Sebuah pepatah Arab mengatakan, al-insān mahallul khatha’ wannisyān, “manusia tempatnya salah dan lupa”. Pepatah ini termasuk yang sangat masyhur. Tak hanya dari kalangan orang-orang berilmu, bahkan yang tak pernah mencium bau sekolah pun hafal bunyi pepatah Arab tersebut. Kendati mungkin tak pernah melihat teks aslinya. Sampai-sampai banyak yang menduganya sebagai Hadis Rasulullah SAW. Bagaimana bila kita melakukan perbuatan yang dianggap halal kemudian setelah sudah selesai kita baru tahu hal itu haram? Apakah kita berdosa?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, kami ingin menegaskan bahwa pepatah di atas, tidak sedang menekankan bahwa manusia adalah makhluk serba salah dan lupa, tetapi menegaskan bahwa bila selalu salah dan lupa bukanlah manusia namanya. Begitu pula bila tiada kesalahan dan kelupaan sama sekali.
Penentuan salah-benar dan dosa-pahala bukanlah ranah manusia, melainkan ranah Allah SWT. dan rasul-Nya. Ini menurut pendapat golongan al-Asy’ariyah. Sementara golongan al-Mu’tazilah berpandangan, salah-benar dan dosa-pahala cukup merujuk pada keputusan akal sehat. Bila baik menurut akal, maka baik dan berpahala apa yang dilakukan, dan begitu sebaliknya. Jadi, penilaiannya cukup dengan akal tanpa menunggu keputusan syariat.
Pendapat ketiga-sebagai penengah dua pendapat di atas-adalah pendapat yang digawangi oleh imam As’ad bin Ali az-Zanjiy dari mazhab Syafi’iyah, imam Abu al-Khithab dari mazhab Hanabilah, dan Abu Hanifah sang founder mazhab Hanafiyah. Mereka mengatakan, menyangkut salah-benar, cukuplah akal sebagai hakimnya, namun untuk urusan dosa-pahala, harus Tuhan (syari’) yang menentukan. Silang pendapat ini dapat dijumpai dalam kitab Gayah al-Wushul Syarh Lubb al-Ushul (hal. 7) karya Abu Yahya Zakaria al-Anshariy.
Yang penting dicatat, bahwa pertentangan di atas, berlaku ketika perbuatan yang dilakukan telah diyakini sebagai kesalahan atau kebenaran, sekaligus merupakan sebuah kesalahan atau kebenaran secara realitas. Jadi, jika satu perbuatan diyakini sebagai kesalahan, misalnya, dan benar-benar merupakan laku kesalahan yang berdampak buruk secara realitas, maka berlakulah silang pendapat tersebut.
Namun, bila laku satu perbuatan yang dianggap halal -secara realitas- diduga atau diyakini sebagai sebuah ketaatan, atau perbuatan halal maka hukum melakukannya di-ma’fu, alias ditoleransi. Maksudnya, tidak dihukumi sebagai ketaatan berdasarkan dugaannya, juga tak ditetapkan sebagai laku kemaksiatan sebab kenyataan dampak buruk yang ditimbulkan.
Untuk mempermudah pemahaman, mari kita contohkan seperti seseorang memakan nasi atau roti yang ia duga miliknya, ternyata malah milik temannya. Maka hukum memakannya di-ma’fu (al-ma’fuw ‘anhu). Yaitu, pelakunya tidak berpahala dan juga tidak berdosa sebab memakan yang bukan miliknya. Namun, tetap dibebani kewajiban mengganti, karena berkaitan dengan hak orang lain (al-huqūq al-insāniyah).
Hal ini sebagaimana dalam kitab Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam (juz 1 hal. 22) karya monumental syekh Izzuddin bin Abdussalam. Berikut redaksi lengkapnya:
من أتى ما هو مصلحة في نفسه وهو مفسدة في نفس الأمر كمن أكل مالا يعتقده لنفسه أو وطئ جارية يظن أنها في ملكه أو لبس ثوبا يعتقده لنفسه أو سكن دارا يعتقدها في ملكه أو إستخدم عبدا يعتقده لنفسه ثم بان أن وكيله أخرج ذلك عن ملكه فلا إثم عليه لظنه ولا يتصف فعله بكونه طاعة ولا معصية ولا مباحا وإنما هو معفو عنه كأفعال الصبيان والمجانين
“Barang siapa yang melakukan perbuatan yang hanya menguntungkan dirinya, namun merugikan yang lain, seperti memakan, menyetubuhi seorang budak perempuan, mengenakan baju, menempati satu rumah atau meminta pelayanan pada seorang budak yang diduga dan/atau diyakini sebagai miliknya, ternyata si wakil telah mengeluarkan semua itu dari kuasa si empunya, maka si pelaku tak diganjar pahala, dan yang ia lakukan bukanlah laku ketaatan, kemaksiatan, dan tak juga dihukumi mubah, melainkan di-ma’fu sebagimana anak kecil dan orang gila.”
Contoh lebih ekstrem lagi, yaitu seperti berhubungan badan dengan seorang wanita yang diyakini sebagai istri sahnya. Ternyata, ia adalah istri tetanga, misalnya, maka si pelaku tidak diganjar pahala, juga tak dihitung berdosa sebagaimana orang berzina. Dalam literatur fikih, kasus ini dikenal dengan wathi’ syubhat (hubungan badan dalam kesamaran).
Syekh Izzuddin menjelaskan contoh kedua ini dalam kitab dan pembahasan yang sama, ia mengatakan:
وكذلك لو وطئ أجنبية يعتقدها زوجته أو أمته فإنه لا يأثم ويلزمه مهر مثلها
“Demikian halnya bila menyetubuhi seorang wanita yang diyakini sebagai istrinya atau budak perempuannya, maka tidaklah berdosa, namun wajib membayar mahar mitsil wanita tersebut.”
Yang banyak bersentuhan dengan kehidupan kita terkait melakukan perbuatan yang dianggap halal yang ternyata haram, seperti menyantap hidangan makanan di sebuah restoran kancah nasional, bahkan internasional. Di mana pelanggannya tak hanya dari kalangan muslim, tetapi juga non muslim, baik dalam negeri maupun mancanegara. Mengikuti konsep di atas, maka tidaklah berdosa bila seorang muslim memakan daging babi yang diduganya daging sapi atau lainnya. Begitu juga bila meminum khamar yang diduga Fanta atau minuman bersoda halal lainnya.
Kesalahan dan kelupaan yang diampuni Allah SWT. merupakan karunia besar umat Nabi Muhammad SAW. Bahkan menjadi keistimewaan tersendiri (khushushiyah ummat Muhammadiyah). Mengingat, umat-umat terdahulu tak pernah mendapatkan perlakuan sedemikian mulia dari Tuhannya. Terbukti, segala bentuk kedurhakaan mereka, baik yang tak disengaja (al-khatha’ wa an-nisyan) apalagi disengaja, tetap saja dihukum dan dihisab. Semoga kita dapat mensyukuri nikmat besar ini. Wallahu a’lam.