Khotbah Jumat: 6 Kekeliruan dalam Merayakan Idul Fitri

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ.

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى.

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral muslimin, jemaah masjid yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Mengawali khotbah kali ini, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan jemaah sekalian agar senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Terlebih lagi kita telah berada di penghujung bulan Ramadan yang sangat mulia ini. Kita tingkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan itu baik dengan menjalankan seluruh kewajiban yang telah diwajibkan Allah Ta’ala, maupun memperbanyak amalan sunah yang akan menyempurnakan amal ibadah wajib kita. Selain itu, tidak kalah penting juga untuk meninggalkan seluruh larangan Allah Ta’ala.

Sesungguhnya suksesnya seorang muslim di dalam melewati bulan Ramadan diukur dengan tingkat keimanan dan ketakwaan mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang puasa Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 2014).

Terampuni dosa-dosa kita merupakan indikasi baik dan sukses kita di dalam bulan suci ini. Pada hadis yang telah kita sebutkan, ampunan Allah Ta’ala hanya akan didapatkan oleh mereka yang menjalani puasa ini dengan penuh keimanan dan pengharapan pahala.

Selanjutnya, tak lupa puji dan syukur senantiasa kita haturkan kepada Allah Ta’ala, Rabb semesta alam, atas semua limpahan nikmat dan rezeki yang telah Allah Ta’ala berikan kepada kita. Baik rezeki itu berupa nikmat iman, nikmat kesehatan, dan yang tak kalah penting nikmat taufik serta hidayah. Sehingga kita masih diberikan kesempatan untuk beribadah bersama, melaksanakan salat Jumat terakhir di bulan Ramadan ini.

Sebentar lagi, kaum muslimin akan merayakan hari raya Idul Fitri. Hari suka cita, hari yang penuh kegembiraan, dan kebahagiaan. Kegembiraan berupa kesempatan untuk menyelesaikan bulan Ramadan ini dengan beramal. Kebahagiaan berupa kemampuan untuk menjalankan puasa yang telah Allah Ta’ala wajibkan.

Ma’asyiral muslimin, jemaah Salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.

Di dalam merayakan hari raya Idul Fitri yang penuh berkah ini, syariat telah memberikan begitu banyak tuntunan dan petunjuk yang disunahkan untuk kita lakukan. Bahkan ada beberapa amalan yang sangat ditekankan untuk dilakukan di hari raya ini. Sayangnya, masih banyak sekali kekeliruan-kekeliruan yang terjadi di masyarakat kita saat merayakan Idul Fitri.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, pada kesempatan kali ini kita akan membahas bersama 6 kekeliruan yang sering terjadi pada masyarakat kita saat merayakan hari raya Idul Fitri.

Kesalahan pertama: salah dalam memaknai Idul Fitri

Banyak masyarakat kita menganggap makna Idul Fitri adalah ‘kembali suci’. Selain itu, mereka juga berkeyakinan bahwa ketika Idul Fitri, semua muslim dosanya diampuni. Kedua anggapan ini tidak tepat.

Pertama, Idul Fitri berasal dari dua kata; ‘ied (Arab: عيد) dan al-fitr (Arab: الفطر ).

Kata ‘ied secara bahasa berasal dari kata ‘aadaya’uudu (Arab: عاد – يعود), yang artinya kembali. Hari raya disebut ‘ied karena hari raya terjadi secara berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun, dan pada waktu yang sama.

Sedangkan kata al-fitr berasal dari kata aftharayufthiru (Arab: أفطر – يفطر ), yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Berbeda dengan anggapan kebanyakan orang Indonesia. Seringkali memaknainya dengan ‘fitrah’ dan ini jelas salah. Kedua kata tersebut memiliki makna berbeda dan penggunaannya pun berbeda. Oleh karena itu, perayaan ini disebut Idul Fitri karena hari raya ini dimeriahkan bersamaan dengan keadaan kaum muslimin yang tidak lagi berpuasa Ramadan.

Kedua, konsekuensi dari kesalahan mengartikan Idul Fitri ini berakibat pada anggapan bahwa seluruh kaum muslimin di hari raya ini ‘kembali suci’ atau ‘suci seperti bayi’. Maksudnya, diampuni dosanya sebagaimana bayi yang baru lahir.

Keyakinan semacam ini termasuk kekeliruan yang sangat fatal. Berkeyakinan bahwa semua orang yang menjalankan puasa Ramadan dosanya diampuni dan menjadi suci, sama dengan memastikan bahwa seluruh amal puasa kaum muslimin telah diterima oleh Allah Ta’ala. Menganggap bahwa puasanya menjadi kaffarah (penghapus) terhadap semua dosa yang meraka lakukan, baik dosa besar maupun dosa kecil. Padahal tidak ada orang yang bisa memastikan hal ini karena tidak ada satu pun makhluk yang tahu apakah amalnya diterima oleh Allah Ta’ala ataukah tidak. Bahkan para sahabat sekali pun tidak pernah merasa yakin bahwa amal mereka di bulan Ramadan ini diterima oleh Allah Ta’ala. Mu’alla bin Fadl mengatakan,

كانوا يدعون الله تعالى ستة أشهر أن يبلغهم رمضان يدعونه ستة أشهر أن يتقبل منهم

“Dulu para sahabat, selama enam bulan sebelum datang bulan Ramadan, mereka berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadan. Kemudian, selama enam bulan sesudah Ramadan, mereka berdoa agar Allah menerima amal mereka ketika di bulan Ramadan” (Lathaiful Ma›arif, Ibnu Rajab, hal. 264).

Kesalahan kedua: berkeyakinan adanya syariat mengisi malam ‘Ied dengan ibadah khusus

Anggapan ini termasuk bidah dan tidak ada dalil dari Rasulullah Shalllallahu ‘alaihi wasallam. Adapun riwayat yang menjelaskan tentang amalan di malam ‘Ied,

من أحيا ليلة العيد لم يمت قلبه يوم تموت القلوب

“Siapa yang menghidupkan malam ‘Ied, hatinya tidak akan mati saat banyak hati yang mati”

Hadis ini lemah dan tidak sahih. Sumbernya berasal dari dua riwayat, salah satunya maudhu’ (palsu) dan yang satu lagi sangat lemah sekali. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Ad-Dhaifah wal Maudhu’ah, karya Syekh Al-Albany, 520-521).

Oleh karena itu, tidak disyariatkan mengkhususkan malam ‘Ied dengan mendirikan salat malam dibandingkan dengan malam-malam lainnya. Kecuali kalau orang tersebut memang terbiasa melakukan salat malam pada selain malam ‘Ied.

Kesalahan ketiga: mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya

Hal ini bertentangan dengan tujuan dan syiar di hari raya, yaitu mengisinya dengan kegembiraan dan kesenangan. Di sisi lain, hal ini juga bertentangan dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya dari menjadikan kubur sebagai ‘Ied (perayaan) karena mengkhususkan ziarah kubur di momen hari raya ini termasuk dalam makna menjadikannya sebagai ‘Ied. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya,

“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai pemakaman, dan janganlah kalian jadikan makamku sebagai ‘Ied (tempat perayaan). Serta ucapkanlah selawat untukku, karena sesungguhnya ucapan selawat kalian akan sampai kepadaku di mana saja kalian berada” (HR. Abu Daud dengan sanad hasan, dan para perawinya ṡiqāt).

Di dalam hadis tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tegas melarang umatnya menjadikan makamnya sebagai ‘Ied. Lalu bagaimana dengan kuburan yang lain? Tentu saja hukumnya lebih ditekankan lagi dan larangannya lebih tegas.

Kesalahan keempat: melalaikan salat berjamaah dan meninggalkan salat subuh karena begadang di malam harinya

Sangat disayangkan, perkara ini seringkali diremehkan oleh sebagian kaum muslimin. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَثْقَلَ صَلاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاةُ الْعِشَاءِ وَصَلاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لا يَشْهَدُونَ الصَّلاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّار

“Salat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah salat Isya dan salat Fajar. Seandainya mereka tahu keutamaan yang terdapat di dalamnya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak. Sungguh aku ingin memerintahkan salat dimulai dan aku minta seseorang menjadi imam salat. Sedangkan aku pergi bersama beberapa orang yang membawa kayu bakar menuju suatu kaum yang tidak hadir salat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api” (HR. Muslim no. 651).

Di hadis yang lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر

“Janji antara kami dan mereka adalah salat. Siapa yang meninggalkannya, maka sungguh dia telah kafir” (HR. Tirmizi no. 2621, An-Nasa’i no. 463. Dinyatakan sahih oleh Al-Albany dalam Shahih Tirmizi).

Kesalahan kelima: bercampur baur dan berdesak-desakan antara laki-laki dan wanita di tempat salat, jalan-jalan, atau selainnya

Allah Ta’ala berfirman,

ولا تقربوا الزنى إنه كان فاحشة وساء سبيلا

“Dan janganlah kamu mendekati zina, itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra’: 32).

Saat menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

“Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan zina dan perbuatan yang mendekatkan kepada zina, yaitu ber-ikhtilath (bercampur-baur) dengan sebab-sebabnya dan segala hal yang mendorong kepada zina tersebut” (Umdatut Tafsir, 2: 428).

Oleh karena itu, yang bisa dilakukan seorang laki-laki hendaknya ia tidak langsung pulang dari tempat salat atau masjid sebelum kaum wanita telah pulang terlebih dahulu.

Kesalahan keenam: keluarnya sebagian wanita dalam keadaan memakai wewangian, berhias, dan terbuka auratnya

Sungguh ini termasuk pelanggaran yang sering terjadi, dan termasuk perkara yang sering diremehkan orang-orang. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

“Siapa saja wanita yang memakai wewangian, lalu melewati sebuah kaum agar mereka mencium wanginya, maka dia telah berzina”. (HR. Nasa’i no. 5126; Tirmizi no. 2786. Dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, no. 2019).

Para orang tua dan para suami hendaknya tegas di dalam perkara ini, wajib hukumnya untuk mengarahkan anak-anak perempuan serta istrinya agar tidak berbuat hal tersebut, serta mengambil tindakan apabila diperlukan.

Jamaah salat Jumat yang berbahagia.

Akhir kata, hari raya Idul Fitri yang akan kita rayakan ini termasuk salah satu nikmat Allah Ta’ala yang patut kita syukuri. Bermaksiat kepada-Nya dan menyalahi syariat-Nya bukanlah termasuk bentuk rasa syukur kepada Allah Ta’ala yang telah memberikan nikmat.

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita salah satu hambanya yang bisa menikmati perayaan Idul Fitri ini dengan hati yang bersih, jauh dari keteledoran, kekeliruan, dan bisa memberikan kebahagiaan ini untuk orang lain.

Wallahu a’lam bisshowaab.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khotbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/74868-khotbah-jumat-6-kekeliruan-dalam-merayakan-idul-fitri.html

Jazakallah dan Ucapan Terima Kasih

SERING kita mendengar orang mengucapkan jazakallah sebagai ungkapan terima kasih. Apa makna Jazakallah dan Ucapan Terima Kasih?

Setiaporang memahami bahwa ketika menerima kebaikan dari orang lain, sewajarnya mereka mengucapkan terima kasih kepada orang yang darinya ia memperoleh kebaikan tersebut.

Hal tersebut tidak hanya tradisi yang ada di tengah masyarakat, namun juga menjadi kewajiban yang Allah Subhanahu Wata’ala berikan kepada setiap muslim sebagai bentuk bersyukur atas kenikmatan yang diberikanNya, meskipun itu melalui tangan-tangan orang lain, banyak ataupun sedikit.

Berterima kasih adalah suatu keharusan, namun akan lebih bernilai pujian di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala jika bentuk terima kasih tersebut diwujudkan dalam bentuk doa, pujian terhadap kebaikan orang lain.

Sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam kitab Zawaid, dengan isnad yang hasan, Rasulullah bersabda:

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

“Barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat yang sedikit, maka ia tidak akan bisa mensyukuri nikmat yang banyak.” [HR: Ahmad]

Berterima kasih adalah bentuk balasan yang paling sederhana pada orang yang memberikan sesuatu pada kita. Namun ada kata yang lebih bernilai untuk diucapkan dibandingkan frasa “terima kasih”. Kata itu adalah “Jazakallah khairan” yang berarti semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Kenapa Jazakallah Khairan lebih bernilai dibanding terimah kasih? Karena “Jazakallahu Khairan” terkandung doa, sedang “terima kasih” tidak ada doa

Jazakakallah Khairan atau Jazakumulullahu Khairan berasal dari kata dasa “Jazaakallah ” (semoga Allah memberimu/membalasmu). Jadi جَزَاكَ اللهُ artinya “semoga Allah akan memberi/menambah/membalasmu”, ini digunakan sebagai ungkapan terima kasih atas kebaikan seseorang dan sekaligus sebagai sebuah do’a semoga Allah akan membalas kebaikannya.

“Jazakumullah” (جَزَاكُمُ اللهُ) artinya “semoga Allah akan memberi/menambah/membalas kalian” (digunakan ungkapan jamak/orang banyak).

Penggunaan kalimat Jazakallah atau Jazakumullah sebenarnya masih kurang lengkap. Akan lebih lebih lengkap jika disambung “Khairan Katsiran” jadinya “Jazakumullahu Khairan Katsira” (خَيْرًا كَثِيْرًا جَزَاكُمُ اللهُ).

Khairan artinya kebaikan, sedangkan Katsiran artinya banyak, jadi ‘Khairan Katsiran‘ artinya kebaikan yang banyak.

Hadit berikut ini mungkin bisa sedikit menjelaskan tentang dasar dari penggunaan istilah tersebut di atas. Dari Usamah bin Zaid r.a bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda :

من صُنِعَ إليه مَعْرُوفٌ فقال لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ الله خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ في الثَّنَاءِ

“Barangsiapa yang diberikan satu perbuatan kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan “jazaakallahu khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.” [HR. At-Tirmidzi (2035)]

Nah, mulai sekarang gantilah ucapan terima kasih lebih bernilai dan berdampak pahala, maka lebih baik kita menggantinya dengan “Jazakallah Khairan Katsira”.  Wallahu ‘alam bi ash shawwab.*/ Meyra Kris Hartanti

HIDAYATULLAH

Hukum Berhubungan Intim di 10 Malam Terakhir Ramadhan

Bagaimana hukum berhubungan intim di 10 malam terakhir Ramadhan? Untuk menjawab itu, penulis ingin menjelaskan dulu bahwa dalam kitab Tafsir Al-Jalalain karya Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi, bahwa di masa awal Islam, di bulan Ramadhan, umat Islam diharamkan melakukan makan, minum dan berhubungan intim selepas Isya:

كَانَ فِي صَدْر الْإِسْلَام عَلَى تَحْرِيمه وَتَحْرِيم الْأَكْل وَالشُّرْب بَعْد الْعِشَاء

Artinya: “Pada awal masa Islam, (saat berpuasa) diharamkan melakukan hubungan badan, makan, dan minum selepas Isya”.

Kemudian, turunlah QS. Al-Baqarah 187 yang menyatakan kehalalan melakukan hubungan badan, makan dan minum di sepanjang malam pada bulan Ramadhan:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ

Uḥilla lakum lailataṣ-ṣiyāmir-rafaṡu ilā nisā`ikum, hunna libāsul lakum wa antum libāsul lahunn, ‘alimallāhu annakum kuntum takhtānụna anfusakum fa tāba ‘alaikum wa ‘afā ‘angkum, fal-āna bāsyirụhunna wabtagụ mā kataballāhu lakum, wa kulụ wasyrabụ ḥattā yatabayyana lakumul-khaiṭul-abyaḍu minal-khaiṭil-aswadi minal-fajr, ṡumma atimmuṣ-ṣiyāma ilal-laīl,

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.

Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.

Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,”

Keterangan ayat di atas menyebutkan bahwa melakukan hubungan intim, makan, dan minum itu diperbolehkan di malam bulan Ramadhan. Secara spesifik ayat diatas juga menyebutkan perintah “campurilah” atau pergaulilah istrimu di malam hari bulan Ramadhan.

Biasanya, di dalam Alquran, sebuah kata perintah mengindikasikan hukum wajib. Namun dalam ayat ini, perintah tersebut menunjukkan hukum “mubah” atau diperbolehkannya melakukan hal tersebut, sebagaimana sebuah kaidah fikih menyebutkan:

الامر بعد النهي تدل على الاباحة

Artinya: “perintah yang hadir sesudah larangan, menunjukkan hukum mubah”

Meskipun demikian, kelanjutan ayat diatas menyatakan larangan melakukan hubungan badan di malam bulan Ramadhan bagi orang yang sedang melakukan I’tikaf di Masjid:

وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

wa lā tubāsyirụhunna wa antum ‘ākifụna fil-masājid, tilka ḥudụdullāhi fa lā taqrabụhā, każālika yubayyinullāhu āyātihī lin-nāsi la’allahum yattaqụn

Artinya: “(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”.

Terkait dengan i’tikaf dan 10 malam terakhir di bulan Ramadhan, terdapat sebuah hadis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. sebagaimana diceritakan oleh Ummul Mukminin Aisyah Ra., lebih meningkatkan ibadah khususnya I’tikaf di 10 malam terakhir bulan Ramadhan:

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

Artinya: Nabi Saw. ketika masuk 10 terakhir ramadhan, beliau mengencangkan sabuknya, menghabiskan malamnya dengan ibadah, dan membangunkan para istrinya (untuk ibadah). (HR. Bukhari 2024).

Dalam kitab Umdatul Qori juz XI, h. 139 disebutkan bahwa maksud daripada kalimat “mengencangkan sabuknya” ialah bahwa Nabi menjauhi hubungan badan dan menghabiskan waktu untuk fokus beribadah selama 10 malam terakhir di bulan Ramadhan.

Keberadaan hadis di atas bukanlah dalam rangka mengharamkan umat Islam untuk melakukan hubungan intim di 10 malam terakhir bulan Ramadhan, namun untuk menunjukkan kesungguhan beliau dalam melaksanakan ibadah di waktu tersebut dalam rangka menyongsong hadirnya malam lailatul qodar.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa hukum berhubungan intim di 10 malam terakhir bulan Ramadhan hukumnya boleh kecuali bagi mereka yang sedang melaksanakan I’tikaf di Masjid. Wallahu a’lam bi shawab.

BINCANG SYARIAH

Cek Jadwal Haji Anda di Aplikasi Android ini!

Tafsir Al-Quran: Pandangan Yahudi tentang Kehidupan Dunia

Al-Quran banyak mengulas kaum Yahudi, yang disebut manusia yang paling tamak akan kehidupan (dunia),di bawah ini tafsir Al-Quran Surat Al-Baqarah tentang kehidupan Yahudi

KAUM YAHUDI dan Bani Israil banyak diulas dalam Al-Quran.  Di antara surat yang banyak mengulas sifat dan kehidupan mereka adalah Surat Al-Baqarah, di bawah ini.

قُلْ اِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْاٰخِرَةُ عِنْدَ اللّٰهِ خَالِصَةً مِّنْ دُوْنِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْن َ ۞وَلَنْ يَّتَمَنَّوْهُ اَبَدًاۢ بِمَا قَدَّمَتْ اَيْدِيْهِمْ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢ بِالظّٰلِمِيْنَ ۞ وَلَتَجِدَنَّهُمْ اَحْرَصَ النَّاسِ عَلٰى حَيٰوةٍ ۛوَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْا ۛيَوَدُّ اَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ اَلْفَ سَنَةٍۚ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهٖ مِنَ الْعَذَابِ اَنْ يُّعَمَّرَۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِمَا يَعْمَلُوْنَ ࣖ ۞

“Katakanlah (Muhammad), “Jika negeri akhirat di sisi Allah, khusus untukmu saja bukan untuk orang lain, maka mintalah kematian jika kamu orang yang benar.” Tetapi mereka tidak akan menginginkan kematian itu sama sekali, karena dosa-dosa yang telah dilakukan tangan-tangan mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang zalim. Dan sungguh, engkau (Muhammad) akan mendapati mereka (orang-orang Yahudi), manusia yang paling tamak akan kehidupan (dunia), bahkan (lebih tamak) dari orang-orang musyrik. Masing-masing dari mereka, ingin diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu tidak akan menjauhkan mereka dari azab. Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS:al-Baqarah { 2 } : 94-96)

Cinta dunia

Ayat 94-96 dalam Surat al-Baqarah ini membahas tentang pandangan Yahudi terhadap kehidupan dunia dan akhirat. Hal itu bisa dijelaskan dalam poin-poin di bawah ini :

(A).  Kaum Yahudi mengklaim (mengaku-ngaku) bahwa mereka adalah putra-putra Allah dan kaum pilihan yang dicintai Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala menceritakan perkataan mereka :

نَحْنُ اَبْنٰۤؤُا اللّٰهِ وَاَحِبَّاۤؤُهٗ

“Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih kekasih-Nya.” (QS:al-Maidah { 5 } : 18)

Mereka juga mengklaim bahwa tidak akan masuk surga kecuali kelompok mereka saja. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :

وَقَالُوْا لَنْ يَّدْخُلَ الْجَنَّةَ اِلَّا مَنْ كَانَ هُوْدًا اَوْ نَصٰرٰى ۗ

“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani.”  (QS:al-Baqarah { 2 } : 111)

Seandainya mereka masuk neraka pun karena dosa-dosa mereka, mereka mengklaim tidak akan lama di neraka, melainkan hanya beberapa hari saja. Allah Subhanahu wa ta’ala  berfirman :

وَقَالُوْا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ اِلَّآ اَيَّامًا مَّعْدُوْدَةً ۗ قُلْ اَتَّخَذْتُمْ عِنْدَ اللّٰهِ عَهْدًا فَلَنْ يُّخْلِفَ اللّٰهُ عَهْدَهٗٓ اَمْ تَقُوْلُوْنَ عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

“Dan mereka berkata, “Neraka tidak akan menyentuh kami, kecuali beberapa hari saja.” Katakanlah, “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah, sehingga Allah tidak akan mengingkari janji-Nya, ataukah kamu mengatakan tentang Allah, sesuatu yang tidak kamu ketahui?”  (QS:al-Baqarah { 2 } : 80)

(B). Di sisi lain kaum Yahudi adalah kaum yang sangat mencintai dunia dan rakus untuk mendapatkannya. Bahkan saking rakusnya, mereka ingin menikmati dunia sampai 1000 tahun lagi.

Allah Subhanahu wa ta’ala  berfirman :

وَلَتَجِدَنَّهُمْ اَحْرَصَ النَّاسِ عَلٰى حَيٰوةٍ

“Dan sungguh, engkau (Muhammad) akan mendapati mereka (orang-orang Yahudi), manusia yang paling tamak akan kehidupan (dunia).” (QS:al-Baqarah { 2 } : 96)

(C). Oleh karenanya, Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menguji klaim mereka bahwa mereka adalah satu-satunya kelompok yang akan masuk surga dan mereka adalah kekasih-kekasih Allah, mereka diuji untuk bercita-cita mati.

Arti “tamanna  al-Maut”

Para ulama berbeda pendapat di dalam menafsirkan ”Tamanna al-Maut.”

Pendapat pertama

Tamanna al-Maut artinya mintalah kematian yang mengantarkan kepada kenikmatan abadi yang dikhususkan bagi kalian. Hal itu karena seseorang yang meyakini dirinya adalah ahli surga, tentunya akan lebih memilih kematian dari pada hidup di dunia yang penuh masalah dan ujian ini.

Pendapat pertama ini lemah, karena tidak mesti orang yang shalih atau orang yang menyakini dirinya ahli surga lantas ingin segera mati. Justru sebaliknya banyak orang shalih yang ingin hidup panjang untuk memperbanyak amal shalih yang akan menambah bekal nanti di akhirat. Dan ini sesuai dengan Hadist Abdulah bin Busr Radhiyallahu Anhu:

 عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ خَيْرُ النَّاسِ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ

“Dari ‘Abdullah bin Busr, seorang badui bertanya: Wahai Rasulullah, siapa orang terbaik itu? Rasulullah ﷺ menjawab : “Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya”.” (HR: at-Tirmidzi, 2251)

Pendapat kedua

Pada ayat di atas artinya : “Doakan kematian bagi salah satu pihak, terutama kalian yang paling dusta klaimnya (pengakuanya).” Hal ini sering disebut “al-Mubahalah” yang sering diartikan juga “saling mendoakan keburukan atau kematian atau kehancuran bagi lawan debatnya yang berbohong atau tidak jujur.” Biasanya “al-Mubahalah” digunakan dalam perdebatan penting terutama masalah akidah seperti antara umat Islam dan orang kafir, sebagaimana yang dilakukan Nabi ﷺ ketika berdebat dengan Para Pendeta Nasrani dari daerah Najran tentang  Nabi Isa Alaihi as Salam.

Sayangnya sebagian umat Islam pada hari ini salah dalam menerapkan “al-Mubahalah”, ketika berselisih dengan kawannya dalam hal-hal yang tidak penting dari prinsip pun mereka menggunakan “al-Mubahalah” padahal konsekuensinya sangat berat, mendoakan kehancuran temannya sesama muslim.

Ketika kaum Yahudi diminta untuk bercita-cita mati atau saling mendoakan kehancuran bagi yang berdusta, mereka tidak mau melaksanakannya, karena mereka takut bahwa sebenarnya mereka berdusta atas klaim (pengakuan) mereka, dan karena sebenarnya mereka sangat mencintai dunia. Mereka sadar bahwa mereka telah banyak berbuat dosa.

Maka kaum Yahudi sering disebut kaum yang sangat takut mati atau pengecut. Seandainya mereka berperang, selalu berada dibalik benteng.

Allah Subhanahu wa ta’ala  berfirman :

لَاَنْتُمْ اَشَدُّ رَهْبَةً فِيْ صُدُوْرِهِمْ مِّنَ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَفْقَهُوْن َ ۞ لَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ جَمِيْعًا اِلَّا فِيْ قُرًى مُّحَصَّنَةٍ اَوْ مِنْ وَّرَاۤءِ جُدُرٍۗ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيْدٌ ۗ تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَّقُلُوْبُهُمْ شَتّٰىۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُوْنَۚ۞

“Sesungguhnya dalam hati mereka, kamu (Muslimin) lebih ditakuti daripada Allah. Yang demikian itu karena mereka orang-orang yang tidak mengerti. Mereka tidak akan memerangi kamu (secara) bersama-sama, kecuali di negeri-negeri yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu padahal hati mereka terpecah belah. Yang demikian itu karena mereka orang-orang yang tidak mengerti.” (QS:al-Hasyr { 59 } : 13-14)

Begitu juga terdapat atsar Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu yang menyebutkan, “Sekiranya kaum Yahudi menginginkan kematian, niscaya mereka mati dan melihat tempat mereka di neraka.”

‘Hidup seribu tahun’

وَلَتَجِدَنَّهُمْ اَحْرَصَ النَّاسِ عَلٰى حَيٰوةٍ ۛوَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْا ۛيَوَدُّ اَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ اَلْفَ سَنَةٍۚ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهٖ مِنَ الْعَذَابِ اَنْ يُّعَمَّرَۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِمَا يَعْمَلُوْنَ ࣖ

“Dan sungguh, engkau (Muhammad) akan mendapati mereka (orang-orang Yahudi), manusia yang paling tamak akan kehidupan (dunia), bahkan (lebih tamak) dari orang-orang musyrik. Masing-masing dari  mereka, ingin diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu tidak akan menjauhkan mereka dari azab. Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS:al-Baqarah { 2 } : 96).

Tafsir dalam ayat di atas menjelaskan bahwa kaum Yahudi adalah kaum yang sangat mencintai dunia dan takut mati. Bahkan mereka ingin hidup seribu tahun lagi, maksudnya ingin hidup selamanya. Karena mereka tahu jika mereka mati, tempat mereka adalah neraka.

Bahkan kerakusan kaum Yahudi terhadap dunia ini lebih dibanding orang-orang musyrik. Perbedaan antara dua kelompok tersebut bahwa Kaum Yahudi mengatakan adanya hari kebangkitan dan hari kiamat sedangkan kaum musyrikin tidak percaya adanya hari akhir.

Kaum Yahudi walaupun diberi tangguh sampai seribu tahun lamanya, tetapi hal itu tidak menyelamatkan mereka dari adzab yang pedih. Allah Subhanahu wa ta’ala  berfirman :

وَلَتَجِدَنَّهُمْ اَحْرَصَ النَّاسِ عَلٰى حَيٰوةٍ ۛوَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْا ۛيَوَدُّ اَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ اَلْفَ سَنَةٍۚ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهٖ مِنَ الْعَذَابِ اَنْ يُّعَمَّرَۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِمَا يَعْمَلُوْنَ ࣖ

“Dan sungguh, engkau (Muhammad) akan mendapati mereka (orang-orang Yahudi), manusia yang paling tamak akan kehidupan (dunia), bahkan (lebih tamak) dari orang-orang musyrik. Masing-masing dari mereka, ingin diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu tidak akan menjauhkan mereka- dari azab. Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS:al-Baqarah { 2 } : 96)

Salah satu lirik nasyid anak-anak mengambil tulisan dari ayat diatas. Lirik tersebut berbunyi “Walapun hidup seribu tahun, kalau tak sembahyang (shalat) apa gunanya!” Semoga Allah menjauhkan kita dari adzab api neraka, Amin. Wallahu A’lam.*/Tafsir An-Najah diasuh Dr Ahmad Zain an-Najah, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Apakah Zakat Fitrah Harus Dibagikan Pada 8 Golongan, atau Hanya untuk Fakir-Miskin?

Kewajiban zakat fitrah harus didistribusikan kepada orang-orang yang telah ditentukan. Namun, praktek yang sering terjadi di masyarakat adalah penyerahan zakat fitrah hanya kepada golongan fakir dan miskin saja. Lantas, Apakah zakat fitrah harus dibagikan kepada seluruh golongan delapan (asnaf tsamaniyah) atau khusus diberikan pada fakir-miskin?

Dalam literatur kitah fikih Syafi’i, pendistribusian zakat fitrah sama dengan pembagian zakat mal yaitu didistribusikan kepada delapan kelompok. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Muhazzab, juz 6, halaman 185 berikut,

وَيَجِبُ صَرْفُ جَمِيعِ الصَّدَقَاتِ إِلَى ثَمَانِيَةِ أَصْنَافٍ وَهُم الْفُقَرَاءُ وَالْمَسَاكِينُ وَالْعَامِلُونَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلِّفَةُ قَلُووبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمُونَ وَفِى سَبِيلِ اللهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ….. (وَقَالَ)أَبُو سَعِيدَ الاُصْطُخْرِيُّ تُصَرَّفُ زَكَاةُ الْفِطْرِ إِلَى ثَلَاثَةٍ مِنَ الْففُقَرَاءِ لَأَنَّهُ قَدْرٌ قَلِيلٌ

Artinya : “Wajib mendistribusikan seluruh sedekah kepada delapan golongan. Mereka adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat para muallaf, budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Abū Sa’īd al-Ustukhrī berkata, bahwa zakat fitrah disalurkan pada tiga orang fakir karena kadar yang sedikit.”

Namun demikian, pendapat yang masyhur dari kalangan Syafii ini ditolak oleh Ibnu Qayyim. Menurutnya, zakat fitrah itu khusus diberikan kepada fakir-miskin. Sebab Rasulullah Saw, sahabat dan generasi sesudahnya tidak pernah memberikan zakat fitrah kecuali kepada fakir-miskin. 

Pendapat ini adalah pendapat yang lebih shahih dan juga didukung oleh mazhab Imam Malik . dan salah satu riwayat dari mazhab al-Syafi’i.  Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqh al-Zakat juz 2, halaman 241 berikut

هَلْ تُفَرَّقُ عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ؟ وَهَلْ يَقْتَصِرُ صَرْفُهَا عَلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ أَمْ تَعَمُّمٌ عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ ؟ الْمَشْهُورَ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ يَجِبُ صَرْفُ الفُطْرَةِ إِلَى الأَصْنَافِ الَّذِينَ تُصْرَفُ إِلَيْهِمْ زَكَاةُ الْمَالِ، وَهُمْ المَذْكُوْرُنَ فِي آيَةٍ:(إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ التَّوْبَةَ: (60), وَتَلْزَمُ قِسْمَتُهَا بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ (الْمَجْمُوعَ 144/6)، وَهُوَ مَذْهَبُ اِبْنِ حَزْمٍ، فَإِذَا فَرَّقَهَا المُزَكِّي بِنَفْسِهِ سَقَطَ سَهْمُ الْعَامِلِينَ لِعَدَمِ وُجُودِهِمْ، وَالْمُؤَلَّفَةِ لِأَنَّ أَمْرَهُمْ إِلَى الْإمَامِ لَا إِلَى غَيْرِهِ (الْمَحَلِّي : (145-143/6)

وَرَدَّ اِبْنُ الْقَيِّمِ عَلَى هَذَا الرَّأْيِ فَقَالَ:” وَكَانَ مِنْ هَدْيِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-تَخْصِيصُ الْمَسَاكِينِ بِهَذِهِ الصَّدَقَةِ، وَلَمْ يَكُنْ يُقَسِّمُهَا عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ قَبْضَة قَبْضَة، وَلَا أَمْرٌ بِذَلِكَ، وَلَا فَعَلَهُ  أحَدٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، وَلَا مَنْ بَعْدَهُمْ بَلْ أحَدُ الْقَوْلَيْنِ عِنْدَنَا: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِخْرَاجُهَا إِلَّا عَلَى الْمَسَاكِينِ خَاصَّةً. وَهَذَا الْقَوْلُ أَرْجَحُ مِنَ الْقَوْلِ بِوُجُوبِ قِسْمَتِهَا عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ وَعِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ: إِنَّمَا تُصْرَفُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ، وَلَا تُصْرَفُ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا وَلَا لِمُؤَلَّفِ قَلْبِهِ، وَلَا فِي الرِّقَابِ، وَلَا لِغَارِمٍ وَلَا لِمُجَاهِدٍ وَلَا لِاِبْنِ سَبِيلٍ يَتَوَصَّلُ بِهَا لِبَلَدِهِ، بَلْ لَا تُعْطَى إِلَّا بِوَصْفِ الْفَقْرِ.

Artinya : “Apakah zakat fitrah dibagikan kepada delapan golongan? Dan apakah pendistribusian zakat fitrah hanya dicukupkan terhadap fakir dan miskin ataukah dibagikan secara merata kepada delapan golongan? 

Yang masyhur dalam mazhab Syafi’i bahwasanya zakat fitrah wajib didistribusikan pada golongan yang dalam zakat mal mendapatkan bagian, sebagaimana tertera dalam ayat “Innama assshadaqatu” dan wajib dibagi secara merata. 

Ini merupakan mazhab Ibnu Hazm, Ibnu al-Qayyim menolak pendapat ini seraya berkata, “Termasuk dari petunjuk Rasulullah Saw adalah mengkhususkan shadaqah pada orang-orang miskin, tidak memberikan shadaqah pada delapan golongan secara merata, tidak memerintahkan. 

Hal itu, tak seorang pun dari sahabat melakukannya, demikian pula orang-orang setelah sahabat. Akan tetapi, salah satu dari dua pendapat dari kalangan kita, tidak boleh menyalurkan zakat fitrah kecuali kepada orang-orang miskin secara khusus. 

Pendapat ini lebih unggul dibandingkan perkataan orang yang mewajibkan pembagian zakat pada delapan golongan.

Menurut malikiyah, zakat fitrah hanya diberikan pada fakir dan miskin, tidak boleh diberikan pada pengurus zakat dan yang lemah imannya, memerdekakan budak, orang yang berhutang, prajurit, dan ibnu sabil yang dapat sampai ke negerinya melalui zakat fitrah, bahkan  tidak dapat diberikan terkecuali memiliki sifat fakir.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa menurut mazhab Syafi’i, pendistribusian zakat fitrah sama dengan pembagian zakat mal yaitu didistribusikan kepada delapan kelompok.

Tetapi, pendapat dari kalangan Syafi’i ini ditolak oleh Ibnu Qayyim. Menurutnya, zakat fitrah itu khusus diberikan kepada fakir-miskin. Sebab Rasulullah Saw, sahabat dan generasi sesudahnya tidak pernah memberikan zakat fitrah kecuali kepada fakir-miskin.

Pendapat ini adalah pendapat yang lebih sahih dan juga didukung oleh mazhab Imam Malik. Demikian penjelasan mengenai hukum zakat fitrah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Apakah Korban PHK Wajib Membayar Zakat?

Berikut ini penjelasan terkait apakah korban PHK wajib membayar zakat? Pasalnya, di saat Covid-19 ini banyak masyarakat Indonesia yang menjadi korban Pumutusan Hubungan Kerja (PHK). Berikut penjelasannya.  

 Selain shalat dan puasa, rukun-rukun Islam lain yang juga wajib untuk dilakukan oleh semua umat Islam adalah mengeluarkan zakat, atas semua harta benda yang dimilikinya, baik berupa barang, tanaman, perdagangan dan semacamnya.

Rukun Islam nomor tiga setelah shalat ini sudah sangat maklum perihal kewajibannya. Dan, para ulama sejak dahulu sudah memutuskan semua itu. Sebab, Al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas, telah memberikan keputusan akan kewajiban zakat. Dalam Al-Qur’an, Allah swt. berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama dengan orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43).

Dengan berdasarkan ayat ini, terbentuklah sebuah kesepakatan (konsensus) ijma’ dari para ulama, bahwa wajib mengeluarkan zakat bagi semua umat Islam tanpa terkecuali. Dan, orang yang ingkar akan kewajibannya, sama artinya ia ingkar pada ketentuan Allah dan rasul-Nya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya, ia mengatakan:

وُجُوْبُ الزَّكَاةِ مَعْلُوْمٌ مِنْ دِيْنِ اللهِ ضُرُوْرَةً فَمَنْ جَحَدَ وُجُوْبَهَا فَقَدْ كَذَبَ اللهَ وَكَذَبَ رَسُوْلَهُ

Artinya, “Kewajiban zakat sudah diketahui dari agama Allah (Islam) secara pasti. Maka, siapa yang ingkar akan kewajibannya, maka sungguh telah mengingkari Allah dan rasul-Nya.” (Imam Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2001], juz V, halaman 331).

Kendati demikian, Islam sebagai agama universal dan paripurna, yang memiliki visi dan misi tidak memberi beban pada pemeluknya, perihal beberapa kewajiban-kewajiban dan ketentuan yang tidak mereka mampu, tentu memberikan dispensasi (keringanan) terhadap semuanya, termasuk zakat.

Selain itu, pada bulan puasa Ramadhan, Allah tidak hanya mewajibkan puasa bagi semua umat Islam, ada kewajiban lain yang juga harus dipenuhi oleh mereka, yaitu untuk mengeluarkan zakat fitrah, sebagai penyempurna dari puasanya selama satu tahun.

Kewajiban yang satu ini tentu tidak memandang ras dan suku, siapa saja yang beragama Islam maka wajib untuk mengeluarkannya. Hanya saja, Islam memberikan sebuah keringanan bagi mereka yang tidak mampu untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Orang-orang yang tidak memiliki harta, misalnya, baik harta dagangan, harta pertanian, mereka tidak memiliki kewajiban zakat. Misalnya, orang fakir, yaitu orang tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak memiliki pemasukan (uang) dalam setiap harinya, maka orang yang seperti ini tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat.

Orang yang tidak wajib mengeluarkan zakat lainnya, adalah orang miskin, yaitu orang yang masih memiliki pemasukan (usaha) untuk menghidupi keluarganya, hanya saja semua hasil pemasukan tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhannya dalam setiap hari.

Nah, dua orang dalam contoh di atas tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat. Semua itu tidak lain disebabkan syariat Islam merupakan ajaran mudah yang tidak pernah memberatkan bagi pemeluknya perihal kewajiban yang tidak mereka mampu. Nah, apakah orang yang di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) juga gugur kewajiban zakatnya? Mari kita bahas.

PHK dan Kewajiban Zakat

Perlu diketahui, bahwa orang yang di PHK adalah orang yang sebelumnya pernah memiliki pekerjaan tetap, dan penghasilan yang cukup. Hanya saja, ia dipecat dan akhirnya tidak lagi memiliki penghasilan dalam kebutuhan kesehariannya.

Orang-orang yang di PHK dalam ajaran Islam, terbagi menjadi dua bagian, ada yang masih mampu untuk mengeluarkan zakat fitrah, karena memiliki tabungan yang banyak misalnya, maka orang yang seperti masih memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah, sekalipun statusnya adalah orang yang di PHK.

Kedua, yaitu orang di PHK yang semua hartanya tidak ada. Sebab, selama ia bekerja, semua penghasilannya sudah cukup digunakan untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya, sehingga ketika ia harus di PHK, maka sama halnya ia tidak memiliki harta sedikit pun.

Nah, orang yang seperti ini dalam kitab-kitab turats dikenal dengan istilah mu’sir (orang yang tidak mampu). Apakah wajib zakat? Simak penjelasan berikut.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami (wafat 974 H), dalam salah satu kitabnya memposisikan orang mi’sir (tidak mampu), sebagai orang yang tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah. Akan tetapi, gugurnya kewajiban ini apabila tidak mampunya di saat yang bersamaan dengan kwajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Misalnya, orang di PHK pada bulan Ramadhan, dan tidak memiliki uang yang cukup untuk mengeluarkan zakat fitrah, maka kewajibannya gugur. Namun, jika di PHK pada sebelum bulan Ramadhan, dan ketika sudah memasuki bulan Ramadhan telah menemukan pekerjaan baru, misalnya, maka orang yang seperti ini tetap memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah.

Berbeda, jika misalnya ada orang di PHK di bulan Ramadhan, kemudian selama bulan Ramadhan ia tidak menemukan pekerjaan baru, usaha baru, dan penghasilan baru, kemudian di bulan selanjutnya menemukan pekerjaan tersebut, maka ia tetap tidak memiliki kewajiban mengeluarkan zakat. Sebab, waktu kewajibannya telah berlalu. Perhatikan penjelasan berikut,

 (وَلَا) فِطْرَةَ عَلَى (مُعْسِرٍ) وَقْتَ الْوُجُوبِ إجْمَاعًا وَإِنْ أَيْسَرَ بَعْدُ

Artinya, “Tidak wajib zakat fitrah bagi orang yang tidak mampu (mengeluarkan) pada saat waktu wajibnya (mengeluarkan zakat) secara ijma’ (konsensus), sekalipun ia menjadi mampu setelah waktu wajib.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatu al-Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj, [Mesir, Maktabah at-Tijariyah Kubra: 1983], juz XII, halaman 406).

Alhasil, orang yang tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah, termasuk orang yang di PHK, tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitrah, dan tidak pula wajib untuk menggantinya (qadha).

Sebab, mengganti zakat fitrah hanya berlaku bagi orang yang mampu mengeluarkan zakat fitrah, hanya saja ia tidak membayarnya.

Demikian penjelasan terkait  apakah korban PHK Wajib membayar zakat? Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Memburu Lailatul Qadar di Menit Terakhir Bulan Ramadhan

Berikut ini penjelasan terkait memburu malam lailatul qadar di menit terakhir bulan Ramadhan. Bulan yang mulia ini mengandung satu bulan yang lebih mulia dari 1000 bulan. Simak penjelasan ulama terkait hal tersebut. 

Sudah menjadi kebiasaan di setiap tahunnya, bahwa di akhir bulan Ramadhan semangat umat muslim mulai kendur, kendatipun Allah SWT menjanjikan pahala yang besar bagi yang memanfaatkan peluang lailatul qadar, yaitu yang biasa ditandai pada sepertiga akhir puasa. 

Di mana-mana, banyak dari kaum muslimin sibuk dengan urusan dunia. Seperti mempersiapkan semacam jenis makanan dan minuman untuk lebaran nanti. Lain lagi urusan bajunya.

Mereka terus memadati pasar-pasar grosir. Kalau orang Madura yang belum mudik, biasanya memadati pasar Tanah Abang di Jakarta Timur. Segala sesuatu dijual murah di sana, kendatipun kualitasnya bagus-bagus. 

Kalau di daerah Madura sendiri biasanya memadati pasar-pasar terdekat. Di Parenduan Sumenep, misalnya, ada jenis pasar yang lumayan lebar, yang menjul beranekaragam jenis jualan. Pasar itu beroperasi setiap hari Rabu. Karena itu, pasar tersebut disebut dengan “Pasar Rebbuan“.

Di mana-mana ada pasar, setiap umat muslim, baik laki-laki maupun perempuan, sibuk memadati pasar-pasar. Mereka memenuhi pasar dengan mempersiapkan untuk lebaran nanti. Mereka sampai lupa bahwa ada jenis ibadah yang pahalanya luar biasa jika pada saat yang bersamaan dikerjakan pada malam turunnya Lailatul Qadar.

Herannya, ketika di pasar mereka tampak bersemangat seakan-akan tidak merasakan rasa lelah sedikitpun. Namun saat waktunya pelaksanaan ibadah seperti tarawih, tadarus, shalat berjamaah, mereka hilang tanpa jejak entah kemana, kendatipun Allah sudah menjanjikan pahala yang sangat besar sekali. 

Malam Lailatul Qadar dalam banyak riwayat turun pada sepuluh terakhir di bulan Ramadhan. Umat muslim yang berhasil melaksanakan ibadah yang bertepatan dengan hari turunnya Lailatul Qadar tersebut akan meraih pahala lebih besar daripada pahala selain bulan Ramadhan.

Dalam banyak riwayat, dijelaskan bahwa predikat pahala yang diberikan adalah lebih baik dari ibadah seribu bulan. Sayangnya, peluang emas itu banyak disia-siakan saja. 

Kalau di pelosok-pelosok desa yang terlihat masih konsisten di tempat-tempat ibadah tersisa kalangan sepuh yang tetap kelihatan aktif bermunajat kepada Allah SWT. Sementara sebagian yang lain (sebagian besar remaja) mengurangi saf-saf salat Tarawih di babak sepuluh terakhir bulan Ramadhan tersebut. 

Tetapi ada pula dari beberapa anak remaja yang juga masih konsisten menyambut malam Lailatul Qadar tersebut. Di antara mereka adalah dari kalangan Santri Pondok Pesantren. Semua umat muslim yang secara konsisten terus memadati tempat-tempat ibadah tersebut, mereka sangat berkeinginan mendambakan rahmat Allah SWT yang tetap kelihatan rajin di masjid untuk i’tikaf

Inilah kemudian kenapa malam Lailatul Qadar oleh Allah SWT dirahasiakan supaya ada nilai perjuangan dan konsistensi yang secara berlanjut terus dipertahankan dalam melaksanakan tugas penghambaan kita kepada Allah SWT. 

Mereka yang secara konsisten beribadah, i’tikaf di masjid dari tanggal satu di bulan Ramadhan hingga akhir bulan Ramadhan, dapat dipastikan ia akan bertemu dengan malam Lailatul Qadar.

Orang yang bertemu dengan malam Lailatul Qadar, sesuai dengan janji Allah SWT, maka pahala ibadahnya bernilai berlipat-ganda, seperti ia melaksanakan ibadah selama seribu tahun (QS. Al-Qadar: 1-5).

Bayangkan, bila hidup kita ditakdirkan hanya mencapai 50-70 tahun saja. Allah menjanjikan pahala ibadah di bulan Ramadhan adalah berkali-kali lipatnya. Ibadah tersebut kita kerjakan secara konsisten.

Kemudian kita terus memadati rumah ibadah dari tanggal satu hingga akhir Ramadhan. Pada gilirannya, kita ditakdirkan bertemu dengan malam Lailatul Qadar. Selama bulan Ramadhan kita mendapatkan pahala melebihi umur kita: melebihi ibadah 50 tahun. Betapa senangnya. Dan, Allah SWT sungguh Maha Bijaksana. 

Malam Lailatul Qadar tidak bisa diprediksi kapan akan turun. Itu semua merupakan rahasia Allah. Menurut beberapa riwayat, bahwa Lailatul Qadar tersebut akan turun pada hari-hari ganjil di bulan Ramadhan, meskipun dengan demikian ada pula yang berpendapat bahwa malam Lailatul Qadar turun pada tanggal genap. 

Oleh karena itu, bagi setiap hamba yang ingin meraihnya, maka harus mengikuti kontestasi dengan cara mengisi malam-malam Ramadhan dengan kegiatan amal ibadah (seperti mengisi dengan salat malam, tarawih, tadarus, dan lainnya). Dan, malam semi final (malam sepuluh terakhir bulan Ramadhan) tidak putus semangat untuk terus bermunajat kepada Allah SWT hingga selesai laga. 

Dengan demikian, karena sekarang sudah memasuki sepuluh terakhir bulan Ramadhan niscaya mari saling mengingatkan dan meningkatkan kualitas ibadah kita kepada Allah SWT.

Bukannya nabi teladan kita, Muhammad SAW yang mendapatkan jaminan dosanya diampuni saja, masih giat memberikan teladan ideal terhadap umatnya, dengan terus optimal melakukan i’tikaf sepanjang malam? Hal itu rutin beliau lakukan sampai beliau wafat, dan kemudian hal itu diteladani oleh para istrinya (HR. Bukhari).

Demikian penjelasan terkait memburu malam lailatul qadar. Sudah selayaknya kita memburu malam lailatul qadar ini. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Islam Jalan Hijrah Mario Rajasa

Hijrah berarti perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam sejarah, momen hijrah dimulai ketika Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin berpindah dari Makkah ke Madinah. Sejak itulah, syiar Islam semakin kuat.

Dalam terminologi sehari-hari, hijrah bermakna adanya peralihan karakteristik menjadi lebih elok. Umpamanya, seseorang yang dahulu dikenal gemar menyakiti perasaan orang lain kemudian berubah menjadi lebih peka dan santun dalam pergaulan.

Bagi Mario Rajasa, jalan hijrah yang dialaminya bermula dari syahadat. Ya, keputusannya untuk berislam mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Mualaf tersebut merasa dirinya lebih condong pada kebajikan sesudah memantapkan hati untuk memeluk agama tauhid.

Lelaki yang kini berusia 27 tahun itu mengaku, sebelum menjadi Muslim dirinya sering melakukan kenakalan remaja. Barangkali, hal itu terjadi karena pengaruh teman-temannya. Pergaulan yang salah membuatnya tumbuh sebagai seorang pemuda yang tidak begitu peduli pada masa depan.

“Saya berteman dengan orang-orang yang sering mengajak dugem dan minum minuman keras, bahkan hingga tak sadarkan diri (karena mabuk),” ujar dia, seperti dikutip Republika dari siaran video yang diunggah oleh Mualaf Center Aya Sofia via YouTube, beberapa waktu lalu.   Saya berteman dengan orang-orang yang sering mengajak dugem dan minum minuman keras, bahkan hingga tak sadarkan diri    

Untuk sekadar bersenang-senang dengan menenggak khamar, Mario Rajasa bahkan nekat melakukan kejahatan. Misalnya adalah mencuri uang milik beberapa anggota keluarga di rumah. Bahkan, beberapa barang kepunyaan neneknya raib karena dijual secara diam-diam olehnya. Karena geram, sang nenek sempat nyaris melaporkannya kepada pihak kepolisian.

Sesungguhnya, keluarga Mario tergolong berada. Masyarakat menganggap mereka sebagai warga yang sopan dan baik. Karena itu, perilaku buruk anak muda itu sering membuat malu pihak keluarganya.

Pernah beberapa kali ayahnya memberikan uang jajan melebihi yang biasanya. Hal itu dengan harapan, Mario segera menghentikan kebiasaan mencuri. Namun, berapapun uang saku yang diterima seakan-akan tidak cukup bagi pemuda tersebut. Setiap hari, ada saja masalah yang ditimbulkannya.

Kedua orang tua Mario beragama Buddha. Akan tetapi, mereka tidak ragu untuk mendaftarkan sang anak ke sebuah lembaga pendidikan swasta yang berlabel sekolah Katolik. Alasannya, sekolah itu terkenal memiliki sistem pengajaran yang cukup bagus. Karena yang dipelajari di sana adalah Katolik, lambat laun pemuda tersebut ikut-ikutan menganut agama ini.

Jangan bayangkan Mario kemudian menjadi insaf. Sebab, baginya saat itu agama sekadar identitas belaka di atas kertas. Dia masih jauh dari kesan sebagai seorang penganut yang taat.   Dia masih jauh dari kesan sebagai seorang penganut yang taat.  

Ibadah yang pernah dilakukannya sebagai pemeluk Nasrani bisa dihitung denngan jari. Ia mengenang, ke tempat ibadah cuma empat kali dalam setahun, yakni pada momen hari-hari besar yang libur nasional.

Tidak hanya jauh dari kecenderungan agamis. Mario ketika itu masih saja tidak peduli pada dampak keonaran yang kerap dilakukannya. Beberapa kali, dirinya meluapkan emosi dan amarah secara tak terkendali.

“Saya menjadi orang yang pemarah kepada siapapun. Bahkan, ketika orang ingin bercanda dengan saya, saya akan mudah tersinggung,” kata dia.

Sebelum hidayah menerangi hatinya, Mario mengaku, dia tidak pernah taat kepada ayah dan ibu. Banyak perintah dan saran keduanya yang selalu diabaikannya.

Mengenal Islam

Fase perubahan dalam hidupnya dimulai ketika lulus SMA. Salah satu kelebihan Mario Rajasa terletak pada bidang akademik, khususnya ilmu matematika. Hal itu terbukti dari berbagai perlombaan yang pernah dimenangkannya.

Mario kemudian terdaftar sebagai seorang mahasiswa. Ilmu komputer menjadi jurusan yang diambilnya. Sebelum pandemi Covid-19 melanda, dia selalu hadir di dalam kelas. Di luar jam-jam kuliah, ia pun aktif dalam berbagai kegiatan sehingga memiliki cukup banyak teman.

Berbeda dengan masa SMA, kali ini lingkar pertemanannya lebih majemuk. Bahkan, banyak kawannya yang secara tidak langsung memberikan teladan tentang kerja keras, empati, dan rasa saling menghargai. Barangkali, watak mereka sebagai mahasiswa perantauan ditempa oleh pengalaman.

Tidak sedikit mahasiswa yang menjadi kawan Mario berasal dari kalangan Muslimin. Memang, kampus tempatnya belajar bernaung di bawah sebuah yayasan non-Muslim. Akan tetapi, universitas tidak pernah membatasi siapapun yang ingin belajar di sana hanya karena agama yang dipeluk.   Kampus tempatnya belajar bernaung di bawah yayasan non-Muslim. Namun, universitas tidak pernah membatasi yang ingin belajar hanya karena agama yang dipeluk.     SHARE

Maka pada fase mahasiswa inilah Mario mulai sedikit mengenal Islam. Di satu sisi, ia merasa nyaman berinteraksi dengan teman-temannya yang Muslim. Namun, di sisi lain persepsinya saat itu tentang agama ini masih cenderung negatif.

Sebagai contoh, Mario memandang Muslimah yang memakai hijab sebagai orang-orang yang aneh. Dalam anggapannya, kain penutup rambut dan lekukan tubuh itu adalah milik kebudayaan Arab. Sementara itu, Indonesia adalah negeri tropis. Kalau mengenakan kerudung, bukankah orang akan lebih merasa gerah? Begitu pikirnya.

Terlebih lagi, pada tahun-tahun itu marak pemberitaan tentang terorisme. Dan beberapa media acap kali membuat pembingkaian (framing) bahwa ekstremisme berkaitan dengan Islam. Mario pun kerap terbawa arus framing demikian sehingga kesannya tentang agama tauhid semakin penuh curiga.

Waktu dapat mengubah pendirian seseorang. Itulah pula yang terjadi padanya. Lelaki ini kian tertarik untuk mengenal Islam setelah memerhatikan beberapa kawan Muslimnya yang taat beribadah.

Pada 2016, ia pun memulai riset sederhana mengenai kepercayaan. Perhatian awalnya tertuju pada agamanya sendiri. Setiap agama pasti memiliki buku yang dianggap para pemeluknya sebagai kitab suci. Maka hari itu ia pun mengambil kitab agamanya yang sudah lama terabaikan di sudut lemari. photo Mario Rajasa mengaku, sejak menjadi Muslim perlahan-lahan dapat memperbaiki akhlak diri sendiri. – (DOK INSTAGRAM RAJASAMARIO)

Menjadi Muslim

Setelah membaca kitab agamanya, Mario Rajasa tertarik untuk menelusuri kisah Nabi Isa (Yesus). Ia mengadakan riset pribadi untuk menemukan jawaban, apakah Nabi Isa meminta kepada orang-orang agar mereka menyembah dirinya. Ataukah, sang nabi mengimbau khalayak untuk beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa?

Dalam proses pencarian ini, Mario kerap berdialog dengan kawan-kawannya yang Muslim. Mereka umumnya berpandangan, dalam ajaran Islam sosok Nabi Isa dan ibunda beliau, Maryam (Maria), adalah mulia. Bahkan, sebuah surah dalam Alquran diberi nama “Maryam”.

Mereka juga mengatakan, Nabi Isa bukanlah Tuhan. Beliau bukan pula “anak Tuhan” karena jelas Tuhan tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Itulah yang disebut sebagai konsep tauhid.

Tidak hanya membaca berbagai buku, lelaki berdarah Tionghoa ini juga menonton beberapa tayangan ceramah tentang kristologi, termasuk yang disampaikan pendakwah Muslim. Akhirnya, ia semakin yakin pada kesimpulan bahwa Nabi Isa ditugaskan oleh Allah untuk umat secara spesifik, yakni Bani Israil.   Ada kesinambungan ajaran antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW.     SHARE

Dan juga, ada kesinambungan ajaran antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW. Bedanya adalah, yang terakhir itu menyampaikan ajaran untuk seluruh umat manusia, bukan kelompok tertentu saja. Maka sudah sepatutnya orang-orang pada masa kini untuk mengikuti ajaran beliau, bukan lagi Nabi Isa.

Dengan tekad yang kuat, Mario memutuskan untuk berislam. Ia kemudian mendatangi gedung Jakarta Islamic Center (JIC) yang berlokasi cukup dekat dengan rumahnya di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Kebetulan, saat itu pria ini tidak memiliki uang untuk ongkos kendaraan umum. Ia pun memilih berjalan kaki ke JIC. Sesampainya di tempat tujuan, ia menemui seorang ustaz.

Setelah mengetahui niatnya, dai itu lantas membimbing Mario untuk bersyahadat. Di hadapan sejumlah saksi, pemuda tersebut mengucapkan ikrar tersebut. Resmilah dirinya menjadi seorang Muslim.

Saat ditanya, ia dengan mantap menjawab alasan dirinya menjadi mualaf. Yakni, kecintaannya pada sosok Nabi Isa AS. Karena rasa cinta itu, ia pun rela untuk mematuhi perintah beliau, yakni beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan mengikuti petunjuk sang nabi akhir zaman, Rasulullah Muhammad SAW. Keterangan tentang akan datangnya sosok Ahmad atau Nabi SAW sudah disebutkan dalam kitab Injil, yang disampaikan Nabi Isa AS.

Setelah bersyahadat, Mario sempat menyembunyikan keislamannya karena khawatir keluarganya tidak bisa menerima keputusannya. Selama dua bulan, ia selalu diam-diam pergi ke masjid untuk shalat. Ia pun hanya membeli Alquran yang berukuran kecil agar tidak mudah terlihat.   Selama dua bulan, ia selalu diam-diam pergi ke masjid untuk shalat. Ia pun hanya membeli Alquran yang berukuran kecil agar tidak mudah terlihat.    

Akan tetapi, pada akhirnya “rahasia” terkuak. Suatu hari, Mario hendak mengunjungi kakaknya yang sedang merantau di Jepang. Kedua orang tuanya turut serta dalam perjalanan ini.

Saat transit di Malaysia, Mario ketahuan membawa mushaf Alquran. Bapaknya pun marah besar. “Ayah khawatir kalau saya menjadi Muslim saya terpengaruh menjadi ekstremis, teroris,” katanya.

Kemudian, Mario menjelaskan secara santun bahwa ajaran Islam bukanlah seperti yang selama ini distigmakan. Namun, sang ayah tetap saja bergeming.

Dari seorang ustaz, Mario mendapatkan nasihat bahwa Islam melarang seorang anak untuk durhaka pada orang tua. Kalaupun antara kedua belah pihak terdapat perbedaan agama, maka akidah tetap dipertahankan, tetapi pergauli ayah dan ibu dengan baik.   Kata-kata yang santun, sikap yang ramah, dan menghormati—itulah yang mesti dilakukan seorang anak kepada bapak dan ibu.    

Kata-kata yang santun, sikap yang ramah, dan menghormati—itulah yang mesti dilakukan seorang anak kepada bapak dan ibu.

Mario menerapkan anjuran itu. Pada akhirnya, kedua orang tuanya mulai merasa bahwa buah hati mereka semakin baik dalam bersikap. Kondisi itu sangat jauh berbeda dengan beberapa tahun lalu, ketika mereka dipusingkan oleh kebiasaan Mario yang hobi mabuk-mabukan dan mencuri.

Karena itu, lambat laun ayah dan ibu tidak lagi mempermasalahkan keislaman Mario. Remaja ini lantas dibiarkan untuk beribadah shalat di rumah. Bahkan, selama Ramadhan mereka menyediakan sajian iftar dan sahur untuknya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Ini Pembagian Kuota Haji di 34 Provinsi

Arab Saudi telah menetapkan kuota Haji 1443 H/2022 M untuk tiap-tiap negera. Menyusul hal tersebut, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas telah menandatangani Keputusan Menteri Agama (KMA) No 405 tahun 2022 tentang Kuota Haji Indonesia tahun 1443 H/2022 M.

Dalam KMA yang ditandatangani pada tanggal 22 April 2022 ini ditetapkan kuota haji Indonesia tahun 1443 H/2022 M berjumlah 100.051. Angka ini terdiri atas 92.825 kuota haji reguler dan 7.226 kuota haji khusus.

“Sebagai kelanjutan alokasi kuota haji yang diberikan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, saya telah menerbitkan KMA tentang Kuota Haji Indonesia Tahun 1443 H/2022 M. KMA ini selanjutnya akan menjadi pedoman seluruh jajaran Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah serta Penyelenggara Perjalanan Ibadah Haji Khusus dalam melakukan finalisasi penyediaan layanan jemaah haji Indonesia,” kata Menag dalam keterangan yang didapat Republika, Rabu (27/4).

Dalam KMA ini ditetapkan kuota haji reguler terdiri atas 92.246 kuota jamaah haji reguler tahun berjalan, 114 kuota pembimbing dari unsur Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU), serta 465 kuota petugas haji daerah.

Sementara untuk kuota haji khusus, terdiri atas 6.664 kuota jamaah haji khusus tahun 1443 H/2022 M dan 562 kuota petugas haji khusus.

“Baik haji reguler maupun haji khusus, kuota 1443 H/2022 M diperuntukkan bagi jamaah yang telah melunasi biaya Perjalanan Ibadah Haji 1441 H/2020 M, dan berusia paling tinggi 65 tahun per tanggal 8 Juli 2022 sesuai dengan urutan nomor porsi,” lanjut Menag.

Ia menyebut jamaah haji yang telah melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji tahun 1441 H/2020 M yang tidak masuk alokasi kuota dan/atau menunda keberangkatan pada tahun 1443 H/2022 M, diprioritaskan menjadi jamaah haji pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 1444 H/2023 M sepanjang kuota haji tersedia.

Berikut sebaran daftar kuota haji reguler per provinsi tahun 1443 H/ 2022 M:

1. Aceh: 1.999

2. Sumatera Utara: 3.802

3. Sumatera Barat: 2.106

4. Riau: 2.304

5. Jambi: 1.328

6. Sumatera Selatan: 3.201

7. Bengkulu: 747

8. Lampung: 3.219

9. DKI Jakarta: 3.619

10. Jawa Barat: 17.679

11. Jawa Tengah: 13.868

12. DI Yogyakarta: 1.437

13. Jawa Timur: 16.048

14. Bali: 319

15. NTB: 2.054

16. NTT: 305

17. Kalimantan Barat: 1.150

18. Kalimantan Tengah: 736

19. Kalimantan Selatan: 1.743

20. Kalimantan Timur: 1.181

21. Sulawesi Utara: 326

22. Sulawesi Tengah: 910

23. Sulawesi Selatan: 3.320

24. Sulawesi Tenggara: 922

25. Maluku: 496

26. Papua: 491

27. Bangka Belitung: 486

28. Banten: 4.319

29. Gorontalo: 447

30. Maluku Utara: 491

31. Kepulauan Riau: 589

32. Sulawesi Barat: 663

33. Papua Barat: 330

34. Kalimantan Utara: 190

IHRAM


Cek Porsi Haji Anda di aplikasi Cek Porsi Haji, klik di sini!

Betapa Allah Maha Baik kepada Hamba-Nya

Makna Al-Barr (البرّ), Allah adalah Zat yang Mahabaik

Di antara nama Allah Ta’ala adalah Al-Barr (البرّ), yang artinya zat yang Mahabaik. Nama ini Allah Ta’ala abadikan di dalam Al-Qur’an,

إِنَّا كُنَّا مِن قَبْلُ نَدْعُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ الرَّحِيمُ

“Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dia-lah Al-Barr yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang” (QS. At-Thur: 28).

Maknanya adalah yang mencakup kepada seluruh makhluk dalam kebaikan, anugerah, dan pemberian-Nya. Allah Ta’ala yang memberi nikmat, Mahaluas pemberiannya, yang terus menerus memberi kebaikan, dan senantiasa tidak terputus kebaikan serta anugerah yang diberikan. Kebaikan dan kasih sayang yang diberikan tanpa batas. Dialah Allah Ta’ala yang memiliki kasih sayang yang luas dan tiada henti. Inilah cakupan makna sifat kebaikan yang terkandung dalam nama Allah Al Barr (البرّ).

Dua jenis kebaikan Allah kepada hamba-Nya

Kebaikan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya ada dua jenis, yaitu:

Pertama, kebaikan yang sifatnya umum

Kebaikan ini mencakup seluruh makhluk Allah Ta’ala. Tidak ada satu pun makhluk yang tidak mendapat nikmat dan kebaikan dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً

“Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS. Al-Isra’: 70).

Kemuliaan yang disebutkan dalam ayat ini temasuk penciptaan manusia dalam bentuk yang baik dan sempurna. Allah Ta’ala jadikan untuk mereka pendengaran, penglihatan, dan hati. Allah Ta’ala jadikan mereka berjalan tegak di atas kedua kakinya dan makan dengan kedua tangannya. Di sisi lain, hewan berjalan di atas empat kakinya dan makan langsung dengan mulutnya. Allah Ta’ala megkhususkan manusia dengan berbagai macam makanan, minuman, pakaian, dan nikmat lain yang menunjukkan kemuliaan manusia dibandingkan makhluk lainnya.

Kedua, kebaikan yang sifatnya khusus

Kebaikan yang sifatnya khusus adalah kebaikan berupa hidayah kepada manusia yang Allah Ta’ala kehendaki. Kebaikan tersebut membuat seorang manusia berada di atas jalan Islam yang lurus, mendapatkan taufik untuk taat kepada Allah Ta’ala, dan akan mendapatkan kebahagiaan dunia serta akhirat. Ini sebagaimana janji Allah  Ta’ala dalam firman-Nya,

إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbuat kebaikan benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan” (QS. Al-Infithar: 13).

Kenikmatan di sini maksudnya kenikmatan dalam tiga kondisi, baik di dunia, alam barzakh, maupun ketika hari kiamat nanti. Kebaikan yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba tidak terbatas dan tidak terhitung jumlahnya.

Berbagai bentuk kebaikan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya

Kebaikan-kebaikan Allah Ta’ala kepada para hamba di antaranya:

Pertama, Allah Ta’ala menginginkan kemudahan dan tidak menginginkan kesulitan untuk para hamba.

Kedua, Allah Ta’ala menerima amal hamba yang sedikit, namun memberikan pahala yang banyak untuk mereka.

Ketiga, Allah Ta’ala mengampuni banyak sekali dosa dan kesalahan hamba, dan tidak menganggap banyak sekali perbuatan buruk yang dilakukan hamba kepada-Nya.

Keempat, Allah Ta’ala akan melipatgandakan satu kebaikan menjadi sepuluh kali lipat atau bahkan lebih dari itu sampai batas yang Allah Ta’ala kehendaki.

Kelima, Allah Ta’ala hanya memberikan balasan kejelekan dengan balasan yang setimpal.

Keenam, Allah Ta’ala sudah mencatat niat kebaikan hamba meskipun belum diamalkan. Akan tetapi, Allah Ta’ala tidak mencatat hanya sekadar niat kejahatan yang belum diamalkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، كُتِبَتْ له حَسَنَةً، ومَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَعَمِلَها، كُتِبَتْ له عَشْرًا إلى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ، ومَن هَمَّ بسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، لَمْ تُكْتَبْ، وإنْ عَمِلَها كُتِبَتْ

“Barang siapa berniat beramal kebaikan namun belum melakukannya, dihitung baginya amal kebaikan. Barang siapa berniat beramal kebaikan kemudian mengamalkannya, maka akan dicatat baginya sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Barang siapa berniat melakukan kejelekan namun belum mengamalkannya, maka tidak dicatat. Jika dia melakukannya, maka barulah akan dicatat” (HR. Muslim).

Ketujuh, Allah Ta’ala membuka lebar-lebar pintu taubat, menerima taubat hamba meskipun dosanya sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’” (QS. Az-Zumar: 53).

Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,

يَاابْنَ آدَمَ! إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأرْضِ خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَتُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

“Wahai anak Adam! Sesungguhnya jika Engkau datang menghadap kepada-Ku dengan membawa kesalahan-kesalahan sepenuh bumi, kemudian Engkau datang kepada-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Ku, maka Aku akan datang kepadanya dengan membawa ampunan sepenuh bumi pula” (HR. Muslim).

Kedelapan, Allah Ta’ala menghapus dan mengampuni dosa hamba, bahkan menutupinya dan tidak menganggapnya. Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُولُ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا فَيَقُولُ نَعَمْ أَيْ رَبِّ حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ فَيُعْطَى كِتَابَ حَسَنَاتِهِ وَأَمَّا الْكَافِرُ وَالْمُنَافِقُونَ فَيَقُولُ الْأَشْهَادُ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ

“Sesungguhnya Allah akan mendekatkan seorang mukmin, lalu Dia akan meletakkan tirai-Nya padanya dan menutupinya. Kemudian Allah mengatakan, ‘Apakah Engkau mengetahui dosa(mu) ini, apakah Engkau mengetahui dosa(mu) ini?’ Orang mukmin itu mengatakan, ‘Ya, wahai Rabb-ku.’ Sehingga, jika Allah telah menjadikan orang mukmin itu mengakui dosa-dosanya, dan dia melihat dirinya pasti akan celaka, Allah berfirman, ‘Aku telah menutupinya padamu di dunia, dan sekarang Aku akan menghapusnya untukmu pada hari ini (Kiamat).’ Kemudian buku kebaikan diberikan kepadanya. Adapun orang kafir dan orang-orang munafik, maka para saksi mengatakan, ‘Mereka ini orang-orang yang mendustakan Rabb mereka. Ketahuilah, laknat Allah menimpa orang-orang yang zhalim’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Allah mencintai amal baik dan orang yang berbuat baik

Di antara kandungan sifat dari Nama Allah Al Barr adalah sifat kebaikan Allah Ta’ala berupa mencintai orang yang berbuat kebaikan. Hati mereka dekat dengan Allah Ta’ala sesuai dengan kadar kebaikan yang mereka lakukan. Allah Ta’ala pun mencintai seluruh amal kebaikan. Allah Ta’ala akan membalas pelakunya dengan memberinya petunjuk hidayah, kemenangan, dan derajat yang tinggi di dunia dan di akhirat. Makna Al-Barr pada asalnya adalah mencakup seluruh perkara kebaikan. Makna ini tercakup dalam firman Allah Ta’ala,

لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّآئِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُواْ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاء والضَّرَّاء وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَـئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 177).

Allah Ta’ala juga berfirman,

لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. Al-‘Imran: 92).

***

Penulis: dr. Adika Mianoki, Sp.S

Sumber: https://muslim.or.id/74460-betapa-allah-maha-baik-kepada-hamba-nya.html