mereka, dan jadikanlah kuburan mereka sejuk dan selamat. 

Ya Allah, hiburlah para leluhur kami yang telah mati di dalam kesendirian mereka, di dalam kerisauan mereka, dan di dalam keasingan mereka. Berilah kuburan mereka dengan permadani surga dengan rahmat-Mu, wahai Dzat Yang Maha Pengasih di antara para pengasih. 

Demikian bacaan doa akhir Sya’ban, dan menyambut bulan  Ramadhan. Semoga kita semua termasuk orang yang akan mendapatkan kemuliaan Sya’ban, serta termasuk orang yang diampuni di Bulan Ramadhan.

BINCANG SYARIAH

Rabithah: Ramadhan 1443 H Momentum Bangkit Jasmani Rohani

Rabithah ajak umat Islam sambut Ramadhan dengan penuh syukur dan taat

Organisasi habaib se-Indonesia Rabithah Alawiyah menyampaikan, Ramadhan 1443 H menjadi momentum bangsa Indonesia bangkit secara jasmani dan rohani. 

Rabithah pun mengajak pada seluruh umat Islam agar memanfaatkan semaksimal mungkin Ramadhan kali ini dengan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT sekaligus berbuat baik kepada sesama.  

Ketua Umum Rabithah Alawiyah, Habib Taufiq Assegaf, menyambut baik keputusan pemerintah yang telah membolehkan kegiatan ibadah Ramadhan berlangsung di masjid-masjid. 

Menurut Habib Taufiq, kesempatan untuk kembali dapat beribadah secara berjamaah di masjid akan menjadi sarana terbaik untuk bangkit pascapandemi. 

“Keputusan pemerintah yang mengizinkan kegiatan ibadah Ramadhan di masjid adalah momentum untuk meningkatkan kualitas rohani sekaligus jasmani. Karena rohani yang baik akan mendukung pula jasmani yang baik pula,” tutur Habib Taufiq dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (31/3/2022). 

Habib Taufiq juga meminta umat menjadikan pengalaman pascapandemi lalu sebagai muhasabah. Adanya pembatasan fisik selama pandemi lalu membuktikan manusia pada dasarnya tak memiliki banyak kuasa. 

“Pandemi kemarin jadi pelajaran bahwa virus yang tidak terlihat oleh pandengan mata saja, begitu besar dampaknya bagi kehidupan manusia. Bagi orang beriman, ini adalah bukti bahwa manusia itu sejatinya tidak memiliki daya apa-apa kecuali atas rahmat Allah,” ujar Habib Taufiq. 

Karena itu, atas rahmat Allah pula kini umat Islam dapat kembali melaksanakan kegiatan ibadah Ramadhan di masjid seperti sedia kala. “Manfaatkan rahmat Allah ini dengan bersyukur. Caranya adalah dengan selalu memakmurkan masjid untuk beribadah,” ujar Habib Taufiq. 

Habib Taufiq menilai, masjid selalu memberi manfaat untuk memperkuat sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hidupnya masjid juga akan menghidupkan sendi kegiatan masyarakat, baik secara sosial, ekonomi, dan budaya. 

“Masjid tak sekadar menjadi pusat ibadah, melainkan juga menjadi pusat budaya, sosial, dan ekonomi. Dengan memakmurkan masjid kita tak hanya memperkuat hubungan kepada Allah tetapi juga kepada sesama,” ucap Habib Taufiq.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Infografis Niat Sholat Tarawih

– Sholat tarawih secara umum dilakukan dua rakaat-dua rakaat dengan satu salam, sama saja dengan sholat sunnah lainnya.

– Sholat tarawih disebut juga qiyaamu Ramadhan.

– Bilangan rakaat yang pernah dilakukan Nabi Muhammad delapan rakaat.

– Umar bin Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat.

– Setelah tarawih hendaknya diteruskan dengan sholat witir, minimal satu rakaat.

Niat sholat tarawih untuk imam

اُصَلِّى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً إِمَامًا ِللهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatat tarawihi rak’ataini mustaqbilal qiblata adaan imaman lillahi ta’la.

“Saya niat sholat sunnah tarawih dua rakaat dengan menghadap kiblat secara langsung sebagai imam karena Allah SWT.”

Niat sholat tarawih untuk makmum

اُصَلِّى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَأْمُوْمًا ِللهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatat tarawihi rak’ataini mustaqbilal qiblata adaan ma’muman lillahi ta’la.

“Saya niat sholat sunnah tarawih dua rakaat dengan menghadap kiblat secara langsung sebagai imam karena Allah SWT.”

Pengolah: Ani Nursalikah

Sumber: Artikel Republika.co.id

Beginilah Dzikir Ketika Melihat Hilal

Dalam beberapa hari ke depan, umat islam akan bertemu dengan bulan yang dinanti yakni bulan suci Ramadhan. Dan hendaknya ketika seseorang melihat hilal, dia membaca dzikir yang telah dicontohkan.  Dikutip dari buku Fikih Puasa untuk Anak oleh Muhammad Abduh Tuasikal, berikut Dzikir yang dibaca ketika melihat hilal,   اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ علَيْنَا بِالْيُمْنِ والإِيمَانِ، وَالسَّلامَةِ والإِسْلامِ، رَبِّي ورَبُّكَ اللَّه  

“ALLAHUMMA AHLIL-HU ‘ALAYNAA BIL-YUMNI WAL IIMAANI WAS SALAAMATI WAL ISLAAMI. ROBBII WA ROBBUKALLAH.  

Artinya: Ya Allah, tampakkanlah bulan itu kepada kami dengan membawa keberkahan dan keimanan, keselamatan dan Islam. Rabbku dan Rabbmu–wahai bulan sabit–adalah Allah).” (HR. Ahmad, 1:162; Tirmidzi, no. 3451; dan Ad-Darimi. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih)   Adapun Ramadan adalah bulan diturunkannya Alquran dan kitab suci lainnya yang Allah turunkan. Apabila Ramadan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. Karenanya umat bersemangat melakukan kebaikan di bulan Ramadan, sedangkan maksiat berkurang.  

Selain itu, ada malam penuh kemuliaan di bulan Ramadan yaitu lailatul qadar. Ibadah di dalamnya lebih baik daripada ibadah pada seribu bulan lainnya.   Bulan Ramadan juga bulan penuh rahmat, ampunan, dan banyak yang dibebaskan dari neraka. Doa di bulan Ramadan mudah dikabulkan.   #Rossi Handayani 

IHRAM

Fikih Nikah (Bag. 9)

Talak Ditinjau dari Waktu Terjadinya

Ditinjau dari segi waktu terjadinya, talak terbagi menjadi tiga, yaitu: talak munjaz, talak mudhaf, dan talak mu’allaq.

Pertama, talak munjaz

Yaitu yang diniatkan oleh pengucapnya agar talaknya jatuh saat itu juga. Contohnya ucapan suami kepada istrinya, “Anti Thaaliq.” (Engkau tertalak) dan yang semisalnya.

Hukumnya:

Talak tersebut jatuh sejak suami mengucapkan kalimat talak tersebut kepada istrinya.

Kedua, talak mudhaf

Yaitu yang dikaitkan dengan waktu tertentu. Contohnya adalah ucapan suami kepada istrinya, “Tanggal 30 bulan depan kamu tertalak.”

Hukumnya:

Pendapat mayoritas ulama adalah talak ini terlaksana saat waktu jatuh temponya sudah datang. Sehingga, istri tertalak sejak datangnya waktu yang disebutkan dalam kalimat talak.

Ketiga, talak mu’allaq

Yaitu talak yang diucapkan suami kepada istrinya dan diiringi dengan syarat. Contohnya adalah ucapan suami kepada istri, “Jika engkau pergi meninggalkan rumah, maka engkau tertalak.”

Hukumnya:

Ada dua kemungkinan dari niat suami ketika mengucapkannya:

  1. Niat agar talaknya jatuh tatkala syaratnya tersebut terpenuhi. Jika istri mengerjakan apa yang disyaratkan dalam talak tersebut, maka talak terjadi.
  2. Hanya bermaksud memperingati istrinya agar tidak berbuat hal yang disyaratkan dan bukan dalam rangka menalak. Maka, hukumnya sebagaimana sumpah. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka suami tidak dibebani apa-apa. Namun, jika syaratnya tersebut terpenuhi, yaitu istri melanggar apa yang disampaikan suaminya, maka suami wajib membayar kafarat. Demikian keterangan yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fataawaa (XXXIII/44-46, 58-60, 64-66).

Talak Ditinjau dari Boleh Atau Tidaknya Rujuk

Ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk, talak dibagi menjadi dua, yaitu: talak raj’i dan talak ba’in. Adapun rinciannya sebagai berikut:

Pertama, talak raj’i

Yaitu talak yang dilakukan suami terhadap istri yang telah dipergaulinya, tanpa menerima pengembalian mahar dari pihak istri (bukan karena gugat cerai dari istri), dan belum didahului talak sama sekali (talak pertama) atau baru didahului talak satu kali (talak kedua).

Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

الطَّلَقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْـسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَـنٍ ۗ …

“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik…” (QS. Al-Baqarah: 229)

Hukum-hukum yang terkait adalah sebagai berikut:

  1. Seorang wanita yang mendapat talak raj’i maka statusnya masih sebagai istri selama dia masih berada dalam masa idah(menunggu).
  2. Jika salah satu dari keduanya meninggal, baik suami maupun istri, dan belum habis masa idahnya, maka yang ditinggalkan berhak mendapatkan warisan yang meninggal karena keduanya masih berstatus sebagai suami istri.
  3. Suaminya berhak untuk rujuk kepadanya kapan saja dia berkehendak selama istri masih di dalam masa idahnya, serta tidak disyaratkan adanya keridaan istri atau izin dari walinya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالْمُـطَلًّـقَـتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُـسِهِـنَّ ثَلَـثَةَ قُـرُوءٍ ۚوَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُـمْنَ مَا خَلَـقَ اللهُ فِى أَرْحَا مِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤمِنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ ۚ وَبُعُو لَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَا لِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَـحًا ۚ…

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti, jika mereka (para suami) menghendaki perbaikan…” (Qs. Al-Baqarah: 228)

Kedua, talak ba’in

Yaitu talak yang seorang suami sudah tidak memiliki hak untuk merujuk istrinya kembali. Talak ini terbagi menjadi dua bagian:

  1. Talak ba’in shughra, yaitu talak yang terjadi di mana suami tidak memiliki hak untuk rujuk kembali dengan istrinya, kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru, serta dengan keridaan istri yang dicerai. Talak ini terjadi pada 3 keadaan: (1) Suami tidak merujuk istrinya dari talak raj’i hingga masa idah. (2)  Suami menalak istrinya sebelum mencampurinya (pengantin baru). (3) Cerai yang terjadi karena gugatan/ permintaan dari istri (khulu’).
  2. Talak ba’in kubra, yaitu talak yang mana mantan suami itu sudah tidak memiliki hak untuk rujuk dengan mantan istrinya, kecuali mantan istrinya telah dinikahi laki-laki lain secara alami, artinya bukan nikah tahlil. Nikah tahlil adalah pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang telah ditalak tiga dengan maksud untuk diceraikan agar suami yang pertama bisa menikah lagi dengan wanita tersebut. Baik sebelumnya ada konspirasi antara suami pertama dengan suami kedua maupun tidak. Syarat lainnya, laki-laki lain tersebut juga telah mencampurinya secara hakiki, kemudian mantan istrinya itu berpisah dengan laki-laki tersebut baik karena suaminya meninggal atau karena cerai, dan setelah habis masa idah mantan istrinya tersebut, maka baru ia dibolehkan untuk menikahi mantan istrinya tersebut. Namun, harus dengan akad baru, mahar baru dan tentu saja dengan keridaan mantan istrinya tersebut.

Talak Dengan Niatan Bercanda, Apakah Dianggap?

Imam Ibnu Qudamah di dalam kitabnya Al-Mughni menyebutkan,

“Mayoritas ulama berpendapat bahwa talak dalam keadaan bercanda itu terjadi dan dianggap.”

Hal ini juga berdasarkan hadis nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,

ثلاث جدهن جد وهزلهن جد: النكاح، والطلاق والرجعة

“Ada tiga perkara baik dilakukan dengan serius atau dengan main-main hukumnya tetap berlaku: nikah, talak, dan rujuk.” (HR. Abu Dawud no. 2194, Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039)

Bagaimana Hukumnya Jika Suami Sudah Meniatkan Cerai, Namun Belum Mengucapkannya?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa suami yang meniatkan talak, namun belum mengucapkannya maka talaknya tidak dianggap. (Al-Mughni: 8/263)

Berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,

إن الله تجاوز عن أُمَّتي ما حدثت به أنفسها ما لم تعمل أو تتكلم

Sesungguhnya Allah memaafkan bisikan hati dalam diri umatku, selama belum dilakukan atau diucapkan.(HR. Bukhari no. 5270)

Di dalam riwayat lain disebutkan,

Seseorang datang bertanya kepada Al-Hasan dan dia berkata, “Aku telah menalak istriku, namun hanya dalam hati saja.” Al-Hasan bertanya, “Apakah kamu mengatakan sesuatu dari mulutmu?” Orang tersebut menjawab, “Tidak.” Al-Hasan berkata, “Maka, itu bukanlah talak.” (Musannaf Abdurrazzaq: 6/412).

Menceraikan Istri dalam Keadaan Mabuk, Apakah Dianggap?

Telah kita ketahui bahwa talaknya orang yang belum dewasa, orang gila, dan orang yang dalam kondisi tidur tidaklah terjadi dan tidak dianggap. Berdasarkan sabda nabi,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (balig), dan [3] orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).” (HR. Tirmidzi no. 1423, Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no.  7346 dan Ahmad no. 956)

Lalu, bagaimana dengan orang yang dalam keadaan mabuk, apakah talaknya dianggap?

Imam As-Syaukani rahimahullah dalam kitabnya Nailul Authaar menyebutkan,

“Orang yang mabuk sehingga ia hilang ingatan, maka talaknya tidak dihukumi (tidak sah) karena tidak adanya otoritas dan alasan yang menjadi dasar penetapan hukum baginya (akal). Dan syariat juga telah menetapkan hukuman bagi para pemabuk, maka tidak boleh bagi kita untuk melewati batas lalu mengatakan, ‘Talaknya terjadi sebagai hukuman atas mabuknya.’ sehingga terkumpul baginya dua hukuman.”

Hal ini juga merupakan pendapat Imam Bukhari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, serta Imam Ibnul Qayyim.

Beberapa dalilnya adalah:

  1. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisa: 43).

Di dalam ayat ini Allah Ta’ala menjadikan perkataan orang yang dalam keadaan mabuk tidak dianggap dan tidak ada harganya karena ia tidak mengetahui apa yang diucapkannya.

  1. Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu berkata,

ليس لمجنون ولا لسكران طلاق

 “Tidak ada talak bagi orang gila dan orang mabuk”. (Musannaf Ibnu Abi Syaibah: 4/24).

Wallahu a’lam bisshowaab.

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: www.muslim.or.id

Sumber:

  1. Kifayatul Akhyar Fii Syarhi Matni Abi Syuja’ karya Imam Taqiyuddin Al-Husaini.
  2. Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah.
  3. Nailul Authaar karya Imam As-Syaukaani.

Sumber: https://muslim.or.id/73512-fikih-nikah-bag-9.html