Hidayah Itu Milik Allah, Nabi Pun Tak Punya Kuasa Atasnya

PERNAKAH engkau merasa gregetan dengan orang-orang yang sudah diberitahu tapi masih juga ngeyel? Apalagi bila orang tersebut adalah murid atau santri, sedang Anda seorang guru atau ustadz.

“Sudah diajari berkali-kali, tetap nggak mau nurut. Akhirnya tangan kita melayang (memukul),” jelas KH Dr Asrorun Ni’am Sholeh, Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat berbincang-bincang dengan penulis di Pesantren al-Nahdlah, Bojongsari, Depok, Jawa Barat (Ahad, 13/2/2022) tentang pentingnya sabar dalam berdakwah.

Tindakan seperti ini, kata Ni’am, keliru. Sebab, dakwah itu butuh proses. “Dakwah itu butuh waktu. Tidak bisa simsalabim,” jelas alumnus Universitas al-Azhar, Kairo, ini lagi.

Bahkan, kita tidak dituntut hasil dari dakwah. Kita dituntut proses. Kita tidak diberi kewenangan untuk membuka hati orang lain. Hatta Nabi ﷺ sendiri, tidak punya kewenangan membuka hati orang lain.

“Tugas kita hanya menyampaikan saja. Kalau diikuti ya alhamdulillah. Kalau tidak, kita bersabar,” kata mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ini lagi.

Kisah tentang Nabi Muhammad ﷺ  dan pamannya Abu Thalib patut kita ambil pelajaran tentang bagaimana manusia tak kuasa membuka hati seseorang. Rasulullah ﷺ  tak berhasil membuka hati paman yang beliau cintai ini agar mau memeluk Islam hingga sang paman menghembuskan nafas terakhirnya.

Padahal, Abu Thalib sangat dekat dengan Nabi ﷺ . Beliaulah pelindung dakwah Nabi ﷺ  sepeninggal kakeknya, Abdul Muthalib. Nabi ﷺ  amat menyayang pamannya. Begitu pun sang paman, amant mencintai Nabi ﷺ . Namun, menurut Shahih Bukhari dan Muslim, hingga ajal menjemput, Abu Thalib masih dalam keadaan kafir.

Abu Thalib meninggal dunia pada tahun kesepuluh dari kenabian, tepatnya beberapa waktu setelah pemboikotan berakhir. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ  mendatangi Abu Thalib ketika pamannya itu sedang menghadapi sakaratul maut. Namun, ketika tiba di kediaman Abu Thalib, Nabi ﷺ  mendapati Abu Jahal dan Abdullah ibn Abi Umayyah telah berada di sisi Abu Thalib.

Nabi ﷺ  segera berkata kepada pamannya. “Wahai pamanku, ucapkanlah tidak ada Tuhan selain Allah sebagai kalimat yang akan aku persaksikan untukmu di sisi Allah kelak.”

Abu Jahal dan Abdullah ibn Abi Umayyah, ketika mendengar seruan Nabi ﷺ , tak mau kalah membujuk Abu Thalib. Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau telah membenci agama Abdul Muthalib (ayahnya Abu Thalib)?”

Nabi ﷺ  terus mengulang-ulang permintaannya dan berusaha menuntun Abu Thalib agar menyebutkan kalimat syahadat. Namun, seberapa kuat usaha Nabi ﷺ , pada akhirnya Allah Ta’ala jua yang berkehendak. Sang paman tetap tak menuruti permintaan keponakan yang sangat ia sayangi. Saat ajal menjemput, Abu Thalib berkata kepada keluarganya bahwa ia memilih agama Abdul Muthalib.

Tentang kejadian ini, Allah Ta’ala menjelaskan dalam al-Qur’an surat al-Qashash [28] ayat 56, “Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” Wallahu a’lam.*

HIDAYATULLAH

3 Penghalang Hidayah Allah SWT untuk Seorang Hamba

Terdapat faktor yang bisa menyebabkan terhalangnya hidayah.

Umat Islam banyak yang memohon hidayah kepada Allah SWT. Namun, ada sebagian orang yang terhalang dari petunjuk Allah tersebut hingga sengsara.

Ada pula orang yang hanya mendapatkan sebagian hidayah, dan ada yang mendapatkan hidayah kemudian diambil kembali. 

Mengapa orang-orang tersebut terhalang dari hidayah? Seperti dikutip dari laman alukah, setidaknya ada tiga penyebab orang terhalang dari hidayah, yaitu berbuat zalim, berbuat maksiat, dan melakukan pengkhianatan.  

Hal ini sebagai ditegaskan dalam Alquran bahwa Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim (QS al Baqarah 258), dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (QS al Maidah 108), dan bahwa Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat (QS Yusuf 52]. Berikut ini tiga penyebab terhalangnya hidayah: 

Pertama, zalim 

Kezaliman adalah kegelapan di dunia dan di akhirat, dan seseorang terhalang dari petunjuk karena zalim terhadap dirinya sendiri atau orang lain, serta pada jiwanya. Syirik merupakan salah satu kezaliman yang paling buruk yang patut dihindari agar tidak terhalang dari hidayah Allah SWT.

Sementara, orang-orang yang tidak mencampuradukkan imannya dengan perbuatan syirik akan memperoleh hidayah. Allah SWT berfirman: 

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ ”Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.” (QS al Anam 82).

Kedua, berbuat maksiat atau menjadi fasik 

Maksiat juga menjadi salah satu penghalang seseorang untuk mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Karena, maksiat merupakan bentuk penyimpangan dari ketaatan kepada Allah alias fasik. Allah sering menggambarkan orang-orang munafik dengan sifat ini. Allah SWT berfirman: 

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS as Saff 5).

Ketiga, pengkhianatan

Pengkhianatan, baik dengan perkataan atau perbuatan sangat berbahaya, serta akan terhalang dari hidayah. Di antara pengkhianatan terbesar adalah ketika seseorang mengkhianati agama dan kepercayaannya. Allah SWT berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS al Anfal  27).

Sumber: alukah  

KHAZANAH REPUBLIKA

Pesanan Tidak Sesuai Kriteria dalam Bisnis Online, Bagaimana?

Bagaimana hukumnya dalam Islam beli pesan online tetapi pesanan tidak sesuai kriteria?

INDONESIA merupakan pasar dengan pertumbuhan e-commerce yang menarik dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2014, Euromonitor mencatat penjualan online di Indonesia sudah mencapai US$ 1,1 miliar.

Data sensus Badan Pusat Statistk juga menyebutkan bahwa e-commerce di Indonesia dalam 10 tahun terakhir meningkat hingga 17% dengan jumlah total usaha mencapai 26,2 juta unit.

Dengan seiring perkembangan teknologi ini, interaksi sesama manusia guna untuk memenuhi kebutuhan juga mengalami modifikasi. Awal mulanya, transaksi jual beli dilakukan secara manual, dimana pembeli dan penjual harus bertemu di satu tempat dengan adanya barang serta adanya ijab qabul.

Namun dengan kemudahan fasilitas dan semakin canggih nya teknologi, kini proses jual beli tidak mengharuskan adanya kehadiran pihak yang berakad bertatap muka, hanya perlu melalui internet.

Apa itu jual beli pesanan online?

Jual beli pesanan dalam bisnis online sama halnya seperti jual beli salam atau pre-oder, yaitu dimana sistem pembelian barang dengan memesan dan membayar terlebih dahulu diawal, dengan masa tenggang aktu tunggu (estimasi atau perkiraan) kedatangan barang.

Dalam jual beli ini terdapat tiga karakteristik utama, diantaranya adanya pesanan dari pembeli, barang dan jasa yang akan dibeli tidak ready stock karena harus dibeli atau harus dibuat terlebih dahulu, serta harga atau uang yang ditransfer terlebih dahulu.

Bagaimana hukumnya dalam Islam

Jual beli dengan sistem pesanan atau pre-oder itu perbolehkan dalam Islam dengan cacatan memenuhi rukun dan dan syarat ketentuaannya. Diantaranya sebagai berikut;

Pertama, objek barang atau jasa merupakan produk halal. Oleh karena itu, produk yang merusak akhlak dan barang najis itu tidak boleh diperjualbelikan.

Begitu pula produk pesanan harus memiliki kriteria dan spesifikasi yang jelas. Oleh kaena itu, produk yang tidak memiliki spesfikasi yang jelas, maka tidak diperkenankan karena termasuk gharar (ketidakjelasan).

Kedua, akad yang berlaku dalam jual beli pesanan adalah akad ijarah, dimana bahwa fee harus ditentukan diawal berupa nominal atau nisbah. Sebagaiman dalam hadist riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.

“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.” (HR: ‘Abd al-Razzaq).

Atau penjual sistem pesanan sebagai penjual dalam akad salam. Sebagaimana  namanya akad salam, penjual akan menerima harga beli terlebih dahulu dari pembeli. Lalu, penjual membeli barang yang dipesan kepada suppliervdan mengirim atau menyerahkan barang yang telah dipesan kepada pembeli.

Akad ini diperbolehkan dalam islam, sebagaimana dalam hadist, Rasulullah ﷺ bersabda:

من أسْلَفَ فَلْيُسلفْ في كيل معلوم، ووزْن معلم، إلى أجل معلوم

“Barangsiapa yang melakukan akad pemesanan, maka lakukanlah pada takaran dan timbangan yang telah ditentukan menurut perjanjian waktu yang telah diketahui (disepakati). (HR Bukhari & Muslim).

Fatwa DSN MUI No.5/DSN MUI/IV/2000 Tentang jual beli salam, di dalam telah menjelaskan rambu-rambu yang harus dipenuhi dalam akad salam.

  1. Pembayaran. Alat pembayaran harus diketahui jumlah dan bentuknya. Dan pembayaran dilakukan ketika kontrak disepakati kedua belah pihak.
  2. Barang yang dipesan memiliki kriteria dan spesifikasi yang jelas
  3. Penyerahan barang. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang dipesan
  4. Penjual bleh melakukan subkontrak kepada pihak lain umtuk membelikan barang tersebut (salam paralel) dengan syarat akad kedua berpisah dengan akad pertama.

Kewajiban penjual dalam jual beli pesanan

Kewajiban penjual dalam akad pesanan yang melalui marketplace online adalah menampilkan deskripsi dan spesfikasi barang yang akan dijual dalam bentuk:

  1. Visual, berupa gambar atau video yang menggambarkan barang yang akan dijual.
  2. Menampilkan deskripsi spesifikasinya serta kondisi barang secara tertulis
  3. Penjual tidak perlu melakukan review pada objek barang, karena biasanya hal ini merupakan tugas pihak produksi.
  4. Penjual wajib mencantumkan jasa pengiriman yang ditentukan dan dapat dimanfaatkan oleh pembeli.
  5. Mencantumkan lama masa khiyar.

Lalu bagaimana ketika seseorang melakukan transaksi jual beli salam, namun pada saat barang sudah sampai ditangan pembeli tidak sesuai dengan kriteria pesanan awa transaksi. Hal apakah yang perlu dilakukan kedua belah pihak?.

Ketika jual beli pesanan tidak sesuai kriteria

Pembeli boleh membatalkan atau melanjutkan transaksi jika jasa atau barang pesanan tidak sesuai kriteria awal pemesanan dengan syarat opsi pembatalan tersebut telah disepakati pada saat awal transaksi. Hak pembeli untuk membatalkan transaksi ketika barang yang dipesannya tidak sesuai dengan kriteria disebut khiyar ru’yah.

Apa itu khiyar Ru’yah dan bolehkah dalam islam?

Khiyar Ru’yah merupakan hak yang dimiliki pihak akad yang melakukan transaksi pembelian barang, tetapi belum melihat barang yang dibelinya untuk membeli atau membatalkannya saat melihat barang tersebut. Khiyar dimaksudkan agar pihak akad ridha dengan objek pesanannya dan tidak ada cacat keridhaan.

Menurut mayoritas ulama, khiyar ru’ya dalam jual beli barang inden atau barang yang tidak terlihat saat transaksi, seperti halnya jual beli barang melalui marketplace itu mubah.

Sebagaimana dalam hadist Rasulullah ﷺ bersabda:

من اشترى شيئا لم يراه فهو بالخيار اذاراه (رواهالدارقطنى عن أبي هريرة)

“Barang siapa yang membeli sesuatu yang belum pernah dilihatnya, maka baginya hak khiyar ketika melihatnya.” (HR: ad-Daruqutni dari Abu Hurairah).

Khiyar berfungsi untuk melindungi konsumen dalam kerangka syariah. Dalam syariat, keputusan khiyar berada ditangan pembeli ketika khiyar diklaim oleh pembeli akibat dari kondisi barang yang ia lihat tidak sesuai dengan pesanan yang disepakati.

Akan tetapi, apabila tidak terjadi perubahan yang signifikan pada barang, maka keputusan berlanjutnya akad berada ditangan penjual. Wallahu A’lam.*/Anisa Nur Azizah

HIDAYATULLAH

Hukum Jual Aset untuk Berangkat Haji

Haji merupakan salah satu rukun Islam kelima yang wajib untuk ditunaikan. Untuk dapat melaksanakan ibadah ini,  beberapa orang sampai memaksakan dirinya dengan menjual tanah ataupun aset harta lain sementara dirinya dalam keadaan tidak mampu. Lantas, bagaimana hukum menjual aset untuk berangkat haji?

Dalam literatur kitab fikih, mampu adalah syarat mutlak diwajibkannya haji. Sehingga haji hanya diwajibkan bagi umat muslim yang telah memiliki finansial yang cukup, sehat fisiknya dan adanya jaminan keamanan dalam perjalanan ke baitullah. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 97 berikut;

 وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ 

Artinya, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam,”

Selain dari adanya kemampuan fisik dan finansial yang menjadi syarat wajib haji, seseorang juga dituntut untuk meninggalkan nafkah untuk keluarganya selama ditinggal ibadah haji. Apabila dia memiliki biaya untuk keperluannya mulai dari berangkat hingga pulang, tetapi tidak mampu memberi nafkah keluarganya, maka haram baginya untuk mengadakan perjalanan haji. 

Sebagaimana dalam kitab Al-Iqna’, juz 1 halaman 253 berikut;

الثامن من شروط الوجوب وهو من شروط الاستطاعة أن يثبت على الراحلة أو في محمل ونحوه بلا مشقة شديدة فمن لم يثبت عليها أصلا أو ثبت في محمل عليها لكن بمشقة شديدة لكبر أو نحوه انتفى عنه استطاعة المباشرة ولا تضر مشقة تحتمل في العادة 

Artinya : “Yang kedelapan dari syarat-syarat wajibnya haji adalah adanya kemampuan yakni dia dapat berjalan atau berkendara tanpa adanya kesulitan yang sangat. Apabila dia tidak mampu sama sekali atau bisa berkendara tetapi ada kesulitan yang sangat karena tua atau semisalnya, maka dia dihukumi tidak mampu dan kesulitan yang masih bisa ditanggulangi itu tidak berkonsekuensi hukum.”

Hukum Menjual Aset untuk Berangkat Haji

Sebagaimana juga disebutkan dalam keterangan Syekh Sulaiman Jamal, dalam kitab Hasyiyatul Jamal alal Manhaj, juz II, halaman 381 berikut,

شَوْبَرِيٌّ ( قَوْلُهُ : أَيْضًا عَنْ مُؤْنَةِ عِيَالِهِ ) أَيْ وَكِسْوَتِهِمْ …. وَيَدْخُلُ فِيهَا إعْفَافُ الْأَبِ وَأُجْرَةُ الطَّبِيبِ وَثَمَنُ الْأَدْوِيَةِ وَنَحْوُ ذَلِكَ إنْ اُحْتِيجَ إلَيْهَا لِئَلَّا يَضِيعُوا فَقَدْ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { كَفَى بِالْمَرْءِ إثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَعُولُ } وَيَحْرُمُ الْحَجُّ عَلَى مَنْ لَا يَقْدِرُ عَلَى ذَلِكَ ا هـ .

Artinya: “Syaubari, (perkataan pengarang : juga dari ongkos keluarganya) maksudnya juga pakaian mereka,  Termasuk ongkos itu adalah biaya kebutuhan yang menjaga wibawa orang tuanya, ongkos dokter, biaya obat, dan biaya sejenisnya bila diperlukan agar mereka tidak sia-sia. Rasulullah SAW bersabda; 

‘Seseorang cukup dianggap berdosa karena menyia-nyiakan keluarganya.’ Orang yang tidak mampu menanggung ongkos itu haram untuk berhaji.”

Untuk dapat memenuhi seluruh biaya yang telah disebutkan diatas, dia harus menyerahkah harta usahanya ke dalam biaya bekal, ongkos kendaraan, dan yang terkait keduanya. Tetapi ia tidak wajib untuk menjual aset yang dia miliki seperti alat-alat kerja, ternak untuk bajak sawah, atau seumpama itu. 

Sebagaimana dalam kitab Tuhfatul Muhtaj Ala Syarhil Minhaj, juz 4, halaman 21 berikut,

وَ ) الْأَصَحُّ ( أَنَّهُ يَلْزَمُهُ صَرْفُ مَالِ تِجَارَتِهِ ) وَثَمَنُ مُسْتَغَلَّاتِهِ الَّتِي يُحَصِّلُ مِنْهَا كِفَايَتَهُ ( إلَيْهِمَا ) أَيْ الزَّادِ وَالرَّاحِلَةِ مَعَ مَا ذُكِرَ مَعَهُمَا كَمَا يَلْزَمُهُ صَرْفُهُ فِي دَيْنِهِ وَفَارَقَ الْمَسْكَنَ وَالْخَادِمَ بِأَنَّهُ يَحْتَاجُ إلَيْهَا حَالًّا ، ……. فَقَالَ لَا يَلْزَمُهُ صَرْفُهُ لَهُمَا إذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ كَسْبٌ بِحَالٍ لَا سِيَّمَا وَالْحَجُّ عَلَى التَّرَاخِي

Artinya : “Menurut qaul yang lebih shahih seseorang diwajibkan untuk menyerahkan harta dagangannya dan sumber kekayaan dari mana dia memperoleh sumber kekayaan  ke dalam biaya bekal, kendaraan haji dan lainnya. 

Sebagaimana wajib juga menyerahkannya untuk melunasi hutang. Ini berbeda dengan rumah dan pelayan yang dia butuhkan. Mushonnif berkata bahwa mentasarufkan hal tersebut hukumnya tidak wajib apabila dia tidak memiliki pekerjaan sama sekali mengingat haji juga boleh diakhirkan.”

Sebagaimana disebutkan juga dalam kitab Nihayatuz Zain, halaman 198 berikut;

 ويلزم صرف مال تجارته إلى الزاد والراحلة وما يتعلق بهما ولا يلزمه بيع آلة محترف ولا كتب فقيه ولا بهائم زرع أو نحو ذلك

Artinya: “Dan wajib harus menyerahkan harta usaha ke dalam biaya bekal, ongkos kendaraan, dan yang terkait keduanya. Tetapi tidak wajib untuk menjual alat-alat kerja, buku-buku fiqih, ternak untuk bajak sawah, atau seumpama itu.”

Demikian penjelasan mengenai hukum menjual aset untuk berangkat haji. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Inilah Peristiwa Penting di Bulan Dzulqa’dah

Bulan Dzulqa’dah merupakan bulan suci yang sangat dimuliakan oleh Allah. Tentunya, umat Islam harus semakin giat dan semangat dalam melakukan ketaatan dan kebaikan di bulan yang sangat mulia ini.

Sebab, bulan Dzulqa’dah merupakan bulan pertama dari empat bulan haram, di mana jika melakukan ketaatan dan kemaksiatan akan dilipatgandakan balasannya. Oleh karenanya, kemuliaan bulan yang satu ini harus benar-benar dijaga oleh umat Islam.

Selain menjadi bagian dari bulan haram, bulan ini merupakan awal untuk menyongsong salah satu ibadah yang sangat mulia dalam Islam, yaitu melaksanakan rukun Islam terakhir berupa ibadah haji di bulan Dzulhijjah.

Tidak hanya itu, keagungan bulan ini diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an, sebagai bukti bahwa kemuliaannya juga melebihi bulan-bulan lain pada umumnya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, yaitu:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Artinya, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu,” (QS At-Taubah [9]: 36).

Pada ayat di atas, Allah menegaskan bahwa terdapat dua belas bulan dalam satu tahun, dan di antara yang dua belas itu terdapat empat bulan haram yang sangat dimuliakan, yaitu yaitu;

(1) Dzulqa’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab. Namun, dalam tulisan kali ini penulis akan fokus membahas perihal peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bulan haram pertama ini.

Peristiwa Penting di Bulan Dzulqa’dah

Beragam peristiwa dan kejadian di bulan Dzulqa’dah sangat penting untuk diketahui umat Islam sebagai refleksi agar bisa berbuat lebih baik, dan tentunya bisa mengetahui sejarah dalam Islam.

Dengan mengetahuinya, semangat ibadah dan melakukan kebaikan akan terus bertambah. Berikut peristiwa penting yang terjadi pada bulan Dzulqa’dah:

Pertama, Perang Bani Quraizhah

terkait peristiwa di bulan Dzulqa’dah, Syekh Shafifurrahman al-Mubarakfuri dalam salah satu kitab sirah-nya mengatakan, bahwa sehari setelah kepulangan Rasulullah di Madinah, tepat pada waktu Dzuhur datang malaikat Jibril untuk menemuinya. Kemudian dia berkata,

Sudahkah engkau letakkan senjatamu? Demi Allah, kami (para malaikat) belum meletakkan senjata. Berangkatlah engkau sekarang bersama sahabat-sahabatmu menuju Bani Quraizhah, saya (Jibril) akan berjalan di depanmu untuk menggoncangkan benteng-benteng mereka dan menebarkan kekuatan di dada mereka.”

Mendengar apa yang disampaikan malaikat Jibril, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk segera berangkat menuju perkampungan Bani Quraizhah dan berpesan agar mereka tidak shalat Ashar kecuali telah sampai di perkampungan tersebut.

Sesampainya di pemukiman Bani Quraizhah, Rasulullah dan semua umat Islam yang ikut serta mengepung Yahudi Bani Quraizhah yang berlindung di benteng-benteng mereka selama 25 malam (menurut riwayat lain, 25 hari).

Akhirnya, mereka tidak tahan lagi dikepung, Allah menanamkan rasa takut di hati mereka, kemudian menyerah dan tunduk di bawah keputusan hukum Rasulullah. Peristiwa ini sebagaimana disebutkan oleh Syekh Shafiyurrahman terjadi pada bulan Dzulqa’dah,

وَقَعَتْ هَذِهِ الْغَزْوَةُ فِيْ ذِيْ الْقَعْدَةِ سَنَةَ الخَامِسَةَ

Artinya, “Peperangan ini (Bani Quraizhah) terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun kelima (hijriah).” (Shafiyurrahman, ar-Rahiqul Makhtum, [Beirut, Darul Fikr: tt], halaman 281).

Kedua, Perjanjian Hudaibiyah

Ini juga terjadi di bulan Dzulqa’dah. Syekh Ali as-Shalabi dalam salah satu kitab sirah-nya mengatakan bahwa ketika kekuatan umat Islam semakin kuat, mereka mulai berpikir untuk mendapatkan hak mereka yang sudah sangat mereka inginkan, yaitu beribadah di Masjidil Haram yang sejak enam tahun lamanya terhalang oleh kaum musyrikin.

Tepat pada hari Senin bulan Dzulqa’dah tahun ketujuh (ada yang mengatakan tahun keenam) hijriah, berangkatlah Rasulullah bersama 1400 orang sahabat tanpa membawa senjata perang.

Setibanya di Dzulhulaifah (miqat bagi penduduk Madinah, atau yang datang dari arah Madinah bagi mereka yang akan melakukan umrah dan haji), Rasulullah mulai melakukan ihram untuk umrah.

Sementara itu, kaum kafir Quraisy mengira bahwa kedatangannya untuk menyerang mereka, hingga kemudian ada salah satu perwakilan dari mereka yang pergi mendatanginya untuk mengetahui tujuan sebenarnya.

Sesampainya di tempat peristirahatan umat Islam, Rasulullah menegaskan kepadanya bahwa kedatangannya semata-mata untuk umrah, bukan perang.

Karena tujuannya bukan untuk perang, akhirnya Rasulullah dan kafir Quraisy membuat kesepakatan damai, yang kemudian dikenal dengan istilah suluh hudaibiyah, yaitu perjanjian damai antara umat Islam dan kafir Quraisy yang berlangsung di Hudaibiyah pada tahun ketujuh hijriah.

(Ali as-Shalabi, Sirah Nabawiyah, Durusun wan Ibarun fi Tarbiyatil Ummah, [Beirut, Darul Fikr: 2019], juz VIII, halaman 168).

Ketiga, Pada Bulan Dzulqa’dah Allah Berfirman Kepada Nabi Musa

Selain tiga peristiwa penting di atas, ada juga salah satu peristiwa luar biasa yang terjadi pada bulan Dzulqa’dah, yaitu pembicaraan Nabi Musa dengan Allah ketika menerima wahyu berupa kitab Taurat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:

وَلَمَّا جَاء مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ

Artinya, “Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan telah berfirman (langsung) kepadanya (Musa).” (QS Al-A’raf [7]: 143)

Imam Ibnu Katsir ad-Dimisyqi (wafat 774 H) dalam kitab tafsirnya mengutip beberapa pendapat mayoritas ulama tasir, di antaranya Imam Mujahid, Masruq, dan Ibnu Juraih, bahwa kejadian di atas terjadi pada bulan Dzulqa’dah. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Azim, [Darut Thayyibah: 1999], juz III, halaman 468).

Demikian beberapa peristiwa penting yang terjadi pada bulan Dzulqa’dah. Dengan mengetahuinya, semoga kita bisa terus meningkatkan ibadah dan ketaatan, serta menjauhi maksiat di bulan yang mulia ini.

BINCANG SYARIAH

Apakah Wajib Mengadakan Walimatul Urs Ketika Menikah?

Walimatul urs adalah acara makan-makan yang diadakan karena adanya pernikahan. Apakah orang yang menikah wajib mengadakan walimatul ‘urs?

Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat:

Pendapat Pertama: Wajib

Berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

أنَّ رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رأى على عبدِ الرَّحمنِ بنِ عوفٍ أثرَ صفرةٍ فقالَ: ما هذا ؟. فقالَ: إنِّي تزوَّجتُ امرأةً على وزنِ نواةٍ من ذَهبٍ . فقالَ: بارَكَ اللَّهُ لَكَ أولم ولو بشاةٍ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melihat pada pakaian Abdurrahman bin Auf ada bekas minyak wangi. Nabi bertanya: ada apa ini Abdurrahman? Abdurrahman menjawab: saya baru menikahi seorang wanita dengan mahar berupa emas seberat biji kurma. Nabi bersabda: baarakallahu laka (semoga Allah memberkahimu), kalau begitu adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing” (HR. Tirmidzi no. 1094, An Nasa-i no. 3372, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menggunakan kalimat perintah “adakanlah walimah…”, dan hukum asal perintah menunjukkan wajib.

Ini pendapat Zhahiriyyah, salah satu pendapat Malikiyyah, salah satu pendapat Syafi’iyyah, salah satu pendapat Imam Ahmad.

Pendapat Kedua: Mustahab

Berdasarkan hadits dari Shafiyyah bintu Syaibah radhiallahu’anha, ia berkata:

أولَمَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم على بَعضِ نسائِه بمُدَّينِ مِن شَعيرٍ

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengadakan walimah pada pernikahan dengan sebagian istrinya dengan dua mud gandum.” (HR. Bukhari no. 5172).

Di hadits Abdurrahman bin Auf Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan walimah dengan seekor kambing, di hadits Shafiyyah disebutkan beliau walimah dengan 2 mud gandum. Menunjukkan tidak ada kadar baku mengenai makanan walimah. Ibnu Abdil Barr dalam kitab at Tamhid mengatakan:

ولو كانت واجبة لكانت مقدرة معلوم مبلغها كسائر ما أوجب الله ورسوله من الطعام في الكفارات وغيرها. قالوا فلما لم يكن مقدار خرج من حد الوجوب إلى حد الندب

“Andaikan walimah itu wajib, tentu sudah ditetapkan kadar yang diketahui takarannya. Sebagaimana seluruh kewajiban yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dalam masalah makanan kafarah, dan yang lainnya. Maka para ulama mengatakan: ketika tidak ditentukan kadar bakunya, maka hukumnya keluar dari kewajiban menjadi penganjuran”.

Sedangkan kalimat perintah dalam hadits Abdurrahman bin Auf dimaknai sebagai amrun lil istihbab (perintah dalam rangka penganjuran).

Pendapat Jumhur Ulama Tentang Walimatul Urs

Wallahu a’lam, pendapat pertama lebih rajih dalam masalah ini. Bahwa walimatul ursy itu WAJIB. Karena hukum asal perintah adalah wajib, dan tidak ada dalil yang sharih yang menyimpangkan hukum wajib kepada yang lain.

Demikian juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah meninggalkan walimah dalam pernikahan-pernikahannya, baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Bahkan ketika menikah Shafiyyah ketika kondisi safar, beliau tetap mengadakan walimah. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ : أَوْلَمَ على صفيَّةَ بسَويقٍ وتمرٍ

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengadakan walimah pada pernikahannya dengan Shafiyyah dengan sekeranjang kurma” (HR. Abu Daud no.3744, Ibnu Majah no. 1563, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Hal ini memperkuat indikasi akan wajibnya walimah.

Demikian juga walimatul urs adalah upaya untuk mengumumkan pernikahan, padahal dalam hadits Abdullah bin Zubair radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan:

أَعلِنوا النِّكاحَ

“Umumkanlah pernikahan!” (HR. Ahmad no. 16175, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no.1072).

Sampai-sampai ketika walimatul ‘urs dihalalkan nyanyian dan rebana yang dinyanyikan anak-anak perempuan. Dalam hadits dari Muhammad bin Hathib radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

فَصلُ ما بين الحلالِ والحرامِ الصَّوتُ، وضَربُ الدُّفِّ

“Pembeda antara halal dan haramnya (farji) adalah suara (nyanyian) dan tabuhan rebana” (HR. Ahmad no. 18279, An Nasa-i no. 3369, dihasankan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Padahal kita ketahui hukum asalnya bermain musik (termasuk rebana) itu terlarang. Namun dikecualikan permainan rebana yang dilakukan anak-anak di hari walimatul ‘urs. Ini menunjukkan bahwa sangat ditekankan untuk mengadakannya. Inilah yang dijelaskan dan dikuatkan oleh Ash Shan’ani, Asy Syaukani dan Al Albani rahimahumullah.

Wallahu a’lam. Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/54747-apakah-mengadakan-walimatul-urs-wajib.html

Memanfaatkan Modal dalam Islam

Jika seseorang memiliki harta melimpah dan simpanan yang banyak tentu saja ia ingin memanfaatkan sebagai modal untuk usaha yang lain. Bagaimana kiat dan rambu-rambu dalam memanfaatkan modal usaha?

Terlebih dahulu ada dua pemanfaatan modal yang bisa penulis uraikan yaitu mudharabah dan ijaroh. Lalu ada rambu-rambu riba dalam permodalan yang mesti dijauhi.

Bagi hasil dalam untung dan rugi (Mudharabah)

Dasar dalil mengenai dibolehkannya mudharabah (bagi hasil) diambil dari hadits mengenai musaaqoh yaitu bagi hasil dengan cara menyerahkan tanaman kepada petani yang mengerjakan dengan pembagian tertentu dari hasil panennya.

عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ دَفَعَ إِلَى يَهُودِ خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى أَنْ يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَلِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَطْرُ ثَمَرِهَا

“Dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan kepada bangsa Yahudi Khaibar kebun kurma dan ladang daerah Khaibar, agar mereka yang menggarapnya dengan biaya dari mereka sendiri, dengan perjanjian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan separuh dari hasil panennya.” (HR. Bukhari no. 2329 dan Muslim no. 1551).

Pada hadits ini dengan jelas dinyatakan bahwa perkebunan kurma dan ladang daerah Khaibar yang telah menjadi milik umat Islam dipercayakan kepada orang Yahudi setempat, agar dirawat dan ditanami. Adapun perjanjiannya adalah  dengan bagi hasil 50% banding 50%. Pembagian bagi hasil ini ditetapkan dari hasil panen, bukan dari modal yang ditanam oleh si pemodal.

Pada akad mudharabah, asas keadilan benar-benar harus dapat diwujudkan. Yang demikian itu dikarenakan kedua belah pihak yang terkait, sama-sama merasakan keuntungan yang diperoleh. Sebagaimana mereka semua menanggung kerugian bila terjadi secara bersama-sama, pemodal menanggung kerugian materi (modal), sedangkan pelaku usaha menanggung kerugian non-materi (tenaga dan pikiran). Sehingga pada akad mudharabah tidak ada seorang pun yang dibenarkan untuk mengeruk keuntungan tanpa harus menanggung resiko usaha.

Melalui jalan mengupahi (ijaroh)

Akad kedua ini bukan artinya memodali, namun mempekerjakan orang. Jalan ini pun bisa ditempuh bagi yang memiliki modal.

Ijaroh atau jual beli jasa adalah suatu transaksi yang objeknya adalah manfaat atau jasa yang mubah dalam syariat dan manfaat tersebut jelas diketahui, dalam jangka waktu yang jelas serta dengan uang sewa yang jelas. Ijaroh termasuk transaksi yang mengikat kedua belah pihak yang mengadakan transaksi yaitu pembeli dan penjual jasa. Artinya salah satu dari keduanya tidak boleh membatalkan transaksi tanpa persetujuan pihak kedua.

Ijaroh itu ada dua macam:

  1. ijaroh dengan objek transaksi benda tertentu semisal menyewakan rumah, kamar kost, menyewakan mobil (rental mobil, taksi, bis kota dll).
  2. ijaroh dengan objek transaksi pekerjaan tertentu semisal mempekerjakan orang untuk membangun rumah, mencangkul kebun dll.

Contoh misalnya dalam memanfaatkan modal untuk ternak kambing. Cara seperti ini yang dipilih. Juragan mempekerjakan dua orang, lantas dalam waktu per hari dihitung mendapatkan upah Rp. 30.000,- dan upahnya diserahkan di akhir pekan sesuai perjanjian atau kesepakatan.

Di antara ketentuan dari bentuk ijaroh seperti di atas:

  1. Dalam ijaroh seorang pekerja berhak atas upah atau gaji jika dia telah menyelesaikan pekerjaan yang menjadi kewajibannya secara sempurna dan professional. Pekerja semacam ini harus segera diberi upah begitu pekerjaannya selesai sampai-sampai nabi katakan sebelum keringatnya kering. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

    Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).  Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.Al Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718).
  2. Pada dasarnya pekerja tidaklah memiliki kewajiban mengganti barang yang rusak yang diamanahkan oleh pihak yang mempekerjakan atau barang yang disewakan asalkan kerusakan barang tersebut bukan karena kecerobohan penyewa atau pekerja.Untuk transaksi ini berarti kerugian usaha ditanggung oleh pemilik modal, bukan para pekerjanya selama kerusakan bukan terjadi karena kecerobohan pekerja. Sedangkan keuntungan usaha semuanya menjadi hak pemilik modal.

Jika Memilih Meminjamkan Uang Sebagai Modal

Cara ini bisa ditempuh jika kita memiliki modal besar dan khawatir menyimpan di bank, maka kita bisa pinjamkan pada orang yang amanat untuk mengembalikannya di waktu akan datang. Namun dengan syarat, peminjaman modal di sini bukan untuk meraup keuntungan. Karena keuntungan yang ada dalam utang piutang, itu termasuk riba. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa riba adalah:

الزِّيَادَةُ فِي أَشْيَاءَ مَخْصُوصَةٍ

“Penambahan pada barang dagangan/komoditi tertentu.” (Al Mughni, 6: 51)

Para ulama pun bersepakat (berijma’),

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.

Ibnu Qudamah membawakan sebuah fasal dalam Al Mughni (6: 436), “Setiap piutang yang mensyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”

Di halaman yang sama Ibnu Qudamah mengatakan, “Ibnul Mundzir berkata: Para ulama sepakat bahwa jika seseorang meminjamkan uang lantas ia memberi syarat pada si peminjam uang untuk adanya tambahan atau hadiah, lalu ia pinjam dan tunaikan sedemikian rupa, maka pengambilan tambahan di sini adalah riba. Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud bahwa mereka melarang dari bentuk utang piutang yang terdapat keuntungan. Karena utang piutang termasuk akad tolong menolong dan cari pahala karena menolong yang lain. Jika menolong ‘kok’ malah cari untung, ini sudah keluar dari maksud untuk meringankan beban orang lain.” (Al Mughni, 6: 436).

Jika pemilik uang punya keinginan uangnya kembali utuh dan mesti seperti itu, tanpa sama sekali ingin menanggung kerugian, ditambah ia ingin ada tambahan, ini sama saja mencari untung dalam utang piutang.

Hal ini juga berlaku jika utang piutang menggunakan gadaian. Barang gadaian pun tidak boleh dimanfaatkan oleh si pemberi pinjaman. Karena kaedah di atas tetap berlaku dalam gadai, “Setiap utang piutang yang meraup keuntungan, maka itu riba.”

Namun ada gadaian yang boleh dimanfaatkan jika dikhawatirkan begitu saja ia akan rusak atau binasa. Seperti hewan yang memiliki susu dan hewan tunggangan bisa dimanfaatkan sesuai pengeluaran yang diberikan si pemberi utang dan tidak boleh lebih dari itu. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

Barang gadaian berupa hewan tunggangan boleh ditunggangi sesuai nafkah yang diberikan. Susu yang diperas dari barang gadaian berupa hewan susuan boleh diminum sesuai nafkah yang diberikan. Namun, orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan” (HR. Bukhari no. 2512).

Kaedah Penting: Keuntungan bagi yang Berani Menanggung Resiko

Dalam kaedah fikih disebutkan, “Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian”.

Maksud kaedah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian -jika hal itu terjadi-. Keuntungan ini menjadi milik orang yang berani menanggung kerugian karena jika barang tersebut suatu waktu rusak, maka dialah yang merugi. Jika kerugian berani  ditanggung, maka keuntungan menjadi miliknya.

Asal kaedah di atas berasal dari hadits berikut,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا، فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم: الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

“Dari sahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka penjual berkata, ‘Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Keuntungan adalah imbalan atas kerugian.’” (HR. Abu Daud no. 3510, An Nasai no. 4490, Tirmidzi no. 1285, Ibnu Majah no. 2243 dan Ahmad 6: 237. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dari kaedah di atas kita bisa mengambil dua pelajaran penting:

  1. Dalam akad mudhorobah, jika sama-sama mendapat untung, maka pihak pemodal dan pelaku usaha harus sama-sama menanggung rugi. Jika pelaku usaha, sudah mendapatkan rugi karena usahanya gagal, maka pemodal pun harus menanggung rugi. Karena jika pemodal mendapat untung, maka kerugian pun -artinya: tidak mendapatkan apa-apa- harus berani ia tanggung. Termasuk kekeliruan jika si pemodal minta modalnya itu kembali selama bukan karena kecerobohan pelaku usaha.
  2. Bermasalahnya transaksi riba, simpan pinjam yang menarik keuntungan. Jika pihak kreditur  dalam posisi aman, hanya mau ingin uangnya kembali, tanpa mau menanggung resiko karena boleh jadi yang meminjam uang adalah orang yang susah, maka berarti ini masalah. Karena kalau ia ingin uangnya kembali, maka ia pun harus berani menanggung resiko tertundanya utang tersebut. Alasannya adalah kaedah yang kita bahas saat ini.

Semoga bermanfaat bagi pembaca Muslim.Or.Id. Hanyalah Allah yang memberi taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://muslim.or.id/19658-memanfaatkan-modal-dalam-islam.html

Pahala Memberi Pinjaman Bisa Lebih Besar dari Bersedekah

Pahala memberi pinjaman atau piutang bisa lebih besar ketimbang pahala sedekah

Ustaz Muhammad Abdul Wahab Lc menyampaikan penjelasan soal keutamaan memberi pinjaman dibandingkan bersedekah. Dalam kondisi tertentu, pahala memberi pinjaman atau piutang kepada orang bisa lebih besar ketimbang pahala bersedekah.

Ustadz Abdul Wahab menjelaskan, saat Nabi Muhammad SAW melakukan Isra Miraj, Nabi sempat diajak jalan-jalan ke surga, lalu di salah satu pintu surga, beliau menemukan sebuah tulisan yang terasa agak janggal. Karena isi tulisan itu bertentangan dengan apa yang selama ini Nabi ketahui.

Yang selama ini Nabi SAW ketahui adalah pahala sedekah lebih besar dari pahala memberi pinjaman. “Tetapi tulisan tersebut malah menyatakan sebaliknya. Nabi pun heran dan langsung menanyakan hal tersebut kepada malaikat Jibril,” kata dia dilansir dari laman Rumah Fiqih Indonesia, Kamis (10/12).

Kisah itu ada di dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Majjah dari jalur Anas bin Malik. Dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW bersabda, “Pada waktu malam di-isra-kan, aku melihat tulisan pada pintu surga, ‘Bersedekah dibalas sepuluh kali lipat, dan qardh (memberi pinjaman) dibalas delapan belas kali’. Aku bertanya, wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama dari sedekah? Ia (Jibril) menjawab, karena peminta, meminta sesuatu padahal ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena sedang butuh”.

Dalam hadis di atas, lanjut Ustadz Abdul, Jibril menjelaskan bahwa bisa jadi pinjaman yang diberikan kepada orang yang sedang membutuhkan, itu lebih besar pahalanya daripada pahala sedekah. “Karena orang yang meminjam, biasanya dalam keadaan butuh sehingga pinjaman yang kita berikan lebih tepat guna. Sedangkan sedekah, bisa jadi orang yang meminta-minta sedekah itu bukan orang miskin atau tidak sedang dalam keadaan butuh,” jelasnya.

Bahkan dalam beberapa kasus, terang Ustadz Abdul, pengemis yang meminta-minta di jalanan di kota-kota besar, yang pakaiannya terlihat lusuh, compang-camping, membawa anak kecil yang tertidur atau mungkin “sengaja” dibuat tidur, ternyata di kampung halamannya punya rumah mewah lengkap dengan kolam renang.

“Memang pada dasarnya, beberapa pengemis di lampu merah itu tidak mengemis karena terpaksa melainkan sudah menjadi profesi dan memang passion-nya dalam bidang itu. Sehingga masuk akal jika dalam hadits di atas dikatakan bahwa pahala meminjamkan kadang-kadang lebih besar dari pahala sedekah,” paparnya.

Lebih lanjut, Ustadz Abdul menyampaikan, Nabi SAW menganjurkan untuk meringankan beban saudara sesama Muslim, yaitu salah satunya dengan memberi pinjaman. Hal ini sebagaimana dalam hadits At-Tirmidzi yang riwayatkan Abu Hurairah berikut ini:

“Siapa yang melepaskan seorang Muslim kesusahan dunia, maka Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang sedang mengalami kesulitan di dunia, maka Allah akan memudahkan pula dirinya baik di dunia dan akhirat. Dan siapa yang menutupi aib seorang Muslim di dunia, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah akan senantiasa menolong hambanya, selama hamba itu menolong saudaranya.”

KHAZANAH REPUBLIKA

Apa Hasil Bersabar?

Separuh dari iman adalah sabar. Separuh lainnya adalah syukur.

Sabar itu mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Sabar mendidik anak, misalkan, tidaklah mudah. Orang tua harus menahan amarah dan merelakan waktu untuk mendidik si buah  hati. 

Saat berbisnis, si penjual sudah bersungguh-sungguh memenuhi permintaan konsumen yang nilainya miliaran rupiah. Tapi, si konsumen melarikan diri. Di sini si penjual harus bersabar menanggung rugi.

Saat menderita sakit, seseorang harus menahan diri merasakan  sakit. Ini perih rasanya, bahkan terkadang si penderita harus meneteskan air mata saking tak kuasa menahan derita yang dihadapi.

Allah memerintahkan kita untuk bersabar seperti yang dicontohkan para Rasul Ulul Azmi

فَٱصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْعَزْمِ مِنَ ٱلرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِل لَّهُمْ

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka (al-Ahqaf: 35).

Di antara Rasulullah yang mempunyai keteguhan hati adalah Nabi Ayyub. Saat didera penyakit, seseorang berkata kepadanya bahwa status sebagai nabi pasti memudahkan doanya dikabulkan. Karena itu, minta saja kepada Allah agar penyakit itu diangkat.

Tetapi, Nabi Ayyub menahan diri karena hatinya meyakini, bukan itu cara atau jalan untuk melalui musibah yang dihadapi. Lalu, apa jalannya? Tiada lain adalah dengan sabar. Menahan derita akibat penyakit sekuat mungkin.

Nabi Ibrahim yang hidup ribuan tahun Sebelum Masehi adalah teladan sabar yang luar biasa. Dalam keteguhannya beriman kepada Allah, dia diikat dan dibakar hidup-hidup oleh penguasa zalim bernama Raja Namrud (Nimrod). Tapi, Nabi Ibrahim bersabar, tidak melawan kezaliman itu, hingga akhirnya Allah memerintahkan api yang panas menjadi dingin dan menyelamatkan sang khalilullah (al-Anbiya: 69).

Kedudukan sabar sangatlah mulia. Al-Ghazali menjelaskan tentang iman sebagai berikut:

اِعْلَمْ اَنَّ الْاِيْمَانَ نِصْفَانِ: نِصْفُ الصَّبْر وَ نِصْفُ الشُّكْرِ

Artinya, ketahuilah bahwa iman itu terbagi dua. Separuh pertama adalah sabar. Sisanya adalah syukur (Kitab Mukhtashar Ihya Ulumiddin).

Dalam sebuah hadis, Rasulullah menjelaskan kedudukan sabar sebagai permata dari banyak permata yang berlimpah di surga (kanzun min kunuzil jannah).

Al-Ghazali menjelaskan, kebaikan agama itu terdapat dalam sabar (al-mashlahah ad-diniyah fi shabr). Ini berarti ada banyak kemuliaan dalam sabar. Mereka yang menahan diri alias bersabar berarti menyimpan permata dan kebaikan agama, sesuatu yang luar biasa berharga.

Sabar dalam beribadah adalah mengetahui dirinya tidak lama (hidup) sehingga selalu terdorong untuk berzikir dan beribadah. Kemudian, menahan diri untuk tidak memamerkannya kepada orang lain.

Sabar dalam beribadah adalah mengetahui dirinya tidak lama (hidup) sehingga selalu terdorong untuk berzikir dan beribadah.

Al-Ghazali melanjutkan, salah satu kondisi yang mengharuskan orang bersabar adalah saat dijahati orang lain dengan perkataan atau perbuatan. Jika mengalami keadaan demikian, janganlah berpikiran untuk membalas perbuatan tersebut, melainkan tahanlah diri, disertai berserah diri kepada Allah (tawakal) dengan sepenuh hati.

Agar kuat bersabar, ingatlah pada janji Allah sebagaimana yang tertulis dalam Alquran. Sabar mendorong orang untuk beribadah dalam berbagai kesempatan. Lisannya mengagungkan asma Allah dan bershalawat. Hatinya menyebut Allah. Waktu senggang diisi dengan zikrullah. Dengan begitu, batin menjadi tenang, terbebas dari dendam dan amarah.

Dalam Raudhatut Thalibin wa Umdatus Salikin, al-Ghazali menjelaskan, buah sabar adalah pekerjaan menjadi mudah diselesaikan, rintangan menjadi mudah dihadapi, dan hambatan berganti menjadi kelancaran.

Sabar akan menghadirkan optimisme di tengah tragedi yang dihadapi, dan kebahagiaan berada di dekat Allah. Semoga kita menjadi penyabar seperti para salafus salih.

OLEH ERDY NASRUL

KHAZANAH REPUBLIKA

Kemana Saja Dana Haji Dikelola? Ini Penjelasan BPKH

BPKH jelaskan pengelonaan dana haji,

Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menyebut ada lebih dari Rp 3 triliun nilai manfaat yang berhasil diperoleh pihaknya dari pengelolaan dana per April 2022. Nilai ini dihasilkan dari beragam investasi yang dilakukan lembaga tersebut.

“Per april 2022 ini, nilai manfaat yang sudah kita hasilkan sebesar Rp 3,34 triliun. Di mana rata-rata yang dihasilkan itu di tahun 2021 kemarin totalnya adalah Rp 10.52 triliun di akhir tahun,”jelas Kepala Divisi Penghimpunan BPKH, Muhammad Thabrani Nuril Anwar saat diskusi Forum Merdeka Barat (FMB9), Selasa (31/5/2022).

“Dari total dana haji per April 2022 kemarin, itu besarnya adalah Rp 163 triliun,” tambahnya.

Dalam diskusi bertema Dana Amanah, Haji Mabrur itu juga disebutkan, dana kemudian dikelola untuk investasi di berbagai sektor.

“68 persennya dikelola dalam bentuk investasi dan juga di dalamnya surat berharga, investasi langsung dan lainnya. 31 persennya dikelola dalam bentuk 30 bank syariah di Indonesia,”katanya.

Nuril meyakinkan, BPKH akan mengelola dana haji secara amanah dan akuntabel dan memaksimalkan pengelolaan dana umat tersebut. Pihaknya juga berkoordinasi dengan berbagai pihak seperti DPR atau lembaga lainnya demi pengelolaan yang lebih baik.

“BPKH berkomitmen secara kuat untuk mengelola dana haji secara amanah, integritas dan akuntabel. Ini dibuktikan dengan kita telah menerima WTP dari BPK sebanyak 3 kali 2018,2019, 2020. Mudah-mudahan ini bentuk kepercayaan masyarakat dalam pengelolaan dana haji,”ujarnya. Alkhaledi kurnialam

IHRAM