Idul Fitri; Menjaga Keselarasan Lahir Batin

Bagi kalangan muslim khususnya, Idul Fitri merupakan sebuah momentum istimewa. Dan disadari atau tidak, hal ini seolah menuntut untuk menyambutnya secara tidak biasa pula. Sebut saja dalam urusan berpakaian.

Menjelang hari raya Idul Fitri, pusat-pusat perbelanjaan menawarkan diskon spesial. Orang-orang pun berbondong-bondong mendatanginya. Semua berburu busana baru karena ingin tampil dengan pakaian terbaik di hari yang istimewa itu.

Islam sejatinya tidak melarang manusia untuk berhias diri dengan menggunakan pakaian yang indah atau bahkan mewah. Terutama di hari-hari istimewa seperti hari Jumat dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).

Dalam al-Hawi al-Kabir, Abu al-Hasan al-Mawardi menjelaskan,

يستحب للرجل أن تكون ثياب جمعته وعيده أجمل من ثيابه في سائر أيامه، لأنه يوم زينة

“Dianjurkan bagi seseorang agar busana Jumat dan Idnya lebih bagus daripada busana yang ia pakai sehari-hari. Karena hari itu adalah hari berhias,” (al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 2/455).

Di samping alasan karena hari itu adalah hari berhias, dalam keterangannya, al-Mawardi juga mengutip Riwayat bahwa Rasulullah pernah bersabda,

ما على أحدكم لو اشترى ثوبين ليوم جمعته سوى ثوبي مهنته

“Tak soal kalian membeli dua baju untuk digunakan pada hari Jumat selain dua baju untuk digunakan bekerja,” (al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 2/455).

Demikian, salah satu wujud perhatian syariat terhadap busana. Namun begitu, perlu diingat bahwa anjuran menggunakan pakaian terbaik pada hari-hari istimewa seperti Idul Fitri jangan sampai dimaknai sebagai ajang berlomba-lomba dalam memperindah busana.

Apalagi sampai menjadi ajang pamer busana belaka. Sebab yang lebih utama dari sekadar pakaian adalah hati dan perbuatan.

Dengan kalimat lain, perhatian pada busana dan penampilan lahir jangan sampai membuat kita lupa memperhatikan kondisi batin, terlebih pada momen Idul Fitri. Ulama sufi Abu Abdurrahman as-Sulami, guru dari Imam al-Qusyairi, dalam ‘Uyub al-Nafs mengingatkan,

وَمن عيوبها اشتغالُها بالإصلاح الظَّاهِر لزينة النَّاس وغفلتها عَن إصْلَاح الْبَاطِن الَّذِي هُوَ مَوضِعُ نَظرِ الله عز وَجل

“Diri yang sibuk memperbaiki penampilan agar tampak indah di depan manusia sementara lalai menata batin yang notabene menjadi objek penilaian Allah merupakan penyakit.” (al-Sulami, ‘Uyub al-Nafs, 21).

Pandangan ini selaras dengan sabda Rasulullah Saw. Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw. bersabda,

 إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak memandang penampilan kalian, juga tidak pada harta kalian. Melainkan yang Allah padangan adalah hati dan perbuatan kalian.”

Sampai di sini, menjadi jelas pula bahwa Islam membawa pesan yang moderat dalam artian tidak hanya mengatus urusan lahir, atau urusan batin belaka. Melainkan keduanya sama-sama penting menurut Islam.

Secara tersirat, semangat Islam dalam menyelaraskan antara yang lahir dan yang batin bisa dibaca dalam Qs. Al-An’am: 160. Allah Ta’ala berfirman,

وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ

Tinggalkanlah dosa lahir maupun dosa batin” (Qs. Al-An’am: 160).

Secara jelas melalui ayat ini Allah tidak hanya memerintahkan untuk meninggalkan dosa lahiriah seperti mencuri, mencaci, dan seterusnya. Allah juga tidak sekadar memerintahkan agar meninggalkan dosa batin seperti sombong, ujub, iri, dengki, riya, dan macam-macam penyakit hati lainnya.

Akan tetapi Allah Swt, memerintahkan agar kedua jenis dosa itu ditinggalkan.

Sebagai penutup perlu kiranya merenungi nasihat yang termaktub dalam Tuhfat al-Habib ala Syarh al-Khatib karya al-Bujairami berikut.

جعل الله للمؤمنين في الدنيا ثلاثة أيام: عيد الجمعة والفطر والأضحى، وكلها بعد إكمال العبادة وطاعتهم. وليس العيد لمن لبس الجديد بل هو لمن طاعته تزيد، ولا لمن تجمل باللبس والركوب بل لمن غفرت له الذنوب. وأما عيدهم في الجنة فهو وقت اجتماعهم بربهم ورؤيته في حضرة القدس، فليس شيء عندهم ألذ من ذلك.

“Allah menciptakan tiga hari raya untuk orang-orang beriman: haru Jumat, Idul Fitri, dan Idul Adha. Ketiganya ada setelah orang-orang mukmin menyempurnakan ibadah dan ketaatan mereka. Hari raya bukan milik orang yang menggunakan pakaian baru, tapi milik orang yang ketaatannya bertambah.

Hari raya juga bukan milik ia yang bersolek dengan pakaian dan kendaraan, tapi milik ia yang dosa-dosanya diampuni. Sedangkan hari raya orang mukmin di surga kelak adalah saat mereka berkumpul dengan Tuhannya, melihat-Nya secara nyata, karena tiada  sesuatupun yang lebih nikmat daripada itu.” (al-Bujairami, Tuhfat al-Habib ala Syarh al-Khatib, 2/218).

Demikian sekelumit penjelasan tentang urgensi menyelaraskan lahir dan batin. Semoga di hari yang fitri ini kita mampu menyelaraskan keduanya sehingga di hari yang mulia ini tidak hanya busana kita yang indah, tapi juga hati kita. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Mengapa Doaku Tidak Kunjung Dikabulkan?

Sebagai seorang muslim yang memiliki banyak hajat dan kebutuhan, wajib baginya untuk selalu meminta kebutuhannya tersebut kepada Allah Ta’ala. Berdoa setiap waktu, kapan pun dan di mana pun ada kesempatan.

Berbeda dengan seorang hamba. Ia akan kesal dan marah apabila ada yang terus-menerus meminta kepadanya. Allah Ta’ala justru sangat senang jika hamba-Nya selalu berdoa kepada-Nya dan selalu meminta kepada-Nya. Bahkan, Allah Ta’ala marah jika ada hamba-Nya yang jarang berdoa dan meminta kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّهُ مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ

“Bahwasanya barangsiapa tidak meminta kepada Allah, Ia murka kepadanya. (HR. Tirmidzi no. 3373 dan dihasankan oleh Syekh Albani)

Di dalam hadis lain disebutkan,

إِذَا تَمَنَّى أَحَدُكُم فَلْيُكثِر ، فَإِنَّمَا يَسأَلُ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Barangsiapa yang mengangankan sesuatu (kepada Allah), maka perbanyaklah angan-angan tersebut. Karena ia sedang meminta (berdoa) kepada Allah Azza wa Jalla.” (HR. Ibnu Hibban no. 889, dinilai sebagai hadis sahih oleh Syekh Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 437)

Salah seorang ulama, Muhammad bin Hamid rahimahullah pernah berkata,

قلت لأبي بكر الوراق: علمني شيئا يقربني إلى الله – تعالى – ويقربني من الناس، فقال: أما الذي يقربك إلى الله فمسألته، وأما الذي يقربك من الناس فترك مسألتهم – طبقات الصوفية للسلمي (ص224)، شعب الإيمان (2/35).

“Aku bertanya kepada Abu Bakar Al-Warraq, ‘Ajarkan kepadaku perihal sesuatu yang akan mendekatkanku kepada Allah dan manusia.’ Lalu ia menjawab, ‘Adapun sesuatu yang akan mendekatkanmu dengan Allah adalah terus meminta kepada-Nya. Dan sesuatu yang akan mendekatkanmu dengan manusia adalah meninggalkan perkara meminta-minta/mengemis kepada mereka.’” (Syu’abul Iman, 2: 35)

Salah dan keliru bila ada yang mengatakan, “Tidak layak bagi seorang hamba meminta kepada Allah, kecuali surga.” Atau mengatakan, “Banyaknya doamu dan keinginanmulah yang menyebabkan doamu tak kunjung dikabulkan.” Karena sesungguhnya Allah Ta’ala Mahapemberi, Mahamengabulkan semua keinginan.

Sayangnya, di dalam berdoa seorang hamba terkadang terjatuh ke dalam kesalahan. Baik itu berdoa dan meminta sesuatu kepada selain Allah, tergesa-gesa di dalam meminta pengabulan, dan terburu-buru menyimpulkan bahwa doanya tidak didengar dan tidak dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Padahal, tidak terkabulnya doa seorang muslim itu di antara dua hal. Bisa jadi ada faktor-faktor yang tidak kita sadari dan itu menghalangi terkabulnya doa kita. Atau bisa jadi Allah Ta’ala mengabulkan doa kita dengan cara lain, yang kadang tidak sesuai dengan yang kita minta.

Faktor penghalang terkabulnya doa

Terkabulnya sebuah doa itu tergantung kualitas doa tersebut. Layaknya pedang di tangan seseorang, maka itu juga akan berbeda-beda tergantung siapa yang mengayunkannya. Ibnul Qayyim rahimahullah pernah memberikan permisalan,

والأدعية والتعوذات بمنزلة السلاح ، والسلاح بضاربه ، لا بحده فقط ، فمتى كان السلاح سلاحا تاما لا آفة به ، والساعد ساعد قوي ، والمانع مفقود ، حصلت به النكاية في العدو . ومتى تخلف واحد من هذه الثلاثة تخلف التأثير

“Doa dan ta’awwudz memiliki kedudukan sebagaimana layaknya senjata. Kehebatan sebuah senjata sangat bergantung kepada pemakainya, bukan hanya dari ketajamannya. Jika senjata tersebut adalah senjata yang sempurna, tidak ada cacatnya, lengan penggunanya adalah lengan yang kuat, serta tidak ada suatu penghalang, maka tentulah ia mampu dipakai untuk menghantam dan mengalahkan musuh. Namun, apabila salah satu dari tiga hal tersebut hilang, maka efeknya juga melemah dan berkurang.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hal. 35).

Begitu pula dengan doa. Jika doa tersebut pada dasarnya memang tidak layak, atau orang yang berdoa tidak mampu menyatukan antara hati dan lisannya, atau ada sesuatu yang menghalangi terkabulnya doa tersebut, maka tentu saja efeknya juga tidak ada.

Sehingga faktor penghalang doa ini pun ada yang kembali ke sifat pribadi si pendoa dan ada yang kembali ke hakikat doanya. Dan penghalang terbesarnya adalah ketidaktahuan seorang hamba akan kedudukan dirinya yang sangat lemah dan membutuhkan Tuhan-Nya serta ketidaktahuannya akan besarnya kedudukan Allah Ta’ala yang Mahakaya dan Mahakuat. Di antara penghalang-penghalang terkabulnya doa yang lain adalah:

Pertama: Tidak sempurna dalam bertobat dari semua kemaksiatan. Oleh karenanya, sebelum berdoa hendaknya ia segera bertobat dan beristigfar. Lihatlah bagaimana nasihat Nabi Nuh ‘alaihissalam untuk kaumnya,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَاراً

“Aku (Nabi Nuh) berkata (pada mereka), “Beristigfarlah kepada Rabb kalian, sungguh Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan kepada kalian hujan yang lebat dari langit. Dan Dia akan memperbanyak harta serta anak-anakmu, juga mengadakan kebun-kebun dan sungai-sungai untukmu.” (QS. Nuh: 10-12)

Kedua: Terburu-buru ingin dikabulkan serta merasa jemu dan meninggalkan doa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لم يَعْجَلْ، يقول: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي

“Akan dikabulkan doa kalian selama tidak tergesa-gesa, yaitu ia berkata, ‘Aku telah berdoa tapi tidak dikabulkan.’” (HR. Bukhari no. 6340 dan Muslim no. 2735)

Di dalam riwayat muslim terdapat tambahan ketika sahabat bertanya tentang maksud tergesa-gesa di dalam berdoa. Nabi menjawab yang artinya, “Ia mengatakan, ‘Aku telah berdoa, aku telah berdoa, tapi aku tidak melihat doa itu dikabulkan.’ Kemudian dia merasa jemu dan meninggalkan berdoa.”

Ketiga: Tidak menghadirkan hati atau lalainya hati ketika berdoa. Di dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ادْعوا الله وأنتم مُوقنون بالإِجابة، واعْلموا أنَّ الله لا يَستجيب دعاءً من قلبٍ غافل لاه

“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan. Ketahuilah bahwa sungguh Allah biasanya tidak mengabulkan doa yang keluar dari hati yang tidak konsentrasi dan lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479. At-Tirmidzi mengatakan, “Hadis ini dihukumi gharib, namun itu tidak meniadakan sifat ‘hasan’ dan ‘sahih’ darinya”).

Keempat: Memakan harta atau barang haram. Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis masyhur,

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟

“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang seorang lelaki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya menjadi kusut dan berdebu. Orang itu mengangkat kedua tangannya ke langit dan berdoa, ‘Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.’ Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dan diberi makan dari yang haram. Maka, bagaimanakah Allah akan mengabulkan doanya.” (HR. Muslim no. 1015)

Kelima: Tidak menjalankan sebab-sebab yang akan mengantarkan pada keinginan dan harapannya. Contohnya, seorang pelajar yang berdoa meminta kelulusan, namun ia tidak ingin belajar. Atau seseorang yang mengharapkan rezeki dan harta yang banyak, namun ia tidak mau bekerja. Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

“Bersemangatlah pada hal yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan pada Allah, dan janganlah kamu putus asa.” (HR. Muslim no. 2664)

Bentuk pengabulan doa

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ ، وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا . قَالُوا: إذا   نكثر. قال :  الله أكثر.

“Tidaklah seorang muslim berdoa dengan suatu doa yang tidak mengandung dosa dan tidak memutus persaudaraan, melainkan Allah akan berikan salah satu dari tiga hal, (1) (Allah) akan kabulkan doanya; atau (2) disimpan baginya di hari akhirat; atau (3) dipalingkan dari kejelekan semisal darinya.” (Para sahabat) mengatakan, “Kalau begitu kita perbanyak (doa).” Nabi menjawab, “Allah (akan memberikan) lebih banyak lagi.” (HR. Ahmad, di dalam Musnad-nya (17: 213) dihasankan sanadnya oleh Al-Mundziri di kitab Targhib wat Tarhib, (547) dan dinyatakan sahih oleh Albani di Shahih Al-Adabul Mufrad.)

Dari hadis ini dapat disimpulkan, bahwa bentuk pengabulan doa seseorang itu antara tiga macam:

Pertama: Allah Ta’ala kabulkan doanya sesuai dengan apa yang ia inginkan.

Kedua: Allah tidak kabulkan doanya sesuai dengan yang ia inginkan. Akan tetapi, Allah Ta’ala hindarkan dari dirinya keburukan dan marabahaya yang seharusnya akan menimpanya.

Ketiga: Allah Ta’ala tidak mengabulkan doanya sebagaimana yang ia inginkan, namun Allah Ta’ala jadikan doa tersebut sebagai simpanan dan tabungan kebaikan di akhirat kelak.

Harus dipahami bahwa saat Allah Ta’ala menakdirkan terkabulnya sebuah doa, maka bisa saja Allah Ta’ala kabulkan doa tersebut secara spontan, langsung setelah seorang hamba berdoa. Namun, yang paling sering terjadi, Allah Ta’ala kabulkan doa tersebut setelah berlalunya beberapa waktu. Sebagaimana yang terjadi di dalam kisah doa Nabi Ya’qub untuk Nabi Yusuf ‘alaihimassalam saat Yusuf menceritakan mimpinya kepadanya,

وَكَذَٰلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِن تَأْوِيلِ ٱلْأَحَادِيثِ وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكَ وَعَلَىٰٓ ءَالِ يَعْقُوبَ كَمَآ أَتَمَّهَا عَلَىٰٓ أَبَوَيْكَ مِن قَبْلُ إِبْرَٰهِيمَ وَإِسْحَٰقَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ عَلِيمٌ حَكِيم

“(Ya’qub berdoa), “Dan demikianlah, Tuhan memilih Engkau (untuk menjadi Nabi) dan mengajarkan kepadamu sebagian dari takwil mimpi dan menyempurnakan (nikmat-Nya) kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kedua orang kakekmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sungguh, Tuhanmu Maha Mengetahui, Maha bijaksana.” (QS. Yusuf: 6)

Allah Ta’ala kabulkan doa Nabi Ya’qub tersebut setelah waktu yang sangat panjang, yaitu ketika Yusuf ‘alaihissalam berada di penjara kemudian ia dapat menakwilkan mimpi seorang raja. Sehingga Yusuf menjadi orang yang dipercaya dan memiliki kedudukan yang tinggi.

Saat Allah Ta’ala tidak mengabulkan doa seseorang sesuai dengan apa yang ia inginkan, pasti hal tersebut memiliki hikmah yang sangat besar. Baik itu diketahui langsung oleh orang yang berdoa tersebut maupun hikmahnya tidak dapat diketahui, kecuali oleh Allah Ta’ala.

Oleh karenanya, seorang muslim yang kuat imannya, saat mendapati bahwa doanya tidak kunjung dikabulkan oleh Allah Ta’ala, maka ia tidak boleh berputus asa, berhenti dari berdoa bahkan menyalahkan Allah Ta’ala. Sebaliknya, ia harus selalu optimis, menjalankan sebab-sebab dan mengedepankan khusnuzdon (berbaik sangka) kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman di dalam sebuah hadis qudsi,

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي

“Sesungguhnya Aku berdasarkan pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku akan selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku.” (HR. Bukhari no. 7537 dan Muslim no. 2675).

Wallahu A’lam Bisshowaab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/74825-mengapa-doaku-tidak-kunjung-dikabulkan.html

Fikih Puasa Syawal

Di antara rahmat Allah ta’ala bagi hamba-Nya adalah Ia mensyariatkan puasa Syawal setelah bulan Ramadan, agar mereka bisa mendapatkan keutamaan seperti puasa setahun penuh. Berikut ini pembahasan ringkas mengenai fikih puasa Syawal, semoga bermanfaat.

Hukum Puasa Syawal

Puasa Syawal hukumnya mustahab (sunah), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

Barangsiapa yang puasa Ramadan lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia mendapat pahala puasa setahun penuh” (HR. Muslim no. 1164).

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan:

صَوْمَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ مُسْتَحَبٌّ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ

“Puasa enam hari di bulan Syawal hukumnya mustahab menurut mayoritas para ulama” (Al-Mughni, 3/176).

Dijelaskan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (28/92): “Jumhur ulama dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan ulama Hanafiyah yang muta’akhir (kontemporer) berpendapat bahwa puasa enam hari di bulan Syawal setelah puasa Ramadan itu mustahab. Dan dinukil dari Abu Hanifah bahwa beliau berpendapat hukumnya makruh secara mutlak, baik jika dilaksanakan berurutan atau tidak berurutan. Dan dinukil dari Abu Yusuf (ulama Hanafi) bahwa beliau berpendapat hukumnya makruh jika berurutan, namun boleh jika tidak berurutan. Namun jumhur (mayoritas) ulama Hanafiyah muta’akhirin berpendapat hukumnya tidak mengapa. Ibnu Abidin (ulama Hanafi) dalam kitab At-Tajnis menukil dari kitab Al-Hidayah yang mengatakan: ‘Pendapat yang dipilih para ulama Hanafi muta’akhirin hukumnya tidak mengapa. Karena yang makruh adalah jika puasa Syawal berisiko dianggap sebagai perpanjangan puasa Ramadan, sehingga ini tasyabbuh terhadap Nasrani. Adapun sekarang, ini sudah tidak mungkin lagi’. Al-Kasani mengatakan: ‘Yang makruh adalah puasa di hari Id, lalu puasa lima hari setelahnya. Adapun jika di hari Id tidak puasa lalu besoknya baru puasa enam hari, ini tidak makruh, bahkan mustahab dan sunah’.”

Maka yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yaitu puasa enam hari di bulan Syawal hukumnya mustahab (sunah) sebagaimana ditunjukkan oleh hadis.

Keutamaan puasa Syawal

Secara umum, semua keutamaan ibadah puasa juga terdapat dalam puasa Syawal. Mengenai keutamaan ibadah puasa, simak artikel tulisan kami “Ternyata Puasa Itu Luar Biasa”

Namun puasa Syawal memiliki keutamaan khusus, yaitu menyempurnakan ibadah puasa Ramadan sehingga senilai dengan puasa setahun penuh. sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

من صام ستَّةَ أيَّامٍ بعد الفطرِ كان تمامَ السَّنةِ من جاء بالحسنةِ فله عشرُ أمثالِها

Barangsiapa yang puasa enam hari setelah Idul Fitri, maka baginya pahala puasa setahun penuh. Barangsiapa yang melakukan satu kebaikan, baginya ganjaran sepuluh kali lipatnya

Dalam riwayat lain:

جعل اللهُ الحسنةَ بعشر أمثالِها ، فشهرٌ بعشرةِ أشهرٍ ، وصيامُ ستَّةِ أيامٍ بعد الفطرِ تمامُ السَّنةِ

Allah menjadikan satu kebaikan bernilai sepuluh kali lipatnya, maka puasa sebulan senilai dengan puasa sepuluh bulan. Ditambah puasa enam hari setelah Idul Fitri membuatnya sempurna satu tahun” (HR. Ibnu Majah no. 1402, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah no.1402 dan Shahih At-Targhib no. 1007).

Imam An-Nawawi mengatakan:

وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا فَرَمَضَانُ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَالسِّتَّةُ بِشَهْرَيْنِ

“Pahala puasa Syawal seperti puasa setahun penuh. Karena satu kebaikan senilai dengan sepuluh kebaikan. Puasa Ramadan sebulan senilai dengan sepuluh bulan, dan puasa 6 hari senilai dengan dua bulan (60 hari)” (Syarah Shahih Muslim, 8/56).

Buah dari puasa Syawal

  • Puasa Syawal menyempurnakan pahala puasa Ramadan sehingga senilai dengan puasa setahun penuh.
  • Puasa Syawal dan puasa Sya’ban sebagaimana salat sunah rawatib sebelum dan sesudah salat, ia menyempurnakan kekurangan dan cacat yang ada pada ibadah yang wajib. Karena ibadah-ibadah wajib akan disempurnakan dengan ibadah-ibadah sunah pada hari kiamat kelak. Kebanyakan orang, puasa Ramadannya mengandung kekurangan dan cacat, maka membutuhkan amalan-amalan yang bisa menyempurnakannya.
  • Terbiasa puasa selepas puasa Ramadan adalah tanda diterimanya amalan puasa Ramadan. Karena ketika Allah menerima amalan seorang hamba, Allah akan memberikan ia taufik untuk melakukan amalan shalih selanjutnya. Sebagaimana perkataan sebagian salaf: ثواب الحسنة الحسنة بعدها “Balasan dari kebaikan adalah (diberi taufik untuk melakukan) kebaikan selanjutnya” Maka barangsiapa yang melakukan suatu kebaikan, lalu diikuti dengan kebaikan lainnya, ini merupakan tanda amalan kebaikannya tersebut diterima oleh Allah. Sebagaimana barangsiapa yang melakukan suatu kebaikan, namun kemudian diikuti dengan keburukan lainnya, ini merupakan tanda amalan kebaikannya tersebut tidak diterima oleh Allah.
  • Orang-orang yang berpuasa Ramadan disempurnakan pahalanya di hari Idul Fitri dan diampuni dosa-dosanya. Maka hari Idul Fitri adalah hari pemberian ganjaran kebaikan. Sehingga puasa setelah hari Idul Fitri adalah bentuk syukur atas nikmat tersebut. Sedangkan tidak ada nikmat yang lebih besar selain pahala dari Allah ta’ala dan ampunan dari Allah.

Tata cara puasa Syawal

Tata cara puasa Syawal secara umum sama dengan tata cara puasa Ramadan. Silakan simak tata cara puasa Ramadan pada artikel kami Ringkasan Fikih Puasa Ramadhan. Perbedaannya ada pada beberapa hal:

1. Boleh niat puasa setelah terbit fajar

Telah kita ketahui bersama bahwa disyaratkan untuk menghadirkan niat pada malam hari sebelum puasa, yaitu sebelum terbit fajar. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من لم يبيِّتِ الصِّيامَ قبلَ الفَجرِ، فلا صيامَ لَهُ

Barangsiapa yang tidak menghadirkan niat puasa di malam hari sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya” (HR. An-Nasai no. 2331, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih An-Nasai)

Namun para ulama menjelaskan bahwa ini berlaku untuk puasa wajib. Adapun puasa nafilah (sunah) maka boleh menghadirkan niat setelah terbit fajar. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hal tersebut. Sebagaimana dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha:

قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ

يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟

قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء

قال فإني صائمٌ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku pada suatu hari: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini?)’. Aku menjawab: ‘wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatupun (untuk dimakan)’. Beliau lalu bersabda: ‘kalau begitu aku akan puasa’” (HR. Muslim no. 1154).

Imam An-Nawawi mengatakan:

وَفِيهِ دَلِيلٌ لِمَذْهَبِ الْجُمْهُورِ أَنَّ صَوْمَ النَّافِلَةِ يَجُوزُ بِنِيَّةٍ فِي النَّهَارِ قَبْلَ زَوَالِ الشَّمْسِ

“Hadits ini merupakan dalil bagi jumhur ulama bahwa dalam puasa sunah boleh menghadirkan niat di siang hari sebelum zawal (matahari mulai bergeser dari tegak lurus)” (Syarah Shahih Muslim, 8/35).

2. Tidak harus berurutan

Tidak sebagaimana puasa Ramadan, puasa Syawal tidak disyaratkan harus berurutan (mutatabi’ah) dalam pelaksanaannya. Boleh dilakukan secara terpisah-pisah (mutafarriqah) harinya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan,

صيام ست من شوال سنة ثابتة عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ويجوز صيامها متتابعة ومتفرقة ؛ لأن الرسول – صلى الله عليه وسلم – أطلق صيامها ولم يذكر تتابعاً ولا تفريقاً ، حيث قال – صلى الله عليه وسلم

من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر

أخرجه الإمام مسلم في صحيحه

“Puasa enam hari di bulan Syawal telah sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan boleh mengerjakannya secara mutatabi’ah (berurutan) atau mutafarriqah (terpisah-pisah). Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan puasa Syawal secara mutlaq (baca: tanpa sifat-sifat tambahan) dan tidak disebutkan harus berurutan atau harus terpisah-pisah. Beliau bersabda: ‘Barangsiapa yang puasa Ramadan lalu diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, ia mendapatkan pahala puasa setahun penuh‘ (HR. Muslim dalam Shahihnya)” (Majmu’ Fatawa wa Maqalah Mutanawwi’ah, 15/391).

3. Boleh membatalkan puasa dengan atau tanpa uzur

Dibolehkan membatalkan puasa nafilah (sunnah) baik karena suatu udzur syar’i maupun tanpa udzur. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu’anha,

دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم ذات يوم فقال : هل عندكم شيء ؟ فقلنا : لا ، قال : فإني إذن صائم ، ثم أتانا يوما آخر فقلنا : يا رسول الله أهدي لنا حيس ، فقال أرينيه فلقد أصبحت صائما ، فأكل

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu hari masuk ke rumah dan bertanya: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan)?’. Aisyah menjawab: ‘tidak’. Beliau bersabda: ‘kalau begitu aku akan berpuasa’. Kemudian di lain hari beliau datang kepadaku, lalu aku katakan kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, ada yang memberi kita hadiah berupa hayis (sejenis makanan dari kurma)’. Nabi bersabda: ‘kalau begitu tunjukkan kepadaku, padahal tadi aku berpuasa’. Lalu Nabi memakannya” (HR. Muslim no. 1154).

Juga berdasarkan hadis dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya:

لقدْ أفطرتُ وكنتُ صائمةً فقال لها أكنتِ تقضينَ شيئًا قالتْ لا قالَ فلا يضرُّكِ إنْ كانَ تطوعًا

Wahai Rasulullah, aku baru saja membatalkan puasa sedangkan tadi aku berpuasa, bolehkah? Nabi bertanya: ‘apakah itu puasa qadha?’ Aku menjawab: ‘bukan’. Nabi bersabda: ‘Jika demikian maka tidak mengapa, yaitu jika puasa tersebut puasa tathawwu’ (sunah)‘” (HR. Abu Daud no. 2456, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

إذا كان الصوم نافلة فله أن يفطر، ليس بلازم، له الفطر مطلقاً، لكن الأفضل ألا يفطر إلا لأسباب شرعية: مثل شدة الحر، مثل ضيف نزل به، مثل جماعة لزَّموا عليه أن يحضر زواج أو غيره يجبرهم بذلك فلا بأس

“Jika puasa tersebut adalah puasa sunah, maka boleh membatalkannya, tidak wajib menyempurnakannya. Ia boleh membatalkannya secara mutlak. Namun yang lebih utama adalah tidak membatalkannya kecuali karena sebab yang syar’i, semisal karena panas yang terik, atau badan yang lemas, atau ada orang yang mengundang ke pernikahan, atau hal-hal yang memaksa untuk membatalkan puasa lainnya, maka tidak mengapa.” (Sumber: www.binbaz.org.sa/noor/11778)

4. Bagi wanita hendaknya meminta izin kepada suaminya

Bila seorang wanita ingin mengerjakan puasa sunah, termasuk puasa Syawal, maka wajib meminta izin kepada suaminya terlebih dahulu atau ia mengetahui bahwa suaminya mengizinkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يحِلُّ للمرأةِ أن تصومَ وزَوجُها شاهِدٌ إلَّا بإذنِه، ولا تأذَنْ في بيته إلا بإذنِه

Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya hadir (tidak sedang safar) kecuali dengan seizinnya. Dan tidak halal seorang wanita membiarkan orang lain masuk kecuali dengan seizin suaminya” (HR. Bukhari no. 5195).

Dan puasa yang dimaksud dalam hadis ini adalah puasa sunah, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا تصومُ المرأةُ وبعلُها شاهدٌ إلا بإذنِه غيرَ رمضانَ ولا تأذنْ في بيتِه وهو شاهدٌ إلا بإذنِه

Tidak boleh seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya hadir (tidak sedang safar) kecuali dengan seizinnya, jika puasa tersebut selain puasa Ramadan. Dan tidak boleh seorang wanita membiarkan orang lain masuk kecuali dengan seizin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Sunan Abu Daud).

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:

قَوْلُهُ شَاهِدٌ أَيْ حَاضِرٌ قَوْلُهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْنِي فِي غَيْرِ صِيَامِ أَيَّامِ رَمَضَانَ وَكَذَا فِي غَيْرِ رَمَضَانَ مِنَ الْوَاجِبِ إِذَا تَضَيَّقَ الْوَقْتُ

“Sabda beliau [sedangkan suaminya hadir] maksudnya sedang tidak safar. [kecuali dengan seizinnya] maksudnya selain puasa Ramadan. Demikian juga berlaku pada puasa wajib selain puasa Ramadan jika waktunya sempit (maka tidak perlu izin, -pent.)”.

Beliau juga mengatakan:

وَفِي الْحَدِيثِ أَنَّ حَقَّ الزَّوْجِ آكَدُ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنَ التَّطَوُّعِ بِالْخَيْرِ لِأَنَّ حَقَّهُ وَاجِبٌ وَالْقِيَامُ بِالْوَاجِبِ مُقَدَّمٌ عَلَى الْقِيَامِ بِالتَّطَوُّعِ

“Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa hak suami lebih ditekankan bagi wanita daripada ibadah sunah. Karena menunaikan hak suami itu wajib dan wajib mendahulukan yang wajib daripada yang sunah” (Fathul Baari, 9/296).

Bolehkah mendahulukan puasa Syawal sebelum menunaikan hutang puasa?

Dalam masalah ini kami nukilkan penjelasan bagus dari Syaikh Abdul Aziz Ath-Tharifi dan ini pendapat yang lebih kami condongi dalam masalah ini:

“Para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan dan kebolehan puasa sunah sebelum qadha puasa. Mereka khilaf (berselisih) dalam dua pendapat dan dua riwayat dari Imam Ahmad ada pada dua pendapat tersebut. Dan yang sahih hukumnya boleh.

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits sahih yang marfu’:

من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

Barangsiapa yang puasa Ramadan lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia mendapat pahala puasa setahun penuh” (HR. Muslim no. 1164).

Sabda beliau “…puasa Ramadan lalu mengikutinya…” dimaknai oleh sejumlah ulama kepada wajibnya menyempurnakan puasa Ramadan sebelum mengerjakan puasa sunah. Dan ini juga zahir perkataan dari Sa’id bin Musayyab yang dibawakan Al-Bukhari secara mu’allaq (tidak menyebutkan sanad secara lengkap), beliau berkata tentang puasa sunah sepuluh hari (bulan Dzulhijjah) sebelum qadha puasa Ramadan:

لا يصلح حتى يبدأ برمضان

Tidak dibenarkan kecuali diawali dengan (qadha) puasa Ramadan

Al-Baihaqi dan Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ats-Tsauri, dari Utsman bin Muhib, ia berkata: Aku mendengar Abu Hurairah ketika ditanya seseorang:

إن عليّ أياماً من رمضان أفأصوم العشر تطوعاً؟ قال: لا، ولم؟ إبدأ بحق الله ثم تطوع بعد ما شت

Saya memiliki beberapa hari hutang puasa Ramadan, bolehkah saya puasa sunah sepuluh hari? Abu Hurairah menjawab: tidak boleh. Orang tersebut bertanya: mengapa? Abu Hurairah menjawab: dahulukan hak Allah, kemudian baru kerjakan yang sunah semaumu“.

Dan diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha bahwa beliau menganggap hal itu makruh.

Dan diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Sufyan, dari Hammad bahwa ia berkata:

سألت إبراهيم وسعيد بن جبير عن رجل عليه أيام من رمضان أيتطوع في العشر؟ قالا: يبدأ بالفريضة

Aku bertanya kepada Ibrahim bin Sa’id bin Jubair tentang seorang lelaki yang memiliki beberapa hari hutang puasa Ramadan, bolehkah ia puasa sunah sepuluh hari? Ibrahim bin Sa’id berkata: tidak boleh, dahulukan yang wajib.

Dan mengakhirkan qadha puasa Ramadan hingga bulan Sya’ban hukumnya boleh, berdasarkan perbuatan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Salamah, ia berkata: aku mendengar Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

كان يكون عليَّ الصوم من رمضان فما أستطيع أن أقضي إلا في شعبان

Aku pernah memiliki hutang puasa Ramadan, dan aku tidak bisa menunaikannya hingga di bulan Sya’ban

Pendapat yang sahih adalah boleh mengakhirkan qadha puasa Ramadhan walaupun bukan karena darurat, dengan cacatan bahwa menyegerakannya lebih utama. Jika tanpa darurat saja boleh, tentu mengakhirkannya karena mengerjakan puasa Syawal lebih layak untuk dibolehkan. Dan ini adalah salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad rahimahullah. Dengan catatan, bahwa ulama sepakat bahwa yang lebih utama adalah mendahulukan qadha puasa dan melepaskan diri dari tanggungan. Dalam pandangan kami, inilah makna yang diinginkan oleh Abu Hurairah, Sa’id bin Musayyib, Atha, Sa’id bin Jubair, Ibrahim bin Sa’id pada riwayat-riwayat di atas.

Dan perlu dicatat juga, bahwa orang yang tidak puasa Ramadan karena suatu uzur maka ditulis baginya pahala puasa untuk hari yang ia tinggalkan tersebut walaupun ia belum menunaikan qadha puasanya. Karena orang yang terhalang karena suatu uzur itu dihukumi sebagaimana orang yang mengamalkan amalan yang sah. Sebagaimana dalam sebuah hadis:

إذا مرض العبد أو سافر كتب له ما كان يعمل وهو صحيح مقيم

Jika seorang hamba sakit atau sedang safar, maka ditulis baginya pahala amalan yang biasa ia lakukan dalam keadaan sehat dan tidak safar” (HR. Bukhari no. 2996).

Dan qadha puasa Ramadan waktunya luas, sedangkan puasa Syawal waktunya terbatas, sempit dan cepat berlalu” (Sumber: http://www.altarefe.com/cnt/ftawa/312).

Menggabung niat puasa Syawal dengan puasa lainnya

Masalah ini dikenal dalam ilmu fikih sebagai masalah tasyrik an niyyat atau tasyrik ibadatain fi niyyah (menggabung beberapa niat dalam ibadah). Ada tiga rincian dalam masalah ini, yaitu sebagai berikut:

فَإِنْ كَانَ مَبْنَاهُمَا عَلَى التَّدَاخُل كَغُسْلَيِ الْجُمُعَةِ وَالْجَنَابَةِ، أَوِ الْجَنَابَةِ وَالْحَيْضِ، أَوْ غُسْل الْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ، أَوْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا غَيْرَ مَقْصُودَةٍ كَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ مَعَ فَرْضٍ أَوْ سُنَّةٍ أُخْرَى، فَلاَ يَقْدَحُ ذَلِكَ فِي الْعِبَادَةِ؛ لأِنَّ مَبْنَى الطَّهَارَةِ عَلَى التَّدَاخُل، وَالتَّحِيَّةُ وَأَمْثَالُهَا غَيْرُ مَقْصُودَةٍ بِذَاتِهَا، بَل الْمَقْصُودُ شَغْل الْمَكَانِ بِالصَّلاَةِ، فَيَنْدَرِجُ فِي غَيْرِهِ.

أَمَّا التَّشْرِيكُ بَيْنَ عِبَادَتَيْنِ مَقْصُودَتَيْنِ بِذَاتِهَا كَالظُّهْرِ وَرَاتِبَتِهِ، فَلاَ يَصِحُّ تَشْرِيكُهُمَا فِي نِيَّةٍ وَاحِدَةٍ؛ لأِنَّهُمَا عِبَادَتَانِ مُسْتَقِلَّتَانِ لاَ تَنْدَرِجُ إِحْدَاهُمَا فِي الأْخْرَى

“[1] Jika latar belakang pelaksanaan kedua ibadah tersebut karena sifatnya tadakhul (saling bertemu satu sama lain), sebagaimana mandi Jum’at dan mandi janabah (ketika dalam kondisi junub di hari Jum’at, -pent.), atau mandi janabah dan mandi haid, atau mandi Jum’at dan mandi untuk salat Id, atau [2] salah satu dari ibadah tersebut ghayru maqshudah bidzatiha (yang dituntut bukan dzat dari ibadahnya, -pent.) sedangkan ibadah yang lain adalah ibadah wajib atau sunah, maka ini tidak mencacati ibadah (baca: boleh). Karena landasan dari taharah memang at-tadakhul dan salat tahiyyatul masjid dan yang semisalnya yang dituntut bukan dzat dari ibadahnya, namun yang dituntut adalah mengerjakan shalat ketika masuk masjid (apapun salat itu, -pent.). Maka ibadah tersebut bisa masuk pada ibadah yang lain. Adapun [3] menggabungkan niat antara dua ibadah maqshudah bi dzatiha (yang dituntut adalah dzat ibadahnya), seperti menggabungkan salat zuhur dengan salat rawatib zuhur, maka tidak sah menggabungkan keduanya dalam satu niat, karena keduanya adalah dua ibadah yang berdiri sendiri, yang tidak bisa masuk antara satu dengan yang lain” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 12/24).

Maka dari kaidah ini bisa kita jawab permasalah-permasalahan berikut:

1. Menggabung puasa Syawal dengan qadha puasa

Hukumnya tidak boleh dan tidak sah, karena puasa Syawal dan qadha puasa Ramadan keduanya adalah ibadah yang maqshudah bi dzatiha. Keduanya adalah ibadah yang berdiri sendiri, sehingga tidak sah jika digabungkan dalam satu niat.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

أما أن تصوم الست بنية القضاء والست فلا يظهر لنا أنه يحصل لها بذلك أجر الست، الست تحتاج إلى نية خاصة في أيام مخصوصة

“Adapun jika anda puasa Syawal dengan menggabung niat puasa qadha dan puasa Syawal, maka saya memandang puasa Syawalnya tidak sah. Karena puasa Syawal membutuhkan niat khusus dan membutuhkan hari-hari yang khusus” (Sumber: www.binbaz.org.sa/noor/4607).

2. Menggabung puasa Syawal dengan puasa ayyamul bidh

Hukumnya boleh dan sah. Karena puasa ayyamul bidh adalah ibadah yang ghayru maqshudah bidzatiha. Ketika seseorang melaksanakan puasa 3 hari dalam satu bulan, kapanpun harinya dan apapun jenis puasa yang ia lakukan (yang disyariatkan) maka ia sudah mendapatkan keutamaan puasa ayyamul bidh.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyatakan:

إذا صام ست أيام من شوال سقطت عنه البيض ، سواء صامها عند البيض أو قبل أو بعد لأنه يصدق عليه أنه صام ثلاثة أيام من الشهر ، وقالت عائشة رضي الله عنها : ” كان النبي صلى الله عليه وسلم يصوم ثلاثة أيام من كل شهر لا يبالي أصامها من أول الشهر أو وسطه أو آخره ” ، و هي من جنس سقوط تحية المسجد بالراتبة فلو دخل المسجد

“Jika seseorang berpuasa enam hari di bulan Syawal, gugur darinya tuntutan puasa ayyamul bidh. Baik ia puasa Syawal ketika al-bidh (ketika bulan purnama sempurna), sebelumnya atau setelahnya, karena ia telah berpuasa tiga hari dalam satu bulan. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa tiga hari setiap bulan, tanpa peduli apakah itu awal bulan atau tengah bulan atau akhirnya’. Ini sejenis dengan gugurnya tuntutan shalat tahiyatul masjid dengan mengerjakan salat rawatib jika seseorang masuk masjid” (Sumber: https://islamqa.info/ar/4015).

3. Menggabung puasa Syawal dengan puasa Senin-Kamis

Hukumnya boleh dan sah. Karena puasa Senin-Kamis adalah ibadah yang ghayru maqshudah bidzatiha. Karena puasa Senin-Kamis disyariatkan bukan karena dzatnya, namun karena diangkatnya amalan di hari itu sehingga dianjurkan berpuasa, apapun puasa yang dilakukannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن الأعمال ترفع يوم الاثنين والخميس فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم

Sesungguhnya catatan amalan diangkat pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika catatan amalanku diangkat ketika aku sedang puasa” (HR. Ibnu Wahb dalam Al-Jami’, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1583).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan:

إذا اتفق أن يكون صيام هذه الأيام الستة في يوم الاثنين أو الخميس فإنه يحصل على أجر الاثنين بنية أجر الأيام الستة، وبنية أجر يوم الاثنين أو الخميس

“Jika puasa Syawal bertepatan dengan hari Senin atau Kamis, maka ia mendapatkan pahala puasa Senin-Kamis dengan niat puasa Syawal atau dengan puasa Senin-Kamis” (Fatawa Al-Islamiyah, 2/154).

Demikian pembahasan singkat mengenai fikih puasa Syawal. Semoga menjadi tambahan ilmu bagi kita semua, dan semoga Allah ta’ala memudahkan kita untuk mengamalkannya.

Wabillahi at-taufiq was-sadaad.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/30930-fikih-puasa-syawal.html

Hukum Memberikan Hadiah Pada Anak yang Berhasil Melakukan Puasa Ramadhan

Ketika anak sudah beranjak baligh, biasanya para orangtua mengajari mereka untuk melakukan puasa Ramadhan. Biasanya untuk mendorong mereka agar giat dan semangat berpuasa, orangtua menjanjikan suatu hadiah jika anaknya berhasil menuntaskan puasa satu hari penuh atau satu bulan Ramadhan. Sebenarnya, bagaimana hukum menjanjikan dan memberikan hadiah pada anak yang berhasil lulus puasa Ramadhan?

Menjanjikan dan memberikan hadiah untuk mendorong anak yang sudah mencapai usia baligh adalah sunnah dan dianjurkan. Jika dengan hadiah tersebut seorang anak bisa semangat melaksanakan puasa Ramadhan, maka dianjurkan bagi orangtua untuk memberikan hadiah pada anaknya.

Ini karena ketika anak sudah baligh dan minimal mencapai usia 7 tahun, maka wajib bagi orangtua untuk menyuruh anak tersebut berpuasa. Tentu cara menyuruh anak untuk berpuasa sangat beragam, bisa dengan iming-iming hadiah, dan lainnya. Selama iming-iming hadiah sangat efektif untuk mendorong anak berpuasa, maka dianjurkan bagi orangtua untuk melakukannya.

Ini sebagaimana telah dicontohkan oleh para sahabat Nabi Saw. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa para sahabat Nabi Saw menyuruh anak-anak mereka untuk berpuasa, dan jika anak-anak mereka menangis minta makan karena lapar, maka mereka memberikan hadiah mainan agar anak-anak mereka bisa berpuasa selama sehari penuh.

Riwayat dimaksud diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Al-Rubayi’, dia berkisah;

أرسل النبي صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء الى قرى الأنصار: من أصبح  مفطرا فليتم بقية يومه، ومن أصبح صائما فليصم، قالت: فكنا نصومه بعد ونصوم صبياننا ونجعل لهم اللعبة من العهن، فاذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه ذاك حتى يكون عند الافطار.

Rasulullah Saw mengutus (utusannya) ke kampung-kampung kaum Anshar pada pagi hari ‘Asyura’ (dengan pesan); Barangsiapa yang memasuki pagi hari ini dalam keadaan tidak berpuasa, maka hendaknya dia menyempurnakan waktu yang tersisa dari hari tersebut (dengan berpuasa), dan siapa yang memasuki pagi hari dalam keadaan berpuasa, maka hendaknya dia melanjutkan puasanya.

Al-Rubayi’ berkata; Maka kami telah melaksanakan puasa pada hari itu (Asyura’), dan kami memerintahkan anak-anak kecil kami untuk berpuasa. Kami pun membuat mainan (anak-anak) yang terbuat dari wol. Jika salah satu dari mereka menangis karena ingin makan, maka kami memberinya mainan tersebut hingga datangnya waktu berbuka.

BINCANG SYARIAH

Idul Fitri: Momentum Mengerdilkan yang Selain Allah

Idul Fitri identik dengan takbir. Takbir dikumandangkan sejak matahari terakhir di bulan Ramadan tenggelam hingga menjelang shalat Id dilaksanakan. Dalam shalat Id pun, takbir dibaca baca berulang. Tujuh kali untuk rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua. 

Dalam al-Sunan al-Kubra lil Baihaqi disebutkan,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ، يَوْمَ الْفِطْرِ، وَيَوْمَ الْأَضْحَى، سَبْعًا وَخَمْسًا، فِي الْأُولَى سَبْعًا، وَفِي الْآخِرَةِ خَمْسًا، سِوَى تَكْبِيرَةِ الصَّلَاةِ  

Sesungguhnya Rasulullah Saw, bertakbir pada dua (sholat Id) yakni Idul Fitri dan Idul Adha tujuh kali dan lima kali. Pada rakaat pertama tujuh kali, rakaat terakhir lima kali selain takbir sholat .” (al-Sunan al-Kubra lil Baihaqi, 3/404)

Demikian pula dalam khutbah yang dilangsungkan seusai shalat Id. Dalam khutbah Idul Fitri takbir dibaca berulang-ulang. Pada khutbah pertama disunnahkan untuk memulainya dengan takbir sebanyak sembilan kali. Sementara dalam khutbah kedua, sunnah hukumnya memulai dengan takbir sebanyak tujuh kali (Fathul Qarib al-Mujib, 102).

Lantas apa sebetulnya makna takbir? Apa pula pelajaran yang bisa dipetik dari identiknya Lebaran dengan takbir ini?

Secara sederhana, takbir adalah mengagungkan Allah serta meyakini bahwa tiada sesuatupun yang lebih besar dan lebih agung daripada Allah. Dengan demikian, di bawah  keagungan Allah, menjadi kecil setiap sesuatu yang besar (Fiqh al-Ad’iyah wa al-Azdkar, 1/285).  

Hal ini selaras dengan firman Allah dalam Hadis Qudsi, 

الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي، وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا، قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ

Kebesaran adalah selendangku, sedang keagungan adalah sarungku. Barangsiapa merampas salah satunya dari-Ku maka pasti Ku-campakkan dia ke dalam neraka” (Sunan Abi Daud, 4/59).

Menjelaskan Hadis Qudsi ini, al-Khattabi dalam Ma’alim al-Sunan mengatakan,

أن الكبرياء والعظمة صفتان لله سبحانه اختص بهما لا يشركه أحد فيهما ولا ينبغي لمخلوق أن يتعاطاهما، لأن صفة المخلوق التواضع والتذلل

“Bahwa kebesaran dan keagungan adalah adalah dua sifat eksklusif milik Allah yang tidak dimiliki oleh selain Allah. juga tidak layak bagi makhluk merampas dua sifat ini lantaran sifat makhluk adalah tawadlu dan merendah.” (Ma’alim al-Sunan, 4/196)

Sampai di sini, dapat ditarik benang merah bahwa sejatinya Idul Fitri yang identik dengan takbir mengajarkan hal penting. Yaitu bahwa semuanya, bahkan sesuatu yang dianggap besar sekali pun tidak mungkin menandingi Kebesaran Allah.

Jika dalam keseharian cenderung mengagungkan pangkat dan jabatan, mendewakan popularitas, karir, dan keterkenalan, membangga-bangkan nasab, diri sendiri berikut capaian dan prestasi, atau merasa depresi dengan aneka problematika kehidupan yang menimpa, dengan adanya Idul Fitri kita kembali diingatkan bahwa semua itu tak ada apa-apanya. Sebab yang Maha Besar dan Maha Agung hanyalah Allah semata.

Walhasil, Idul Fitri menjadi momentum untuk membesarkan dan mengangungkan Allah serta mengerdilkan selain-Nya, termasuk diri kita sendiri. Secara bersamaan, Idul Fitri menjadi ajang untuk membersihkan diri dari pengagungan yang berlebihan kepada selain Allah.

Juga dari sifat sombong dan ujub yang dalam kajian tasawuf menjadikan kita terhijab dari Allah. Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH

Semoga Kita Berhasil Mencapai Derajat Taqwa

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Prof Azyumardi Azra menjadi khotib shalat Idul Fitri di Masjid Agung Sunda Kelapa, Senin (2/5/2022). Isi khutbah Prof. Azyumardi Azra tentang “Fitrah Memperkuat Ukhuwwah Untuk Kedamaian”

Pada permulaan ceramahnya, Prof Azyumardi Azra mengajak jamaah memanjatkan rasa syukur atas kesempatan yang telah Allah SWT berikan.

“Jamaah shalat Idul Fitri Rahimakumullah; Pada pagi ini, 1 Syawal 1443H/ Mei, 2022M, Alhamdulillah kita dapat melaksanakan ibadah Idul Fitri dalam keadaan sehat wal-afiat lahir batin setelah sebulan Ramadhan menjalankan ibadah puasa.”

“Dalam kesempatan penuh nikmat dan berkah ini marilah kita menyampaikan puji syukur seraya mendekatkan diri pada Allah SWT (taqarrub ila Allah). Semoga kita telah berhasil mencapai derajat atau maqam taqwa, sesuai tujuan ibadah puasa.” katanya.

“Shalawat dan salam kita sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang sepenuhnya kita ikuti untuk mengaktualisasikan kedamaian Islam rahmatan lilalamin, rahmat bagi alam semesta; dasar dan asas peradaban Islam di muka bumi.”

Menurutnya, kita patut berbahagia karena insya Allah berhasil dalam mengendalikan hawa nafsu selama berpuasa dan melakukan banyak ibadah mulai shalat tarawih, tadarrus dan iktikaf sampai membayar zakat mal, zakat fitrah, infaq dan shadaqah. Hal ini sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya, di hari bahagia ini kita bertakbir dan melakukan shalat sunnah sesuai firman Allah SWT surah al-A’laa ayat 14-15 yang artinya.

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu ia bersembahyang.”

Khutbah Hari Raya Idul Fitri kali ini ingin menyegarkan kembali makna yang terkandung dalam fitrah manusia dan ajaran Islam tentang kedamaian, kebhinnekaan dan ukhuwwah Islamiyyah. Ketiga hal ini merupakan faktor penting dalam membangun (kembali) peradaban Islam secara komprehensif. Hari ini kita merayakan kemenangan ‘fitri’; kembali kepada ‘fitrah’ (kesucian), seperti dijelaskan Allah dalam firman-Nya surah Ar-Rum ayat 30 yang artinya.

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah pada) fitrah Allah yang telah menjadikan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

IHRAM

Bukan Pura-pura Bersedih pada Perpisahan dengan Ramadhan

Ramadhan yang Telah Berlalu

Kaum muslimin yang merasakan manisnya iman dan nikmatnya ibadah serta melimpahnya berkah di bulan Ramadhan tentu akan bersedih berpisah dengan bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan yang penuh berkah dan sangat dirindukan oleh orang yang beriman dan orang shalih. Para ulama dan orang shalih sangat merindukan Ramadhan, enam bulan sebelum Ramadhan mereka sudah berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan bulam Ramadhan.

Ibnu Rajab Al-Hambali berkata,

ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌْﺾُ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒُ : ﻛَﺎﻧُﻮْﺍ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻥَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳُﺒَﻠِّﻐَﻬُﻢْ ﺷَﻬْﺮَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ، ﺛُﻢَّ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻧَﺎﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﻘَﺒَّﻠَﻪُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ

“Sebagian salaf berkata, “Dahulu mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar mereka disampaikan pada Bulan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa berdoa selama 6 bulan agar Allah menerima (amalan mereka di bulan Ramadhan).”[1]

Tanda Keimanan Dibalik Kesedihan

Ketika Ramadhan berpisah tentu orang yang beriman akan merasa sangat kehilangan. Mereka kehilangan rasa bahagia yang tidak tergantikan ketika melakukan berbagai ibadah dan amal kebaikan selama bulan Ramadhan. Tidak sedikit dari para ulama dan orang shalih yang mengungkapkan kesedihan dan tangusan karena perpisahan dengan Ramadhan.

Ibnu Rajab Al-Hambali berkata,

كيف لا تجرى للمؤمن على فراقه دموع وهو لا يدري هل بقي له في عمره إليه رجوع

قلوب المتقين إلى هذا الشهر تحِن ومن ألم فراقه تئِن

ياشهر رمضان ترفق، دموع المحبين تُدْفَق، قلوبهم من ألم الفراق تشقَّق، عسى وقفة للوداع تطفئ من نار الشوق ما أحرق، عسى ساعة توبة وإقلاع ترفو من الصيام كل ما تخرَّق، عسى منقطع عن ركب المقبولين يلحق، عسى أسير الأوزار يُطلق، عسى من استوجب النار يُعتق، عسى رحمة المولى لها العاصي يوفق

“Bagaimana bisa seorang mukmin tidak menetes air mata ketika berpisah dengan Ramadhan, Sedangkan ia tidak tahu apakah masih ada sisa umurnya untuk berjumpa lagi.

Hati orang-orang yang bertakwa mencintai bulan ini, dan bersedih karena pedihnya berpisah dengannya Wahai bulan Ramadhan, Mendekatlah, berderai air mata para pecintamu, terpecah hati mereka karena perihnya berpisah denganmu

Semoga perpisahan ini mampu memadamkan api kerinduan yang membakar, Semoga masa bertaubat dan berhenti berbuat dosa mampu memperbaiki puasa yang ada bocornya, Semoga yang terputus dari rombongan orang yang diterima amalannya dapat menyusul

Semoga tawanan dosa-dosa bisa terlepaskan, Semoga orang yang seharusnya masuk neraka bisa terbebaskan. Dan semoga rahmat Allah bagi pelaku maksiat akan menjadi hidayah taufik.” [2]

Istiqamahlah Selepas Bulan Ramadhan

Kita pun tentu merasa sedih dengan perpisahan Ramadhan, akan tetapi perpisahan ini bukan segalanya. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa tetap istiqamah setelah Ramadhan dan tetap beramal sebagaimana amalan kita di bulan Ramadhan. Ini adalah tanda diterimanya amal kita

Para ulama’ mengatakan,

إن من علامةِ قبول الحسنة، الحسنة بعدها

“Sesungguhnya diantara alamat diterimanya kebaikan adalah kebaikan selanjutnya”

Buktikan Perpisahan Dengan Perbaikan yang Lebih Baik

Yang terpenting jangan sampai ungkapan kesedihan dan tangisan kita dengan bulan Ramadhan adalah hanya kepura-puraan saja atau sekedar ikut-ikutan saja. Kita buktikan perpisahan dengan Ramadhan membuat kita rindu dan kangen dengan suasana ramadhan dengan tetap melakukan ibadah-ibadah di bulan Ramadhan serta tidak kita tinggalkan secara total.

Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang hanya mengenal Allah di bulan Ramadhan saja, setelah berlalu bulam Ramadhan mereka sudah tidak mengenal Allah karena meninggalkan amalan-amalan wajib. Mereka ini adalah sejelek-jelek kaum.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata,

سُئل بعض السلف عن قوم يتعبدون، ويجتهدون في رمضان، فإذا خرج رمضان تركوا فقال: بئس القوم لا يعرفون الله إلا في رمضان. وهذا صحيح إذا كانوا يضيّعون الفرائض

“Sebagian salaf ditanya mengenai sekelompok orang yang mereka beribadah dan bersungguh-sungguh di bulan Ramadhan. Jika Ramadhan telah berlalu, mereka meninggalkan ibadah tersebut. Ada ungkapan: Sejelek-jelek kaum adalah yang tidak mengenal Allah kecuali pada bulan Ramadhan. Ungkapan ini benar jika mereka tidak melakukan/lalai akan perkara-perkara wajib.”[3]

Setelah berpisah dengan Ramadhan, kita berada di pertengahan dengan Ramadhan berikutnya. Semoga bisa menjadi penghapus dosa antara Ramadhan ini dan Ramadhan selanjutnya

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻟﺼَّﻠَﻮَﺍﺕُ ﺍﻟْﺨَﻤْﺲُ ﻭَﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ ﻭَﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻣُﻜَﻔِّﺮَﺍﺕٌ ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻦَّ ﺇِﺫَﺍ ﺍﺟْﺘَﻨَﺐَ ﺍﻟْﻜَﺒَﺎﺋِﺮَ

“Antara shalat yang lima waktu, antara jum’at yang satu dan jum’at berikutnya, antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan berikutnya, di antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.”[4]

Semoga kita bisa selalu tetap istiqamah meskipun bulan Ramadhan telah berlalu.

Sumber: https://muslim.or.id/30564-bukan-pura-pura-bersedih-pada-perpisahan-dengan-ramadhan.html

Saudi Imbau Jamaah Umroh Patuhi Spesifikasi Bagasi

Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi meminta semua jamaah umrah yang untuk mematuhi ukuran, berat dan spesifikasi bagasi perjalanan. Hal ini ditekankan utamanya pada jamaah yang berada dalam tahap penerbangan kembali ke wilayah masing-masing.

Jamaah maupun operator travel juga disebut perlu berkomunikasi dengan maskapai penerbangan, untuk memastikan spesifikasi yang diizinkan saat bepergian, serta mematuhi instruksi yang dikeluarkan oleh Otoritas Umum Penerbangan Sipil (GACA).

Dilansir di Riyadh Daily, Ahad (1/5/2022), kementerian juga mengirimkan edaran ke seluruh perusahaan umrah Saudi untuk mengkonfirmasi dan menindaklanjuti keberangkatan jamaah berdasarkan waktu penerbangan mereka, sekaligus perlunya edukasi tentang ukuran dan dimensi bagasi perjalanan yang diizinkan. 

Mereka menekankan prosedur ini akan memudahkan jemaah umrah dalam menyelesaikan prosedur penerbangan dan berkontribusi untuk mengurangi waktu tunggu di ruang keberangkatan. Sebelumnya, otoritas Saudi mengumumkan periode kunjungan ke Rawdah Syarif di Masjid Nabawi telah ditangguhkan selama enam hari. Keputusan ini berlaku hari ini, 28 April (27 Ramadhan) hingga 3 Mei (2 Syawwal). 

Keputusan tersebut diumumkan langsung oleh Badan Urusan Masjid Nabawi di bawah Kepresidenan Umum untuk Urusan Dua Masjid Suci. Badan tersebut mengaitkan hal ini dengan arus besar pengunjung dan jamaah yang diantisipasi ke Masjid Nabawi. Biasanya jamaah akan melakukan shalat tarawih dan Qiyam Allail pada hari-hari terakhir bulan suci Ramadhan serta untuk shalat Idul Fitri. 

Kebijakan yang diambil tersebut merupakan bagian dari langkah-langkah untuk memastikan keamanan, kemudahan dan kenyamanan para pengunjung dan jamaah.

IHRAM

Bagaimanakah Seharusnya Kaum Muslimin Merayakan Hari Raya?

Dalam Islam, hari raya besar hanya ada dua dan tidak ada yang lain, yaitu hari raya Idulfitri (dirayakan setiap 1 Syawal) dan Iduladha (dirayakan setiap 10 Dzulhijjah). Ajaran Islam tidak memperingati perayaan selain kedua perayaan tersebut, baik itu kelahiran Nabi (maulid), tahun baru Islam, atau tahun baru lainnya. Begitu juga tidak memperingati peristiwa turunnya Al-Qur’an atau pun peristiwa-peristiwa lainnya yang terjadi di zaman Nabi. Mengapa demikian?

Karena di dalam menentukan hari raya (‘Ied) kaum muslimin membutuhkan dalil, baik itu dari Al-Qur’an maupun sunah. Ibnu Rajab rahimahullah pernah mengatakan,

“Tidaklah disyariatkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan (suatu hari sebagai) ‘Ied (perayaan) kecuali yang ditetapkan oleh syariat sebagai hari ‘Ied. Hari ‘Ied (yang ditetapkan syariat) tersebut adalah Idulfitri, Iduladha, dan hari-hari tasyrik. Ketiga ‘Ied tersebut adalah ‘Ied tahunan. Begitu pun hari ‘Ied di hari Jumat dimana hari Jumat adalah ‘Ied pekanan. Selain dari hari-hari ‘Ied tersebut, menetapkan suatu hari sebagai hari ‘Ied yang lain adalah kebidahan yang tidak ada asalnya dalam syariat” (Lathoif Al Ma’arif, hal. 228).

Sudah menjadi keharusan bagi seorang muslim untuk mencukupkan diri dengan dua perayaan besar tersebut. Tidak bermudah-mudahan di dalam merayakan sesuatu, walaupun terkadang dengan alasan yang berunsur ibadah. Cukuplah hadis berikut sebagai pengingat. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

“Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa Jahiliyah. Maka beliau berkata, ‘Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idulfitri dan Iduladha (hari Nahr).’” (HR. An-Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178, sanadnya sahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim sebagaimana yang dikatakan Syekh Syu’aib Al-Arnauth).

Hal yang harus dilakukan seorang muslim di hari raya

Hari raya merupakan hari kegembiraan dan suka cita. Pada hari-hari ini terdapat ibadah, etika, dan adat khusus yang diperbolehkan untuk dilakukan oleh seorang muslim atau bahkan disunahkan untuk dilakukan. Di antaranya;

Pertama, mandi sebelum berangkat salat Idulfitri

Mandi sebelum berangkat salat Idulfitri hukumnya sunah menurut pendapat yang rajih dari empat mazhab. Terdapat riwayat yang sahih dari sahabat tentang perkara ini.

سأل رجلٌ عليّاً رضي الله عنه عن الغسل قال : اغتسل كل يوم إن شئت ، فقال : “لا ، الغسل الذي هو الغسل” ، قال : “يوم الجمعة ، ويوم عرفة ، ويوم النحر ، ويوم الفطر”

“Seseorang bertanya kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu tentang mandi, maka beliau berkata, ‘Mandilah setiap hari jika Anda suka.’ Orang itu berkata, ‘Tidak, yang aku maksud adalah mandi yang khusus.’ Maka Ali berkata, ‘Mandi pada hari Jumat, hari Arafah, hari Nahr (Iduladha), dan Hari Fitr (Idulfitri).’” (HR. Syafi’i dalam musnadnya hal. 385, dinyatakan sahih oleh Al-Albany dalam Irwa’ul Ghalil,, 1: 176).

Mandi ini juga biasa dilakukan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu di dalam sebuah riwayat,

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى

“Dari Nafi’ (ia berkata bahwa), ‘Abdullah bin ‘Umar biasa mandi di hari Idulfitri sebelum ia berangkat pagi-pagi ke tanah lapang” (HR. Malik dalam Al-Muwatho’ 426. An-Nawawi menyatakan bahwa atsar ini sahih).

An-Nawawi Rahimahullah di dalam Al-Majmu’ menyebutkan,

“Imam Syafi’i dan para ulama Syafi’i mengatakan, ‘Disunahkan mandi sebelum berangkat untuk melaksanakan 2 salat ‘Ied berdasarkan atsar Ibnu Umar dan qiyas terhadap salat Jumat.’”

Waktu mandinya lebih utama dilakukan setelah terbitnya fajar hari ‘Ied. Namun menurut sebagian ahli ilmu, jika mandi dilakukan sebelum terbitnya fajar, maka tetap sah dan mencukupi.

Kedua, membeli baju baru atau memakai baju yang paling bagus

Abdullah bin Umar mengatakan,

أَخَذَ عُمَرُ رضي الله عنه جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَالْوُفُودِ ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ)

“Umar Radhiallahu ‘anhu mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar, lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengannya untuk hari raya dan menyambut tamu.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya ini adalah pakaian orang yang tidak mendapatkan bagian (di hari kiamat)’” (HR. Bukhari no. 948 dan Muslim no. 2068).

Asy-Syaukani Rahimahullah berkata, “Kesimpulan dari hadis ini adalah disyariatkan berhias pada hari raya didasari oleh persetujuan Nabi tentang berhias di hari raya. Adapan pengingkaran Nabi hanya terbatas pada macam pakaiannya karena dia terbuat dari sutera.” (Nailul Authar, 3: 284).

Ibnu Rajab Rahimahullah pernah berkata, “Berhias pada hari ‘Ied berlaku juga bagi orang yang berangkat untuk salat maupun yang duduk di dalam rumahnya. Bahkan, berlaku juga untuk wanita dan anak-anak” (Fathul Bari, Ibnu Rajab, 6: 68, 72).

Ketiga, mengenakan wewangian yang paling baik

Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah berkata bahwa Imam Malik Rahimahullah berkata,

سمعت أهل العلم يستحبون الزينة والطيب في كل عيد. واستحبه الشافعي

“Aku mendengar para ulama menyatakan disunahkan berhias dan mengenakan wewangian pada setiap ‘Ied. Imam Syafi’i menyatakan hal ini sebagai sunah” (Fathul Bari, Ibnu Rajab, 6: 78).

Wajib diperhatikan, berhias dan mengenakan wewangian bagi wanita hanya berlaku bagi mereka yang berdiam diri di rumah atau ketika di depan suami, para wanita, dan para mahramnya.

Adapun jika mereka keluar, maka tidak boleh berhias. Bahkan hendaknya dia keluar dengan pakaian sederhana. Tidak memakai pakaian yang paling bagus dan tidak juga diperbolehkan memakai wewangian. Karena dikhawatirkan ada laki-laki yang terkena fitnah. Hukum ini berlaku juga bagi wanita yang telah tua atau wanita yang tidak berparas cantik. Mereka tetap tidak diperbolehkan untuk berhias dan memakai wewangian

Keempat, memperbanyak takbir pada hari raya

Disunahkan bertakbir pada hari raya Idulfitri sejak hilal terlihat sampai ketika imam telah keluar dan berdiri untuk menyampaikan khotbah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبّرُواْ اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185).

Kelima, saling mengunjungi antar sanak saudara dan kerabat

Tidak mengapa hukumnya untuk saling mengunjungi antar sanak saudara dan kerabat maupun tetangga. Karena hal tersebut sudah menjadi adat dan kebiasaan masyarakat kita yang tidak mengandung kebatilan maupun penyelisihan terhadap syariat. Ada yang mengatakan bahwa hal itu termasuk hikmah disunahkannya merubah arah jalan (saat berangkat dan pulang) dari tempat pelaksanaan salat ‘Ied.

Keenam, memberikan ucapan selamat

Boleh diucapkan dengan berbagai ungkapan yang dibolehkan (mubah). Paling utama mengucapkan,

تقبل الله منا ومنكم

“Semoga Allah menerima (amal ibadah) kita semua.”

Hal ini karena redaksi tersebut ada sumbernya dari para sahabat Radhiallahu ‘anhum. Diriwayatkan dari Jabir bin Nafir Rahimahullah dia berkata,

كان أصحابُ رسولِ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا الْتَقَوْا يومَ العيدِ يقولُ بعضهم لبعضٍ: تَقبَّلَ اللهُ مِنَّا ومِنكم

“Apabila para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertemu pada hari ‘Ied satu sama lain, mereka berkata, taqabbalallahu minna wa minka.” (Al-Hafiz Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanad riwayat ini hasan dalam kitab Fathul Bari, 2: 517).

Ketujuh, melebihkan makan dan minum

Diperbolehkan untuk berlebih dalam hal makan dan minum atau memakan makanan yang baik. Baik itu masak-masak di dalam rumah atau makan-makan di restoran. Hanya saja perlu memperhatikan restoran yang dituju. Perhatikan apakah restoran tersebut banyak hal yang bertentangan dengan syariat ataukah tidak, seperti menjual makanan dan minuman haram, menyetel musik di seluruh ruangan, atau restoran yang memungkinkan bagi laki-laki melihat wanita yang bukan mahram.

Diriwayatkan dari Nubaisyah Al-Huzali Radhiallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda,

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلَّهِ

“Hari-hari Tasyrik adalah hari-hari makan, minum, dan berzikir kepada Allah” (HR. Muslim no. 1141).

Kedelapan, refreshing yang diperbolehkan

Mubah hukumnya untuk mengajak keluarga bertamasya, piknik ke tempat-tempat yang indah, atau melakukan aktifitas di luar ruangan. Misalnya, pergi refreshing ke gunung maupun ke pantai saat hari raya. Sebagaimana diperbolehkan juga untuk mendengar nasyid yang tidak ada musiknya.

Hal tersebut pernah juga terjadi di zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata,

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangiku, sedangkan di sisiku ada dua orang budak anak perempuan yang sedang menyanyi dengan lagu-lagu bu’ats. Maka beliau berbaring di atas tikar dan memalingkan wajahnya. Lalu Abu Bakar datang dan langsung menghardikku, ‘Seruling setan ada di samping Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam?’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapnya sambil berkata, ‘Biarkan keduanya.’ Maka ketika dia lengah, aku isyaratkan keduanya untuk keluar. Hari itu adalah hari raya. Orang-orang hitam sedang bermain-main dengan alat perang. Entah aku yang meminta Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam atau dia yang berkata, ‘Engkau ingin melihat?’ Aku berkata, ‘Ya.’ Lalu beliau menempatkan aku di belakangnya. Pipiku menempel di pipinya. Lalu dia berkata, ‘Lanjutkan permainan kalian, wahai Bani Arfadah.’ Dan ketika aku telah merasa bosan dia bertanya, ‘Sudah cukup?’ Aku berkata, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Pergilah.’ (HR. Bukhari no. 907 dan Muslim no. 829).

Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di hari tersebut bersabda,

لَتَعْلَمُ يَهُودُ أَنَّ فِي دِينِنَا فُسْحَةً ، إِنِّي أُرْسِلْتُ بِحَنِيفِيَّةٍ سَمْحَةٍ

“Agar orang Yahudi mengetahui bahwa dalam agama kami terdapat kelapangan. Sesungguhnya aku diutus dengan ajaran yang penuh toleran.” (Musnad Ahmad, 50: 366. Dinyatakan hasan oleh para ulama, dan Al-Albany menyatakan bahwa sanadnya bagus dalam silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 4: 443)

Sebagai penutup ada sebuah nasihat indah yang disampaikan oleh Syekh Utsaimin Rahimahullah. Beliau berkata,

“Apa yang dilakukan di tengah masyarakat saat hari ‘Ied, baik itu memberikan hadiah, menghidangkan makanan, saling mengundang, berkumpul, dan bergembira, merupakan adat yang tidak dipermasalahkan. Hal ini karena dilakukan pada hari ‘Ied. Bahkan, riwayat tentang masuknya Abu Bakar Radhiallahu’anhu ke rumah Aisyah Radhiallahu ‘anha terdapat dalil bahwa syariat memberikan kemudahan dan keringan bagi hamba dengan memberikan kesempatan bagi mereka untuk bergembira pada hari ‘Ied” (Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin, 16: 276).

Taqabalallahu minna wa minkum.

Selamat Hari Raya Idulfitri 1443 H.

Semoga Allah menerima semua amal indah kita di bulan Ramadhan. Menjadikan kita termasuk hamba-Nya yang sukses mendapatkan ampunan Allah Ta’ala.

Wallahu A’lam Bisshowaab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/74823-bagaimanakah-seharusnya-kaum-muslimin-merayakan-hari-raya.html

Khotbah Salat Idul Fitri: Menggali Mutiara dari Idul Fitri

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

الحمد لله حمدَ الشاكرين ، والشكرُ له شكرَ الحامدينَ وأثني عليه ثناءَ الذاكرين ، وأشهد أن لا إله إلا الله إله الأولين والآخرين ، وأشهد أنَّ محمداً عبده ورسوله سيد ولد آدم أجمعين، النبي الأمين والناصح المبين بعثه الله رحمة للعالمين وحجة على الخلق أجمعين، صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه أجمعين ، أما بعد :

اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ واللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر وَلِلَهِ الْحَمْدُ

Ma’asyirol muslimin wal muslimat, mari kita senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala. Karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa kepada Allah Ta’ala.

اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، وَلِلَهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، اللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا

Alhamdulillah, pada pagi hari yang cerah ini, Allah telah mempertemukan kita dengan hari raya Idulfitri. Idulfitri adalah sebuah hari yang Allah tutup bulan mulia Ramadan dengannya, dan Allah buka bulan-bulan Haji dengan hari Idulfitri ini pula.

اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر كَبِيرًا

Ma’asyirol muslimin wal muslimat, semoga Allah Ta’ala senantiasa menganugerahkan keistikamahan kepada kita sampai akhir hayat.

Di antara maksud berhari raya Idulfitri adalah bertahmid, memuji Allah, bertahlil, mengesakan Allah, dan bertakbir, mengagungkan Allah

Oleh karena itu, disyariatkan pada hari raya Idulfitri ini untuk memperbanyak kalimat syi’ar hari raya:

اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ واللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر وَلِلَهِ الْحَمْدُ

“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Allah Maha Besar, segala puji yang sempurna hanya bagi-Nya.”

Meskipun kita sedang bergembira pada saat berhari raya, namun lisan dan hati kita tetap dzikrullah, ingat Allah, sehingga kegembiraan kita tetap dibingkai dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala, dan bukan kegembiraan yang dicampuri dengan kemaksiatan, apalagi kesyirikan!

Karena dalam lafaz takbir yang kita ulang-ulang pada hari raya Idulfitri ini mengandung kalimat tauhid,

“…. لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ واللَّهُ اَكْبَر …”

“…Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Allah Maha Besar …”.

Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala dalam Alquran,

وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا

Dan sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (QS. An-Nisaa’: 36)

Idulfitri menanamkan aqidah tauhid, mengesakan Allah, dan tidak menyekutukan-Nya, tidak berbuat kemusyrikan, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang lahir maupun batin. Oleh karena itu, pesan Idulfitri yang pertama adalah pelajarilah dan amalkan tauhid, pelajari syirik dan jauhilah!

اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، وَلِلَهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، اللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا

Ma’asyirol muslimin wal muslimat yang berbahagia, rahimani wa rahimakumullah.

Hari raya Idulfitri mengandung pesan agar kita selalu beribadah dengan tata cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Hal ini tampak saat kita tunaikan kewajiban zakat fitri sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala dan bentuk kepedulian kepada fakir miskin.

Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih menjelaskan bahwa barangsiapa yang menunaikan zakat fitri sebelum salat Idulfitri, maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat Idulfitri, maka itu terhitung sebuah sedekah biasa dan zakat fitrinya tidak sah.

Oleh karena itu, pesan Idulfitri kedua adalah tata cara ibadah itu ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ikutilah tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah, karena syarat diterimanya ibadah itu ada dua, yaitu ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Barangsiapa yang ingin shalatnya, puasanya, zakatnya, hajinya, dan seluruh ibadahnya diterima oleh Allah Ta’ala, maka ikhlaslah dan ikutilah tata cara ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ واللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر وَلِلَهِ الْحَمْدُ

Bapak-bapak, ibu-ibu dan seluruh hadirin, semoga Allah senantiasa menjaga kita di dunia dan akherat.

Sesungguhnya di antara maksud berhari raya Idulfitri adalah agar kita dapat bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla

Kita bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla atas kemudahan bisa berpuasa Ramadan dan melakukan amal ibadah lainnya. Kita pun bersyukur atas nikmat diperbolehkan kembali makan, minum, dan selainnya yang sewaktu berpuasa kita dilarang melakukannya.

Inilah salah satu maksud berhari raya Idulfitri. Sehingga pantas pada hari ini, kita disyariatkan menampakkan kegembiraan sebagai syiar agama Islam ini, dan disyariatkan untuk memakai pakaian terindah dalam rangka menampakkan kegembiraaan dan menampakkan nikmat Allah Ta’ala. Apalagi jika ditambah dengan nikmat melandainya pandemi Covid-19, karena melandainya Covid-19 adalah nikmat Allah yang sangat besar dan wajib kita syukuri.

Asy-Syukru huwath-Tho’ah, “Syukur itu adalah dengan taat kepada Allah”. Maka mari kita syukuri nikmat melandainya Covid-19 ini dengan taat melaksanakan perintah-perintah Allah Ta’ala dan menghindari larangan-Nya, bukan justru bebas melakukan maksiat!

Ketahuilah bahwa syukur itu penyebab nikmat bertambah. Allah Ta’ala berfirman,

وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 18)

Sedangkan syirik dan maksiat itu sebab datangnya musibah, wabah, dan bencana. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ

“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri. Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syuura: 30)

Dan ini selaras dengan hakikat berhari raya Idulfitri. Karena hakikat berhari raya bukan memakai pakaian baru, namun hakikat kebahagiaan berhari raya itu tatkala kita taat kepada Allah Ta’ala, meninggalkan maksiat, dan mendapatkan ampunan Allah.

Jadi, pesan hari raya Idulfitri ketiga adalah bersyukurlah kepada Allah Ta’ala dengan mengesakan-Nya dan taat kepada-Nya!

اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر كَبِيرًا

Ma’asyirol muslimin wal muslimat, semoga Allah mengampuni seluruh dosa kita dan menerima seluruh ibadah kita.

Nasihat bagi kaum muslimah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berkhothbah Idulfitri memberi nasihat secara khusus untuk kaum muslimah. Maka di sini kami sampaikan nasihat kepada ibu-ibu dan wanita muslimah semuanya untuk bertakwa kepada Allah, esakan Allah dan jauhi syirik, karena syirik adalah dosa terbesar. Jagalah salat lima waktu, jagalah rukun Islam lainnya, taatlah kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wahai ibu-ibu, taatlah kepada suami Anda. Wahai putri muslimah, taatlah kepada kedua orangtua Anda selama mereka tidak memerintahkan kemaksiatan. Wahai kaum muslimah, pakailah jilbab yang sesuai dengan syariat, menutupi aurat Anda tatkala Anda pergi keluar rumah. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

ما ترَكتُ بعدي فتنةً هي أضرُّ على الرِّجالِ مِن النساءِ

“Tidaklah ada sepeninggalku ujian/cobaan yang lebih besar bahayanya bagi laki-laki daripada ujian/cobaan wanita.”

Ibu-ibu dan wanita muslimah semuanya, jagalah kehormatan diri Anda. Jangan sampai Anda terjerumus dalam pergaulan bebas, jauhilah zina dan sarana-sarananya. Karena Allah telah berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا

“Dan janganlah kalian mendekati zina. (Zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa’: 32)

Penutup

اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر، اَللَّهُ اَكْبَر كَبِيرًا

Ibadallah, kaum muslimin wal muslimat rahimani wa rahimakumullah,

Yang terakhir dalam khothbah Idulfitri ini adalah kesimpulan dari apa yang telah kami sampaikan bahwa hari raya Idulfitri adalah hari raya umat Islam, sebuah hari raya yang khas, penuh dengan pesan suci dan maksud yang agung.

Dan maksud hari raya Idulfitri yang teragung, tujuan berhari raya yang terbesar, dan pesan religius yang terindah dalam Idulfitri adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah Ta’ala dalam ibadah, mengesakan Allah dalam perbuatan-Nya, dan dalam nama serta sifat-Nya.

Hari raya Idulfitri adalah sebuah hari raya yang bernuansa tauhid, berhiaskan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan akhlak yang karimah, menyambung tali silaturahim, dan ukhuwah Islamiyah, serta diiringi dengan dzikrullah, takbir, tahmid, tahlil, dan rasa syukur kepada Allah Ta’ala.

Hari raya Idulfitri adalah hari syukur dan gembira, kaum muslimin saat berhari raya bergembira dengan tauhid serta iman mereka. Berhari raya dengan bergembira atas jauhnya mereka dari kesyirikan dan kemaksiatan. Berhari raya dengan bergembira atas ketaatan pada bulan Ramadan dan setelahnya. Berhari raya dengan bergembira atas silaturahmi, saling memperkuat persatuan, dan persaudaraan Islam di antara mereka.

Ma’asyirol muslimin wal muslimat,

Mari kita tutup khothbah ini dengan mengiba, memelas, dan memohon kepada Allah Ta’ala,

الحمد لله رب العالمين والصلاة و السلام على رسول الله :

{رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِين}

{رَبَّنَا هَب لنا مِن أزواجنا وذُرياتنا قُرَّةَ أعيُنٍ واجعلنا للمُتقينَ إمَامًا}

اللَّهُمَ حَبَّبْ إِلَيْنَا الْإِيمَانَ وَزَيِّنْهُ فِي قُلُوبِنَا، وَكَرِّهْ إِلَيْنَا الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ

اللهم أعنّا ولا تعن علينا، وانصرنا ولا تنصر علينا، وامكر لنا ولا تمكر علينا، واهدنا ويسر الهدى إلينا

اللهم آمنا في أوطاننا، وأصلح أئمتنا وولاة أمورنا

“Ya Allah, anugerahkan keamanan di NKRI yang kami cintai ini, dan berilah petunjuk para tokoh dan para pemimpin kami”.

اللهم ألف بين قلوبنا

“Ya Allah, persatukan hati kami kaum muslimin di atas kebenaran.”

“Allahumma, Rabbas samawati wal ardh, jadikanlah kegembiraan kami pada hari raya ini sebagai bentuk kegembiraan yang diisi dengan ketaatan kepada-Mu, serta sempurnakan kegembiraan kami dengan ampunan dari-Mu!” Amiin, amiin, amiin.

{رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ}

و صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه أجمعين  وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Kami ucapkan,

تقبل الله منا ومنكم

Selamat berhari raya Idul Fithri.

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/74968-khotbah-salat-idul-fitri-menggali-mutiara-dari-idul-fitri.html