Penjelasan Menolong Agama Allah yang Diungkap Alquran

Dalam Alquran Surat Muhammad Ayat 7, Allah berfirman: 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ اَقْدَامَكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS Muhammad: 7)

Tafsir Kementerian Agama menerangkan, ayat ini mengandung makna, wahai orang-orang yang beriman, yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengamalkan tuntunan-Nya. Jika kamu menolong agama Allah dengan berjihad memperjuangkan kebenaran di jalan Allah, niscaya Dia akan menolongmu menghadapi berbagai kesulitan, dan niscaya Dia akan menolongmu menghadapi berbagai kesulitan serta meneguhkan kedudukanmu, sehingga kamu dapat mengalahkan musuh-musuhmu. Itulah janji Allah untuk mendorong mereka yang beriman agar tidak segan dalam berjihad di jalan Allah.

Melalui ayat ini, Allah menyeru orang Mukmin, jika mereka membela dan menolong agama-Nya dengan mengorbankan harta dan jiwa, niscaya Ia akan menolong mereka dari musuh-musuhnya. Allah akan menguatkan hati dan barisan mereka dalam melaksanakan kewajiban mempertahankan agama Islam dengan memerangi orang-orang kafir yang hendak meruntuhkannya sehingga agama Allah itu tegak dan kokoh.

IHRAM

Dusta yang Ditoleransi

Ada beberapa situasi yang di dalamnya seorang Muslim ditoleransi bila sampai berdusta.

Seorang sahabat pernah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, “Mungkinkah seorang Muslim itu pembohong?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak!” Sayyid Sabiq dalam sebuah kitabnya menjelaskan perihal hadis tersebut. Menurutnya, jawaban Nabi SAW itu menegaskan, iman dan kebiasaan berbohong tidak bisa berkumpul dalam hati seorang Muslim.

Sebab, Islam tidak akan tumbuh dan kokoh dalam pribadi yang tidak jujur. Rasul SAW juga pernah bersabda, “Jauhilah kebohongan. Sungguh, kebohongan mengantarkan kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan kepada neraka. Seseorang yang biasa berbohong, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pembohong” (HR Bukhari-Muslim).

Akan tetapi, ada beberapa situasi yang di dalamnya seorang Muslim ditoleransi bila sampai berdusta. Sebab, kebohongan yang dilakukannya boleh jadi menimbulkan maslahat. Berikut ini adalah tiga konteks yang dimaksud, sebagaimana dinukil dari sebuah hadis.

Siasat Perang

Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Syihab, disebutkan bahwa Rasulullah SAW menoleransi kebohongan yang dilakukan Muslimin dalam perang. Maksudnya, pertempuran yang di dalamnya umat Islam berjuang membela agama Allah SWT.

Dalam situasi demikian, mereka diperbolehkan berdusta untuk mengelabui musuh. Termasuk dalam hal ini, penerapan strategi atau siasat perang yang dapat memperdaya lawan di medan pertempuran.

Tentunya, kebohongan ini tidak sama dengan pelanggaran terhadap suatu perjanjian damai yang telah dibuat antara Muslimin dan musuh. Adapun contoh dusta yang dibolehkan itu ialah, mengecat rambut para prajurit Muslim yang sudah tua. Dengan begitu, uban pada kepala mereka akan tersamarkan. Dan, musuh akan mengira mereka sebagai pasukan muda.

Mendamaikan

Dalam hadis yang diriwayatkan Ummu Kultsum binti Uqbah Abi Mu’ith, Nabi SAW diketahui pernah bersabda tentang sebuah kebohongan yang ditoleransi. Dusta tersebut ialah yang dilakukan untuk mendamaikan dua orang atau kubu Muslimin yang sedang bertikai. Cara itu bisa ditempuh apabila sudah tidak ada jalan lain lagi untuk mendamaikan mereka.

Sebagai contoh, seorang penengah dapat mengatakan kepada seseorang bahwa fulan telah berkata sangat baik tentang dirinya. Kemudian, ia menjumpai si fulan dan menyampaikan bahwa orang tadi sebenarnya melihat pada dan mengagumi sifat-sifat baiknya. Berkata baik dan melebih-lebihkan kebaikan itu, walaupun berbohong, diperbolehkan untuk menyambung kembali silaturahim yang terputus.

Suami-Istri

Dalam hadis yang sama, Rasul SAW juga menoleransi perkataan dusta dari seorang suami kepada istrinya. Begitu pula sebaliknya. Seorang istri boleh berbohong kepada sang suami. Itu selama tujuannya maslahat.

Sebagai contoh, ketika seorang suami mencicipi masakan buatan istrinya. Sang suami tetap memuji-muji masakan itu walaupun, pada faktanya, sajian itu tidaklah enak. Atau, seorang istri menyanjung penampilan suaminya meskipun pakaian yang dikenakannya tidak bagus.

Kebolehan berbohong itu menjadi haram kalau berkaitan dengan tunainya hak dan kewajiban serta fungsi suami dan istri dalam rumah tangga. Misal, tidak boleh suami berdusta dengan mengatakan kepada istri dan anaknya, “Saya tidak punya uang.” Padahal, ia hanya ingin menggunakan semua uangnya untuk maksiat.


OLEH HASANUL RIZQA

KHAZANAH REPUBLIKA

Sapuhi: Alhamdulillah Akhirnya Umroh Dibuka Lagi

Wasekjen Sarikat Penyelenggara Umrah Haji Indonesia (Sapuhi) Adji Mubarok mengaku bersyukur atas informasi yang disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengenai persiapan teknis yang tengah dilakukan Kerajaan Arab Saudi bagi jamaah umroh Indonesia. Menurutnya, kabar dari Menlu itu sudah ditunggu umat Islam di Indonesia.

“Alhamdulillah, momen yang kami tunggu-tunggu akhirnya sampai di garis finis,” kata Adji, saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (9/10).

Adji mengatakan, umat Islam di Indonesia sudah lama merindukan ibadah di Makkah dan Madinah untuk umroh maupun haji. Ia menyebut, kabar yang disampaikan pemerintah seakan melepas kerinduan kepada Tanah Suci.

Adji memastikan asosiasinya siap membantu pemerintah dalam hal teknis demi menyegerakan terselenggaranya kembali ibadah umroh. Apalagi, selama ini sudah banyak jamaah umroh yang batal diberangkatkan karena pandemi Covid-19 dan mereka ingin segera beribadah ke Tanah Suci.

“Kami selaku asosiasi siap mengawal ini semua agar semua sesuai dengan peraturan yang berlaku dan protokol kesehatan tentunya,” katanya.

Adji berharap, kabar gembira ini bisa kembali membangkitkan bisnis travel haji umroh yang sudah tiarap hampir dua tahun lamanya. Ia menyebut, persiapan sudah mulai dilakukan oleh para pelaku bisnis travel umroh, mulai dari berbenah kantor hingga membuka kembali pendaftaran jamaah umroh. Bahkan, para provider visa pun sudah bersiap mengurus izin atau kontrak mereka dengan muasasah.

“Insya Allah semua persiapan sudah dipersiapkan oleh tiap travel umroh-haji. Semoga dalam beberapa hari kedepan Insya Allah sistem pengajuan visa bisa kembali on dan umroh bisa segera dimulai. Aamiin,” katanya.

Pada Sabtu sore, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melalui kanal Youtube Kemenlu menyampaikan nota diplomatik Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta. Dalam nota diplomatik itu, Kedutan dikabarkan telah menerima informasi dari pihak berkompeten di kerajaan Saudi Arabia perihal pengaturan dimulainya kembali pelaksanaan umroh bagi jamaah asal Indonesia

“Komite khusus di kerajaan Arab Saudi saat ini sedang bekerja guna meminimalisir segala hambatan yang menghalangi kemungkinan jamaah umroh Indonesia untuk melakukan ibadah umroh,” katanya.

Retno menuturkan, dalam nota diplomatik tersebut juga disebutkan bahwa kedua pihak dalam tahap akhir pembahasan mengenai pertukaran link teknik dengan Indonesia yang menjelaskan informasi para pengunjung berkaitan berkaitan dengan vaksin dan akan memfasilitasi proses masuknya jamaah.

“Nota diplomatik juga menyebutkan mempertimbangkan masa periode karantina selama lima hari bagi jamaah umrah yang tidak memenuhi standar kesehatan yang dipersyaratkan,” katanya.

Retno memastikan, kabar baik ini akan langsung ditindaklanjuti secara lebih detail. Mengenai teknis pelaksanaannya, Kementerian Luar Negeri akan melakukan koordinasi dengan Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, serta otoritas terkait.

“Saya sendiri telah melakukan koordinasi baik dengan menteri kesehatan dan menteri Agama,” katanya.

IHRAM

Salah Kaprah: Jika Suami Meninggal, Semua Hartanya Jadi Milik Istri

Di antara salah kaprah yang tersebar di masyarakat seputar hukum waris adalah adanya anggapan bahwa jika suami meninggal, maka hartanya jadi milik istri. Ini adalah anggapan yang keliru. Kita akan bahas kekeliruan ini secara ringkas.

Wajib menerapkan hukum waris dalam Islam

Sebelum kita membahasnya, harus dipahami terlebih dahulu bahwa setiap Muslim wajib menerapkan hukum waris yang ada dalam Islam. Dalam Al Qur’an Al Karim, Allah ta’ala menyebutkan aturan waris secara panjang lebar dalam empat ayat di surat An Nisa ayat 11 sampai 13 dan ayat 176. Diantaranya, Allah ta’ala berfirman:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (An Nisa: 11).

Allah ta’ala menetapkan aturan waris dalam ayat-ayat ini dengan cukup rinci dan detail. Maka setiap orang yang masih memiliki iman tidak mungkin mengabaikan dan meninggalkan hukum yang Allah tetapkan ini.

Sangat disayangkan, di zaman ini sedikit sekali kaum Muslimin yang perhatian terhadap hukum waris dan banyak yang meninggalkan aturan syari’at dalam pembagian harta warisan. Padahal aturan ini merupakan ketetapan Allah, dan Allah ancam orang-orang yang melanggarnya. Allah ta’ala berfirman setelah menjelaskan aturan-aturan waris:

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (An Nisa: 13-14).

Maka wajib bagi semua kaum Muslimin untuk kembali kepada aturan syari’at dan menerapkan aturan syari’at dalam pembagian harta warisan.

Jika Suami Meninggal, Semua Hartanya Jadi Milik Istri?

Ini adalah salah kaprah yang banyak diyakini oleh masyarakat. Yaitu ketika seorang suami meninggal, seluruh harta warisannya menjadi milik istrinya. Padahal jatah warisan istri telah Allah tentukan dalam Al Qur’an:

وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ

“Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan” (An Nisa: 12).

Maka, istri mendapatkan harta warisan 1/4 atau 1/8 dari peninggalan suaminya. Bukan seluruhnya.

Ini adalah aturan waris yang Allah tetapkan langsung dalam Al Qur’an, tidak boleh dilanggar karena alasan adat, tidak enak, sungkan, atau alasan lainnya. Ingat, dalam Al Qur’an Allah ta’ala mengancam dengan keras orang-orang yang tidak mau menerapkan hukum waris.

Mungkin ada yang bertanya “Jika istri hanya dapat 1/4 atau 1/8 apa tidak kasihan? Bagaimana nafkah dia?”.

Jawabannya:

  1. Ketetapan ini adalah hukum Allah yang sudah paling adil dan tidak ada kezaliman sama sekali.
  2. Istri jika ia miskin dan anak-anaknya mampu menafkahi, maka anak-anaknya lah yang wajib menafkahi. Jika istri masih punya ayah yang mampu menafkahi, maka ayahnya yang wajib menafkahi. Jika tidak ada ayah, maka para kerabatnya yang wajib menafkahi. Maka selalu ada orang yang bertanggung-jawab atas nafkahnya. Sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli waris pun berkewajiban demikian” (Al Baqarah: 233).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan ayat “dan ahli waris pun berkewajiban demikian”, beliau berkata :

فدل على وجوب نفقة الأقارب المعسرين, على القريب الوارث الموسر

“Ayat ini menunjukkan kerabat yang berkemampuan wajib menafkahi kerabat yang kurang mampu” (Tafsir As Sa’di).

Jika ada yang bertanya, “Bagaimana jika para anak merelakan jatah warisnya untuk sang ibu (istri dari mayit) tersebut?”.

Jawabannya, boleh saja jika memang semua ahli warisnya ridha tanpa paksaan. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta menjelaskan:

وإذا تنازل بعض الورثة عن نصيبه لآخر وهو بالغ رشيد جاز

“Jika sebagian ahli waris tanazul (merelakan sebagian hartanya) untuk ahli waris yang lain, sedangkan ia adalah orang yang baligh dan berakal, hukumnya boleh” (Fatawa Al Lajnah no.12881).

Dengan tetap meyakini bahwa aturan waris yang Allah tetapkan adalah yang paling adil dan paling terbaik. Dan andaikan sang anak tidak merelakan bagiannya untuk sang ibu, ia pun tidak tercela. Karena memang itu adalah hak dia, yang telah ditentukan oleh Allah ta’ala.

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/69433-salah-kaprah-jika-suami-meninggal-semua-hartanya-jadi-milik-istri.html

Komentar Khulafaur Rasyidin tentang Maulid Nabi Muhammad Saw

Hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. merupakan hari bahagia bagi alam semesta. Kelahiran kekasih Allah, alasan terciptanya dunia. Beliau merupakan pembawa risalah yang membimbing manusia mengenal serta menyembah Allah SWT. Pada momentum yang berbahagia ini, penulis ingin mengajak pembaca mengetahui komentar para sahabat nabi Saw. perihal maulid nabi, khususnya para Khulafaur Rasyidin. al-Imam Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H) dalam karyanya an-Ni’matu al-Kubra ‘ala al-‘Aalam fi Maulid Sayyid Waladi Adam mengompikasikan sejumlah komentar khulafur rasyidin dan para sahabat Nabi Muhammad Saw. yang lainterkait keutamaan mengagungkan saat kelahiran nabi

Abu Bakar as-Shiddiq,

قَالَ أَبُو بَكْر الصِّدّيْقِ رضي الله عنه: مَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا عَلَي قِرَاءَةِ مَوْلِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ رَفِيْقِي فِي الْجَنَّةِ

Abu Bakar as-Shiddiq Ra. berkata “barang siapa mengeluarkan infak satu dirham (satuan mata uang di daerah Arab di masa kekaisaran Utsmaniyah) dalam rangka pembacaan maulid nabi Muhammad Saw. maka ia adalah teman (kekasih) ku di surga.”

Umar bin Khattab Ra.,

قَالَ عُمَرُ رضي الله عنه مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ أَحْيَا الْإِسْلَامَ

Umar Ra. berkata “barang siapa mengagungkan maulid nabi Muhammad Saw. maka ia sungguh telah menghidupkan islam.”

Utsman bin Affan Ra., 

قَالَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللهُ مَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا عَلَي قِرَاءَةِ مَوْلِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَأنَّمَا شَهِدَ غَزْوَةَ بَدْرٍ وَحُنَيْن

“barang siapa mengeluarkan infak satu dirham dalam rangka pembacaan maulid nabi Muhammad Saw. maka seakan-akan ia mati syahid di perang Badar dan Hunain.”

Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah,

قَالَ عَلِيٌّ رضي الله عنه وَكَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ سَبَبًا لِقِرَائَتِهِ لَايَخْرُجُ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا بِالْإِيْمَانِ وَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Ali Ra. berkata “barang siapa mengagungkan maulid nabi Muhammad Saw. dan hal itu menjadi sebab pembacaan maulid nabi maka ia tidak akan keluar dari dunia (meninggal) melainkan membawa iman serta akan masuk ke surga  tanpa hisab.”

Wallahu ‘alam

BINCANG SYARIAH

Hukum Membedah Cadaver dalam Islam

Bagi mahasiswa kedokteran, praktik cadaver atau bedah anatomi merupakan pekerjaan yang sudah lazim dilakukan sebagai objek belajar. Permasalahan ini menjadi menarik untuk dibahas melihat dari betapa besarnya penghormatan Islam terhadap jenazah manusia. Lantas, bagaimanakah hukum membedah cadaver dalam Islam?

Pada prinsipnya, praktik apa pun yang dapat menyakiti terhadap jenazah manusia selain pemakaman tidak diperbolehkan. Hal ini, menunjukkan betapa besarnya penghormatan Islam terhadap manusia, baik ketika hidup, maupun sesudah wafat sebagaimana isyarat Surat Al-Isra ayat 70 berikut,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا

Artinya : “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”

Selain itu, disebutkan juga dalam hadits riwayat Abu Dawud keterangan bahwa pematahan tulang jenazah disamakan dengan pematahan tulangnya ketika masih dalam kondisi hidup. Sebagaimana dalam keterangan berikut ini,

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ عَلَى شَرْطِ مُسْلِم

Artinya:  “Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Pematahan tulang jenazah seperti pematahan tulangnya ketika ia hidup.”

Namun demikian, praktek pembedahan terhadap jenazah dapat dibenarkan apabila dalam kondisi darurat atau adanya hajat seperti dalam rangka pembelajaran untuk ilmu kedokteran. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, juz 4, halaman 160 berikut,

يجوز التشريح عند الضرورة أو الحاجة بقصد التعليم لأغراض طبية أو لمعرفة سبب الوفاة وإثبات الجناية على المتهم بالقتل ونحو ذلك لأغراض جنائية إذا توقف عليها الوصول فى أمر الجناية للأدلة الدالة على وجوب العدل فى الأحكام حتى لا يظلم بريئ ولا يفلت من العقاب مجرم أثيم

Artinya : “Boleh melakukan otopsi jenazah ketika sangat dibutuhkan untuk tujuan medis, atau untuk mengetahui sebab kematian, menentukan bentuk pidana yang diduga karena dibunuh atau lainnya jika hal itu bisa memberikan bukti yang valid dalam masalah hukum sehingga orang yang salah tidak terzalimi dan pelaku kriminal tidak bisa menghindar dari hukuman.”

Kebolehan melakukan pembedahan ini tidak berlaku secara bebas, melainkan hanya boleh membedah anggota yang dibutuhkan saja. Pembedah juga masih memiliki kewajiban untuk memenuhi kehormatan mayat, dengan cara menutupi semua anggota tubuhnya, mengkafani, dan mengembalikannya seperti semula setelah selesai dalam proses pembelajaran. Sebagaimana lanjutan dari keterangan kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu berikut,

ينبغي عدم التوسع في التشريح لمعرفة وظائف الأعضاء وتحقيق الجنايات، والاقتصار على قدر الضرورة أو الحاجة، وتوفير حرمة الإنسان الميت وتكريمه بمواراته وستره وجمع أجزائه وتكفينه وإعادة الجثمان لحالته بالخياطة ونحوها بمجرد الانتهاء من تحقيق الغاية المقصودة.

Artinya : “Tidak diperkenankan melegalkan otopsi secara bebas untuk mempelajari sistem kerja organ tubuh dan untuk mengungkap pembunuhan, hanya diperbolehkan otopsi sebatas pada anggota yang dibutuhkan, memenuhi kehormatan mayat, dan memuliakannya dengan cara menutupi semua anggota tubuhnya, mengkafani, mengembalikannya seperti semula dengan cara menjahit dan sebagainya setelah selesai dan berhasil apa yang dimaksudkan.”

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa hukum membedah cadaver dapat dibenarkan apabila dalam kondisi darurat atau adanya hajat seperti dalam rangka pembelajaran untuk ilmu kedokteran. Tetapi, Kebolehan ini tidak berlaku secara bebas, melainkan hanya boleh membedah anggota yang dibutuhkan saja. Pembedah juga masih memiliki kewajiban untuk memenuhi kehormatan mayat, dengan cara menutupi semua anggota tubuhnya, mengkafani, dan mengembalikannya seperti semula setelah selesai dalam proses pembelajaran.

Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Definisi Orang Gila yang Tidak Terkena Beban Syariat

Dalam pandangan hukum syar’i, memvonis seseorang dengan vonis gila bukanlah perkara mudah dan harus berhati-hati. Karena orang yang gila itu tidak terkena beban syariat. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رُفعَ القلَمُ عن ثلاثةٍ : عنِ الصَّبيِّ حتَّى يبلغَ ، وعن المجنونِ حتَّى يُفيق ، وعنِ النَّائمِ حتَّى يستيقظَ

“Pena catatan amal diangkat dari tiga orang: dari anak kecil sampai dia baligh, dari orang gila sampai ia waras, dari orang yang tidur sampai ia bangun.” (HR. Bukhari secara mu’allaq, Abu Daud no. 4400, disahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’, 2: 5)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

من لا عقل له فإنه لا تلزمه الشرائع، ولهذا لا تلزم المجنون، ولا تلزم الصغير الذي لم يميز، بل ولا الذي لم يبلغ أيضاً، وهذا من رحمة الله تعالى، ومثله أيضاً المعتوه الذي أصيب بعقله على وجه لم يبلغ حد الجنون

“Orang yang tidak berakal, maka tidak terkena kewajiban syariat. Oleh karena itu, (kewajiban syariat) tidak berlaku untuk orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz, bahkan juga yang belum baligh. Ini adalah bagian dari rahmat Allah Ta’ala. Demikian juga, orang yang pikun yang terganggu akalnya walaupun belum sampai level gila.” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 12: 15-16)

Ketika seseorang dikatakan gila, maka dia tidak wajib salat, tidak wajib puasa, tidak boleh berjual-beli, tidak boleh bermuamalah dengan hartanya, tidak boleh akad nikah, dan lain-lain. Ini semua adalah konsekuensinya.

Apa patokan gila?

Definisi junun atau gila, disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,

أَنَّهُ اخْتِلاَل الْعَقْل بِحَيْثُ يَمْنَعُ جَرَيَانَ الأَْفْعَال وَالأَْقْوَال عَلَى نَهْجِهِ إِلاَّ نَادِرًا. وَقِيل: الْجُنُونُ اخْتِلاَل الْقُوَّةِ الْمُمَيِّزَةِ بَيْنَ الأَْشْيَاءِ الْحَسَنَةِ وَالْقَبِيحَةِ الْمُدْرِكَةِ لِلْعَوَاقِبِ بِأَنْ لاَ تَظْهَرَ آثَارُهَا، وَأَنْ تَتَعَطَّل أَفْعَالُهَا. وَعَرَّفَهُ صَاحِبُ الْبَحْرِ الرَّائِقِ بِأَنَّهُ: اخْتِلاَل الْقُوَّةِ الَّتِي بِهَا إِدْرَاكُ الْكُلِّيَّاتِ

“Gila adalah terganggu akalnya, sehingga seseorang tidak bisa berbuat dan berkata berdasarkan itikad yang benar kecuali sedikit saja.

Definisi lain, gila adalah rusaknya kekuatan pikiran untuk membedakan antara akibat baik dan akibat buruk dari suatu perbuatan. Yaitu karena ia tidak tahu bagaimana akibat dari suatu perbuatan yang bahaya, atau dia meninggalkan suatu perbuatan yang jelas baik baginya.

Penulis kitab Al-Bahrur Ar-Ra’iq mendefinisikan bahwa gila adalah rusaknya kekuatan akal secara menyeluruh sehingga tidak bisa memahami sesuatu.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 16: 99)

Dan salah satu indikasi gila, dalam pandangan syar’i, adalah tidak bisa diajak bicara dengan benar. Syekh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah menyebutkan,

فجعل الشارع البلوغ علامة لظهور العقل و فهم الخطاب. و من لا يفهم لا يصح تكليفه لعدم الامتثال

“Syariat menjadikan baligh sebagai indikasi untuk munculnya akal dan kemampuan memahami perkataan. Siapa saja yang tidak memahami perkataan (orang lain), maka tidak sah untuk diberi beban syariat, karena ia tidak bisa memunculkan niat untuk menaati syariat.” (Syarhul Waraqat fi Ushulil Fiqhi, hal. 80)

Dari beberapa penjelasan di atas, indikasi gila menurut penjelasan para ulama adalah:

* Tidak bisa berkata atau berbuat berdasarkan itikad yang benar.

* Tidak tahu akibat dari suatu perbuatan yang membahayakan.

* Tidak pernah mengerjakan perbuatan yang jelas baik, seperti mandi, makan, dan memakai pakaian.

* Tidak paham apa-apa sama sekali.

* Tidak paham perkataan orang lain.

Dan ada beberapa pembahasan turunan dari al-junun (gila), di antaranya:

al-‘atah (pikun)

ad-dahasy (linglung)

as-safah (idiot)

Yang ini semua ada babnya masing-masing.

Ringkas kata, jangan sampai memvonis seseorang itu gila padahal dia tidak gila. Karena konsekuensinya berat. Jika seseorang disebut gila, tapi dibiarkan berjual-beli, akad nikah, dan lainnya, maka ini aneh!

Dan tidak sekedar pernah periksa atau dirawat di RSJ lalu otomatis gila. Dan juga tidak sekedar orang-orang mengatakan “si Fulan gila” lalu dia otomatis gila dalam pandangan syariat. Namun, perlu melihat batasan-batasan syariat dalam hal ini.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/69431-definisi-orang-gila-yang-tidak-terkena-beban-syariat.html

Tata Cara Mengqadha Shalat yang Terlewat

Shalat lima waktu adalah kewajiban setiap Muslim, bahkan merupakan rukun Islam. Oleh karena itu tidak boleh seorang Muslim yang mukallaf (sudah terkena beban syariat) meninggalkan shalat lima waktu dan tidak boleh melalaikan shalat hingga keluar dari waktunya. Namun apa yang dilakukan seorang Muslim jika ia meninggalkan shalat hingga keluar dari waktunya? Adakah qadha shalat? Kita simak pembahasan ringan berikut ini.

Hukum mengqadha shalat yang terlewat

Mengqadha shalat artinya mengerjakan shalat di luar waktu sebenarnya untuk menggantikan shalat yang terlewat. Apakah wajib mengqadha shalat? Para ulama merinci menjadi dua keadaan:

1. Tidak sengaja meninggalkan shalat

Dalam keadaan tidak sengaja meninggalkan shalat, seperti karena ketiduran, lupa, pingsan, dan lainnya, maka para ulama bersepakat bahwa wajib hukumnya mengqadha shalat yang terlewat. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

من نام عن صلاة أو نسيها؛ فليصلها إذا ذكرها

barangsiapa yang terlewat shalat karena tidur atau karena lupa, maka ia wajib shalat ketika ingat” HR. Al Bazzar 13/21, shahih).

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjelaskan: “orang yang hilang akalnya karena tidur, atau pingsan atau semisalnya, ia wajib mengqadha shalatnya ketika sadar” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/95, Asy Syamilah).

Dan tidak ada dosa baginya jika hal tersebut bukan karena lalai, karena shalat yang dilakukan dalam rangka qadha tersebut merupakan kafarah dari perbuatan meninggalkan shalat tersebut. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

barangsiapa yang lupa shalat, atau terlewat karena tertidur, maka kafarahnya adalah ia kerjakan ketika ia ingat” (HR. Muslim no. 684).

Dari sini juga kita ketahui tidak benar anggapan sebagian masyarakat awam, bahwa jika bangun kesiangan di pagi hari maka tidak perlu shalat shubuh karena sudah lewat waktunya. Ini adalah sebuah kekeliruan!

2. Sengaja meninggalkan shalat

Para ulama berselisih panjang mengenai orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja apakah keluar dari Islam ataukah tidak? Silakan simak artikel “Meninggalkan Shalat Bisa Membuat Kafir” untuk memperluas hal ini.

Dan para ulama juga berselisih pendapat apakah shalatnya wajib diqadha ataukah tidak. Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan shalatnya tidak wajib di-qadha. Imam Ibnu Hazm Al Andalusi mengatakan:

وَأَمَّا مَنْ تَعَمَّدَ تَرْكَ الصَّلَاةِ حَتَّى خَرَجَ وَقْتُهَا فَهَذَا لَا يَقْدِرُ عَلَى قَضَائِهَا أَبَدًا، فَلْيُكْثِرْ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرِ وَصَلَاةِ التَّطَوُّعِ؛ لِيُثْقِلَ مِيزَانَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؛ وَلْيَتُبْ وَلْيَسْتَغْفِرْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ

“adapun orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, maka ia tidak akan bisa mengqadhanya sama sekali. Maka yang ia lakukan adalah memperbanyak perbuatan amalan kebaikan dan shalat sunnah. Untuk meringankan timbangannya di hari kiamat. Dan hendaknya ia bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah Azza wa Jalla” (Al Muhalla, 2/10, Asy Syamilah).

Beliau juga mengatakan:

بُرْهَانُ صِحَّةِ قَوْلِنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ} [الماعون: 4] {الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ} [الماعون: 5] وقَوْله تَعَالَى: {فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا} [مريم: 59] فَلَوْ كَانَ الْعَامِدُ لِتَرْكِ الصَّلَاةِ مُدْرِكًا لَهَا بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِهَا لَمَا كَانَ لَهُ الْوَيْلُ، وَلَا لَقِيَ الْغَيَّ؛ كَمَا لَا وَيْلَ، وَلَا غَيَّ؛ لِمَنْ أَخَّرَهَا إلَى آخَرِ وَقْتِهَا الَّذِي يَكُونُ مُدْرِكًا لَهَا. وَأَيْضًا فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ لِكُلِّ صَلَاةِ فَرْضٍ وَقْتًا مَحْدُودَ الطَّرَفَيْنِ، يَدْخُلُ فِي حِينٍ مَحْدُودٍ؛ وَيَبْطُلُ فِي وَقْتٍ مَحْدُودٍ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ مَنْ صَلَّاهَا قَبْلَ وَقْتِهَا وَبَيْنَ مَنْ صَلَّاهَا بَعْدَ وَقْتِهَا؛ لِأَنَّ كِلَيْهِمَا صَلَّى فِي غَيْرِ الْوَقْتِ؛ وَلَيْسَ هَذَا قِيَاسًا لِأَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ، بَلْ هُمَا سَوَاءٌ فِي تَعَدِّي حُدُودِ اللَّهِ تَعَالَى، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ} [الطلاق: 1] . وَأَيْضًا فَإِنَّ الْقَضَاءَ إيجَابُ شَرْعٍ، وَالشَّرْعُ لَا يَجُوزُ لِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ

“bukti benarnya pendapat kami adalah firman Allah Ta’ala: ‘celakalah orang yang shalat. Yaitu orang yang lalai dalam shalatnya‘ (QS. Al Maun: 4-5). Dan juga firman Allah Ta’ala: ‘dan kemudian datanglah setelah mereka orang-orang yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti syahwat dan mereka akan menemui kesesatan‘ (QS. Maryam: 59). Andaikan orang yang sengaja melalaikan shalat hingga keluar dari waktunya bisa mengqadha shalatnya, maka ia tidak akan mendapatkan kecelakaan dan kesesatan. Sebagaimana orang yang melalaikan shalat namun tidak keluar dari waktunya tidak mendapatkan kecelakaan dan kesesatan.

Selain itu, Allah Ta’ala telah menjadikan batas awal dan akhir waktu bagi setiap shalat. Yang menjadikannya sah pada batas waktu tertentu dan tidak sah pada batas waktu tertentu. Maka tidak ada bedanya antara shalat sebelum waktunya dengan shalat sesudah habis waktunya. Karena keduanya sama-sama shalat di luar waktunya. Dan ini bukanlah mengqiyaskan satu sama lain, melainkan merupakan hal yang sama, yaitu sama-sama melewati batas yang ditentukan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: ‘barangsiapa yang melewati batasan Allah sungguh ia telah menzalimi dirinya sendiri‘ (QS. Ath Thalaq: 1).

Selain itu juga, qadha shalat adalah pewajiban dalam syariat. Dan setiap yang diwajibkan dalam syariat tidak boleh disandarkan kepada selain Allah melalui perantara lisan Rasulnya” (Al Muhalla, 2/10, Asy Syamilah).

Cara mengqadha shalat

Dari sisi waktu, mengqadha shalat harus dilakukan segera ketika teringat dari lupa atau tersadar dari hilang akalnya. Tidak boleh ditunda-tunda, harus segera dikerjakan sesegera mungkin. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من نامَ عن صلاةٍ فليصلِّها إذا ذَكرَها

barangsiapa yang terlewat shalat karena tidur atau karena lupa, maka ia wajib shalat ketika ingat” (HR. Al Bazzar 13/21, shahih).

Bagaimana jika shalat yang terlewat lebih dari satu? Apakah diqadha sekaligus atau setiap shalat di qadha pada waktunya, semisal shalat zhuhur diqadha pada waktu zhuhur, shalat ashar pada waktu ashar, dst.? Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjawab pertanyaan ini:

يصليها جميعا لان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لما فاتته صلاة العصر في غزوة خندق قضىها قبل المغرب وهكذا يجب على كل انسان فاتته الصلوات ان يصليها جميعا و لا يأخرها

“dikerjakan semuanya sekaligus. karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika terlewat beberapa shalat pada saat perang Khandaq beliau mengerjakan semuanya sebelum Maghrib. Dan demikianlah yang semestinya dilakukan setiap orang yang terlewat shalatnya, yaitu mengerjakan semuanya sekaligus tanpa menundanya” (Sumber: klik disini).

Dalam hadits di atas juga Nabi mengatakan فليصلها  dhamir ها mengacu pada kata صلاة sebelumnya. Ini menunjukkan shalat yang dikerjakan dalam rangka qadha sama persis seperti shalat yang ditinggalkan dalam hal sifat dan tata caranya. Misalnya, jika seseorang terluput shalat shubuh karena tertidur, maka ia wajib mengqadha dengan mengerjakan shalat yang sama dengan shalat shubuh.

Dan tidak ada lafal niat khusus yang perlu diucapkan dalam mengqadha shalat. Niat adalah perbuatan hati, tidak perlu dilafalkan. Andaikan niat mengqadha shalat perlu dilafalkan, maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah mengajarkannya kepada kita. Lebih luas mengenai pelafalan niat, silakan simak artikel “Polemik Pelafalan Niat Dalam Ibadah”.

Dengan demikian, ketika seseorang baru teringat bahwa ia telah melewatkan shalat, atau baru terbangun dari tidur sedangkan waktu shalat sudah terlewat, yang ia lakukan adalah segera berwudhu, lalu mencari tempat shalat yang bersih dan suci, menghadap kiblat kemudian mengerjakan shalat dengan tata cara dan sifat yang persis sebagaimana shalat yang ia tinggalkan. Jika shalat yang ditinggalkan lebih dari satu, maka setelah salam, ia kembali berdiri untuk meng-qadha shalat selanjutnya.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat, wabillahi at taufiq was sadaad.

Anda tidak pernah shalat? Baca artikel berikut ini.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/25855-qadha-shalat.html

Alasan kenapa Ibadah Haji Disyariatkan bagi yang Istithaah

Allah sudah menegaskan bahwa melaksanakan perjalanan ke Baitullah untuk Ibadah haji hanya bagi yang mampu. Penegasan ini Allah SWT abadikan dalam surah Ali Imran ayat 97 yang artinya:

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”

 H Fakhrizal Idris, Lc dalam bukunya Haji dan Ibadah menyampaikan, Nabi SAW ketika menyebutkan rukun Islam yang lima bersabda, “Dan melaksanakan haji ke Baitullah bagi yang mampu mengadakan perjalanan tersebut.” (HR. Muslim).

Apa yang dimaksud dengan Istitha’ah (kemampuan) dan sabil, dalam ayat dan hadits di atas? Katanya, ulama kita menjelaskan bahwamampu artinya memiliki kekuatan fisik, yaitu badan yang sehat dan memiliki harta.

Kemampuan harta di sini adalah ketika seseorang memiliki sarana untuk melakukan perjalanan ke tanah suci dan bekal untuk dirinya selama proses ibadah haji, serta bekal untuk keluarga yang ditinggalkan. Harta yang ditinggalkan itu ketika sudah memiliki keluarga yang menjadi tanggungannya yang ukuran berapa banyak harta yang ditinggalkan adalah ampai dia kembali. 

“Sarana perjalanan pada zaman sekarang dapat berupa sarana darat (bus), laut (kapal laut) atau udara (pesawat terbang), dan kesemuanya tergantung kondisi dan kebutuhan seseorang,” katanya.

Demikian pula sarana penginapan dan makanan, harus disesuai dengan kondisi dan kebutuhan seseorang. Segala puji bagi Allah yang Mahakaya lagi Mahamulia yang telah mewajibkan ibadah haji bagi hamba-ambaNya, dan ibadah ini hanya diwajibkan satu kali saja seumur hidup.

“Agar pengorbanan dalam menunaikan ibadah haji tidak sia-sia, maka harta yang dibelanjakan harus didapat dengan cara yang baik dan halal, karena Allah tidak menerima kecuali yang thayyib (baik),” katanya.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Mahabaik, dan Allah tidak menerima kecuali sesuatu yang baik.” (HR. Muslim). 

Yang dimaksud dengan harta halal di sini adalah harta yang diperoleh dengan usaha atau cara-cara yang halal, sedangkan harta yang haram adalah harta yang dihasilkan dari usaha atau cara-cara yang diharamkan dalam syariat, seperti mencuri, menipu, berdagang barang yang diharamkan syariat, transaksi berunsur riba, korupsi, dan sebagainya. 

Orang yang melaksanakan haji dengan biaya hasil mencuri atau korupsi, sama halnya dengan orang yang shalat dengan pakaian hasil curian, ia berdosa. Ia tidak mempunyai hak apa-apa atas harta hasil curiannya itu. Ia justru berkewajiban untuk bertaubat, antara lain dengan menerima hukuman Allah atas pencurian dan mengembalikan harta itu kepada pemiliknya.

Ia sama sekali tidak berhak menggunakan harta itu untuk keperluan apapun, termasuk untuk pergi beribadah haji. Adakalanya seseorang mendapat harta bukan dari hasil kerjanya secara langsung, melainkan dari hibah [pemberian] atau hadiah. 

Biaya melaksanakan haji yang didapat dari hadiah atau fasilitas, maka disyaratkan bagi pihak yang memberikan biaya itu benar-benar ikhlas dan rela, bukan karena paksaan, tekanan, manipulasi, dan sebagainya. Sehingga kemampuan [istitha’ah] yang berasal dari orang lain itu juga benar-benar halal, tidak tercampur unsur dosa dan sebagainya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan [tidak diterima pula] sedekah dari [hasil] ketidakjujuran [mengambil hasil rampasan perang sebelum dibagi oleh pemimpin].” [HR. Muslim].

Imam Bukhari berkata, ”Allah Ta’ala tidak menerima sedekah dari [hasil] kecurangan dan Allah Ta’ala tidak menerima kecuali yang thayyib (baik).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:Barang siapa bersedekah sebesar kurma dari hasil kerja yang halal, sementara Allah tidak akan menerima kecuali yang baik, maka Allahakan menerimanya dengan tangan kanan, kemudianmengembangkannya untuk pemilik sedekah itu sebagaimana salah seorang dari kalian memelihara anak kudanya, hingga sedekah itumenjadi sebesar gunung.” (HR. Bukhari).

Akan tetapi harta halal yang didapat dari usaha sendiri lebih baikdari harta pemberian atau hadiah. Sebagaimana yang dilakukan sahabat yang mulia Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau memilihberniaga di pasar daripada menerima harta hibah (pemberian) saudaranya Sa’ad bin Ar-Rabi’ radhiyallahu ‘anhu.

IHRAM

Jangan Naik Haji karena Nafsu Sosial

“Terlalu banyak jemaah haji yang berangkat karena nafsu, mulai dari nafsu ekonomi, nafsu politik dan nafsu sosial. Buktinya tidak jarang orang yang berangkat haji shalat lima waktunya belum disiplin,” kata Khoirizi, di Batusangkar, Jumat (8/10).

Ia melihat masih banyak jemaah yang bacaan Alfatihahnya belum benar tapi menggebu-gebu berangkat haji dan umrah. Menurut dia, kurang baik bila calon jamaah haji bila bacaa shalatnya belum benar. Karena selama berhaji di tanah suci, menurut dia, mayoritas kegiatan adalah shalat dan melakukan ibadah dengan melafalkan ayat-ayat Alquran.

Untuk itu lanjut Khoirizi, pembimbing haji diharapkan ikut membenarkan ibadah dan bacaan shalat jamaah. Petugas haji kata dia jangan hanya fokus kepada materi manasik dan bacaan talbiyah semata. Karena pembimbing dan pembina juga bertanggungjawab terhadap sah tidaknya ibadah jemaah haji.

“Perbaiki pola dan materi manasik haji. Kita punya KBIH yang sudah ditentukan undang-undang. Kita punya pembimbing yang bersertifikat, punya penyuluh dan ustad yang bisa kita berdayakan dalam melakukan manasik haji,” ucap Khoirizi.

IHRAM