Kebutuhan Pokok yang Terlupakan

Bismillah.

Kebutuhan Manusia terhadap Ilmu Agama

Kehidupan manusia di muka bumi tidak lepas dari berbagai kebutuhan. Dari sejak kecil kita sudah diajari mengenai hal-hal yang menjadi kebutuhan pokok manusia di dunia ini. Di antaranya adalah kebutuhan sandang (pakaian), pangan (makanan), papan (tempat tinggal), dan lain sebagainya.

Namun, satu hal yang jarang kita dengar dan kita baca adalah kebutuhan pokok yang menjadi asas kebahagiaan dan keselamatan insan, yaitu ilmu agama.

Mengapa kebutuhan manusia kepada ilmu disebut sebagai kebutuhan pokok, bahkan menjadi asas kebahagiaan? Jawabannya ada di dalam firman Allah,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Jawabannya juga ada di dalam firman Allah,

وَٱلۡعَصۡرِ إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِی خُسۡرٍ إِلَّا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلصَّبۡرِ

Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)

Jawabannya juga ada di dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Intinya adalah manusia tidak akan bisa hidup dengan benar dan meraih keselamatan di dunia dan di akhirat, kecuali dengan beribadah kepada Allah. Sementara ibadah kepada Allah tidak bisa tidak harus dilandasi dengan ilmu agama. Oleh sebab itu, kebutuhan kepada ilmu agama ini jauh lebih penting dan mendesak daripada kebutuhan yang lainnya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu itu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.”

Manusia akan bisa selamat dari kesesatan di dunia dan azab akhirat apabila ia memahami ilmu agama dan mengamalkannya. Hal ini telah diisyaratkan dalam firman Allah,

فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَایَ فَلَا یَضِلُّ وَلَا یَشۡقَىٰ

Maka, barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123)

Ilmu agama ini adalah kebutuhan pokok yang tidak boleh dikesampingkan atau diremehkan. Karenanya Imam Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Sahih-nya dengan judul ‘Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan‘. Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa setiap ucapan dan perbuatan yang tidak dilandasi dengan ilmu, maka ia akan menyimpang dari kebenaran.

Terlebih lagi setiap kali salat, kita berdoa kepada Allah dalam setiap rakaat meminta hidayah kepada-Nya agar bisa meniti jalan yang lurus atau shirathal mustaqim. Sementara yang dimaksud jalan lurus itu adalah mengenali kebenaran dan mengamalkannya sebagaimana dijelaskan oleh seorang ahli tafsir masa kini, Syekh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya. Hal ini semakin jelas menunjukkan kepada kita bahwa tanpa ilmu, manusia akan terjerumus dalam berbagai penyimpangan dan kesesatan. Oleh sebab itu, setiap hari seusai salat subuh kita diajari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berdoa meminta ilmu yang bermanfaat.

Hakikat Ilmu yang Bermanfaat

Hasan Al-Bashri berkata, “Ahli ilmu itu adalah yang amalnya sesuai dengan ilmunya. Barangsiapa amalnya menyelisihi ilmunya, maka itulah periwayat kabar berita di mana dia mendengar sesuatu lalu dia pun mengatakannya.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 248)

Ada seorang perempuan berkata kepada Asy-Sya’bi, “Wahai orang yang ‘alim/ berilmu, berikanlah fatwa kepadaku.” Maka, beliau pun menjawab, “Sesungguhnya orang yang ‘alim adalah yang takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 166)

Ar-Rabi’ bin Anas mengatakan, “Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah Ta’ala, maka sesungguhnya dia bukanlah seorang yang ‘alim/ berilmu.” Mujahid juga mengatakan, “Sesungguhnya orang yang benar-benar ‘alim ialah yang senantiasa merasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 166)

Masruq berkata, “Cukuplah menjadi tanda keilmuan seorang tatkala dia merasa takut kepada Allah. Dan cukuplah menjadi tanda kebodohan seorang apabila dia merasa ujub dengan amalnya.” (lihat Min A’lam As-Salaf, 1: 23)

Imam Al-Barbahari berkata, “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya ilmu bukanlah dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan sunah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu/ wawasan dan bukunya banyak.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163)

Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujjah/ bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (lihat Al-Iman, takhrij Al-Albani, hal. 22)

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Dahulu ibuku berpesan kepadaku, ‘Wahai anakku! Janganlah kamu menuntut ilmu, kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.’” (lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 579)

Malik bin Dinar berkata, “Barangsiapa menimba ilmu untuk beramal, maka Allah akan berikan taufik kepadanya. Dan barangsiapa menimba ilmu bukan untuk beramal, maka semakin banyak ilmu akan justru membuatnya semakin bertambah congkak.” (lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 575-576)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Orang yang diberikan kenikmatan adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal, namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah Al-Fatihah, hal. 25)

Oleh sebab itu, setiap hari di dalam salat kita memohon kepada Allah agar diberikan hidayah menuju jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang diberikan nikmat. Di mana mereka itu adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya, maka dia termasuk golongan yang dimurkai. Adapun orang yang beramal tanpa ilmu, maka dia termasuk golongan orang yang sesat. Hal ini menunjukkan bahwasanya untuk bisa beramal dan beribadah dengan benar dibutuhkan ilmu. Sehingga dengan cara itulah seorang insan akan bisa berjalan di atas jalan yang lurus/ shirathal mustaqim. (lihat Minhatul Malik Al-Jalil, 1: 227)

Oleh sebab itu, kita dapati para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang-orang yang bersemangat untuk menimba ilmu sekaligus mengamalkannya. Tidaklah mereka melewati sekitar sepuluh ayat, melainkan mereka berusaha memahami maknanya dan mengamalkannya. Mereka berkata, “Maka kami mempelajari ilmu dan amal secara bersama-sama.” (lihat Al-‘Ilmu, Wasa’iluhu wa Tsimaaruhu oleh Syekh Sulaiman Ar-Ruhaili, hal. 19)

Semoga Allah beri taufik kepada kita semuanya.

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77314-kebutuhan-pokok-yang-terlupakan.html

Tiga Prioritas Rasulullah Saat Tiba di Madinah

Ada tiga prioritas utama Rasulullah SAW saat tiba di Madinah. Tiga prioritas tersebut adalah:

Membangun konsensus bersama

Sebelum segala rencana Nabi Muhammad SAW di Madinah dilakukan, Rasulullah membangun konsensus atau kesepakatan tentang hak dan tanggung jawab semua orang. 

Dua suku utama Madinah memang telah memilihnya sebagai pemimpin mereka di baiat Aqabah dan menawarkan untuk melindunginya. Tapi mereka bukan satu-satunya penduduk Madinah. Selain Ansor, yang baru masuk Islam, dan Muhajirin, ada suku-suku Yahudi dan non-Muslim lainnya, terutama penyembah berhala, juga tinggal di kota.

Bahkan, sebelum kedatangan Nabi orang-orang Madinah berada di ambang memilih orang lain untuk memerintah mereka. Namanya Abdullah bin Ubay bin Saloul. Dikatakan bahwa mereka bahkan telah menyiapkan mahkota untuk dia pakai sebagai raja mereka. Jadi dengan keberagaman penduduk Madinah kala itu, Nabi menegaskan kesepakatan bersama berbagai pihak di Madinah. 

Membangun perdamaian antar suku 

Nabi Muhammad SAW kemudian membangun perdamaian antara semua penduduk Madinah, terutama suku Aws dan Khazraj. Mereka telah berperang selama bertahun-tahun, dan pemimpin baru Madinah memiliki peran penting untuk membantu mereka menyembuhkan dan mengatasi ingatan akan perang tersebut.

Nabi juga mengintegrasikan para muhajirin dari Makkah, yang merupakan warga baru Madinah, ke dalam masyarakat Madinah. 

Membangun masjid sebagai pusat kegiatan

Nabi lalu mendirikan sebuah masjid di mana umat Islam bisa berdoa, belajar, dan mengamalkan agama mereka. Sesuatu yang tidak didapat ketika Nabi dan para muhajirin masih di Makkah. 

Seperti diketahui, untuk beberapa alasan, Muslim di Mekah telah menghabiskan sebagian besar dari tiga belas tahun terakhir dianiaya dan beribadah secara rahasia.  Pada tahun-tahun pertama wahyu, mereka bahkan menyembunyikan diri dari orang-orang fakta bahwa mereka adalah Muslim untuk alasan keamanan. Baru setelah Umar bin Al-Khattab masuk Islam, mereka keluar untuk mengumumkan Islam mereka di depan umum.

Tapi sekarang mereka berada di kota baru yang aman.  Mereka membutuhkan tempat untuk beribadah kepada Allah SWT dan belajar agama mereka dengan tenang.

Masjid Nabawi kemudian dijadikan sebagai pusat komunitas untuk banyak kegiatan Muslim. Umat pergi ke sana untuk pertemuan dan musyawarah, untuk perayaan, untuk pendidikan, untuk sosialisasi, dan bahkan untuk perawatan medis. Alkhaledi kurnialam 

IHRAM

Pedoman Puasa di Bulan Muharam

Kita telah memasuki salah satu bulan haram/ suci yang telah Allah Ta’ala abadikan di dalam Al-Qur’an, kitab-Nya yang mulia. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهور عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu.” (QS. At-Taubah: 36)

Keempat bulan ini, namanya telah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jelaskan di dalam hadisnya,

إنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الذي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Sesungguhnya waktu berputar ini sebagaimana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Di antara dua belas bulan itu, ada empat bulan suci (Syahrul Haram). Tiga bulan berurutan: Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam, kemudian bulan Rajab suku Mudhar antara Jumadilakhir dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 4406 dan Muslim no. 1679)

Ketahuilah wahai saudaraku, berpuasa di bulan suci Muharam ini merupakan salah satu puasa sunah yang paling utama. Karena Nabi telah menetapkan keutamaannya serta menekankan umatnya untuk mengamalkannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah Ramadan adalah (puasa) di bulan Allah (yaitu) Muharam. Sedangkan salat yang paling utama setelah (salat) fardu adalah salat malam.” (HR. Muslim no. 1163)

Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

أفضل الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الَّذِي تَدْعُونَهُ الْمُحَرَّمَ “

“Puasa yang paling utama setelah Ramadan adalah puasa pada bulan Allah yang kalian sebut dengan ‘Muharam’.” (HR. Nasa’i di dalam Al-Kubra no. 2916 dan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 4: 291).

Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya “Lathaif Al-Ma’arif” mengatakan,

“Nabi memberi nama Muharam dengan ‘Bulan Allah’, penisbatan bulan tersebut kepada Allah menunjukkan kemulian dan keutamaannya. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menisbatkan kepada diri-Nya, kecuali makhluk-makhluk yang khusus dan tertentu sebagaimana Ia menisbatkan Nabi Muhammad, Ishak, Yakub dan nabi-nabi yang lain kepada penghambaan terhadap diri-Nya. Sebagaimana juga Allah Ta’ala menisbatkatkan ka’bah dan unta Nabi Shalih kepada-Nya. Ibadah puasa merupakan salah satu ibadah yang Allah khususkan penisbatannya kepada diri-Nya, sehingga pengkhususan bulan Allah Muharam ini dengan amalan yang Allah sandarkan kepada diri-Nya dan khusus bagi-Nya, yaitu puasa, sangatlah cocok dan tepat.”

Perihal berpuasa di dalam bulan Muharam ini, secara umum ada 2 pembahasan:

Hukum berpuasa sebulan penuh di dalamnya

Para ulama berselisih pendapat terkait maksud hadis,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ

“Puasa yang paling utama setelah Ramadan adalah (puasa) di bulan Allah (yaitu) Muharam.” (HR. Muslim no. 1163)

Apakah maksudnya berpuasa selama sebulan penuh, ataukah di mayoritas harinya saja dan tidak seluruhnya?

Pemahaman tekstual hadis di atas –wallahu a’lam- menunjukkan keutamaan berpuasa di bulan Muharam selama sebulan penuh. Sehingga sebagian ulama membolehkan berpuasa sunah sebulan penuh pada bulan Muharam. Di antaranya adalah Syekh Utsaimin dan Syekh Binbaz rahimahumallah di dalam fatwa mereka.

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hadis di atas maksudnya adalah memperbanyak puasa pada mayoritas hari di bulan Muharam dan bukan seluruhnya. Hal ini berdasarkan perkataan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

ما رأيتُ رسولَ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم استكمَلَ صيامَ شَهرٍ قَطُّ إلَّا رمضانَ، وما رأيتُه في شهرٍ أكثَرَ منه صيامًا في شعبانَ

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa sebulan penuh, kecuali pada bulan Ramadan. Dan aku tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa pada suatu bulan daripada puasa di bulan Syakban.” (HR. Bukhari no. 1969, Muslim no. 1156, Abu Dawud no. 2434, sedangkan teks hadis di atas merupakan lafaz yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad no. 25195)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan di dalam kitabnya “Lathaif Al-Ma’arif”,

أنه أفضل شهر تطوع بصيامه كاملًا بعد رمضان

“Bahwasanya (bulan Muharam) merupakan bulan paling utama yang diperbolehkan seorang muslim untuk berpuasa sunah sebulan penuh setelah bulan Ramadan.”

Para ulama menjelaskan bahwa Nabi tidak memperbanyak puasa di bulan Muharam karena adanya uzur atau karena Nabi tidak mengetahui keutamaan memperbanyak puasa di bulan ini, kecuali pada akhir masa kehidupan beliau.

Puasa Asyura

Hari Asyura adalah hari di mana Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihissalam beserta kaumnya dan hari di mana Allah menenggelamkan Firaun beserta bala tentaranya. Oleh karenanya, Nabi Musa berpuasa pada hari tersebut sebagai bentuk rasa syukur. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun juga berpuasa. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau berkata,

“Rasulullah sampai ke kota Madinah dan mendapati Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Maka, mereka ditanya tentang hal tersebut. Mereka pun menjawab, ‘Ini adalah hari di mana Allah Ta’ala memenangkan Nabi Musa dan Bani Israil atas Firaun. Oleh karenanya, kami berpuasa padanya sebagai bentuk pengagungan.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نحن أَولى بموسى منكم، فأمَرَ بصيامِه

“Kami lebih berhak dan lebih pantas untuk memuliakan Musa daripada kalian.” Nabi kemudian memerintahkan umatnya untuk berpuasa di hari itu. (HR. Bukhari no. 4680 dan Muslim no. 1130)

Puasa Nabi pada hari Asyura melalui 4 tahapan dan keadaan:

Pertama: Nabi melakukan puasa tersebut di Makkah. Akan tetapi, tidak memerintahkan umatnya untuk melakukannya. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كانت عاشوراءُ يومًا تصومُه قُرَيشٌ في الجاهليةِ، وكان النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يصومُه، فلمَّا قَدِمَ المدينةَ صامه وأمر الناسَ بصيامِه، فلمَّا نزلت فريضةُ شهرِ رمضانَ كان رمضانُ هو الذي يصومُه، فترك صومَ عاشوراءَ، فمن شاء صامه، ومن شاء أفطر

“Dulu, Asyura merupakan hari di mana orang-orang Quraisy berpuasa di masa Jahiliyah. Dan Nabi pun berpuasa pada hari tersebut. Lalu, ketika beliau tiba di Madinah, beliau pun berpuasa pada hari itu dan memerintahkan manusia agar berpuasa pada hari itu. Ketika turun kewajiban berpuasa Ramadan, maka Ramadan menjadi bulan di mana beliau berpuasa. Beliau meninggalkan puasa Asyura. Karena itu, barang siapa ingin berpuasa hari itu (hari Asyura), maka silakan ia berpuasa. Dan barang siapa yang ingin tidak berpuasa, maka silakan saja.” (HR. Bukhari no. 4504, Muslim no. 1125, Abu Dawud no. 2442 dan Tirmidzi no. 753)

Kedua: Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah sampai ke Madinah dan melihat ahli kitab berpuasa di hari Asyura dalam rangka menghormatinya, maka beliau pun berpuasa dan menyuruh umatnya untuk berpuasa juga. Bahkan, Nabi sangat menekankan dan memotivasi umatnya untuk berpuasa di hari Asyura, sampai-sampai anak kecil pun dilatih dan disertakan dalam puasa tersebut.

Ketiga: Ketika syariat puasa Ramadan telah diperintahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak lagi memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa Asyura sebagaimana di dalam riwayat Muslim. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ عاشوراءَ يومٌ من أيَّامِ اللهِ، فمن شاء صامه، ومن شاء تركه

“Sesungguhnya Asyura merupakan salah satu hari di antara hari-hari milik Allah Ta’ala. Barangsiapa yang ingin berpuasa, silakan berpuasa. Dan barangsiapa yang ingin tidak berpuasa, silakan tidak berpuasa.” (HR. Muslim no. 1126)

Keempat: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di akhir hayatnya berkeinginan untuk tidak berpuasa hanya pada hari Asyura saja. Akan tetapi, digabungkan dengan hari lainnya (tanggal 9 Muharam) sebagai bentuk menyelisihi puasa ahli Kitab. Sebagaimana yang dikisahkan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

“Ketika Rasulullah puasa Asyura lalu memerintahkan para sahabatnya untuk ikut berpuasa, para sahabat mengatakan kepadanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani!’ Maka, Nabi mengatakan, ‘Kalau begitu tahun depan insyaAllah kita akan berpuasa pada tanggal 9 juga.’”

Ibnu Abbas mengatakan, “Belum datang tahun depan tersebut, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggal dunia.” (HR. Abu Dawud no. 2445).

Berpuasa pada hari Asyura keutamaannya telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَه

“Dan puasa hari Asyura saya berharap kepada Allah dapat menghapus (dosa) tahun sebelumnya.” (HR. Muslim no. 1162)

Haruskah berpuasa pada hari Tasu’a (tanggal 9 Muharam) dan pada tanggal 11?

Seorang muslim yang berpuasa pada hari Asyura ini, meskipun tidak dibarengi dengan berpuasa pada pada hari sebelumnya (tanggal sembilan), maka ia akan mendapatkan ganjaran yang besar ini, dan hal tersebut tidaklah dibenci. Berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengatakan makruhnya hal tersebut. Adapun jika ia gabungkan dengan puasa pada hari sebelumnya, maka tentu itu lebih utama sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَئِنْ بَقِيتُ أو لئِنْ عِشْتُ إلى قابلٍ لأصومَنَّ التاسِعَ

“Seandainya umurku sampai tahun depan atau aku masih hidup, niscaya aku akan berpuasa pada tanggal sembilan (tasyu’a).” (HR. Muslim no. 1134 dan Ibnu Majah no. 1736 dan lafaz ini merupakan lafaznya)

Adapun hadis-hadis yang menyebutkan tentang berpuasa sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya, atau bolehnya memilih sehari sebelumnya atau sesudahnya, maka tidak benar jika dimarfu’kan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan ibadah sifatnya tauqifiyyah. Tidak boleh dilakukan, kecuali jika ada dalilnya.

Hanya saja kita perlu bersikap lemah lembut terhadap mereka yang berpendapat adanya berpuasa setelah Asyura, karena telah datang asar sahih berupa ucapan Ibnu ‘Abbas dalam masalah ini. Oleh karenanya, mereka yang berpuasa Asyura dengan sehari sebelumnya, serta sehari setelahnya, dan mereka yang mencukupkan puasa Asyura dan sehari setelahnya, maka tidak boleh dicemooh dan dicela.

Wallahu a’lam bisshowaab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.


Sumber: https://muslim.or.id/77302-pedoman-puasa-di-bulan-muharam.html

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 180-182: Hukum Wasiat

Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 180-182 menjelaskan, dalam ketentuan hukum Islam, nilai wasiat tidak boleh lebih sepertiga dari nilai harta yang dimiliki ahli waris

DALAM Surat Al-Baqarah ayat 180-182 dijelaskan soal wasiat.  Di bawah ini teks lengkap Surat Al-Baqarah ayat 180-182;

كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرًا ۖ ۨالْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ ۗ

فَمَنْۢ بَدَّلَهٗ بَعْدَمَا سَمِعَهٗ فَاِنَّمَآ اِثْمُهٗ عَلَى الَّذِيْنَ يُبَدِّلُوْنَهٗ ۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ۗ

فَمَنْ خَافَ مِنْ مُّوْصٍ جَنَفًا اَوْ اِثْمًا فَاَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.  Barangsiapa mengubahnya (wasiat itu), setelah mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Tetapi barangsiapa khawatir bahwa pemberi wasiat (berlaku) berat sebelah atau berbuat salah, lalu dia mendamaikan antara mereka, maka dia tidak berdosa. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS: Al-Baqarah [2] : 180-182).

Dari Surat Al-Baqarah 180-182 ini dapat dipetik beberapa pelajaran;

Pertama, mengingat kematian

-Ayat ini mengandung perintah bagi yang mau meninggal dunia dan yang mau meninggalkan hartanya untuk berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat. Hukum wasiat ini wajib sebelum turunnya ayat wasiat.

-Hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Bahwa pada ayat sebelumnya menjelaskan tentang hukum qisash pada pembunuhan, hukum qisash ini mengakibatkan kematian.

Pada ayat ini terdapat perintah untuk berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat sebelum seseorang mengalami kematian. Semuanya mengingatkan kepada yang masih hidup bahwa kematian cepat atau lambat akan menjemput setiap orang, maka hendaknya mempersiapkan diri dengan amal shaleh.

Firman-Nya,

اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ

“Apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu.” (QS: Al-Baqarah [2]: 180).

Maksudnya “jika telah datang (sebab-sebab) kematian, yaitu, tanda-tanda kematian, telah terlihat atau nampak seperti sakit keras yang menurut prediksi dokter sulit disembuhkan atau penyakit tersebut biasanya membawa kematian.”

Kedua, arti khairan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

اِنْ تَرَكَ خَيْرًا ۖ

“Jika meninggalkan kebaikan (harta) maksudnya disini adalah harta, karena harta adalah salah satu sarana seseorang  untuk berbuat kebaikan. Ini seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَلِاَنْفُسِكُمْ ۗ

“Apa pun harta yang kamu infakkan, maka (kebaikannya) untuk dirimu sendiri.” (QS: Al-Baqarah [2]: 272).

Al-Khair pada ayat ini artinya harta. Juga seperti dalam firman-Nya,

وَاِنَّهٗ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ ۗ

“Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan.”  (QS: Al-A’diyat [100]: 8)

Al-Khair pada ayat ini artinya harta. Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

فَقَالَ اِنِّيْٓ اَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّيْۚ حَتّٰى تَوَارَتْ بِالْحِجَابِۗ

“Maka dia berkata, “Sesungguhnya aku menyukai segala yang baik (kuda), yang membuat aku ingat akan (kebesaran) Tuhanku, sampai matahari terbenam.”  (QS: Shad [38]: 32)

Maksud Al-Khair pada ayat ini artinya harta juga seperti pada ayat-ayat di atas. Para ulama sepakat bahwa maksud khairan pada ayat di atas adalah harta, tetapi mereka berbeda pendapat soal jumlahnya.

Sayyidah Aisyah Radhiyallahu Anha menafsirkan khairan pada ayat di atas adalah harta yang banyak sedangkan ulama lain menafsirkan khairan pada ayat di atas adalah harta secara mutlak, sedikit atau banyak. Masalah ini dikembalikan kepada kebiasaan pada masyarakat setempat.

Berkata As- Suyuti ; “Segala sesuatu yang tidak dijelaskan batasannya di dalam Al-Quran dan Sunnah serta bahasa, maka batasannya dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat setempat.”

Tiga, hukum wasiat

1).  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ

“Berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik.”  (QS: Al-Baqarah [2]: 180)

Hukum ini dahulu wajib, namun sudah dihapus dengan ayat waris di dalam Surah An-Nisa [4] : 11-12 dan An-Nisa ayat 176, sehingga tidak berlaku lagi.  Selain itu juga dihapus dengan sunnah Nabi ﷺ bersabda,

إنَّ اللهَ قد أعطى كلَّ ذي حقٍّ حقَّهُ؛ فلا وصيَّةَ لوارثٍ.

“Sesungguhnya Allah telah memberi setiap orang haknya masing-masing maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR: Abu Daud,  At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)

2). Dengan demikian ayat ini terhapus secara total dan tidak ada wasiat lagi untuk kedua orang tua. Hanya saja untuk kerabat yang tidak mendapatkan warisan disunahkan untuk diberikan kepada mereka wasiat yang tidak melebihi sepertiga dari hartanya.

Ini berdasarkan keumuman ayat wasiat dan berdasarkan hadist Abdullah bin Umar bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda,

عن عبد الله بن عمر-رضي الله عنهما- مرفوعاً: «ما حق امرئ مسلم له شيء يوصي فيه؛ يبيت ليلتين إلا ووصيته مكتوبة عنده»

“Tidak dibenarkan bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu untuk diwasiatkan berdiam diri selama dua malam, ini melainkan wasiat itu telah tertulis di sisinya.” (HR: A-Bukhari dan Muslim)

3).  Adapun arti (بِالْمَعْرُوْفِ )  pada ayat di atas adalah dengan layak. Sebagian ulama menafsirkan dengan adil kedua arti tersebut tidak bertentangan, karena maksudnya jika seseorang berwasiat dengan sejumlah harta yang tidak merugikan ahli waris dan tidak pula merugikan kerabat yaitu pertengahan antara keduanya. Oleh Rasulullah ﷺ dibatasi maksimal sepertiga, sebagaimana di dalam sabdanya,

الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ

“Sepertiga saja dan sepertiga itu sudah banyak.”

Bahkan sebagian ulama menyarankan kurang dari sepertiga, kerena sepertiga itu batas maksimal. Hal ini agar tidak merugikan ahli waris sebagaimana di dalam hadist lain disebutkan,

إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

“Lebih baik engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan melarat, sehingga mereka meminta-minta kepada orang lain.” (HR: Bukhari Muslim)

4) FirmanNya,

حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ ۗ

“(Sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”  (QS: Al-Baqarah [2]: 180)

Menurut Al-Qurthubi “hak” pada ayat di atas artinya sunnah dan tidak wajib dengan dalil hanya ditujukan bagi orang muttaqin. Seandainya wajib tentunya ditujukan kepada semua umat Islam.

Intinya bahwa wasiat tidak boleh ditujukan pada ahli waris, termasuk di dalamnya anak, istri, dan orang tua. Tetapi wasiat boleh ditujukan kepada kerabat yang tidak mendapatkan warisan itupun maksimal hanya sepertiga dari seluruh hartanya, lebih baik kurang dari itu. Dan wasiat itu hukumnya sunnah.

Empat,  merubah wasiat

فَمَنْۢ بَدَّلَهٗ بَعْدَمَا سَمِعَهٗ فَاِنَّمَآ اِثْمُهٗ عَلَى الَّذِيْنَ يُبَدِّلُوْنَهٗ ۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ۗ

“Barangsiapa mengubahnya (wasiat itu), setelah mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”  (QS: Al-Baqarah [2]: 181).

1).  Barangsiapa yang mendengar wasiat dari si pembuat wasiat  secara langsung atau mendengar dari orang yang dipercaya (adil), kemudian ia merubahnya dengan mengurangi atau menambahkan atau bahkan menyembunyikannya. Maka dosanya ditanggung oleh yang merubahnya, bukan di tanggung oleh yang membuat wasiat.

2). Begitu juga jika ia telah berwasiat dengan sejumlah uang untuk membayar hutang, maka dia sudah berlepas diri dari tanggungan hutang tersebut dan tidak bisa di tuntut. Tanggung jawabnya berpindah kepada orang yang mendapatkan wasiat.

Jika ia melaksanakan wasiat dengan baik, maka ia mendapatkan pahala. Tetapi jika dia menyelewengkannya, sehingga utang tersebut tidak terbayar maka ia yang akan mendapatkan dosa darinya.

Lima, memperbaiki wasiat

فَمَنْ خَافَ مِنْ مُّوْصٍ جَنَفًا اَوْ اِثْمًا فَاَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Tetapi barangsiapa khawatir bahwa pemberi wasiat (berlaku) berat sebelah atau berbuat salah, lalu dia mendamaikan antara mereka, maka dia tidak berdosa. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS: Al-Baqarah [2]: 182)

1). Barangsiapa mengetahui setelah meninggalnya pemberi wasiat bahwa si pembuat wasiat berlaku berat sebelah atau keliru dalam membuat wasiat secara tidak sengaja (جَنَفًا) atau secara sengaja (اِثْمًا), kemudian dia memperbaiki wasiat tersebut agar sesuai syariat atau mendamaikan antara ahli waris, maka orang yang berbuat seperti ini tidak berdosa, karena tujuannya maslahat bukan mengikuti hawa nafsu atau karena ada kepentingan tertentu.

2). Ini menunjukkan bahwa yang terpenting dalam keluarga adalah maslahat dan perdamaian di antara mereka, tidak ada yang dirugikan satupun. Bahkan dalam suatu hadist seseorang dibolehkan ‘berbohong’ untuk mendamaikan  suami istri yang berselisih.

3). Mendamaikan perselisihan kaum muslimin adalah perbuatan yang berpahala besar dan salah satu bentuk ketaqwaan kepada Allah yang utama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَنْفَالِۗ قُلِ الْاَنْفَالُ لِلّٰهِ وَالرَّسُوْلِۚ فَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاَصْلِحُوْا ذَاتَ بَيْنِكُمْ ۖوَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗٓ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta rampasan perang itu milik Allah dan Rasul (menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya), maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS: Al-Anfal [88]: 1).

Begitu juga dalam firman-Nya,

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”  (QS. Al-Hujurat [49]: 10). Wallahu A’lam.*/Dr Ahmad Zain an-Najah, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Haji Dan Umrah Mengajarkan Zuhud Terhadap Dunia

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alahi wa sallam bersabda:

إنَّ الله – عزَّ وجلَّ – يُباهي ملائكته عشيَّة عرفة بأهل عرفة، فيقول: انظروا إلى عبادي، أتَوْنِي شُعثًا غبرًا

Sesungguhnya Allah azza wa jalla membanggakan orang-orang yang wukuf di Arafah di depan para Malaikat-Nya, di sore hari Arafah. Allah berfirman: lihatlah para hambaku ini yang datang kepada-Ku dalam keadaan kusut masai dan penuh debu” (HR. Ahmad no.7049, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no.1868).

Dalam hadits dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, ia berkata:

قام رجلٌ إلى النبِيِّ – صلَّى الله عليه وسلَّم – فقال: مَن الحاجُّ يا رسول الله؟ قال: ((الشَّعث التفل))

Seseorang berdiri menuju Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam lalu bertanya: wahai Rasulullah siapa sejatinya orang yang berhaji itu? Nabi menjawab: orang yang kusut masai dan bau badan” (HR. At Tirmidzi no.2998, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 3167).

Bukan berarti orang yang berhaji dan berumrah harus berkusut-kusut, berkotor-kotor atau bersusah-susah, namun intinya haji mengajarkan zuhud terhadap dunia dan fokus pada akhirat, tidak berambisi pada dunia dan berambisi pada akhirat.

Kalau kita renungkan dalam manasik haji dan umrah terdapat:
* Perintah untuk berpakaian hanya dengan dua helai kain (bagi laki-laki)
* Larangan menggunakan penutup kepala (bagi laki-laki)
* Larangan memakai minyak wangi
* Larangan memakai khuf
* Menginap di Muzdalifah beratapkan langit
* Wukuf di Arafah
dll.

Semuanya ini mengajarkan zuhud dan mengingatkan kita akan peristiwa dikumpulkannya manusia kelak di padang Mahsyar.
Harapannya, setelah ibadah haji dan umrah, kita menjadi orang yang zuhud pada dunia dan berambisi pada akhirat. Oleh karena itu Al Hasan Al Bashri rahimahullah pernah ditanya:

ما الحج المبرور؟ فقال: أن تعود زاهداً في الدنيا راغباً في الآخرة

“Apa haji mabrur itu?”. Beliau menjawab, “Yaitu orang yang setelah kembali dari haji ia menjadi lebih zuhud terhadap dunia dan lebih bersemangat mencari akhirat” (At Tabshirah karya Ibnul Jauzi, 2/282).

Inilah pelajaran besar dari ibadah haji dan umrah, yang perlu direnungkan oleh setiap orang baik yang sudah berhaji, sedang berhaji atau belum berhaji. Yaitu berusaha menjadi orang yang zuhud terhadap dunia dan berambisi pada akhirat. Dalam hadits dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

كُنْ في الدُّنْيَا كَأنَّكَ غَرِيبٌ أوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

Jadilah anda di dunia ini seperti orang yang asing atau orang yang sekedar singgah dalam suatu perjalanan” (HR. Bukhari no.6416)

Fasilitas mewah dan nyaman ketika berhaji atau umrah boleh-boleh saja. Semua itu seharusnya untuk memudahkan ibadah dan lebih menambah semangat dalam beribadah.
Namun jangan sampai fasilitas mewah dan kenyamanan justru menipu dan memperdaya kita sehingga kita tidak mendapatkan pelajaran zuhud dari ibadah haji.
Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14473-haji-dan-umrah-mengajarkan-zuhud-terhadap-dunia.html

Ketika Kematian Disembelih

Hadis mengenai disembelihnya kematian

Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يُؤْتَى بِالْمَوْتِ كَهَيْئَةِ كَبْشٍ أَمْلَحٍ فَيُنَادِي بِهِ مُنَادٍ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ ! فَيَشْرَئِبُوْنَ وَيَنْظُرُوْنَ, فَيَقًوْلُ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ, هَذَا الْمَوْتُ, وَكُلُّهُمْ قَدْ رَآهُ, ثُمَّ يُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَهْلَ النَّارِ فَيَشْرَئِبُوْنَ وَيَنْظُرُوْنَ, فَيَقُوْلُ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ, هَذَا الْمَوْتُ وَكُلُّهْمْ قَدْ رَآهُ فَيُذْبَحُ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ يَقُوْلُ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُوْدٌ فَلاَ مَوْتَ, وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُوْدٌ فَلاَ مَوْتَ

“Kematian didatangkan dalam bentuk kambing berkulit hitam putih. Lalu, ada penyeru yang memanggil, ‘Wahai penduduk surga!’ Mereka menengok dan melihat. Penyeru itu berkata, ‘Apakah kalian mengenal ini?’ Mereka menjawab, ‘Ya, itu adalah kematian.’ Mereka semua telah melihatnya. Kemudian penyeru memanggil, ‘Wahai penduduk neraka!’ Mereka menengok dan melihat. Penyeru itu berkata, ‘Apakah kalian mengenal ini?’ Mereka menjawab, ‘Ya, itu adalah kematian.’ Mereka semua telah melihatnya. Kemudian kematian disembelih di antara surga dan neraka. Lalu penyeru  berkata, ‘Wahai penduduk surga, kekekalan dan tiada lagi kematian setelahnya, dan wahai penduduk neraka, kekekalan dan tiada lagi  kematian setelahnya.’“ (HR. Bukhari dan Muslim)

Memahami makna hadis dengan benar

Banyak manusia merasa bingung dengan makna hadis ini. Karena kematian adalah hal abstrak dan penyembelihan tidak bisa dilakukan untuk hal yang sifatnya abstrak. Penyembelihan hanya bisa dilakukan untuk benda yang berwujud, sementara kematian tidak ada wujudnya. Dengan demikian, bagaimana caranya kematian bisa disembelih?

Terdapat beberapa penjelasan dalam memahami hadis ini untuk menjawab hal yang dianggap membingungkan tersebut:

Pertama: Ada yang mengatakan bahwa yang dimaskud kematian dalam hadis di atas adalah malaikat maut. Sehingga yang disembelih bukanlah kematian, akan tetapi malaikat maut.

Kedua: Ada yang memberi penilaian dhaif terhadap hadis di atas. Ini adalah pekataan sekte Mu’tazilah.

Ketiga: Ada yang menjelaskan bahwa yang dimaksud menyembelih di sini hanya makna kiasan, bukan menyembelih dalam arti sebenarnya karena hal yang abstrak tidak bisa disembelih.

Keempat: Allah mengubah kematian yang merupakan hal abstrak menjadi bentuk konkret yang berwujud, kemudian disembelih. Penyembelihan yang dilakukan berkaitan dengan kematian yang telah berubah bentuk dari abstrak menjadi konkret dan memiliki wujud.

Tiga penjelasan pertama tidaklah tepat. Penjelasan yang paling benar adalah penjelasan yang terakhir. Sebagian ulama memberikan penjelasan tambahan bahwa kematian pada asalnya adalah merupakan jasad yang berwujud yang bisa dikenali oleh orang yang telah meninggal. Oleh karena itu, penduduk surga dan penduduk neraka mengenalnya. Ketika ditanyakan kepada mereka , “Apakah kalian mengenal ini?“ Para penduduk surga dan neraka manjawab, “Ya, kami mengenalnya.” Bagi mereka, wujud kematian pada saat itu bukan sesuatu yang aneh dan asing sehingga mereka bisa mengenalinya.

Ada benda-benda yang tidak bisa kita lihat saat ini. Jin adalah jism (memiliki wujud), namun kita tidak bisa melihatnya. Begitu juga ruh adalah jism, namun kita tidak dapat melihatnya. Oleh karena itu, bukan perkara yang aneh dan asing jika orang yang sudah meninggal bisa melihat kematian dalam bentuk jism, sementara kita saat ini tidak bisa melihatnya.

Faedah hadis

Di antara faedah hadis yang mulia di atas adalah:

Pertama: Wajib memahami makna hadis sesuai zahirnya, tanpa melakukan takwil dengan menyelewengkan maknanya.

Kedua: Allah MahaKuasa atas segala sesuatu, termasuk menjadikan kematian bisa disembelih di akhirat kelak.

Ketiga: Penduduk surga dan neraka akan kekal karena setelah itu tidak akan ada lagi kematian

Keempat: Hadis di atas menjadi dalil tentang keabadian surga dan neraka.

Kelima: Seorang mukmin hendaknya mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang abadi di akhirat dengan banyak beramal saleh

***

Penulis: Adika Mianoki

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77262-ketika-kematian-disembelih.html

Arab Saudi Keluarkan 6.000 Visa Umroh dalam 72 Jam

Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi telah mengeluarkan lebih dari 6.000 visa umroh dalam waktu tiga hari. Layanan umroh telah dibuka kembali dan gelombang pertama jamaah umroh telah sampai di Arab Saudi.

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada Ahad (31/7/2022), kementerian mengatakan mencatat pertumbuhan yang luar biasa dalam jumlah permintaan visa umroh dengan awal musim umroh baru 1444 H. 

Kementerian telah mengeluarkan lebih dari 20 ribu visa selama dua minggu, sejak pendaftaran dibuka dua minggu lalu pada 14 Juli. Gelombang pertama jamaah umroh dari luar negeri tiba di Makkah pada Sabtu, 30 Juli. Mereka menandai awal musim umroh yang baru.

Kepresidenan Umum Urusan Dua Masjid Suci menerima jamaah umroh dari luar negeri di tengah sistem pelayanan terbaik yang terintegrasi. Mereka juga telah mempersiapkan seluruh Masjidil Haram di Makkah dan halamannya untuk jamaah melakukan ritual mereka dengan mudah dan nyaman.

Perlu dicatat Administrasi Umum Pengendalian dan Pengelompokan Massa, dengan otoritas terkait, sebelumnya telah mempersiapkan layanannya sesuai dengan rencana yang diikuti dalam mengorganisir kerumunan, untuk menerima kelompok pertama jamaah setelah kembalinya musim umroh dan selesainya musim haji tahun 2022. 

Direktur Administrasi Umum untuk Pengendalian dan Pengelompokan Massa, Osama Al-Hujaili, telah menyatakan Mataf (area mengelilingi Ka’bah Suci) di Masjidil Haram dan lantai dasar diperuntukkan bagi para peziarah yang sedang melaksanakan umroh. Sedangkan lantai pertama Mataf diperuntukkan bagi jamaah yang tidak melaksanakan umroh.

IHRAM

Doa Ketika Melihat Jenazah Menurut Habib Salim Al-Syathiri

Dalam Islam, terdapat beberapa adab yang telah diajarkan ketika kita mendengar kabar kematian seseorang dan pada saat melihat jenazahnya. Adab ketika kita mendengar kabar kematian seseorang, maka minimal kita hendaknya membaca kalimat istirja’ atau kalimat innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Selain itu ada juga doa ketika melihat jenazah yang termasuk bagian dari adab saat ada orang meninggal.

Adapun ketika kita melihat jenazah, maka terdapat beberapa pilihan doa yang bisa kita baca. Di antaranya adalah doa yang diajarkan oleh Habib Salim Al-Syathiri berikut;

لَا اِلَهَ اِلَا اللهُ الْعَافِيْ بَعْدَ قُدْرَتِهِ لَا اِلَهَ اِلَا اللهُ الْبَاقِيْ بَعْدَ فَنَاءِ خَلْقِهِ لَا اَلَهَ اِلَا اللهِ كَلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَجْهَهْ لَهُ الْحُكْمُ وَاِلَيْهِ يُرْجَعُوْنْ

Laa ilaaha illallaah al-‘afii ba’da qudrotih, laa ilaaha illallaah al-baqii ba’da fanaa-i kholqihi, laa ilaaha illallaah kullu syai-in haalikun illaa wajhah lahul hukmu wa ilaihi yurja’uun.

Tiada Tuhan yang pantas disembah dengan sebenar-benarnya melainkan Allah, yang memberikan kesehatan setelah kekuasaan-Nya. Tiada Tuhan yang pantas disembah dengan sebenar-benarnya melainkan Allah, yang kekal setelah binasa seluruh ciptaan-Nya. Tiada Tuhan yang pantas disembah dengan sebenar-benarnya melainkan Allah, segala sesuatu di alam ini akan hancur kecuali Dzat-Nya. Dialah Yang Maha memiliki otoritas segala kebijakan, dan kepada-Nya mereka semua kembali.

Mengenai keutamaan doa ini, Habib Al-‘Aththas Al-Habsyi dalam kitab Al-Washiyah menyebutkan sebagai berikut;

من قال خلف الجنازة : لَا اِلَهَ اِلَا اللهُ الْعَافِيْ بَعْدَ قُدْرَتِهِ لَا اِلَهَ اِلَا اللهُ الْبَاقِيْ بَعْدَ فَنَاءِ خَلْقِهِ لَا اَلَهَ اِلَا اللهِ كَلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَجْهَهْ لَهُ الْحُكْمُ وَاِلَيْهِ يُرْجَعُوْنْ غفر الله له ولصاحب الجنازة ولاهل تلك المدينة

Barangsiapa di belakang jenazah membaca; Laa ilaaha illallaah al-‘afii ba’da qudrotih, laa ilaaha illallaah al-baqii ba’da fanaa-i kholqihi, laa ilaaha illallaah kullu syai-in haalikun illaa wajhah lahul hukmu wa ilaihi yurja’uun, maka Allah mengampuninya, mengampuni jenazah dan seluruh penduduk setempat.

BINCANG SYARIAH

Biar Anak Senang di Masjid, Imam Masjid di Turki Ajak Anak-Anak Bermain Usai Salat

Masjid kerap diramaikan oleh anak-anak. Tak jarang mereka ke masjid tak hanya untuk ibadah, tapi juga bermain.Karenanya kadang kala ditemui orang dewasa yang menegur para bocil agar tak berisik di masjid.

Berbeda dengan di Turki. Dari sebuah video yang merekam momen manis seorang imam masjid yang sengaja mengajak anak-anak untuk bermain usai melaksanakan salat tarawih, ramai jadi perbincangan di media sosial Twitter.

Bukan tanpa alasan, imam masjid tersebut disebut sengaja meluangkan waktu untuk menghibur anak-anak agar mereka lebih senang saat datang dan beribadah ke masjid.

Melansir dari cuitan akun Twitter @eseseda98, membagikan potret yang mengabadikan momen ketika seorang imam masjid di Turki tengah mengajak anak-anak bermain setelah salat tarawih.

Dalam foto yang dibagikan, tampak seorang imam masjid mengajak puluhan anak-anak untuk berjalan mengekor di belakangnya membentuk seperti ular. Kegiatan itu rupanya disebut rutin dilakukan oleh imam masjid. Bukan tanpa alasan, hal tersebut bertujuan untuk membuat anak-anak merasa senang saat datang ke masjid.

“Di Turki setelah teraweh anak anak di ajak main sama Imam nya. Supaya mereka senang ke masjid,” tulis keterangan unggahan.

Tak hanya itu, dalam cuitan itu, pengunggah foto yang merupakan WNI di Turki itu juga menyebut jika sebelumnya sudah ada upaya dari pengurus beberapa masjid di Turki untuk membuat anak-anak senang saat ke masjid.

Salah satunya ialah menyiapakan tempat bermain di dalam masjid untuk menarik perhatian anak-anak datang ke masjid.

“Malahan beberapa masjid baru di Turki seperti masjid Hamdi Cami di Ankara disiapkan tempat bermain dalam masjid di sudut kanan di bawah tangga,” tulisnya.

Setelah dibagikan, unggahan itupun langsung mendapat beragam komentar dari netizen. Banyak yang mengaku salut dengan upaya pengurus masjid di Turki untuk menarik perhatian anak-anak agar selalu merasa senang tiap kali datang ke masjid.

ISLAM KAFFAH

Kesunnahan Membangunkan Keluarga untuk Shalat Witir

Dalam kitab-kitab hadis sudah banyak disebutkan mengenai keutamaan dan anjuran untuk melaksanakan shalat witir di waktu malam, meskipun hanya satu rakaat. Bahkan disebutkan bahwa banyak di antara sahabat Nabi Saw yang mendapatkan wasiat langsung dari Nabi Saw agar tidak meninggalkan shalat witir.

Di antara sahabat yang mendapatkan wasiat adalah Abu Hurairah. Beliau mendapatkan wasiat dari Nabi Saw agar senantiasa melaksanakan shalat witir sebelum tidur. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat imam Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata;

أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- بِثَلاَثٍ بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ

Kekasihku, Nabi Muhammad Saw. mewasiatkan kepadaku tiga perkara: puasa tiga hari setiap bulan, shalat dhuha dua rakaat dan shalat witir sebelum tidur.

Hadis ini menunjukkan bahwa tiga perkara ini, yaitu puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat, dan shalat witir, sangat penting untuk diperhatikan dan dikerjakan. Bahkan  khusus shalat witir, dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi membuat bab yang menunjukkan pentingnya melaksanakan shalat ini. Beliau berkata;

بَابُ الحَثِّ عَلَى صَلاَةِ الوِتْرِوَبَيَانُ أَنَّهُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ وَبَيَانُ وَقْتِهِ

Bab anjuran melaksanakan shalat witir dan menjelaskan bahwa sesungguhnya shalat witir adalah sunnah muakkadah atau sangat dianjurkan serta menjelaskan waktunya.

Selain itu, Nabi Saw membangunkan Sayidah Aisyah untuk shalat witir. Ini sebagaimana dikisahkan dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim, dari Sayidah Aisyah, dia berkata;

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ فَإِذَا بَقِيَ الْوِتْرُ أَيْقَظَنِي فَأَوْتَرْتُ وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ فَإِذَا أَوْتَرَ قَالَ قُومِي فَأَوْتِرِي يَا عَائِشَةُ

Nabi Saw melaksanakan shalat malam, dan ketika tersisa shalat witir, beliau membangunkan aku dan kemudian aku shalat witir. Dalam sebuah riwayat disebutkan; Ketika Nabi Saw sudah shalat witir, beliau berkata ‘Bangunlah, dan shalatlah witir wahai Aisyah.

Berdasarkan hadis ini, Imam Ibnu Hajar berkata bahwa selain menunjukkan keutamaan dan pentingnya melaksanakan shalat witir, hadis ini juga menunjukkan kesunnahan membangunkan keluarga untuk shalat witir. Hal ini karena shalat witir merupakan shalat yang paling utama dibandingkan shalat-shalat sunnah malam lainnya.

BINCANG SYARIAH