Allah tak Biarkan Hamba-Nya dalam Kesedihan

NAMAKU Fandi, ini kisahku saat aku sempat merasakan nikmatnya hidup di dunia ini. Saat aku masih bekerja di pelayaran, sebagai salah satu anak buah kapal pesiar tentu membuatku hidup bebas di laut lepas, mengelilingi laut Amerika, Afrika, dan Argentina.

Kehidupan di kapal pesiar jauh dari Tanah Air, dan keluarga membuatku bisa menikmati yang namanya surga dunia. Entah itu kapal sedang menepi di daratan atau sedang berlayar, aku, ABK (anak buah kapal) lainnya juga tidak ketinggalan para nakhoda kapal selalu dikelilingi perempuan-perempuan dari negara yang kami singgahi. Bisa dibilang hidupku saat itu tak bisa jauh dari dunia perempuan, tak ada masalah bagiku, toh aku juga masih pemuda lajang.

Aku sangat menikmati pekerjaan dan kehidupanku di kapal ini. Ah, rasanya aku tak ingin pulang dan mengakhiri semua kenikmatan ini. Kehidupan bebas, minuman keras, dan pola makan yang berantakan akhirnya memberhentikanku dari semua kenikmatan itu.

Awalnya, aku selalu merasa cepat lelah, dan fisikku semakin lama semakin tidak bertenaga rasanya. Hingga akhirnya aku memeriksakan kondisiku ke dokter di salah satu rumah sakit di Arab Saudi saat kapal menepi di daratan negara Islam itu. Hasil pemeriksaan dokter memberhentikanku dari pekerjaan, pihak perusahaan kapal tidak ingin memperkerjakan anggota yang mengidap penyakit atau sedang sakit. Dan diabetes mengeluarkanku dari pekerjaan itu, dari semua pelayaran sekaligus dari pelayaran dunia perempuan.

Aku terpuruk, galau dan putus asa. Di tengah kondisi kesehatanku yang sedang ngedrop dan tentunya membutuhkan biaya untuk berobat, aku malah sendiri, dibuang, dikeluarkan dari orang-orang yang selama ini ku anggap keluarga. Tapi semua yang terjadi adalah kebalikannya, walaupun saat itu penyakit diabetesku belum terlalu parah, mereka tetap memecatku. Dan ini menjadi pelajaran hidup yang sangat berharga buatku, sampai saat ini.

Aku berkelana mengelilingi sebagian daerah Arab Saudi. Berpikir untuk pulang? Ah, pikiran itu jauh dari benakku. Yang aku butuhkan saat itu adalah pekerjaan, sumber penghasilan untuk penyakitku, dan syukur-syukur bisa aku gunakan untuk pulang kembali ke Indonesia. Saat itu, hanya ibuku seorang diri yang kumiliki dan aku tidak tahu bagaimana kabarnya.

Alhamdulillah, Allah masih menyayangiku, dengan bantuan teman yang bekerja di sebuah hotel di negara Arab, aku pun akhirnya mendapat pekerjaan di hotel yang sama, sebagai room service. Bekerja di negara Arab, lambat laun merubah kepribadianku, walaupun tidak mudah untuk merubahnya. Ya, aku masih suka mencuri-curi kesempatan untuk membeli minuman keras, mencari kesempatan untuk mendapatkan wanita yang bisa menemani malamku. Sayangnya, semua itu sungguh sangat sulit aku dapatkan di sana. Tetap saja, penyakit ini tidak menyadarkanku dari kebodohan yang selama ini aku lakukan.

Waktu berlalu merubah kepribadianku, aku pun tak lagi mencari kesempatan untuk hal-hal seperti itu lagi. Aku mencoba untuk salat, Allah telah memanggil, dan lagi-lagi aku berat untuk melakukan itu. Karena selama di tengah pelayaran, sekalipun aku tak pernah melaksanakan salat. Tapi saat itu, aku benar-benar ingin merubah kehidupanku, dan kupaksakan untuk selalu salat tepat waktu dan berusaha untuk selalu berjemaah.

Bekerja di negara yang dipenuhi syariat Islam, membuatku terdorong untuk berkeinginan melaksanakan ibadah haji. Entahlah dari mana keinginan itu datang, tapi aku selalu merasa ada panggilan tersendiri dalam hati untuk berhaji.

Aku berusaha untuk bisa melaksanakan ibadah haji, sulit memang, apalagi surat-surat data diriku tidak begitu lengkap. Tapi keinginan itu semakin menggebu kala musim haji semakin dekat. Aku izin dari pekerjaanku dan mencoba ikut rombongan haji yang sedang bersiap berangkat menuju rumah Allah swt. Aku menyelipkan tubuhku yang kecil ini dari rombongan haji dari negara Afrika yang memiliki tubuh sangat besar. Akhirnya aku berhasil, dengan jalur yang tidak resmi. Tapi aku bersyukur bisa sampai di rumah-Nya, dimana semua umat muslim di seluruh dunia mengimpikan bisa sampai di tempat yang dijadikan kiblat kita dalam beribadah.

Selama menjalankan ibadah haji itu, hal yang pertama kali muncul dalam hati dan pikiran ku adalah wajah ibuku di Indonesia, ada apa gerangan? wajah ibu selalu ada kemanapun ku jatuhkan pandanganku. Aku semakin merindukan mu buu

Tepat di depan Ka’bah aku menangis sejadi-jadinya, semua hal yang kulakukan dalam hidupku sungguh tak ada manfaatnya, Ya Allah, sungguh hamba telah membuang-buang waktu menjalani kehidupan dariMu. Dan sungguh hamba telah rugi akan semua itu.

Tak lupa ku panjatkan untaian doaku untuk ibuku, sekalipun saat itu sama sekali aku tak tahu kabar berita beliau. Alhamdulillah, ibadah haji telah kuselesaikan, dan aku bertekad untuk kembali ke Indonesia, hidup bersama ibuku, menemaninya di masa tua beliau. Dan satu doa yang ku panjatkan saat berhaji, juga Allah kabulkan, alhamdulillah.

Setelah menyelesaikan semua urusan pekerjaanku di hotel, aku kembali ke Indonesia, kota Jakarta. Dan di sinilah doaku itu dibuka Allah jalannya, aku bertemu dengan wanita Indonesia, berdarah Palembang. Ia juga kembali ke Tanah Air setelah beberapa tahun hidup merantau di negeri Arab.

Perkenalan itu pun berlanjut hingga kami sampai ke Indonesia. Aku mulai sering berkomunikasi dengan Ratna, nama wanita berhijab berlesung pipi itu. Kami hanya berkomunikasi via handphone, dan SMS. Tapi aku tak ingin berlama-lama berada dalam lingkaran yang tak pasti itu. Hingga akhirnya, dengan bismillah ku berani kan diri meminang Ratna. Aku menanyakan kesediaan Ratna untuk hidup bersamaku, via telephone.

Tidak ada yang kusembunyikan dari Ratna saat aku memintanya mendampingi hidupku, semua hal tentangku, tentang masa laluku, juga tentang penyakit diabetes ku tak lupa ku ceritakan. Ratna menerimaku apa adanya, seperti halnya aku mencintainya.

Alhamdulillah, setelah melalui proses yang panjang dan sedikit rumit, karena jarak Jakarta-Palembang yang cukup jauh. Akhirnya, acara pernikahan sederhana itu berjalan khidmat. Tak ada kemewahan, tak ada pesta gemerlap, hanya aku, Ratna, ibuku dan sanak family dari masing-masing keluarga kami. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah

Kehidupan rumah tanggaku berjalan seperti apa adanya, aku bekerja di salah satu perusahaan ekspedisi milik teman sekolahku dulu, dan istriku membuka warung kecil-kecilan di rumah demi membantu perekonomian kami. Karna posisiku bukanlah cukup kuat di perusahaan itu, hanya sopir barang, tak mengapa aku tetap mensyukurinya.

Kesibukanku sebagai sopir yang setiap hari mengantar dan menjemput barang, membuat tidak begitu peduli dengan pengobatan penyakit yang selama ini menemani hidupku. Diabetesku semakin parah, kali ini saat istriku tengah mengandung buah cinta kami.

Hingga kelahiran putri kecilku, anak pertama kami. Kondisiku tetap saja belum membaik, semua biaya pengobatanku, ku alihkan untuk proses persalinan Ratna. Kondisiku semakin parah, dan harus menggunakan tongkat untuk berjalan. Diabetes ini menggerogoti kaki kananku.

Tak ada yang bisa kulakukan, selain di rumah tidur dan istirahat, dan hanya bisa melihat istriku yang berpeluh keringat mengurusiku, anakku, ibuku dan warung kecilnya. Maafkan suami mu ini Ratna..

Aku sampai di titik dimana aku merasa kehidupanku ini tak lagi berarti, jangankan untuk istri dan anakku, untuk diriku sendiri pun aku tak bisa berbuat banyak. Apa gunanya hidup ku ini kalau hanya bisa berbaring di rumah di tengah kesibukan istriku yang tiada akhirnya. Aku benar-benar putus asa atas hidupku, dan terlintas dipikiran untuk mengakhiri hidup ini.

Aku tak memperdulikan obat-obatan yang selalu Ratna berikan padaku, aku tak lagi ingin makan apapun yang istriku sediakan, aku tak mau tahu dan tak ingin mendengar apapun itu untuk bisa sembuh. Karna ku tahu, diabetes ini tak ada harapan lagi untuk disembuhkan, lambat laun penyakit ini akan menghabisi tubuhku dan mengantarkanku kembali pada-Nya. Dan dalam benakku, aku hanya ingin mati!!

Hampir tiga bulan, aku berperilaku seperti itu, tak mempedulikan apapun. Bahkan beberapa meninggalkan kewajibanku sebagai hamba Allah swt. Pencipta kita tak akan meninggalkan kita, sekalipun kita meninggalkannya berulang-ulang. Begitulah Allah swt, ia tak pernah membiarkanku berada lama dalam kesedihan dan keputusasaan. Lewat Ratna, istriku terkasih, kutemukan kembali semangat hidupku.

Semua perhatian dan kasih sayang Ratna dalam mengurusku dan tak pernah meninggalkan salatnya bagaimanapun kesibukan menyita waktunya. Ratna tetap menyelipkan namaku dalam setiap doa dalam salatnya. Dan tak pernah kutemui kesedihan dan penyesalan di wajah istriku, ia selalu tersenyum, menghiburku, membahas perkembangan anak kami, sesekali mengajakku bercanda walaupun tak ada yang respon baik dari diriku. Rabb, seberapa hebatnya jiwa wanita yang Engkau pilihkan untukku. Aku bersyukur atas hadirnya Rabb, terimakasih.

Lama aku berpikir, mengapa aku melampiaskan kekesalan atas penyakit ini pada istriku dan anakku. Mengapa aku harus mengurung diri dan menutup semua kebaikan dalam diriku. Bukankah penyakit ini juga karena kesalahan ku di masa lalu. Lantas mengapa aku marah dan tidak menerima takdirnya.

Mulai dari hari itu, hari-hari yang penuh dengan perbincanganku dan pertanyaan-pertanyaanku dengan sang maha pemilik kehidupan ini, aku pun berubah. Dan Ratna menjadi salah satu alasan kuatku untuk berubah, dan lebih menerima penyakit ini.

Aku mulai semangat menjalani hidupku, entahlah mungin lebih pastinya menjalani sisa hidupku. Mau bagaimana pun kelak penyakit ini akan berakhir, aku hanya ingin melakukan hal terbaik untuk keluargaku, ibuku, dan bermanfaat untuk orang-orang di sekitarku. Selain menyibukkan diri membantu warung kecil istriku, aku juga menyempatkan waktu untuk membersihkan masjid, menjadi muadzin, dan mengantar-jemput Suci walau aku harus berjalan dengan tongkat, putri kecilku yang saat ini sudah mulai TK. Dan aku sangat menikmati semua rutinitasku saat ini. Tak ada lagi sosok Fandi yang berlarut dalam kesedihan. Kini hanya ada Fandi, Ratna dan si kecil Suci yang bersemangat menemani ayahnya yang berteman dengan diabetesnya.

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim )
*[Chairunnisa Dhiee]

 

INILAH MOZAIK