Kebijakan Pemerintah Arab Saudi Menyambut Ramadhan

Tinggal hitungan hari kita akan memasuki bulan suci Ramadhan. Bulan yang selalu dinantikan oleh seluruh umat Islam, tak terkecuali Arab Saudi yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia. Nah berikut kebijakan pemerintah Arab Saudi menyambut Ramadhan.

Pemerintah Arab Saudi tampaknya ingin mengubah citra pendekatan pada Bulan Suci tahun ini. Kementerian Islam negara itu baru saja merilis daftar pedoman dan batasan perayaan Ramadhan untuk tahun 2023 ini.

Nah berikut ini merupakan sejumlah kebijakan baru Pemerintah Arab Saudi dalam perayaan penyambutan bulan Ramadhan 2023:

Larangan Donasi

Pemerintah menyerukan larangan pengumpulan donasi Masjid-masjid di negara Timur Tengah untuk menyediakan makanan bagi para jemaah. Dinyatakan bahwa acara makan seperti itu harus direncanakan dan diadakan di luar masjid, seperti di area halaman masjid yang telah ditentukan.

Dalam Pengawasan Muadzin dan Imam

Makanan ini harus disiapkan dan disajikan di bawah pengawasan muadzin dan imam. Imam dan muadzin juga diharuskan hadir sepanjang bulan, kecuali dalam kasus “sangat mendesak,” menurut arahan kementerian.

Waktu Shalat di Masjid

Imam dan muadzin harus memastikan bahwa sholat malam dan tarawih selesai dalam waktu yang cukup agar tidak mengganggu jemaah. Mereka juga harus memberikan izin untuk i’tikaf di masjid selama 10 hari terakhir Ramadhan 2023.

Larangan Pengambilan Gambar

Masjid-masjid di seantero Arab Saudi juga dilarang mengambil gambar atau menggunakan kamera untuk menyiarkan jemaah maupun pelaksanaan salat.

Dilarang Bawa Anak-Anak

Kebijakan baru Kementerian Arab Saudi, melarang pengunjung membawa anak-anak ke masjid karena hal itu akan mengganggu orang lain dan merusak konsep beribadah.

Pembatasan Volume Pengeras Suara

Pembatasan volume pengeras suara yang mengumandangkan azan merupakan salah satu aturan yang dipatuhi dari tahun-tahun sebelumnya. Pedoman terbaru tidak disambut baik oleh umat Islam di seluruh dunia.

Ketentuan Baru Pelaksanaan Buka Puasa

Buka puasa dilakukan di area yang telah ditentukan, di halaman masjid dan berada di bawah tanggung jawab imam dan muadzin. Orang yang bertanggung jawab mengelola buka puasa kelompok harus memastikan bahwa area dibersihkan segera setelah buka puasa. Tidak boleh ada ruangan atau tenda sementara yang didirikan untuk tujuan buka puasa.

Himbauan Khusus Untuk Para Imam, Muadzin, dan Pelayan Masjid

Dalam surat edaran Kementerian Arab Saudi juga menyerukan kepada para imam dan muadzin untuk mematuhi pedoman yang ketat dan memprioritaskan kebutuhan jamaah selama Ramadhan. 

Aturan tersebut menekankan pentingnya keteraturan dalam pekerjaan para imam dan muadzin, menyoroti kebutuhan mereka untuk hadir selama bulan Ramadhan kecuali ada keadaan ekstrem atau mendesak.

Jika seseorang ditugaskan untuk melakukan pekerjaan selama periode ketidakhadiran, maka penggantinya harus mendapat persetujuan cabang Kementerian di daerah terkait, dan wakilnya tidak boleh melanggar tanggung jawab. Pemerintah Arab Saudi juga mengimbau seluruh komponen yang terlibat untuk menaati waktu adzan menurut penanggalan Um Al Qura. 

Selain itu  para imam juga dituntut untuk memperhatikan kondisi orang-orang yang melakukan shalat Tarawih; mengikuti petunjuk Nabi dalam doa Qunut dalam shalat Tarawih, dan menghindari sholat yang berkepanjangan, dan membaca beberapa buku yang bermanfaat untuk jemaah masjid.

Dalam surat edaran tersebut mengarahkan para pelayan masjid dan lembaga pemeliharaan untuk melipatgandakan upaya dan pekerjaan mereka untuk membersihkan dan mempersiapkan masjid, memastikan kebersihan ruang sholat wanita di masjid. 

Para pelayan masjid juga diarahkan untuk menindaklanjuti pelaksanaan arahan ini, menyerahkan laporan harian perjalanan mereka ke referensi mereka, dan menunjukkan pengamatan yang diamati, jika ada, untuk penanganan segera. Demikian sejumlah kebijakan baru pemerintah Arab Saudi menjelang bulan Ramadhan, semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Persiapkan Diri Menyambut Ramadhan

Wahai kaum muslimin, hendaknya kita mengetahui bahwa salah satu nikmat yang banyak disyukuri meski oleh seorang yang lalai adalah nikmat ditundanya ajal dan sampainya kita di bulan Ramadhan. Tentunya jika diri ini menyadari tingginya tumpukan dosa yang menggunung, maka pastilah kita sangat berharap untuk dapat menjumpai bulan Ramadhan dan mereguk berbagai manfaat di dalamnya.

Bersyukurlah atas nikmat ini. Betapa Allah ta’ala senantiasa melihat kemaksiatan kita sepanjang tahun, tetapi Dia menutupi aib kita, memaafkan dan menunda kematian kita sampai bisa berjumpa kembali dengan Ramadhan. Oleh karena itu, kita tidak boleh luput dalam persiapan menyambut Ramadhan.

Ketidaksiapan yang Berbuah Pahit

Imam Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah memaparkan dua perkara yang wajib kita waspadai. Salah satunya adalah [اَلتَّهَاوُنُ بِالْأَمْرِ إِذَا حَضَرَ وَقْتُهُ], yaitu kewajiban telah datang tetapi kita tidak siap untuk menjalankannya. Ketidaksiapan tersebut salah satu bentuk meremehkan perintah. Akibatnya pun sangat besar, yaitu kelemahan untuk menjalankan kewajiban tersebut dan terhalang dari ridha-Nya. Kedua dampak tersebut merupakan hukuman atas ketidaksiapan dalam menjalankan kewajiban yang telah nampak di depan mata.[1]

Abu Bakr Az Zur’i menyitir firman Allah ta’ala berikut,

فَإِنْ رَجَعَكَ اللَّهُ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ فَاسْتَأْذَنُوكَ لِلْخُرُوجِ فَقُلْ لَنْ تَخْرُجُوا مَعِيَ أَبَدًا وَلَنْ تُقَاتِلُوا مَعِيَ عَدُوًّا إِنَّكُمْ رَضِيتُمْ بِالْقُعُودِ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَاقْعُدُوا مَعَ الْخَالِفِينَ (٨٣)

“Maka jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), Maka katakanlah: “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.” (At Taubah: 83).

Renungilah ayat di atas baik-baik! Ketahuilah, Allah ta’ala tidak menyukai keberangkatan mereka dan Dia lemahkan mereka, karena tidak ada persiapan dan niat mereka yang tidak lurus lagi. Namun, bila seorang bersiap untuk menunaikan suatu amal dan ia bangkit menghadap Allah dengan kerelaan hati, maka Allah terlalu mulia untuk menolak hamba yang datang menghadap-Nya. Berhati-hatilah dari mengalami nasib menjadi orang yang tidak layak menjalankan perintah Allah ta’ala yang penuh berkah. Seringnya kita mengikuti hawa nafsu, akan menyebabkan kita tertimpa hukuman berupa tertutupnya hati dari hidayah.

Allah ta’ala berfirman,

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (١١٠)

“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al An’am: 110).

Persiapkan Amal Shalih dalam Menyambut Ramadhan

Bila kita menginginkan kebebasan dari neraka di bulan Ramadhan dan ingin diterima amalnya serta dihapus segala dosanya, maka harus ada bekal yang dipersiapkan.

Allah ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لأعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ (٤٦)

“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At Taubah: 46).

Harus ada persiapan! Dengan demikian, tersingkaplah ketidakjujuran orang-orang yang tidak mempersiapkan bekal untuk berangkat menyambut Ramadhan. Oleh sebab itu, dalam ayat di atas mereka dihukum dengan berbagai bentuk kelemahan dan kehinaan disebabkan keengganan mereka untuk melakukan persiapan.

Sebagai persiapan menyambut Ramadhan, Rasulullah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata,

وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Saya sama sekali belum pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dalam satu bulan sebanyak puasa yang beliau lakukan di bulan Sya’ban, di dalamnya beliau berpuasa sebulan penuh.” Dalam riwayat lain, “Beliau berpuasa di bulan Sya’ban, kecuali sedikit hari.”[2]

Beliau tidak terlihat lebih banyak berpuasa di satu bulan melebihi puasanya di bulan Sya’ban, dan beliau tidak menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan.

Generasi emas umat ini, generasi salafush shalih, mereka selalu mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Sebagian ulama salaf mengatakan,

كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ

”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan.”[3]

Tindakan mereka ini merupakan perwujudan kerinduan akan datangnya bulan Ramadhan, permohonan dan bentuk ketawakkalan mereka kepada-Nya. Tentunya, mereka tidak hanya berdo’a, namun persiapan menyambut Ramadhan mereka iringi dengan berbagai amal ibadah.

Abu Bakr al Warraq al Balkhi rahimahullah mengatakan,

شهر رجب شهر للزرع و شعبان شهر السقي للزرع و رمضان شهر حصاد الزرع

“Rajab adalah bulan untuk menanam, Sya’ban adalah bulan untuk mengairi dan Ramadhan adalah bulan untuk memanen.”[4]

Sebagian ulama yang lain mengatakan,

السنة مثل الشجرة و شهر رجب أيام توريقها و شعبان أيام تفريعها و رمضان أيام قطفها و المؤمنون قطافها جدير بمن سود صحيفته بالذنوب أن يبيضها بالتوبة في هذا الشهر و بمن ضيع عمره في البطالة أن يغتنم فيه ما بقي من العمر

“Waktu setahun itu laksana sebuah pohon. Bulan Rajab adalah waktu menumbuhkan daun, Syaban adalah waktu untuk menumbuhkan dahan, dan Ramadhan adalah bulan memanen, pemanennya adalah kaum mukminin. (Oleh karena itu), mereka yang “menghitamkan” catatan amal mereka hendaklah bergegas “memutihkannya” dengan taubat di bulan-bulan ini, sedang mereka yang telah menyia-nyiakan umurnya dalam kelalaian, hendaklah memanfaatkan sisa umur sebaik-baiknya (dengan mengerjakan ketaatan) di waktu tesebut.”[5]

Wahai kaum muslimin, agar buah bisa dipetik di bulan Ramadhan, harus ada benih yang disemai, dan ia harus diairi sampai menghasilkan buah yang rimbun. Puasa, qiyamullail, bersedekah, dan berbagai amal shalih di bulan Rajab dan Sya’ban, semua itu untuk menanam amal shalih di bulan Rajab dan diairi di bulan Sya’ban. Tujuannya agar kita bisa memanen kelezatan puasa dan beramal shalih di bulan Ramadhan, karena lezatnya Ramadhan hanya bisa dirasakan dengan kesabaran, perjuangan, dan tidak datang begitu saja. Hari-hari Ramadhan tidaklah banyak, perjalanan hari-hari itu begitu cepat. Oleh sebab itu, harus ada persiapan menyambut Ramadhan yang sebaik-baiknya.

Jangan Lupa, Perbarui Taubat!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُون

“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.”[6]

Taubat menunjukkan tanda totalitas seorang dalam menghadapi Ramadhan. Dia ingin memasuki Ramadhan tanpa adanya sekat-sekat penghalang yang akan memperkeruh perjalanan selama mengarungi Ramadhan.

Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk bertaubat, karena taubat wajib dilakukan setiap saat. Allah ta’ala berfirman,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٣١)

Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An Nuur: 31).

Taubat yang dibutuhkan bukanlah seperti taubat yang sering kita kerjakan. Kita bertaubat, lidah kita mengucapkan, “Saya memohon ampun kepada Allah”, akan tetapi hati kita lalai, akan tetapi setelah ucapan tersebut, dosa itu kembali terulang. Namun, yang dibutuhkan adalah totalitas dan kejujuran taubat.

Jangan pula taubat tersebut hanya dilakukan di bulan Ramadhan sementara di luar Ramadhan kemaksiatan kembali digalakkan. Ingat! Ramadhan merupakan momentum ketaatan sekaligus madrasah untuk membiasakan diri beramal shalih sehingga jiwa terdidik untuk melaksanakan ketaatan-ketaatan di sebelas bulan lainnya.

Wahai kaum muslimin, mari kita persiapkan diri kita dengan memperbanyak amal shalih di dua bulan ini, Rajab dan Sya’ban, sebagai modal awal untuk mengarungi bulan Ramadhan yang akan datang sebentar lagi. Persiapan yang sebenar-benarnya, bukan persiapan yang tidak ada dasarnya seperti bermaafan sebelum Ramadhan.

Ya Allah mudahkanlah dan bimbinglah kami. Amin.

Waffaqaniyallahu wa iyyakum.

Buaran Indah, Tangerang, 24 Rajab 1431 H.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/4150-persiapkan-diri-menyambut-ramadhan.html

Hukum Menjadi Influencer Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani 

Di era digital yang mulai merata ini, semua orang bisa show up atas kelebihan masing-masing. Yang semula tidak dikenal siapa-siapa, media sosial bisa melambungkan namanya. Lantas bagaimana hukum menjadi influencer menurut Ibnu Hajar al-Asqalani? 

Sebagaimana sesuatu yang pasti ada sisi negatif dan positifnya, demikian pula dalam konteks bermedia sosial. Orang yang mengisinya, atau yang jamak disebut dengan nomenklatur influencer. Bisa saja memberikan pengaruh positif atau negatif, sehingga bisa diketahui bahwasanya media sosial ini menjadi sebuah sarana atau platform untuk seseorang bisa berbagi manfaat. 

Lalu bagaimanakah hukum menjadi seorang influencer? Pada dasarnya menjadi influencer adalah diperbolehkan selama menampilkan konten yang positif. Karena jika media sosial diisi oleh influencer yang tidak berkompeten, maka sama saja dengan menjerumuskan publik. Sehingga bagi mereka yang berkompeten dalam bidangnya, dipersilahkan untuk andil memberikan edukasi kepada masyarakat. 

Dalam kitab Sahih Bukhari, Imam Al-Bukhari menyelipkan perkataan Rabi’ah yang berkaitan dengan tanggung jawab keilmuan seorang akademisi atau kyai. Dalam bab hilangnya ilmu dan tampaknya kebodohan, Imam Al-Bukhari mengutip kalamnya Rabi’ah yang berbunyi;

لاَ يَنْبَغِي لِأَحَدٍ عِنْدَهُ شَيْءٌ مِنَ العِلْمِ أَنْ يُضَيِّعَ نَفْسَهُ

“Seyogyanya bagi seorang yang memiliki ilmu untuk tidak menyia-nyiakan dirinya” 

Apa maksud dari menyia-nyiakan diri? Kalam ini dikomentari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dengan menyatakan bahwa seseorang yang memiliki ilmu itu seyogianya menyebarkan ilmu agar supaya tidak lenyap ilmu. Ia mengatakan; 

 وَمُرَادُ رَبِيعَةَ أَنَّ مَنْ كَانَ فِيهِ فَهْمٌ وَقَابِلِيَّةٌ لِلْعِلْمِ لَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يُهْمِلَ نَفْسَهُ فَيَتْرُكَ الِاشْتِغَالَ لِئَلَّا يُؤَدِّيَ ذَلِكَ إِلَى رَفْعِ الْعِلْمِ أَوْ مُرَادُهُ الْحَثُّ عَلَى نَشْرِ الْعِلْمِ فِي أَهْلِهِ لِئَلَّا يَمُوتَ الْعَالِمُ قَبْلَ ذَلِكَ فَيُؤَدِّيَ إِلَى رَفْعِ الْعِلْمِ أَوْ مُرَادُهُ أَنْ يُشْهِرَ الْعَالِمُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّى لِلْأَخْذِ عَنْهُ لِئَلَّا يَضِيعَ عِلْمُهُ وَقِيلَ مُرَادُهُ تَعْظِيمُ الْعِلْمِ وَتَوْقِيرُهُ فَلَا يُهِينُ نَفْسَهُ بِأَنْ يَجْعَلَهُ عَرَضًا لِلدُّنْيَا 

“Maksud pernyataannya Robiah adalah bahwasanya seseorang yang memiliki ilmu itu seyogyanya menyebarkan ilmu agar supaya tidak lenyap ilmu tersebut, atau yang dimaksudkan adalah bahwasanya rabiah menganjurkan seseorang untuk menyebarkan ilmu kepada seseorang agar supaya ketika ia meninggal itu ada penerusnya. Atau bisa juga bermakna 

“Hendaknya seorang alim untuk menampakkan dirinya dan bersedia untuk diambil (ilmunya), agar jangan sampai ilmunya lenyap, namun ada yang menyatakan bahwa maksudnya adalah seseorang yang memiliki ilmu itu dianjurkan untuk menghormati ilmu nya sendiri dan tidak merendahkan dirinya dengan cara menjadikan ilmu tadi sebagai alat untuk mencari duniawi”. (Fath al-Bari Syarh Sahih Al-Bukhari, Juz 1 Halaman 178).

Nasihat Imam Qarafi untuk Influencers 

Saat sudah terkenal dan diketahui masyarakat luas, para influencer jangan sampai star syndrome. Sehingga melupakan jati diri sebagai orang yang bertugas untuk edukasi masyarakat. Hal ini sudah diingatkan oleh Imam Al-Qarafi (684 H), yang mana beliau berpesan;

 يَنْبَغِي لِلْعَابِدِ السَّعْيُ فِي الْخُمُولِ وَالْعُزْلَةِ لِأَنَّهُمَا أَقْرَبُ إِلَى السَّلامَة وَلِلْعَالِمِ السَّعْيُ فِي الشُّهْرَةِ وَالظُّهُورِ تَحْصِيلًا لِلْإِفَادَةِ وَلَكِنَّهُ مَقَامٌ كَثِيرُ الْخَطَرِ فَرُبَّمَا غَلَبَتِ النَّفْسُ وَانْتَقَلَ الْإِنْسَانُ مِنْ هَذَا الْمَعْنَى إِلَى طَلَبِ الرِّئَاسَةِ وَتَحْصِيلِ أَغْرَاضِ الرِّيَاءِ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ وَهُوَ حَسَبُنَا فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ الثَّانِي يَنْبَغِي لِطَالِبِ الْعِلْمِ أَنْ يُحْسِنَ ظَاهره وباطنه وسره وعلانيته وأفعاله وأقواله

“Seyogyanya para ahli ibadah untuk tidak membenarkan dirinya, Karena yang demikian ini lebih selamat (dari gangguan-gangguan keduniaan). Namun bagi ahli ilmu, ia dianjurkan untuk memviralkan dirinya dan memproklamirkan diri. 

Agar supaya ia bisa memberikan faedah kepada banyak orang, hanya saja posisi tersebut sangatlah rawan. Terkadang seseorang dikalahkan oleh hawa nafsunya, sehingga ia berpindah haluan dengan mengalihkannya untuk mencari kekuasaan dan tujuan-tujuan duniawi, bahkan ia menjadi Riya’ ketika sudah di atas. 

Semoga Allah memberikan pertolongan kepada kita, sehingga sebagiannya bagi para pencari ilmu untuk senantiasa berupaya memperbaiki jiwa raganya, perbuatan perkataannya, dan ketaqwaannya baik di kondisi sepi maupun ramai. (Al-Dzakhirah, https://shamela.ws/book/1717 Juz 1 Halaman 50).

Tanggung Jawab Influencer menurut Imam Nawawi 

Imam Al-Nawawi mengingatkan kepada para influencer, bahwa mereka memikul tanggung jawab moral. Sehingga mereka harus memiliki kode etik, beliau menyampaikan;

وَأَمَّا مَا فَعَلَهُ جُنْدُبُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ جَمْعِ النَّفَرِ وَوَعْظِهِمْ فَفِيهِ أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلْعَالِمِ وَالرَّجُلِ الْعَظِيمِ الْمُطَاعِ وَذِي الشُّهْرَةِ أَنْ يُسَكِّنَ النَّاسَ عِنْدَ الْفِتَنِ وَيَعِظَهُمْ وَيُوَضِّحَ لَهُمُ الدَّلَائِلَ

“Perbuatan Jundub bin Abdillah dalam mengumpulkan sekelompok orang dan menasehati mereka, ini merupakan pesan tersirat bahwa seorang ahli ilmu, tokoh, dan influencer, untuk memberikan pencerahan kepada publik ketika ada bola liar yang sedang bergulir di opini mereka, dan juga mereka dituntut untuk memberikan nasehat dan petuah kepada masyarakat. (Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim, https://shamela.ws/book/1711 Juz 2 H. 107) 

Dari beberapa pernyataan di atas bisa diketahui bahwasanya diperbolehkan untuk menjadi influencer, lebih tegas lagi Al Habib Abdullah Al Haddad menuliskan;

والمذموم من حب الجاه والمال ومن الحرص عليهما : شدة ذلك وإفراطه ، حتى يطلبهما الإنسان ويتسبب في حصولهما بكل وجه يمكنه من جائز وغير جائز ، ويصير بهما في شغل شاغل عن التفرغ لعبادة الله وذكره ؛ كما يقع ذلك كثيراً لبعض المفتونين الغافلين عن الله تعالى . . فأما من طلب ذلك بنية صالحة للاستعانة به على الآخرة ، وصيانة الدين والنفس عن تعدي الظالمين ، وعن الحاجة إلى الناس ، ولم يشتغل بسبب ذلك عن عبادة الله تعالى وذكره ، ولم تفارقه التقوى والخوف من الله ؛ فذلك مما لا بأس به ولا حرج فيه إن شاء الله تعالى . وعلى كل حال ، فقلة الحرص على الجاه والمال وترك الرغبة فيهما أسلم وأحوط ، وأقرب إلى التقوى ، وأشبه بهدي السلف الصالح.

“Yang dicela dari menyukai pangkat dan harta adalah berlebihan, sehingga seseorang itu berupaya dengan segala cara untuk mendapatkannya, baik cara tersebut diperbolehkan atau tidak. 

Terlebih ketika keduanya itu menyibukkan dia sehingga tidak memiliki waktu untuk beribadah dan berzikir, sebagaimana yang telah dialami oleh orang-orang yang diuji dengan lupa dari Allah SWT.  

Hanya saja barang siapa yang mencari pangkat dan harta dengan niatan yang bagus semisal untuk menunjang ukhrawinya, menjaga agama dan dirinya dari kedzaliman atau ketergantungan dengan orang lain. 

Dan yang demikian tidak menyibukkannya untuk fokus beribadah dan berzikir, Ia juga tetap Taqwa dan takut kepada Allah maka mencari jabatan dan harta ini masuk pada kategori yang diperbolehkan dan insya Allah tidak ada dosa di dalamnya. 

Ala kulli hal, sedikitnya keinginan untuk mencari keduanya atau menyukai keduanya itu lebih selamat dan lebih mendekati kepada takwa bahkan demikianlah yang diajarkan oleh Salafus saleh.” (Nashaih al-Diniyyah, https://archive.org/details/AlimamAlhaddad Halaman 373) 

Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya seseorang diperbolehkan untuk menjadi influencer ketika sarana dan tujuannya itu dilegitimasi oleh syariat, misal dia tidak melakukan segala cara untuk menjadi viral dan ketika viral dia ini tidak menjadikannya sebagai alat untuk mencari duniawi, namun diperuntukkan kepada ukhrawinya. 

Demikian hukum menjadi Influencer menurut Ibnu Hajar al-Asqalani. Semoga keterangan hukum menjadi influencer ini mendapatkan pemahaman yang utuh, sehingga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kaidah Menagih Utang kepada Seorang Muslim

SALAH satu kegiatan ekonomi yang diatur dalam Islam adalah utang. Dalam Islam, ada kaidah menagih utang dan juga termasuk membayarnya.

Islam membolehkan kita untuk melakukan utang jika terdesak. Islam memberikan aturan dalam masalah utang-piutang, agar orang yang memberikan utang (kreditur) tidak terjebak dalam kesalahan dan dosa besar, yang akan membuat amalnya sia-sia. Dosa itu adalah dosa riba dan kedzaliman. Karena umumnya riba dan tindakan kedzaliman, terjadi dalam masalah utang piutang.

Akad utang (qard) dalam istilah fiqih juga dikenal dengan sebutan aqad al-irfaq (akad yang didasari atas rasa belas kasih). Dengan demikian, syariat tidak membenarkan segala macam praktik utang piutang yang memberatkan terhadap pihak yang berutang (muqtaridl) dan menguntungkan pihak yang memberi utang (muqridl).

Sebab, logika untung-rugi ini bertentangan dengan asas yang mendasari akad utang, yakni rasa belas kasih.

Kaidah Menagih Utang: Pendapat Mayoritas Utama

Bahkan menurut mayoritas ulama, menentukan batas pembayaran utang oleh muqridl kepada muqtaridl adalah hal yang menyebabkan akad utang (qardl) menjadi tidak sah, sebab dianggap berlawanan dengan dasar disyariatkannya akad utang.

Hukum Jual Beli Utang, Kesalahan saat Bersedekah, istri boros, akad ijarah, Dzulhijjah, utang piutang, Sumpah Rasulullah, Nasihat Imam Al-Ghazali, Bank Syariah, Amalan Pagi Agar Didoakan Malaikat, Kaidah Menagih Utang
Foto: Freepik

Meskipun menurut mazhab Maliki, hal demikian masih dianggap wajar sehingga tetap dihukumi sah.

Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh: “Tidak sah mensyaratkan batas waktu pembayaran dalam akad utang menurut mayoritas ulama dan pensyaratan tersebut tetap sah menurut mazhab malikiyah,” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 5, hal. 3792).

Meski begitu, syariat memberikan hak bagi orang yang memberi utang (muqridl) untuk menagih utang kepada orang yang ia beri utang (muqtaridl) tatkala ia dalam keadaan mampu dan memiliki harta yang cukup untuk membayar utangnya.

Berbeda halnya ketika muqtarid berada dalam keadaan tidak mampu untuk membayar utang. Dalam keadaan demikian, muqrid tidak diperkenankan (haram) untuk menagih utang pada muqtaridl dan ia wajib menunggu sampai muqtaridl berada dalam kondisi lapang.

Kaidah Menagih Utang: Menurut Kitab Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah

Hal ini seperti dijelaskan dalam kitab Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah: “Dampak-dampak dari adanya utang adalah adanya hak menagih utang dan hak membayar utang. Dan disunnahkan bersikap baik dalam menagih utang serta wajib menunggu orang yang dalam keadaan tidak mampu membayar sampai ketika ia mampu membayar utangnya, menurut kesepakatan para ulama,” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, juz 3, hal. 268).

BACA JUGA: Doa Bebas Utang

Perintah untuk tidak menagih utang pada orang yang berada dalam keadaan tidak mampu, juga sesuai dengan firman Allah subhanahu wa Ta’ala: “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

Kaidah Menagih Utang: Menurut Syekh Fakhruddin Ar-Razi

Ulama Tafsir kenamaan, Syekh Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab tafsirnya, Mafatih al-Ghaib menjelaskan perincian hukum yang berkaitan dengan ayat di atas dengan begitu jelas, simak penjelasan beliau dalam referensi berikut: “Ketika seseorang mengetahui bahwa orang yang ia beri utang dalam keadaan tidak mampu, maka haram baginya untuk menahannya (agar tidak kabur) dan haram pula menagih utang yang menjadi tanggungannya. Maka wajib untuk menunggu sampai ia mampu membayar. Jika ia masih ragu tentang ketidakmampuan orang tersebut untuk membayar utang, maka boleh untuk menahannya sampai telah jelas bahwa ia benar-benar tidak mampu.

https://youtube.com/watch?v=fi0m4frWnck%3Fstart%3D2%26feature%3Doembed

Jika orang yang berutang mengaku dalam keadaan tidak mampu, namun orang yang memberi utang tidak mempercayainya, maka dalam keadaan demikian terdapat dua perincian: Jika utangnya berupa harta yang diserahkan padanya, seperti akad penjualan (yang belum dibayar) atau akad utang (qardl), maka wajib bagi orang yang utang untuk membuktikan dengan dua orang saksi bahwa harta yang diserahkan padanya telah tiada.

Sedangkan jika utangnya berupa harta yang tidak diserahkan padanya, seperti ia telah merusak harta orang lain dan berkewajiban untuk mengganti rugi atau ia utang pembayaran mahar nikah, maka ucapan dari orang yang memiliki tanggungan dalam hal ini secara langsung dapat dibenarkan, sedangkan bagi orang yang memiliki hak harus menyertakan bukti yang mementahkan pengakuan orang yang memiliki tanggungan tadi, hal ini dikarenakan hukum asal dari orang yang memiliki tanggungan berada dalam keadaan tidak mampu,” (Syekh Fakruddin ar-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, juz 4, hal. 44).

Kaidah Menagih Utang: Lakukan dengan Cara yang Baik dan Sopan

Dalam menagih utang, hendaknya dilakukan dengan cara yang baik dan sopan, tidak dengan nada mengancam, apalagi sampai menuntut dibayar dengan nominal yang lebih, sebab hal tersebut merupakan tradisi buruk masyarakat jahiliyah Arab di zaman dahulu (Ibnu Katsir, Tafsir ibn Katsir, juz1, hal. 717).

Menunda bayar utang padahal mampu adalah Kezaliman. Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menagih utang merupakan hak yang diberikan oleh syariat kepada orang yang memberi utang.

Pelancar Rezeki, jalan rezeki, utang, Kaidah Menagih Utang
Foto: Abu Umar | Islampos

Pelaksanaan penagihan utang ini tidak terpaku pada waktu jatuh tempo pembayaran utang saja, sebab pensyaratan penetapan waktu tempo pembayaran utang ini hanya dibenarkan menurut mazhab malikiyah saja.

Sedangkan menurut mayoritas ulama, menagih utang dapat dilakukan kapan pun selama orang yang diberi utang (muqtarid) berada dalam keadaan mampu dan memiliki harta yang cukup untuk dibuat membayar utangnya.

Sedangkan dalam praktiknya, hendaknya menagih utang dilakukan dengan sopan serta mempertimbangkan etika sosial yang berlaku. Hal ini dilakukan tak lain agar hubungan antara orang yang memberi utang dan orang yang berutang tetap harmonis tanpa adanya pihak yang tersakiti, terlebih sampai memutus hubungan sosial yang sebelumnya berjalan dengan baik. Wallahu a’lam. []

SUMBER: ISLAM.NU

ISLAMPOS

Ketahuilah, Ini 6 Penyakit Hati yang Sulit Disembuhkan

TENTU kita sudah ketahui bahwa bukan hanya raga atau fisik saja yang bisa sakit atau terkena penyakit, namun hati atau rohani juga bisa memiliki penyakit. Dan tentunya penyembuhannya bukan dengan alat-alat medis. Bukan hanya merugikan diri sendiri namun penyakit hati juga bisa merugikan orang lain.

Selain itu, balasan adzab dan kesukaran dalam hidup juga akan didapat jika penyakit hati terus dipelihara. Lalu apa saja sih penyakit hati yang berbahaya ini? Berikut ada beberapa macam penyakit hati dalam Islam yang harus dijauhi.

1 Penyakit Hati: Sombong (Takabbur)

Sombong atau tinggi hati bisa bermacam-macam bentuknya. Pertama, menganggap rendah orang lain. Kedua, tidak bisa menerima saran dan kritik membangun dari orang lain. Kedua hal tersebut disebabkan sifat sombong yang merasa diri sendiri jauh lebih baik dari orang lain, serta merasa tidak perlu saran dari orang lain karena menganggap dirinya selalu benar.

Allah SWT berfirman: “Janganlah kalian berjalan di muka bumi dengan penuh kesombongan. Karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS al-Isra’: 37)

Azab bagi Orang yang Dengki, Penghalang Masuk Surga, Penyakit Hati
Foto: Pinterest

Sifat sombong ini bisa diatasi dengan cara membuka hati. Sadari bahwa di atas langit masih ada langit. Jadi sudah sepatutnya tidak menganggap rendah orang lain karena pasti ada orang lain yang memiliki kemampuan lebih tinggi. Membuka hati terhadap saran dan kritik dari orang lain juga perlu disadari untuk membangun dan mengembangkan diri jadi lebih baik lagi.

2 Penyakit Hati: Pamer (Riya’)

Dalam konteks ini, riya’ yang dimaksud adalah memperlihatkan amal shaleh di depan orang lain. Sifat riya’ menunjukkan adanya kebutuhan untuk dihargai dan dihormati oleh sesama umat manusia atas amalan apa saja yang telah dilakukan. Padahal, seharusnya urusan amal shaleh itu dijadikan niat untuk beribadah kepada Allah SWT semata. Riya’ bisa muncul kapan saja, baik sebelum atau saat sedang beramal.

Sifat riya’ sudah seharusnya dijauhi terutama saat memberikan sedekah bagi kaum yang membutuhkan. Jangan sampai amalan dari sedekah itu hilang tak berbekas karena terselip niat riya’ di dalamnya.

“Janganlah kalian menghilangkan pahala shadaqah kalian dengan menyebut-nyebutnya atau menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak berimana kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah: 264)

3 Penyakit Hati: Narsis (Ujub)

Ujub adalah sifat yang terlalu mengagumi diri sendiri atas semua kebaikan yang ada dalam dirinya, tanpa ingat bahwa semua karunia yang ia dapat adalah pemberian dari Allah SWT.

Ada beberapa hal yang bisa menimbulkan sifat ujub, di antaranya sering berhasil melakukan pekerjaan, meraih banyak pujian dari orang lain, punya wewenang tinggi, memiliki penampilan fisik sempurna dan masih banyak lagi.

https://youtube.com/watch?v=NshMWRbPiGw%3Fstart%3D17%26feature%3Doembed

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tiga perkara yang membinasakan: rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan ujubnya seseorang terhadap dirinya sendiri.” (HR. At-Thabrani)

Jangan biarkan sifat ujub atau narsis ini menggerogoti iman. Tetaplah berdzikir karena setiap keberhasilan dan kelebihan yang didapat manusia tentu semua datangnya dari Allah SWT.\

4 Penyakit Hati: Iri dan Dengki (Hasad)

Sifat iri dengki pada kesuksesan dan kelebihan yang dimiliki orang lain, serta keinginan agar semua kelebihan tersebut lenyap bukanlah sikap yang terpuji. Terlebih lagi, menyimpan rasa iri dengki hanya akan memperburuk keadaan diri sendiri. Alangkah baiknya setiap kelebihan dan kesuksesan orang lain dijadikan motivasi untuk meningkatkan kualitas diri jadi jauh lebih baik.

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang dilebihkan Allâh kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allâh sebagian dari karunia-Nya. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An-Nisâ’: 32)

Hadits tentang Sabar, Wasiat Rasulullah,, Ghibah dan Buhtan, Penyakit Hati
Foto: Unsplash

5 Penyakit Hati: Pelit (Taqtir)

Kikir atau terlalu pelit dalam artian menolak menyisihkan sebagian hartanya bahkan untuk bersedekah. Orang dengan sifat kikir tidak akan pernah mendapatkan berkah dari Allah SWT. Pasalnya, dalam harta seseorang terdapat hak orang lain yang membutuhkan yang tentunya harus dikeluarkan.

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran: 180)

6 Penyakit Hati: Terlalu Mengejar Hal Duniawi

Terlalu fokus mengejar hal-hal bersifat duniawi sampai-sampai melupakan kewajiban beribadah kepada Allah SWT termasuk penyakit hati yang berbahaya. Misalnya, kerja keras sampai lembur tapi lalai sholat lima waktu atau sibuk mengembangkan usaha hingga jadi kaya raya tapi selalu lupa kepentingan beramal.

Hal-hal semacam inilah yang sesungguhnya membuat apa yang sudah diraih sebenarnya sia-sia. Karena sesungguhnya tak hanya kenikmatan dunia semata, tapi kehidupan di akhirat kelak juga harus dipikirkan. []

ISLAMPOS

Kisah Mualaf Dewa Putu Adhi: Teguh Diterpa Berbagai Ujian

Mantan gitaris asal Bali, Dewa Putu Adhi, menceritakan kisah perjuangannya setelah menjadi mualaf. Pria bertato ini memeluk Islam dari sebelumnya Hindu pada 2017.

Dewa berpindah keyakinan setelah dia mempelajari Islam dan menemukan ciri-ciri Nabi Muhammad SAW dalam kitab Weda Hindu. Dalam tayangan di saluran Youtube Refly Harun, Dewa menuturkan berbagai ujian yang diterimanya setelah memeluk agama barunya, Islam.

Dewa mengaku ia masuk Islam bukan karena menikah dengan istrinya yang berasal dari keluarga Muslim. Ia mengaku justru dirinya yang membawa istri pada Islam. Sebab meskipun keluarganya Muslim, tetapi ia tidak menjalankan agamanya.

Berbagai cobaan menguji keteguhan iman Dewa Putu Adhi. Di awal hijrah, ia masih menjalani karier bermusik di kafe-kafe sebagai musisi bayaran.

Saat itu, Dewa mengaku menerima banyak godaan yang mengajaknya untuk memeluk agama mereka dengan imbalan uang, bahkan ada yang menawarkan hingga setengah miliar rupiah. Namun, Dewa kemudian menjelaskan ia telah memeluk Islam dan balik mendakwahi orang tersebut.

Tidak berhenti di situ, Allah juga memberinya ujian lain. Dewa mengutip ayat Alquran yang menyatakan mereka yang mengaku beriman akan Allah uji.

Salah satu cobaan yang terberat adalah saat kelahiran anak keduanya pada 2017. Saat tengah malam, istrinya mengeluh sakit. Hingga waktu sholat Subuh, istrinya menangis karena merasakan sakit di perutnya dan mulai mengeluarkan cairan dari rahimnya. Dewa kemudian membawanya ke rumah sakit.

Sesampainya di UGD, Dewa terpaksa meninggalkan istrinya karena ia harus mencari uang untuk membayar biaya perawatan istrinya di rumah sakit tersebut.

“Karena hari itu uang yang saya pegang hanya Rp 26 ribu. Dahulu, saya beli apa pun, motor Harley, jajan gitar, kayaknya uang nggak habis-habis, jalan-jalan ke luar negeri dan sebagainya. Begitu Islam, Allah ambil semuanya,” ungkap Dewa.

“Kalau kata guru saya Ustadz Adi Hidayat (UAH), jadi kayak nguras bak air mandi, jadi benar-benar sampai airnya habis, kemudian sakit, harus disikat kerak-keraknya. Benar-benar habis, kosong, sakit, sakit badan, pikiran dan semuanya,” ujarnya.

Di tengah kebingungan seperti itu, Dewa terpikir meminta bantuan kepada teman-teman artisnya. Ia lantas mendatangi satu per satu teman artis, sekitar 11 orang, tetapi tidak ada satu pun yang memberinya pinjaman uang. Bahkan, ia mengaku ada salah satu rekan artis yang enggan menemuinya dan hanya diwakili asisten.

Sampai akhirnya, rumah sakit menghubungi dan memintanya kembali ke rumah sakit untuk mengisi sebuah surat pernyataan. Isinya menyatakan tidak menuntut jika terjadi sesuatu dengan kandungan istrinya karena ia tidak membayar uang muka untuk mengambil tindakan medis.

Saat itu, Dewa merasa bingung lantaran ia masih belum mendapatkan pinjaman uang sepeser pun. Dewa hanya melihat istrinya menahan sakit. Dalam benak Dewa saat itu, ia tidak ingin mencoreng nama baik mualaf dengan mengemis atau meminta bantuan kepada orang lain.

Karena itulah, ia juga kerap mengingatkan para mualaf agar tidak menjual kemualafannya untuk minta dikasihani atau dibantu. Dewa akhirnya menghubungi Ustadz Khalid Basalamah dan hanya mengatakan ia tengah dalam kesulitan. Dewa meminta Ustadz Khalid memberitahunya doa dan amalan apa supaya ia bisa keluar dari masalah tersebut.

“Saat itu, dia bilang, sejak kapan manusia diciptakan Allah untuk mencari jalan keluar, Allah menciptakan manusia untuk beribadah. Jadi kalau antum punya kesulitan, ibadah, minta sama Allah,” ujarnya.

Ucapan Ustadz Khalid itu menjadi tamparan baginya. Pasalnya, yang biasanya ia melakukan sholat dhuha, hari itu ia melewatkannya.

Bahkan, waktu sholat zhuhur nyaris dilewatkannya karena ia sibuk di rumah sakit. Dewa kemudian mencari mushala di rumah sakit tersebut dan kemudian memanjatkan doa kepada Tuhannya.

“Karena baru memeluk Islam, jadi tidak banyak doa yang saya ketahui. Saya cuma berdoa gini, ya Allah selamatkan istri dan anak saya,” katanya.

Dewa lantas kembali pada istrinya dan ketika itu pula perawat mengatakan janin di dalam kandungan istrinya harus dikeluarkan lantaran detak jantung bayi sudah tidak ada. Perasaan Dewa kala itu begitu berat.

Secara mengejutkan seorang teman mualaf China menemuinya ke rumah sakit dan langsung membayar lunas biaya rumah sakit. Ia merasa senang bercampur haru.

Hal itu membuatnya merenung dan berkata bahwa manusia kerap lupa pada Allah. Ketika punya kesulitan dan masalah, manusia baru mencari Allah. Sedangkan ketika tengah dibuai kesenangan, mereka enggan menemui Allah.

“Ternyata orang yang kayak saya, minta sama Allah, Allah kasih. Saya beribadah saja belum sempurna, tapi masih Engkau (Allah) bantu,” katanya.

Dewa merasa bersyukur karena bayi yang dinantinya itu lahir dengan sehat dan selamat dan tumbuh kembang dengan baik hingga saat ini. Belajar dari kisahnya ini, Dewa mengungkapkan ia kerap menyampaikan kepada jamaahnya agar jangan lupa kepada Allah dan harus lebih memperbanyak ibadah, terutama di masa pandemi seperti ini.

Saat ini, Dewa mengaku lebih banyak menghabiskan waktu berdakwah. Menurutnya, istrinya juga sudah mengikhlaskan suaminya melakukan safari dakwah hingga harus meninggalkan rumah berhari-hari.

Selain berdakwah, Dewa juga menggarap film dan memiliki penghasilan dari itu. Ia mengungkapkan berencana membuat film tentang Pangeran Diponegoro.

Selama masa pandemi ini, ia juga masih menjalankan aktivitas dakwahnya. Dewa mengungkap ia kerap diberi amplop dari dakwahnya.

Bahkan, ia mengaku pernah mendapat hingga Rp 60 juta dalam satu kali dakwah. Kala itu, ia mengaku terkejut hingga ia menghubungi panitia acara. Menurutnya, saat itu ia berdakwah di suatu majelis taklim yang isinya para pengusaha Muslim.

Namun, ia tidak ingin rasa ikhlasnya hilang, di sisi lain ia juga masih memiliki bisnis. Karena itu, Dewa mengaku ingin berdakwah karena ikhlas, bukan karena tarif.

Dewa juga berpikir, guru agama seperti ‘ustadz kampung’ bahkan lebih berhak mendapat bayaran tinggi. Sebab, menurutnya, orang-orang lebih bersedia membayar mahal untuk sekolah dan les pelajaran lain, sementara guru ngaji kerap dibayar murah. Apalagi, rata-rata guru ngaji tidak menarifkan bayaran, dan wali murid membayar seikhlasnya.

“Saya ingin orang lebih sadar dan bangga pada Islam. Orang tua kita yang sudah almarhum hanya selamat berkat doa anak-anak, dan bagaimana bisa selamat kalau anak-anaknya tidak paham agama, tidak bisa mengaji,” kata Dewa.

Dewa juga mengungkapkan satu-satunya kitab suci agama di dunia yang bisa dihafal hanya Alquran. Selain itu, ia menyeru agar umat Islam bersatu karena Islam konsepnya adalah jamaah.

Dewa menceritakan kisah perjuangan umat Islam dalam perang di masa Rasulullah, jumlah pasukan Islam kala itu tidak pernah berimbang dengan pasukan lawan. Namun, pasukan Muslim bisa memenangkan peperangan. Kecuali pada perang Uhud, di mana umat Islam yang awalnya menang, kemudian menjadi kalah setelah sebagian pasukan Muslim tidak mengikuti perintah pimpinan dan tergiur dengan ghanimah (harta rampasan perang).

Kisahnya di Youtube

KHAZANAH

Kemenag Libatkan UI Susun Mitigasi Layanan Jamaah Haji Lansia

Dalam pelaksanaan ibadah haji 1444 H/2023 M, jumlah jamaah lanjut usia (lansia) Indonesia lebih dari 64 ribu orang. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan pada penyelenggaraan haji di tahun-tahun sebelumnya.

Untuk memaksimalkan layanan, Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) menyusun skema mitigasi layanan jamaah haji lansia. Penyusunan ini melibatkan peneliti sekaligus Executive Secretary Centre for Ageing Studies (CAS) Universitas Indonesia Vita Priantina Dewi.

Vita menyampaikan layanan ramah jamaah haji lansia bisa dilakukan mengacu pada buku Global Age-friendly Cities: A Guide (Kota Ramah Lansia Dunia: Sebuah Pedoman). Buku ini diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO pada 2007.

“Untuk merumuskan layanan ramah jamaah haji lansia, kami mengacu pada buku yang kami anggap masih sangat relevan untuk digunakan saat ini. Di dalamnya dibahas secara mendalam bagaimana seharusnya kita memperlakukan lansia dan membangun hubungan yang baik dengan mereka,” kata Vita dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Kamis (16/3/2023).

Ia menyebut konsep layanan yang ramah lansia dapat dianalogikan dengan sebuah kota yang ramah usia. Kota yang ramah usia ini diartikan sebagai sebuah kota atau kawasan, yang mengakomodir semua fasilitas dan layanan untuk dapat diakses dan melibatkan berbagai kebutuhan dan kapasitas lanjut usia.

Vita lalu mengusulkan desain pelayanan jamaah haji yang ramah lansia berdasarkan pada enam dimensi dengan mengacu pada Aging in Place Technology Watch Tahun 2010. Usulan ini, antara lain sebagai berikut.

Desain pelayanan haji ramah lansia

1. Hotel atau asrama haji. Sebagai penginapan jamaah haji, diusahakan dapat mengakomodir aktivitas lansia dengan menyediakan ruang terbuka, jalan yang melandai, serta akses evakuasi yang mudah;

2. Komunikasi dan informasi. Membangun komunikasi yang efektif dengan lansia yang sudah mengalami penurunan fungsi penglihatan;

3. Keamanan dan keselamatan. Menyediakan keamanan umum dan pelayanan gawat darurat bagi lansia, sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya kecelakaan;

4. Kesehatan dan kesejahteraan. Pendampingan jamaah haji lansia baik untuk aspek kesehatan, mental maupun spiritual. Contohnya, dengan menyediakan makanan yang baik serta menghadirkan perawat, ahli gizi, dokter spesialis geriatri, dokter gigi, psikolog dan visitasi oleh ketua kloter dan petugas;

5. Fasilitas dan program pelibatan jamaah haji. Yang dimaksud adalah membangun kedekatan dengan menghadirkan program yang melibatkan jamaah haji lansia secara langsung; dan

6. Transportasi. Menyediakan aksesibilitas yang ramah lansia pada sarana transportasi beserta fasilitas di dalamnya.

Sekretaris Ditjen PHU Ahmad Abdullah mengatakan tahun ini jamaah haji lansia yang akan diberangkatkan mencapai 30 persen dari total kuota Indonesia. “Dalam situasi dan kondisi pascapandemi ini, terdapat akumulasi jamaah haji lansia yang pada tahun ini sudah waktunya untuk berangkat. Jadi ini adalah bagian dari pelayanan masyarakat yang harus menjadi perhatian kita bersama, agar permasalahan terkait layanan ini bisa segera kita tuntaskan,” ujar Abdullah.

IHRAM

Bentuk Syukur yang Sering Dilupakan Manusia

Manusia sebagai makhluk sosial pastilah tak akan pernah lepas dari bantuan dan pertolongan orang lain, selain tentunya semuanya tak pernah lepas dari karunia dan pertolongan dari Allah Ta’ala.

Semenjak masih bayi, ada orang tua yang rela mengorbankan dua puluh empat jam kehidupannya untuk merawat dan menemani bayi tersebut berkembang dan bertumbuh dewasa. Fase berikutnya, seorang manusia akan memasuki kehidupan sekolah, di mana di dalamnya terdapat guru-guru dan pengajar yang akan membantunya memahami kehidupan atau bahkan mengajarkan kepadanya hal-hal wajib dan mendasar terkait agama Islam yang kita butuhkan.

Beranjak di dunia pernikahan, seseorang akan memiliki pendamping hidup yang rela menemaninya dalam suka maupun duka, pasangan hidup yang agama seseorang bergantung erat dengannya.

Lalu, pernahkan terbetik dalam hati kita untuk barang sekali mengucapkan “jazakumullahu khairan” atau “terima kasih” kepada orang-orang yang telah banyak berjasa kepada kita?

Mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua kita, terutama ibu yang sudah mengandung kita ataupun bapak yang rela berkendara dalam hujan, menerjang panasnya kota untuk menghidupi kita? Kepada guru yang telah begitu banyak mengajarkan kebaikan dan kebenaran kepada kita? Kepada suami atau istri yang telah rela hidup bersama kita hingga saat ini?

Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya di antara bentuk syukur yang paling besar terhadap nikmat dan rezeki yang kita dapatkan di kehidupan dunia ini adalah bersyukur dan berterima kasih kepada orang-orang yang menjadi perantara terwujudnya kenikmatan dan karunia tersebut.

Hal ini tentu saja bukanlah perkara yang mudah, seringkali manusia melupakan dan menganggap remeh bersyukur dan berterima kasih kepada manusia. Sampai-sampai Allah Ta’ala berfirman,

وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ 

“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba’: 13)

Hal ini tentu saja bukan tanpa sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يَشْكُرُ اللهَ مَن لا يَشْكُرُ الناسَ

”Tidak akan terwujud rasa syukur kepada Allah Ta’ala dari seseorang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (HR. Abu Dawud no. 4811)

Para ulama mengatakan,

“Makna hadis tersebut adalah sesungguhnya siapa yang tabiat dan kebiasaannya masa bodoh, tidak peduli dan mengingkari kebaikan orang lain, serta tidak berterima kasih kepada mereka, maka ia pun dengan mudahnya juga tidak bersyukur dan berterima kasih serta mengingkari kebaikan-kebaikan dan nikmat Allah Ta’ala.”

Hubungan rasa syukur kepada Allah Ta’ala dan rasa syukur kepada manusia

Asalnya, sebagaimana Allah-lah yang telah menciptakan kita, maka semua kenikmatan dan rezeki yang sampai pada diri kita sumbernya pun dari Allah Ta’ala. Manusia dituntut dan diperintahkan untuk senantiasa bersyukur dan berterima kasih kepada Allah Ta’ala dengan beribadah, beramal, menjauhkan diri dari dosa, serta memanfaatkan kenikmatan yang ada dengan sebaik-baiknya.

Rezeki yang Allah Ta’ala berikan ini seringkali akan melalui perantara seorang manusia. Sebut saja ilmu yang bermanfaat, hidayah, dan amal-amal kebaikan, semuanya itu bisa kita kenal dan kita pelajari melalui perantara para nabi dan orang orang saleh. Oleh karena itu, kita harus bersyukur kepada Allah Ta’ala karena telah mengutus para nabi-Nya serta memperbanyak orang saleh di antara kita, selain kita juga harus bersyukur kepada para rasul dan perantara tersebut. Karena rasa syukur dan terima kasih kita kepada mereka merupakan realisasi rasa syukur kita kepada Allah Ta’ala.

Beberapa orang yang terkemuka mengatakan,

“Jikalau setan mengetahui ada jalan yang lebih utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala selain rasa syukur, pastilah ia akan mencegatnya. Tidakkah kalian menyaksikan apa yang ia ucapkan?

ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

‘Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka (hamba-hamba Allah) bersyukur.’ (QS. Al-A’raf: 17)

Mereka tidak mengatakan, ‘Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka (hamba-hamba Allah) bersabar.’” (Faidhul Qaadir karya Imam Al-Munawi, 1: 341)

Bahaya tidak bersyukur dan berterima kasih kepada manusia

Tidak bersyukur dan tidak berterima kasih kepada manusia sangatlah berbahaya, sampai-sampai perbuatan ini dicap sebagai bentuk kekafiran. Hanya saja kekafiran yang dimaksud di sini bukanlah kekafiran yang akan mengeluarkan pelakunya dari agama Islam secara khusus. Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الاسْتِغْفَارَ؛ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ))، فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ: وَمَا لَنَا أَكْثَرُ أَهْلِ النَّارِ؟ قَالَ: ((تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ

“Wahai para wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah beristigfar (mohon ampun kepada Allah). Karena sungguh aku melihat kalian sebagai penghuni neraka yang paling banyak.” Seorang wanita yang cerdas di antara mereka berkata, “Mengapa kami sebagai penghuni neraka yang paling banyak, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Karena kalian sering melaknat dan sering mengingkari kebaikan suami.” (HR. Muslim no. 79 dan Ibnu Majah no. 4003)

Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَط

“Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita, karena mereka kufur.” Beliau ditanya, “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka kufur kepada suami dan mengingkari kebaikan. Andaikan engkau berbuat baik kepada seorang istri sepanjang waktu, kemudian sekali saja ia melihat kesalahanmu, maka ia mengatakan, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu.’” (HR. Bukhari no. 29  dan Muslim no. 907)

Nabi khususkan kufur kepada suami di antara dosa-dosa lain yang begitu banyak karena begitu agungnya kedudukan suami bagi seorang istri. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

لو كنتُ آمُرُ أحَدًاأنْ يَسجُدَ لأحَدٍ، لأمَرتُ المرأةَ أنْ تسجُدَ لزَوجِها، ولا تُؤدِّي المرأةُ حَقَّ اللهِ عزَّ وجلَّ عليها كلَّه، حتى تُؤدِّيَ حَقَّ زَوجِها عليها كلَّه

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya kuperintahkan perempuan untuk bersujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang istri (dianggap) telah menunaikan hak Rabb-nya seluruhnya, kecuali dia telah menunaikan hak suaminya seluruhnya.” (HR. Ibnu Majah no. 1853 dan Ahmad no. 19403)

Dua panduan dalam bersyukur kepada manusia yang sesuai syariat

Pertama: Bersyukur dan berterima kasih tanpa memandang status orang yang memberikannya. Dengan adanya kebaikan dari orang lain, maka harus senantiasa dibarengi juga dengan rasa syukur dan terima kasih.

Dikisahkan dari Abu Isa ia berkata,

كان إبراهيم بن أدهم إذا صَنَعَ إليه أحدٌ معروفًا، حرَصَ على أنْ يُكافِئَه، أو يتفضَّل عليه، قال أبو عيسى: فلَقِيَني وأنا على حمار، وأنا أُريد بيتَ المقدس، وقد اشترى بأربعة دوانيق تُفاحًا وسفرجلًا وخوخًا وفاكهةً، فقال: يا أبا عيسى، أُحِبُّ أنْ تَحمِل هذا، قال وإذا عجوز يَهوديَّة في كوخ لها، فقال: أُحِبُّ أنْ تُوصِّل هذا إليها، فإنني مرَرتُ وأنا مُمسٍ فبيَّتَتني عندها، فأُحِبُّ أن أُكافِئها على ذلك

“Ibrahim bin Adham, jika seseorang berbuat baik kepadanya, maka dia ingin sekali membalas dan memberinya hadiah, atau bersikap baik padanya. Abu Isa berkata, ‘Suatu saat ia bertemu denganku, sedang aku berada di atas keledai, dan aku sedang menuju Baitul Maqdis, sedangkan dia baru saja membeli apel, quince, buah persik, dan buah-buahan lainnya seharga empat daniq (salah satu mata uang perak jaman dahulu). Kemudian dia berkata, ‘Wahai Abu Isa, saya sangat senang bila engkau mau membawakan ini.’ Abu Isa melanjutkan, ‘Hingga kami melihat seorang wanita tua Yahudi berada di gubuknya, kemudian (Ibrahim bin Adham) berkata, ‘Saya ingin Anda mengirimkan ini kepadanya. Pernah suatu kali saya melewatinya sedang saya sudah kemalaman, kemudian wanita tua tersebut menyuruhku untuk bermalam di rumahnya. Saya sangat senang bila bisa menghadiahi dan membalas untuk kebaikan yang telah ia lakukan tersebut.”” (Raudhatul Uqala’ Wa Nuzhatu Al-Fudhalaa karya Ibnu Hibban hal. 266)

Kedua: Membalas kebaikan orang tersebut semampunya. Jika tidak mampu, maka cukup dengan memuji dan menyebutkannya. Sebagaimana hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ أُتِيَ إليهِ معروفٌ فلِيكافئَ بهِ ، و مَنْ لمْ يستطعْ فلِيذكرْهُ ، فإنَّ مَنْ ذكرَهُ فقد شكرَهُ

“Barangsiapa yang diberikan kebaikan, maka hendaknya membalasnya. Jika tidak mampu, maka hendaknya menyebut kebaikan itu. Dan siapa yang menyebutnya, maka dia telah bersyukur kepadanya.” (HR. Ahmad no. 24593 dan disebutkan oleh Syekh Albani dalam Shahih At-Targhib hal. 972).

Wallahu a’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83650-bentuk-syukur-yang-sering-dilupakan-manusia.html

16 Cara Meningkatkan Iman (2-Habis)

ORANG yang hidup tanpa iman ia seperti rumah tanpa pondasi dan akar yang kuat. Ia akan mudah rapuh, rapuk, dan bahkan tidak akan bisa melindungi orang yang menghuni rumah. Begitupun iman dan taqwa dalam diri manusia. Ia akan melindungi dari segala macam kesesatan, keterperukan, dan berbagai bencana lainnya dalam hidup manusia.

Manusia adalah makhluk yang sering lalai dan tidak awas diri, untuk itu masalah iman dan taqwa pun juga bisa menurun tanpa mengenal waktu. Berikut adalah 16 cara agar manusia dapat meningkatkan iman,

9- Cara Meningkatkan Iman: Menjauhi Lingkungan yang Buruk

Jika kita merasa belum bisa untuk beradabtasi dan menghindari segala kemaksiatan, maka pilihan kita bisa menjauhi lingkungan tersebut sampai kekuatan iman dan taqwa kita meningkat. Menjaga diri lebih baik ketimbang harus tetap berada dalam lingkungan yang membuat diri kita semakin memburuk.

Akan tetapi, menjauhi lingkungan yang buruk bukan berarti kita harus bersikap eksklusif sehingga tidak ada interaksi sosial dengan manusia lainnya. Allah sendiri menyuruh kita untuk bersosialisasi dan bersyiar agar tercitrakan islam yang baik di masyarakat.

Ilmu, Ilahi Rabbi, sabar, manusia hebat
Foto: Unsplash

10- Cara Meningkatkan Iman: Tidak Terlena dengan Kehidupan Dunia

Dunia bisa menawarkan kebahagiaan ataupun kesedihan walaupun semuanya hanya sementara. Untuk itu, menjaga dan meningkat keimanan dan ketaqwaan dapat kita lakukan dengan cara menjaga diri agar tidak terlena dengan kehidupan dunia. Biasanya dengan terlena kehidupan dunia, kita juga lupa dengan Allah dan perintahnya. Untuk itu, berhati-hati baik dalam kondisi apapun agar tidak terjebak pada urusan duniawi semata.

Untuk itu bisa juga kita mempelajari bagaimana cara sukses di Dunia Menurut Islam, Sukses Menurut Islam, Sukses Dunia Akhirat Menurut Islam, dengan Cara Sukses Menurut Islam agar tidak salah menempatkan dunia dalam hidup.

11- Cara Meningkatkan Iman: Mengikuti Majelis Ilmu

Menghadiri majelis ilmu adalah cara juga agar keimanan dan ketaqwaan kita bisa meningkat. Majelis ilmu tentu akan memberikan kita banyak hikmah dan juga pencerahan. Bagaimanapun, ilmu selalu kita butuhkan dan membuat diri kita semakin baik setiap saat. Hadirilah majelis ilmu, yang membahas ilmu islam, ilmu pengetahuan yang bermanfaat, agar kebesaran Allah semakin hadir dalam diri kita.

Hal ini juga disampaikan dalam Al-Quran, “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis.” maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu” maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Mujadilah : 11)

12- Cara Meningkatkan Iman: Mengasah Akal dan Menjauhi Hawa Nafsu

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.” (QS Ar-Rum : 24)

Surah Al-Kahfi Langkah, Zuhud menurut Imam Al-Ghazali Taubat Laki-Laki Penghuni Surga Tanda Allah Mencintai Hamba-Nya, Kunci Agar Awet MudaWaktu Mengucapkan Subhanallah, Selamat Dunia Akhirat, Syarat Taubat Diterima, Keutamaan Menunjukkan Kebaikan dalam Islam, Makna Rukun Iman, Tujuan Hidup, iman, Keutamaan Akhlak Mulia, Batasan Aurat Lelaki, muslim terbaik, Syafaat Nabi, Cara Meningkatkan Iman
Foto: Pixabay

Ayat tersebut menunjukkan bahwa keimanan dan rasa takut kepada Allah hanya akan muncul jika kita menggunakan akal dengan benar. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita bukan hanya persoalan spiritual tapi membutuhkan daya pikir dan nalar yang baik. Untuk itu, dalam meningaktkan keimanan maka dibutuhkan terus menerus mengasah akal agar akal kita tunduk kepada yang benar bukan kepada hawa nafsu semata.

Maksiat menjadi penyebab kendornya iman seseorang. Untuk itu, wajib bagi Anda untuk menghindari maksiat sebagai salah satu cara menguatkan iman Anda. Godaan melakukan maksiat sangatlah kuat di dunia ini. Karena itu, Anda harus benar-benar menjaga tangan, kaki, mata, telinga, lidah, dan anggota tubuh yang lainnya untuk tidak bergerak melakukan kemaksiatan.

BACA JUGA:

13- Cara Meningkatkan Iman: Memperbanyak Syukur, Menjauhi Mengeluh

Memperbanyak syukur dan menjauhi mengeluh bisa juga meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita. Syukur berarti kita selalu mencari nikmat dan rezeki Allah di setiap saat dalam kondisi apapun. Dengan begitu kita bisa tetap yakin bahwa Allah tidak pernah meninggalkan kita dan senantiasa membantu kita untuk mendapatkan nikmat dan rezeki yang banyak.

14- Cara Meningkatkan Iman: Memperbanyak Dzikir

Dengan berdzikir artinya kita sedang mengingat Allah. Dzikir tidak selalu dalam bentuk bacaan yang panjang atau dalam berbagai hitungan. Berdzikir mengingat Allah bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Mengingat segala hukum Allah, hukum pengetahuan yang ada di alam ciptaan Allah ataupun adzab atau hukuman Allah. Untuk itu, orang yang berdzikir akan mendekati kepada Allah dan semakin cinta akan syariat Allah.

15- Cara Meningkatkan Iman: Mengikuti Sunnah Rasul

“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (QS Al Baqarah : 285)

Dalam ayat diatas, menunjukkan bahwa mengikuti sunnah Rasul adalah cara yang bisa juga dilakukan untuk meningkatkan iman dan taqwa. Sunnah rasul atau apa yang Rasulullah lakukan sejatinya adalah jalan-jalan yang diarahkan menuju Ridho Allah SWT. Untuk itu, muslim yang mengikuti sunnah rasul tentu akan mendapatkan juga jalan dan arah yang sama sebagaimana Rasulullah.

16- Cara Meningkatkan Iman: Menikmati Hidup yang Allah Berikan

Iman dan taqwa yang kuat serta senantiasa meningkat hanya akan didapatkan oleh orang-orang yang menikmati hidup dari Allah SWT. Mereka akan mendapatkan keimanan dan ketaqwaan karena merasakan hidup yang penuh syukur, nikmat, pertolongan Allah, dan rezeki. Mereka yang merasakan ini tentu akan mendapatkan kenikmatan hidup dunia dan akhirat.

Keutamaan Tawadhu, Peran Pemuda dan Santri, Selamat Dunia Akhirat, Ketidaktahuan Hamba, Amalan Pelebur Dosa di Bulan Ramadhan, Sifat Lelaki Sejati, ibadah, keutamaan berdoa, obat hati, Ustadz Adi Hidayat, Kandungan Doa Sapujagat, Cara Meningkatkan Iman
Foto: Unsplash

Hal ini juga disampaikan dalam ayat berikut, “Dan Kami telah memberikan kepada mereka di antara tanda-tanda kekuasaan (Kami) sesuatu yang di dalamnya terdapat nikmat yang nyata” (QS Adh Dhukan : 33)

BACA JUGA: Percik-Percik Keimanan

Kunci dari semua jalan meningkatkan iman adalah menjalankan semuanya secara bertahap, konsisten, sungguh-sungguh, niat yang lurus dan selalu berusaha untuk mencari lingkungan atau proses kondisi diri yang baik. Bagaimanapun juga manusia memiliki kelemahan dan semua itu harus dicoba dengan pengondisian eksternal.

Tanpa konsisten yang tinggi tentu saja iman  tidak akan meningkat, justru malah stagnan atau bahkan melemah. Maka itu iman  jika ingin meningkat ia harus dipupuk terus menerus, dipelihara dan jangan sampai terperosok jurang kesesatan yang lebih dalam.

Untuk itu, umat islam harus senantiasa mengingat bahwa sekali terpuruk maka syetan akan selalu menggoda untuk jatuh lebih dalam. Sebelum terpuruk, maka jangan sampai kita mendekati atau menyentuh lingkaran yang dibuat oleh setan untuk menjebak manusia. Hal ini sebagiamana juga disampaikan dalam ayat,

“Sesungguhnya orang-orang yang menukar iman dengan kekafiran, sekali-kali mereka tidak dapat memberi mudharat kepada Allah sedikitpun; dan bagi mereka azab yang pedih.” (QS Ali Imran : 177). []

HABIS

16 Cara Meningkatkan Iman (1)

IMAN kepada Allah merupakan modal dasar paling berharga bagi seorang mukmin agar selamat hingga negeri akhirat. Sebagai seorang Muslim di zaman sekarang ini, bagaimana cara meningkatkan iman bagi kita?

Para salafuna ash-shalih sangat memperhatikan perkara keimanan karena iman itu fluktuatif, bisa bertambah dan berkurang sebagaimana keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah. Generasi terdahulu senantiasa berupaya menaikkan kualitas iman dengan ilmu dan amal sholih.

Sebagai manusia, Allah menciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah SWT sekaligus untuk diuji kelak untuk menentukan nasib hidup manusia selanjutnya di akhirat. Untuk bisa menjalankan tujuan tersebut tentu saja manusia wajib untuk memiliki iman dan taqwa agar ia mampu juga mau menjalankan segala perintah Allah dengan sebaik-baiknya. Jika itdak, tentu akan mendatangkan kemalasan untuk melaksanakan segala perintah Allah tersebut.

Tanpa adanya iman  manusia tidak akan bisa menjalankan kehidupan dengan ridho dan petunjuk Allah SWT. Untuk itu, iman dan taqwa mampu menyelamatkan kita bukan hanya di dunia namun juga kelak di akhirat. Untuk itu, ia adalah pondasi kehidupan manusia.

Orang yang hidup tanpa iman  ia seperti rumah tanpa pondasi dan akar yang kuat. Ia akan mudah rapuh, rapuk, dan bahkan tidak akan bisa melindungi orang yang menghuni rumah. Begitupun iman dan taqwa dalam diri manusia. Ia akan melindungi dari segala macam kesesatan, keterperukan, dan berbagai bencana lainnya dalam hidup manusia.

Manusia adalah makhluk yang sering lalai dan tidak awas diri, untuk itu masalah iman dan taqwa pun juga bisa menurun tanpa mengenal waktu. Berikut adalah 16 cara agar manusia dapat meningkatkan iman,

1- Cara Meningkatkan Iman: Memperbaiki Shalat

Untuk bisa meningkatkan iman salah satu caranya adalah dengan memperbaiki shalat. Shalat saja tidak cukup, melainkan membutuhkan shalat khusuk dan berkualitas. Itulah shalat yang mencerminkan keimanan dan ketaqwaan.

Rahasia Shalat Dhuha, Waktu Terlarang Shalat Dhuha,, Cara Sujud yang Benar
Foto: Unsplash

Hal mengenai shalat juga disampaikan dalam ayat sebagai berikut, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”  (QS Al Ankabut : 45)

Selain shalat wajib juga bisa melaksanakan shalat sunnnah seperti : Shalat Taubat , Shalat Lailatul Qadar, Shalat Malam Sebelum Tidur, dll.

2- Cara Meningkatkan Iman: Mentadaburi Al-Quran

Darimana kita bisa meyakini dan memiliki ketaqwaan kepada Allah? Tentu saja sumbernya adalah Al-Quran yang memberikan kita petunjuk. Untuk itu dalam meningkat iman dan taqwa membaca sumbernya adalah jalan yang tepat.

Dengan membaca Al-Quran bukan berarti membaca teksnya, melainkan mentadaburi isinya, dan menjadikannya Fungsi Al-Quran dalam Kehidupan Sehari-hari serta Fungsi Al-quran Bagi Umat Manusia.

Hal ini sebagaimana Allah sampaikan dalam Surat Yunus ayat 37, “Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.”

3- Cara Meningkatkan Iman: Berkumpul dengan Orang Shaleh

Salah satu Cara Meningkatkan Iman  yaitu bercengkrama dengan orang saleh. Orang shaleh memupuk iman, sedangkan bersamanya maka kita akan termotivasi dan semangat menjalankan segala perintah-perintah Allah.

Manusia makhluk sosial, membutuhkan teman dan pendampingan agar hidupnya berwarna dan terdapat dorongan yang berasal dari luar.

Carilah orang-orang yang shaleh. Bentuklah interaksi bersamanya dan biarkan kita bersosialisasi dan saling mengingatkan kebaikan dengan mereka untuk membantu kita tetap dalam keimanan kepada Allah SWT.

4- Cara Meningkatkan Iman: Membaca Buku-Buku Islam

Salah satu sumber keimanan adalah ilmu yang kita miliki. Adanya kebermanfaatan ilmu membuat iman dan taqwa kita semakin bertambah.

https://youtube.com/watch?v=_RGowO3ju-E%3Fstart%3D4%26feature%3Doembed

Salah satunya dengan membaca buku-buku islam yang diwariskan ulama atau orang berilmu secara benar lainnya. Ilmu Tasawuf Modern, Ilmu Tauhid Islam, dan Ilmu Kalam dalam Islam  bisa juga dipelajari karena sebagai bagian dari ilmu yang membentuk pondasi keimanan.

5- Cara Meningkatkan Iman: Mempelajari Ilmu Pengetahuan

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya” (QS Al Hajj : 8)

Ilmu di dunia ini segalanya milik Allah. Yang benar adalah milik Allah, hanya manusia saja kadang tidak menangkapnya secara seksama dalam kehidupan sehari-hari. Membaca ilmu pengetahuan dan mempelajarinya akan membuat kita semakin tunduk dan takjub, karena ilmu manusia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang Allah miliki.

Ilmu manusia hanya setetes dari luasnya samudera. Hal ini karena Islam dan Ilmu Pengetahuan tentu saling mendukung bukan bersebrangan.

6- Cara Meningkatkan Iman: Mentadaburi Alam Semesta

Alam semesta jagad raya ini adalah milik Allah SWT. Untuk itu, mentadaburi alam semesta juga salah satu Cara Meningkatkan Iman dan Taqwa.

Aktivitas ini membuat kita semakin yakin dan takjub akan segala ciptaan Allah SWT. Dengan mempelajari kebesaran Allah dan segala isinya, maka keyakinan dan ketaqwaan kita kepada Allah juga akan semakin meningkat.

Hal ini juga disampaikan Allah dalam QS Fushilat ayat 37, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika Ialah yang kamu hendak sembah.”

Manfaat Wudhu, adab wudhu, Tata Cara Wudhu, Kesalahan ketika Wudhu, Keutamaan Wudhu, Obat Hati Gelisah, Manisnya Iman,
Foto: iStock

7- Cara Meningkatkan Iman: Menjalankan Perintah Allah Secara Konsisten

Menjalankan perintah Allah tentu akan memiliki dampak. Untuk itu, merasakan manfaat dan kebermaknaan dari perintah Allah hanya akan didapatkan ketika kita benar-benar menjalankannya.

Misalnya saja, ibadah puasa sebagai bentuk pelatihan diri. Kita tidak akan bisa merasakan manfaat puasa terhadap kesehatan jika tidak melaksanakan amalan ibadah puasa itu sendiri.

Semakin tinggi dan sering kita melaksanakan perintah Allah maka akan semakin tinggi pula kita merasakan kebermaknaan akan nilai-nilai islam dan kebermanfaatannya bagi diri kita.

8- Cara Meningkatkan Iman: Melakukan Evaluasi Diri

Sebelum melakukan peningkatan biasanya maka diperlukan evaluasi terlebih dahulu. Untuk bisa terus meningkatkan keimanan dan ketaqwaan tentu manusia juga harus melaksanakan evaluasi diri. Evaluasi ini adalah untuk mengukur sejauh apa kita telah beriman dan melaksanakan perintah Allah.

Evaluasi harus dijalankan oleh diri sendiri bukan oleh orang lain. Untuk itu, yang mengukurnya adalah diri kita sendiri, karena diri lah yang lebih tau bagaimana keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. []

BERSAMBUNG