Al Azhar Kampus Tertua

Al Azhar Kampus Yang Tertua

Universitas Al Azhar baik masjid maupun kampusnya sering dipandang sebagai bagian penting dalam sejarah Islam kontemporer. Seperti dilansir Egypt Independent pada Jumat (9/7) Lembaga ini juga dianggap sebagai acuan ideal pandangan keagamaan moderat dan konstruktif yang menolak fanatisme dan perselisihan. Al Azhar menjadi bagian dalam peradaban Islam yang agung. 

Beberapa sumber menyebutkan bahwa alasan utama dibangunnya Masjid Al-Azhar adalah karena ajakan kepada Syi’ah.  Namun dalam waktu singkat karena berbagai peristiwa sejarah dan perubahan politik di Mesir, ia telah menjadi pilar Sunni. Namun pendidikan di universitasnya tidak hanya mencakup doktrin ini tetapi juga mencakup aliran pemikiran Islam lain yang berbeda.

Universitas Al Azhar menyatu dengan Masjid Al Azhar yang dibangun pada zaman Fatimiyah. Itu adalah lembaga agama dan ilmiah Islam terbesar. Masjid Al Azhar dikhususkan sebagai masjid resmi negara yang telah disetujui negara sebagai mimbar untuk panggilan agama dan simbol supremasi spiritualnya.

Universitas Al Azhar adalah salah satu yang tertua di dunia, selain universitas Az Zaitoniah dan Al-Qarawieen. Sampai hari kampus ini tetap menjadi tujuan para pembelajar yang peduli dengan agama dan ilmu-ilmu umum. Hal ini dibedakan oleh fleksibilitas, keterbukaan dan inklusivitas, hal-hal yang tidak ditemukan dalam hukum, lembaga pendidikan lainnya.

Keterbukaan ini menghidupkan kembali harapan bahwa lembaga umat Islam mampu menjangkau umat dengan kecenderungan yang berbeda, memotivasi persaudaraan di antara kelompok dan doktrin Islam yang berbeda, dan menghormati privasi masing-masing.

KHAZANAH REPUBLIKA

Akhir Hidup Westergaard, Pembuat Kartun Nabi Muhammad

Karikatur Westergaard tentang Nabi Muhammad pertama kali diterbitkan pada 2005.

Kartunis asal Denmark bernama Kurt Westergaard yang terkenal dengan ulahnya menggambar kartun Nabi Muhammad mengenakan sorban telah meninggal pada usia 86 tahun. Karyanya memicu kemarahan banyak pihak karena telah menggambarkan sosok suci dalam ajaran Islam.

Surat kabar Denmark Berlingske seperti dilaporkan CNN, Selasa (20/7), melaporkan kematian Westergaard pada Ahad kemarin yang mengutip informasi dari keluarganya. Menurut laporan, Westergaard meninggal akibat penyakit yang sudah lama ia derita.

Karikatur Westergaard tentang Nabi Muhammad pertama kali diterbitkan oleh surat kabar Denmark Morgenavisen Jyllands-Posten pada September tahun 2005. Beberapa surat kabar mencetak ulang gambar tersebut pada awal 2006 sebagai bagian dari perdebatan tentang kebebasan berbicara yang memicu kemarahan di kalangan Muslim.

Sempat terjadi pemboikotan barang Denmark dan penutupan beberapa kedutaan Denmark di negara-negara mayoritas Muslim. Pada saat itu, Westergaard ingin berbicara soal kebebasan berekspresi. Namun, banyak yang menafsirkan gambar itu sebagai penggambaran Nabi teroris.

“Saya ingin dikenang sebagai orang yang memperjuangkan kebebasan berbicara,” kata Westergaard dalam kutipan yang diterbitkan oleh Berlingske, dilansir CNN, Selasa (20/7).

“Tapi tetap saja ada seseorang yang akan mengingat saya sebagai setan yang menghina agama satu miliar orang,” tambahnya.

Westergaard hidup di bawah perlindungan polisi di tahun-tahun terakhir hidupnya. Pihak berwenang Denmark menangkap sejumlah orang yang terkait dengan dugaan pembunuhan terhadap hidupnya.

Pada Februari 2011, pengadilan Denmark menjatuhkan hukuman sembilan tahun penjara kepada seorang warga negara Somalia atas percobaan penyerangan terhadap Westergaard di rumahnya pada tahun 2010. Westergaard dan istrinya bernama Gitte memiliki lima anak, sepuluh cucu, dan satu cicit.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Mengqada Salat yang Ditinggalkan dengan Sengaja

Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus

Soal

Seorang wanita baru bertobat saat dia dewasa. Apakah dia wajib mengqada salatnya yang pernah dia tinggalkan sejak usia baligh-nya sampai saat dia tobat? Mohon jawabannya.

Jawab:

Jawaban benar dan rajih (kuat) adalah dari penjelasan para ulama, adalah bahwa orang yang meninggalkan salat secara sengaja tidak wajib mengqada salatnya. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan para ulama ahlut tahqiq selain mereka.

Sebab perintah untuk mengerjakan suatu amalan wajib di suatu waktu tertentu, maka maslahatnya tidak akan tercapai kecuali dilaksanakan pada waktu tersebut. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya salat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS. An-Nisa: 103).

Karena mengqada suatu amalan ibadah, pada prinsipnya ia bukanlah kewajiban al ada’ (kewajiban yang dilakukan sesuai waktunya). Namun qada adalah kewajiban yang baru. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama ushul fiqih. Sehingga tidak ada qada salat kecuali orang yang tertidur dan lupa. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi wasallam,

مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Barang siapa yang meninggalkan salat karena tertidur atau lupa, maka hendaknya ia melakukan salat setelah ingat” (HR. Bukhari no.596, Muslim no.684, At-Thabrani no.6129, dari hadis Anas bin Malik Radhiallahuanhu).

Andaikan tidak ada hadis ini, maka orang yang tertidur dan lupa pun tidak wajib (untuk mengqada). Adapun orang yang sengaja tidak mengerjakan salat pada waktunya sesungguhnya, ia telah lalai dan menyia-nyiakan serta meremehkan ibadah tersebut. Maka tidak ada uzur atas sikapnya itu, dan ia tidak berhak mendapatkan keringanan bagi orang yang punya uzur. Maka ia tidak bisa mengqada salatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةِ الأُخْرَى

“Tidaklah dikatakan mengakhirkan (meremehkan) salat karena ketiduran, hanya saja meremehkan (salat) itu bagi orang yang tidak menunaikan salat hingga tiba waktu salat yang lain. Oleh karena itu, siapa yang melakukan hal ini, hendaknya ia salat ketika sadar/terjaga. Dan hendaknya esok hari ia melakukan tepat pada waktunya” (HR. Muslim no.681, dari hadis Abu Qatadah Radhiallahu’anhu).

Adapun orang mewajibkan qada berdalil dengan hadis semisal ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis Ibnu Abbas Radhillahu ‘anhuma tentang haji,

فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ

“Karena sesungguhnya hutang kepada Allah Ta’ala lebih berhak untuk dipenuhi” (HR. Bukhari no.7315, dari hadis Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma).

Atau dengan hadis Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma yang menceritakan kisah ibunda seorang wanita yang memiliki nazar puasa namun dia telah meninggal dunia, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ بِالقَضَاءِ

“Utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan” (HR. Bukhari no.1953 dan  Muslim no.1148).

Maka tidaklah tepat menggunakan dalil-dalil ini diberlakukan bagi orang yang sengaja lalai. Namun hadis-hadis ini dimungkinkan untuk menjadi dalil bagi orang yang memiliki uzur. Karena nazar yang disebutkan dalam hadis sifatnya mutlak, tidak dikaitkan dengan waktu tertentu. Demikian juga ibadah haji. Berbeda dengan salat yang telah ditetapkan waktunya dan ditentukan awal serta akhirnya, sehingga salat termasuk salah satu kewajiban yang muqayyad (bukan mutlak). Sedangkan nazar adalah kewajiban yang longgar. Lebih lagi, nazar adalah kewajiban yang tertanggung seperti utang. Sehingga bisa di-qada oleh walinya sebagaimana hutang.

Ibnu Hazm Rahimahullah berkata,

وأمَّا مَنْ تَعَمَّدَ تَرْكَ الصلاةِ حتَّى خَرَجَ وقتُها فهذا لا يَقْدِرُ على قضائها أبدًا؛ فلْيُكْثِرْ مِنْ فِعْلِ الخيرِ وصلاةِ التطوُّعِ ليُثَقِّلَ مِيزانَه يومَ القيامة، ولْيَتُبْ ولْيَسْتَغْفِرِ اللهَ عزَّ وجلَّ

“Barang siapa yang meninggalkan salat dengan sengaja hingga waktunya berakhir, maka qada tidak berlaku selamanya. Hendaknya orang tersebut memperbanyak amal kebaikan dan salat sunnah untuk meringankan timbangan amalnya di hari hisab kelak dan hendaknya ia banyak bertobat dan memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla” (al-Muhalla, 235/2).

wa al-‘ilmu ‘inda al-lāh.

Akhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman.

***

Penerjemah: Fauzan Hidayat,  S.STP., MPA

Sumber: https://muslim.or.id/67506-hukum-mengqada-salat-yang-ditinggalkan-dengan-sengaja.html

Syekh Nawawi Banten dan Beberapa Pemikiran Pentingnya

Biografi Singkat

Tokoh ini lebih dikenal dengan sebutan Syekh Nawawi Banten. Nama lengkapnya adalah Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi bin Ali bin Jamad bin Janta bin Masbuqil al-Jawwi al-Bantani. Lahir di Tanara Tirtayasa Serang Banten pada tahun 1230 H/1813 M dan wafat di Mekkah pada 1314 H/1897 M. Nama al-Bantani digunakan sebagai nisbat untuk membedakan dengan sebutan Imam Nawawi, seorang ulama besar dan produktif dari Nawa Damaskus, yang hidup sekitar abad XIII Masehi.

Ayah Syekh Nawawi adalah seorang penghulu di Tanara, setelah diangkat oleh pemerintah Belanda. Ibunya bernama Zubaidah, penduduk asli Tanara. Di masa kecil, Syekh Nawawi dikenal dengan Abu Abdul Muthi. Dia adalah sulung dari tujuh bersaudara, yaitu Ahmad Syihabudin, Tamim, Said, Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah. Syekh Nawawi merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati Cirebon. Dari garis keturunan ayah, berujung kepada Nabi Muhammad Saw melalui jalur Sultan Hasanudin bin Sunan Gunung Jati, sedangkan dari garis ibu sampai kepada Muhammad Singaraja.

Saat Syekh Nawawi lahir, kesultanan Cirebon yang didirikan Sunan Gunung Jati pada tahun 1527 M sedang berada dalam periode terakhir, di ambang keruntuhan. Raja saat itu, Sultan Rafiudin, dipaksa oleh Gubernur Raffles untuk menyerahkan tahta kekuasaan kepada Sultan Mahmud Syafiudin, dengan alasan tidak dapat mengamankan negara.

Syekh Nawawi mulai belajar ilmu agama Islam sejak berusia lima tahun, langsung dari ayahnya. Bersama-sama saudara kandungnya, Syekh Nawawi mempelajari tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, fiqih, tauhid, al-Quran dan tafsir. Pada usia delapan tahun, bersama adiknya bernama Tamim dan Ahmad, Syekh Nawawi berguru kepada KH. Sahal, salah satu ulama terkenal di Banten saat itu. Kemudian melanjutkan kegiatan menimba ilmu ke Raden H. Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi berangkat pergi ke Arab Saudi. Di samping untuk melaksanakan ibadah haji, keberangkatan itu penting bagi Syekh Nawawi untuk menimba ilmu. Seperti ulama Al-Jawwi pada umumnya, pada masa-masa awal di Arab Saudi, dia belajar kepada ulama Al-Jawwi lainnya.

Puncak hubungan Indonesia (orang-orang Melayu) dengan Mekkah terjadi pada abad 19 M. Karena, pada saat itu banyak sekali orang Indonesia yang belajar di Mekkah. Bahkan, tidak sedikit diantara mereka diberi kesempatan mengajar di Masjidil Haram, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfuzh Al-Turmusi asal Tremas Pacitan, Syekh Ahmad Khatib Al-Minankabawi asal Minangkabau, Syekh Muhtaram asal Banyumas, Syekh Bakir asal Banyumas, Syekh Asyari asal Bawean, dan Syekh Abdul Hamid asal Kudus.

Ada sekitar 200 orang yang hadir setiap kali Syekh Nawawi Al-Bantani mengajar di Masjidil Haram. Ketika itu Masjidil Haram menjadi satu-satunya tempat favorit, semacam kampus favorit dalam istilah sekarang, di Tanah Suci. Yang menjadi murid Syekh Nawawi tidak hanya orang Indonesia, namun para pelajar dari berbagai negara. Selama mengajar, Syekh Nawawi dikenal sebagai seorang guru yang komunikatif, simpatik, mudah dipahami penjelasannya dan sangat mendalam keilmuan yang dimiliki. Dia mengajar ilmu fiqih, ilmu kalam, tashawuf, tafsir, hadits dan bahasa Arab.

Di antara muridnya di Arab Saudi yang kemudian menjadi tokoh pergerakan setelah kembali ke tanah air adalah KH. Hasyim Asyari (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Thahir Jamalauddin (Singapura), Abdulkarim Amrullah (Sumatera Barat), Syekhana Chalil (Bangkalan), KH. Asyari (Bawean), KH. Tb. Asnawi (Caringin Banten), KH. Ilyas (Kragilan Banten), KH. Saleh Darat (Semarang), KH. Najihun (Tangerang), KH. Abdul Ghaffar (Tirtayasa Serang), KH. Tb. Bakri (Sempur Purwakarta), KH. Dawud (Perak Malaysia) dan sebagainya.

Di samping itu, Syekh Nawawi juga banyak melahirkan murid yang kemudian menjadi pengajar di Masjidil Haram. Di antaranya adalah Sayyid Ali bin Ali al-Habsy, Syekh Abdul Syatar al-Dahlawi, Syekh Abdul Syatar bin Abdul Wahab al-Makki dan sebagainya.

Syekh Nawawi lebih banyak dijuluki sebagai Sayyid Ulama al-Hijaz, karena telah mencapai posisi intelektual terkemuka di Timur Tengah, juga menjadi salah satu ulama paling penting yang berperan dalam proses transmisi Islam ke Nusantara. Pengalaman belajar yang dimiliki cukup untuk menggambarkan bentuk pembelajaran Islam yang telah mapan dalam Al-Jawwi di Mekkah. Dalam konteks keberadaan pesantren di Indonesia, Syekh Nawawi diakui sebagai salah satu arsitek pesantren, sekaligus namanya tercatat dalam genealogi intelektual tradisi pesantren.

Nama Syekh Nawawi tidak hanya terkenal di daerah Arab Saudi, tetapi juga di Syiria, Mesir, Turki dan Hindustan. Penguasaan yang mendalam terhadap ilmu agama dan banyaknya kitab karyanya yang sampai sekarang masih menjadi rujukan di mayoritas pesantren di Indonesia, menjadikan nama Syekh Nawawi dijuluki sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.

Syekh Nawawi adalah ulama Indonesia paling produktif yang bermukim di Haramain. Selama hidup, karya Syekh Nawawi tidak kurang dari 99 buku maupun risalah. Bahkan ada yang mengatakan lebih dari 115 buah. Semua tulisan itu membahas berbagai disiplin kajian Islam.

Beberapa karyanya yang masih terkenal sampai sekarang adalah Tafsir al- Munir, Nashaihul Ibad, Fathul Shamad al-Alim, al-Tausyikh, Kasyifatus Saja, al- Futuhat al-Madaniyyah, Tanqihul Qawl, Nihayatul Zayn, Targhibul Mustaqin, Hidayatul Azkiya, Madarijul Saud, Bughyatul Awam, Fathul Majid dan sebagainya.

Pemikiran Penting

Syekh Nawawi memegang peran sentral di tengah ulama Al-Jawwi. Dia menginspirasi komunitas Al-Jawwi untuk lebih terlibat dalam studi Islam secara serius, tetapi juga berperan dalam mendidik sejumlah ulama pesantren terkemuka.

Bagi Syekh Nawawi, masyarakat Islam di Indonesia harus dibebaskan dari belenggu kolonialisme. Dengan mencapai kemerdekaan, ajaran-ajaran Islam akan dengan mudah dilaksanakan di Nusantara. Pemikiran ini mendorong Syekh Nawawi untuk selalu mengikuti perkembangan dan perjuangan di tanah air dari para murid yang berasal dari Indonesia serta menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan masyarakat Indonesia. Selain pelajaran agama, Syekh Nawawi juga mengajarkan makna kemerdekaan, anti kolonialisme dan imperialism dengan cara yang halus. Mencetak kader patriotik yang di kemudian hari mampu menegakkan kebenaran, bagi Syekh Nawawi, harus diwujudkan untuk menumpas kebatilan dan menghancurkan berbagai kedzaliman dari bangsa kolonialisme. Perjuangan yang dilakukan Syekh Nawawi memang tidak dalam bentuk revolusi fisik, namun lewat pendidikan dalam menumbuhkan semangat kebangkitan dan jiwa nasionalisme, kiranya juga patut disejajarkan dengan jasa para pejuang kemerdekaan.

Di samping itu, upaya pembinaan yang dilakukan Syekh Nawawi terhadap komunitas Al-Jawwi di Mekkah juga menjadi perhatian serius dari pemerintahan Belanda di Indonesia. Produktivitas komunitas Al-Jawwi untuk menghasilkan alumni-alumni yang memiliki integritas keilmuan agama dan jiwa nasionalisme, menjadi kekhawatiran tersendiri lagi Belanda. Untuk mengantisipasi ruang gerak komunitas Al-Jawwi ini, maka Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah Belanda saat itu, berkunjung ke Mekkah pada tahun 1884-1885. Kedatangan Snouck ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut dan melihat secara langsung berbagai hal yang telah dilakukan oleh ulama Indonesia yang tergabung dalam komunitas Al-Jawwi.

Berbagai pemikiran Syekh Nawawi dalam Tafsir Al-Munir sebenarnya menunjukkan gerakan pembebasan. Namun karena bangsa kolonial tidak menginginkan ideologi yang membahayakan eksistensinya di Indonesia, Syekh Nawawi kemudian dituduh sebagai pengikut aliran Asyariyah yang lebih condong ke Jabariyah. Padahal penafsiran yang diperkenalkan Syekh Nawawi bercorak a new classical. Penafsiran model ini tetap mempertimbangkan karya-karya ulama abad pertengahan, namun pada saat yang sama menunjukkan kondisi-kondisi kekinian. Kondisi ini bertolak belakang dengan penafsiran Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar yang lebih dipengaruhi pemikiran ideology Mutazilah.

Bidang tasawuf, Syekh Nawawi memang tidak mengajarkan dan tidak melarang praktik-praktik tasawuf yang dilakukan para muridnya. Meskipun demikian, Syekh Nawawi menyarankan kepada masyarakat untuk mengikuti salah satu imam tasawuf. Bahkan, dalam berbagai karya, Syekh Nawawi mengklaim sebagai pengikut Syekh Ahmad Khatib al- Sambasi, sosok ulama yang berhasil mendirikan tarikat Qadariyah Naqshabandiyah. Sebagaimana gurunya itu, Syekh Nawawi adalah penganut Sufisme yang digagas Imam Ghazali.

Pemikiran fiqih Syekh Nawawi lebih dipengaruhi oleh Imam Syafii. Sumber hukum Islam, menurut Syekh Nawawi, mencakup empat hal, yaitu al-Quran, hadits, ijma dan qiyas. Tidak mengherankan jika kemudian Syekh Nawawi mengharamkan taqlid bagi imam madzhab yang empat. Namun bagi para mujtahid fil madzhab, mujtahid mufti dan masyarakat umum, Syekh Nawawi mengharamkan bagi tiga golongan ini untuk berijtihad, tetapi mewajibkan untuk taqlid.

Meskipun saat itu Arab Saudi dikuasai oleh pemerintahan yang beraliran Wahabi, namun Syekh Nawawi berani berbeda pendapat dalam hal ziarah kubur. Kerajaan Arab Saudi melarang ziarah kubur, dengan alasan bidah, namun Syekh Nawawi tidak menentang praktik ini. Pendapat ini dilandasi temuan Syekh Nawawi tentang ketentuan hukumnya dalam ajaran Islam. Syekh Nawawi bahkan menganjurkan umat Islam untuk menghormati makam-makam orang yang berjasa dalam sejarah Islam, termasuk makam Nabi Saw dan para sahabat. Mengunjungi makam Nabi Saw, menurut Syekh Nawawi, adalah praktik ibadah yang identik dengan bertemu muka (tawajjuh) dengan Nabi Saw dan mengingatkan kebesaran perjuangan dan prestasi yang patut untuk diteladani.

Rifatuz Zuhro, aktivis Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jombang masa khidmah 2016-2017

Sumber buku:

Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara Amirul Ulum, Ulama-Ulama Aswaja, (Yogyakarta: Pustaka Musi, 2015) M. Solahudin, 5 Ulama Internasional dari Pesantren, (Kediri: Nous Pustaka Utama) Mukani, Ulama Al-Jawwi di Arab Saudi dan Kebangkitan Ulama di Indonesia, Jurnal Al Murabbi (online), Jilid 2, No. 2, 2016, (http://webcache.googleusercontent.com/ search?q=cache: B6shXv SENHQJ: ejournal.kopertais4.or.id/index.php /murabbi/article/view)

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/75140/syekh-nawawi-banten-dan-beberapa-pemikiran-pentingnya

Nasihat Sabar Syekh Nawawi Al Bantani untuk Hadapi Corona

Syekh Nawawi menegaskan pentingnya bersabar hadapi musibah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang kini terjangkit virus Corona arau Covid-19.  

Tentu sangat berat bagi orang yang terjangkit virus membahayakan ini. Namun, mereka hendaknya tetap sabar dalam menghadapi musibah tersebut, karena sabar memiliki banyak keutamaan. 

Dalam kitab Tanqih Al-Qaul, Syekh Nawawi Al Bantani telah menjelaskan hadits-hadits Nabi tentang keutamaan sabar ketika mengalami musibah.   

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Bila Allah SWT mencintai seorang hamba, maka Dia mengujinya dengan musibah yang tidak ada obatnya. Bila dia sabar, Allah SWT memilihnya. Dan bila dia rela, Allah SWT menjadikannya sebagai pilihan.”  

Menurut Syekh Nawawi, maksud dari kalimat “Menjadikannya sebagai pilihan” adalah memilih dan mencintainya dengan sepenuh hati. Sedangkan maksud  dari kalimat “Allah SWT mencintai seorang hamba” adalah Allah menghendaki kebaikan kepadanya. 

Sementara, maksud “Musibah yang yang tidak ada obatnya”, yaitu sakit, sedih, atau dalam kesulitan, agar menjadi pembersih dosa.  

Dalam hadits lainnya, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sabar merupakan salah satu wasiat Allah SWT di bumi. Siapa saja yang menjaganya, maka dia selamat. Siapa saja yang menyia-nyiakannya, maka dia binasa.” 

Selain itu, Syekh Nawawi juga mengutip hadits Nabi yang diriwayatkan Baihaqi dari Anas RA. “Allah SWT berfirman, “Siapa saja yang tidak sabar terhadap keputusan dan takdir-Ku, maka hendaklah mencari tuhan selain Aku.” 

Nabi Muhammad SAW juga bersabda, “Sabar ketika tertimpa musibah dapat memperoleh tujuh ratus derajat.” Sedangkan Ibnu Abbas berkata, “Masa menunggu paling utama adalah sabar ketika tertimpa kesusahan.”

Sementara, dalam hadits yang diriwayatkan Baihaqi dan Qudhai dari Anas disebutkan, “Ibadah paling utama adalah menanti kelapangan dari Allah SWT.”  

Syekh Nawawi menjelaskan, maksud dari hadits tersebut adalah jika seseorang tertimpa musibah, lalu tidak mengeluh dan sabar serta menanti kelapangan, maka itu termasuk ibadah paling utama. Sebab, sabar ketika musibah berarti tunduk terhadap keputusan Allah SWT. 

Syekh Nawawi kemudian mengutip syair dari seorang pujangga:

Bila semua jalan telah buntu 

Maka sabar merupakan jalan penentu

Seberat apapun, jangan putus asa

Dengan sabar, berarti kau menanti jalan keluarnya

Orang sabar meraih kemenangan, itu sangat patut

Orang yang selalu mengetuk, pasti akan masuk

KHAZANAH REPUBLIKA

Berlindung dari Jiwa yang Tidak Kenyang

DARI Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لا تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لا يُسْتَجَابُ لَهَا

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak merasa kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim)

Di dalam riwayat lain disebutkan,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ، ومِنْ دُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ، وَمِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَؤُلاَءِ الأَرْبَعِ

(HR. at-Tirmidzi, 3482, Abu Daud, 1549, an-Nasai, 5470)

نَفْسٍ لا تَشْبَعُ  artinya “Jiwa yang tidak merasa kenyang”. Jiwa manusia pada dasarnya tidak pernah kenyang dengan kesenangan dunia, kecuali mereka yang diberikan taufik dan hidayah dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Ini sesuai dengan hadits Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ مِثْلَ وَادٍ مَالاً لأَحَبَّ أَنَّ لَهُ إِلَيْهِ مِثْلَهُ ، وَلاَ يَمْلأُ عَيْنَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

“Seandainya manusia memiliki lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan harta yang banyak semisal itu pula. Mata manusia barulah penuh jika diisi dengan tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. al-Bukhari)

Agar jiwa ini terhindar dari sifat tidak pernah kenyang, hendaknya setiap Muslim melakukan hal-hal di bawah ini:

(1) Merenungi hakikat dunia yang fana dan sebentar. Ini disebutkan di dalam hadits Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اَللَّهُ, وَأَحَبَّنِي اَلنَّاسُ. قَالَ: اِزْهَدْ فِي اَلدُّنْيَا يُحِبُّكَ اَللَّهُ, وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ اَلنَّاسِ يُحِبُّكَ اَلنَّاسُ

“Seseorang mendatangi Rasulullah ﷺ, maka beliau berkata: ‘Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku sebuah amalan yang jika aku kerjakan, Allah dan manusia akan mencintaiku’, maka Beliau bersabda: ‘Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia, maka engkau akan dicintai manusia’.” (HR: Ibnu Majah).

(2). Memahami bahwa isi dunia ini hanya tiga hal:

(a) aman di rumahnya

(b) sehat badannya

(c) bisa makan pada harinya.

Ini sebagaimana di dalam hadits ’Ubaidillah bin  Mihshan  al-Anshari radhiyallahu ‘anhu  dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah) .

(3). Qana’ah (merasa cukup) dengan yang Allah berikan kepadanya. Ini sesuai dengan hadits Abdullah bin ‘Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافاً، وَقَنَّعَهُ اللّهُ بِمَا آتَاهُ

“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang mencukupinya dan Allah memberikan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup) dengan rezeki yang Allah berikan kepadanya.” (HR. Muslim). Wallahu A’lam.*/ Ahmad Zain an-Najah, PUSKAFI (Pusat Kajian Fiqih Indonesia)

HIDAYATULLAH

Otoritas Saudi Tingkatkan Pemeriksaan Tenda Jamaah Haji

Pejabat Kementerian Haji dan Umrah melakukan pemeriksaan terhadap tenda-tenda yang disediakan untuk jamaah haji, Senin (19/7).

Hal ini merupakan bagian dari inspeksi harian yang dilakukan untuk meninjau penyediaan layanan, mendapatkan umpan balik dari jamaah, serta mengatasi masalah apa pun yang disampaikan. 

Dilansir di Arab News, Selasa (20/7), pemeriksaan ini dipimpin oleh Penjabat Menteri Haji dan Umrah, Issam bin Saad bin Saeed. Hadir pula CEO Komisi Kerajaan untuk Kota Makkah dan Situs Suci, Abdulrahman Addas, serta perwakilan komisi dan organisasi terkait lainnya. 

“Tur inspeksi ini dimulai dari kedatangan jamaah haji pertama ke Mina dan akan dilakukan sampai akhir perjalanan haji,” kata kementerian. 

Mereka menyebut inspeksi ini telah membantu memberikan jalan keluar atas beberapa masalah atau komentar yang ada. Mereka juga berupaya mengidentifikasi entitas yang bertanggung jawab atas masalah yang diangkat, serta mempercayakan badan yang kompeten untuk segera mengatasinya. 

Prosedur ini disebut dilakukan untuk memastikan keamanan dan kenyamanan peziarah, sekaligus mencatat tingkat kepuasan tertinggi di antara mereka. 

“Upaya ini termasuk dalam lingkup usaha yang dilakukan oleh kementerian dan pejabat komisi guna menindaklanjuti sistem penyedia layanan dan kesiapan tempat-tempat suci dan infrastrukturnya,” lanjutnya. 

Inspeksi yang ada disebut membantu menjamin implementasi yang tepat dari tindakan pencegahan, serta menjaga standar penyediaan layanan di seluruh tahapan perjalanan haji.    

https://www.arabnews.com/node/1897076/saudi-arabia

IHRAM

Kurban Berbagi Kebahagiaan

Pekurban telah memberikan kebahagiaan dan kegembiraan kepada orang lain melalui daging kurban yang diberikan.

Wabah Covid-19 telah memukul sisi-sisi kehidupan kita. Banyak usaha gulung tikar, para pekerja dirumahkan, dan sulit sekali mencari lapangan pekerjaan dalam situasi seperti saat ini.

Banyak orang yang bersedih, merana, dan kehidupan ekonomi keluarga begitu berat. Dalam situasi ini, kita kembali kedatangan hari raya Idul Adha atau Idul Qurban. Hari orang beriman dianjurkan untuk berkurban, menyembelih sapi, kambing, atau domba, kemudian dibagi-bagikan ke lingkungan sekitar.

Di antara hikmah penting Idul Adha adalah memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Idul Adha tidak sekadar upaya pendekatan diri kepada Allah atau meneladan sunah Nabi Ibrahim terhadap putranya, Nabi Ismail, yang kemudian dikukuhkan menjadi syariat Islam oleh Rasulullah.

Jadi, pahala orang yang berkurban bukan karena semata-mata mengikuti perintah Allah, tapi juga karena pelakunya telah memberikan kebahagiaan dan kegembiraan kepada orang lain melalui daging kurban yang diberikan.

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah setelah amal wajib adalah memberikan kebahagiaan kepada sesama Muslim.” (HR ath-Thabrani). Beliau menegaskan bahwa memberikan kebahagiaan kepada orang lain, apalagi orang itu adalah saudaranya sesama Muslim, termasuk amal yang paling Allah cintai.

Pertama, hal tersebut merupakan perwujudan rasa cinta kepada saudaranya sesama Muslim. Kecintaan inilah yang oleh Rasulullah sebut sebagai salah satu sarana untuk mendapatkan lezatnya iman.

“Tiga hal yang jika dilakukan oleh seseorang, niscaya ia akan mendapatkan lezatnya iman; pertama, mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari cintanya kepada selain keduanya. Kedua, mencintai saudaranya karena Allah. Ketiga, benci kembali kepada kekufuran setelah Allah mengentaskannya dari sana sebagaimana ia benci dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR al-Bukhari).

Kedua, bentuk kepedulian dan empati sosial. Kepedulian inilah yang oleh Allah sebut sebagai sikap saling menolong di antara sesama dalam hal kebaikan. Allah berfirman, “Dan, tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan; jangan kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS al-Ma’idah [5]: 2).

Idul Adha dengan demikian mencakup dua ibadah sekaligus: ibadah mahdhah, pengabdian dan pendekatan diri kepada Allah, dan ibadah sosial atau ghair mahdhah, yaitu kepedulian sosial. Peduli kepada sesama manusia dan peduli kepada sesama saudara Muslim.

Kepedulian yang membangkitkan kesadaran untuk mencintai sesama dan memberikan kebahagiaan. Melalui pemberian daging kurban, di situ ada momen kebersamaan dan persaudaraan yang dijalin dan tak putus, meski jarak sosial pada masa pandemi ini agak direnggangkan.

Jarak sosial memang harus direnggangkan di situasi wabah saat ini. Namun, ikatan sosial dan persaudaraan di antara sesama tidak boleh terputus. Dengan protokol kesehatan, kita bisa menjalani Idul Adha dengan gembira, berbagi kebahagiaan dengan sesama. Kita berdoa kepada Allah, semoga pada Idul Adha berikutnya, situasi kembali normal dan wabah berakhir.

Wallahu a’lam.

OLEH NUR FARIDAH 

REPUBLIKA ID

Mengobati Kegalauan (Bag. 3)

Mengingat Kematian

Setiap manusia akan mati. Seluruh hiruk pikuk kehidupan dunianya akan berujung. Segala kesenangan yang mengisi hari-harinya. Canda bersama keluarga, dekapan hangat sang Bunda, pasangan yang sangat dicinta, buah hati yang manis tertawa, melimpahnya harta, dan keseganan orang lain karena jabatannya.

Begitu pula dengan berbagai kepiluan yang menghiasi hari-hari semasa di dunia. Ujian berupa sempitnya harta,  kerja keras membanting tulang menguras tenaga, getirnya tuduhan orang atasnya, caci makian  manusia, iri dengki rasa tak suka, dan berbagai kesedihan yang melanda. Seluruh kesedihan, kecemasan, dan kegalauan dunia itu akan fana, terhenti dengan kematian yang akan bersambung dengan kehidupan di fase selanjutnya. Bisa dia menjadi orang yang bahagia, namun bisa juga lebih menderita dari kehidupan di dunianya.

أكثروا ذكرَ هاذمِ اللَّذاتِ : الموتِ ؛ فإنَّه لَم يذْكُرْه أحدٌ في ضيقٍ مِن العَيشِ إلَّا وسَّعَه علَيهِ ، و لا ذَكرَه في سَعةٍ إلَّا ضيَّقَها عليهِ

“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. Karena kematian itu, jika diingat oleh orang yang sedang dalam kesusahan hidup, maka akan bisa melapangkannya. Dan jika diingat oleh orang yang sedang lapang, maka akan bisa menyempitkannya” (HR. Al-Bazzar, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Syekh Al-Albani menghasankannya sebagaimana di dalam Shahih Al-Jami’ no. 1211)

Orang yang senantiasa mengingat kematian akan merasa lebih lapang hatinya saat ada ujian yang menerpa. Dia sadari bahwa kesedihan, kecemasan dan kegalauan dunia itu tidak akan kekal abadi selama dia bertakwa kepada Allah ta’ala. Semua ujian dunia tersebut akan terputus saat kematian datang. Kehidupan setelah kematianlah kehidupan yang sesungguhnya.

Sebaliknya, orang yang senantiasa mengingat kematian tidak akan bergembira berlebihan saat dia diberi nikmat kesenangan oleh Allah ta’ala karena dia ingat bahwa seluruh kesenangan itu akan terputus saat kematian tiba. Bahkan kesenangan itu akan berganti kesedihan berlipat saat ia gunakan untuk kemaksiatan. Orang yang senantiasa mengingat kematian akan merasa qana’ah, memanfaatkan waktunya sebaik mungkin untuk mengumpulkan bekal,  dan dia tak mau mati-matian mengejar sesuatu yang tidak bisa dibawa mati.

Berdoa kepada Allah ta’ala

Doa adalah terapi yang sangat bermanfaat, baik untuk pencegahan maupun pengobatan. Hendaknya seorang muslim senantiasa berdoa kepada Allah ta’ala, mengadu, merendah, dan minta dijauhkan dari kegalauan hidup kepada-Nya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sebagai pelayan beliau telah mengabarkan keadaan dirinya saat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

كنتُ أخدُمُ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ إذا نزلَ فكُنتُ أسمعُهُ كثيرًا يقولُ اللَّهمَّ إنِّي أعوذُ بِكَ منَ الهمِّ والحزنِ والعَجزِ والكَسلِ والبُخلِ وضَلَعِ الدَّينِ وغلبةِ الرِّجالِ

“Dulu aku melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, jika beliau singgah di suatu tempat, aku sangat sering mendengar beliau berdoa,

اللَّهمَّ إنِّي أعوذُ بِكَ منَ الهمِّ والحزنِ والعَجزِ والكَسلِ والبُخلِ والْجُبْنِ وضَلَعِ الدَّينِ وغلبةِ الرِّجالِ

‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari al-hamm (galau dengan sesuatu yang belum terjadi), al-hazn (sedih dengan sesuatu yang sudah terjadi), ketidakberdayaan, kemalasan, pelit, ketakutan, hutang yang tak bisa terbayarkan, dan ditindas oleh orang.’.”

(HR. Bukhari no.2893)

Doa ini bermanfaat untuk mencegah kegalauan sebelum terjadinya, dan kaidah dalam pengobatan adalah “pencegahan itu lebih mudah dari pada mengobati”.

Di antara hal yang paling bermanfaat adalah perhatian dengan perkara-perkara di masa depan, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam rajin berdoa dengan doa,

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلْ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ .

“Ya Allah, perbaikilah agamaku yang menjadi penjaga urusanku, dan perbaikilah duniaku yang menjadi tempat kehidupanku, dan perbaikilah akhiratku yang menjadi tempat kembaliku, dan jadikanlah kehidupan ini menjadi tambahan setiap kebaikan dan jadikanlah kematian menjadi tempat istirahat dari setiap keburukan” (HR. Muslim no. 2720)

Jika kegalauan meliputi seseorang, maka ingatlah bahwa pintu doa terbuka lebar. Allah ta’ala yang Maha Mulia membuka pintu-Nya dan memberi orang yang meminta kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), ‘Aku itu dekat’. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186).

Di antara doa yang agung dalam pengobatan kegalauan adalah doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, doa yang beliau memotivasi kita untuk mempelajari dan menghafalkannya.

مَا  أَصَابَ أَحَدًا قَطٌّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ فَقَالَ
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ،أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ

إِلاَّ أَذْهَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَمَّهُ، وَأَبْدَلَهُ مَكَانَ حُزْنِهِ فَرَحاً

قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَعَلَّمَ هَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ

قَالَ:بَلَى، يَنْبَغِي لِمَنْ سَمِعَهَا أَنْ يَتَعَلَّمَهَا

“Tidaklah seorang hamba tertimpa suatu kegalauan dan kesedihan kemudian dia berdoa,

‘Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu, anak hamba (laki-laki)-Mu, anak hamba (perempuan)-Mu, ubun-ubunku di tangan-Mu, telah lewat bagiku hukum-Mu, keadilan takdir-Mu bagiku. Aku meminta kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu sendiri,  atau Engkau ajarkan kepada seorang dari hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam ilmu gaib di sisi-Mu, agar Engkau jadikan al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, pelapang kesedihanku, dan penghilang kegalauanku.’

Kecuali Allah Azza Wa Jalla akan mengangkat kegalauannya dan Allah akan mengganti kesedihannya dengan kegembiraan.

Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah sebaiknya kami mempelajari rangkaian kalimat (doa) tersebut?’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, Tentu. Hendaklahmuslim yang mendengar (doa dalam hadis ini) untuk mempelajarinya.’. (HR. Ahmad  dalam Al-Musnad 1/391 dinyatakan sahih oleh Syekh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 198)

Hadis ini mengandung pengakuan seorang hamba bahwa dia adalah milik Allah ta’ala sehingga dia pasti membutuhkan-Nya. Dalam doa ini, seorang muslim juga mengikrarkan ketundukan terhadap hukum Allah ta’ala, rida dengan takdir-Nya, dan tawassul dengan nama-nama Allah, setelah itu baru dia meminta apa yang diinginkannya.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering mengucapkan kalimat-kalimat ini saat menderita hatinya,

لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمِ

“Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, Yang Maha Agung, Yang Maha Santun. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah Rabb Arsy Yang Agung. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah Rabb Langit, Bumi dan Arsy Yang Mulia” (HR. Bukhari no. 6346)

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya jika ada sesuatu yang menyusahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berdoa،

يَا حَيُّ يَا قَيُوم بِرَحْمَتِكَ أَستَغِيْث

Wahai Zat yang Maha Hidup, wahai Zat yang Berdiri Sendiri, dengan kasih sayang-Mu aku meminta pertolongan. (HR. Tirmidzi no. 3524, dihasankan dalam Shahih al Jami’ 4653)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan doa lainnya, sebagaimana ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada Asma’ binti ‘Umais radhiyallahu ‘anha,

أَلاَ أُعَلِّمُكِ كَلِمَاتٍ تَقُولِينَهُنَّ عِنْدَ الْكَرْبِ أَوْ فِى الْكَرْبِ اللَّهُ اللَّهُ رَبِّى لاَ أُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Maukah engkau (Asma’ binti ‘Umais) aku ajarkan sebuah kalimat yang bisa engkau ucapkan ketika susah?

اللَّهُ اللَّهُ رَبِّى لاَ أُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

‘Allah, Allah adalah Rabbku, yang aku tidak akan menyekutukan Nya dengan sesuatu apapun’.”

(HR. Abu Dawud, kitab ash-Sholat, Bab di dalam Istigfar, di dalam Shahih Al Jami’ 2620)

Di antara doa yang bermafaat yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah doa yang disebutkan dalam sebuah hadis,

دَعَوَاتُ الْمَكْرُوبِ : اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِى إِلَى نَفْسِى طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِى شَأْنِى كُلَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

“Doa ketika susah hati adalah

اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِى إِلَى نَفْسِى طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِى شَأْنِى كُلَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

‘Ya Allah, Rahmat-Mu lah yang aku harapkan, janganlah Engkau sandarkan diriku kepada diriku sendiri sekejap mata pun. Perbaikilah perkaraku seluruhnya, tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Engkau’.”

(HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Adab no 5090. dinilai hasan di dalam Shahih al-Jami’ 3388 dan di dalam Sahih Sunan Abi Dawud no. 4246).

Jika seorang hamba berdoa dengan doa-doa ini dengan tulus, jujur, dengan hadirnya hatinya, dan bersungguh-sungguh melakukan sebab-sebab terkabulnya doa, maka Allah ta’ala akan mengabulkan doanya. Dengan begitu kegalauannya akan pergi, berganti dengan kegembiraan.

[Bersambung]

***

Penulis: apt. Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/67494-mengobati-kegalauan-bag-3.html

Perintah untuk Ikhlas Beribadah

Dari Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia peroleh atau perempuan yang ingin dinikahinya hijrahnya kepada apa yang dia niatkan” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini adalah hadis pertama yang dibawakan oleh Imam Bukhari Rahimahullah di dalam kitabnya Sahih Bukhari. Hadis ini termasuk kelompok hadis yang disebut oleh para ulama sebagai hadis-hadis yang menjadi poros ajaran agama. Imam Ahmad, Imam Syafi’i dan yang lainnya menganggap hadis ini sebagai salah satu hadis pokok agama Islam (lihat keterangan Syekh Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili Hafizhahullah dalam transkrip Syarh al-Arba’in, 1/5-6)

Hadis ini menunjukkan bahwa niat adalah syarat diterimanya amalan. Apabila suatu amalan tidak disertai dengan niat maka ia tidak akan diterima. Hadis ini juga menjadi dalil bahwa ikhlas adalah syarat diterimanya seluruh amalan. Niat dalam artian ikhlas inilah yang dibahas di dalam kitab-kitab akidah. Adapun niat yang dibahas dalam kitab-kitab fikih adalah niat yang berfungsi untuk membedakan ibadah yang satu dengan ibadah yang lain atau untuk membedakan antara ibadah dan bukan ibadah atau kebiasaan (lihat transkrip Syarh al-Arba’in, 1/6-8).

Hadis ini juga memberikan pelajaran bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah harus disertai niat untuk mencari pahala di akhirat. Apabila misalnya ada orang yang melakukan salat tanpa menyimpan niat mencari pahala di akhirat maka orang itu tidak akan mendapatkan pahala di akhirat atas perbuatannya itu (lihat keterangan Syekh Sa’ad asy-Syatsri Hafizhahullah dalam Syarh Umdatul Ahkam, 1/14)

Hadis ini merupakan fondasi agama. Ia mengandung realisasi syahadat laa ilaha illallah. Yaitu wajibnya memurnikan amal ibadah untuk Allah. Hadis ini berisi setengah dalil agama, sedangkan setengahnya lagi ada di dalam hadis, “Barang siapa yang mengada-adakan di dalam urusan kami ini sesuatu yang tidak termasuk ajarannya maka ia tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim). Di dalam hadis ini terkandung makna syahadat Muhammad Rasulullah. Oleh sebab itu amal yang diterima adalah yang ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam (lihat keterangan Syekh Abdul Aziz ar-Rajihi Hafizhahullah dalam Minhatul Malik, 1/26)

Hadis ini juga menunjukkan bahwa amalan yang dilakukan orang musyrik tidak diterima oleh Allah disebabkan mereka membersekutukan Allah dalam hal ibadah. Allah berfirman,

لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ

“Jika kamu berbuat syirik niscaya akan lenyap seluruh amalmu” (QS. az-Zumar : 65).

Allah juga berfirman,

وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

“Seandainya mereka berbuat syirik pastilah akan terhapus semua amal yang dahulu mereka kerjakan” (QS. Al-An’am: 88).

Demikian pula orang yang murtad maka semua amalnya akan terhapus (lihat at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 73-74).

Semua bentuk ibadah baik lahir maupun batin harus memenuhi dua syarat yaitu ikhlas dan mutaba’ah/sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga setiap amalan yang tidak ikhlas untuk mencari wajah Allah maka itu adalah batil. Demikian pula setiap amalan yang tidak sesuai dengan ajaran Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam maka tertolak. Amalan yang memenuhi kedua syarat inilah yang diterima di sisi Allah (lihat ad-Durrah al-Fakhirah fit Ta’liq ‘ala Manzhumah as-Sair ila Allah wad Daril Akhirah karya Syaikh as-Sa’di, hal. 15).

***

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/67463-perintah-untuk-ikhlas-beribadah.html