DEMI mendapatkan istri yang sesuai kriterianya, Qabil berani membunuh Habil, saudaranya sendiri. Karena Qabil berkeyakinan bahwa dengan menikahi wanita yang ia cintai dapat membahagiakan hidupnya. Oleh karena itu, apa saja yang menghalangi, termasuk aturan yang mesti ditaati kala itu, sama sekali tidak ia pedulikan.
Qabil pun berhasil membunuh saudaranya dan ia menikah dengan gadis yang dicintainya. Tetapi, apakah Qabil bahagia?
Demi mempertahankan kekuasaannya atas rakyat Mesir, Fir’aun begitu peka dengan segala macam hal yang berpotensi merongrong kekuasaannya, sampai semua bayi laki-laki dari keturunan Bani Israil ia inturksikan agar tak satupun ada yang hidup.
Kehendak pun dilaksanakan, semua bayi laki-laki dibunuh, dengan maksud kekuasaannya aman tidak ada yang mengganggu. Lantas, apakah Fir’aun bahagia?
Sama dengan seorang muadzin yang dikisahkan oleh Imam Qurthubi, yang rela menjual imannya demi menikahi wanita Nashara yang cantik jelita. Lantas apakah muadzin itu bahagia? Bahkan ia meninggal dalam keadaan terjatuh dari atap dalam keadaan belum sempat mencampuri istri yang telah membuatnya murtad.
Demikianlah beberapa kisah yang orang memburu bahagia, namun justru bertemu sengsara yang tiada akhir.
Oleh karena itu, penting bagi kita mengenal dan memahami hati yang merupakan sumber baik buruknya pikir, ucapan dan perilaku manusia. Hal ini tidak lain karena hati memang raja dalam tubuh manusia, namun justru hati itu yang menjadi target inti dari setiap tipu daya yang dilemparkan oleh setan setiap detik kehidupan umat manusia.
Di sini Rasulullah mengajarkan umatnya untuk senantiasa membaca doa agar hati tetap dalam Islam dan ketaatan.
يَامُقَلِّبَالْقُلُوبِثَبِّتْقَلْبِيعَلَىدِينِكَوَعَلَىطَاعَتِكَ
“Wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu dan di atas ketaatan kepada-Mu.” (HR. Tirmidzi).
Mengapa hati berbolak-balik? Tidak lain karena hati merupakan inti dari tubuh manusia dan penentu apa yang akan menjadi orientasi hidup setiap anak Adam.
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menjelaskan bahwa hati secara garis besar terbagi ke dalam tiga kategori.
Pertama, pendorong dan pemberi anjuran.
Adakalanya mendorong dan menganjurkan kepada sesuatu yang sesuai, seperti apa yang dikehendaki oleh nafsu syahwat.
Adakalanya juga menolak yang berbahaya, atau yang meniadakan, seperti kemarahan. Dan, pendorong ini diibaratkan dengan iradat (kehendak).
Kedua, penggerak anggota-anggota tubuh untuk menghasilkan maksud-maksud tertentu, dan yang kedua ini diibaratkan dengan qudrat (kekuasaan). Yaitu, tentara-tentara yang tersebar di seluruh anggota tubuh, terlebih pada sendi-sendi yang darinya tulang-tulang akan (mampu) bergerak.
Ketiga, yang mengetahui, yang mengenal semua pekrara, seperti pengintai ulung. Yaitu, kekuatan penglihatan, pendengaran, penciuman, dan sentuhan. Dan, kekuatan itu tersebar pada anggota-anggota tubuh tertentu. Semua ini diibaratkan dengan ilmu pengatahuan, dan pemahaman (Al-Idrak).
Dari sini, dapat dipahami bahwa hati memiliki potensi yang sangat luar biasa, yang jika tidak dirawat dengan baik akan menjerumuskan anak Adam pada lembah kenistaan. Lantas apa yang harus dilakukan agar hati terpelihara (fitrahnya) dengan baik.
Dzikrullah. Hanya dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang, tentram, damai dalam kebahagiaan yang diridhai-Nya.
ٱلَّذِينَءَامَنُواْوَتَطۡمَٮِٕنُّقُلُوبُهُمبِذِكۡرِٱللَّهِۗأَلَابِذِڪۡرِٱللَّهِتَطۡمَٮِٕنُّٱلۡقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28).
Terkait dzikrullah ini, ulama masa tabi’in, Said bin Jubair memberikan penjelasan bahwa dzikrullah itu adalah seseorang senantiasa ingat kepada Allah, sehingga tertata pikiran, ucapan dan perilakunya sesuai aturan Islam.
Sedangkan mereka yang meski banyak membaca tasbih, tahmid, dan lain sebagainya namun jauh dari pengamalan perintah-Nya, buruk perangainya, kasar ucapan-ucapannya, bukan termasuk orang yang dzikrullah.
Kemudian mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Mendengarkan bacaan-bacaan Al-Qur’an merupakan satu implementasi penting agar hati tetap dalam keimanan. Dan, sekaligus ini adalah alat deteksi yang efektif untuk memastikan apakah hati masih sehat atau tidak.
Sebab, orang beriman itu, apabila dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an akan bergetar hatinya dan meneteskan air mata.
إِنَّمَاٱلۡمُؤۡمِنُونَٱلَّذِينَإِذَاذُكِرَٱللَّهُوَجِلَتۡقُلُوبُہُمۡوَإِذَاتُلِيَتۡعَلَيۡہِمۡءَايَـٰتُهُۥزَادَتۡہُمۡإِيمَـٰنً۬اوَعَلَىٰرَبِّهِمۡيَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfaal [8]: 2).
Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah pernah berkata kepada saya, ‘Bacalah Al-Qur’an di hadapanku!’
Aku jawab, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana aku membacakan Al-Qur’an di hadapanmu, padahal Al-Qur’an diturunkan kepadamu?’
Beliau berkata, ‘Aku ingin mendengar bacaan Al-Qur’an dari orang lain.’
Lalu, aku pun membacakan di hadapan beliau Surat An-Nisa’ dari awal surat sampai ayat yang berbunyi,
فَكَيۡفَإِذَاجِئۡنَامِنكُلِّأُمَّةِۭبِشَهِيدٍ۬وَجِئۡنَابِكَعَلَىٰهَـٰٓؤُلَآءِشَہِيدً۬
‘Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti) jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka.”(QS An-Nisa’ [4]: 41)
‘Cukup!’ kata beliau sambil meneteskan air mata.” (HR Bukhari).
Dan, sungguh tangisan orang beriman yang disebabkan takut kepada Allah entah melalui bacaan Al-Qur’an atau pun dzikir yang diupayakannya, akan menjadikannya jauh dari neraka.
لايلجالناررجلبكىمنخشيةاللهحتىيعوداللبنفيالضرع
“Tidak akan masuk Neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya.” (HR. Tirmidzi).
Bahkan, orang yang menangis karena ingat dan takut kepada Allah, akan masuk golongan yang dijamin di hari kiamat, dari 7 golongan yang Allah tetapkan.
“Seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis).” (HR. Bukhari).
Dengan demikian, memelihara hati adalah dengan senantiasa melakukan cek-ricek dan kroscek amalan yang dilakukan setiap hari, apakah sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan kalau ada kekeliruan, adakah diri takut akan siksa-Nya, sehingga mudah hati kita tunduk, taat, dan patuh hanya kepada Allah.
Sungguh, jika hal ini bisa kita amalkan, akan bahagia hidup kita, meski tanpa limpahan harta dan benda-benda yang melenakan kebanyakan umat manusia.
Semoga Allah mampukan kita untuk memelihara hati dengan baik, hingga bertemu dengan wajah-Nya kelak di akhirat.*