Apa dan Siapa Kafir Itu?

Kafir adalah mereka yang tertutup hatinya menerima kebenaran, meski seorang Muslim

 

Sebenarnya saya tidak ingin ikut-ikutan membahas soal istilah kafir ini. Toh, saya bukan siapa-siapa. Lagi pula, sudah banyak ormas dan tokoh agama yang berkomentar masalah ini, mulai dari Nahdlatul Ulama (NU), tokoh Muhammadiyah yang juga ketua dewan pertimbangan MUI, Prof Din Syamsuddin, juga mantan menteri agama Prof Quraish Shihab, serta lainnya. Tentu penjelasan mereka sangat mendalam (in-depth analysis).

Namun, tak ada salahnya saya mengomentari istilah yang sekarang jadi viral ini. Barangkali apa yang saya kemukakan ada manfaatnya. Dan jika tidak ada manfaatnya, ya nggak apa-apa, silakan diabaikan saja. Kata seorang sahabat, melakukan sebuah tindakan lalu salah, itu lebih baik daripada tidak melakukan tindakan dan benar. Lebih parah lagi, tidak melakukan tindakan sama sekali dan salah. Karena itu, saya akan mencoba mengomentari istilah kafir ini, dengan sedangkal-dangkalnya pemahaman saya.

Sahabat!

Kita sudah sering kali mendengar dan bahkan menyebutkan bahwa orang yang tidak beragama Islam itu sebagai ‘kafir’. Itu yang diajarkan sejak kecil pada kita. Dan makna ini turun-temurun diwariskan dari generasi ke generasi, hingga pada akhirnya kita pun menerimanya taken for granted,dan tanpa memeriksanya lagi. Seolah, istilah itu sudah tepat, sehingga terkesan tidak mau ambil pusing dengan hal yang sesungguhnya.

Andai saja kita mau membuka kitab suci kita, yakni Alquran, kita pasti akan menemukan maknanya. Meskipun hanya melalui terjemahannya saja. Sebab, istilah ‘kafir’ itu sama sekali tidak berkaitan dengan perbedaan agama.

Baik, sebelum masuk pada pembahasan inti, ada baiknya kita bahas dulu tashrif dari kata ‘kafir’ ini. Dalam bahasa Arab, kata ‘kafir’ berasal dari akar kata isim fail tsulasi mujarrod dari wazan (kata) ‘kafara-yakfuru-kufran’, yang artinya menutup. Dan orang yang menutup (isim fail), disebut dengan ‘kaafir’ (kaf, alif, fa, dan ra). Ini makna secara bahasa. Kata ‘kafara’ ini kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris dengan kata ‘cover’ yang artinya penutup.

Ada pun kata ‘kafir’ secara istilah, bisa kita perhatikan penyebutannya dalam Alquran. Ada banyak sekali Alquran menyebutkan kata ‘kafir’ ini. Baik dengan kata kaafir, kaafirun, kufr, yakfuruun, maupun lainnya. Berikut beberapa contohnya.

Misalnya dalam surah al-Baqarah [2] ayat 6-7.

“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman [6].”

“Allah telah mengunci mati hati (qalb-qalb, quluubihim) dan pendengaran mereka, dan pengelihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat [7].”

Makna kafir dalam kalimat di atas, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, disebutkan; Innal ladziina kafaruu, sesungguhnya orang-orang kafir —yakni orang-orang yang menutup perkara yang hak dan menjegalnya— telah dipastikan hal tersebut oleh Allah akan dialami mereka. Yakni sama saja, kamu beri mereka peringatan atau tidak, mereka tetap tidak akan mau beriman kepada Alquran yang engkau datangkan kepada mereka.

Makna ayat ini semisal dengan ayat lain-nya, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat (azab) Tuhanmu tidaklah mereka akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. (QS. Yunus: 96-97).

Kemudian dalam ayat ke-7 surah Al-Baqarah disebutkan, Khatamallahu, menurut As-Saddi maknanya ialah “Allah mengunci mati.” Menurut Qatadah, ayat ini bermakna “setan telah menguasai mereka, mengingat mereka taat kepada keinginan setan, maka Allah mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan mereka terdapat penutup. Mereka tidak dapat melihat jalan hidayah, tidak dapat mendengarnya, tidak dapat memahaminya, dan tidak dapat memikirkannya”. Jadi, makna dari kata ‘kafir’ pada ayat tersebut adalah menutup diri dalam menerima kebenaran.

Secara lebih perinci bisa kita simak dalam surah Al-Kahfi [18] ayat 100-101.

“Dan Kami tampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir (Al-Kafiriin) dengan jelas.” “yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari ‘zikri’ (‘memerhatikan’) terhadap tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.”

Dari dua ayat surah al-Kahfi ini, kita dapatkan definisi dari kata ‘kafir’. Bahwa yang dimaksud dengan orang-orang kafir adalah mereka yang matanya tertutup dari ‘zikri’ terhadap tanda-tanda kebesaran Allah, dan telinganya tidak sanggup mendengar kebenaran sejati (al-Haqq).

Jika demikian, apakah orang yang kebetulan telah lanjut usia lalu mengalami ketulian atau buta, bisa dikatakan kafir? Atau, jika kebetulan seseorang ditakdirkan dalam keadaan tuli atau buta sejak lahir, apakah bisa dikatakan dirinya sebagai orang kafir? Sementara keinginan untuk lahir menjadi buta atau tuli bukanlah keinginannya sendiri. Jawabannya tentu saja tidak bisa demikian. Sebab, setiap orang diberi kesempatan untuk mendapatkan hidayah.

Lalu, apa maksud dari ayat 100-101 surah Al-Kahfi tersebut? Kita bisa lihat pada surah al-Hajj [22] ayat ke-46. “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah qalb-qalb mereka (quluubun) yang ada di dalam dada.”

Nah, berdasarkan keterangan ayat ini, maka dapat kita tarik definisi bahwa yang disebut ‘kafir’ bukanlah orang yang berbeda agama, melainkan mereka yang mata (hati), telinga (hati) yang di dalam dadanya tidak berfungsi dalam melihat al-Haqq (kebenaran sejati). Ia melihat alam semesta, tetapi tidak bisa melihat kebesaran Allah pada alam semesta. Ia mendengar suara, tetapi ia tidak mendengar suara kebenaran sejati. Yang dimaksud dengan mata dan telinga disini adalah apa yang ada di dalam dada/jiwa (shudur, nafs), bukan liver atau jantung.

Sahabat!

Setiap tubuh manusia terdiri atas tiga hal, yakni ruh, nafs (jiwa), dan jasad. Nafs (jiwa) inilah yang diabadikan dalam surah al-A’raf [7] ayat 172 saat kita bersumpah di hadapan Allah bahkan Dia-lah yang Maha Besar. “A lastu bi rabbikum? Qaalu Balaa syahidna (Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ia menjawab; Benar, (Engkau Rabb kami) dan kami menyaksikannya).

Nafsun (nafs) atau jiwa inilah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat oleh Allah SWT. Sedangkan jasad akan hancur menjadi tanah (sebagaimana awal kejadiannya), dan ruh akan kembali kepada Allah. Apa yang akan dilakukan ruh? Tak ada yang tahu, karena itu adalah urusan Allah. Lihatlah surah al-Isra [17] ayat 85. “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah’ “Sesungguhnya ruh itu adalah urusan tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan (tentangnya) kecuali hanya sedikit.” (QS [17]: 85).

Kembali lagi kepada istilah ‘kafir’, merujuk pada keterangan berbagai ayat di atas, tampak jelas bahwa kafir bukanlah karena perbedaan agama (an-sich), melainkan hati dan pendengaran mereka yang telah tertutup terhadap kebenaran yang ada. “…Dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada qalb-nya.”

Lihat lagi surah al-Baqarah [2] ayat 6-7; “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci mati hati (qalb-qalb, quluubihim) dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”

Apakah ayat ini menegaskan tentang orang yang tidak beragama Islam itu kafir? Tentu tidak. Karena dari keterangan surah al-Baqarah tersebut, yang disebut dengan kafir itu adalah konteks ketertutupan qalb (hati), dan bukan dalam konteks perbedaan agama. ‘Kafir’ adalah sebuah kondisi (ruhaniyyah) tentang qalb, bukan status (keagamaan). Kalau demikian, berarti ruhani seseorang yang tidak menerima Islam sebagai kebenaran, berarti dia kafir? Oh, tentu saja tidak. Lihatlah surah al-Baqarah [2] ayat 62 dan al-Hajj [22] ayat 17.

“Sesungguhnya orang-orang yang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS [2]: 62).

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (QS [22]: 17).

Di dalam ayat tersebut disebutkan, bahwa orang yang beriman, orang Yahudi, Nasrani, Majusi, Sabi’in, dan siapa saja yang beriman kepada Allah serta beramal saleh, mereka itulah orang yang akan mendapatkan pahala di sisi Allah.

Jadi, secara sederhana bisa kita katakan bahwa orang kafir adalah orang yang qalb (hatinya) masih tertutup dari Al-Haqq (kebenaran Ilahi), dan tidak secara langsung terkait dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.

Apakah orang Islam yang tidak menjalankan perintah agamanya bisa disebut dengan kafir? Mungkin saja. Lihatlah surah al Hujurat [49] ayat 14. “Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk (aslamna)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Apakah orang yang tidak beragama Islam semuanya tidak beriman? Belum tentu. Kita harus berhati-hati sekali karena ada ayat-ayat ini dalam Alquran. “Dan sesungguhnya di antara para ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada mereka, sedang mereka berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Rabb-nya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungannya.” (QS. Ali Iman [3]:199).

Juga pada ayat 113-114, surah Ali Imran [3];

“Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud.” “Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar, dan bersegera kepada mengerjakan kebaikan. Mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ali Imran [3]:113-114).

Bahkan dalam salah satu hadisnya, Rasulullah SAW mengatakan; “Dari Abu Ja’d Adh-Dhomri bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang meninggalkan tiga kali Jumatan karena meremehkan, maka Allah akan mengunci hatinya.” (HR. Abu Dawud).

Dalam riwayat Imam Muslim, hadis ini berbunyi: “Dari Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah bahwasanya mereka mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbarnya: “Hendaknya orang yang suka meninggalkan Jumatan itu menghentikan kebiasaan buruknya, atau Allah akan mengunci mati hatinya, kemudian dia menjadi orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim).

Maksud mengunci mati hatinya adalah Allah menyegelnya, menutupinya, mencegah hati tersebut memperoleh Luthfun (kelembutan) dari Allah, memberi hati tersebut kebodohan, sifat kasar, keras hati atau menjadikannya hati orang munafik/hipokrit. Demikian dikatakan al-Manawi dalam kitabnya Faidh al-Qadir, Vol. 6, hlm 102).

Karena itu, kita bisa melihat bahwa kafir itu sesungguhnya bisa saja menimpa dan dialami umat Islam. Salah satunya, jika ia berulang kali (maksimal tiga kali) meninggalkan shalat Jumat. Merujuk pada keterangan ini, sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah ‘kafir’ adalah mereka yang telah tertutup hatinya menerima kebenaran, sekalipun mereka menjadi seorang Muslim. Allahu a’lam.

Secara umum, kafir itu bertingkat-tingkat, terutama dari caranya memahami kebenaran. Ada yang kafir mutlak, yakni sama sekali tidak bisa menerima dan memahami kebenaran (Al-Haqq), sedikit memayaminya, cukup memahami, atau bahkan sangat memahami. Dan kadar kekufuran itu juga demikian, tergantung bagaimana ia mampu memahami kebenaran (Al-Haqq) tersebut.

Mari kita perhatikan lagi surah al-Hujurat [49]: 14-18; “Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (aslamna), ‘ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (14) Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah; mereka itulah orang-orang yang benar. (15) Katakanlah (kepada mereka), “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?” (16). Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu. Sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (17) Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Hujurat [49]: 14-18).

Karena itu, orang yang beriman/iman (memercayai, meyakini kebenaran/al-Haqq), setingkat lebih tinggi dibandingkan dengan Islam (tunduk). Beriman itu masuk ke dalam hati (nafs/jiwa). Sedangkan seseorang yang telah ber-Islam, namun belum tentu dia memiliki iman. Dan lawan kata dari iman (percaya) adalah ‘kafara’ atau kafir, mengingkari atau menutup diri dari kebenaran al-Haqq.

Lalu bagaimana dengan istilah withuniyah (warga negara)? Menurut pemahaman saya yang faqir ini, tentu saja istilah tersebut sifatnya berbeda. Sebutan atau istilah withuniyah sangat terkait dengan kewarganegaraan. Siapa pun orangnya yang tinggal dalam suatu negara, ya dia berarti warga negara.

Apakah setuju dengan penyebutan istilah kafir pada orang yang berbeda agama dengan saya? Tentu saja tidak. Di atas sudah penulis jelaskan, bagaimana penyebutan kafir itu. Penulis lebih nyaman dengan istilah non-Muslim, karena memang faktanya berbeda agama. Saya Muslim dan mereka bukan Muslim (non-Muslim, ghairul muslimin). Soal keyakinan, kita kembalikan kepada Allah yang Maha Mengetahui.

Dan yang paling penting lagi, kita tidak boleh sembarangan bahkan serampangan menyebut seseorang dengan istilah kafir (takfir). Ingatlah hadis Nabi Muhammad SAW; “Barang siapa yang menuduh saudaranya (sesama Muslim) dengan sebutan ‘wahai kafir’, maka kekafiran itu akan kembali kepada salah satunya.” (HR Bukhari, No. 5752).

Bahkan, dalam Piagam Madinah, tak ada satu pun kata yang menyebutkan istilah ‘kafir’ kepada kelompok yang berada di luar Islam. Perjanjian antara Rasulullah, Kaum Muslimin, dan Yahudi itu, lebih banyak menyebut orang Yahudi. Sedang bagi penduduk Madinah yang belum menjadi Muslim, disebut dengan warga atau penduduk Madinah.

Allahu a’lam bish-shawab.

— Jagakarsa, 6 Maret 2019

Oleh: Syahruddin El-Fikri

 

 

REPUBLIKA