Secara hukum taklifi, dinar-dirham menduduki maqam ‘urudl al-tijarah (komoditas barang niaga) di negara Indonesia. Transaksi dengan obyek yang dibeli berupa dinar-dirham, hukumnya adalah boleh. Masalahnya kemudian, adalah bagaimana bila dinar-dirham diperankan sebagai alat tukar di wilayah hukum Indonesia secara syara’?
Ketentuan Rupiah sebagai Alat Tukar di Indonesia
Indonesia memiliki mata uang yang diakui secara resmi sebagai media tukar di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang berlaku semenjak diterbitkan (28 Juni 2011).
Di dalam Berikut Pasal 21 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2011 tersebut, disampaikan bahwa: “Rupiah wajib digunakan dalam: a) setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, b) penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau c) transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Adapun mengenai penggunaan mata uang asing, atau mata uang negara lain, di wilayah hukum Indonesia, dijelaskan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 5 ayat 2 dari UU tersebut, membolehkan penggunaan mata uang asing dengan catatan: “Penggunaan mata uang lain dalam pelaksanaan APBN/APBD diatur oleh Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.”
Alhasil, berdasarkan bunyi Pasal 5 ayat 2 UU tentang Keuangan Negara ini, maka secara tidak langsung disampaikan bahwa mata uang asing hanya bisa dibakai yang ada kaitannya dengan APBN atau APBD.
Sementara, dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat transaksional masyarakat, di wilayah hukum Indonesia, maka hal itu ditegaskan sebagai yang dilarang dengan alasan menjaga kedaulatan mata uang negara. Penegasan ini diperkuat dengan terbitnya UU Nomor 7 Tahun 2011, yang secara umum memuat ketentuan regulasi sebagai berikut:
- pengaturan mengenai Rupiah secara fisik, yakni mengenai macam dan harga, ciri, desain, serta bahan baku Rupiah;
- pengaturan mengenai Pengelolaan Rupiah sejak Perencanaan, Pencetakan, Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Rupiah;
- pengaturan mengenai kewajiban penggunaan Rupiah, penukaran Rupiah, larangan, dan pemberantasan Rupiah Palsu; dan
- pengaturan mengenai ketentuan pidana terkait masalah penggunaan, peniruan, perusakan, dan pemalsuan Rupiah.
Karena kesepakatan penggunaan rupiah tersebut merupakan amanat UU, dan disusun serta disahkan oleh para wakil rakyat yang duduk dalam sistem legislasi Indonesia, maka secara tidak langsung patuh dan berpedoman pada hasil kesepakatan yang sudah ada , merupakan sikap terpuji dan tidak menselisihi amanat rakyat lewat wakil-wakil yang sudah ditunjuknya.
Imbas Kesepakatan terhadap Status Hukum Uang Dinar-Dirham dalam Bingkai Negara Indonesia
Allah SWT memerintahkan kita untuk senantiasa menepati akad. Allah SWT juga memerintahkan kita agar senantiasa taat kepada-Nya, Rasul-Nya dan Ulil al-Amri (pemegang hak ri’ayah) kaum muslimin.
Indonesia yang dibangun di atas dasar asas musyawarah mufakat atau perwakilan, maka secara tidak langsung apa yang sudah disepakati para wakil rakyat, menjajdi amanat yang harus dikerjakan oleh lembaga eksekutif selaku pelaksana mandat kesekapatan tersebut. Pedoman yang harus diemban oleh lembaga eksekutif adalah berdasarkan kemaslahatan.
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
“Wilayah gerak pemimpin terhadap yang dipimpin adalah mengacu pada terbitnya kemaslahatan.”
Tanpa adanya pihak yang diangkat sebagai pemimpin untuk melaksanakan amanat, maka sulit untuk mewujudkan kemaslahatan dan keteraturan. Sahabat Ibnu Abbas ra. meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasululllah saw. bersabda:
الْإِسْلَامُ وَالسُّلْطَانُ أَخَوَانِ تَوْأَمٌ، لَا يَصْلُحُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا إِلَّا بِصَاحِبِهِ، فَالْإِسْلَامُ أُسُّ وَالسُّلْطَانِ حَارِسٌ، وَمَا لَا أُسَّ لَهُ مُنْهَدِمٌ، وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ ضَائِعٌ»
“Islam dan Pemerintahan adalah ibarat saudara kembar. Tiada kemaslahatan bagi salah satunya melainkan saudaranya yang lain juga turut merasakan kemaslahatan. Islam ibarat sebuah pondasi, dan pemerintah adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak memiliki landasan maka akan mudah dirobohkan. Sebaliknya, sesuatu yang sudah berdiri, namun tiada yang merawatnya, maka akan berubah menjadi sesuatu yang sia-sia.” (Abu Nu’aim al-Asybahany, Fadilatu al-’Adilin mina al-Wulat li Abi Nuaim, halaman 153).
Menyimak dari penjelasan ini, maka menjaga kokohnya rupiah sebagai media tukar yang secara legal dan resmi diakui sebagai sarana medai tukar di Indonesia, merupakan pangkal penjagaan. Mengapa? Sebab bagaiamanapun juga, perintah mewujudkan kedaulatan, berarti perintah pula mengambil segala tindakan yang bersifat merugikan kedaulatan itu sendiri.
Alhasil, keberadaan komoditas lain yang berada di luar rupiah, jika diindikasikan mengganggu kedaulatan rupiah maka menghendaki pula ditertibkan.
Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan Syekh Bujairimy dalam Kitab Hasyiyahnya, sebagai berikut:
إذا أمر بواجب تأكد وجوبه وإن أمر بمندوب وجب وإن أمر بمباح فإن كان فيه مصلحة عامة كشرب الدخان وجب بخلاف ما إذا أمربمحرم أو مكروه أو مباح لا مصلحة فيه عامة إهـ
“Saat seorang pemimpin memerintahkan suatu kewajiban, maka kewajiban itu menjadi semakin kuat. Jika ia memerintahkan sesuatu yang sunnah, maka hal itu menjadi wajib. Dan, jika ia memerintahkan sesuatu yang mubah, selama mendatangkan kemaslahatan umum, seperti larangan merokok, maka menjadi wajib menjauhi merokok. Lain halnya bila pemimpin memerintahkan suatu keharaman, atau hal-hal yang bersifat makruh atau suatu perkara mubah, akan tetapi tidak memuat unsur maslahah umum di dalamnya, (maka tidak wajib mengikuti perintah tersebut).” (Hasyiyat al-Bujairimi ‘alal Khatib, juz II, halaman 238).
Kesimpulan
Mengikuti aturan perundangan yang berlaku atas suatu mata uang merupakan perkara yang memiliki hubungan sebab akibat dengan perintah ketaatan pada pemimpin.
Bagaimanapun juga, hasil kesepakatan yang sudah dituangkan dalam bentuk peraturan tentang mata uang, adalah sebuah amanat dari mayoritas bangsa Indonesia agar terlaksana kemaslahatan hidup beragama, berbangsa dan bernegara. Konsistensi menjaga amanat UU tersebut, bukanlah hal yang bertentangan dengan syariat.
Sebaliknya, memaksakan dinar-dirham untuk berlaku di Indonesia, juga bukan merupakan inti dasar dari ajaran Islam itu sendiri. Sebab, Islam menghendaki adanya kemaslahatan, dan bukan kehancuran.
Menggunakan dinar-dirham untuk bermuamalah sehingga bertentangan dengan aturan yang sudah dibuat oleh para wakil rakyat, adalah merupakan tindakan menyalahi amanat itu sendiri. Wallahu a’lam bi al-shawab