Antara Sedekah dan Pergi Haji

Seorang tabiin, Abdullah bin Mubarak, sedang tertidur di Masjid al-Haram saat menunaikan haji. Dalam tidurnya, ia bermimpi mendengar dua orang malaikat yang sedang bercakap-cakap.

“Berapa banyak umat Islam yang berhaji di tahun ini?” tanya sang malaikat kepada malaikat yang satunya. “Enam ratus ribu orang, tapi tidak ada satu pun yang diterima. Hanya ada satu orang tukang sepatu bernama Muwaffaq dari Damsyik yang tak bisa berangkat haji, tapi malah diterima. Karena sang tukang sepatu tersebut, semua yang haji pada tahun ini bisa diterima,” ujar sang malaikat satunya.

Abdullah pun terbangun dari tidurnya. Ia tak percaya dengan apa yang didengar dalam mimpinya tersebut. Penasaran dengan mimpinya, Abdullah mendatangi Damsyik dan menemukan rumah tukang sepatu bernama Muwaffaq. Ia pun yakin mimpinya tadi bukan sembarang mimpi, melainkan sebuah petunjuk dari Allah SWT.

Ibnu Mubarak berhasil menemui Muwaffaq. Ia pun masuk ke rumahnya dan dimulailah pembicaraan untuk mencari jawaban atas rasa penasarannya. Mengapa seseorang yang tidak berangkat haji, namun dihitung amal ibadahnya telah naik haji?  “Kebaikan apa yang telah Kau lakukan hingga kau bisa tercatat telah berhaji, padahal kau tidak pergi?” tanya dia.

Tukang sepatu pun menjawab. Ia bercerita sebenarnya sudah berniat untuk pergi berhaji karena mendapatkan rezeki sebesar 300 dirham, setelah menambal sepatu seseorang. Dengan sejumlah uang tersebut, Muwaffaq berniat untuk pergi haji. Dengan uang yang didapatnya tersebut, ia merasa mampu berangkat ke Tanah Suci. Dia pun meminta persetujuan istrinya yang sedang hamil.

Sebelum suaminya pergi, istri Muwaffaq mencium bau masakan dari rumah sebelah. Karena sedang hamil, dia pun meminta suaminya menanyakan masakan itu kepada tetangganya.  Muwaffaq pergi ke rumah tetangganya, dengan maksud meminta sedikit makanan itu.

Saat meminta masakan itu, Muwaffaq ternyata tak diberikan masakan itu sedikit pun. Meski Muwaffaq sudah berdalih bahwa istrinya sedang hamil. Dengan lembut, tetangganya kemudian beralasan. “Aku sebenarnya tak mau membuka rahasiaku ini, sebenarnya rumah ini dihuni olehku dan anak-anak yatim yang telah tiga hari tak makan, karena memang kami tak punya apa pun untuk dimakan,” ujar dia.

“Kemudian, aku keluar rumah untuk mencari apa pun yang bisa kami makan, hingga tiba-tiba saat berada di jalanan, aku menemukan bangkai kuda. Bangkai itulah yang aku potong kemudian aku bawa pulang dan kumasak hingga aromanya sampai tercium oleh istrimu,” ujar tetangganya.

Sang tetangga menambahkan, ”Maafkan aku, bagi kami masakan bangkai kuda ini halal karena memang tidak ada pilihan lain, tapi bagimu masakan ini haram untuk kau makan,” katanya menjelaskan. Muwaffaq lantas membatalkan niatnya untuk pergi haji. Dia pun mengalihkan dana 300 dirham tersebut untuk membantu tetangganya agar dapat makan dengan layak.

 

IHRAM