berdoa

Apakah Lebih Utama Berdoa dengan Suara Keras atau Pelan?

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah

Soal :

Manakah yang lebih utama dalam berdoa? Dengan suara yang pelan (sirr) ataukah keras (jahr)? Dan apakah maksud dari firman Allah ta’ala:

{وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ} 

“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah” (QS. Al Mulk: 13).

Jawab :

Apabila seseorang berdoa untuk dirinya sendiri dan orang lain, maka doa tersebut dibaca jahr (keras). Seperti doa imam saat qunut dibaca dengan jahr karena doa tersebut untuk dirinya dan orang lain. Dan doa tersebut dibaca dengan bentuk jamak seperti “Ya Allah berilah kami petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah kami keselamatan, sebagaimana orang yang telah Engkau beri keselamatan”. Tidak dibaca, “Ya Allah berilah saya petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk”. Karena apabila doa tersebut dimaksudkan untuk dirinya sendiri sedangkan orang lain mendengar dan mengamininya maka hal itu termasuk khianat karena doa tersebut jika untuk dirinya dan orang lain maka doa tersebut bersifat kolektif sedangkan mengkhususkan dirinya sendiri merupakan bentuk sifat khianat.

Oleh karena itu kami katakan, jika doa tersebut bersifat kolektif untuk orang yang berdoa dan selainnya, maka dibaca jahr (keras). Namun doa yang bersifat kolektif untuk orang yang berdoa dan selainnya, ini hanya sebatas pada doa-doa disebutkan syari’at saja (untuk dikerjakan secara berjama’ah). Tidak boleh mengada-adakan doa-doa berjamaah yang tidak didasari oleh dalil syar’i. Karena mengada-adakan amalan semisal itu merupakan bid’ah yang terlarang.

Adapun apabila seseorang berdoa untuk dirinya sendiri maka ada beberapa perincian : 

Apabila doa tersebut di dalam shalat maka tidak boleh mengeraskan doa tersebut, walaupun dalam shalat jama’ah maka tetap tidak boleh mengeraskannya. Karena hal tersebut dapat mengacaukan orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu dijumpai sebagian makmum-makmum mengeraskan doanya kepada Allah ketika duduk diantara sujud, atau ketika sujud, atau ketika tasyahud. Hal ini tidak diperbolehkan sebagaimana telah datang penjelasan dari Nabi ﷺ kepada para sahabat. Pada suatu hari, mereka shalat dengan mengeraskan bacaan Al-Qur’an, maka Nabi ﷺ pun melarang mereka untuk mengeraskan bacaan antara satu sama lain.

Adapun jika seseorang berdoa untuk dirinya sendiri (di luar shalat) dan di sekitarnya tidak terdapat orang lain, dan dia bisa merasa lebih baik untuk hatinya, maka lebih utama dibaca dengan suara pelan. Sedangkan jika dia merasa lebih baik dibaca dengan suara keras maka dibaca dengan suara keras. Akan tetapi tidak diperbolehkan mengeraskan bacaan doa sampai menyulitkan dirinya sendiri. Karena Nabi ﷺ pernah mengingatkan kepada para sahabat yang mengeraskan suara mereka, 

أيها الناس، أربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائباً، فإنكم تدعون سميعاً قريباً، وهو معكم، إن الذي تدعونه أقرب إلى أحدكم من عنق راحلته. والله سبحانه وتعالى قريب مجيب

“Wahai manusia, rendahkan diri kalian. Karena sesungguhnya kamu semua tidak berdoa kepada yang tuli dan tidak juga yang gaib. Akan tetapi anda berdoa kepada yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. Dan Dia bersama kalian. Sesungguhya yang kamu semua berdoa itu lebih dekat dari salah satu diantara kamu dari punuk kendaraannya. Maha suci Allah dan Maha Tinggi, dekat dan mengabulkan doa” (HR. Bukhari no.6384, Muslim no.2704).

Sumber: http://iswy.co/e29ron 

Penerjemah: Rafif Zulfarihsan

Artikel: Muslim.or.id