Apa yang Bisa Kita Lakukan untuk Rohingya?

Berakhirnya musim angin Muson di sekitar Laut Andaman menandakan dimulainya gelombang laut yang lebih tenang. Ini diprediksi berpotensi meningkatkan jumlah pengungsi Rohingya yang eksodus dari tanah kelahiran.

Mereka menggunakan perahu-perahu nelayan untuk hengkang lantara kekejaman yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar beserta kelompok teroris lokal. Tentu kita masih ingat, tahun lalu, ribuan—diperkirakan jumlahnya lebih dari 8.000 jiwa—pengungsi Rohingya terdampar di perairan Thailand, Malaysia, dan Indonesia.

Ketiga negara ini sempat menolak serta membiarkan mereka terombang-ambing dan “terpenjara” di lautan. Akhirnya, Indonesia dan Malaysia menerima mereka.

Itu pun setelah dunia internasional mendesak negara-negara ini agar memberikan perlindungan sementara untuk para pengungsi. Ini merupakan krisis pengungsi terburuk setelah Perang Vietnam dan juga disebut sebagai momen paling memalukan bagi negara-negara Asia Tenggara.

Dasar masalah

Permasalahan paling utama adalah krisis rasial yang dialami oleh etnis Rohingya akibat dicabutnya kewarganegaraan mereka pada 1982 oleh junta militer. Junta militer Myanmar hanya mengakui 135 etnis dan tidak mengakui Rohingya sebagai bagian dari warga negara, bahkan menuduh etnis ini sebagai imigran gelap dari Bangladesh.

Semenjak itu, hak-hak dasar etnis Rohingya tercerabut dan kehidupan mereka termarjinalkan. Kondisi ini berlangsung selama tiga dekade, hingga mulai mendapatkan perhatian dunia setelah kerusuhan yang terjadi pada 2012.

Saat itu, kelompok-kelompok teror Buddhist menyerang desa-desa Rohingya dan menyebabkan sedikitnya 200 orang tewas. Belakangan, pimpinan salah satu kelompok teror ini, biksu Ashin Wirathu, menyamakan dirinya sendiri dengan Donald Trump.

Wirathu, seperti kita tahu, juga pernah menjadi cover majalah TIMES edisi Juli 2013 dengan headline “The Face of Buddhist Terror”. Selama kebijakan apartheid ini diberlakukan, akar permasalahan di Arakan tidak akan pernah selesai.

Respons internasional

Lalu, bagaimana respons komunitas internasional terhadap krisis ini? Mungkin sebagian dari kita bertanya kritis di mana peran Asean dalam mengatasi krisis kemanusiaan di regional mereka? Asean yang berdiri atas tiga pilar utama ini—ekonomi, sosial, dan politik—seolah diam seribu bahasa.

Ini tidak lepas dari prinsip kardinal yang diyakini oleh negara-negara Asean sebagai “The ASEAN Way”: nonintervensi. Kebijakan yang berarti suatu negara tidak boleh mengintervensi urusan dalam negeri negara lain dan menghormati kedaulatan mereka.

Kebijakan ini yang akhirnya menempatkan negara lain tidak bisa melakukan apa-apa, bahkan sekadar untuk bersuara. Namun, memang justru karena kebijakan inilah regional di Asia Tenggara relatif aman dan jauh dari konflik besar antarnegara semenjak berdiri 1967.

Jamak konflik yang terjadi di ASEAN justru dimediasi oleh organisasi non-ASEAN. Di sinilah letak ambiguitas prinsip nonintervensi dalam kasus krisis kemanusiaan di Myanmar; apakah ASEAN harus turun tangan atau membiarkan pemerintah Myanmar menyelesaikannya sendiri? Atau mengundang organisasi non-ASEAN untuk menjadi mediator?

Diamnya Suu Kyi

Memasuki bulan kedelapan setelah National League for Democracy (NLD) memenangi pemilu demokratis di Myanmar pada November 2015, pemerintahan Aung San Suu Kyi pun mendapatkan banyak kritikan. Kemampuannya dalam membawa hak keadilan bagi etnis minoritas dipertanyakan.

Bahkan, banyak yang menuntut titel pemenang Nobel miliknya agar dicabut. Tentu desakan itu bukan tanpa alasan.

Karena selama ini Suu Kyi dianggap sebagai “juru selamat” yang menjadi ikon kebebasan dan demokrasi. Suu Kyi dan mayoritas politikus di Myanmar tidak ada yang menolak narasi Islamofobia yang dimunculkan oleh kelompok radikal seperti Biksu Wirathu.

Ada tiga alasan mengapa keinginan Suu Kyi untuk memperbaiki kondisi Rohingya dipertanyakan. Pertama, Suu Kyi tidak mengakui terminologi “Rohingya”. Kedua, komentar dia ketika diwawancarai oleh presenter BBC, Mishal Husein, “No-one told me I was going to be interviewed by a Muslim,” menunjukkan pandangan partisan yang dikecam banyak pihak.

Ketiga, sikap diam Suu Kyi terhadap isu Rohingya. Terakhir ia menolak militer Myanmar disebut melakukan kekerasan terhadap Rohingya pada Oktober 2016. Meski demikian, Suu Kyi telah membentuk komisi khusus yang akan memberikan rekomendasi terkait isu ini maksimum hingga 2017.

Cara menyikapi

Menyikapi krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar, apakah ada yang bisa kita lakukan? Setidaknya atas nama kemanusiaan dan mencegah hal-hal yang lebih buruk lagi terjadi di dunia ini. Menurut saya, ada empat hal yang bisa kita lakukan.

Pertama, sebagai bagian dari masyarakat global kita wajib mendesak organisasi internasional seperti PBB, ASEAN, Uni Eropa, IOM (International Organization for Migration), dan sebagainya untuk aktif memberikan jaminan keadilan dan keamanan bagi etnis minoritas. Jika ASEAN, dengan prinsip nonintervensinya, menjadikan negara-negara anggota di dalamnya mandul bersuara dalam penyelesaian konflik regional, tidak ada pilihan lain selain memaksa organisasi di luar ASEAN yang lebih berpengaruh untuk menekan pemerintah Myanmar.

Sebagai contoh, banyak NGO internasional menekan PBB agar mengimplementasikan resolusi No. 70/233 terkait situasi krisis kemanusiaan di Myanmar yang sampai saat ini tidak ada realisasi yang berarti. Sebab memang perlu dukungan komunitas masyarakat global agar PBB menghasilkan resolusi yang memaksa pemerintah Myanmar mematuhi resolusi tersebut.

Negara-negara atau badan internasional juga bisa menggunakan prinsip Responsibility to Protect (R2P atau RtoP) terhadap etnis minoritas yang terancam genosida. R2P merupakan sistem baru yang diadopsi oleh PBB semenjak 2005 untuk mencegah genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusian. Di sini, peran komunitas internasional sangatlah dibutuhkan.

Kedua, mendesak pemerintahan Suu Kyi untuk segera mengambil tindakan nyata atas nama demokrasi dan kemanusiaan. Tidak dapat dimungkiri kemenangan Suu Kyi dan partainya NLD membawa harapan baru bagi etnis Rohingya. Namun, hampir setahun pemerintahannya berkuasa, belum ada kebijakan yang signifikan untuk meredam konflik di Arakan.

Ketiga, membantu melalui NGO lokal yang mengirimkan bantuan ke para pengungsi Rohingya. Sebenarnya, bantuan yang mengalir ke Rohingya hanya bersifat sementara yang sama sekali tidak menyentuh akar persoalan.

Tapi memang bantuan itu tetap dibutuhkan mengingat lebih dari 120 ribu orang etnis Rohingya mengungsi dan terkadang juga diblokade oleh pemerintah Myanmar. Susahnya bantuan untuk masuk ke wilayah Rakhine dirasakan oleh NGO lokal di Indonesia.

Saya pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang menurunkan personel untuk mengirimkan bantuan rutin ke pengungsi Rohingya sampai sekarang. Dan, saya tahu betul bagaimana susahnya kehidupan pengungsi di sana.

Keempat, aktif melakukan kampanye kemanusiaan agar krisis ini menjadi perhatian dunia internasional. Tidak hanya bersimpati saat ada kejadian kekerasan, namun dalam bentuk kampanye yang kontinu.

Tentu kita tidak ingin menjadi orang yang peduli musiman: bersimpati hanya kala ada berita bencana. Juga, jangan sampai kita menyebarkan berita-berita hoax yang memperunyam masalah.

 

Herri Cahyadi, Mahasiswa Doktoral Hubungan Internasional, İstanbul Üniversitesi, Turki.

sumber: Republika Online