Kacaunya Bibel Sebabkan Anak Putri Aktivis LSM Kristen Ini Masuk Islam

Natalia Iriani lahir dan besar dalam keluarga Nasrani yang taat. Ayahnya adalah sarjana teologi yang kemudian aktif di LSM Kristen. Ibadah di gereja dan doa pagi sore sudah menjadi rutinitas. Setiap hari juga dibiasakan membaca Bibel, kita suci agama Kristen. Tidak itu saja, keluarga Natalia juga aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial yang digelar gereja.

Tentu saja semua itu berpengaruh pada tumbuh dan kembangkan Natalia. Ia juga menjadi umat Kristiani yang taat. Tertanam kuat di dalam dirinya bahwa Yesus adalah Tuhan. Demikianlah yang didoktrinkan gereja dan juga di dalam keluarganya.

Meski Kristen taat, Natalia tidak eksklusif. Ia tetap bergaul dengan teman-teman lain yang beda agama. Termasuk dengan teman-temannya yang Muslim. Nah, di antara teman Muslim itu ada yang ‘jahil’. Tiba-tiba saja dia bilang, “Natali, kitab sucimu bermasalah lo. Coba cari ayat yang mengatakan Yesus itu Tuhan. Jika ada saya siap masuk Kristen.”

Natali mengaku kaget juga dengan pernyataan temannya itu. Selama ini ia tak pernah mempermasalahkan Bibel. Dia anggap apa yang terkandung di dalam Bibel benar semua. Tak mungkin kitab suci ada kesalahan.

Namun anehnya diam-diam dia penasaran. Masak sih Bibel bermasalah. Dia kemudian mencoba menilisik pasal demi pasal di dalam Bibel. Betapa terkejutnya dia saat berjumpa dengan salah satu ayat yang mengatakan bahwa Tuhan Allah itu esa. Benarkah tuhannya itu Allah? Bukankah doktrin yang diterimanya mengatakan bahwa Tuhan itu Yesus? “Kalau Tuhan itu Allah, berarti sama dong dengan Tuhannya orang Islam,” katanya.

Atas kebingungannya itu, dia mencoba bertanya kepada guru agamanya. Gurunya menjawab, “Tuhan kamu ya Yesus.” Natali tak puas. “Tapi di Bibel dikatakan Tuhan kita Allah,” katanya. “Kalau tidak percaya Yesus itu Tuhan, kamu dosa,” tukasnya gurunya. Natili diam meski di dalam hatinya masih menyimpan penasaran: mana yang benar.

Dalam kegalaunnya itu, ayahnya datang membawa ayat yang secara jelas mengatakan bahwa Yesus itu Tuhan. Natali pun lega. Dia akan menagih janji temannya. Bagaimana nasib temannya, akankah dia masuk Kristen?

Jawabannya ada dalam video di sini

HIDAYATULLAH

Bagaimana Cara Mengisi Bulan Muharram? Berikut Anjuran-Anjurannya!

Tahun hijriah seperti juga tahun masehi merupakan bagian dari fenomena alam biasa. Secara ringkas, bila kalender masehi mendasarkan penghitungan pada peredaran bumi mengelilingi matahari, kalender hijriah mengacu pada peredaran bulan mengelilingi bumi. Karena itulah kita sering mendengar kalender hijriah disebut pula kalender qamariyah (qamar artinya bulan), sedangkan kalender masehi dikenal dengan sebutan kalender syamsiyah (syams artinya matahari). Dalam ilmu astronomi, kalender hijriah termasuk kategori kalender lunar, sementara kalender masehi termasuk kategori kalender lunar.

Namun demikian, di balik posisinya sebagai gejala alam tersebut, terdapat keistimewaan-keistimewaan karena agama memang menjadikannya demikian. Islam mengajarkan bahwa ada kelebihan-kelebihan tertentu antara satu bulan dengan bulan yang lain dalam kalender hijriah. Sebagaimana firman Allah dalam Surat at-Taubah ayat 36:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

Artinya: “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram (mulia). Itulah (ketetapan) agama yang lurus.”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak semua bulan berkedudukan sama. Dalam Islam ada empat bulan utama di luar Ramadhan, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Karena kemuliaan bulan-bulan itulah, Islam menganjurkan pemeluknya untuk memanfaatkan momentum tersebut sebagai ikhtiar memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Mereka didorong untuk memperbanyak puasa, dzikir, sedekah, dan solidaritas kepada sesama.

Cara Mengisi Kegiatan di Bulan Muharram

Dalam Ihya’ Ulûmid-Dîn, Imam Al-Ghazali mengenalkan istilah al-ayyâm al-fâdhilah (hari-hari utama). Menurutnya, hari-hari utama selalu dijumpai dalam tiap minggu dan bulan. Al-Ghazali juga menyebut istilah al-asyhur al-fâdlilah (bulan-bulan utama). Bulan-bulan utama ini juga selalu dijumpai di tiap tahun.

Waktu adalah salah satu dari makhluk Allah, seperti juga manusia, jin, dan binatang. Namun, sebagaimana ada tempat-tempat utama, seperti Muktazam, Masjid Nabawi, Masjidil Haram, dan lainnya, waktu pun demikian. Dalam tiap rentang waktu tertentu (hari, pekan, bulan, dan tahun) selalu terkandung bagian waktu yang diistimewakan, misalnya waktu antara maghrib dan isya, sepertiga malam terakhir, hari Jumat, bulan Ramadhan, bulan Muharram, dan lain sebagainya. Dalam waktu-waktu spesial itulah pahala bisa dilipatgandakan, dosa-dosa bisa dihapus, dan doa-doa kemungkinan besar dikabulkan.

Allah memang telah menganugerahi kita kesempatan-kesempatan emas yang demikian banyak. Allah mengutamakan waktu-waktu tertentu karena hendak memberi keutamaan pada hamba-hamba-Nya. Sebagaimana keterangan Ibnu ‘Asyur saat menafsirkan Surat at-Taubah ayat 36 tadi:

وَاعْلَمْ أَنَّ تَفْضِيْلَ اْلأَوْقَاتِ وَالْبِقَاعِ يُشَبِّهُ تَفْضِيْلَ النَّاسِ، فَتَفْضِيْلُ النَّاسِ بِمَا يَصْدُرُ عَنْهُمْ مِنَ اْلأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ، وَاْلأَخْلَاقِ اْلكَرِيْمَةِ

Artinya: “Ketahuilah bahwa dimuliakannya sejumlah waktu dan tempat tertentu merupakan kehendak dimuliakannya manusia, melalui perbuatan-perbuatan baik dan akhlak mulia yang mereka lakukan.” (Muhammad Ibnu ‘Asyur dalam at-Tharîr wat Tanwîr)

Pernyataan Ibnu ‘Asyur mengandung pengertian bahwa kemuliaan bulan tertentu tidak mutlak berarti kemuliaan umat Islam secara otomatis. Kemuliaan umat Islam mengandung syarat, yakni ketika mereka mau mengisi waktu-waktu khusus tersebut dengan amal saleh dan akhlakul karimah.

Keutamaan bulan-bulan khusus adalah satu hal, dan keutamaan pribadi orang-orang Islam adalah hal yang lain. Keistimewaan bulan Muharram adalah satu soal, sementara keistimewaan individu-individu kaum Muslimin adalah soal lain. Hal tersebut sangat tergantung bagaimana kita umat Islam merespons keutamaan-keutamaan yang diberikan Allah itu kepada kita: apakah mengisinya dengan baik atau tidak.

Di antara amalan yang amat dianjurkan di bulan pertama kalender hijriah ini adalah puasa. Dalam hadits riwayat Ibnu Majah dijelaskan, “Seseorang datang menemui Rasulullah ﷺ dan bertanya, ‘Setelah Ramadhan, puasa di bulan apa yang lebih afdhal?’ Nabi menjawab, ‘Puasa di bulan Allah, yaitu bulan yang kalian sebut dengan Muharram.

Penyebutan Muharram sebagai “bulan Allah” (syahrullâh) menunjukkan posisi bulan ini yang amat spesial. Melalui riwayat Ibnu Majah pula, puasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) disebut sebagai bagian dari amalan untuk menghapus dosa-dosa setahun yang telah lewat. Selain 10 Muharram, puasa juga masih dianjurkan pada hari-hari lain di bulan ini.

Amalan lain yang bisa digiatkan adalah meningkatkan solidaritas antarsesama. Kebanyakan umat Islam, utamanya di Indonesia, menjadikan momen Muharram sebagai “lebaran anak yatim” dengan memberikan santunan kepada anak-anak yang kehilangan orang tua dan secara ekonomi lemah. KH Shaleh Darat dalam Lathaifut Thaharah wa Asrarus Shalah mengistilahkan 10 Muharram sebagai bagian dari hari raya umat Islam yang layak diperingati dengan sedekah kepada fakir dan miskin.

Tentu saja menyantuni anak yatim atau membantu siapa pun yang butuh pertolongan tak terikat dengan waktu. Tapi Muharram adalah momen sangat baik untuk menunjukkan kepedulian sosial kita. Bulan mulia harus diisi dengan perbuatan mulia. Al-a‘mâl as-shâlihah wal akhlâq al-karîmah yang disebut Ibnu ‘Asyur harus hadir jika kita ingin meraih berkah keutamaan bulan Muharram. Pengertian amal saleh dan akhlak mulia amat luas, mencakup ibadah dengan Allah, berhubungan dengan masyarakat, atau sikap kita terhadap lingkungan alam kita. Bulan Muharram merupakan bulan yang bagus untuk mengawali tahun dengan perbuatan dan perangai positif. Muharram bisa dikatakan cerminan langkah awal kita untuk menapaki 11 bulan berikutnya di pembukaan tahun baru hijriah ini.

ISLAM KAFFAH

Tahun Baru Hijriah : Mengenang Semangat Kejayaan Islam

Kalender Islam dikenal dengan kalender hijriah karena penentuan awal tahunnya dimulai dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya dari Makkah menuju Madinah.

Ihwal hijrahnya Nabi beserta para sahabatnya adalah untuk perubahan Islam. Sewaktu di Makkah umat Islam terintimidasi dan terasing karena dimusuhi oleh kafir Quraisy. Jumlah umat Islam yang sedikit membuat leluasa kaum Quraisy melakukan intimidasi, penyiksaan dan pembunuhan terhadap pengikut Nabi Muhammad.

Kemudian, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib yang kemudian hari namanya dirubah menjadi Madinah.

Tapi, siapa yang menyangka, peristiwa hijrah ini akan menjadi titik awal perubahan umat Islam. Dari Madinah perubahan besar dimulai. Nabi Muhammad, hanya dalam tempo 10 tahun sebelum beliau wafat, berhasil membangun sendi-sendi peradaban kehidupan manusia yang berkeadaban.

Agama Islam dengan cepat menyebar ke seluruh Jazirah Arab dan belahan bumi sekitarnya. Demikian pula, penganut agama Islam meningkat tajam dan menjelma menjadi kekuatan superior yang disegani lawan. Umat Islam berjaya. Kafir Quraisy harus berpikir seribu kali untuk memperpanjang kontrak permusuhan dan melakukan intimidasi terhadap umat Islam. Bahkan, mereka harus takluk di bawah kebesaran panji-panji Islam.

Hijrahnya Nabi beserta para sahabatnya merupakan embrio lahirnya kejayaan Islam. Namun perlu diingat, kejayaan Islam itu tidak dibangun dengan kekuatan militer. Perang memang tak terelakkan, tetapi pondasi utama kejayaan Islam bukan dengan kekuatan senjata, namun dengan mengembangkan dan menetapkan Islam sebagai suatu tatanan dan tuntunan untuk menciptakan kehidupan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, moral, persaudaraan, toleransi dan terciptanya kedamaian di semua belahan dunia.

Perang yang dilakukan oleh umat Islam hanya sebagai upaya untuk menundukkan sebuah kekuasaan yang tidak mempedulikan moral, kemanusiaan, persaudaraan, perdamaian dan toleransi. Tegasnya, kekuatan senjata hanya diapakai untuk menghapus kedhaliman dan kesewenang-wenangan.

Kejayaan Islam semakin melambung di era Khulafaur Rasyidin dan pada dinasti-dinasti berikutnya yang menjalankan prinsip-prinsip yang telah ditanamkan oleh Nabi.

Begitulah, hijrah menjadi titik awal perkembangan dan kejayaan Islam. Sampai akhirnya, kejayaan itu mulai redup, bahkan Islam mengalami kemunduran total.

Apa sebabnya? Karena tergerusnya nilai-nilai keislaman yang dipancangkan oleh Nabi setelah hijrah ke Madinah.

Saya teringat dengan surat pertanyaan Syaikh Ahmad Baisuni Imran asal Sambas Kalimantan Barat yang dikirim kepada Rasyid Ridha di Mesir, “Kenapa umat Islam mundur sementara umat lain berjaya”?

Rasyid Ridha lalu meminta Syakib Arsalan, cendikiawan muslim Mesir untuk menjawabnya. Jawaban ditulis dengan catatan ringkas (risalah). Pada intinya jawabannya adalah karena umat Islam meninggalkan tradisi yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad, sementara umat lain justru mengamalkan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Karenanya, kita mesti mengembalikan semangat hijrah untuk kejayaan Islam. Semangat hijrah yang telah ditanamkan oleh Nabi Muhammad di Madinah. Yakni, menjadikan Islam sebagai suatu tatanan dan tuntunan membentuk kehidupan yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, kemanusiaan, persaudaraan, toleransi dan kedamaian.

Akhirnya, tahun baru hijriah semestinya menjadi momentum penggugah semangka umat Islam untuk benar-benar menjalankan misi Islam yang dirisalahkan kepada Nabi Muhammad. Hijarah dan hijriah merupakan dua hal yang bertemali erat yang mengandung banyak hikmah. Pergantian tahun baru hijriah mestinya menyulut semangat hijrah umat Islam untuk pergantian dari akhlak yang buruk menuju akhlakul karimah.

Dalam konteks kebangsaan kita yang saat ini dipenuhi tayangan-tayangan akhlak kotor; narasi kebencian, permusuhan, adu domba dan upaya memecah belah kesatuan, tahun baru hijriah semestinya hadir sebagai penyemangat untuk hijrah dari akhlak buruk tersebut.

ISLAM KAFFAH

Jumlah Jamaah Umroh 2022 Berkali-kali Lipat Dibandingkan Jamaah Haji Setiap Tahunnya

Juru bicara Kementerian Haji dan Umroh, Hisyam Saeed, mengumumkan bahwa lebih dari 70 juta izin dikeluarkan untuk melakukan umroh  di Masjidil Haram di Makkah dan sholat di Raudhah Syarif di Masjid Nabawi di Madinah selama musim terakhir 1443 hingga pelaksanaan musim haji. 

Dilansir dari Saudi Gazette, Ahad (31/7/2022), Saeed memperkirakan bahwa jumlah jamaah yang akan datang pada musim umroh 1444 H nanti akan kembali normal. 

Menurutnya ini merupakan hal positif setelah kementerian kesehatan melakukan penghapusan dan pelonggaran berbagai pembatasan kesehatan akibat pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir. 

Juru bicara tersebut menekankan bahwa tidak ada jumlah spesifik peziarah untuk setiap negara untuk melakukan umroh, dan mereka yang ingin melakukan umroh dapat mengajukan permohonan secara langsung dan mengeluarkan visa yang sesuai dan memasuki Kerajaan.  

Musim umroh baru telah dimulai pada Sabtu (30/7/2022) bertepatan dengan 1 Muharram 1440 H, dan musim umroh  baru telah resmi dimulai.  

Dia mencatat bahwa visa telah diterima dari mereka yang berada di luar Kerajaan dan ingin melakukan umroh  sejak pertengahan bulan Dzulhijjah 1443 H, dan hari ini proses penerimaan izin berbagai visa dan kebangsaan telah dimulai. 

Semua orang yang ingin melakukan ritual umroh  atau shalat di Rawdah Syarif, baik warga negara Saudi, penduduk, dan warga negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC) atau mereka yang memiliki berbagai jenis visa, sekarang dapat mengeluarkan izin dan memilih waktu yang tepat untuk mereka melalui aplikasi atau platform Eatamarna. 

Kepresidenan Umum untuk Urusan Dua Masjid Suci telah menerima jamaah umroh gelombang pertama yang datang dari luar Arab Saudi pada Sabtu (30/7/2022). Mereka datang untuk melakukan umrah selama musim umrah tahun ini 1444 H.  

Kepresidenan menerima jamaah haji dari luar negeri di tengah sistem pelayanan yang terintegrasi, karena telah memberikan pelayanan terbaik dan mempersiapkan seluruh Masjidil Haram di Makkah dan halamannya bagi mereka untuk melakukan ritual dengan mudah dan nyaman. 

Perlu dicatat bahwa Administrasi Umum Pengendalian dan Pengelompokan Massa, dengan otoritas terkait, sebelumnya telah mempersiapkan layanannya sesuai dengan rencana yang diikuti dalam mengorganisasi kerumunan, untuk menerima kelompok pertama jamaah setelah kembalinya musim umrah dan selesainya musim haji 2022.   

Sumber: saudigazette

IHRAM

Inilah Tingkatan-tingkatan Puasa Asyura

Menurut perhitungan Kemenag, puasa Asyura akan jatuh pada tanggal 8 Agustus 2022 dan berlangsung selama 3 hari. Ternyata puasa Asyura ada tingkatannya lho, apa yang dimaksud tingkatan puasa Asyura?

PARA ulama menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura itu ada 3 tingkatan:

Tingkatan Pertama: Puasa 3 hari yaitu hari kesembilan, kesepuluh dan kesebelas Muharram. Ini yang paling sempurna.

Tingkatan Kedua: Puasa hari kesembilan dan kesepuluh Muharram.

Tingkatan Ketiga: Puasa hari kesepuluh Muharram saja.

Tingkatan Puasa Asyura menurut para Ulama

Imam An-Nawawi berkata: “Imam Asy-Syafi’i, para sahabatnya, imam Ahmad, imam Ishaq dan lainnya berkata: “Disunnahkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh bersama, karena Nabi ﷺ berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat berpuasa pada hari kesembilan.” (Syarhu Shahih Muslim: 8/254).

Imam Ibnu Al-Qayyim berkata: “Tingkatan-tingkatan puasa ‘Asyura itu ada tiga: Tingkatan yang paling sempurna: berpuasa sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya. Tingkatan berikutnya: berpuasa hari kesembilan dan kesepuluh, ini berdasarkan kebanyakan hadits-hadits. Tingkatan berikutnya: berpuasa pada hari sepuluh saja.” (Zadu Al-Ma’ad: 2/76).

Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata: “Dan sebahagian ulama berkata: Hadits Nabi ﷺ di dalam Shahih Muslim: “Jika kami masih hidup tahun depan, maka kami akan berpuasa pada hari kesembilan” mengandung dua hal. Pertama: beliau ingin memindahkan hari kesepuluh ke hari kesembilan. Kedua: beliau ingin menambahkan hari kesembilan kepada hari kesepuluh dalam berpuasa. Ketika beliau wafat sebelum menjelaskan itu, maka sikap kehati-hatian adalah berpuasa dua hari itu . Oleh karena itu, puasa ‘Asyura itu tiga tingkatan. Yang paling rendah adalah berpuasa hari ‘Asyura saja. Tingkatan di atasnya adalah berpuasa pada hari kesembilan bersama hari ‘Asyura. Dan tingkatan di atasnya adalah berpuasa hari kesembilan dan kesebelas bersama hari ‘Asyura. Wallahu’lam.” (Fathu Al-Bari: 4/375)

Imam Ibnu Rajab berkata:

”Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh Muharram bersama adalah Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Ishaq. Adapun Imam Abu Hanifah menganggap makruh jika seseorang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja.” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 99)

Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami berkata: “Hikmah berpuasa Tasu’a adalah untuk menyelisihi orang-orang Yahudi. Dan disunnahkan berpuasa hari kesebelas.” (Tuhfah Al-Muhtaj: 1/532)

Imam Asy-Syaukani berkata: “Dan zhahirnya bahwa untuk lebih berhati-hati adalah berpuasa 3 hari yaitu hari kesembilan, kesepuluh dan kesebelas. Maka puasa ‘Asyura itu ada tiga tingkatan: Pertama: puasa hari kesepuluh saja. Kedua: puasa hari kesembilan bersama hari kesepuluh. Ketiga: puasa kesebelas bersama keduanya.” (Nailu Al-Awthar: 4/351)

Syaikh Mansur Ali Nashif berkata: “Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad dan lainnya berkata: Disunnahkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh karena Nabi ﷺ meskipun berpuasa pada kedua hari itu secara terpisah masing-masing, namun beliau berniat berpuasa keduanya bersama jika panjang umurnya. Dan karena perkataan Ibnu Abbas: “Puasalah hari kesembilan dan kesepuluh, dan berbedalah dengan orang-orang Yahudi.” Dan sebahagian ulama berpuasa pada hari kesembilan, kesepuluh dan sebelas. Ini lebih berhati-hati. Wallahu a’lam” (At-Taj Al-Jami’ li Al-Ushul fi Ahadits Ar-Rasul: 2/82).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata: “Di antara puasa sunnah adalah puasa di bulan Allah Muharram. Bulan Allah Muharram adalah bulan antara Zulhijjah dan Shafar. Mengenai bulan ini, Rasulullah ﷺ bersabda: “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah Muharram”, terutama puasa hari kesepuluh dari bulan Muharram, atau kesepuluh dan kesembilan, atau kesembilan, kesepuluh dan kesebelas.” (Syarhu Riyadhis Shalihin: 5/299).

Syaikh Al-Utsaimin juga berkata: “Rasulullah berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa ‘Asyura, namun beliau memerintahkan untuk berbeda dengan orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh Muharram seperti berpuasa hari kesembilan atau hari kesebelas bersama dengan ‘Asyura. Oleh karena itu, sebahagian ulama rahimahumullah seperti imam Ibnu Al-Qayyim dan lainnya menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura itu ada tiga bagian: Pertama: Kita berpuasa ‘Asyura dan hari kesembilan Muharram. Ini jenis yang paling utama. Kedua: kita berpuasa ‘Asyura dan hari kesebelas. Ini lebih rendah dari yang pertama. Ketiga: kita berpuasa ‘Asyura saja. Ini makruh menurut sebahagian ulama, karena Nabiﷺ memerintahkan untuk berbeda dengan orang-orang Yahudi. Namun sebahagian ulama lain ini memberikan keringanan padanya. (Syarhu Riyadhis Shalihin: 5/305).

Syaikh Sayyid Sabiq berkata: “Para ulama menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura itu ada 3 tingkatan:

Tingkatan pertama: Puasa 3 hari yaitu hari kesembilan, kesepuluh dan kesebelas.

Tingkatan kedua: puasa hari kesembilan dan kesepuluh.

Tingkatan ketiga: Puasa hari kesepuluh saja.” (Fiqhu As-Sunnah: 1/317).

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa lalu berkata: Yang lebih utama adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh dari bulan Muharram karena mengingat hadits Ibnu ‘Abbas, “Apabila aku masih diberi kehidupan tahun depan, aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” Jika ada yang berpuasa pada hari kesepuluh dan kesebelas atau berpuasa tiga hari sekaligus (9, 10 dan 11 Muharram) maka itu semua baik. Semua ini dengan maksud untuk menyelisihi Yahudi.” (Fatwa Syaikh Ibnu Baz)

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili berkata: “Jika tidak berpuasa Tasu’a bersama ‘Asyura, disunnahkan berpuasa hari kesebelas bersama ‘Asyura. Bahkan Imam Asy-Syafi’i menegaskan di kitab Al-Um dan Al-Imla’ sunnahnya berpuasa pada tiga hari itu. Para ulama Hanabilah menyebutkan bahwa jika awal bulan tidak jelas bagi seorang muslim, maka dia berpuasa tiga hari, untuk meyakini puasanya.” (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu: 3/1643)

Syaikh Hasan Ayyub berkata: “Disunnahkan menggabungkan puasa ‘Asyura puasa dengan puasa hari kesembilan dan kesebelas dari bulan Muharram untuk menyelisihi puasa orang-orang Yahudi. (Fiqhu Al-‘Ibadat bi Adillatiha: 430)

Keutamaan-keutamaan ‘Asyura

Adapun keutamaan puasa ‘Asyura di antaranya:

Pertama: Menghapus dosa-dosa setahun yang lalu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah ia berkata: Rasulullahﷺ ditanya tentang puasa ‘Asyura? Maka beliau bersabda: “Saya berharap kepada Allah puasa ‘Asyura dapat menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat lain dari Abu Qatadah ra. ia berkata: Rasulullahﷺ bersabda: “Puasa hari ‘Arafah menghapus dosa dua tahun setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Dan puasa ‘Asyura menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Al-Jama’ah kecuali Al-Bukhari dan At-Tirmizi).

Kedua: Puasa Asyura adalah termasuk puasa yang paling utama, karena dilakukan di bulan Allah yang agung dan mulia yaitu bulan Muharram sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullahﷺ. ditanya: Shalat apa yang paling utama setelah shalat wajib? Rasulullahﷺ bersabda: “Shalat di tengah malam”. Lalu ditanya lagi: Puasa apa yang paling utama setelah puasa Ramadhan? Rasulullahﷺ. bersabda: “Bulan Allah yang kalian memanggilnya Muharram” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud).

Ketiga: Rasulullahﷺ selalu berpuasa ‘Asyura sejak sebelum diangkat menjadi Rasul sampai meninggal. Beliau tidak pernah meninggalkannya. Bahkan memerintahkan umat Islam berpuasa. Dalilnya hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. ia berkata: Hari ‘Asyura merupakan hari puasa orang-orang kaum Quraisy pada masa jahiliah. Rasulullahﷺ berpuasa ‘Asyura. Ketika beliau mendatangi Madinah, beliau berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa ‘Asyura. Ketika diwajibkan puasa Ramadhan beliau bersabda: “Barangsiapa yang ingin berpuasa ‘Asyura maka silakan berpuasa. Dan barangsiapa yang tidak berpuasa maka silakan tidak berpuasa.” (Muttafaq ‘Alaih).

Puasa ‘Asyura merupakan hari yang agung di mana pada hari itu Nabi Musa berpuasa sebagai rasa syukur atas nikmat Allah swt yang telah menyelamatkannya dan kaum dari fir’aun. Maka Rasulullah ﷺ mengikuti Nabi Musa dalam berpuasa ‘Asyura dan mengatakan lebih berhak mengikutinya daripada orang-orang Yahudi dan Nasrani karena ada persamaan syariat Nabiﷺ dengan syariat Nabi Musa dalam tauhid dan Ushuluddin serta beriman kepada Nabi Musa. Adapun Yahudi dan Nasrani tidak demikian. Namun, untuk membedakan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, Rasulullahﷺ berniat berpuasa Tasu’a bersama dengan ‘Asyura pada tahun depannya, meskipun beliau tidak dapat melakukannya karena telah wafat terlebih dahulu.*

Penulis adalah dosen Fiqh dan Ushul Fiqh UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh, International Islamic University Malaysia (IIUM).

Oleh:  Muhammad Yusran Hadi

HIDAYATULLAH