zakat

Agar Harta Zakat Bertransformasi Menjadi Alokasi Produktif

Berikut penjelasan agar harta zakat bertransformasi jadi alokasi produktif, bukan sekadar seremonial semata.

Syahdan, zakat merupakan rukun Islam. Saban muslim yang mampu, berkewajiban untuk menunaikan zakat. Zakat ini didistribusikan bagi pelbagai golongan yang berhak menerimanya. Dalam Q.S at Taubah Allah berfirman;

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَآءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya; Sesungguhnya zakat hanya untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Dan Allah Maha mengetahui, Maha bijaksana.

Ibadah zakat merupakan ajaran Islam yang erat kaitannya dengan dimensi sosial-ekonomi. Pasalnya, dalam praktiknya, zakat digunakan sebagai medium untuk menolong  masyarakat mengalami kesulitan sosial-ekonomi. Zakat berperan sebagai penjamin perlindungan sosial. Sejatinya, itulah peran yang ingin di sasar zakat.

Namun dalam fakta lain di lapangan tak menunjukkan, angka orang miskin dan fakir masih relatif tinggi. Lantas muncul soal, apakah ini karena masyarakat muslim yang kaya, enggan mengeluarkan zakat? Atau sebaliknya, distribusi dan alokasi pengelolaan zakat yang kurang efektif dan tak tepat sasaran?

Pendapat pertama, bisa saja terjadi. Namun, penulis tak akan membahas masalah itu di sini. Nanti akan ada pembahasan tersendiri. Namun, yang  menarik untuk ditilik adalah persoalan kedua.  Distribusi dan alokasi produktif harta zakat.

Dalam sebuah hadis Nabi, dikisahkan seorang sahabat bernama Muadz bin Jabal diutus Nabi ke negeri Yaman. Hadis  yang bersumber dari riwayat Bukhari dan Muslim menceritakan Rasululullah berpesan pelbagai  hala kepada Muadz, di antaranya adalah memungut zakat dari orang-orang kaya.

  عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

Artinya; Dari Ibnu Abbas r.a, sesungguhnya nabi SAW mengutus Muadz r.a, ke Yaman, beliau bersabda, “ajaklah mereka untuk mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan mengakui bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka menerima itu, beritahukanlah bahwa Allah Azza Wa Jalla telah mewajibkan bagi mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika ini telah mereka taati, sampaikanlah bahwa Allah telah mewajibkan zakat pada harta benda mereka yang dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin diantara mereka.

Menurut Profesor KH. Ali Musthafa Yaqub dalam buku Islam Masa Kini, hadis inilah yang menjadi dasar argumen para ulama, bahwa zakat sepenuhnya menjadi hak orang fakir dan sejenisnya. Harta zakat itu diberikan kepada mereka, dan mereka (miskin, fakir dll) memutuskan untuk apa zakat itu dipergunakan. Pasalnya, menurut mereka zakat itu dikembalikan kepada orang-orang yang fakir tersebut.

Pada sisi lain, hadis ini juga dipahami sekelompok orang, bahwa memindahkan harta zakat dari wilayah wajib zakat, ke wilayah lain, tidak diperbolehkan. Kelompok ini berargumen, pasalnya menurut Nabi harta zakat itu dikembalikan pada para fakir dan miskin yang mereka mustahik zakat.

Imbas dari pemahaman hadis secara tekstual ini pun, menurut Profesor KH. Ali Musthafa Yaqub menjadikan zakat  selalu dialokasikan dalam bentuk-bentuk konsumtif. Mustahik zakat diberikan zakat berupa makanan, uang, dan kebutuhan pokoknya.

Akhirnya, zakat pun hanya sebatas aktivitas rutin saban tahun, sementara ia kehilangan peran sebagai penunjang dalam menaikan martabat golongan ekonomi lemah. Yang miskin tetap miskin, meskipun zakat telah disalurkan.  Itulah imbas dari zakat hanya bersifat konsumtif.

Untuk itu kemudian, Profesor KH. Musthafa Yaqub mengusulkan alternatif penyaluran zakat dalam bentuk produktif. Terlebih penyaluran zakat Mal. Pasalnya, zakat mal yang wajib dizakati itu memiliki illat (kausalitas dominan), yaitu al nama’ (dapat berkembang atau dikembangkan). Ini merupakan pertanda, bahwa harta zakat tak akan dapat berkembang bila hanya dialokasikan padahal yang konsumtif belaka.

Dalam rangka menunjang alokasi produkti harta zakat itu, maka harta harta zakat itu bisa disalurkan dalam bentuk investasi (istitsmar), agar mustahik zakat dan harta zakat lebih berkembang.

Si mustahik zakat misalnya mempunyai keahlian berwiraswasta, ia tidak saja diberi harta zakat dalam bentuk alat-alat yang diperlukan untuk berwiraswasta, lebih dari itu, ia juga dapat diberikan modal dari harta zakat itu agar ia dapat mengembangkan usahanya.

Dalam pengertian ini, zakat telah bertransformasi, dari sekadar konsumtif beralih pada alokasi tepat sasaran. Si mustahik zakat, tak sekadar diberikan uang atau makanan pokok belaka. Ia juga dibina dan diberikan modal untuk melanjutkan usahanya bila ia  memiliki bakat dalam dagang. Si petani dibelikan bibit dan modal, agar ia mampu memanen hasil yang maksimal.

Apakah ini bertentangan dengan ajaran Islam? Apakah ini menyalahi fiqih Islam? Apakah zakat model begini dibenarkan dalam Islam? Pasalnya, banyak yang tak setuju dalam pemahaman tersebut. Golongan ini terjebak dalam tekstualitas hadis, lantas mengabaikan kontekstualitas zakat itu sendiri.

Menurut Imam Nawawi dalam kitab al Majmu’ Syarh al Muhadzab, Jilid VI, apabila fakir dan miskin (mustahik zakat) orang yang sudah biasa bekerja— mempunyai keterampilan—, maka harta zakat yang diberikan kepadanya untuk modal yang bisa ia pergunakan untuk bekerja atau membeli pelbagai alat yang menunjang kinerjanya. Sekiranya, dengan modal dan alat itu, kelak hasil kerjanya bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.

Berikut kutipan Imam Nawawi dalam al Majmu’ Syarh al Muhadzab, Jilid VI, halaman 194;

ال اصحابنا فان كان عادته الاحترف اعطي ما يشتري به حرفته او آلات حرفته  قلت قيمة ذلك ام كثرت  ويكون قدره بحيث يحصل له من ريحه ما يفى بكفايته غالبا تقريبا

Artinya; Ashab (penerus Imam Syafi’i) mengatakan apabila si mustahik zakat (faqir dan miskin dll) telah mempunyai profesi (biasa bekerja dan memiliki kemampuan), maka ia diberikan zakat untuk tambahan modal atau membeli alat-alat pekerjaannya, aku berkata; baik itu harga yang biasa (murah) atau mahal. Dan adapun ukurannya ialah sekiranya dengan keuntungan dari pekerjaannya dapat mencukupi pelbagai kebutuhan hidupnya secara layak.

Pada sisi lain, Syekh Al Bajuri dalam Kitab Hasyiyah al Bajuri, Jilid I, mengatakan pemerintah juga dapat membelikan ladang/sawah untuk faqir dan miskin dari harta zakat. Ini apabila si mustahik zakat tak mempunyai kemampuan atau keterampilan. Akan tetapi bila si fakir dan miskin mempunyai keterampilan, maka ia diberikan harta zakat yang dapat dipakai untuk membeli alat alat keterampilan itu.

Misalnya, orang-orang miskin dan fakir mempunyai keterampilan untuk berdagang, maka ia diberikan modal untuk berdagang. Orang yang memiliki keterampilan bertani, maka ia diberikan modal untuk bercocok tanam. Kelak, keuntungan dari zakat itu bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.

Para ulama klasik dan kontemporer sejatinya telah memunculkan ide terkait alokasi harta zakat produktif. Ini merupakan agar zakat lebih terasa dampaknya bagi kaum miskin dan fakir yang membutuhkan. Dan diharapkan alokasi zakat produktif mampu mengangkat martabatnya. Lebih dari itu, agar zakat tak sekadar konsumtif belaka.

Demikian penjelasan terkait agar harta zakat bertransformasi jadi alokasi produktif. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH