Alasan Mengapa Saudi Tolak Paspor Israel

Larangan paspor Israel menjadi salah satu isu penting dalam hoaks terkait larangan haji buat warga Palestina. Sejak 1948 Kerajaan Arab Saudi tidak mengakui negara Israel, demikian pula halnya dengan negara-negara Islam lainnya yang tidak mengakui negara tersebut hingga hari ini.

Peneliti Center for Research & Intercommunication Knowledge (CRIK) Arab Saudi Dr Ali Mauof menjelaskan, di antara negara-negara Islam yang tidak mengakui Israel adalah Indonesia. Sikap tidak mengakui negara Israel tersebut diikuti dengan kebijakan tidak mengakui paspor negara itu ketika masuk ke Arab Saudi.

“Sistem ini juga berlaku di Indonesia, di mana tidak dibenarkan bagi pemegang paspor Israel untuk masuk ke Indonesia kecuali ketika perpindahan pesawat saja (transit),” kata dia dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Jumat (21/12).

Bahkan, kata dia, Arab Saudi melarang keras warganya untuk mengunjungi Israel. Larangan ini dikeluarkan dalam upaya mendukung kemerdekaan Palestina yang diinisiasi Kerajaan Arab Saudi dan negara-negara Arab Islam lainnya.

Dia mengatakan, kendati tidak mengakui paspor negara Israel untuk memasuki Arab Saudi, namun guna memperhatikan kondisi umat Islam Palestina yang memegang paspor Isreal dan untuk memudahkan mereka agar bisa mengunjungi tanah suci dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, Kerajaan Arab Saudi telah sepakat untuk memberikan jalan keluar yang tepat.

Oleh karena itu, ungkap dia, Yordania memberikan izin bagi jamaah haji Palestina yang memegang kewarganegaraan Isreal untuk memperoleh paspor Yordania sementara, sehingga mereka diizinkan masuk ke Arab Saudi guna menunaikan haji dan umrah.

Dia menyayangkan sejumlah surat kabar telah mengubah isu sistemik ini menjadi isu politik. Tidak berhenti sampai di situ. Beberapa surat kabar lainnya bahkan mencitrakan Kerajaan Arab Saudi sebagai sebuah negara kriminal dalam kasus ini dengan menggambarkan bahwa Arab Saudi ingin menaturalisasi orang-orang Palestina di negara-negara di luar Palestina.

“Hal demikian dinyatakan tanpa bukti apa pun, bahkan tanpa meminta keterangan dari negara yang berhubungan langsung dengan masalah ini yaitu Kerajaan Arab Saudi,” tutur dia.

Tak ayal, imbuh Ali beberapa surat kabar di Indonesia pun ikut tertipu dengan berita-berita bohong dan palsu itu, yang nyatanya tidak berasal dari satupun sumber resmi yaitu lembaga yang memiliki hubungan dengan urusan kunjungan, deportasi, dan migrasi dalam salah satu negara yang disebutkan dalam berita-berita bohong tersebut. Khususnya dari negara yang berhubungan langsung, yaitu negara yang di dalamnya terdapat dua masjid suci, yaitu Kerajaan Arab Saudi.

Padahal, kata dia, sudah menjadi tugas media yang kredibel dan profesional ketika merilis berita-berita semacam ini dari sumber mana pun agar mendatangi lembaga-lembaga resmi yang bertanggung jawab di negara yang bersangkutan untuk melakukan konfirmasi.

Singkatnya, kata dia, inilah hal paling minimal yang wajib dilakukan  media-media ini, terlebih lagi ketika media-media tersebut berada di tengah masyarakat yang memiliki tataran nilai Islam yang tinggi seperti masyarakat Indonesia.

Sebab, masyarakat Muslim yang taat dengan nilai-nilai Islam yang toleran dan prinsip-prinsip Islam yang mulia seperti masyarakat Indonesia mengetahui firman Allah dalam Alquran: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS Al-Hujuraat: 6)

Dia menyebutkan, kabar bohong Arab Saudi telah menormalisasi hubungannya dengan Israel menyebar di berbagai kawasan, termasuk Indonesia. Sejumlah media yang beroposisi dengan pemerintahan Arab Saudi menyebarkan berita tentang tidak diizinkannya orang-orang yang memegang paspor Israel untuk masuk ke Arab Saudi dalam sebuah upaya menjelekkan citra Kerajaan Arab Saudi di kalangan masyarakat Muslim, khususnya dalam hal manajemen haji.

Dia mengatakan, berita-berita bohong tersebut tersebar dalam bentuk bahwa pemerintah Arab Saudi melarang orang-orang Palestina untuk beribadah haji. Orang-orang yang menunggangi upaya menjelek-jelekkan ini mengambil keuntungan berupa simpati publik yang besar dari negara-negara Islam terhadap orang-orang Palestina dan masalah Palestina.

“Akan tetapi, simpati saja tidak cukup untuk sampai kepada kebenaran,” tutur dia.

Menurut dia, sekiranya surat kabar-surat kabar yang menyebarluaskan berita-berita bohong khususnya di negara-negara Islam itu menahan diri dan berpikir tentang hal tersebut, niscaya mereka akan menyadari bahwa target tersembunyi dari upaya itu adalah untuk memberikan tekanan kepada Kerajaan Arab Saudi guna mengakui Isreal dan paspor Israel.

Selain itu, kata dia, berbagai surat kabar yang tertipu dengan kebohongan-kebohongan tersebut juga akan menyadari bahwa mereka telah ikut terlibat tanpa sadar dalam tekanan ini guna mewujudkan target tersembunyi tersebut.

Ali menegaskan, berita-berita bohong tersebut datang dari sumber-sumber informasi yang sama dan dari media-media serupa untuk menentang kebohongan-kebohongan sebelumnya yang diciptakan media-media informasi itu sendiri, bahwa Kerajaan Arab Saudi memimpin upaya normalisasi hubungan dengan Israel.

Dia mengutip pepatah Arab: Tali kebohongan itu pendek. Sumber-sumber yang menyebarluaskan berita-berita bohong sejak beberapa bulan yang lalu bahwa Arab Saudi menormalisasi hubungannya dengan Israel, pada hari ini mengatakan sesungguhnya Arab Saudi menghalang-halangi orang-orang Palestina untuk beribadah haji dikarenakan mereka adalah pemegang paspor Israel.

Lihat, kata Ali, bagaimana mungkin Arab Saudi menormalisasi hubungannya dengan Israel, sementara pada saat yang sama mereka menghalang-halangi umat Islam yang memegang paspor Israel untuk masuk ke negaranya guna beribadah haji dan tujuan-tujuan lain di luar haji?

“Jelas, tidak mungkin bersatu antara upaya menormalisasi hubungan bilateral dengan sikap tidak memberikan pengakuan terhadap paspor sebuah negara,” kata dia.

REPUBLIKA