Pengaruh Keshalihan Orang Tua Terhadap Anak

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Inilah pepatah yang menggambarkan karakter, akhlak, dan keilmuwan seorang anak akan mirip atau tidak jauh beda dengan orang tua. Meskipun terkadang takdir Allah Azza wa Jalla menjadikan orang tua shalih namun anak-anaknya tidak taat beragama, atau sebaliknya.

Salah satu kewajiban asasi orang tua adalah memberikan pendidikan agama yag sesuai dengan syariat Islam. Jadi sebelum menshalihkan anak, orang tua harus menjadikan dirinya paham agama baik akhlak serta ibadahnya dan mampu menjadi figur teladan dalam kebaikan baik itu ucapan mamupun perbuatan sehari-hari. Ketika orang tua shalih dan dekat dengan agama niscaya anak-anaknya akan mencontoh kedua orang tuanya karena melihat akhlak dan kebiasaan baik orang tua lebih mengena dan berbekas di hati dari pada seribu ucapan tanpa teladan konkret. Mendidik anak adalah amanah dan tanggung jawab. Allah Azza wa Jalla berfirman:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ

Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. At-Tahrim: 6).

Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu berkata tentang arti ayat ini: “ajari dan didiklah keluarga dan anak-anak kalian” (Lihat Tuhfatu al-Maudud bi Ahkam al-Maulud, Ibnul Qayyim, Dar al-Kitab al-Arabi, hal.192).

Kewajiban utama orang tua adalah menjadikan anak-anaknya memahami agama yang benar, mendidik dengan nilai-nilai Islam baik dalam keyakinan, ibadah, akhlak mulia dan ilmu-ilmu yang lain bermanfaat untuk kehidupan dunia akhiratnya. Orang tua yang shalihlah yang akan mampu membersamai dan membimbing buah hatinya untuk cinta Islam. Ini akan dipertanggung-jawabkan kelak di akhirat.

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Tuhfatu al-Maudud, hal.192 membawakan perkataan sebagian ulama, bahwa Allah akan terlebih dahulu meminta pertanggung-jawaban orangtua terhadap pengelolaan anaknya sebelum meminta pertanggung-jawaban anak dalam bersikap terhadap orang tuanya. Seperti halnya orang tua memiliki hak yang wajib dipenuhi anaknya, maka anak pun memiliki hak yang wajib dipenuhi orangtuanya.

Keluarga Muslim butuh ilmu agar keberlangsungan hidupnya senantiasa dibimbing Kitabullah dan sunnah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Orang tualah lokomotif utama agar anak mampu bercermin pada keshalihan keduanya dalam kecintaannya pada ilmu syariat. Sosok ayah yang selalu bergelut dalam ilmu akan lahirlah sosok generasi yang juga mencintai ilmu. Dari pohon yang baik akan muncul buah yang manis.

Potret Keluarga Para Ulama

Imam as-Suyuthi rahimahullah yang dijuluki sebagai Ibnul Kutub (si anak buku), karena ia lahir di antara buku-buku ayahnya. Pada waktu itu, ayahnya ingin membaca suatu buku ia meminta tolong istrinya yang sedang hamil ntuk mengambilkannya di antara buku-buku yang lain di rumahnya. Sesampainya di tempat buku-buku tersebut Imam as-Suyuthi rahimahullah dilahirkan (An-Nur as-Safir, an Akhbaril Qarnil ‘Asyir, hlm. 51). Subhanallah di tengah keluarga yang sarat ilmu beliau dibesarkan hingga beliau menjadi ulama terpercaya. Dari orang tua berkualitas diharapkan keturunannya pun memiliki kapasitas ilmu dan amal yang shalih pula.

Lihat juga keluarga Imam Ahmad bin Hambal asy-Syaibani rahimahullah. Bermula dari pendidikan seorang ayah yang cinta ilmu dan amal. Abdullah bin Ahmad tumbuh menjadi anak yang shalih dan menjadi sosok ulama periwayat kitab Musnad ayahnya maupun kitab-kitab lainnya, sehingga menjadi orang nomor satu di dunia ini yang banyak meriwayatkan hadits. Imam Ahmad bin Hambal ibnu al-Munadi rahimahullah mengatakan, ”Tidak ada seorang pun di dunia ini yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Ahmad bin Hambal melibihi putranya (Abdullah bin Ahmad) karena ia telah belajar dari ayahnya 30.000 hadits dari kitab Musnad, 80.000 hadits dari kitab tafsir dan selebihnya adalah wijadah (mendapati hadits dari buku tulisan ayahnya). Ia juga belajar dari ayahnya tentang nasikh dan mansukh, tarikh, hadits riwayat syu’bah, ilmu yang berkaitan dengan al-Quran, kitab manasik yang besar maupun yang kecil dan lain sebagainya (Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir al-A’lam, VI/762, karya adz-Dzahabi).

Demikian sekilas pentingnya keshalihan orang tua agar anak-anaknya tumbuh kecintaan pada agama sebagai modal besar untuk kebaikan dan keberkahan hidupnya. Keluarga harmonis dan bahagia ketika pasutri mampu menshalihkan dirinya terlebih dahulu sehingga dengan petunjuk Allah Azza wa Jalla anak-anaknya mengikuti jejaknya.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/13714-pengaruh-keshalihan-orang-tua-terhadap-anak.html

Jika Anak Tidak Mau Shalat

Soal:

Apa kewajiban orang tua terhadap anak yang meninggalkan shalat?

Jawab:

Jika mereka memiliki anak yang tidak mau shalat, maka kewajiban mereka adalah memaksa anak tersebut untuk shalat, baik dengan ucapan, perintah, maupun pukulan (yang tidak menyakitkan). Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

(وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ)

“Pukullah mereka jika mereka meninggalkan shalat ketika berumur sepuluh tahun” (HR. Ahmad 2/187 dan Abu Dawud no. 495 dan 496 dan terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’ no. 5868)

Apabila tidak berhasil dengan pukulan, maka anak tersebut dilaporkan kepada pihak yang berwenang di negaranya supaya memaksa anak tersebut untuk melaksanakan shalat.

Intinya, anak tersebut tidak boleh didiamkan begitu saja. Karena itu termasuk bentuk menerima kemungkaran. Padahal meninggalkan shalat adalah kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama Islam[1].

Orang yang meninggalkan shalat itu kafir dan kekal di neraka. Apabila ia mati di atas kekufuran, maka tidak boleh dimandikan, tidak boleh dishalatkan, maupun dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Nas-alullahas salamah (kita memohon keselamatan kepada Allah).

***

Diterjemahkan dari Fatawa Arkanil Islam karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Al-Khairiyah, cetakan ketiga, tahun 1437 H, hal. 340-341.

[1] Di antara dalilnya adalah hadits dari Abdullah bin Buraidah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ العَهدَ الذي بيننا وبينهم الصَّلاةُ، فمَن تَرَكها فقدْ كَفَرَ

Sesungguhnya perjanjian antara kita dan mereka (kaum musyrikin) adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir” (HR. At Tirmidzi no. 2621, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Penerjemah: Ummu Fathimah

Artikel Muslimah or.id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/13712-jika-anak-tidak-mau-shalat.html

Varian Delta, Bagaimana Kita Bersikap?

Sebagaimana beberapa negara di Asia, Indonesia mulai menghadapi lonjakan kedua kasus COVID-19 yang jauh lebih besar. Virus SARS-CoV-2 pada asalnya adalah virus dengan kemampuan mutasi yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan virus RNA yang lain. Penularan yang terus-menerus terjadi sampai saat ini menyebabkan virus SARS-CoV-2 memiliki banyak kesempatan untuk bermutasi. Mutasi-mutasi tersebut memunculkan varian-varian baru yang memiliki fitness (ketangguhan atau daya adaptasi terhadap lingkungan) yang lebih tinggi dibandingkan dengan varian sebelumnya. Bagaikan hukum rimba, varian dengan fitness yang lebih tinggi akan menggeser dominasi varian sebelumnya dengan fitness yang lebih lemah, layaknya seleksi alam pada “dunia virus”. Data dari pemerintah Inggris menjadi salah satu bukti fenomena ini. Varian alpha terdeteksi mendominasi sejak akhir bulan Desember 2020. Namun sejak Juni 2021, dominasi tersebut telah diambil alih oleh varian delta.

Tulisan ini dihimpun dari berbagai data yang telah dipublikasikan sampai dengan tanggal 20 Juni 2021. Seiring dengan terbitnya penelitian-penelitian baru yang cepat dan dinamis, fakta dan data yang disajikan dalam tulisan ini mungkin dapat berubah, sehingga pembaca disarankan untuk selalu mengikuti perkembangan informasi terbaru melalui sumber-sumber terpercaya, baik dari dalam maupun luar negeri.

Mengenal “Variant of Interest” (VOI) dan “Variant of Concern” (VOC)

Varian dari SARS-CoV-2 diklasifikan oleh WHO menjadi dua jenis kategori, yaitu “Variants of Interest” (VOI) dan “Variants of Concern” (VOC). Suatu varian virus SARS-CoV-2 dikategorikan sebagai VOI apabila susunan materi genetika dari SARS-CoV-2 varian tersebut memiliki satu set mutasi yang bersifat spesifik yang diduga atau terbukti menyebabkan perubahan fenotip (karakter biologis) dari SARS-CoV-2, serta telah diidentifikasi menyebabkan kejadian COVID-19 di suatu wilayah atau telah dilaporkan menyebar di berbagai negara. Contoh VOI adalah varian Zeta (P.2); Eta (B.1.525); dan varian Kappa (B.1.617.1).

Suatu varian dikategorikan dalam VOC apabila varian tersebut telah memenuhi kriteria VOI, ditambah adanya kaitan dengan salah satu karakteristik berikut ini:

Pertama, meningkatkan risiko penularan; atau:

Kedua, meningkatkan virulensi (keganasan) virus dengan adanya perbedaan manifestasi klinis pada pasien seperti gejala penyakit yang semakin berat; atau:

Ketiga, menurunkan efektivitas diagnosis (swab PCR), vaksin, atau obat-obat anti-virus.

Sampai saat ini ada empat varian yang termasuk dalam kategori VOC, yaitu varian Alpha (B.1.1.7); Beta (B.1.3.5.1); Gamma (P.1); dan Delta (B.1.617.2).

Untuk mendeteksi keberadaan varian, diperlukan teknologi yang disebut dengan whole genome sequencing (WGS). Teknologi ini bertujuan untuk membaca urutan genetik yang dimiliki oleh virus SARS-CoV-2 sepanjang kurang lebih 30 ribu basa nukleotida untuk melihat adanya mutasi. Hingga tanggal 20 Juni 2021, telah dilakukan whole genome sequencing (WGS) terhadap 2.230 sampel virus yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Dari 2.230 sampel tersebut, sebanyak 202 sampel dideteksi sebagai sebagai VOC, yaitu varian Alpha (45 kasus); Beta (6 kasus); dan Delta (151 kasus).

Sampai saat ini belum ada laporan varian Gamma yang terdeteksi di Indonesia. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa laporan varian SARS-C0V-2 di Indonesia tersebut bagaikan puncak gunung es (tip of the iceberg), karena kemampuan WGS kita di Indonesia yang masih terbatas, baik dari sisi jumlah laboratorium rujukan, sumberdaya manusia, dan juga ketersediaan reagen. Jumlah varian SARS-CoV-2 sesungguhnya di Indonesia mungkin jauh lebih banyak.

Dampak Varian Delta terhadap karakter biologis dari virus SARS-CoV-2

Varian Delta pertama kali dideteksi pada bulan Oktober 2020 di India. Berbagai penelitian, baik penelitian epidemiologis maupun laboratoris, telah banyak dilakukan untuk melihat dampak mutasi pada varian Delta

Pertama, keparahan penyakit yang diderita oleh pasien.

Sejak varian Delta terdeteksi, Inggris Raya adalah negara yang paling intensif melakukan berbagai penelitian terkait keparahan COVID-19 yang diakibatkan varian tersebut. Data penelitian di Inggris dan Skotlandia menunjukkan adanya peningkatan keparahan COVID-19 dan risiko masuk rumah sakit bagi pasien-pasien yang terinfeksi varian Delta dibandingkan dengan varian Alpha. Penelitian-penelitian lain mengenai keparahan COVID-19 akibat varian Delta ini masih terus dilakukan.

Kedua, risiko peningkatan penularan (risiko transmisi)

Penelitian melalui sistem permodelan komputer (in silico analysis) oleh para peneliti di India menunjukkan bahwa mutasi-mutasi khas pada varian Delta (L452R, E484Q, dan P681R) menyebabkan peningkatan daya ikat virus SARS-CoV-2 (melalui protein Spike) ke sel tubuh manusia (melalui reseptor ACE2). Data ini didukung oleh data epidemiologis di Inggris Raya yang menunjukkan jumlah penularan dari varian Delta yang lebih tinggi daripada  varian Alpha dan Kappa. Hal tersebut menunjukkan bahwa varian Delta meningkatkan risiko penularan. Penelitian-penelitian lain masih dilakukan untuk melihat risiko peningkatan penularan SARS-CoV-2 varian Delta tersebut.

Ketiga, deteksi oleh mesin PCR.

Saat tulisan ini disusun, belum ada bukti penelitian yang secara valid menunjukkan bahwa varian Delta tidak bisa dideteksi oleh metode PCR.

Keempat, efektivitas dari vaksinasi.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa vaksin Pfizer dan AstraZeneca cukup efektif untuk melindungi sebagian besar orang dari tertular atau mengalami COVID-19 yang bergejala berat akibat varian Delta jika orang tersebut telah mendapatkan 2 dosis vaksinasi. Efektivitas perlindungan kedua vaksin tersebut lebih rendah jika seseorang hanya mendapatkan 1 dosis saja. Bagaimana dengan vaksin Sinovac?  belum ada bukti penelitian terkait efektivitas perlindungan vaksin Sinovac terhadap varian Delta.

Lalu, bagaimana kita bersikap?

Saat ini kita menghadapi gelombang peningkatan kasus di berbagai daerah di DKI Jakarta, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta dan Jawa Timur. Fasilitas kesehatan di wilayah tersebut mulai tidak dapat menampung lonjakan pasien COVID-19 yang bergejala berat. Dengan ditemukannya varian Delta di Indonesia yang mungkin dapat menimbulkan manifestasi COVID-19 yang lebih parah dan lebih mudah menular, maka masyarakat dan pemerintah wajib mendukung segala upaya untuk mengurangi penularan virus SARS-CoV-2, agar tidak semakin banyak korban yang berjatuhan akibat tidak mendapatkan fasilitas perawatan yang memadai.

Pertama, kewajiban sebagai individu.

Mutasi terjadi saat virus bereplikasi dalam sel tubuh manusia, baik manusia yang terinfeksi itu bergejala ataupun tidak. Potensi munculnya varian baru dari virus SARS-CoV-2 akan dapat dikurangi jika lebih sedikit orang yang tertular dan membawa virus SARS-CoV-2. Sehingga protokol kesehatan untuk pencegahan penularan menjadi sangat penting, selain untuk menurunkan jumlah penderita COVID-19, juga mengurangi potensi terjadinya mutasi.

Disiplin menegakkan protokol kesehatan di tingkat individu merupakan senjata utama untuk memutus mata rantai transmisi. Memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, tetap tinggal di rumah jika merasakan gejala sakit, membatasi mobilitas keluar rumah, hanya keluar rumah jika diperlukan, menghindari kerumunan, serta mengikuti vaksinasi harus dilaksanakan dengan menghilangkan sikap keegoisan. Kita tidak pernah tahu pasti siapa yang akan terinfeksi SARS-CoV-2 tanpa gejala atau siapa mengalami COVID-19 berat hingga kematian. Lebih banyaknya orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 tanpa gejala atau hanya bergejala ringan justru membuat siapa pun mungkin dapat menjadi sang penular, tanpa terdeteksi, termasuk diri kita sendiri. Sehingga protokol kesehatan tidak hanya untuk melindungi diri sendiri, namun juga melindungi orang lain dari ancaman COVID-19 yang fatal dan  terjadinya mutasi virus SARS-CoV-2

Disiplin menjalankan protokol merupakan sebuah keniscayaan jika dilakukan dengan penuh kesadaran sebagai kebiasaan bukan keterpaksaan. Hendaknya kita menahan diri dari keinginan untuk “kumpul-kumpul” apa pun bentuknya, misalnya sekedar reuni dengan teman sekolah, acara makan-makan bersama keluarga besar yang datang berbagai daerah, dan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya. Jangan mudah percaya dengan hoax dan misinformasi lainnya terkait vaksinasi. Mengajak semua orang untuk patuh pada protokol kesehatan memang sulit, namun mulailah dari diri sendiri, keluarga dan orang terdekat. Saling mengingatkan dan memberi contoh secara tekun, serta tidak permisif dengan tekanan lingkungan yang abai dengan protokol kesehatan. Karena yang populer dan yang diikuti orang banyak belum tentu benar, sehingga harus benar-benar ditelaah dengan akal.

Kedua, kewajiban pemerintah.

Pemerintah harus menegakkan aturan yang lebih tegas terkait pembatasan mobilitas masyarakat, pelaksanaan protokol kesehatan di masyarakat, dan perlu diputuskan segera apakah suatu daerah memerlukan karantina wilayah yang lebih luas. Dengan adanya penularan yang semakin meluas, tentu saja pembatasan skala mikro menjadi tidak efektif.  Aturan harus ditegakkan dengan konsisten dan juga butuh teladan perilaku dari aparatur pemerintah. Jika pemerintah tidak konsisten dalam penegakan aturan, maka kepercayaan masyarakat pada pemerintah akan turun, hingga kelak mungkin dapat terjadi kondisi tatkala apapun aturan yang dikeluarkan pemerintah tidak akan lagi diikuti oleh rakyat. Sementara itu, apapun upaya pemulihan perekonomian yang dilakukan, fakta menunjukkan bahwa ekonomi tidak akan bisa bangkit jika penularan wabah tidak dikendalikan.

Pemerintah harus meningkatkan kapasitas testing and tracing. Ini penting dilakukan untuk mendeteksi semaksimal mungkin orang-orang yang terinfeksi dan melakukan isolasi sedini mungkin sehingga menurunkan risiko penularan ke semakin banyak orang. Konsekuensinya, fasilitas isolasi mandiri juga perlu ditingkatkan. Pemerintah juga perlu mempercepat distribusi dan meningkatkan kecepatan program vaksinasi. Vaksinasi tidak hanya melindungi mereka yang divaksin dari infeksi SARS-CoV-2 dan keparahan COVID-19, namun juga menurunkan potensi penularan. Semakin cepat target cakupan vaksinasi bagi seluruh penduduk Indonesia dapat tercapai, maka potensi munculnya mutasi baru yang lebih kuat dan ganas dapat semakin diturunkan.

***

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD.

Sumber: https://muslim.or.id/66925-varian-delta-bagaimana-kita-bersikap.html

Kebaikan Hati Rasulullah Terhadap Kaum Kristen dan Yahudi

Relasi damai Islam dan non muslim sudah terjalin sejak awal Islam muncul. Perbedaan agama, tak menjadi jurang pemisah antara masyarakat muslim dengan Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan sebagian kaum pagan Mekah. Praktik toleransi itu langsung dicontohkan oleh Rasulullah. Nabi sendiri

Yusuf Qardhawi dalam kitab Goiru al Muslim fi almujtama’ al Islami, memuat kisah pelbagi kebaikan terhadap non muslim. Nabi senantiasa bergaul dengan masyarakat ahli kitab. Dalam suatu waktu, Nabi bertandang pada tetangga yang non muslim. Memuliakan mereka, dan mengunjungi tetangga yang sedang sakit.

Dr. Yusuf Qardhawi berkata;

وتتجلى هذه السماحة كذلك في معاملة الرسول صلى الله عليه وسلم لأهل الكتاب يهودًا كانوا أو نصارى، فقد كان يزورهم ويكرمهم، ويحسن إليهم، ويعود مرضاهم، ويأخذ منهم ويعطيهم.

Artinya; Rasulullah senantiasa menyemarakkan toleransi dalam pergaulan dengan ahli kitab, sama ada itu Yahudi dan Nasrani, maka sesungguhnya Nabi mengunjungi mereka untuk bersilaturrrahmi, dan nabi juga memuliakan mereka, dan berbuat kebajikan pada mereka, dan mengunjungi orang yang sakit, dan ia mengambil dari mereka dan juga memberi pada mereka.

Pada sisi lain, sebagaimana termaktub dalam kitab Goiru al Muslim fi almujtama’ al Islami, sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hasan—seorang ahli fikih dan pakar perundang-undangan dari mazhab Hanafi—, bahwa Rasulullah menyerahkan bantuan harta pada penduduk Mekah ketika terjadi musim paceklik (kemarau). Bantuan itu dibagikan pada penduduk yang miskin dan fakir, tanpa melihat latar belakang agamanya.

Sementara itu, Ibnu Ishaq dalam kitab Sirah Ibn Ishaq, mengisahkan, pada suatu waktu ada sekelompok Kristen dari Bani Najran datang ke Madinah. Saat mereka tiba bertepatan dengan waktu Ashar, kemudian mereka langsung masuk ke dalam Masjid.

Melihat non muslim masuk ke dalam masjid, para sahabat yang hadir berencana untuk menghalau dan melarang mereka masuk masjid. Mengetahui rencana para sahabat, Rasullah lantas berkata, “Biarkan kamu mereka,”.  Kemudian, dalam masjid itu, kaum Kristen Najran melaksanakan sembahyang dengan menghadap ke arah Timur.       

Pada kesempatan lain, Rasulullah juga pernah bersedekah pada seorang Yahudi. Kisah ini diriwayatkan oleh Said bin Musaib, bahwa Rasulullah memiliki tetangga yang beragama Yahudi. Adapun tetangga Nabi ini tergolong orang yang miskin. Karena kemiskinan itu, Rasulullah sering memberikan sedekah padanya.

Ketika non muslim meninggal dunia, Rasulullah tetap menghormati mereka. Hal itu sebagaimana dikisahkan dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari. Suatu waktu, ada iring-iringan jenazah yang lewat di hadapan Nabi dan para sahabat. Melihat rombongan dan iring-iringan orang yang mengangkut jenazah tersebut, Nabi pun segera berdiri. Itu beliau perbuat sebagai tanda penghormatan bagi jenzah tersebut.

Melihat baginda nabi berdiri, sahabat segera memberitahu, “ Itu jenazah orang Yahudi,” kata sahabat pada Nabi. Rasulullah pun bersabda, “Bukankah jenazah itu juga seorang manusia?” timpal Rasulullah.

Pelbagai kisah ini memberikan sinyal bahwa Nabi sosok yang menghormati siapapun, termasuk non muslim. Beliau menjalin kerjasama dengan Yahudi dan Kristen. Perbedaan doktrin teologis, tak menjadi penghalang bagi beliau untuk senantiasa berbuat kebajikan.

BINCANG SYARIAH

Amalan dan Doa Spesial pada Hari Jumat

Hari Jumat yang juga dikenal dengan sebutan sayyidul ayyam ini memiliki waktu yang mustajab berdoa bagi kaum Muslim. Dikutip dari laman Mawdoo3, dalam hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:

عَن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ ذَكَرَ يَوْمَ الجُمُعَةِ، فَقَالَ:  فِيه سَاعَةٌ لا يُوَافِقها عَبْدٌ مُسلِمٌ، وَهُو قَائِمٌ يُصَلِّي يسأَلُ اللَّه شَيْئًا، إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاه

“Sesungguhnya pada hari Jumat terdapat waktu mustajab bila seorang hamba Muslim melaksanakan salat dan memohon sesuatu kepada Allah pada waktu itu, niscaya Allah akan mengabulkannya. Rasululllah mengisyaratkan dengan tangan beliau sebagai gambaran akan sedikitnya waktu itu.” (Muttafaqun Alaih).

Dalam Sunnah Nabi Muhammad SAW, memang tidak ada doa yang khusus untuk dibaca pada hari Jumat.

Namun, berikut ini adalah doa-doa yang bisa diucapkan pada hari Jumat sebagaimana dilansir dari laman Mawdoo3:

1. Doa Keselamatan

اللهم عليك توكلت فارزقني واكفني، وبك لذت فنجني مما يؤذيني، أنت حسبي ونعم الوكيل، اللهم رضني بقضائك، وقنعني بعطائك، واجعلني من أوليائك.

Allahumma alaika tawakkaltu farzuqni wakfini, wa bika ludztu fa najjini mimma yu’dzini anta hasby wa ni’mal wakil, Allahumma raddhini bi qadhaika, wa qanni’ni bi athaika, waj ‘alni min awliyaika.

“Ya Allah SWT, aku berserah diri pada-Mu, berikan aku rezeki dan cukupkan aku. Selamatkan aku dari sesuatu yang menyakitiku. Engkau adalah satu-satunya pelindung terbaikku. Dan cukupkanlah aku dengan anugerah-Mu dan jadikanlah aku dari para wali-Mu.”

2. Doa Keberkahan

أدام الله لكم بركة الجمعة دهوراً، وألبسكم من تقواه نوراً، جمعة مباركة  

Adamallahu lakum barakatal Jumat duhuran, wa albasakum min taqwahu nuron, jumatan mubarakah.

“Semoga Allah SWT memberikan berkah kepada kalimat pada hari Jumat ini, serta Allah mengenakan cahaya dari kesalehan hari ini, Jumat yang diberkahi.”

3. Doa Perlindungan

اللهم إني أسألك يا من لا تغلطه المسائل، يا من لا يشغله سمع عن سمع، يا من لا يبرمه إلحاح الملحين، اللهم إني أعوذ بك من جهد البلاء ودرك الشقاء، وسوء القضاء، وشماتة الأعداء، اللهم اكشف عني وعن كل المسلمين كل شدة وضيق وكرب، اللهم أسألك فرجًا قريبًا، وكف عني ما أطيق، وما لا أطيق، اللهم فرج عني وعن كل المسلمين كل هم وغم، وأخرجني والمسلمين من كل كرب وحزن.

Allahumma inni asaluka ya man la tughallithuhul masail, ya man la yusyagghiluhu sam’u an sami’a, ya man la yubrihumuhu ilhah al-mulihhin, Allahumma inni audzubika min juhdil bala wa darkis syaqa’ wa su’il qadha’ wa syamatatil a’da’. Allahummaksyif ‘anni wa ‘an kullil muslimin kulla syiddatin wa dhiqin wa karabin, Allahumma aslaluka farjan qariban, wa kaffa anni ma uthiq, wama la uthiq, Allahumma farrij ‘anni, wa an kullil Muslimin wa kul hammin wa ghammin, wa akhrijni wal muslimina min kulla karabin wa huznin.

“Ya Allah, Aku meminta kepadamu wahai Yang tidak tercampuradukkan perkara (bagi-Nya), wahai Yang tidak tersibukkan pendengaran meraka yang mendengarkan, Waha yang yang ketentuannya tak berpengaruh rintihan orang yang (berdoa) merintih, aku berlindung kepada-Mu dari malapetaka dan kesengsaraan, ketetapan yang buruk, dan caci maki musuh. Ya Allah lepaskanlah dariku dan dari setiap Muslim setipa kesusahan dan kesempitan dan impitan, Ya Allah aku meminta kepada-Mu jalan keluar segera, cukupkan dari apa yang aku mampu dan apa yang aku tidak mampu, Ya Allah angkatlah kesedihan dan kegundahan dariku dan dari setiap Muslim. Hentikan saya pada sesuatu yang dapat saya tanggung dan yang tidak bisa saya tahan. Angka semua kekhawatiran dan kesusahan dari diri saya dan semua Muslim. Singkirkan keresahan dan kesedihan dari diri saya dan umat Muslim.”

4. Doa Mencapai Keinginan

يا رب في يوم الجمعة وعدت عبادك بقبول دعواتهم، سأدعو لقلب قريب من قلبي: اللهم ارزقه ما يريد وارزق قلبه ما يريد واجعله لك كما تريد، اللهم قدر له ذلك قبل أن تأذن شمس الجمعة بالمغيب

Ya Rabbi fi Yaumil Jumat wa ‘adta Ibadaka bi qabuli da’wahum, sa ad’u liqalbin qaribin min qalbi: Allahummarzuqhu ma yuridu warzuq qalbahu ma yuridu, waj’alhu laka kama turidu, Allahumma qaddirlalhu dzalik, qabla an tu’dzina syamsul Jumat bil maghib. “Ya Allah SWT, pada hari Jumat ini, kau berjanji pada hamba-hamba-Mu untuk menerima doa mereka, aku akan berdoa dari hati yang terdalam. Ya Allah SWT, berikanlah apa yang kuinginkan, dan berkatilah hatiku dengan apa yang kuinginkan. Dan jadikan diriku ini milik-Mu seperti yang dirimu inginkan, sebelum matahari hari Jumat tenggelam.”

5. Doa Kebahagiaan

أسعدك الله بساعات هذا اليوم المبارك، ووسع عليك رزقك، وألهمك ذكره، وأجاب دعوتك، وزادك من فضله، وحفظ دينك وأيدك بنصره، ورضي عنك وأرضاك من حبه، وعن النار أبعدك وأدخلك جنته، وللخير أرشدك وكفاك نقمته

As’adakallah bi sa’ati hadzal yaumi al-mubarak, wa wassa’a alaika rizqaka wa alhamaka dzikrahu, wa ajaba da’wataka, wa zadaka min fadhlihi, wa hafidha dinaka wa ayyadaka binashrihi, wa radhiya anka wa ardhaka an hubbihi wa ‘aninnari ab’adaka wa adkhalaka jannatahu, walil khairi arsyadaka wakafaka niqmatahu

“Semoga Allah SWT memberikan kebahagiaan pada jam-jam di hari Jumat yang diberkati ini, memperluas mata pencaharianmu, memberi inspirasi kepadamu, menijabah doamu, menambahkan bagimu keutamaan-Nya, menjaga agamamu dan mendukungmu dengan pertolongan-Nya, ridha atasmu, dan meridhaimu dengan cinta-Nya dan menjauhkanmu dari neraka lalu memasukkanmu ke surga, memberi petunjukmu kepada kebaikan dan melindungimu dari bencana-Nya.”

———
AYO PURWAKARTA

Bagaimana Mengukur Keberkahan Hidup?

JANGAN sampai segala usahamu tidak bermakna apa-apa atau bahkan menjalani hidup tanpa keberkahan. Engkau berjuang untuk kebahagiaan hidupmu, tetapi yang kau jumpai hanya keletihan. Ada orang yang bekerja tak kenal waktu untuk mengejar materi yang banyak, dia mengira kebahagiaan diukur oleh kuantitas sesuatu yang ia kejar. Tetapi seiring perjalanan waktu dia menyadari bahwa apa yang menjadi pandangannya itu keliru. Nyatanya kebahagiaan tidak berhubung-kait dengan sebanyak apa dia memperoleh sesuatu.

Kebahagiaan adalah masalah nilai, yaitu bagaimana seseorang menikmati apa yang telah ia peroleh dan bagaimana ia mengolahnya. Dengan bahasa yang sederhana, sesungguhnya kualitas lah yang menentukan kebahagiaan, bukan kuantitas. Inilah rahasianya kita bisa menjumpai seseorang yang selalu berbahagia dengan kehidupannya. Tak peduli ketika ia disapa hari-hari yang sulit, atau bahkan kegagalan.

Kebahagiaan seperti ini adalah keberkahan. Bukan cuma saya yang mengatakan demikian. Ternyata Al-Farra dan Abu Mansur juga mengatakannya. Menurut keduanya, yang dimaksud dengan keberkahan dalam kalimat tasyahud yang berbunyi, “Assalamu’alaika ayyuha nabiyyu warahmatullahi wabarakatuh”, adalah kebahagiaan.

Ini luar biasa, sebab kita jadi sadar bahwa semua doa yang berisikan keberkahan adalah doa untuk kebahagiaan. Dan betapa banyaknya doa yang kita panjatkan untuk mendapatkan keberkahan dalam hidup. Ketika seorang dianugerahkan seorang anak, mendapatkan keuntungan materi, menempati rumah baru, atau menikah, doa yang kita lantunkan adalah agar orang itu memperoleh keberkahan.

Hal terpenting dari semua hal di atas adalah keberkahan, yaitu nilai atau kualitas dalam mendayagunakan kenikmatan tersebut. Anak yang membawa keberkahan bagi orangtuanya adalah anak yang saleh, dia tumbuh berkembang di dalam keluarga yang religius, taat kepada Allah, dan berbakti kepada orang tua. Begitu pula harta yang berkah, yaitu harta yang digunakan untuk kebaikan dan menolong orang lain.

Rumah yang dipenuhi keberkahan adalah yang berisi kedamaian, ketenangan, dan hubungan antar-penghuni rumah yang harmonis. Pernikahan yang diberkahi adalah pernikahan yang bertolak dari keinginan untuk menyempurnakan agama, saling membantu ketaatan, dan membentuk keluarga yang sakinah.

Doa yang dianjurkan untuk diucapkan buat pengantin baru adalah “Barakallahu laka Baraka ‘alaika…”. Sepenggal doa yang pendek namun sangat padat makna. Barakallahu laka adalah doa agar Allah selalu memberi berkah-Nya pada saat keluarga dalam keadaan baik dan penuh kemudahan. Adapun barakallahu ‘alaika berarti keberkahan-Nya juga akan diperoleh pada saat keluarga ditimpa ujian, sedang dalam kesulitan dan konflik, dan sebagainya.

Di dalam kehidupan, secara manusiawi seseorang berambisi untuk memperoleh hasil yang terbaik dan menorehkan prestasi demi prestasi. Tidak ada yang salah dari hal itu, namun belum cukup. Sebab hal yang lebih penting untuk dimiliki adalah bagaimana prestasi itu menjadi berkah bagi pemiliknya. Tidak semua prestasi dapat menjelma menjadi keberkahan. Banyak nikmat dan anugerah dari Allah SWT yang alih-alih membawa keberkahan, malah menjadi fitnah dan musibah bagi seseorang.

Misalnya seorang mahasiswa menorehkan prestasi akademik yang gemilang, tetapi prestasinya justru membuatnya sombong dan meremehkan teman-teman yang lain, tentu saja keberkahan ilmu yang ia dapatkan akan menguap begitu saja, atau bahkan menjadi bencana dan mencelakakan dirinya. Atau seorang karyawan sebuah perusahaan yang baru dipromosikan jabatan yang lebih tinggi dan gajinya pun naik, ketika sampai di rumah dan ia bercerita keada istrinya, langsung saja istrinya membuat daftar belanja baru yang lebih besar. Alih-alih kenaikan gajinya menjadi berkah, justru membuat keluarganya semakin konsumtif dan bergaya hidup hedonis. Kalau seperti ini, dimana keberkahan dari prestasi yang telah diraih?

Hidup yang tidak berkah membuat apa yang telah susah payah diraih menjadi sia-sia, dan itu adalah musibah yang besar. Celakanya kita tidak cepat menyadari, bahkan sampai persoalan-persoalan besar mengepung dimana-mana. Sementara kita tidak mengetahui bahwa muara semua problematika hidup kita hanya satu; hilangnya keberkahan. Inilah mengapa kita penting berbicara tentang keberkahan hidup.

Ada orang yang berbangga dengan hartanya yang melimpah, kekuasaan, dan penghormatan manusia kepadanya, berbangga dengan kepintaran dan sekolah yang tinggi, atau anak-anak yang lucu dan pintar. Benar, bahwa itu semua adalah kenikmatan dari Allah SWT yang Mahabaik. Akan tetapi apakah semua itu telah membawa keberkahan bagi hidupnya? Mari sama-sama kita renungi perkara-perkara yang biasanya menjadi ukuran kesuksesan manusia itu, apakah ia membawa keberkahan atau sebaliknya?

Maka orientasi kita bukan lagi prestasi yang diukur oleh faktor-faktor kebendaan semata. Lebih dari itu, hidup adalah perjuangan akan sebuah nilai keimanan serta menjaga konsistensinya dengan ketakwaan.

Bagi saya, beginilah memahami keberkahan dengan sederhana, begini pula memahami firman-Nya:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: Al-Araf: 96).
Semoga diberkahilah kehidupanmu, sahabat. Barakallahu fiikum.*/Faris BQ, lc, MA

HIDAYATULLAH

Prasangka Baik

Hidup harus dihiasi dengan prasangka baik.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA: Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah prasangka karena prasangka itu sebohong-bohong pembicaraan. Janganlah kalian menjadi orang yang sensitif, mengorek-ngorek (memata-matai) kesalahan orang lain, saling bersaing, saling mendengki, dan jangan pula saling mengkhianati. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR Muslim).

Hidup harus dihiasi dengan prasangka baik. Jangan sampai tetangga kaya raya, padahal sehari-hari ada di rumah, timbul curiga. Dituduh jadi babi ngepet atau pesugihan. Tersebarlah fitnah yang lebih keji daripada pembunuhan. Padahal boleh jadi punya bisnis online atau yang sejenisnya karena ini masa berkembangnya ekonomi digital.

Era adaptasi kebiasaan baru pada masa pandemi menjadikan kewaspadaan masyarakat tinggi, tapi dipenuhi rasa khawatir, mudah curiga, bahkan cenderung ke arah berlebihan. Kewarasan makin langka dalam keseharian.

Iri dan dengki seperti sulit diobati. Senang melihat saudara susah, dilanda kesedihan bila melihat saudara meraih kesenangan.

Keberlimpahan informasi menjadi fakta kehidupan sehari-hari. Melalui telepon genggam, informasi masuk ke kamar, sejak bangun hingga menjelang tidur. Sebarannya membanjiri, jika tak pandai memilah, bisa menjadi korban kedunguan diri, menjadi penerima dan penyebar hoaks. Jarimu harimaumu, begitu pepatah hidup pada era kliktivisme.

Kita dipersatukan oleh iman, tak pantas saling menebar kebencian. Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari RA: Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam. Sehingga waktu keduanya berpapasan, masing-masing saling membuang muka. Dan yang paling baik adalah orang yang lebih dahulu memberi salam.” (HR Muslim).

Hidup hanya sekali, amal dan nama baik ataupun sebaliknya yang akan dibawa mati. Jagalah amanah, sekali berkhianat, corenglah diri, banyak orang yang akan mengingat.

Tidak perlu merasa bersaing dalam prestise diri dan materi karena masing-masing memiliki jalan hidup dan apa pun yang diperolehnya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Ilahi. Tak ada sebiji zarah pun yang luput dari penilaian-Nya, baik itu kebaikan maupun keburukan.

Lantas apa yang membuat iri dengan pencapaian saudara atau teman? Dengan mobil barunya, rumah mewah, atau jabatan yang menterengnya? Semuanya akan dikembalikan dan diminta pertanggungjawaban.

Hati yang penuh kemurahan dan senang dengan kesuksesan saudaranya akan diliputi kebahagiaan. Mereka yang iri dan dengki menyempitkan hati dan pikiran, merundungkan kehidupan penuh kesusahan.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah saling membenci, saling mendengki, dan jangan pula saling mengkhianati. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal bagi seorang Muslim, mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR Muslim).

Wallaahu a’lam.

OLEH IU RUSLIANA

REPUBLIKA ID

Kisah Mualaf: Peter Berharap Sang Ibu Dapat Hidayah

Bagi Peter Susilo, perkawinan tidak hanya menjadikannya berperan baru sebagai suami. Lebih dari itu, hidayah Allah SWT menyinari hatinya sejak dirinya menikah.

Sebelum menjadi seorang Muslim, pria 38 tahun itu menganggap agama hanyalah sebuah identitas yang melekat pada diri seseorang. Ia pun pernah beberapa kali berpindah iman, dari satu agama ke agama lainnya. Hal itu dilakukannya sebelum menemukan cahaya Islam.  

Sewaktu duduk di bangku SMA, lelaki yang lahir dan tumbuh besar di Bukittinggi, Sumatra Barat, itu tertarik dengan seorang gadis. Ber be da dengannya, perempuan itu me me luk Islam. Bahkan, gadis puja an nya itu termasuk Muslimah yang taat.  

Sebagai Muslim, Peter tentu saja harus menjalankan berbagai ibadah wajib yang telah disyariatkan. Di antaranya adalah sholat lima waktu dalam sehari, berpuasa pada bulan suci Ramadhan, dan menunaikan zakat. Semua itu membutuhkan ilmu dan kemampuan. Sholat, misalnya, tidak mungkin dilakukan tanpa mampu menghafalkan surat al-Fatihah. 

Dengan dukungan istrinya, Peter berusaha untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Alhasil, dia mempelajari berbagai aspek dalam Islam. Ia belajar membaca Alquran, berpuasa, dan sebagainya. Lama-kelamaan, semua yang dilakukannya itu menumbuhkan komitmen besar dalam dirinya; tekad untuk terus mendalami agama ini. Tidak sekadar ikut-ikutan menjadi Muslim. 

Ramadhan 2012 menjadi momentum baginya. Mulai saat itu, dirinya lebih tekun dalam belajar sholat, puasa, dan zakat. Waktu itu, ia sempat merasa kesulitan untuk membaca Alquran. Sebab, bahasa Arab begitu sukar untuk dilafalkan atau dibaca aksaranya. Betapapun demikian, Peter tetap sabar dan terus berupaya. 

Begitu pula dengan berpuasa. Ibadah ini ternyata membutuhkan tekad kuat agar dapat ditunaikan secara sempurna. Namun, Peter tak pernah merasa terbebani. Ia justru menyambut gembira satu bulan penuh Ramadhan. Pada malam hari, ia dan istrinya menunaikan sholat tarawih berjamaah, lalu tadarus Alquran. Pada dini hari menjelang subuh, saatnya sahur sebagai bekal menjalani puasa sehari penuh.

Suatu hari, Peter mengikuti sebuah pengajian yang disiarkan via radio. Tiba-tiba, ia merasa tersadar. Mubaligh yang mengisi kajian itu menerangkan kepada para pendengar tentang hikmah kehidupan.

Pada faktanya, hidup hanyalah sementara. Yang pasti adalah kematian. Karena itu, boleh jadi ibadah yang dilakukan pada hari ini justru merupakan yang terakhir kalinya.  

Sholat subuh, misalnya. Mungkin pagi tadi sudah sholat, tetapi apakah besok atau hari yang akan da tang (bisa sholat subuh)? Belum tentu. Jangan-jangan usia ini tidak sampai di subuh esok harinya, kata Peter menirukan ceramah ustaz ter sebut.  

Tausiyah tersebut begitu menancap dalam benaknya. Sejak saat itu, dirinya menjadi lebih tekun dalam mendalami Islam. Komitmennya sebagai Muslim untuk terus menjadi hamba Allah yang bertakwa semakin menguat. Ia meyakini dengan sepenuh hati bahwa Islam adalah agama yang benar, pilihannya tepat untuk memeluk agama Allah.  

Berbeda keadaannya dengan dahulu sebelum menikah, kini Peter sungguh-sungguh berislam. Apalagi, ia juga mengetahui bagaimana Islam mengajarkan kewajiban seorang suami atas keluarganya.

Agar keluarganya menjadi sakinah, mawaddah wa rahmah, si suami pun harus terlebih dahulu memantaskan dirinya. Tidak bisa, umpamanya, menyuruh istri dan anak-anak untuk sholat lima waktu bila si kepala keluarga justru lalai dari mengerjakan ibadah wajib tersebut. 

Alhamdulillah, sang istri selalu mendampinginya dalam upaya menjadi pribadi yang lebih bertakwa. Peter pun lebih giat lagi dalam mengikuti berbagai kajian keagamaan. Selain itu, ia juga sering menyaksikan berbagai video dakwah di media-media sosial. Hal itu dilakukannya untuk terus meningkatkan keimanan. 

Pada 2018, ia bergabung dengan komunitas Mualaf Center Kalimantan Timur. Sejak menjadi aktivis di sana, ia merasa hidupnya semakin berkah. Apalagi, semenjak dirinya meninggalkan berbagai hal yang terkait urusan riba. 

Ya, beberapa tahun lalu ia memutuskan untuk berwiraswasta. Dengan modal pinjaman dari bank, ia pun membangun usaha sendiri dalam bidang percetakan dan periklanan. Memang, untung diraihnya, tetapi omzet yang ada terasa cepat habis.

Seorang kawan kemudian mengajaknya untuk bergabung dengan komunitas anti-riba pada 2017. Sejak itu, Peter lebih mengetahui hukum riba dalam ajaran Islam. Ia mengingat, seorang ustaz menunjukkan kepadanya surat al-Baqarah ayat 276. Artinya, Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.

Maka perlahan-lahan ia berupaya lepas dari jeratan riba. Meskipun sulit dan sempat terkendala, akhirnya Peter berhasil. Saya sebelumnya merasa, hasil usaha saya seperti tidak terlihat. Habis untuk membayar leasing. “Setelah lunas semua, kini lebih terlihat. Malahan, saya merasa penghasilan saya lebih berkah,” tuturnya  

Kini, ia terus berupaya menjadi pribadi yang selalu bertakwa kepada Allah SWT. Salah satu caranya ialah dengan terus menyambung tali silaturahim. Ia mengingat, pada awal memutuskan diri untuk memeluk Islam, keluarganya tidak bisa menerima. Penolakan juga datang dari sosok yang sangat dihormati dan dicintainya, yakni ibu.

Hingga saat ini, Peter masih meyakinkan sang ibu tentang pilihannya ini. “Saya selalu berdoa, semoga ibu saya mendapatkan hidayah dan menerima ikhlas tentang keislaman saya. Satu tahun sekali saya selalu sempatkan untuk mengunjungi ibu saya yang kini menetap di Bali,” ucapnya.

IHRAM

Menelan Sisa Makanan Saat Shalat Apakah Membatalkan Shalat?

Ketika sedang menjalankan ibadah shalat, siapapun tidak diperbolehkan hukumnya makan dan minum, karena hal itu dapat mengantarkan terhadap hilangnya kekhusyu’an dan juga dapat membatalkan shalatnya. Bukan hanya itu, makan dan minum juga tidak layak jika dilakukan seseorang ketika sedang menghadap Allah.

Sebagaimana kita ketahui bersama makan dan minum saat menjalankan shalat jelas membatalkan shalat itu sendiri. Pertanyaannya adalah bagaimana jika sekedar menelan sedikit sisa makanan atau meminum tetesan air yang masuk ke rongga mulut apakah itu juga dapat membatalkan shalat?

Melakukan aktivitas makan atau minum saat shalat jika hal itu dilakukan dengan disengaja meskipun makanannya sedikit seperti menelan sisa makanan di dalam mulut, maka ha itu tetap dikategorikan makan yang dapat membatalkan shalat.

Yang menjadi barometer dalam problem makan dan minum saat shalat adalah kesengajaan. Jika sengaja menelan sisa makanan meskipun sedikit, maka shalatnya dihukumi batal.

Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi dalam kitabnya Fathul Qarib menjelaskan, bahwa makan dan minum ataupun menelan sisa makanan saat shalat, baik itu banyak maupun sedikit tetap membatalkan shalat. Dalam hal ini pun menelan tetesan bekas air wudhu ataupun tetesan air yang lain juga membatalkan shalat,

والذي يبطل الصلاة الأكل والشرب كثيرا كان المأكول والمشروب أو قليلا إلا أن يكون الشخص في هذه الصورة جاهلا تحريم ذلك

Diantara hal yang membatalkan shalat adalah pekerjaan makan dan minum, baik itu banyak maupun sedikit, kecuali jika seorang tersebut tidak mengetahui bahwa hal tersebut haram hukumnya. (Fathul Qarib, Hal: 16)

Dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji disebutkan bahwa jika dengan sengaja menelan sisa makanan saat shalat walaupun hanya sedikit, maka shalatnya batal.

وحد المبطل من ذلك للمتعمد اي قدر من الطعام او الشراب مهما كان قليلا

Ukuran yang membatalkan shalat dari makan dan minum adalah jika disengaja; seperti apapun ukuran dari makanan dan minuman tersebut, meskipun sedikit. (Al-Fiqhul Manhaji, hal: 128)

Apabila sisa makanan tersebut sedikit dan tidak sengaja, maka shalatnya tidak batal. Namun walaupun tidak disengaja dan makanan tersebut banyak, maka shalatnya tetap batal. Dalam kitab Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab, Imam Nawawi mengatakan,

فإن ابتلع شيئاً مغلوباً ، بأن جرى الريق بباقي الطعام بغير تعمد منه ، لم تبطل صلاته بالاتفاق

Namun jika ia menelan sisa makanan karena tidak bisa dikendalikan, misalnya sisa makanan yang larut dengan ludah, tanpa sengaja, maka salatnya tidak batal dengan kesepakatan ulama. (Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab, Juz 4, hal: 89)

Sedikitnya banyaknya sisa makanan dihitung kira-kira sebesar biji wijen atau lebih, dan dihitung sedikit jika sisa makanannya tidak sampai ukuran besar biji wijen. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji sebagaimana berikut,

اما بالنسبة لغير التعمد فيشترط ان يكون كثيرا في العرف. وقد قدر الفقهاء الكثير بما يبلغ مجموعه قدر حمصة فلو كان بين اسنانه بقايا من طعام لا يبلغ هذ ا القدر فبلعها مع الريق دون قصد لم تبطل

Bagi yang tidak sengaja, maka bisa batal jika sisa makanan tersebut dihitung banyak dalam kebiasaan. Ulama fikih telah menetapkan bahwa makanan dihitung banyak jika mencapai ukuran biji wijen. Maka jika di antara sela-sela gigi seseorang terdapat sisa makanan yang tidak sampai sebesar ukuran wijen, kemudian ditelan bersama ludah tanpa disengaja, maka salatnya tidak batal.( Al-Fiqhul Manhaji, hal: 128)

Berdasarkan penjelasan oleh ulama-ulama di atas, dapat kita ketahui bahwa jika menelan sisa makanan dengan sengaja, entah itu banyak atau sedikit, maka shalatnya batal. Jika tidak sengaja menelan sisa makanan yang sedikit, maka shalatnya dihukumi tidak batal.

Akan tetapi, walaupun saat shalat tidak sengaja menelan makanan tapi sisa makanan yang ditelan tersebut banyak, yaitu seukuran biji wijen atau lebih, maka shalatnya tetap dihukumi batal.

BINCANG MUSLIMAH

Penyembah Berhala di Masa Jahiliyah Juga Beriman?

Beriman Sekaligus Menyekutukan Allah?

Pertanyaan ini mungkin terbetik dalam benak ketika membaca firman Allah ta’ala dalam al-Quran surat Yusuf ayat 106. Allah ta’ala berfirman,

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” [Yusuf: 106]

Mengapa Allah ta’ala menetapkan keberadaan iman pada diri penyembah berhala? Padahal kita tahu bahwa keimanan dan kesyirikan besar ( syirik akbar) tidak mungkin bersatu. Jika demikian, apa makna ayat di atas?

Keimanan  Penyembah Berhala

Keimanan yang dimaksud dalam ayat di atas adalah pengakuan (al-iqrar) dan pembenaran (at-tashdiq), yang merupakan hal nyata yang dilakukan oleh kaum musyrikin. Mereka mengakui rububiyah Allah ta’ala. Mereka tidak mengingkari bahwa Sang Pencipta, Sang Pemberi rezeki, Sang Penguasa, Sang Pengatur, Yang Maha Menghidukan, Yang Maha Mematikan adalah Allah ta’ala. Namun, bersama dengan pengakuan tersebut, mereka membuat tandingan bagi Allah ta’ala dalam peribadahan alias melakukan kesyirikan.

Pengakuan inilah keimanan mereka yang diisyaratkan dalam ayat tersebut. Demikian pula dengan kesyirikan mereka dalam peribadahan, pun diisyaratkan dalam ayat itu. Hal itu tercermin dan tampak dalam kalimat talbiyah yang diucapkan kaum musyrikin ketika mereka berhaji,

لبيك لا شريك لك، إلا شريكا هو لك، تملكه وما ملك

Aku menjawab panggilan-Mu, ya Allah; tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang menjadi milik-Mu; Engkau menguasainya dan ia tidak berkuasa.” [HR. Muslim: 1185]

Ternyata meski mengakui rububiyah Allah ta’ala dan beribadah kepada-Nya, mereka juga mempersembahkan peribadahan kepada selain Allah. Tentu hal itu adalah kesyirikan yang nyata.

Hal ini menunjukkan bahwa keimanan yang selaras dengan ajaran agama dan menafikan kesyirikan besar tidak akan terwujud pada diri seseorang dengan hanya mengakui rububiyah Allah ta’ala. Akan tetapi, keimanan tersebut harus diiringi dengan perbuatan mengesakan Allah ta’ala dalam peribadahan. Itulah tauhid uluhiyah yang menjadi inti dakwah para rasul ‘alaihim as-salam.

Contoh Keimanan  Penyembah Berhala di Masa Jahiliyah

Di antara bukti pengakuan kaum musyrikin terhadap rububiyah Allah ta’ala adalah apa yang disampaikan dalam firman-Nya,

قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ. سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ. قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ. سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ . قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ . سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ فَأَنَّىٰ تُسْحَرُونَ

Katakanlah, ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah, ‘Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’ [al-Mukminun: 84-89]

Dalam surat al-Ankabut, Allah ta’ala berfirman,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).” [al-Ankabut: 61]

Juga firman-Nya,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’, Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah’, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” [al-Ankabut: 63]

Di antara bukti keimanan mereka adalah pengakuan kaum musyrikin terhadap kehendak (masyi’ah) Allah ta’ala yang merupakan tuntutan dari rububiyah Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ ۚ كَذَٰلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّىٰ ذَاقُوا بَأْسَنَا ۗ قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا ۖ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun’. Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?’ Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.” [al-An’am: 148]

Dan di antara atsar terkait ayat 106 surat Yusuf tersebut adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau menyatakan,

من إيمانهم، إذا قيل لهم: من خلق السماء؟ ومن خلق الأرض؟ ومن خلق الجبال؟ قالوا: الله، وهم مشركون

Di antara keimanan mereka (kaum musyrikin) adalah jika mereka ditanya siapa yang menciptakan langit, bumi, dan pegunungan? Niscaya mereka akan menjawab bahwa Allah yang menciptakan itu semua. Namun, meski begitu, mereka tetap berbuat kesyirikan.”

Ikrimah rahimahullah juga mengatakan,

تسألهم من خلقهم؟ ومن خلق السماوات والأرض، فيقولون: الله. فذلك إيمانهم بالله، وهم يعبدون غيره

Tanyalah mereka siapa yang menciptakan diri mereka, serta yang menciptakan langit dan bumi? Pasti mereka akan menjawab bahwa Allah yang menciptakan semua itu. Itulah keimanan mereka kepada Allah. Meski demikian, mereka juga tetap menyembah selain-Nya” [lihat Tafsir ath-Thabari, diakses di http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura12-aya106.html]

Bentuk keimanan yang juga dipraktikkan kaum musyrikin adalah keimanan temporer yang yang dilakukan ketika mereka menghadapi marabahaya. Ketika Allah ta’ala menyingkirkan marabahaya itu, serta-merta mereka kembali berbuat kesyirikan! Beberapa ayat dalam al-Quran menunjukkannya, di antaranya adalah firman Allah ta’ala,

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” [al-Ankabut: 65]

Kesimpulan

Keimanan yang dimaksud dalam ayat 106 surat Yusuf adalah pengakuan kaum musyrikin terhadap rububiyah Allah ta’ala. Pengakuan terhadap rububiyah ini boleh jadi masih mencakup kesyirikan seperti kondisi kaum musyrikin di zaman kenabian. Berbeda dengan pengakuan terhadap tauhid uluhiyah yang sama sekali tidak mengandung kesyirikan, dimana keberadaannya akan meniadakan kesyirikan besar.  Oleh karena itu, setiap orang yang hanya mengakui rububiyah Allah ta’ala belum menjadi orang beriman hingga bertauhid uluhiyah, karena ia tahu bahwa tauhid rububiyah adalah prasyarat tauhid uluhiyah.

Sebagian ulama memperluas mafhum (pemahaman) ayat di atas, di mana mereka memasukkan kesyirikan kecil tercakup dalam kesyirikan yang diisyaratkan dalam ayat tersebut. Dengan demikian, ayat tersebut juga mencakup seorang muslim yang terjangkit dengan kesyirikan kecil seperti terjerumus dalam riya dan semisalnya.  Wallahu ta’ala a’lam.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Sumber: https://muslim.or.id/66871-penyembah-berhala-di-masa-jahiliyah-juga-beriman.html