Baca pembahasan sebelumnya Fikih Nikah (Bag. 9)
Hukum-hukum terkait iddah
Pendahuluan
Setiap hubungan suami istri pasti berakhir, baik itu karena talak (cerai) ataupun karena meninggalnya salah satu dari mereka. Dalam kondisi seperti ini, syariat Islam mengharuskan seorang wanita untuk menunggu beberapa waktu terlebih dahulu (iddah). Jangka waktunya berbeda-beda tergantung sebab perpisahannya.
Al-‘Iddah berasal dari bahasa Arab yang artinya sama dengan Al-Hisab dan Al-Ihsha, yaitu bilangan dan hitungan. Dinamakan iddah karena dia mencakup bilangan hari yang pada umumnya dihitung oleh istri dengan quru’ (masa suci dari haid atau masa haid) atau dengan bilangan beberapa bulan.
Adapun secara istilah sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al-Wajiiz, “Iddah ialah masa menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak, setelah cerai atau kematian suami, baik dengan lahirnya anak, dengan quru’, atau dengan hitungan bilangan beberapa bulan.”
Dalil pensyariatan dan hukum iddah
Pertama, firman Allah Ta’ala,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga masa quru’” (QS. Al-Baqarah: 228).
Kedua, firman Allah Ta’ala,
وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٖ وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (QS. Ath-Thalaq: 4).
Ketiga, firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri, (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234).
Keempat, hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
لا تحد امرأة على ميت فوق ثلاث إلا على زوج أربعة أشهر وعشرا
“Seorang wanita tidak boleh berkabung atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali atas suaminya, yaitu (ia boleh berkabung) selama empat bulan sepuluh hari” (HR. Muslim no. 938).
Kelima, diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
أمرت بريرة أن تعتد بثلاث حيض
“Barirah diperintahkan untuk menjalani masa iddah sebanyak tiga kali haid.” (HR. Ibnu Majah no. 2077).
Adapun hukumnya, setelah pemaparan ayat-ayat dan hadis di atas dapat diketahui bahwa iddah ini wajib dijalankan bagi setiap wanita yang dicerai ataupun ditinggal mati suaminya dengan ketentuan-ketentuan yang akan kita bahas setelah ini. Kewajiban iddah ini juga merupakan ijma’ (kesepakatan ulama) dan tidak ada satupun dari mereka yang mengingkarinya.
Macam-macam iddah
Iddah dari segi orang yang ditinggalkan maka terbagi menjadi beberapa macam, yakni:
Pertama, iddah bagi yang sedang hamil
Hukumnya wajib ber-iddah (menunggu) baik karena kematian suaminya ataupun karena diceraikan. Masa tunggunya selesai ketika dia melahirkan (menurut kesepakatan para ulama), berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَ
“Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah (menunggu) mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (QS. At-Talaq: 4).
Bersihnya rahim dari perempuan yang hamil tidak dapat diketahui kecuali setelah melahirkan. Oleh karena itu, jika ada seorang wanita yang hamil kemudian dia diceraikan atau ditinggal mati suaminya, maka iddah (masa tunggu) nya sampai melahirkan, walaupun jangka waktu di antara keduanya hanya beberapa saat saja.
Imam Bukhari Rahimahullah meriwayatkan,
“Seorang laki-laki datang kepada Ibnu Abbas sementara Abu Hurairah sedang duduk. Laki-laki itu berkata, ‘Berilah fatwa kepadaku, terhadap seorang wanita yang melahirkan setelah kematian suaminya selang empat puluh malam.’ Maka Ibnu Abbas berkata, ‘Masa iddahnya adalah batasan yang paling terakhir (maksudnya empat bulan sepuluh hari, meskipun ia melahirkan sebelum itu).’ Abu Hurairah berkata, ‘Kalau aku, maka aku sependapat dengan anak saudaraku, yakni Abu Salamah.’
Lalu Ibnu Abbas mengutus pembantunya, Kuraib, kepada Ummu Salamah untuk bertanya kepadanya. Ummu Salamah menjawab, ‘Ketika suami Subai’ah Al-Aslamiyyah meninggal sementara ia dalam keadaan hamil, lalu melahirkan setelah kematian suaminya selang empat puluh malam. Ia kemudian dikhithbah, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya. Abu As-Sanabil adalah termasuk salah seorang yang mengkhithbahnya’” (HR. Bukhari no. 4529).
Kedua, iddah bagi yang ditinggal mati suaminya namun sedang tidak hamil
Iddah bagi wanita dalam keadaan seperti ini adalah empat bulan dan sepuluh hari beserta malamnya, dihitung dari tanggal meninggal suaminya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-iddah) empat bulan sepuluh hari” (QS. Al-Baqarah: 234).
Hukumnya sama, baik suaminya sudah menggaulinya atau pun belum. Hukumnya juga sama, baik ia masih kecil dan belum balig maupun sudah dewasa. Hal ini karena ayat di atas bersifat umum.
Ketiga, iddah seorang istri yang diceraikan suaminya
Pertama, dalam kondisi hamil, maka iddah-nya sampai ia melahirkan, sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya.
Kedua, tidak dalam kondisi hamil tetapi masih mengalami menstruasi, maka iddahnya tiga quru’. Menurut pendapat yang rajih (pendapat mazhab Hambali dan Hanafi) quru’ bermakna haid (menstruasi). Dengan haid seorang wanita bisa diketahui bahwa ia tidak hamil dan rahimnya tidak mengandung janin. Dalil lainnya,kata quru’ di dalam syariat digunakan untuk makna haid (menstruasi).
Diriwayatkan dari sahabat Urwah bin Zubair, bahwasannya Fatimah bin Abi Khubaisy bercerita kepadanya,
أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُولَ الله ﷺ فَشَكَتْ إِلَيْهِ الدَّمَ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ الله ﷺ: إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ، فَانْظُرِي إِذَا أَتَى قَرْؤُكِ فَلَا تُصَلِّي، فَإِذَا مَرَّ قَرْؤُكِ فَتَطَهَّرِي ثُمَّ صَلِّي مَا بَيْنَ الْقَرْءِ إِلَى الْقَرْءِ
“Bahwasanya ia pernah datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluhkan tentang darah, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab, ‘Itu hanyalah penyakit, maka tunggulah. Jika tiba waktu qar` (haid)mu, maka janganlah Engkau salat. Jika haid itu telah usai maka bersucilah, kemudian salatlah antara haid hingga berikutnya’“ (Shahih Abu Dawud, no. 280).
Ketiga, perempuan yang sudah tidak haid (menopause) atau mereka yang belum mengalaminya (belum dewasa), maka iddah-nya 3 bulan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddah-nya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid” (QS. At-Talaq: 4).
Keempat, iddah bagi istri yang suaminya mafquud
Mafquud adalah kondisi dimana seorang laki-laki tidak diketahui apakah dia masih hidup atau tidak, namun masih ada harapan ia muncul dan kembali. Contohnya adalah orang yang hilang karena sebab peperangan atau karena insiden tenggelam dan lain sebagainya.
Dalam keadaan ini, maka iddah-nya tergantung keadaannya. Para fuqaha’ (ahli fikih) berbeda pendapat dalam permasalahan ini, di antaranya:
Pertama, dalam mazhab Hanafi dan Syafi’i (baru) laki-laki tersebut dianggap masih hidup. Oleh karena itu, hartanya tidak bisa dibagi sebagai waris. Istrinya tidak dihukumi cerai atau pisah. Istrinya tidak melakukan iddah kecuali telah jelas suaminya meninggal. Dalilnya adalah mengambil hukum asal sebelumnya (istishab), yaitu hidupnya suami. Sehingga ketika ia mendapatkan informasi dari orang yang dipercaya bahwa suaminya ternyata telah meninggal, atau ternyata dirinya telah dicerai sebanyak tiga kali, atau datang kepadanya surat dari tangan orang yang dia percaya, yang berisi keterangan bahwa ia telah ditalak, maka barulah ia dibolehkan untuk menjalani masa iddah. Dan ketika selesai masa iddah, maka ia boleh menikah kembali.
Kedua, adapun dalam mazahb Maliki dan Hambali mereka berpendapat bahwa seorang istri dalam kondisi seperti ini menunggu terlebih dahulu selama empat tahun, baru kemudian ia diperbolehkan untuk menjalani masa iddah (iddah-nya wanita yang ditinggal suaminya, yaitu 4 bulan dan 10 hari). Kemudian setelah itu barulah ia diperbolehkan untuk menikah kembali.
Hikmah pensyariatan iddah (masa tunggu)
Pertama, untuk mengetahui kosongnya rahim dari janin dan memastikan adanya kehamilan atau tidaknya pada istri yang diceraikan atau ditinggal meninggal suaminya. Agar nantinya ketika jelas adanya kehamilan, maka dapat diketahui siapa ayah dari bayi tersebut.
Kedua, menunjukkan agungnya sebuah ikatan pernikahan. Hal ini karena selepas suaminya meninggal, seorang wanita tidak bisa begitu saja menikah lagi kecuali setelah melewati masa waktu tertentu (iddah).
Ketiga, dalam kasus cerai hidup, maka masa iddah memberikan kesempatan kepada suami istri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangganya apabila masih melihat adanya maslahat dan kebaikan di dalam perkara tersebut.
Keempat, dalam kasus cerai mati, iddah merupakan bentuk penghormatan dan rasa bakti istri terhadap suami yang telah meninggal. Dengan demikian, istri yang ditinggalkan ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga suami dan anak-anaknya.
Kelima, selain hikmah-hikmah yang telah kita sebutkan, pelaksanaan iddah juga merupakan bentuk realisasi ketaatan seorang manusia kepada aturan Allah Ta’ala. Hal ini termasuk kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang wanita muslimah. Masa iddah bernilai ketaatan di sisi Allah Ta’ala. Sehingga ketika seorang wanita menaatinya dan mengamalkannya, tentu saja pasti akan mendapatkan ganjaran pahala dari Allah Ta’ala. Sedangkan apabila seorang wanita melanggarnya dan meninggalkannya, maka akan mendapatkan dosa yang setimpal.
Wallahu a’lam bisshowaab.
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.