Alquran dan Perintah Berkasih Sayang

“Sesungguhnya Allah hanya menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang,” (HR At-Thabrani)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kasih dan sayang dua sifat yang lebih sering disebut sebagai satu kata meski maknanya agak berbeda. Sifat kasih yang berarti mengasihi sesama, tak memandang suku, ras, agama, yang biasanya tercermin dari sifat peduli dan mau berbagi. Sedangkan sayang, sifat yang melekat dalam diri individu yang sifatnya lebih personal, seperti sayangnya orangtua ke anak, atau sebaliknya. Dua sifat tersebut (kasih dan sayang) sudah sepatutnya melekat dalam diri kita sebagai makhluk yang tercipta dengan amat sempurna.

Kesempurnaan itu terlihat dari keberadaan panca indera lengkap dengan fungsinya. Tidak hanya panca indera, organ-organ tubuh lainnya juga membuat manusia mampu bertahan hidup setiap hari demi menjalani fungsinya sebagai khalifah di muka bumi. Dan satu hal lagi yang tak terlupa dan membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya ialah akal. Manusia sempurna karena akal yang dianugerahi Allah Subhanahu Wata’alaa, jika akal tersebut digunakan untuk berpikir merenungi kebesaran Allah dan hal-hal yang mengandung kemaslahatan

Dalam Alquran, Allah menganjurkan kita untuk menjaga tali silaturrahim (hubungan kasih sayang kepada sesama). Silaturrahim yang merupakan terjemah dari bahasa Arab—terdiri atas dua kata yaitu shilah dan rahim—bisa dimaknai dengan serangkaian tanggung jawab Muslim dengan Muslim lainnya—dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari—yakni saling menebar salam, memenuhi undangan, menjenguk saudara yang sakit, mengantar jenazah, hingga menjawab (dengan doa) jika saudara kita bersin dan ia memuji Allah.

Dalam hadits shahih Imam Bukhari yang lain pun demikian. Rasulullah Saw menganjurkan jika salah satu di antara kita jika memasak sayur, maka perbanyaklah airnya. Memperbanyak air yang beliau maksudkan disini dapat dimaknai dengan memperbanyak kuantitasnya sehingga sayur itu tidak hanya bisa disantap oleh yang membuat atau keluarganya saja, namun juga bisa dibagi ke para tetangga. Sebab, dengan memberi itulah menjadi salah satu jalan untuk menguatkan hubungan baik dan mempererat silaturrahim.

Dalam surah AN-Nisa, Allah membukanya dengan perintah untuk bertaqwa dan menjaga tali kasih sayang kepada sesama, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan- mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki- laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan) mempergunakan (nama- Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan) peliharalah (hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

Bukan tanpa alasan Allah dan Rasulnya memerintahkan kita untuk pandai menjaga silaturahim. Salah satu alasannya ialah karena dengan berbuat baik, maka kita menpraktikkan salah satu sifat Allah, yang terus menerus berbuat baik untuk para hamba-Nya, seperti yang tertera dalam surah Al-Qashash ayat 77 di bawah ini.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu kebahagiaan akherat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan dunia, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qasas: 77)

Memiliki hati yang penuh kasih dan sayang serta berusaha untuk selalu berbuat baik terkadang memang tidaklah mudah. Ego diri dan emosi kerap melanda hati manusia jika saja mereka jauh dari Allah Swt. Padahal, dengan memiliki kedua sifat di atas kita takkan pernah merugi. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi Saw, “Para pengasih dan penyayang dikasihi dan disayang oleh Ar-Rahmaan (Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang-pen), rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yagn ada di langit” (HR Abu Dawud no 4941 dan At-Tirmidzi no 1924 dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam as-Shahihah no 925)

Sabda Nabi—rahmatilah yang ada di bumi— ini disepakati oleh para ulama sebagai konteks yang sifatnya umum, kaidah ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh bahwa kata ‘man’ atau siapa berlaku keumuman. Maka dengan sifat keumuman ini, anjuran berkasih sayang mencakup seluruh jenis makhluk hidup, siapa saja, yang ada di bumi; seperti rahmat kepada sesama muslim, orang non muslim, hewan, tumbuhan, bahkan orang fajir (memiliki banyak dosa sekalipun) harus kita sayangi; bukan justeru diacuh dan dijauhkan sehingga membuat mereka merasa tidak dipedulikan.

Sifat berkasih sayang dalam hadits di atas yang konteksnya umum, juga diperjelas dalam satu hadits yang menggambarkan anjuran kasih sayang kita kepada binatang, “Barangsiapa yang merahmati meskipun seekor sembelihan maka Allah akan merahmatinya pada hari kiamat” (HR. Bukhari). Hal tersebut menunjukkan bahwa, menyembelih hewan saja ada aturan dan tata caranya agar tidak menyakiti dan menyiksa binatang tersebut. Jika dengan hewan saja harus memiliki tata krama dan kasih sayang, bagaimana dengan sesama manusia?

Terakhir, satu kisah yang mungkin bisa kita jadikan pelajaran adalah sifat kasih sayangnya seorang pelacur kepada anjing yang ternyata dengan sifat kasih sayangnya itulah menghantarkan perempuan pezina tersebut mendapatkan hadiah pengampuan dari Allah Subhanahu Wata’alaa. “Tatkala ada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan berputar-putar mengelilingi sebuah sumur yang berisi air, tiba-tiba anjing tersebut dilihat oleh seorang wanita pezina dari kaum bani Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya (sepatunya untuk turun ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut-pen) lalu memberi minum kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun mengampuni wanita tersebut karena amalannya itu” (HR Al-Bukhari no 3467 dan Muslim no 2245)

Dengan anjuran berkasih sayang yang sifatnya umum inilah mengantarkan kita kepada pemahaman bahwa Islam tidak menentukan tanggal tepat kapan manusia dapat mencurahkan kasih sayangnya, justeru, Islam menganjurkan pemeluknya untuk menyayangi siapa saja, dimana saja dan kapan saja.

 

 

Oleh: Ina Salma Febriany

sumber: Republika Online