Islam tidak Menghargai Perempuan? Ini Buktinya

Tidak sedikit yang beranggapan dengan pengetahuan sempit bahwa Islam memposisikan perempuan sebagaimana manusia kedua setelah laki-laki. Mereka memojokkan Islam sebagai agama yang merendahkan wanita. Biasanya mereka beralasan karena Islam mewajibkan ketaatan seorang istri kepada suami atau karena adanya aturan kebolehan menikahi perempuan lebih dari satu.

Anehnya, ada juga oknum umat Islam yang memanfaatkan ayat dan dalil untuk memperlakukan buruk perempuan. Ada sebagian yang mengatasnamakan mengikuti sunnah Rasulullah untuk menikahi perempuan lebih dari satu. Padahal terkadang mereka berlindung dari dalil atas memuaskan nafsu. Karena mereka tidak melihat semangat Rasulullah dalam melakukan poligami.

Fakta-fakta umat Islam lah sejatinya yang membuat citra buruk terhadap Islam. Namun, sesungguhnya Islam sangat menghargai posisi perempuan. Mari kita lihat.

Memang di dalam Islam, seorang istri diharuskan untuk taat kepada suami semata mereka dianggap sebagai pemimpin. Namun, suami juga iperintaghkan untuk patuh terhadap perempuan yakni kepada ibunya sebanyak tiga kali dibanding ayahnya. Dari sini saja sudah seharusnya kita bisa menilai bagaimana Islam memberikan keistimewaan kepada seorang perempuan.

Perempuan mendapatkan penempatan mulia dalam agama Islam sampai-sampai terdapat surah dalam al-Quran yang menjelaskan kemuliaan seorang wanita. Al-Qurana memberikan nama khusus perempuan (an-nisa’) yang menunjukkan bentuk afirmasi Islam terhadap perempuan di tengah pandangan masyarakat Arab yang peyoratif dan diskriminatif terhadap perempuan. Dalam surah an-Nisa juga tertuliskan hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dari pada dalam surah yang lain.

Tentang suami-suami yang memiliki istri lebih dari satu wanita, Allah telah memperingatkan mereka dalam al-Quran surah an-Nisa ayat 3 yang berbunyi, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Jika sebagai seorang laki-laki muslim kalian takut berbuat zalim terhadap anak-anak yatim karena merupakan dosa besar, maka takutlah juga akan penderitaan yang dialami oleh istri-istri kalian jika kalian tidak berlaku adil. Seorang laki-laki dalam Islam diperbolehkan menikahi lebih dari 1 wanita dan maksimal 4 wanita namun bagi laki-laki diharuskan untuk bersikap adil, jika dirasa tidak mampu adil, sebaiknya seorang wanita saja yang dinikahi. karena perbuatan yang tidak adil kepada istri merupakan tindakan yang zalim dan aniaya.

Sebenarnya prinsip poligami disyariatkan sebelumnya oleh agama-agama samawi, seperti syariat Taurat yang menetapkan seorang laki- laki yang boleh menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya. Taurat merupakan kitab perjanjian lama yang menjadi rujukan orang Nasrani manakala mereka tidak menemukan ketentuan hukum dalam Injil atau risalah-risalah rasul yang bertentangan dengannya. Di abad pertengahan gereja di Eropa membolehkan praktik poligami. Sebagaimana para raja banyak melakukan praktik poligami.

Dalam hal poligami, sebenarnya Islam merupakan agama samawi yang satu-satunya memberikan batasan untuk berpoligami. Sebelum lebih jauh salah memahami tentang poligami dalam Islam, di sini akan saya ungkapkan tentang syarat dalam berpoligami. Pertama, jumlah istri tidak boleh lebih dari empat. Kedua, suami tidak boleh berlaku zalim terhadap salah satu dari mereka, atau suami diwajibkan adil bukan hanya dalam hal materi, tapi juga kasih sayang. Para ulama ahli fikih menetapkan bahwa barang siapa laki-laki yang merasa yakin dirinya tidak akan dapat bersikap adil terhadap wanita yang akan dinikahinya, maka pernikahan itu haram hukumnya.

Sayangnya status keharaman itu hanya terbatas pada etika agama saja, dan tidak masuk dalam larangan peradilan, karena dalam peradilan dibutuhkan bukti, sedangkan dalam hal adil merupakan sikap dan niat saja. Sikap adil terhadap semua istri merupakan persoalan individu yang hanya diketahui oleh yang bersangkutan. Sedangkan kemampuan memberi nafkah merupakan perkara nisbi (tergantung dari orang yang memandang) yang tidak bisa dibatasi oleh satu ukuran tertentu.

Apabila seorang laki-laki dirasa telah berbuat zalim kepada istri-istrinya dan tidak berlaku adil, maka Islam memberikan hak kepada istri untuk menuntut cerai. Dalam surat an-Nisa ayat 19, Allah juga menyuratkan “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa, seorang laki-laki tidak diperkenankan memperlakukan wanita seperti barang pusaka yang mereka warisi sebagai Istri tanpa mahar, jangan memaksa mereka karena wanita memiliki hak untuk mendapatkan mahar. Dan bagi kalian laki-laki yang telah memberikan mahar tidak diperbolehkan bagi kalian untuk mengambil kembali harta yang sudah diserahkan sebagai mahar, kecuali jika istri jelas-jelas berbuat dosa seperti berselingkuh atau berperilaku buruk, suami diperbolehkan untuk mengambil sebagian apa yang telah diberikan kepada mereka ketika bercerai.

Seorang suami juga bertanggungjawab untuk mempergauli istri dengan ucapan dan tindakan yang baik. Apabila kalian tidak menyukai mereka karena cacat fisik, cacat moral atau lainnya, maka bersabarlah dan jangan tergesa-gesa menceraikan mereka. Sebab, bisa jadi dalam sesuatu yang tidak kalian senangi, Allah memberikan kebaikan yang banyak. Sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu yang tidak manusia ketahui.

Prinsip-prinsip di atas dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme Islam menghargai dan melindungi perempuan. Semangat Al-Quran ini yang terkadang tidak dimaknai secara proporsional sehingga terkesan perempuan manusia nomor dua dalam Islam. Sesungguhnya Islam memiliki perhatian penuh terhadap perempuan, jauh sebelum adanya isi feminisme dan kesetaraan perempuan dan laki-laki. Islam pada zaman itu sudah mendobrak cara berpikir patriarki yang sangat kental dengan mendudukkan perempuan pada posisinya yang terhormat.

waallahu ‘alam.

ISLAM KAFFAH

2 Tips Melindungi Anak Berinternet

SAHABAT Islampos, saat ini internet bisa diakses oleh siapa saja, tidak terkecuali anak-anak. Tentu saja anak-anak perlu dibentengi dari pengaruh buruk internet. Bagaimana tips melindungi anak berinternet?

Islam mengajarkan caranya. Keberadaan internet saat ini memudahkan kita untuk mengakses informasi dari mana saja atau tentang apa saja. Tentu hal ini sangat bermanfaat. Namun di sisi lain, ada juga dampak buruk yang menyertainya, seperti akses ke situs pornografi yang mengancam siapapun, terutama generasi muda.

Menanggapi ini, cendekiawan Muslim terkemuka, Syekh Muhammad Iqbal Nadvi yang merupakan Imam Masjid Calgary, Alberta, Kanada memberikan beberapa saran untuk menghindarkan anak dari bahaya pornografi di internet. Beberapa tips ini bisa dilakukan para orang tua kepada anak-anaknya.

Dikutip dari About Islam, mantan Profesor di Universitas King Saud, Riyad, Arab Saudi, menyebut, tugas orang tua adalah untuk membesarkan anak-anak mereka di atas ajaran Islam dengan menggunakan segala cara yang baik, salah satunya terkait berselancar di internet.

Sebenarnya internet bahkan dapat membantu orang tua untuk mengajarkan kebaikan jika digunakan dengan benar. Namun, orang tua harus membimbing anak-anak mereka tentang cara menggunakan internet dengan cara yang positif dan melindungi mereka dari penyalahgunaan layanan ini.

Tips melindungi anak berinternet

tips melindungi anak berinternet
Ilustrasi. Foto: Kids Speak

Ada banyak cara untuk melindungi anak dan diri kita sendiri dari yang haram (melanggar hukum) sebagai berikut:

  1. Dengan menciptakan penghalang antara kita dan dosa.
  2. Dengan memberikan alternatif untuk membawa kita jauh dari yang haram.

Jika menerapkan ini, orang tua perlu membangun saluran komunikasi yang kuat dan sehat dengan anak-anak dan menjelaskan kepada mereka posisi Islami mengenai masalah ini dan bagaimana menghadapinya. Cara terbaik untuk mencapai ini adalah menjadi panutan yang baik bagi anak-anak Anda. Jika mereka melihat Anda sebagai contoh yang baik, mereka akan belajar yang baik dari Anda juga.

Orang tua harus memperkenalkan alternatif kepada mereka. Ada banyak situs web Islami yang bagus yang dapat mereka kunjungi dan pelajari. Mereka dapat diberikan tugas untuk dilakukan di setiap situs web dan kemudian menerima hadiah untuk itu. Yang terpenting orang tua harus mengajari anak-anaknya bagaimana memilih teman yang tepat, yang sadar akan ajaran Islam dan dapat melindungi mereka dari belajar tentang yang haram.

Penting juga untuk memberikan pemahaman Islam terkait masalah ini, seperti memberikan dalil-dalil Islam dalam menjaga pandangan dan menjauhkan dari yang haram.

Berikut ini adalah beberapa ayat Alquran dan hadits yang berbicara tentang pentingnya menundukkan pandangan, menghindari dosa, dan menjaga akhlak Islam.

  1. Surat An-Nur ayat 30-31
  2. Surat An-Nur ayat 19
  3. Surat An-Nur ayat 21
  4. Surat An-Nur ayat 27, tentang adab hidup berkeluarga.
  5. Surat An-Nur ayat 58-59

Ada juga hadits yang bisa diajarkan kepada anak-anak terkait ini, antara lain:

إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه

“Sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya.” (HR. Bukhari).

Itulah sekelumit tips menghindarkan anak dari pengaruh buruk internet. []

SUMBER: ABOUT ISLAM

ISLAMPOS

13 Sunah nabi Muhammad ﷺ yang Jarang Diketahui Muslim

SAHABAT Islampos, muslim meneladani Nabi Muhammad ﷺ dengan mengamalkan sunahnya. Diantara sekian banyak sunah nabi Muhammad ﷺ yang diamalkan muslim, ada, loh, beberapa sunah yang masih jarang diketahui. Apa saja sunah nabi Muhammad ﷺ tersebut?

Berikut beberapa sunnah Nabi yang menurut Khawlah binti Yahya, seorang aktivis muslimah di Inggris, sudah banyak dilupakan atau mungkin tidak mengetahuinya:

1 Sunah nabi Muhammad ﷺ: Membersihkan tempat tidur

Dilansir dari About Islam, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya: “Jika salah seorang di antara kalian pergi tidur, hendaklah dia membersihkan tempat tidurnya dengan memukulnya dengan pakaiannya, karena dia tidak tahu apa yang telah menimpanya. Kemudian biarkan dia berbaring di sisi kanannya …” (HR. Bukhari dan Muslim)

Seorang Muslim dianjurkan membersihkan tempat tidurnya. Hal ini untuk selain untuk kesehatan tapi juga untuk melindungi diri dari serangga atau hal yang membahayakan diri.

2 Sunah nabi Muhammad ﷺ: Berdoa ketika di pasar

Nabi bersabda yang artinya: Barang siapa memasuki suatu pasar dan berkata:

“Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumiitu wa huwa hayyun laa yamuutu, biyadihiil khaiir wa huwa ala kulli shayy’in qodiir”

“(Tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah semata, Dia tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia berkuasa dan bagi-Nya segala puji, Dia menghidupkan dan mematikan, Dialah yang hidup dan tidak mati, dalam tangan adalah kebaikan dan dia mampu melakukan segala sesuatu) Allah akan menulis untuknya seribu ribu pahala dan menghapus darinya seribu ribu dosa dan mengangkatnya seribu ribu dan membangunkan untuknya sebuah rumah di Jannah!” (HR. An-Nasa’i, At-Tirmidzi)

Muslim dapat menemukan doa ini di buku doa saku terkenal Hisn-ul Muslim, bawalah ini, atau tuliskan di atas kertas dan keluarkan setiap kali Anda pergi ke suatu tempat di mana ada orang dan berdagang (ya, bahkan supermarket karena semuanya berada di bawah aturan pasar) dan perhatikan seberapa cepat Anda akan menghafalnya insya Allah!

3 Sunah nabi Muhammad ﷺ: Minum air putih setelah minum susu

Dianjurkan oleh Nabi, setelah minum susu maka minum air. Setelah mendapatkan air, dia berkumur lalu berkata:

“Ini memiliki lemak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Imam An-Nawawi berkata dalam Sharh Shahih Muslim: Hadits ini menegaskan dianjurkan untuk berkumur setelah minum susu.

4 Sunah nabi Muhammad ﷺ: Mengucap Bismillah saat melepas pakaian

Saat menanggalkan pakaian, Nabi mencontohkan untuk mengucapkan Bismillah atau menyebut nama Allah sebelum masuk toilet. Ini akan mencegah jin melihat aurat Anda atau menyakitimu. Nabi berkata yang artinya:

“Untuk memasang penghalang yang menghalangi jin melihat aurat anak Adam, maka hendaklah salah seorang dari kalian mengucapkan Bismillah ketika memasuki toilet.” (HR. At-Tirmidzi)

5 Sunah nabi Muhammad ﷺ: Merasa diganggu saat sholat, baca doa ini

Utsman bin Abi’l-‘Aas pernah datang kepada Nabi dan berkata: Wahai Rasulullah, setan mengganggu antara aku dan shalatku dan bacaanku, dan dia membuatku bingung. Rasulullah bersabda yang artinya: “Itu adalah setan yang disebut Khinzab. Jika kamu merasakan hal itu, maka berlindunglah kepada Allah darinya (misalnya ‘Audhu Billahi min-as-shaytaanir rajeem) dan ludahlah ke kiri tiga kali. Dia berkata: Saya melakukan itu dan Allah mengambilnya dari saya.” (HR. Muslim)

Sunah nabi Muhammad ﷺ: Istinsyaq usai bangun dari tidur

Nabi berkata yang artinya: “Ketika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, ia harus meniup hidungnya tiga kali, karena setan bermalam di dalam lubang hidungnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

7 Sunah nabi Muhammad ﷺ: Istirahat dalam sholat

Sahabat Nabi, Anas berkata, “Saya berdoa seperti saya melihat Rasulullah memimpin kami. Thabit berkata, ‘Anas biasa melakukan sesuatu yang saya tidak melihat Anda lakukan; ketika dia mengangkat kepalanya dari ruku’, dia berdiri (begitu lama) sehingga orang akan berkata, ‘Dia lupa (sujud dalam sujud/sujud). Dan ketika dia mengangkat kepalanya dari sujud (sujud), dia tetap dalam posisi itu, sampai seseorang berkata, ‘Dia lupa (sujud dalam sujud untuk sujud kedua).’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Ibnul Qayyim berkata, “Sunnah ini ditinggalkan oleh banyak orang setelah masa para sahabat berakhir. Ketika Anda berhenti di antara dua sujud, Anda dapat mengatakan, ‘Rabbi-ghfirli Rabbi-ghfirli’(Ya Tuhan, ampuni aku, Tuhan, ampuni aku), seperti yang biasa didoakan oleh Nabi.

8 Sunah nabi Muhammad ﷺ: Menggunakan sutrah saat sholat sendiri

Nabi berkata yang artinya: “Jika ada di antara kalian yang meletakkan sesuatu di depannya, (paling tidak) sama tingginya dengan punggung sadel, maka hendaknya dia shalat tanpa mempedulikan siapa yang lewat [di depannya] di sisi yang lain (berlawanan).” (HR. Muslim)

Sutrah dapat berupa apa saja yang diletakkan seseorang di depan dirinya saat dia berdoa, seperti tembok atau tongkat panjang, dan semacamnya. Bagian belakang sadel tingginya kira-kira dua pertiga hasta (jadi sutrah harus setidaknya sama panjangnya). Bahkan bisa berupa tas tangan atau benda lain dengan panjang ini.

9 Sunah nabi Muhammad ﷺ: Mengenakan alas kaki dari bagian kanan dan melepas dari kiri

Nabi berkata yang artinya: “Jika salah seorang dari kalian memakai sepatu, hendaklah ia memulai dengan yang benar. Dan ketika dia melepasnya, biarkan dia mulai dengan kiri. Dan biarkan dia memakai keduanya atau biarkan dia melepas keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Banyak yang mungkin tahu untuk memulai dengan kanan, tetapi banyak yang tidak tahu untuk melepasnya dari kiri.

10 Sunah nabi Muhammad ﷺ: Tidak mencela makanan

Diriwayatkan atas otoritas Abu Hurairah bahwa ia mengatakan Rasulullah tidak pernah mencela makanan. Jika dia menyukainya, dia memakannya dan jika dia tidak menyukainya, dia meninggalkannya. (HR. Muttafaqalaih)

11 Sunah nabi Muhammad ﷺ: Adab bertamu

Nabi berkata yang berarti: Para ulama telah menasihati kita bahwa ketika bertamu untuk mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Namun, jika tidak mendapat jawaban disarankan untuk berbalik.

“Meminta izin adalah tiga kali. Jika Anda diberi izin maka Anda bisa, jika tidak kembali.” (HR. Muslim)

12 Sunah nabi Muhammad ﷺ:  Menguap besar?

Nabi berkata yang artinya: “Menguap itu dari setan. Maka bila seorang dari kalian menguap hendaklah sedapat mungkin ditahannya karena bila seseorang dari kalian menguap dengan mengeluarkan suara haa, setan akan tertawa.” (HR. Imam Bukhari).

13 Sunah nabi Muhammad ﷺ: Jangan minum seperti unta!

Nabi berkata yang artinya: “Jangan minum dalam sekali tarikan nafas seperti yang dilakukan unta. Sebaliknya, minum dua kali dan tiga kali, dan menyebut Nama (Allah) sebelum minum dan bersyukur (Dia) setelah selesai.” (HR. At-Tirmidzi)

Dianjurkan juga untuk duduk saat minum, istirahat saat minum daripada menelannya dan mengucapkan Alhamdulillah setelahnya.

Nah, itulah 13 sunah nabi Muhammad ﷺ yang mungkin jarang diketahui muslim atau malah terlupakan. []

SUMBER: ABOUT ISLAM

ISLAMPOS

Bagaimana Cara Bersedekah Orang Miskin?

Bagaimana cara bersedekah orang miskin? Dalam Islam sedekah merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Banyak hadis-hadis Nabi yang menjelaskan keutamaan sedekah, salah satunya hadits no.29 yang terdapat di dalam kitab al-Arba‘in an-Nawawiyyah yang berbunyi:

“والصدقة تطفئ الخطيئة كما يطفئ الماء النار”

“Dan sedekah bisa menghapus kesalahan (dosa) sebagaimana air yang bisa memadamkan api” (HR. Imam at-Tirmidzi).

Hal tersebut bisa terjadi karena dengan bersedekah kita bisa membantu meringankan beban dari saudara-saudara kita yang membutuhkan. Namun untuk bersedekah, harus ada harta atau barang yang dimiliki dan kemudian diberikan kepada orang lain. Lalu bagaimana mereka yang tidak mempunyai apa-apa untuk bersedekah? Apakah amalan sedekah ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang kaya saja?.

Di dalam kitab Shahih Muslim, hadis no.1006 menceritakan bahwa ada sebagian para sahabat yang tidak mempunyai harta atau barang untuk disedekahkan, dan mereka merasa iri dengan sahabat lain yang memiliki harta dan bisa mendapatkan pahala dengan cara bersedekah, lalu mereka mendatangi Nabi seraya berkata:

“Wahai Rasulullah! Orang-orang kaya telah mendapatkan pahala yang banyak, mereka sholat dan puasa sebagaimana kami. Selain itu mereka juga bisa bersedekah dengan kelebihan harta yang mereka miliki”, mendengar ucapan tersebut, Nabi pun meresponnya dengan berkata:

“أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ، وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ”

“Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu untuk kalian yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya setiap tasbih (ucapan SUBHANALLAH) itu adalah sedekah, setiap takbir (ucapan ALLAHU AKBAR) itu adalah sedakah.

Setiap tahmid (ucapan ALHAMDULILLAH) itu adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan LA ILAHA ILLALLAH) itu adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari perbuatan mungkar adalah sedekah dan bercampurnya (bersetubuh) seorang dari kalian dengan istrinya juga termasuk sedekah” (HR. Muslim No.1006). 

Di dalam hadis yang lain pun Nabi Muhammad SAW juga mengatakan bahwa hanya dengan memasang wajah yang ceria di hadapan orang lain, kita juga bisa mendapatkan pahala bersedekah:

“تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ”

 “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedakah” (HR. Imam at-Tirmidzi).

Dan masih banyak lagi hadis Nabi yang menjelaskan bahwa sedekah bukan hanya bisa dilakukan dengan cara memberikan harta kepada orang lain. Dengan berdasarkan hadis-hadis tersebut, kita bisa mengambil pelajaran bahwa suatu amalan yang diajarkan Rasulullah SAW bukan hanya untuk diamalkan oleh golongan tertentu saja.

Akan tetapi amalan tersebut diperuntukkan bagi siapa saja yang mau mengerjakannya. Dan juga dari hadis-hadis itu dapat diketahui bahwa ada banyak cara untuk bersedekah dan masuk surga.

Demikian penjelasan bagaimana cara bersedekah orang miskin? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Di Dada Orang Berilmu Ada Ayat-Ayat Alquran

Allah SWT menjelaskan bahwa sebenarnya ayat-ayat Alquran jelas dan tidak ada keraguan padanya, bagi orang-orang berilmu. Meski jelas, orang-orang zalim tetap mengingkari kebenaran ayat-ayat Alquran. Hal ini dijelaskan dalam tafsir Surah Al-Ankabut Ayat 49.

بَلْ هُوَ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ فِيْ صُدُوْرِ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَۗ وَمَا يَجْحَدُ بِاٰيٰتِنَآ اِلَّا الظّٰلِمُوْنَ

Sebenarnya, ia (Alquran) adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang berilmu. Tidaklah mengingkari ayat-ayat Kami, kecuali orang-orang zalim. (QS Al-Ankabut: 49)

Ayat ini mengandung arti, sebenarnya Alquran adalah ayat-ayat yang jelas, tidak ada sedikitpun keraguan padanya, yang terpelihara di dalam dada orang-orang yang berilmu, melalui tradisi hafalan turun-temurun. Sehingga tidak seorangpun dapat mengubahnya dari segi pemahaman dan pengamalannya. Hanya orang-orang yang zalim yang mengingkari ayat-ayat Kami dengan menutup diri dari kebenaran Alquran.

Menurut Tafsir Kementerian Agama, ayat ini menegaskan bahwa ayat-ayat Alquran merupakan petunjuk Allah, tidak ada kesamaran sedikit pun tentang pengertiannya. Allah memudahkan penafsirannya bagi orang-orang yang ingin mencari kebenaran yang hakiki.

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman, “Dan sungguh, telah Kami mudahkan Alquran untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS Al-Qamar: 17)

Para Ahli Kitab yang ingin mencari kebenaran, dengan mudah dapat memahami Alquran. Dengan demikian, mereka mau beriman kepadanya dan meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah benar-benar seorang Rasul. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada orang-orang kafir yang tidak percaya kepada kerasulan beliau.

Berkatalah orang-orang kafir, “Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasul.” Katakanlah, “Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu, dan antara orang yang mempunyai ilmu Al Kitab.” (QS Ar-Ra‘d: 43)

Maksud ayat di atas adalah ulama-ulama Ahli Kitab menjadi saksi atas kerasulan Nabi Muhammad, karena telah membaca dalam kitab-kitab mereka akan kedatangannya. Dengan demikian, ada di antara Ahli Kitab yang beriman kepada Nabi Muhammad, di antaranya orang-orang yang telah disebutkan di atas.

Allah menegaskan lagi bahwa Alauran itu terpelihara dalam dada kaum Muslimin. Mereka menghafalnya secara turun temurun sehingga tidak seorangpun dapat mengubahnya.

Selanjutnya ayat ini menerangkan bahwa tidak ada seorang pun yang mengingkari ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang zalim. Ayat ini merupakan isyarat bagi Ahli Kitab bahwa mereka telah mengetahui dari kitab suci mereka tentang kenabian Nabi Muhammad dan penurunan Alquran kepadanya. Namun demikian, banyak di antara mereka yang mengingkari kebenaran itu setelah mengetahuinya.

Allah berfirman, “Ternyata setelah sampai kepada mereka apa yang telah mereka ketahui itu, mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah bagi orang-orang yang ingkar.” (QS Al-Baqarah: 89)

Selain bermakna isyarat bagi Ahli Kitab, ayat ini juga merupakan cercaan Allah yang ditujukan kepada orang-orang musyrik Makah yang mengingkari ayat-ayat-Nya. Mereka tidak percaya kepada Alquran dan kerasulan Nabi Muhammad SAW yang sudah menjadi kebenaran yang nyata.

Mereka ini disebut oleh Allah sebagai orang yang zalim. Sifat zalim ini adalah sifat yang paling tepat bagi mereka karena menyembunyikan kebenaran yang sebetulnya telah mereka ketahui.

Allah berfirman, “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian dari Allah yang ada padanya?” (QS Al-Baqarah: 140)

IHRAM

Mengenal Lebih Dekat Kunci Surga (Bag. 1)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Apakah kunci surga itu?

Dalam Shahihul Bukhari, ditanyakan kepada Wahb bin Munabbih,

أَلَيْسَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مِفْتَاحُ الْجَنَّةِ

“Bukankah lailahaillallah adalah kunci surga?”

Beliau menjawab,

بَلَى وَلَكِنْ لَيْسَ مِفْتَاحٌ إِلاَّ لَهُ أَسْنَانٌ فَإِنْ جِئْتَ بِمِفْتَاحٍ لَهُ أَسْنَانٌ فُتِحَ لَكَ وَإِلاَّ لَمْ يُفْتَحْ لَكَ

“Ya, benar. Namun tidak ada kunci, kecuali pasti memiliki gigi. Jika anda membawa kunci yang bergigi, pintu akan terbuka untuk anda. Namun, jika tidak, maka pintu tidak akan terbuka untuk anda.”

Mengapa لا إله إلا الله kunci surga?

Lailahaillallah itu kunci surga karena lailahaillallah itu asas diterimanya amal saleh. Maka, tidaklah diterima suatu amal dari orang yang tidak bersaksi lailahaillallah, karena surga tertutup untuknya. Dan surga mustahil dibuka, kecuali untuk orang yang mentauhidkan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَدِمْنَآ اِلٰى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنٰهُ هَبَاۤءً مَّنْثُوْرًا

“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqon: 23)

Dan barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah dengan selamat, maka dia wajib menghindari syirik dalam menauhidkan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا ࣖ

Maka, barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

لا إله إلا الله adalah kunci surga, lalu apakah gigi-gigi kuncinya? 

Gigi kunci surga adalah pengamalan syari’at Islam, yaitu setidaknya melaksanakan yang wajib dan meninggalkan yang haram. Serta menjadi lebih sempurna dengan melaksanakan yang sunah, meninggalkan yang makruh, serta sebagian yang halal. Sebagaimana hadis dalam Shahihul Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang A’rabi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu dia bertanya kepada beliau,

دُلَّنِي علَى عَمَلٍ إذَا عَمِلْتُهُ دَخَلْتُ الجَنَّةَ

“Tunjukkan kepadaku sebuah amal saleh yang jika aku melakukannya, aku akan masuk ke dalam surga.”

Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تَعْبُدُ اللَّهَ لا تُشْرِكُ به شيئًا، وتُقِيمُ الصَّلَاةَ المَكْتُوبَةَ، وتُؤَدِّي الزَّكَاةَ المَفْرُوضَةَ، وتَصُومُ رَمَضَانَ

“Engkau beribadah kepada Allah, jangan kau menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, engkau menegakkan salat wajib, engkau menunaikan zakat yang telah diwajibkan, dan engkau berpuasa Ramadan.”

Orang tersebut berkata,

والذي نَفْسِي بيَدِهِ لا أزِيدُ علَى هذا

“Demi Allah Yang jiwaku ada di tangan-Nya. Aku tidak akan menambah amalan saleh selainnya.”

Tatkala dia pergi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن سَرَّهُ أنْ يَنْظُرَ إلى رَجُلٍ مِن أهْلِ الجَنَّةِ، فَلْيَنْظُرْ إلى هذا

“Barangsiapa yang ingin melihat salah satu penduduk Surga, maka lihatlah orang ini.” (HR. Bukhari)

Syarat لا إله إلا الله

Syarat lailahaillallah ada tujuh:

Pertama, ilmu, lawan dari tidak tahu.

Kedua, yakin, lawan dari ragu.

Ketiga, ikhlas, lawan dari syirik dan riya’.

Keempat, jujur, lawan dari dusta.

Kelima, cinta, lawan dari benci.

Keenam, menerima, lawan dari menolak.

Ketujuh, tunduk taat kepada Allah, lawan dari meninggalkan ketundukan dan ketaatan kepada Allah.

Makna kalimat tauhid لا إله إلا الله

Maknanya adalah,

لا معبود حق إلا الله   

atau

لا معبود بحق إلا الله

Tidak ada sesembahan yang berhak disembah, kecuali Allah.

Rukun dan tafsir لا إله إلا الله

Rukun لا إله إلا الله ada dua:

Pertama, rukun nafi (لا إله )

Kedua, rukun itsbat (إلا الله)

Tafsir لا إله إلا الله , ditinjau dari rukunnya:

Pertama, tafsir لا إله

Kedua, tafsir إلا الله

Sebagaimana kita telah ketahui bahwa tafsir kalimat tauhid, ditinjau dari global atau tidaknya, terbagi menjadi dua, yaitu tafsir global dan terperinci. Berikut ini kami sampaikan tafsir لا إله إلا الله secara global.

Tafsir لا إله secara global

Pertama, Rukun peniadaan (nafi): meniadakan seluruh sesembahan selain Allah dan meniadakan peribadahan kepada selain Allah.

Kedua, Tidak boleh mempersembahkan ibadah (baik ibadah lahir maupun batin) kepada selain Allah.

Ketiga, Barangsiapa yang mempersembahkan satu saja darinya kepada selain Allah, maka ia dikatakan telah menyembahnya dan menjadi hamba selain Allah tersebut sehingga batal keislamannya.

Keempat, Dalam rukun nafi ini terkandung benci kepada syirik dan pelakunya karena kesyirikannya, dengan tetap tidak boleh menzaliminya dan tetap berlaku adil dan baik kepadanya selama ia tidak memerangi kaum muslimin, guna menampakkan keindahan Islam.

Tafsir إلا الله secara global

Pertama, Rukun penetapan (itsbat): menetapkan satu-satunya sesembahan yang haq adalah Allah saja dan menetapkan ibadah hanya ditujukan kepada Allah Ta’ala semata.

Kedua, Maka, seluruh tuhan selain Allah itu batil. Dan wajib mempersembahkan ibadah baik ibadah lahir maupun batin kepada Allah semata.

Ketiga, Apapun jenis ucapan maupun perbuatan, lahir maupun batin, jika telah sampai pada kategori ibadah, maka wajib dipersembahkan kepada Allah semata.

Keempat, Dalam rukun itsbat terdapat cinta kepada Allah, tauhid, kemudian cinta ahli tauhid.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78968-mengenal-lebih-dekat-kunci-surga-bag-1.html

Pembagian Tauhid Menurut Para Ulama Ahlussunnah (Bag. 1)

Pembagian tauhid merupakan salah satu ijtihad dari para ulama untuk menjelaskan betapa pentingnya aspek-aspek pada ajaran tauhid dalam agama Islam. Pembagian-pembagian yang disampaikan oleh para ulama adalah hasil telaah (istiqra‘) dari berbagai dalil-dalil dalam syariat. Pembagian ini berguna juga untuk memperingatkan umat Islam terkait aspek-aspek yang dapat merusak nilai keimanan seorang muslim terhadap Allah Ta’ala. Bahkan, urgensi ini lebih sangat dibutuhkan lagi jika melihat berbagai ancaman dan tantangan di zaman ini yang penuh fitnah-fitnah yang menerpa umat Islam, mulai dari ajaran-ajaran liberalisme, pluralisme, sekulerisme, singkretisme, sampai pada syubhat-syubhat kesyirikan yang dibungkus sebagai ajaran dari Islam.

Oleh karena itu, pembagian tauhid dalam ajaran agama Islam bukanlah sesuatu yang baru alias bid’ah, melainkan hanyalah sebagai sarana untuk memudahkan umat dalam memahami agama sebagaimana para ulama fikih merumuskan berbagai tatanan aspek-aspek yang menjadi rukun dalam suatu ibadah. Itu merupakan hasil ijtihad sebagai cara/metode yang bertujuan memudahkan umat untuk belajar terkait hukum-hukum dalam sebuah ibadah.

Sebelum membahas pengklasifikasian tauhid, tentunya kita harus memahami makna tauhid secara ringkas. Makna tauhid secara bahasa berasal dari kata وَحَّدَ – يُوَحِّدُ – تَوْحِيْدًا yang memiliki arti  “menjadikan sesuatu esa (tunggal)”. Adapun secara istilah dalam syariat, tauhid dapat diartikan sebagai mengesakan Allah dalam segala hal yang menjadi kekhususan bagi-Nya. Para ulama membagi tauhid dapat ditinjau dari berbagai sisi dan jenis pembagian, di antaranya:

Pembagian tauhid ditinjau dari objek yang dibahas (Allah) 

Jenis pembagian yanng pertama ini adalah pembagian yang masyhur di masa kontemporer ini. Pembagian yang pertama ini menitikberatkan pada sudut pandang dari mu’allaq-nya, yaitu objek yang dibahas, yaitu Allah. Pembagian ini mencakup tiga jenis tauhid, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid asma wa sifat.

Tauhid ar-rububiyyah (توحيد الربوبية)

Tauhid rububiyyah dapat didefiniskan sebagai pengesaan Allah dalam hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan-Nya. Tauhid rububiyyah ini mengandung implementasi bahwasanya seorang hamba harus memiliki keyakinan bahwa hanya Allah semata yang Mahamencipta, Mahamengatur, Mahamenghidupkan, Mahamematikan, Mahamemberikan rezeki, Mahakuat, dan Mahaperkasa. Atau dengan definisi yang lebih mudah, mengesakan Allah dalam seluruh perbuatan-Nya.

Tauhid jenis ini hampir-hampir tidak ada seorang pun yang mengingkari dari umat manusia, kecuali orang yang menyimpang dan menyombongkan diri. Hal ini dikarenakan semua hamba memiliki fitrah dalam hatinya bahwa ada Tuhan Yang Esa dibalik seluruh penciptaan dan pengaturan jagad raya. Hal ini dibuktikan sebagaimana yang Allah firmankan,

قُلۡ مَن رَّبُّ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ ٱلسَّبۡعِ وَرَبُّ ٱلۡعَرۡشِ ٱلۡعَظِیمِ ۝  سَیَقُولُونَ لِلَّهِۚ قُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Katakanlah, ‘Siapakah Tuhan yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki ‘Arsy yang agung?’ Mereka akan menjawab, ‘(Milik) Allah.’ Katakanlah, ‘Maka, mengapa kamu tidak bertakwa?‘” (QS. Al-Mu’minun: 86-87)

Selain faktor fitrah, tauhid rububiyyah ini memiliki banyak sekali bukti yang mempersaksikan bahwa hanya Allah sematalah yang menciptakan, memiliki, menguasai, dan mengatur seluruh alam lewat berbagai ayat kauniyyat, berupa berbagai penciptaan makhluk dan alam semesta yang sempurna, begitu juga dengan keteraturan dari kejadian yang ada di alam semesta begitu teliti dan sempurna. Allah Ta’ala berfirman,

ٱلَّذِینَ یَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِیَـٰمࣰا وَقُعُودࣰا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَیَتَفَكَّرُونَ فِی خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَـٰذَا بَـٰطِلࣰا سُبۡحَـٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali ‘Imran: 191)

Terdapat syair Arab yang masyhur terkait keesaan Allah dalam rububiyyah-Nya, yaitu

وَفِي كُلِّ شيئٍ لَهُ آيَةٌ — تَدُلُّ عَلَى أنَّهُ وَاحِدُ

Di dalam setiap sesuatu terdapat bagi-Nya bukti yang menunjukan bahwa Dia adalah Esa.”

Tauhid al-uluhiyyah (توحيد الألوهية)

Tauhid uluhiyyah dapat didefinisikan sebagai pengesaan Allah dalam seluruh jenis ibadah, hanya ditujukan untuk Allah. Kata “ulūhiyyah” (الألوهية) bermakna “ibadah”, sementara kata asal pembentuknya adalah dari “al-ilah” (الإله) yang berarti “yang disembah”. Maka dari itu, tauhid ini disebut dengan tauhid ibadah (توحيد العِبادة).

Dalil-dalil terkait dengan tauhid uluhiyyah, di antaranya:

وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)

Bahkan, inti dari tauhid ini yaitu ibadah, menjadi tujuan utama diciptakan manusia dan jin di alam semesta ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Konsekuensi dari implementasi tauhid ini adalah wajib bagi setiap mukallaf untuk menyerahkan seluruh ibadah hanya kepada Allah semata. Maka sebaliknya, jika ia menyerahkan sedikit saja dari ibadah kepada selain Allah, maka ia terjerumus pada kesyirikan.

Definisi-definisi ibadah

Arti dari ibadah sendiri, para ulama mendefinisikan dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda-beda, tetapi memiliki makna inti yang sama. Definisi-definisi terkait dengan ibadah dapat dikelompokkan menjadi tiga definisi sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Shalih Al-Fauzan dalam Al-Irsyad Ilaa Ash-Shahih Al-I’tiqad, yaitu:

Pertama, ibadah adalah segala hal yang diperintah oleh syariat dan tidak termasuk padanya hal-hal dari adat kebiasaan maupun hal-hal yang berasal dari konsekuensi logika (akal).

Kedua, ibadah adalah perendahan diri yang disertai dengan rasa cinta dan ketundukan diri yang sempurna. Definisi ini disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Kafiyah Asy-Syafiyah karangan beliau,

وَعِبادَةُ الرحمَن غاية حُبِّه — مَعْ ذُلِّ عَابِدِه هما قُطْبَانِ

عَليهِمَا فَلَكُ العِبَادةِ دائِرٌ — ما دَار حَتّى قَامتْ قُطْبَانِ

Ibadah kepada Allah adalah rasa cinta yang sempurna dibarengi dengan ketundukan seorang hamba. Maka dua unsur tersebut adalah kutub (inti) dari ibadah.

Di atas kedua (unsur kutub) tersebut poros ibadah berjalan, dan tidak akan berjalan (sah) poros ibadah, kecuali dengan tegaknya dua kutub (unsur inti) tersebut.”

Ketiga, ibadah adalah seluruh hal yang mencakup apa-apa yang dicintai dan diridai oleh Allah dari perkataan dan perbuatan, baik yang tampak (zahir) maupun tersembunyi (batin). Definisi ini merupakan definisi yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyyah. Pada pendapat ketiga ini, Al-Hafidz Al-Hakami dalam kitabnya A’lam As-Sunnah Al-Mansyurah menambahkan dengan kalimat “disertai dengan berlepas diri dari hal-hal yang bertentangan dengan hal-hal yang Allah cintai dan ridai”.

Dari ketiga definisi di atas dapat dibuat kompromi yang menandakan maksud dari para ulama adalah satu hal yang sama. Dari sisi pendapat pertama, definisi tersebut ditinjau dari penetapan sesuatu hal itu sebagai ibadah yang sah, maka harus berasal dari wahyu syariat. Maka, tidak boleh mengatakan atau menghukumi suatu perkataan dan perbuatan itu adalah ibadah melainkan dari wahyu syariat. Adapun definisi kedua, maka ia dibangun dari makna bahasa Arab yaitu “perendahan diri” dan unsur yang dikandung dari ibadah, yaitu rasa cinta dan ketundukam yang sempurna. Sementara pendapat ketiga, ditinjau dari konsekuensi sesuatu hal itu disebut ibadah. Maka, hal yang disebut ibadah konsekuensinya pasti dicintai dan diridai oleh Sang Khaliq, Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Rukun kandungan dari suatu ibadah

Ibadah yang diperintahkan mengandung tiga makna utama di dalamnya. Para ulama menyebutnya dengan rukun dalam setiap ibadah. Tiga hal tersebut adalah: 1) cinta, 2) harap, dan 3) takut. Ketiga rukun tersebut dapat diringkas kembali dalam dua rukun saja, yaitu: a) cinta dan b) pengagungan. Sifat dari ibadah yang berkualitas adalah yang mengandung ketiga unsur ibadah tersebut sebagaimana dalam ayat tentang sifat ibadah para nabi. Allah berfirman,

فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَوَهَبْنَا لَهُۥ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُۥ زَوْجَهُۥٓ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا۟ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا خَٰشِعِينَ

Maka, Kami kabulkan (doa)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)

Tauhid al-asma’ wa ash-shifat (توحيد الأسماء والصفات)

Tauhid al-asma’ wa shifat dapat didefinisikan sebagai pengesaan Allah dalam nama-nama dan sifat-sifat Allah. Tauhid jenis ini adalah tauhid yang implementasinya berupa persaksian dan keyakinan bahwa Allah Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna, terbebas dari aib dan kekurangan. Dalil dari tauhid jenis ketiga ini dapat dijumpai dalam firman Allah Ta’ala berikut,

لَیۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَیۡءࣱۖ وَهُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Mahamendengar, Mahamelihat.” (QS. Asy-Syura: 11)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah mendefinisikan tauhid asma’ wa shifat dengan kalimat berikut,

الإيمان بما وصف به نفسه في كتابه العزيز، وبما وصفه به رسوله محمد صلى الله عليه وسلم من غير تحريف ولا تعطيل ومن غير تكييف ولا تمثيل

Keimanan dengan sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dalam Al-Qur’an yang agung, dan keimanan dengan sifat-sifat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapkan untuk Allah tanpa disertai tahrif, ta’thil, serta tanpa takyif dan tamtsil.

Meskipun definisi di atas adalah terkait dengan sifat Allah, akan tetapi juga sama berlaku dalam bahasan nama-nama Allah Ta’ala. Adapun yang dimaksud dari istilah-istilah tentang tahrif, ta’thil, takyif, dan tamstil akan dijelaskan berikut ini,

Pertama, tahrif adalah menyelewengkan makna yang terpahami secara langsung kepada makna yang lain dan jauh yang tidak dimaksud oleh redaksi lafaz dengan kemungkinan kebenarannya yang lemah.

Kedua, ta’thil adalah menafikan sifat-sifat ketuhanan Allah dan mengingkari sifat tersebut sebagai sifat yang ada (melekat) pada Zat Allah.

Ketiga, takyif adalah meyakini sifat Allah memiliki bentuk dan rupa seperti ini atau itu atau bertanya tentang bentuk sifat Allah.

Keempat, tamtsil adalah meyakini bahwasanya sifat Allah serupa dengan sifat-sifat yang ada pada diri para makhluk-Nya.

Maka dari itu, keimanan seorang muslim terkait nama dan sifat Allah harus terbebas dari empat penyelewengan di atas yang dilakukan oleh kubu yang bersebrangan dari ahlussunnah wal jamaah.

Kaidah-kaidah umum dalam memahami nama dan sifat Allah

Dalam keimanan terkait tauhid jenis ini harus dilandaskan dengan berbagai kaidah yang telah masyhur di kalangan para ulama. Kaidah-kaidah dalam memahami asma’ dan sifat Allah dapat dijelaskan dalam beberapa poin-poin berikut:

Pertama, nama dan sifat bagi Allah adalah termasuk dari perkara gaib. Sikap yang wajib dilakukan oleh seorang mukmin adalah mengimani nama dan sifat Allah sebagaimana apa adanya, tanpa menjadikan barometer selain wahyu sebagai pokok rujukan dalam menetapkan keduanya.

Kedua, wajib memahami nash-nash terkait nama dan sifat Allah yang datang dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana makna yang tampak (dzahir).

Ketiga, akal (logika) manusia tidak memiliki ruang dan kuasa hak untuk menetapkan nama dan sifat bagi Allah secara terperinci dan mandiri tanpa adanya wahyu yang menetapkan perinciannya.

Keempat, pembahasan terkait sifat-sifat Allah itu sama dengan pembahasan Zat Allah. Maksudnya, jika Zat Allah Ta’ala itu adalah Zat yang ada dan memiliki kesempurnaan yang tiada sesuatu apapun yang menyerupainya, maka akan sama juga sifat-sifat yang melekat pada Zat Allah juga mencapai titik kesempurnaan yang tidak diserupai oleh sesuatu apapun. Maka dapat disimpulkan, hukum yang kita tetapkan dan yakini dalam sifat-sifat Allah itu sama dengan Zat Allah.

Kelima, kesamaan makna umum dari suatu sifat yang dimiliki oleh Allah dan makhluk tidak berkonsekuensi kesamaan atau keserupaan dalam kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh Allah dengan makhluk. Artinya, kesamaan pada suatu eksistensi yang ada dalam hal sifat-sifat yang memiliki makna sama tidak mengharuskan mereka sama dalam hakikat sifat tersebut. Akan tetapi, masing-masing dari sesuatu yang ada/ eksis memiliki kekhususan masing-masing dalam sifat tersebut. Misalkan, ilmu Allah, maka tentunya pada derajat sempurna. Sedangkan ilmu makhluk tidak akan sedikit pun berarti dan bernilai, jika dibandingkan dengan ilmu Sang Khaliq.

Keenam, Seluruh nama dan sifat Allah itu mencapai derajat kesempurnaan yang tidak diisi oleh sedikit pun dari kekurangan dan kelemahan.

[Bersambung]

***

Penulis: Sakti Putra Mahardika

Artikel: www.muslim.or.id

Referensi:

Alu Syaikh, Shalih bin Abdullah bin Abdul Aziz . 2016. At-Tamhid Li Syarhi Kitab At-Tauhid. Al-Azhar: Dar At-Taqwa

Al-’Utaimin, Muhammad bin Shalih. 1435 H. Syarhu Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah. Dimam: Dar Ibnu Al-Jauzi.

Al-’Umairi, Sulthan bin Abdurrahman. 2021. Al-’Uqud Adz-Dzahabiyyah ‘Ala Maqashidi Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah. Dimam: Dar Madariju Li An-Nasyr

Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. 1440 H. Al-Irsyad Ila Shahihi Al-I’tiqad. Riyadh: Maktabah Dar Al-Minhaj.

Harras, Muhammad Khalil. ____. Syarhu Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah. Urdun: Dar Al-Hasan Li An-Nasyr wa At-Tauzi’

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78966-pembagian-tauhid-menurut-para-ulama-ahlussunnah-bag-1.html

Pengabdian Sosial Merupakan Kemuliaan Orang Islam

Indonesia merupakan negara yang kaya institusi sosial yang membuat masyarakat tidak kehabisan tempat atau sarana untuk mengabdi dan mempererat silaturahmi. Di antara cerminannya, perguruan tinggi harus melaksanakan visinya melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu: pendidikan, penelitian dan pengabdiaan kepada masyarakat. Mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan dan alumni dituntut  melakukan pengabdian masyarakat yang bermutu. Tidak kalah dengan Perguruan Tinggi, pendidikan pesantren dan organisasi sosial keagamaan juga menyiapkan lulusan dan kadernya  agar mampu menjaga ciri identitasnya sebagai agen perubahan dengan pengabdian sosial yang mandiri alias menggunakan dana pribadi.

Pengabdian sosial di Indonesia banyak yang membawa  misi keagamaan dan kemanusiaan dengan menjaga karakter lokal gotong-royong sebagai jantung Pancasila. Tidak hanya kalangan swasta, pegawai negeri pun ikut andil dalam pengabdian sosial meskipun status mereka sebagai pengabdi negara dituntut netral. Keprofesian tidak menghalangi pemilik profesi untuk terlibat pengabdian sosial meskipun hanya dengan menyalurkan zakat profesinya atau menjadi  donatur untuk keberlangsungan kegiatan sosial.

Sebagian masyarakat Indonesia mengabdi kepada masyarakat melalui institusi negeri yang bermotif  sosial dan tetap mendapat gaji atas pekerjaaannya sebagaimana diatur dalam Anggaran Negara. Sebagian lainnya mengabdi secara murni tanpa imbalan materi sepeserpun seperti pengabdian organisasi-organisasi sosial keagamaan, sosial kemanusiaan atau filantropi yang menebarkan spirit cinta tanah air dan agama serta keteladanan sebagai muslim yang hidup sederhana.

Pengabdian sosial sebagai aktivitas sosial (non-komersial) secara umum diwadahai dan digerakkan oleh institusi sosial (المُؤَسَّسَةُ الخَيْرِيَّةُ). Konsep pengabdian sosial (العَمَلُ الخَيْرِيُّ) dalam Islam merupakan konsep yang bisa dikategorikan kontemporer atau kekinian meskipun dalam prakteknya sudah berjalan sejak adanya Islam itu sendiri. Pengabdian sosial disamping memiliki akar sejarah, juga memiliki landasan nash dan bahkan merupakan salah satu tujuan Syariah yang perlu disyiarkan meskipun tidak disebutkan oleh ulama klasik.

Dalam tradisi keilmuan Islam, tujuan Syariah hanya membatasi lima tujuan, yaitu menjaga agama, nyawa, keturunan, akal, harta. Sebagian ulama menambahkan  tujuan yang keenam yaitu menjaga harga diri. Banyak contoh praktek pengabdian sosial generasi umat Islam terdahulu yang perlu dipelajari, dirangkum dan “diperas” nilai-nilainya dalam bingkai pengabdian sosial sehingga nampak bahwa pengabdian sosial merupakan tujuan Syariah. Praktek zaman dahulu menginspirasi sebuah proses bagaimana ilmu bisa tersambung dengan amal dan gagasan bisa tersambung dengan pelaksanaan. Imam Syafi’i menyebutnya “ilmu adalah apa yang manfaat”.

Institusi baik berupa organisasi, lembaga, yayasan, komunitas sosial dan sebagainya membutuhkan panduan Syariah atau standar fikih untuk mengarahkan dan menuntun langkah-langkah organisasi hingga membuahkan kemaslahatan. Kata sosial (الخير) disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan beragam redaksi atau pilihan kata seperti kebaikan, berbuat baik, kasih sayang, sedekah, menghilangkan kesusahan, menolong orang tertimpa musibah dan sebagainya.

Kata الخير dalam al-Qur’an juga memiliki ragam makna seperti kebaikan, harta dan kualitas sebagaimana bunyi ayat  فَاسْتَبِقُوْا الخيْرَاتِ   “berlomba-lombalah dalam kualitas (kebaikan)” yang mengajarkan kompetisi sebagai alternatif lain dari kolaborasi (ta’awun). Kebaikan, harta dan kualitas yang dimiliki oleh seseorang masing-masing memiliki dimensi sosial dan sangat tergantung pada watak pemiliknya antara dermawan atau bakhil.

Dalam hal pengabdian sosial, Islam telah menyerukan sebelas pesan agar manusia tidak menjadi makhluk yang egois atau serakah. Pesan tersebut yaitu berprilaku baik (al-Haj:77/Ali Imaran:115), bertutur kata baik (al-Baqarah:83), tidak menunda-nunda yang baik (Ali Imaran: 114/al-Mukminun: 61), berlomba untuk kualitas yang baik (al-Maidah: 48), mendakwahkan hal yang baik (Ali Imran: 104), menganjurkan hal yang baik (al-Maun: 1-3), jika tidak mampu berbuat baik maka minimal  berniat baik karena bisa jadi niat saja lebih baik dari perbuatan baik yang akan dilakukan. Pesan kedelapan yaitu berbuat baik walaupun kecil (al-Zalzalah: 7/ al-Nisa: 40), menjauhi atau mewaspadai orang yang mencegah perbuatan baik  (al-Qalam: 10-12/Qaf: 23-25), menyadari kewajiban kerjasama untuk amal baik (al-Maidah: 2/al-Kahfi: 95) dan mengapresiasi orang yang berkontribusi untuk kegiatan yang baik (al-Taubah: 60).

Ciri khas pengabdian sosial dalam Islam yaitu adanya niat mencari ridla Allah, menjaga etika, meyakini keberkahan dan pengganti pengabdiannya di dunia sebagaimana Islam memadukan kebaikan dunia dan akhirat. Tentunya pengganti atau balasan di akhirat jauh lebih banyak dan memuaskan. Balasan kebaikan atau nikmat sekecil apapun harus dilihat  bahwa Allah adalah yang memberi dan akan menambah nikmat itu ketika hamba bersyukur. Ciri terakhir pengabdian sosial adalah tidak mengharapkan imbalan.

Pengabdian sosial dalam Islam mencakup hal-hal yang bersifat materi maupun imateri. Pintu kebaikan yang bisa didedikasikan kepada masyarakat juga bermacam-macam melihat kebutuhan dan tuntutan mereka. Jika ada warga yang sakit jiwanya maka yang dibutuhkan adalah obat jiwa dan hiburan agar hatinya bisa tawakkal, percaya, berprasangka baik kepada Allah dan tidak putus asa. Meyakini bahwa “setiap cobaan atau mihnah yang menimpa orang mukmin pasti ada anugerah atau minhah pengganti dari Allah” merupakan salah satu bentuk prasangka baik kepada Allah.

Dakwah, mengajar, berorganisasi yang dilakukan secara ikhlas merupakan sedekah sosial dan bagian dari pengabdian sosial. Berkata baik dan tersenyum merupakan sedekah pribadi yang juga bagian dari pengabdian sosial sebagaimana energi positif yang diberikan. Ini mengingatkan kaidah bahwa orang yang tidak memiliki sesuatu tidak memberi sesuatu. Jika yang dimiliki hanya tutur kata yang baik dan senyuman maka hal itu juga perlu diapresiasi. Jika memiliki kekayaan atau kelebihan materi, maka tidak lagi sekedar tutur kata dan senyuman yang diberikan, tetapi kadar-kadar tertentu yang harus dibagikan sebagaimana diajarkan oleh Islam.

Sedekah sebagai bentuk pengabdian sosial bisa dilakukan dengan tenaga dan menghindarkan bahaya dari orang lain. Seperti menolong orang yang jatuh atau membuang duri di jalan. Sedekah juga bisa dilakukan secara berkala seperti zakat setiap tahun (haul) bagi yang mencapai nishab atau setiap kali panen, serta bisa juga menjadi donatur bulanan bagi organisasi sosial yang membutuhkan.

Luasnya pengabdian sosial menunjukkan bahwa pintu kebaikan dan pintu surga juga luas dan banyak. Ketika Nabi Muhammad Saw dalam rangkuman beberapa riwayat menyebut bahwa agama adalah mu’amalah, nasehat, akal dan akhlak maka semakin jelas bahwa pengabdian sosial merupakan kemuliaan bagi orang Islam. Buah nyata dari hubungan baik atau ritual seorang hamba kepada Allah tidak lain dan tidak bukan adalah bagaimana seorang hamba memperlakukan orang lain.

ISLAM KAFFAH

Fikih Ekonomi (6): Menghindari Riba

Tulisan ini merupakan rangkaian kajian tentang fikih ekonomi yang diulas secara berkala. Kali ini kita akan membahas tentang riba (Baca: Fikih Ekonomi (5): Perjanjian). Ulama sepakat bahwa riba hukumnya haram. Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan riba? Alquran maupun Hadis tidak memberikan pengertian riba secara rinci. Alquran dan Hadis hanya memberikan contoh praktik riba, sehingga perbedaan pendapat akan sangat mungkin terjadi terkait dengan penafsiran apakah satu transaksi mengandung riba atau tidak.

Untuk menghindari praktik riba kita harus paham apa yang dimaksud dan bagaimana bisa terjadi riba. Secara bahasa, riba berarti kelebihan, ekspansi, kenaikan, tambahan, atau pertumbuhan. Dalam praktiknya riba dapat diartikan sebagai perolehan tidak sah, yang diperoleh dari ketidakserataan kuantitatif nilai-nilai yang dipertukarkan di dalam transaksi apapun, yang bertujuan memengaruhi pertukaran dua atau lebih jenis barang yang termasuk dalam genus yang sama, serta diatur menurut sebab efisien yang sama.

Untuk memperjelas pengertian riba di atas, mari kita lihat jenis-jenis riba. Dalam berbagai literatur terdapat beberapa macam jenis riba. Dari jenis-jenis tersebut dapat kita rangkum dalam dua jenis riba, yaitu:

Pertama, Riba al-duyun, riba al-nasi’ah atau riba al-quran. Riba jenis ini terjadi dalam kontrak peminjaman dengan pembayaran lebih karena penundaan waktu pembayaran. Dari ketentuan ini ketika seseorang melakukan peminjaman maka si peminjam tidak boleh mengambil manfaat lebih dari jasa, barang atau uang selain dari pokok yang dipinjamkan.

Kedua, Riba al-buyu’, riba fadhl, atau riba al-sunnah. Riba jenis ini terjadi dalam kontrak tukar menukar. Riba ini terjadi ketika suatu komoditas dipertukarkan dengan komuditas yang sama dengan jumlah yang tidak setara atau tidak tunai.

Diriwayatkan dari Ubadah ibn Samit, Rasulullah saw bersabda:

Emas dengan emas, perak dengan perak, gandung dengan gandum, serupa dengan serupa, setara dengan setara, dan dari tangan ke tangan; jika komoditas-komoditasnya berbeda, maka kamu boleh menjual seperti keinginanmu, asalkan pertukaran tersebut dari tangan ke tangan. (HR. Muslim).

Terkait dengan jenis barang ribawi yang disebutkan dalam hadis Rasulullah saw di atas. Ulama membaginya dalam dua kategori yaitu sarana pertukaran mata uang, dan pertukaran bahan makanan. Hadis di atas dapat diambil faidah untuk menghindari riba perlu memperhatikan dua kondisi berikut:

  1. Objek penjualan harus mempunyai jumlah yang setara,
  2. Transaksi dilakukan kontan atau tunai.

Untuk menghindari kesalahan dalam memahami riba dalam praktiknya penting untuk diperhatikan ketentuan berikut. Pertukaran uang dengan uang dalam mata uang yang sama harus dilakukan dengan memenuhi dua ketentuan di atas. Harus setara dan dilakukan dengan tunai. Namun jika barangnya sama, misalkan sama-sama uang, namun dalam basis yang sama seperti dengan Rupiah dengan Dolar maka yang diharuskan adalah kontan saja.

BINCANG SYARIAH

Larangan Merasa Paling Benar dalam Beragama

Merasa paling benar dalam beragama bisa jadi diakibatkan dari ceramaha Ustaz yang menggunakan kemajuan teknologi sebagai fasilitas berdakwah.  Ajaran Islam yang dulunya dipelajari melalui sumber dari khazanah kitab-kitab ulama masa lampau dengan bimbingan para kiai sekarang telah mulai digantikan oleh video-video ceramah para ustaz dan mubalig di media sosial. Persoalannya yaitu tidak semua ustaz dan mubalig memiliki kapasitas keilmuan agama sebagaimana para ulama-ulama produk pesantren.

Bahkan, tidak hanya pada persoalan kapasitas keilmuan, banyak juga ustad dan mubalig yang justru menampilkan akhlak yang tidak baik. Mengajak untuk saling membenci dengan menyerang kelompok lain yang berbeda hingga mengatakan sesuatu yang tidak layak diucapkan oleh seorang mubalig. Sehingga kebiasaan saling menyalahkan, mengkafirkan dan merasa dirinya yang lebih benar terjadi di dunia maya dan terbawa hingga ke dunia nyata.

Hal ini semestinya tidak boleh terjadi. Karena para ulama telah bersepakat untuk berhati-hati dan mawas diri agar tidak terjebak untuk mudah menyalahkan orang lain bahkan mengkafirkan dan merasa benar sendiri. Bahkan imam Abu Hasan Al-Asy’ari sebagai tokoh sentral Ahlus Sunnah wal Jama’ah melarang mengkafirkan sesama umat Islam. meskipun mereka telah melakukan dosa besar. Ia mengajak untuk beragama dengan tanpa mengkafirkan sesama ahlul qiblat.

وَ نَدِيْنُ بِأَنْ لاَ نُكَفِّرَ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ يَرْتَكِبُهُ كَالزِّنَا وَ السِّرْقَةِ وَ شَرِبَ الْخَمْرَ

Artinya:

Kita beragama dengan tidak mengkafirkan seseorang yang termasuk ahli qiblat (muslim) karena dosa yang ia lakukan seperti zina, mencuri dan meminum khamr

Jika seorang muslim yang melakukan dosa besar saja tidak boleh dikafirkan apalagi dalam urusan-urusan yang bersifat profan. Seperti perbedaan pandangan politik, tafsir atas pemahaman keagamaan, hal-hal yang mencakup urusan furu’iyyah, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, umat Islam diajarkan untuk saling menyalahkan dan merasa dirinya paling benar atau merasa “paling islami” dibanding dengan yang lain.

Sahabat Ali bin Abi Thalib yang memiliki keistimewaan sebagai kunci gerbang kota ilmu (ana madinatul ‘ilmi wa ‘aliyu mafatihuhu) mengajarkan supaya terhindar dari sikap merasa benar sendiri dalam beragama.

Caranya yaitu seorang muslim harus menjadi manusia terbaik di hadapan Allah, menjadi manusia terburuk di hadapan dirinya sendiri dan menjadi orang biasa di hadapan manusia.

كُنْ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرَ النَّاسِ وَ كُنْ عِنْدَ النَّفسِ شَرَّ النَّاسِ وَ كُنْ عِنْدَ النَّاسِ رَجُلاً مِنَ النَّاسِ

Artinya:

jadilah sebaik-baik manusia di sisi Allah, seburuk-buruk manusia di hadapan dirimu dan jadilah orang (biasa) di hadapan manusia

Dengan menjadi orang biasa pada umumnya manusia di komunitas sosialnya serta merasa menjadi manusia terburuk, seseorang akan terjaga dari kesombongan yang menyebabkan merasa benar sendiri.

Hal ini yang sering dilupakan oleh umat Islam dewasa ini. Mereka menganggap seakan-akan diri mereka lebih baik dari yang lain. Sehingga menutup kemungkinan datangnya kebenaran dari orang lain.

Secara praktis, Syekh Abdul Qadir al-Jailani sebagaimana dikutip Imam Nawawi dalam kitab Nasaihul Ibad memberikan panduan yang jelas dalam berinteraksi dalam kehidupan sosial.

اِذَا لَقِيْتَ اَحَدًا مِنَ النَّاسِ رَأَيْتَ الْفَضْلَ لَهُ عَلَيْكَ وَتَقُوْلُ عَسَي اَنْ يَكُوْنَ عِنْدَ اللهِ خَيْرًا مِنِّيْ واَرْفَعُ دَرَجَةً فَاِنْ كَانَ صَغِيْرًا قُلْتَ هَذَا لَمْ يَعْصِ اللهَ وَاَنَا قَدْ عَصَيْتُ فَلَا شَكَّ اَنَّهُ خَيْرٌ مِنِّيْ، وَاِنْ كَانَ كَبِيْرًا قُلْتَ هَذَا قَدْ عَبَدَ اللهَ قَبْلِيْ، وَاِنْ كَانَ عَالِمًا قُلْتَ هَذَا اُعْطِيَ مَالَمْ اَبْلُغْ وَنَالَ مَالَمْ اَنَلْ وَعَلِمَ مَا جَهِلْتُ وَهُوَ يَعْلَمُ بِعِلْمِهِ، وَاِنْ كَانَ جَاهِلًا قُلْتَ هَذَا عَصَي اللهَ بِجَهْلٍ وَاَنَا عَصَيْتُهُ بِعِلْمٍ وَلَا اَدْرِيْ بِمَ يُخْتَمُ لِيْ اَوْ بِمَا يُخْتَمُ لَهُ، وَاِنْ كَانَ كَافِرًا قُلْتَ لَا اَدْرِيْ عَسَي اَنْ يَسْلِمَ فَيُخْتَمُ لَهُ بِخَيْرِ الْعَمَلِ وَعَسَي اَنْ اَكْفُرَ فَيُخْتَمُ لِيْ بِسُوْءِ الْعَمَلِ

Artinya:

jika engkau bertemu seseorang maka anggaplah ia lebih utama darimu dan engkau berkata mungkin saja di sisi Allah ia lebih baik dan lebih tinggi derajatnya dariku. Jika ia lebih kecil engkau berkata orang ini belum bermaksiat kepada Allah sedangkan aku sungguh telah berbuat maksiat maka tidak ada keraguan bahwa dia lebih baik dariku.

Jika ia lebih tua engkau berkata orang ini telah beribadah kepada Allah sebelumku, jika ia seorang yang alim engkau berkata orang ini telah diberi sesuatu yang tidak aku terima, ia memperoleh apa yang aku tidak peroleh, ia mengetahui apa yang aku tidak tahu dania mengetahui dengan ilmunya.

Jika ia seorang yang bodoh engkau berkata orang ini telah bermaksiat kepada Allah sebab kebodohannya sedangkan aku telah bermaksiat kepada Allah karena ilmu aku tidak mengetahui bagaimana akhir hidupku atau hidupnya.

Jika ia seorang kafir engkau berkata aku tidak mengetahui mungkin kelak dia menjadi seorang muslim kemudian hidupnya diakhiri dengan amal yang baik sedangkan mungkin aku kelak menjadi kafir kemudian hidupku berakhir dengan amal buruk

Para ulama telah mengajarkan bagaimana sikap kita dalam beragama. Akhlak adalah inti dari misi kenabian. Maka sangat bertolak belakang jika sikap sombong, merasa paling benar menjadi model beragama kita.

Kerendahan hati, mengakui kekurangan, dan terus berusaha menjadi terbaik adalah cara beragama yang diajarkan oleh para pewaris nabi. Semoga kita semua dijauhkan dari sifat merasa yang paling benar di antara yang lain. Amin.

BINCANG SYARIAH