Mengenal Syekh Osama bin Abdullah Khayyat, Imam Masjidil Haram

Syekh Osama bin Abdullah Khayyat telah memimpin salat, bergantian dengan imam lainnya, di Masjidil Haram di Makkah sejak tahun 1998.

Setelah mengenyam pendidikan dasar di Makkah, Khayyat juga menerima gelar sarjana Syariah Islam dari fakultas Syariah dan studi Islam di Universitas Ummul Quro.

Sekitar lima tahun kemudian, ia dianugerahi gelar master dalam bidang studi yang sama dari Universitas Ummul Quro. Ia menyelesaikan studi Islamnya untuk mendapatkan gelar Ph.D. dari almamaternya pada tahun 1988.

Selain itu, ia memiliki lisensi dalam Al-Kutub Al-Sittah (enam kitab hadis), yang berisi kumpulan hadits Nabi Muhammad yang disusun oleh enam ulama muslim Sunni.

Pada tahun 1979, ia diangkat sebagai asisten guru di departemen studi Syariah dan Islam Universitas Ummul Quro. Empat tahun kemudian, ia menjadi dosen di jurusan yang sama. Enam tahun setelah itu, ia dipromosikan menjadi asisten profesor di departemen Al qur’an dan Sunnah fakultas Dakwah dan dasar-dasar agama universitas, di mana ia terpilih sebagai kepala departemen selama tiga periode berturut-turut.

Sekitar tahun 1990, ia ditunjuk sebagai guru di Masjidil Haram, di mana ia telah memberikan pelajaran tentang hadits. kitab Sahih Al-Bukhari dan kitab Sahih Muslim. Ia juga mengajar kitab akidah Ibnu Taimiyah, Al Aqidah Al Waasitiyyah, Al Muwatta Imam Malik, Al Muntaqa karya Ibnu Al Jaroud; dan Tafsir Baghawi, sebuah tafsir Al qur’an oleh Al Hafiz Al Baghawi.

Pada tahun 1993, pemerintah Saudi memerintahkan Khayyat menjadi anggota Dewan Syuro Saudi.

Sumber:

https://www.arabnews.com/node/2064611/saudi-arabia

IHRAM

8 Pelajaran Madrasah Ramadhan

Jika dicermati secara lebih teliti setidaknya ada delapan pelajaran mendasar (dirasah asasiyyah) yang telah kita peroleh dari bulan Ramadhan, apa saja?

SELAMA sebulan kita ditarbiyah bulan Rajab, disamping kita dipersegar ingatan kita tentang peristiwa isra dan mikraj yang menghasilkan kewajiban shalat, kita juga telah ditempa dengan bulan mulia tersebut. Sekarang kita telah masuk Ramadhan pada hari kelima belas.

Bulan mubarak yang dirindukan kehadirannya oleh orang-orang shalih. Kita tidak tahu, sudah berapa kali kita berpuasa sepanjang hayat kita? Apakah puasa demi puasa yang kita lakukan secara rutin hanya sebatas rutinitas belaka atau memberikan dampak yang signifikan (atsarun fa’aal) pada penataan ulang (rekonstruksi) pola pikir dan sikap kita?

Para ulama dahulu memandang bulan Rajab, Sya’ban bagaikan atletik yang mendekati garis finish, sehingga segala potensi yang dimilikinya dikerahkan/dimobilisir untuk mengungguli atletik yang lain. Dengan harapan besar menjadi pemenang. Ternyata, kemenangan itu diraih tidak secara gratis. Kemenangan itu harus dikejar dan diperjuangkan.

Pujangga Arab mengatakan : بقَدر ما تتعَنّى تَناَلُ ما تَتَمَنَّى

(Cita-cita, harapan itu akan bisa diwujudkan berbanding lurus dengan kelelahan kalian dalam memburunya).

Allah SWT memberi nama Ramadhan, sesungguhnya menggambarkan esensi (hakikatnya). Arti kebahasaan Ramadhan adalah panas yang terik. Karena, bulan hijriyah yang kesembilan ini datang pada musim kemarau yang siangnya lebih lama dari waktu malamnya.

Jika dicermati secara lebih teliti setidaknya ada delapan pelajaran mendasar (dirasah asasiyyah) yang telah kita peroleh dari bulan Ramadhan : 

Pertama:  kita menyadari bahwa Allah selalu membersamai kita. 

Di bulan Ramadhan, saat berpuasa, meski di tempat yang sangat sepi dan kita sendirian tak mungkin kita diam-diam minum air meski hanya seteguk. Bahkan air setetes pun kita jaga agar tidak sampai masuk ke dalam tenggorokan kita.

Mengapa? Karena kita sadar bahwa Allah melihat kita. Meski kita sendirian tetap dilihat Allah.

Meski satu tetes juga tetap dilihat oleh Allah. Karena kita merasa bahwa Allah selalu bersama dengan kita dan kita selalu dilihatnya, maka meski Subuh kurang satu menit kita pun sudah tak mau makan dan minum lagi, dan begitu juga meski maghrib kurang satu menit kita juga pantang berbuka.

Kita takut dengan ancaman Allah ketika berbuka tanpa udzur syar’i,  sebagaimana hadits berikut :

مَنْ أَفْطَرَ مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذُرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ

“Barangsiapa yang berbuka di siang hari bulan Ramadhan tanpa sebab dispensasi yang diberikan oleh Allah Swt, maka tidak dapat diganti sekalipun ia berpuasa seumur hidupnya.” (HR: Ath Thayalisi, Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al Baihaqi, dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Masud secara mauquf).

Sungguh luar biasa pendidikan ini. Puasa Ramadhan telah menyadarkan dan memberi kita pelaharan akan pengawasan Allah atas diri kita hingga pada tingkat yang sekecil-kecilnya dan seremeh-remehnya. Inilah level keimanan yang paling tinggi yaitu derajat ihsan.

أنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأنَّكَ تَرَاهُ فإنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فإنَّهُ يَرَاكَ

“Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Dan bila kamu tidak melihat-Nya, maka kamu sadar bahwa Ia melihatmu.” (HR: Muslim).

Kita merasakan musyahadatullah dan muraqabatullah. Dan kedua potensi keimanan tersebut tanpa kita peroleh tanpa diawali dengan mujahadah dalam beribadah, baik ibadah mahdhah dan ibadah muamalah.

Di mana pun kita berada; Di kantor, di pasar, di rumah sendiri, atau di hotel saat tak ada istri/suami. Betapa indahnya apabila semua pejabat, pegawai negeri, para pengusaha, politisi, guru dll tak ada yang korupsi, karena sadar berapa pun uang diambil adalah dilihat oleh Allah.

Kita sadar dari lubuk hati sendiri, bahwa kita tak bisa bersembunyi dan tak ada yang bisa kita sembunyikan sama sekali di mata Allah Swt. Allah berfirman :

وَاَسِرُّوۡا قَوۡلَـكُمۡ اَوِ اجۡهَرُوۡا بِهٖؕ اِنَّهٗ عَلِيۡمٌۢ بِذَاتِ الصُّدُوۡرِ

“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS: Al-Mulk : 13).

Kedua, kita menyadari bahwa kewajiban didahulukan baru mendapatkan hak.  Banyak orang yang hanya pandai menuntut hak, insentif,  bisyarah, mukafaah, – dan itu tidak dilarang – tapi sangat disayangkan, ia tak pandai menunaikan kewajiban.

Orang yang sukses adalah orang mau  melaksanakan kewajiban secara tuntas, baru setelah itu mendapatkan hak. Puasa benar-benar menyadarkan kita semua akan adanya hukum kausalitas (hak dan kewajiban ini).

Kita menjalankan puasa, lalu kita dapatkan hak untuk berbuka. Kita lakukan perintah-perintah Allah dan kita tinggalkan larangan-larangan-Nya selama kita berpuasa, dan kita diberikan hak untuk dikabulkannya doa.

Allah berfirman :

وَاِذَا سَاَلَـكَ عِبَادِىۡ عَنِّىۡ فَاِنِّىۡ قَرِيۡبٌؕ اُجِيۡبُ دَعۡوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِ فَلۡيَسۡتَجِيۡبُوۡا لِىۡ وَلۡيُؤۡمِنُوۡا بِىۡ لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُوۡنَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS: Al-Baqarah (2) : 186).

Inilah jalan yang lurus, benar dan logis (diterima oleh akal sehat). Memenuhi panggilan Allah, beriman kepada-Nya lalu silakan untuk minta tolong (isti’anah) dan berdoa kepada-Nya.

Banyak orang yang tak malu; minta masuk surga tapi shalat lailnya bolong-bolong, lebih banyak membuka whatsapp daripada membaca Al Quran.

Banyak orang meminta dan berdoa kepada Allah, tapi saat dipanggil Allah untuk ibadah dan halaqah (thalabul ‘ilmi) tidak kunjung datang. Bahkan, sering absen.

Saat senang lupa kepada Allah, tapi saat susah baru ingat dan berdoa kepada-Nya. Saat miskin, kuat saat taqarrub ilallah. Ketika kaya, jarang kelihatan di masjid.

Nabi bersabda :

تَعرَّفْ إِلَى اللهِ في الرَّخَاءِ يَعْرِفكَ في الشِّدَّةِ

“Ingatlah kepada Allah saat senang niscaya Allah ingat kepadamu saat susah.” (HR. Ahmad)..

Ketiga, kita menyadari bahwa hidup berjamaah adalah indah dan berkah.  Puasa Ramadhan membuktikan bahwa kebersamaan (berjamaah) adalah penuh berkah dan menjadikan sesuatu yang berat menjadi sangat ringan, yang rumit menjadi sederhana.

Bukankah berpuasa itu sebenarnya berat? Bukankah sebenarnya shalat Tarawih, shalat tahajjud itu berat? Namun, karena kita lakukan berjamaah (bersama-sama) maka menjadi terasa sangat ringan dan indah sekali. Inilah ajaran berjamaah.

Kita umat Islam ini adalah umat yang satu. Andaikan semangat dan spirit kebersamaan ini benar-benar kita wujudkan maka kita pasti menjadi umat yang paling baik, kuat dan hebat, tak mungkin tertandingi.

Apa yang tak bisa dilakukan umat Islam ini andaikan bersatu padu? Tapi sebaliknya, ketika kita tidak bersatu padu, bercerai berai, karena faktor beda suku, bahasa, organisasi, partai, mazhab, maka inilah musibah.

Apa yang bisa kita lakukan dengan jumlah 1,6 milyar saat saudara-saudara kita di Palestina dibantai oleh kaum Yahudi yang kecil itu? Demikian pula nasib minoritas di belahan dunia yang lain.

Kita hanya bisa kaget-kaget saja. Padahal kaum Yahudi sudah setengah abad berbuat biadab seperti itu dan menguasai Masjidil Aqsha.

Puasa Ramadhan hendaknya segera menyadarkan kita semua untuk berjamaah secara benar. Yaitu berjamaah atas dasar Islam.

Bukan berjamaah atas dasar organisasi, partai, suku atau bangsa. Kita boleh saja memiliki suku, bangsa, bahasa, organisasi, mazhab, partai yang berbeda-beda, tapi kita semua haruslah berjamaah dan bersatu padu di bawah ikatan Islam.

Bukankah saat Ramadhan kita kompak berpuasa dan beribadah, meskipun kita memiliki suku yang berbeda, bangsa yang berbeda, organisasi yang berbeda, partai yang berbeda ?

Marilah kita buang fanatisme sempit, pikiran yang jumud, egoisme sektoral,  yang membuat umat Islam bercerai berai. Mari kita masuk dalam ikatan Islam yang utuh dan satu, utamanya setelah Ramadhan meninggalkan kita.

Nabi bersabda :

وَكُونُوا عِبَادَ الله إخْوَاناً

“Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR.  Muslim).

Keempat, kita menyadari bahwa kesulitan membawa kemudahan. 

Perjuangan membawa kemenangan. Kesedihan mendatangkan kebahagiaan.

Puasa mendatangkan kenikmatan berbuka dan menghadirkan hari raya. Inilah kaidah penting yang harus kita camkan.

Siapa saja yang ingin sukses, tidaklah mungkin tidak menghadapi kesulitan. Tak ada orang yang sukses tanpa perjuangan. Bahkan kesulitan adalah bagian dari tangga kesuksesan.

Puasa mengajarkan kita semua, tak mungkin bisa merasakan nikmatnya berbuka dan hari raya kecuali yang telah berpuasa dengan baik. Wahai anak-anak, para pemuda, yang yatim dan yang papa, yang sedang sakit dan yang lemah, jangan anggap kesulitan itu rintangan.

Sesungguhnya kesulitan adalah tangga manis untuk mengantarkan kita menjadi juara. Keberhasilan itu harus dibayar dengan darah dan air mata. Harap senang ada ujian, sebentar lagi kita akan naik kelas.

Allah berfirman:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ

وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ  

“Maka sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS: Al-Insyrah : 5-8).

Kelima, kita menyadari bahwa Allah sangat mencintai kita semua.  Kepada hamba-hamba-Nya yang beriman ini.

Allah menganugerahkan Ramadhan yang penuh berkah sebagai madrasah dan pelajaran. Allah telah membuka pintu-pintu Surga. Allah telah menutup semua pintu neraka.

Syetan pun dibelenggu dan pahala dilipat gandakan dengan melimpah ruah. Lailatul qadar yang lebih baik daripada seribu bulan telah dianugerahkan. Inilah kecintaan Allah kepada kita umat Nabi Muhammad yang beriman, bukan kepada umat sebelum kita.

Keenam, kita menyadari bahwa dalam hidup ini hendaknya saling cinta mencintai. 

Madrasah dan pelajaran Ramadhan telah mengajarkan kita empati dan berbagi terhadap sesama. Kita berpuasa tapi hanya dalam hitungan beberapa jam saja.

Sementara ada di antara kita yang berpuasa tapi tak ada makanan untuk berbuka dan tanpa batas waktu karena memang tak ada. Itulah maka di bulan Ramadhan kita gemar memberi.

Dan, semuanya kita di akhir Ramadhan diwajibkan menunaikan zakat fitrah, untuk kaum fakir dan miskin. Jadi, puasa mengajarkan kita semua untuk saling berbagi dan cintai mencintai.

Nabi ﷺ bersabda :

لاَ تَدْخُلُوا الجَنَّةَ حَتَّى تُؤمِنُوا ، وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا ،. (رواه مسلم)

“Tidaklah kamu masuk Surga sehingga kamu beriman kepada Allah, dan tidaklah kamu beriman sehingga kamu saling cinta mencintai.” (HR. Muslim).

Ketujuh, kita menyadari bahwa semua kenikmatan dunia hanyalah sementara.

Puasa selama Ramadhan memberi kita pelajaran bahwa lapar dan kenyang di dunia ini tidaklah lama. Makanan dan minuman terasa nikmat bila masih di atas tenggorokan.

Tapi kalau sudah kita telan, maka tak terasa lagi aromanya. Oleh karena itu yang kaya di dunia ini adalah sementara.

Yang sehat, yang cantik, yang muda, semua semenyara. Pejabat  saja ada masa pensiunnya. Apalagi kehidupan di dunia ini bersifat khayali.

Sesungguhnya kehidupan akhirat itulah yang hakiki.  Dan semua fatamorgana itu menjadi sia-sia, bahkan menjadi sumber malapetaka, bila tidak dilandasi dengan agama yang baik.

Kedelapan, kita menyadari sepenuhnya bahwa hakikat diri kita adalah jiwa, bukan jasad. 

Madrasah dan pelajaran puasa Ramadhan telah menyadarkan kita bahwa tubuh ini hanyalah rangka atau rumah belaka. Hakekat manusia adalah jiwa atau ruuhnya, bukan badannya.

Cepat atau lambat tubuh ini pasti akan kita tinggalkan. Dan kalau sudah kita tinggalkan maka tak berarti dan tak bernilai sama sekali.

Kematian adalah terpisahnya jasad dari ruh. Manusia yang ruhaniyahnya keropos sesungguhnya ia telah mati (hatinya).

Maka betapa merugi orang yang hanya sibuk mengurusi kesehatan jasmaninya saja, sementara ruh dan jiwa tak pernah diberikan haknya. Betapa buruknya orang yang hanya sibuk makan dan minum hingga tak peduli halal dan haram, padahal jasmani  ini bakal dikubur dan dijadikan santapan cacing dan binatang yang ada dalam tanah.

Puasa Ramadhan memberi kita pelajaran bahwa jiwa inilah yang terpenting. Ruh inilah yang tetap ada dan bakal mendapatkan balasan.

Nabi ﷺ bersabda :

إنَّ الله لا ينْظُرُ إِلى أجْسَامِكُمْ ، ولا إِلى صُوَرِكمْ ، وَلَكن ينْظُرُ إلى قُلُوبِكمْ وأعمالكم. (رواه مسلم)

“Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh-tubuh kamu dan juga tidak melihat kepada rupa-rupa kamu. Tetapi Allah melihat kepada hati kamu dan amal perbuatan kamu.” (HR: Muslim).

Kalau pada hari ini ada di antara kita yang sedang sakit, itu tak mengapa.. kalau ada yang hartanya berkurang, tak mengapa.

Kalau ada yang matanya mulai rabun, telinganya tuli, dan giginya mulai hilang, tak mengapa. Tak perlu bersedih.

Karena pada dasarnya memang badan ini semuanya takkan bergerak sama sekali. Saat itu tak perlu khawatir.

Di mana pun kita meninggal dunia, maka tubuh ini pasti ada yang mengurusnya. Ada yang memandikannya, ada yang mengafaninya, ada yang menshalatinya dan ada yang menguburnya. Itulah urusan dan nasib tubuh kita.

Yang cantik, yang kaya, yang sehat sama. Akhirnya bercampur dengan tanah dan jadi makanan binatang-binatang di dalamnya.

Apakah urusan selesai ? Tidak. Yang mati hanya tubuh kita. Tapi ruh kita, jiwa kita masih ada. Di situlah babak kehidupan yang sejati (hakiki) dimulai.

Tak ada sandiwara dan tak ada basa basi. Yang dipanggil bukan lagi jasmani ini, tapi jiwa yang berada di dalam tubuh ini.

Yang baik mendapatkan kebaikannya dan yang buruk mendapatkan keburukannya.  Mudah-mudahan kita semua ini nanti dipanggil oleh Allah dengan panggilan :

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr : 27-30)..*/ Sholih Hasyim, anggota Dewan Murabbi Pusat Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Hukum Nikah Beda Agama

Pembahasan mengenai pernikahan beda agama dalam Islam, perlu dibedakan antara pernikahan lelaki Muslim dengan wanita non-Muslim dan pernikahan wanita Muslimah dengan lelaki non-Muslim.

Wanita Muslimah tidak boleh menikahi lelaki non-Muslim

Seorang wanita Muslimah tidak boleh menikah dengan lelaki non Muslim, baik Yahudi, Nasrani ataupun selain mereka. Bahkan pernikahan tersebut tidak sah dalam pandangan syari’at. Dan jika melakukan hubungan intim teranggap sebagai zina, wal ‘iyyadzu billah.

Allah Ta’ala berfirman:

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir” (QS. Mumtahanah: 10).

Allah Ta’ala juga berfirman:

لاَ هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Tidaklah mereka wanita mukminah halal bagi lelaki musyrik, dan tidaklah lelaki musyrik halal bagi wanita mukminah” (QS. Al Mumtahanah: 10).

Dan ulama ijma (sepakat) akan hal ini, tidak ada khilafiyah. Al Qurthubi mengatakan:

وأجمعت الأمة على أن المشرك لا يطأ المؤمنة بوجه لما في ذلك من الغضاضة على الإسلام

“Ulama sepakat bahwa lelaki musyrik tidak boleh menikahi wanita mukminah karena ini termasuk merendahkan Islam” (Tafsir Al Qurthubi, 3/72).

Lelaki Muslim tidak boleh menikahi wanita non-Muslim selain ahlul kitab

Wanita yang non-Muslim selain ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), yaitu yang beragama Hindu, Budha, Konghucu, Majusi, atheis dan lainnya, tidak boleh dinikahi oleh lelaki Muslim. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

Tidak boleh menikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman. Dan sungguh budak-budak wanita yang beriman lebih baik dari wanita musyrik walaupun mereka mengagumkan kalian” (QS. Al Baqarah: 221).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini: “Dalam ayat ini Allah azza wa jalla mengharamkan para lelaki Mukmin untuk menikahi wanita-wanita musyrik dari kalangan penyembah berhala. Walaupun bentuk kalimat dalam ayat ini umum, mencakup seluruh wanita musyrik baik ahlul kitab atau penyembah berhala, namun telah dikhususkan kebolehannya terhadap wanita ahlul kitab dalam ayat lain” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/474).

Yang dimaksud oleh Ibnu Katsir adalah surat Al-Maidah ayat ke 5 yang dibahas di bawah ini.

Lelaki Muslim boleh menikahi wanita ahlul kitab

Berbeda lagi dengan pernikahan lelaki Muslim dengan wanita ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani), maka ini sah dan dibolehkan. Allah Ta’ala berfirman:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ

(dan dihalalkan menikahi) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik” (QS. Al-Maidah : 5).

Namun tidak boleh sebaliknya, wanita Muslimah menikahi lelaki Yahudi atau Nasrani. Ini tidak diperbolehkan, sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: “Para ulama tafsir dan ulama secara umum, berbeda pendapat dalam menafsirkan makna [wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu]. Apakah ini berlaku umum untuk semua wanita Ahlul Kitab yang menjaga kehormatan? Baik wanita merdeka atau budak wanita? Ibnu Jarir menukil dari sebagian salaf bahwa mereka menafsirkan muhshanat di sini adalah semua wanita Ahlul Kitab yang menjaga kehormatan. Sebagian salaf menafsirkan bahwa muhshanat di sini adalah Israiliyyat, dan ini adalah pendapat madzhab Syafi’i. Dan sebagian ulama yang lain berpendapat muhshanat di sini adalah Ahlul Kitab yang dzimmi bukan yang harbi” (Tafsir Al Qur’anil Azhim, juz 3 hal. 42).

Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Sebagian sahabat Nabi juga menikahi para wanita Nasrani, mereka tidak melarang hal tersebut. Mereka berdalil dengan ayat (yang artinya) : “(dan dihalalkan menikahi) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu” (QS. Al Maidah: 5). Dan mereka menganggap ayat ini adalah takh-shish (pengecualian) terhadap ayat dalam surat Al Baqarah (yang artinya) : “janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman” (QS. Al Baqarah: 221)” (Tafsir Al Qur’anil Azhim, juz 3 hal. 42).

Maka jelaslah tentang bolehnya lelaki Muslim untuk menikahi wanita Yahudi atau Nasrani. Terutama jika dengan menikahi mereka, dapat menjadi jalan hidayah agar mereka mentauhidkan Allah dan memeluk Islam.

Namun, tentu saja menikahi wanita Muslimah yang shalihah itu lebih utama secara umum. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa orang yang akan bahagia dan beruntung dalam pernikahannya adalah orang yang memilih wanita shalihah untuk menjadi istrinya. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأرْبَعٍ: لِمالِها ولِحَسَبِها وجَمالِها ولِدِينِها، فاظْفَرْ بذاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَداكَ

Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari no.5090, Muslim no.1466).

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14377-hukum-nikah-beda-agama.html

Inilah Nama Seorang Muslim yang Akan Bebaskan Al-Aqsha…

“HATI seorang mu’min bagaikan seekor burung, satu sayapnya adalah khauf (rasa takut) dan keputusasaan, sementara sebelah lagi sayapnya adalah raja’ (harapan) dan rahmat.” [Ibnul Qayyim]

Keputusasaan

Pada tahun 1099, sesudah pasukan salib pertama yang menyerbu Tanah Suci meluluhlantakkan Al-Quds dan Suriah, Qadi Abu Sa’ad al-Harawi di Damaskus segera menuju istana Khalifah di Iraq. Sejarawan Ibn al-Athir menuturkan:

Tanpa mengenakan turban, kepalanya bercukur sebagai tanda duka, meledak teriakan Qadi Abu Sa’ad al-Harawi di ruang majelis agung Khalifah al-Mustazhir Billah, sementara para sahabatnya, tua dan muda, berombongan di belakangnya.

“Berani benar kau tidur lelap dinaungi bayang-bayang rasa aman,” ujar sang Qadi, “hidup bersenang-senang bagai dalam taman-taman bunga sementara saudara-saudaramu di Syam (Suriah) dan al-Quds (Jerusalem) tidak bertempat tinggal kecuali di bawah-bawah pelana unta mereka dan di dalam perut-perut burung nasar? Darah sudah ditumpahkan! Gadis-gadis muda cantik dihinakan sehingga kini harus menyembunyikan wajah-wajah manis mereka di balik tangan-tangan mereka! Haruskah kaum Muslim pemberani ini menerima saja dihina dan direndahkan?” [The Crusades through Arab Eyes, Amin Maalouf]

Amarah sang Qadi meledak disebabkan oleh sebuah kondisi yang digambarkan oleh sejarawan Muslim Ibn Al-Qalinisi yang menggambarkan betapa jalan-jalan Al-Quds dipenuhi mayat bergelimpangan dan para penduduk kota bertekuk-lutut di bawah pedang-pedang pasukan salib yang menghabiskan waktu lebih dari seminggu lamanya membantai kaum Muslim. Lebih dari 70 ribu Muslimin dibunuh di dalam Masjidil Aqsha. Ribuan orang Yahudi dibakar di dalam sinagog-sinagog mereka – bau bangkai memenuhi udara selama berbulan-bulan, sementara jalan-jalan banjir darah hingga ke lutut. [The Damascus Chronicles of the Crusades of Ibn al-Qalinisi, H.A.R Gibb, 1932]

Sama seperti yang kini tengah kita saksikan dengan ditutupnya Masjidil Aqsha, demikianlah pula Baytul Maqdis ditutup saat perang salib pertama. Masjid ini diubah dijadikan kandang kuda oleh para tentara salib dan, sebagai penghinaan, babi-babi dimasukkan ke dalamnya. Seperti juga hari ini, ketika itu shalat dilarang ditegakkan dan tak pula terdengar adzan berkumandang di seluruh tanah Al-Quds, Baytul Maqdis, Baytul Muqaddas (tempat suci) selama hampir satu milenia.

Raja’

Fast forward 88 tahun kemudian, ke tahun 1187, salib-salib sudah tiada, lonceng-lonceng gereja tak lagi berdentang di seluruh penjuru negeri, babi-babi tak lagi nampak; para rahib, pendeta dan tentara salib sudah disingkirkan dari masjid suci ini dan kaum mu’minin pun memasukinya dan adzan dikumandangkan.

Makna adzan di sini sungguh tak dapat diambil enteng. Inilah sebuah ‘amal yang dengannya syaitan melarikan diri dari Tanah Suci untuk selama Allah kehendaki. Karena bukankah kita tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda, “Ketika adzan dikumandangkan, syaitan melarikan diri tunggang langgang…” [Al-Bukhari]

Sungguh kebenaran telah datang dan kebathilan pun takluk. Kegembiraan menyebar dan kepedihan terhapuskan. Tak seperti di bawah kebiadaban para tentara salib, kemenangan kaum Muslimin sungguh berbeda. Sejarawan Inggris, Sir Steven Runciman, mencatat:

“Para Muslimin pemenang perang itu dikenal karena kelurusan dan sikap manusiawinya, sementara Pasukan Salib selama 88 tahun lamanya berenang-renang di genangan darah musuh-musuh mereka. (Di bawah penaklukan pasukan Muslim), tidak satu pun rumah yang dirusak dan dicuri perabotnya, tidak satu pun orang yang dicederai. Para polisi -bertindak di bawah instruksi Salahuddin- mulai mengawal jalan-jalan dan pintu-pintu gerbang untuk mencegah kemungkinan agresi apa pun terhadap orang-orang Kristen…

Salahuddin mengumumkan bahwa dia akan memerdekakan semua orang lanjut usia, lelaki atau perempuan. Ketika datang kaum wanita pasukan salib yang telah menebus diri mereka sendiri, dengan air mata bercucuran, dan bertanya bagaimana nasib mereka sesudah suami dan ayah mereka mati atau ditawan, Salahuddin menjawab dengan janji bahwa dia akan bebaskan semua suami mereka dan dia akan santuni semua janda dan yatim dari kekayaan pribadinya. Sikap rahmat dan kasih sayang yang ditunjukkan Salahuddin ini sungguh bertentangan dengan apa yang telah dilakukan para tentara salib saat mereka menginvasi (Al-Quds) di Perang Salib Pertama.” [History of the Crusades: Volume 1, The First Crusade and the Foundation of the Kingdom of Jerusalem, 1951]

Masjidil Aqsha penuh sesak dan semua mata berlinangan air mata yang terbit dari hati-hati yang dikuasai oleh emosi. Ini semua karena Al-Aqsha telah dimerdekakan oleh Salahuddin.

Hari ini, saat kita menunggu dimulainya khutbah Jum’at, saat kutulis ini, aku teringat pada khutbah pertama yang disampaikan Qadi Muhiy al-Din ibn al-Zaki di Al-Aqsha sesudah merdeka. [Salah al-Deen al-Ayubi, Dr Ali M. Sallabi]

Petikan-petikan Khutbah Kemenangan Al-Quds

Segala Puji bagi Allah

“Segala puji bagi Allah Yang telah menghinakan kemusyrikan dengan kemahakuasaanNya, Yang mengatur semua urusan dengan QadarNya, Yang mengalirkan terus menerus keberkahanNya bagi mereka yang bersyukur, Yang menghukum semua musuh Islam dari arah-arah yang tak mereka duga sebelumnya… Kami memuji Allah Yang telah menyebabkan kemenangan bagi hamba-hambaNya, (Allah) Yang telah memuliakan para sahabatNya dan menolong mereka yang menolong agamaNya, (Allah) Yang telah menyucikan rumahNya dari semua najis…”

Salawat bagi Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam

Sungguh aku bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah Hamba dan RasulNya, yang telah merontokkan keragu-raguan, yang mengalahkan kemusyrikan, yang meruntuhkan kebathilan, yang diperjalankan dalam sebuah Perjalanan Malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha ini, dan diperjalankan dari sini menembus langit tertinggi ke Sidratul Muntaha…”

Pujian kepada Para Mujahidin

“Wahai ummat, terimalah berita gembira berupa ridhanya Allah, yang adalah tujuan puncak dan kehormatan tertinggi yang telah Allah wujudkan di tangan kalian: direbutnya kembali kota yang pernah hilang ini dari tangan bangsa yang tersesat itu, kembalinya kota ini ke haribaan Islam, yang memang adalah pemiliknya yang sesungguhnya, sesudah dizhalimi selama hampir 100 tahun oleh para musyrikin… Selamat kepada kalian semua karena Allah telah menyebut kalian di antara mereka yang dekat kepadaNya; Dialah yang telah menjadikan kalian pasukanNya dan memuji kalian di depan para malaikatNya karena apa yang telah kalian berikan dan karena kalian telah bersihkan tempat ini dari bau busuknya kebathilan…”

Pujian bagi Salahuddin

“Kalaulah bukan karena engkau (Salahuddin) adalah salah satu dari hamba-hamba Allah terpilih dari antara para penghuni TanahNya ini, maka tak akan mungkin engkau memiliki semua kelebihan yang tak dapat orang lain tandingi ini, dan tak akan mungkin engkau memiliki semua kemuliaan yang kini telah engkau genggam.

Berbahagialah engkau karena (di bawahmu) sebuah pasukan yang di tangannya muncullah peperangan penuh keajaiban bagaikan Badr, keteguhan hati bagaikan keteguhan hati (Abu Bakr) As-Siddiiq, penaklukan-penaklukan bagaikan ‘Umar, tentara-tentara bagaikan tentara dalam komando ‘Utsman, kekuasaan bagaikan yang dimiliki ‘Ali.

Telah engkau kembalikan ke pangkuan Islam hari-hari gemilang bagaikan dahulu di masa al-Qadisiyah, Yarmuk dan Khaybar, dan serangan-serangan membelah musuh bagaikan dahulu di masa Khalid bin al-Walid.

Semoga Allah membalasmu dengan balasan terbaik sebagaimana (dijanjikan) NabiNya Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam dan memberimu penghargaan karena apa yang telah engkau lakukan; semoga Allah membalas karena telah engkau ‘jual‘ jiwa-jiwamu melawan musuh, dan semoga Allah menerima darahmu yang telah engkau korbankan demi mendekat kepadaNya, dan menghadiahimu dengan surga karena itulah tempat istirahat sesungguhnya bagi mereka yang diberkahi.”

Persatuan

“Maka segala syukur bagi Allah yang telah menguatkan hati-hati kalian untuk melakukan apa yang Bani Israil menolak lakukan pada saat mereka dimuliakan (Allah) di atas bangsa-bangsa lain; Allah telah menolong kalian melakukan apa yang bangsa-bangsa lain tak mampu lakukan, dan menumbuhkan persatuan di antara kalian di jalanNya sesudah kalian berpecah-belah…”

Kemenangan Hanya Datang dari Allah

Demi Allah, “Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Al-Anfal/8: 10]

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” [Al-Anfal/8: 65]

“Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu?” [Ali-‘Imran/3: 160]

Butir-butir Catatan

Sejarah mencatat para pemberani dan mulia, dan melupakan para pengecut dan para pengkhianat lemah. Tanggapan dari si Khalifah terhadap pidato berapi-api Qadi al-Harawi yang kusebutkan di awal artikel, adalah dia berniat menghukum rombongan sang Qadi karena berani-beraninya datang ke Baghdad pada saat dia tengah menanti kedatangan istri keduanya dari Isfahan (Iran). Sejarah tak mengingat si Mustazhir Billah, namun terus mengenang Qadi al-Harawi dan sahabat-sahabatnya para penyair karena ikhtiar mulia mereka.

Kita pun seharusnya yakin bahwa sejarah telah membuktikan harapan akan adanya kemudahan sesudah kesulitan. Meyakini bahwa sesudah kehinaan dan kekalahan akan ada kemenangan dan kemerdekaan. Insya Allah.

Apa yang tengah terjadi dengan Al-Aqsha hari ini adalah tragedi dan kepedihan meluap di hati kita. Akan tetapi, kita harus memandang ujian ini dengan sudut pandang positif.

Kalaulah bukan karena ujian dan musibah, maka kita akan tidak pernah memiliki pejuang dan pahlawan, ksatria dan raksasa sejarah. Tanpa musibah bernama Firaun, kita tidak akan memiliki seorang Musa ‘alayhissalam; tanpa musibah perang salib, kita tidak akan pernah memiliki Salahuddin; tanpa musibah dan ujian bernama tentara Mongol, maka kita tidak akan pernah mengenal Saifuddin Qutuz dan banyak, banyak lagi orang-orang mulia, para raksasa sejarah Islam.

Demikian pula, tanpa musibah dan ujian berupa penjajahan zionis ini, kita tidak akan pernah memiliki _____________ (tempat ini kukosongkan untuk suatu saat nanti diisi nama seseorang yang akan datang dan pasti akan menorehkan namanya dalam semua catatan sejarah saat dia, dengan izin Allah, membebaskan Palestina).*

Penulis seorang praktisi hukum dengan spesialisasi undang-undang antidiskriminasi, sekaligus pengurus sebuah masjid di London. Rahman juga aktif dalam berbagai ‘amal termasuk ikut dalam sebuah konvoi bantuan kemanusiaan ke Gaza. Judul asli artikel ini adalah The name of the Muslim that will liberate al-Aqsa, dimuat di situs www.islam21c.com yang berbasis di London. Tulisan ini diterjemahkan oleh Sahabat al-Aqsha dari Islam21C

Israel Akan Caplok Penuh Al-Aqsha, Turki Galang Aksi Internasional

Hidayatullah.com– Yayasan “Miratsuna” berbasis Turki akan menggelar konferensi di Istanbul pada 23 November ini untuk membahas solusi menghadapi rencana Zionis di Al-Quds yang diikuti oleh lembaga-lembaga Islam dan sipil untuk bisa menyepakati satu narasi dan aksi nyata.

Ketua Dewan Pimpinan Yayasan Miratsuna, Muhammad Damriji dikutip PIC menegaskan, negara penjajah Zionis berusaha menerapkan paksa status quo di kota Al-Quds dan membaginya sejak beberapa tahun lalu. Bahkan hari Ahad, Israel menutup Masjid Al Aqsha secara penuh dimana itu belum pernah terjadi sejak tahun 1967.

Damruji menandaskan, negara penjajah Israel ingin dengan langkah jahat itu menunggu reaksi publik Islam untuk mengegolkan proyek pembagian Al-Aqsha.

Karena itu, pihaknya meminta kepada dunia Islam berdiri menghadang rencana Zionis ini dan tidak menyerah. Isu Al-Aqsha adalah isu lebih dari 1 milyar lebih umat Islam dunia dan bukan hanya milik Arab.

Yayasan Miratsuna akan menempuh dua rencana; Pertama, menggunakan jalur resmi yang diwakili negara-negara Islam yang harus bersikap tegas terhadap rencana jahat Israel ini. Kedua, jalur sipil melalui aksi unjuk rasa menyatukan sikap di seluruh dunia.

Yayasan Miratsuna berbasis Turki bertujuan menjaga dan menghidupkan warisan Turki Utsmani di kota Al-Quds.*

Ahad, Israel menutup Masjid Al Aqsha secara penuh dimana itu belum pernah terjadi sejak tahun 1967

Oleh: Z.A Rahman

HIDAYATULLAH

Hukum Makan dan Minum di Sela-sela Shalat Tarawih

Ketika kita melaksanakan shalat tarawih di masjid, terkadang kita melihat sebagian jamaah ada yang minum di sela-sela shalat tarawih. Bahkan di sebagian masjid yang melaksanakan shalat tarawih dengan mengkhatamkan 5 hingga 10 juz, di sela-sela shalat tarawih ada waktu istirahat yang diisi dengan makan dan minum. Sebenarnya, bagaimana hukum makan dan minum di sela-sela shalat tarawih ini?

Makan dan minum di sela-sela shalat tarawih hukumnya adalah boleh. Tidak masalah kita makan dan minum di sela-sela shalat tarawih pada saat jeda istirahat.

Waktu jeda istirahat di sela-sela shalat tarawih boleh kita gunakan untuk aktifitas apa saja, seperti makan, minum, menyampaikan tausiyah, ta’lim dan lainnya.

Ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah berikut;

لا حرج في إلقاء المواعظ والدروس أو تقديم بعض الطعام أو الشراب أثناء الاستراحة بين الركعات، مع مراعاة حرمة المساجد والحفاظ على نظافتها

Tidak masalah menyampaikan mau’izhah dan pengajaran, atau menyuguhkan sebagian makanan dan minuman saat tengah-tengah jeda istirahat di sela-sela shalat tarawih, dengan catatan harus menjaga kehormatan masjid dan menjaga kebersihannya.

Meskipun boleh makan dan minum di sela-sela shalat tarawih, namun sebaiknya waktu jeda istirahat diisi dengan membaca tahlil, tasbih, tahmid dan shalawat kepada Nabi Saw. Ini karena para ulama salaf mengisi jeda istirahat di sela-sela shalat tarawih dengan membaca zikir dan shalawat kepada Nabi Saw.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badaiush Shanai’ fi Tartib Al-Syarai’ berikut;

أن الإمام كلما صلى ترويحة قعد بين الترويحتين قدر ترويحة يسبح ويهلل ويكبر، ويصلي على النبي صلى الله عليه وسلم، ويدعو. وينتظر أيضاً بعد الخامسة قدر ترويحة، لأنه متوارث من السلف

Sesungguhnya imam setiap kali melaksanakan shalat tarawih, maka hendaknya dia duduk di antara dua shalat tarawih dengan ukuran satu shalat tarawih sambil membaca tasbih, tahlil, dan takbir. Juga membaca shalawat kepada Nabi Saw dan berdoa serta juga menunggu setelah tarawih yang kelima. Karena hal itu yang diwariskan dari ulama salaf.

Demikian penjelasan terkait hukum makan dan minum di sela-sela shalat Tarawih. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Melacak Radikalisme Zionis dalam Kitab Talmud

HARI-HARI ini, ‘Israel’, negara Zionis menambah daftar aksi kebiadabannya selama masa penjajahannya terhadap rakyat Palestina.

Fenomena kekejaman Zionis sebetulnya tidak terlepas dari ketaatan total Yahudi Israel kepada kitab suci Talmud. Yaitu kitab suci kedua setelah kitab Torah/Taurat (Perjanjian Lama). Muhammad al-Syarqawi, Pakar Perbandingan Agama dan kitab Talmud dari Universitas Kairo, mengupas kontroversi kitab Talmud dalam karyanya berjudul, Kitab Israil al-Aswad.

Dalam buku al-Syarqawi tersebut dikatakan, ketaatan terhadap kitab yang asal-usulnya masih simpang siur itu melebihi ketaatan kepada Perjanjian Lama. Seorang Rabbi Yahudi bernama Roski mengatakan: “Jadikanlah perhatianmu kepada ucapan-ucapan Rabi (Talmud) melebihi perhatianmu kepada undang-undang Nabi Musa (Torah)”. August Rohling dalam Die Polemik und das Manschenopher des Rabbinus mengatakan, Yahudi lebih mensakralkan Talmud daripada Taurat (Muhammad al-Syarqawi, Ayat-Ayat Hitam Talmud,terj. Kitab Israil al-Aswad, hal. 38).

Joseph Barcle, pakar kebudayaan Ibrani, menyatakan bahwa isi kitab Talmud berupa ayat-ayat yang ekstrim. Para pemimpin agama Kristen di Eropa dan Raja dahulu pernah mengharamkan kitab tersebut.

Kitab Talmud menurut al-Syarqawi sebenarnya belum dipastikan orisinalitasnya. Seperti pernah dikatakan oleh Richard Elliot Friedman, penulis buku Who Wrote the Bible, bahwa Talmudi merupakan teka-teki yang paling tua. Dalam kitab itu tidak ditemukan ayat yang menjelaskan kitab ini dari Nabi Musa (Maurice Bucaille,Al-Qur’an, dan Sains Modern,terj. hal. 1). Ia merupakan ayat-ayat yang kononnya berasal dari ucapan-ucapan nabi Musa yang kemdudian ditransmisi kepada para pemimpin Yahudi. Sehingga, Talmud disebut juga undang-undang lisan.

Dalam Dictionary of the Bible, disebutkan bahwa dalam tradisi agam Yahudi, Nabi Musa memiliki dua kitab undang-undang. Yaitu Torah yang disebut undang-undang tertulis. Dan Talmud yang dikenal dengan undang-undang lisan.

Kesulitan melacak transmisi secara verbal Talmud ini mungkin karena Yahudi tidak memiliki tradisi ilmu sanad sebagaimana dalam Islam. Proses transmisi hukum lisan ini konon dimulai dari para murid-murid Nabi Musa disampaikan secara verbal kemudian sampai kepada para Rabbi Yahudi, yang kemudian ditulis dalam bentuk kitab. Siapa yang pertama menulisnya, juga masih kontroversi (Kholili Hasib,Kritik atas Konsep Abrahamic Faiths dalam Studi Agama, hal. 13).

Materi-materi pelajaran di negara Israel juga berpedoman kepada pendekatan kitab Talmud. Termasuk anak-anak Yahudi.

Menurut Muhammad Khalifah al-Tunisi, penerjemah Protocols of Learned Elders of Zion, ajaran Zionisme terbentuk oleh doktrin-doktrin kitab Talmud. Mereka melakukan propaganda memecah bangsa dan agama di dunia, demi memuluskan agendanya. Propagandanya membuat ajaran-ajaran baru dari agama-agama, untuk memuluskan tujuan besarnya.

Mengutip Dr. A Fabian, Muhammad al-Syarqawi menulis  bahwa Talmud telah memberikan kontribusi dan kekuatan yang sangat besar dalam menjaga agama dan kebangsaan Yahudi. Yahudi tetap eksis selama Talmud eksis dalam kehidupan Yahudi.
Sampai saat ini, ritual-ritual keagamaan, shalat, liturgi dan peraturan pernikahan semuanya dilaksanakan dengan pedoman langsung dari Talmud.

Jadi Talmud sudah menjadi way of life-nya Zionis. Talmud berisi ajaran-ajaran aneh dan doktrin-doktrin yang rasis.

Ajaran-ajaran di dalamnya memuat doktrin aneh dan rasialis. Disebutkan bahwa Nabi Adam pernah menggauli setan perempuan yang bernama Lelet, sehingga darinya lahir setan dalam jumlah banyak.

Disebut pula, bahwa bangsa selain Yahudi bagaikan binatang. Seluruh bumi dan isinya adalah milik Yahudi yang diberikan oleh Tuhan. Untuk mendapatkan harti di bumi, Yahudi dibolehkan menipu bangsa non-Yahudi, bahkan dengan cara pembunuhan sekalipun (Ayat-Ayat Hitam Talmud,terj. Kitab Israil al-Aswad, hal. 113-118).

Al-Syarqawi menerjemahkan ayat-ayat yang disebut ‘hitam’ tersebut. “Hanya orang-orang Yahudi yang manusia, sedangkan orang-orang non-Yahudi bukanlah manusia, melainkan binatang” (Kerithuth 6b hal. 78, Jebhammoth 61a).

Doktrin menghalalkan segala cara berpedomankan kepada ayat Talmud IV/8/4a, yang berbunyi: “Tuhan Yahweh tidak pernah marah kepada orang-orang Yahudi, melainkan hanya marah kepada orang non-Yahudi”.

Menipu dan berbohong dihalalkan kepada non-Yahudi: “Setiap orang Yahudi boleh menggunakan kebohongan dan sumpah palsu untuk membawa seorang non-Yahudi kepada kejatuhan” (Babha Kama 113a).

Agama Kristen disebut dengan predikat merendahkan yaitu dipanggil ‘Abhodah Zarah (agama aneh), Obhde Elilim (penipu-penipu paganis), Edom (orang yang mengimani lambing salib), Goim (pagnis non-Yahudi), Nokhrim (orang asing), Amme Harets (orang dungu), Basar Vedarm (daging dan darah – maksudnya orang Kristen yang tidak beriman kepada Roh), Apikorosim  (orang yang tidak mentaati perintah-perintah Tuhan). Seorang Rabi Yahudi Meir menyebut, kitab Injil milik orang Kristen dengan sebutan Aven Gilaion  (kitab-kitab jahat).

Paulus yang mengaku murid Nabi Isa, disebut-sebut orang Yahudi yang mempunyai misi menyimpangkan ajaran Nabi Isa. Tujuannya, agara pengikut Nabi Isa bisa ‘bersahabat’ dengan ajaran Yahudi, dan jauh dari Injil. Di kalangan Yahudi diaspora, Paulus atau Saul dikenal sebagai misionari Kristen Yahudi, atau Judeo-Christian.

Sehingga, radikalisme Yahudi tersebut sebenarnya juga tantangan bagi agama Kristen. Sebab, menjadi ancaman tumbuhnya dotkrin-doktrin ekstrim yang bisa berkembang luas. Kristen harus mewaspadai gerakan radikalisme dan ekstrimisme ini. Jika ingin perdamaian dunia, ekstrimisme dan radikalisme ajaran dalam Talmud harus dihilangkan. Apalagi, orisinalitasnya dipertanyakan. Namun, kini, gerakannya meluas secara terselubung. Dengan memiliki sayap-sayap gerakan.

Doktrin-doktrin tersebut kemudian dipraktikkan dan dikekembangkan oleh Yahudi diaspora berupa gerakan politik Zionisme. Sayap-sayap gerakan ini berkembang ke berbagai negara, seperti freemasonry, theosofi, kabbalah dan lain-lain.*

Oleh: Kholili Hasib, Peneliti InPAS

HIDAYATULLAH

Dirjen PHU: Perlu Kehati-hatian Sampaikan Batas Usia Jamaah Haji

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) Hilman Latief mengimbau kehati-hatian dalam menyampaikan batasan usia jamaah haji tahun ini. Arab Saudi menetapkan pelaksanaan haji tahun ini diikuti oleh jamaah dengan usia di bawah 65 tahun.

Pesan tersebut ia sampaikan dalam kegiatan Rapat Koordinasi dan Kunjungan Kerja Komisi VIII DPR RI di asrama haji transit Yogyakarta, Ahad (17/4/2022). Ia menyebut keputusan Pemerintah Arab Saudi tentu harus diikuti, namun penyampaian yang efektif kepada masyarakat juga perlu dilakukan. 

“Yogyakarta ini memang istimewa, terkenal dengan tingkat harapan hidup yang tinggi sehingga jumlah lansia juga tertinggi. Dengan adanya batasan usia lansia, mohon bisa dijadikan langkah yang baik agar dapat meyakinkan masyarakat,” ujar Hilman dalam keterangan yang didapat Republika, Senin (18/4/2022).

Dengan adanya peraturan batasan usia tersebut, ia lantas memohon dukungan dari Komisi VIII DPR RI agar pelaksanaan haji pada 2023 bagi lansia dapat diprioritaskan. Di samping lansia, jamaah haji asal Yogyakarta juga memiliki karakteristik yang unik jika ditinjau dari latar belakang pendidikan yang mayoritas sarjana. 

“Dengan latar pendidikan yang tinggi (mayoritas sarjana), maka masalah pendampingan jamaah haji dan bimbingan manasik haji tentunya diharapkan dapat dilakukan secara lebih mudah,” lanjutnya. 

Untuk perkembangan penyelengaraan ibadah haji, Arab Saudi telah menetapkan satu juta jamaah haji dari seluruh dunia untuk penyelenggaraan ibadah haji tahun ini. Komunikasi intensif Kementerian Agama dengan pemerintah Arab Saudi disebut masih terus dilakukan sebagai upaya pelaksanaan ibadah haji tahun ini. 

Meski demikian, ia menyebut informasi terkait perolehan kuota masih menunggu informasi resmi dari pemerintah Arab Saudi. Hal ini juga terjadi dengan negara-negara pengirim haji lainnya, tidak hanya di Indonesia saja.

“Sejalan dengan hal tersebut, persiapan pelaksanaan haji dalam negeri saat ini sudah dalam proses input paspor untuk e-Hajj,” ujar dia. 

Terkait kesehatan jamaah haji, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka menyampaikan pelaksanaan ibadah haji di tengah pandemi Covid-19 ini harus benar-benar dikawal dan dimonitor secara penuh. Pemerintah harus menyediakan vitamin bagi jamaah agar stamina mereka tetap terjaga selama pelaksanaan ibadah haji. 

“Haji saat ini masih dalam masa pandemi, kami meminta pemerintah mengawal dan memonitor penuh persiapan dan pelaksanaannya, serta sediakan vitamin bagi jamaah agar tetap menjaga staminanya saat beribadah haji,” ucap Diah.

IHRAM

Ya Allah, Aku Tidak Kuasa Menjalani Ramadhan tanpa Pertolongan-Mu (Bag. 2)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Resep apakah untuk bisa mendapatkan pertolongan Allah dalam menjalankan ibadah pada bulan Ramadan? (lanjutan)

Prinsip kedua: menghayati nama Allah Al-Qoyyuum dan sifat-Nya Al-Qoyyuumiyyah

Al-Qoyyuum adalah salah satu nama Allah yang husna (terindah). Ibnul Qoyyim Rahimahullah menjelaskan kesimpulan makna Al-Qoyyuum yang mengandung dua makna pokok, yaitu:

1) Yang Maha mandiri, sehingga tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun dan tidak butuh kepada selain-Nya. Hal ini berarti nama Allah Al-Qayyuum mengandung sifat kaya yang sempurna. Allah tidak membutuhkan seluruh makhluk-Nya.

Allah Ta’ala tidak membutuhkan kita dalam mengurus seluruh makhluk-Nya. Allah Ta’ala tidak membutuhkan ketaatan dan ibadah kita. Ketaatan kita tidak bermanfaat bagi Allah Ta’ala dan kemaksiatan hamba juga tidak membahayakan bagi Allah Ta’ala sedikit pun.

2) Yang Maha mengurus segala sesuatu, sehingga semuanya membutuhkan kepada-Nya. Tidak ada satu pun di antara makhluk-Nya dapat bertahan di muka bumi kecuali diurus dan dipelihara oleh-Nya. Tiada satupun hamba-Nya dapat taat kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan menghindari larangan-Nya kecuali dengan pertolongan Allah Ta’ala.

Hal ini menunjukkan kemahakuasaan Allah Ta’ala. Nama Allah Al-Qayyuum juga mengandung sifat kuasa yang sempurna. Dengan demikian, Al-Qoyyuum bermakna yang Maha mandiri lagi Maha mengurus segala sesuatu.

Al-Qoyyuum termasuk Al-Asma’ul Husna. Sedangkan Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berdoa kepada Allah dengan Asma’ul Husna. Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَا

“Dan hanya milik Allah-lah Al-Asma’ul Husna (nama-nama yang terindah), maka berdoalah kepada-Nya dengan Al-Asma’ul Husna tersebut” (QS. Al-A’raf: 180).

Selain berdoa dengan menyebut nama Allah Ta’ala yang sesuai dengan isi doa, kita juga harus beribadah dengan melaksanakan tuntutan ibadah yang terkandung dalam nama Al-Qoyyuum. Setiap nama dan sifat Allah Ta’ala mengandung tuntutan ibadah kepada Allah Ta’ala semata.

Oleh karena itu, Ibnul Qoyyim Rahimahullah menyatakan,

وأكمل الناس عبودية المتعبد بجميع الأسماء والصفات التي يطلع عليها البشر

“Manusia yang paling sempurna ibadahnya adalah orang yang beribadah dengan melaksanakan tuntutan peribadahan dari seluruh nama dan sifat Allah yang diketahui oleh manusia.”

Tuntutan peribadatan apa yang terkandung dalam nama Al-Qoyyuum?

Tuntutannya adalah seorang hamba meyakini kemahamandirian-Nya, kemahakayaan-Nya, kemahakuasaan-Nya, dan kemahapengurusan-Nya terhadap segala sesuatu. Dengan demikian, hal tersebut melahirkan sikap selalu membutuhkan-Nya dan berusaha meraih segala kebaikan dengan maksimal disertai menyandarkan hatinya kepada Allah semata. Selain itu, selalu berusaha memohon pertolongan kepada-Nya semata dan tidak bergantung kepada dirinya sendiri. Tidak pula bergantung kepada seluruh makhluk. Buah dari hal tersebut adalah ia tidak merasa besar di sisi Allah, memandang dirinya tidak memiliki kekuatan sama sekali kecuali dengan pertolongan Allah, dan tidak membangga-banggakan dirinya sendiri.

Prinsip ketiga: Islam itu agama mudah, tapi ketaatan itu berat jika bukan karena Allah yang memudahkan

Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu” (QS. Al-Muzzammil: 5).

Ulama tabi’in, Al-Hasan Al-Bashri dan Qotadah Rahimahumallah menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah Al-Qur’an itu berat pengamalannya. Sebagaimana ditafsirkan oleh ulama tafsir Muqotil dan Qotadah Rahimahumallah dalam ucapan yang lain bahwa kewajiban, perintah, dan larangan, serta batasan syariat yang ada dalam Al-Qur’an itu berat pengamalannya.

Memang syariat Islam ini mudah. Namun berat diamalkan jika bukan Allah Ta’ala yang memudahkan. Oleh karena itu, jangan sombong dan merasa seolah-olah pasti bisa beribadah dengan baik pada bulan Ramadan. Allah Ta’ala akan memudahkan pengamalan Islam ini pada bulan Ramadan dan pada bulan selainnya bagi orang yang mendapatkan taufik-Nya. Orang yang mendapatkan taufik adalah orang yang bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah Ta’ala semata sembari bertawakal kepada-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya semata.

Mari kita renungkan beberapa contoh sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa beliau akan berat mengamalkan ketaatan, jika tidak Allah mudahkan. Bahkan beliau menunjukkan sikap mustahil melakukannya tanpa pertolongan dari Allah Ta’ala. Padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah yang terbaik. Rasulullah Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling paham ilmu syariat, paling sempurna amal salehnya, dan paling bertakwa kepada Allah Ta’ala.

Al-Bara’ bin ‘Aazib Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Ahzab ikut serta memindahkan tanah galian Khandaq bersama kami. Bahkan tanah tersebut sampai menutupi kulit putih perut beliau. Beliau melantunkan syair,

وَاللَّهِ لَوْلَا أَنْتَ ما اهْتَدَيْنَا… وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا فَأَنْزِلَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا

‘Demi Allah, kalaulah bukan karena Engkau (Ya Allah), tentulah kami tidak akan mendapatkan hidayah # Dan kami tidak bisa bersedekah, dan kami tidak pula bisa menunaikan salat. Maka sungguh turunkanlah kepada kami ketenangan’ (HR. Bukhari dan Muslim).”

Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu agar selalu meminta pertolongan kepada Allah pada setiap salatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يا مُعاذُ، واللَّهِ إنِّي لأحبُّكَ، واللَّهِ إنِّي لأحبُّك

“Wahai Mu’adz, Demi Allah, sesungguhnya benar-benar saya mencintaimu. Demi Allah, sesungguhnya benar-benar saya mencintaimu!”

Lalu beliau bersabda,

أوصيكَ يا معاذُ لا تدَعنَّ في دُبُر كلِّ صلاةٍ تقولُ: اللَّهمَّ أعنِّي على ذِكْرِكَ، وشُكْرِكَ، وحُسنِ عبادتِكَ

“Saya wasiatkan kepadamu wahai Mu’adz, janganlah sekali-kali Engkau tinggalkan di akhir setiap salat, sebuah doa, ‘Ya Allah, tolonglah aku dalam mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu (dengan baik)’” (HR. Abu Dawud, sahih).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan saja memohon pertolongan untuk bisa beribadah kepada Allah dan beramal saleh, namun -dalam hadis yang lain- beliau juga berdoa memohon perlindungan kepada Allah dari berbuat buruk dan berbagai macam dosa serta mengikuti hawa nafsu yang tercela. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اللَّهمَّ إنِّي أعوذُ بِكَ من منكراتِ الأَخلاقِ والأعمالِ والأَهْواءِ

“Ya Allah, sesungguhnya saya berlindung kepada-Mu dari akhlak batin yang mungkar, amal zahir yang mungkar, dan hawa nafsu yang mungkar” (HR. At-Tirmidzi, sahih).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memohon perlindungan kepada Allah dari segala kemungkaran, terkait dengan akhlak batin, amal zahir, dan hawa nafsu. Akhlak batin yang mungkar misalnya hasad, sombong, buruk sangka kepada saudaranya yang beriman, dan yang semisalnya. Amal zahir yang mungkar misalnya mencela, menuduh tanpa bukti, zina, membunuh, zalim, dan lainnya. Sedangkan hawa nafsu yang mungkar yakni seluruh sikap mengikuti hawa nafsu yang dibenci oleh Allah dan diingkari pelakunya.

Dalam hadis lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhawatirkan terkena tipu daya setan yang menyesatkan manusia dari jalan Allah. Tipu daya setan terbagi menjadi dua, yaitu:

1) Mengikuti syubhat, yang menjerumuskan kepada kekafiran atau bid’ah dan merusak kekuatan ilmiyyah hati.

2) Mengikuti syahwat, yang menjerumuskan kepada dosa besar maupun kecil, terutama syahwat perut dan kemaluan. Keduanya adalah pokok syahwat dan merusak kekuatan kehendak baik hati yang membuahkan amal saleh.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن مما أخشى عليكم شهوات الغي في بطونكم وفروجكم ومضلات الهوى

“Sesungguhnya termasuk perkara yang aku khawatirkan atas diri kalian adalah syahwat yang menyimpang pada perut dan kemaluan kalian, serta hawa nafsu yang menyesatkan.”

Di antara bentuk ketergantungan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Allah semata adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa,

اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ القُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنا على طاعَتِكَ

“Ya Allah, sang pengatur hati, arahkan hati kami kepada ketaatan kepada-Mu” (HR. Muslim).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memohon kepada Allah yang Maha mengatur hati manusia agar mengarahkan hati beliau kepada segala bentuk ketaatan kepada Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, zahir maupun batin, yang dicintai oleh Allah Ta’ala.

Bahkan untuk urusan hati, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap berdoa agar ditetapkan di atas agama Islam. Ini pun beliau sering berdoa kepada Allah agar menetapkan hati beliau di atas agama-Nya.

Syahr bin Hausyab Radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Ummu Salamah, “Wahai Ummu Mukminin, apakah doa yang paling banyak diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saat berada disisimu?”

Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Dahulu doa yang paling banyak beliau ucapkan adalah,

يا مُقلِّبَ القلوبِ ثبِّت قلبي على دينِكَ

‘Wahai Sang Pembolak balik hati [1], tetapkan hatiku di atas agama-Mu.’”

Ummu Salamah berkata, “Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah mengapa doa yang paling banyak Engkau ucapkan adalah Ya Muqallibal Quluub, tsabbit qalbi ‘ala diinika?’”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يا أمَّ سلمةَ إنَّهُ لَيسَ آدميٌّ إلّا وقلبُهُ بينَ أصبُعَيْنِ من أصابعِ اللَّهِ، فمَن شاءَ أقامَ، ومن شاءَ أزاغَ

‘Wahai Ummu Salamah, sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun kecuali hatinya berada di antara dua jari dari jari jemari Allah. Barang siapa yang Allah kehendaki (kebaikan), niscaya Allah akan menegakkan hati tersebut. Sedangkan barang siapa yang Allah kehendaki (keburukan), niscaya Allah akan menyimpangkannya.’”

Lalu Mu’adz pun membaca doa,

رَبَّنا لا تُزِغْ قُلُوبَنا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنا

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau simpangkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk kami” (HR. At-Tirmidzi, sahih).

Ash-Shan’ani Rahimahullah menyatakan bahwa hati itu menyimpan rahasia-rahasia. Tidak ada yang mengetahui semuanya kecuali Allah semata. Oleh karena itu, selagi masih hidup, janganlah kita merasa aman dari fitnah syubhat maupun syahwat. Sesungguhnya rahasia hati itu akan muncul tandanya di akhir hayat kita.

Apabila Allah mengetahui apa yang tersimpan di hati seorang hamba adalah kelurusan niat dan kejujuran hati, maka Allah akan tutup akhir hayatnya husnul khatimah dengan Allah beri taufik untuk beramal saleh di akhir hayatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّما الأعْمالُ بالخَواتِيمِ

“Sesungguhnya amal itu ditentukan di akhir hayat seseorang” (HR. Bukhari).

Maksudnya, sesungguhnya amal seorang hamba di akhir hayatnya itu lebih berhak dan inilah yang jadi patokan penilaian. Barang siapa yang beralih dari amal keburukan, meninggalkannya, dan beralih kepada ketaatan di akhir hayatnya, berarti dia sudah bertaubat. Barang siapa yang beralih dari ketaatan kepada keburukan di akhir hayatnya, maka dia su’ul khatimah. Dan barang siapa yang beralih dari keimanan kepada kekafiran, maka berarti ia murtad. Wal’iyaadzu billah.

Al-Baji Rahimahullah berkata,

لا عليكم أن لا تعجبوا بعمل أحد حتى تنظروا بم يختم له

“Tidak masalah bagi kalian untuk tidak kagum pada amalan seseorang sampai kalian melihat amal akhir hayatnya.”

Kesimpulan

Sebagaimana yang disampaikan Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum wal Hikam bahwa seorang hamba butuh untuk terus memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam setiap melakukan perintah dan meninggalkan larangan. Begitu pun terus memohon dalam setiap sabar terhadap semua takdir, baik di dunia maupun saat menghadapi kengerian di alam barzakh dan hari kiamat.

Tidak ada yang mampu menolong kecuali Allah ‘Azza wa jalla. Barang siapa yang benar-benar memohon pertolongan kepada Allah atas semua hal itu, maka Allah Ta’ala akan menolongnya. Barang siapa yang tidak memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dan justru minta pertolongan kepada selain-Nya, niscaya Allah Ta’ala akan alihkan urusannya kepada selain-Nya. Dengan demikian, ia jadi ditelantarkan dan tidak medapat pertolongan dari Allah Ta’ala.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/74283-ya-allah-aku-tidak-kuasa-menjalani-ramadhan-tanpa-pertolongan-mu-bag-2.html

Ya Allah, Aku Tidak Kuasa Menjalani Ramadan tanpa Pertolongan-Mu (Bag. 1)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,

Contoh-contoh ketidakmampuan dalam melaksanakan ibadah kepada Allah Ta’ala semata pada bulan Ramadan

Kilas balik Ramadan di tahun-tahun lalu, betapa banyak contoh seseorang ingin sempurna ibadahnya, namun banyak tidak terlaksana. Misalnya,

-Ingin mengikuti contoh salaf saleh yang 6 bulan sebelum Ramadan sudah berdoa agar dapat menjumpai bulan Ramadan. Ternyata mungkin masih banyak sampai hari-hari ini pun belum berdoa.

-Telat bangun sahur, sehingga hilang kesempatan mendapatkan keberkahan sahur. Atau menjumpai waktu sahur, tetapi saat sahur lebih dominan rutinitas makan. Tidak menghadirkan harapan-harapan mendapatkan pahala dan keutamaan sahur dan tidak menghayati hakikat sahur sebagai ibadah sehingga terluput besarnya pahala sahur.

– Terkadang terlambat tidak salat jemaah karena malas. Atau sangat ingin di saf pertama, namun BAB lama di kamar mandi.

– Setelah salat subuh, tidur sehingga terluput berbagai amal saleh, seperti membaca Al-Qur’an, zikir, dan lainnya. Sehingga target khatam baca Al-Qur’an tidak tercapai padahal bulan Ramadan adalah bulan Al-Qur’an.

Mungkin mudah bagi kita menahan makan dan minum secara sengaja, tetapi sulit menahan seluruh anggota tubuh dari hal yang mengurangi pahala puasa. Bahkan bisa jadi menghilangkan pahala puasa secara totalitas, yaitu semua kemaksiatan selain dosa melakukan pembatal puasa, seperti menahan mata dari melihat hal yang haram dilihat, menahan lisan, telinga, serta hati dari dosa-dosa.

Salat tarawih, mungkin banyak kali kita ingin khusyuk dalam salat tarawih namun ternyata banyak ngelamun mikir ini itu apalagi jika bacaan surat Al-Qur’an imamnya panjang, dan masih banyak contoh-contoh ketidakmampuan meraih kesempurnaan dalam bulan Ramadan.

Teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan salaf saleh dalam menjalani Ramadan [1]

Bulan Ramadan adalah bulan ibadah dan Al-Qur’an. Selain ibadah puasa, Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’aad menyebutkan bahwa Rasulullah di bulan Ramadan memperbanyak berbagai macam ibadah kepada Allah, seperti salat, membaca Al-Qur’an, sedekah, zikir, iktikaf, berbuat baik, dan beliau paling dermawan saat Ramadan padahal beliau adalah orang yang paling dermawan (di luar bulan Ramadan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan ibadah pada bulan Ramadan yang tidak dikerjakan di bulan selain Ramadan.

Demikian pula salaf saleh, mereka juga memperbanyak ibadah pada bulan Ramadan, khususnya membaca Al-Qur’an Al-Karim. Misalnya, pada bulan Ramadan, ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengkhatamkan Al-Qur’an sehari sekali, sedangkan Sa’id bin Jubair seorang tabi’in rahimahullah mengkhatamkan Al-Qur’an setiap dua malam sekali. Imam Bukhari rahimahullah mengkhatamkan Al-Qur’an sehari sekali. Imam Syafi’i rahimahullah 6o kali selama bulan Ramadan, dan Qotadah mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tiga hari sekali, sedangkan saat sepuluh hari terakhir adalah setiap malam khatam.

Resep apakah untuk bisa mendapatkan pertolongan Allah dalam menjalankan ibadah pada bulan Ramadan?

Di antara resep untuk mampu menjalani peribadatan pada bulan Ramadan dengan ditolong oleh Allah Ta’ala adalah dengan memperhatikan dan mengamalkan beberapa prinsip berikut ini :

Prinsip pertama, “Manusia adalah makhluk yang lemah”

Kita perlu memahami karakter manusia, agar kita lebih yakin lagi merasa tidak bisa terlepas dari pertolongan Allah Ta’ala. Banyak dalil yang menunjukkan hakikat manusia, bahwa manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah, tidak tahu apa-apa, tidak kuasa mendatangkan manfaat, dan senantiasa membutuhkan pertolongan Allah Ta’ala. Semua yang ada pada diri manusia hakekatnya dari Allah Ta’ala, hawa nafsunya menyenangi harta, manusia banyak melakukan kesalahan, dan semuanya tersesat, kecuali orang yang Allah Ta’ala beri petunjuk. Berikut ini beberapa dalil tentang sifat kurang dan lemah yang terdapat pada diri manusia.

Allah Ta’ala berfirman,

يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّخَفِّفَ عَنْكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْاِنْسَانُ ضَعِيْفًا

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu (dalam syari’at dan takdir-Nya), karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (QS. An-Nisa’: 28)

وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ

“Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun.” (QS. An-Nahl: 78)

قُلْ لَّآ اَمْلِكُ لِنَفْسِيْ نَفْعًا وَّلَا ضَرًّا اِلَّا مَا شَاۤءَ اللّٰهُ

“Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi diriku, kecuali apa yang dikehendaki Allah.” (QS. Al-A’raf: 188)

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اَنْتُمُ الْفُقَرَاۤءُ اِلَى اللّٰهِ ۚوَاللّٰهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ

Wahai manusia! Kalianlah yang membutuhkan Allah, dan Allah adalah Yang Mahakaya (tidak memerlukan segala sesuatu apapun), Mahaterpuji.” (QS. Fathir: 15)

اِنَّ الْاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ كَفَّارٌ

“Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memohon perlindungan dalam khotbah hajah,

ونعوذُ باللَّهِ من شرورِ أنفسنا ، ومن سيِّئاتِ أعمالنا ، من يَهدِهِ اللَّهُ فلاَ مضلَّ لَهُ ، ومن يضلل فلاَ هاديَ لَهُ 

“Kami berlindung dari keburukan jiwa kami dan dari kesalahan amal kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada satu pun yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada satu pun yang memberi petunjuk kepada-Nya. (Shahih Ibnu Majah)

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ

“(Manusia diuji dengan) dihiasi dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. (QS. Ali ‘Imran: 14)

اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ اِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Karena sesungguhnya nafsu itu banyak mendorong kepada keburukan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Yusuf: 53)

Dalam hadis qudsi, riwayat Imam Muslim rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meriwayatkan dari Allah Ta’ala, Dia berfirman,

يَا عِبَادِي! كُلُّكُمْ ضَالٌّ إلَّا مَنْ هَدَيْته، فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ …..إنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا؛ فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ

“Wahai hamba-Ku, setiap kalian tersesat, kecuali orang yang Aku beri petunjuk. Maka, mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku beri petunjuk kalian… Sesungguhnya kalian melakukan kesalahan pada malam dan siang, sedangkan Aku mengampuni dosa-dosa semuanya, maka mohonlah ampun kepada-Ku niscaya Aku ampuni kalian.”

وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا

“Kalaulah bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).” (QS. An-Nisa’: 83)

فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى

“Maka janganlah kalian menyatakan diri kalian saleh. Dia mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala melarang kita menyatakan diri kita saleh, bersih dari dosa, bagus amalan kita  dalam bentuk ujub, membangga-banggakan, dan memuji diri kita, atau riya’, memamerkan amalan saleh kita. [2] Oleh karena itu, sikap menyatakan diri di bulan Ramadan, seolah-olah tingkatan keimanannya pasti mampu mengamalkan berbagai macam amal saleh dengan baik di bulan Ramadan, ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shalallallahu ‘alaihi wasallam, dengan pandangan membanggakan dirinya, maka sikap ini termasuk melanggar ayat yang mulia di atas.

[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/74281-ya-allah-aku-tidak-kuasa-menjalani-ramadhan-tanpa-pertolongan-mu-bag-1.html

Rajin Tadarus Al-Qur’an di Bulan Ramadan, akan Dimudahkan Masuk Surga

Tadarus Al-Qur’an merupakan kegiatan mempelajari atau mengkaji tentang bacaan dan kandungan dari ayat suci Al-Qur’an. Amalan yang satu ini tidak hanya dilakukan pada bulan Ramadan saja, namun pada hari hari biasa usai melaksanakan salat sekalipun.

Kegiatan mendalami kandungan dari ayat suci Al-Qur’an ini tentu sangat bermanfaat. Bahkan orang yang menyimak bacaan Al-Qur’an akan mendapatkan pahala yang sama dengan yang membaca, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 204 yang berbunyi:

وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Artinya: “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.”

Manfaat tadarus Al-Qur’an wajib diketahui, hal ini dimaksudkan agar kita semakin bersemangat untuk mengerjakan amalan yang satu ini. Dengan rajin bertadarus, kita akan semakin dekat kepada Allah SWT.


Mengutip dari Kemenag, salah satu manfaat tadarus Al-Qur’an yang umum diketahui yaitu memperoleh pahala dan kebaikan.

Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang membaca satu huruf saja dari kitabullah maka seseorang akan mendapatkan kebaikan satu kali. tetapi setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kalinya.” (HR. Tirmidzi)

Masih banyak manfaat tadarus Al-Qur’an yang belum diketahui. Melansir buku Kedahsyatan Membaca Al-Qur’an oleh Amirulloh Syarbini dan Sumantri Jamhari, berikut merupakan 5 manfaat tadarus Al-Qur’an.

1. Dimudahkan masuk surga


Manfaat tadarus Al-Qur’an yang pertama yaitu memudahkan pembacanya masuk surga. Allah SWT sangat mencintai hambanya yang sering membaca Al-Qur’an.

Annas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah memiliki keluarga dari golongan manusia.” Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Para ahli Qur’an, mereka adalah keluarga Allah dan orang orang khusus-Nya.”

Tak sampai di situ, dalam hadits lain juga Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa pembaca Al-Qur’an yang memaknai isi dan mengamalkannya akan Allah berikan kemudahan di proses hisab saat hari kiamat kelak. Dengan begitu, ia akan lebih mudah masuk surga.

Rasulullah SAW bersabda,

“Barang siapa yang membaca Al-Qur’an dan mengikuti ajaran yang ada di dalamnya, maka Allah SWT akan memberikan petunjuk dari kesesatan dan melindunginya darikeburukan hisab pada hari kiamat.” (HR. Muslim)

2. Mendapatkan syafa’at di alam kubur

Kemudian, manfaat tadarus Al-Qur’an lainnya yaitu akan memperoleh syafa’at pada saat hari kiamat. Imam Ahmad dan Nasa’i meriwayatkan hadits dari AbSyari’lah bin Amr, ia menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Puasa dan Al-Qur’an memberi syafa’at pada hamba di hari kiamat. Puasa berkata: “Wahai Rabb, telah kucegah ia dari makanan dan syahwat di siang hari maka berilah aku syafa’at untuknya. Sementara Al-Qur’an berkata: “Aku cegah ia dari tidur di malam hari maka berilah aku syafa’at untuknya. Keduanya pun lalu diberikan hak untuk memberikan syafa’at.” (HR. Muslim)

3. Melancarkan rezeki

Dengan rajin melaksanakan tadarus Al-Qur’an akan melancarkan rezeki seseorang. Rezeki tidak hanya didefinisikan dengan uang, namun juga bisa berbentuk kesehatan dan kebahagiaan.

Abu Hurairah berkata, “Nabi SAW bertanya, “Apakah salah satu dari kalian senang jika saat kembali kepada keluarganya ia mendapati tiga ekor unta betina yang besar dan gemuk? Kami menjawab, “Ya”. Kemudian beliau bersabda, “Tiga ayat Al-Qur;an yang dibaca dalam salat lebih baik baginya dari tiga ekor unta betina yang besar dan gemuk.” (HR. Muslim)



4. Memberikan kenikmatan kepada kedua orang tua di hari kiamat

Manfat dari tadarus Al-Qur’an selanjutnya yaitu dapat melindungi kedua orang tuanya pada hari kiamat kelak. Mengutip dari Kemenag, Allah SWT akan memberinya kenikmatan termasuk mahkota pada kepala mereka sebagai tanda keberkahan.

“Barang siapa yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya semata-mata karena Allah SWT maka Allah akan memberikan mahkota di kepala kedua orang tuanya dan kenikmatan pada hari kiamat dan akan terlihat lebih terang daripada sinar matahari sehingga kamu tidak akan menduganya bahwa ganjaran itu dikarenakan amalan-amalan si pembaca Al-Qur’an itu.” (HR. Abu Daud)

5. Membuat hati tentram

Dengan melantunkan ayat ayat suci Al-Qur’an dan memaknai tiap kalimatnya, pikiran, batin dan hati akan menjadi tenang. Hal ini dikarenakan dengan tadarus, kita mengingat Allah SWT.

Dalam surat Ar-Ra’d ayat 28 disebutkan:

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”

Itulah 5 manfaat tadarus Al-Qur’an. Semoga bermanfaat dan dapat mendorong detikers untuk semakin rajin membaca kitab suci Al-Qur’an.

DETIKHIKMAH