BAGI seorang muslim yang rajin salat berjamaah di masjid, pasti akrab dengan perintah imam sebelum shalat dimulai: “Lurus dan rapatkan shaf ..dst ” atau ada juga dengan bahasa Arabnya “Sawwuu shufufakum . dst.”
Memang demikianlah seharusnya. Tetapi amat disayangkan kebanyakan shalat di masjid-masjid umumnya, barisan yang ada cukup longgar, bahkan ada yang teramat longgar. Mereka merasa risih, aneh, dan menghindar jika ada yang ingin bersentuhan kaki, mata kaki, paha, dan bahu. Padahal mereka mendengar dengan jelas imam memerintahkan agar merapatkannya.
Hal ini disindir oleh Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi sebagai berikut:
“Tetapi, hari ini sunah ini telah ditinggalkan. Seandainya sunah ini dilakukan, justru manusia menjauh bagaikan keledai liar.” (Aunul Mabud, 2/256. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Sebenarnya, bagaimanakah masalah ini dalam fiqih salat? Seperti apakah cara merapatkannya? Mudah-mudahan tulisan ringkas ini bisa sedikit memberi penjelasan.
Hukum Merapatkan Shaf
Perintah merapatkan barisan adalah anjuran yang sangat kuat, dan itu bagian dari kesempurnaan salat. Bahkan Imam Bukhari, Imam Ibnu Hajar, dan Imam Ibnu Taimiyah, mengatakan itu wajib. Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya telah membuat Bab Itsmi Man Lam Yutimma Ash Shufuf (Berdosa bagi orang yang tidak menyempurnakan shaf). Apa yang ditegaskan Imam Bukhari ini menunjukkan bahwa menurutnya merapatkan shaf adalah wajib, sebab hanya perbuatan wajib yang jika ditinggalkan akan melahirkan dosa.
Hal ini disebabkan hadits-hadits tentang meluruskan dan merapatkan shaf menggunakan bentuk kalimat perintah (fiil amr): sawwuu .. (luruskanlah ..!). Dalam kaidah fiqih disebutkan:
“Hukum asal dari perintah adalah wajib, kecuali jika adanya petunjuk yang merelasikannya kepada selain wajib.” (Imam Al Aini, Umdah Al Qari, 8/463. Maktabah Misykah)
Dari sekian banyak perintah merapatkan shaf, saya akan sampaikan dua saja sebagai berikut:
Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah dia bersabda “:Lurus rapatkan shaf kalian, karena lurus rapatnya shaf adalah bagian dari kesempurnaan tegaknya shalat.” (HR. Bukhari No. 690. Muslim No. 433)
Dari Numan bin Basyir, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
“Benar-benarlah kalian dalam meluruskan shaf, atau (jika tidak) niscaya Allah akan membuat perselisihan di antara wajah-wajah kalian.” (HR. Muslim No. 436)
Hadits riwayat Imam Muslim ini menunjukkan ancaman keras bagi yang meninggalkannya, yakni Allah siksa mereka dengan adanya perselisihan di antara wajah-wajah mereka. Maksudnya kata Imam An Nawawi- adalah permusuhan, kebencian, dan perselisihan hati. (Al Minhaj Syrah Shahih Muslim, 2/178. Mawqi Ruh Al Islam) Malah, Imam Ibnu Hazm menyatakan batal orang yang tidak merapatkan shaf. Namun, Imam Ibnu Hajar menanggapinya dengan mengatakan:
“Ibnu Hazm telah melampui batas ketika menegaskan batalnya (shalat).” (Fathul Bari, 2/210. Darul Fikr)
Sedangkan, ulama lain mengatakan, merapatkan shaf adalah sunah saja. Inilah pendapat Abu Hanifah, SyafiI, dan Malik. (Umdatul Qari, 8/455). Bahkan Imam An Nawawi mengklaim para ulama telah ijma atas kesunahannya. Berikut perkataannya:
“Ulama telah ijma (aklamasi) atas sunahnya meluruskan shaf dan merapatkan shaf.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/384. Mauqi Ruh A Islam)
Apa yang dikatakan Imam An Nawawi ini, didukung oleh Imam Ibnu Baththal dengan perkataannya:
“Meluruskan Shaf merupakan sunahnya shalat menurut para ulama.” (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 2/344. Dar Ar Rusyd)
Alasannya, menurut mereka merapatkan shaf adalah untuk penyempurna dan pembagus shalat sebagaimana diterangkan dalam riwayat yang shahih. Hal ini dikutip oleh Imam Al Aini, dari Ibnu Baththal, sebagai berikut:
“Karena, sesungguhnya membaguskan sesuatu hanyalah tambahan atas kesempurnaannya, dan hal itu telah ditegaskan dalam riwayat tentang kesempurnaan shalat.” (Umdatul Qari, 8/462)
Riwayat yang dimaksud adalah:
“Aqimush Shaf (tegakkan shaf) karena tegaknya shaf merupakan diantara pembagusnya shalat.” (HR. Bukhari No. 689. Muslim No. 435)
Imam An Nawawi mengatakan, maksud aqimush shaf adalah meluruskan menyeimbangkan, dan merapatkan shaf. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/177. Maktabah Misykah)
Berkata Al Qadhi Iyadh tentang hadits ini:
“Hadits ini adalah dalil bahwa meluruskan shaf tidak wajib, dia adalah sunah yang disukai.” (Al Qadhi Iyadh, Ikmal Al Muallim Syarh Shahih Muslim, 2/193. Maktabah Misykah)
Demikianlah perselisihan para imam kaum muslimin tentang hukum merapatkan shaf dalam shalat.
Manakah Yang Benar?
Jika kita mengumpulkan semua dalil-dalil yang ada, berserta menelaah alasan anjuran merapatkan shaf, dan ancaman bagi yang meninggalkannya, maka pendapat yang benar adalah yang mengatakan wajib.
Ada pun alasan Imam Ibnu Baththal, bahwa merapatkan shaf itu hanyalah tambahan untuk memperbagus dan menyempurnakan shalat, sehingga hukumnya sunah, adalah pendapat yang perlu dikoreksi. Justru alasan yang dikemukakannya itu menjadi alasan buat kelompok ulama yang mewajibkan. Sebab, sesuatu yang berfungsi menjadi penyempurna sebuah kewajiban, maka sesuatu itu juga menjadi wajib hukumnya.
Hal ini ditegaskan oleh kaidah yang sangat terkenal:
“Kewajiban apa saja yang tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib adanya.” (Imam As Subki, Al Asyhbah wan Nazhair, 2/90. Maktabah Misykah)
Jelas sekali bahwa kesempurnaan kewajiban shalat baru akan terwujud dengan rapat dan lurusnya shaf, maka menurut kaidah ini- rapat dan lurusnya shaf adalah wajib ada demi kesempurnaan kewajiban tersebut. Hanya saja, kewajiban merapatkan shaf ini bukanlah termasuk kewajiban yang jika ditinggalkan dapat merusak shalat. Longgarnya shaf tidaklah membatalkan shalat, sebab itu bukan termasuk rukun shalat.
Maka dari itu, Imam Al Karmani mengatakan:
“Yang benar adalah yang mengatakan bahwa meluruskan shaf adalah wajib sebagai konsekuensi dari perintah yang ada, tetapi itu bukan termasuk kewajiban-kewajiban shalat yang jika ditinggalkan akan merusak shalat.” (Umdatul Qari, 8/455)
Yang pasti, merapatkan dan meluruskan shaf adalah budaya shalat pada zaman terbaik Islam. Sampai- sampai Umar memukul kaki Abu Utsman Al Hindi untuk merapatkan shaf. Begitu pula Bilal bin Rabbah telah memukul bahu para sahabat yang tidak rapat. Ini diceritakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bari, 2/210), dan Imam Al Aini (Umdatul Qari, 8/463. Maktabah Misykah)
Tata Cara Merapatkan shaf
Tentang rapatnya kaki dan bahu, dalilnya amat jelas yakni:
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Luruskan barisan kalian, rapatkanlah paha-paha kalian, bersikap lembutlah terhadap saudara kalian, dan tutuplah celah yang kosong ..” (HR. Ahmad, No. 21233. Ath Thabarani, Al Mujam Al Kabir, No. 7629. Syaikh Al Albany menshahihkannya dalam Shahihul Jami No.1840)
Dan hadits berikut:
Dari Anas bin Malik Radhiallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dia bersabda: “Luruskan shaf kalian, sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku.” Maka salah seorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu kawannya, dan kakinya dengan kaki kawannya. (HR. Bukhari No.692)
Riwayat lain:
“Maka, aku melihat ada seseorang yang merapatkan bahunya dengan bahu kawannya, lututnya dengan lutut kawannya, dan mata kakinya dengan mata kaki kawannya.” (HR. Abu Daud No. 662. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah, 1/39, No. 32. Darul Maarif)
Jadi, yang mesti dirapatkan adalah bahu, paha, lutut, mata kaki, dan sisi kaki bagian bawah. Betapa rapatnya berjamaah jika ini dipraktekkan. Demikianlah tata cara merapatkan shaf. Wallahu Alam [Farid Numan]