Menelan Sisa Makanan Saat Shalat Apakah Membatalkan Shalat?

Ketika sedang menjalankan ibadah shalat, siapapun tidak diperbolehkan hukumnya makan dan minum, karena hal itu dapat mengantarkan terhadap hilangnya kekhusyu’an dan juga dapat membatalkan shalatnya. Bukan hanya itu, makan dan minum juga tidak layak jika dilakukan seseorang ketika sedang menghadap Allah.

Sebagaimana kita ketahui bersama makan dan minum saat menjalankan shalat jelas membatalkan shalat itu sendiri. Pertanyaannya adalah bagaimana jika sekedar menelan sedikit sisa makanan atau meminum tetesan air yang masuk ke rongga mulut apakah itu juga dapat membatalkan shalat?

Melakukan aktivitas makan atau minum saat shalat jika hal itu dilakukan dengan disengaja meskipun makanannya sedikit seperti menelan sisa makanan di dalam mulut, maka ha itu tetap dikategorikan makan yang dapat membatalkan shalat.

Yang menjadi barometer dalam problem makan dan minum saat shalat adalah kesengajaan. Jika sengaja menelan sisa makanan meskipun sedikit, maka shalatnya dihukumi batal.

Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi dalam kitabnya Fathul Qarib menjelaskan, bahwa makan dan minum ataupun menelan sisa makanan saat shalat, baik itu banyak maupun sedikit tetap membatalkan shalat. Dalam hal ini pun menelan tetesan bekas air wudhu ataupun tetesan air yang lain juga membatalkan shalat,

والذي يبطل الصلاة الأكل والشرب كثيرا كان المأكول والمشروب أو قليلا إلا أن يكون الشخص في هذه الصورة جاهلا تحريم ذلك

Diantara hal yang membatalkan shalat adalah pekerjaan makan dan minum, baik itu banyak maupun sedikit, kecuali jika seorang tersebut tidak mengetahui bahwa hal tersebut haram hukumnya. (Fathul Qarib, Hal: 16)

Dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji disebutkan bahwa jika dengan sengaja menelan sisa makanan saat shalat walaupun hanya sedikit, maka shalatnya batal.

وحد المبطل من ذلك للمتعمد اي قدر من الطعام او الشراب مهما كان قليلا

Ukuran yang membatalkan shalat dari makan dan minum adalah jika disengaja; seperti apapun ukuran dari makanan dan minuman tersebut, meskipun sedikit. (Al-Fiqhul Manhaji, hal: 128)

Apabila sisa makanan tersebut sedikit dan tidak sengaja, maka shalatnya tidak batal. Namun walaupun tidak disengaja dan makanan tersebut banyak, maka shalatnya tetap batal. Dalam kitab Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab, Imam Nawawi mengatakan,

فإن ابتلع شيئاً مغلوباً ، بأن جرى الريق بباقي الطعام بغير تعمد منه ، لم تبطل صلاته بالاتفاق

Namun jika ia menelan sisa makanan karena tidak bisa dikendalikan, misalnya sisa makanan yang larut dengan ludah, tanpa sengaja, maka salatnya tidak batal dengan kesepakatan ulama. (Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab, Juz 4, hal: 89)

Sedikitnya banyaknya sisa makanan dihitung kira-kira sebesar biji wijen atau lebih, dan dihitung sedikit jika sisa makanannya tidak sampai ukuran besar biji wijen. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji sebagaimana berikut,

اما بالنسبة لغير التعمد فيشترط ان يكون كثيرا في العرف. وقد قدر الفقهاء الكثير بما يبلغ مجموعه قدر حمصة فلو كان بين اسنانه بقايا من طعام لا يبلغ هذ ا القدر فبلعها مع الريق دون قصد لم تبطل

Bagi yang tidak sengaja, maka bisa batal jika sisa makanan tersebut dihitung banyak dalam kebiasaan. Ulama fikih telah menetapkan bahwa makanan dihitung banyak jika mencapai ukuran biji wijen. Maka jika di antara sela-sela gigi seseorang terdapat sisa makanan yang tidak sampai sebesar ukuran wijen, kemudian ditelan bersama ludah tanpa disengaja, maka salatnya tidak batal.( Al-Fiqhul Manhaji, hal: 128)

Berdasarkan penjelasan oleh ulama-ulama di atas, dapat kita ketahui bahwa jika menelan sisa makanan dengan sengaja, entah itu banyak atau sedikit, maka shalatnya batal. Jika tidak sengaja menelan sisa makanan yang sedikit, maka shalatnya dihukumi tidak batal.

Akan tetapi, walaupun saat shalat tidak sengaja menelan makanan tapi sisa makanan yang ditelan tersebut banyak, yaitu seukuran biji wijen atau lebih, maka shalatnya tetap dihukumi batal.

BINCANG MUSLIMAH

Penyembah Berhala di Masa Jahiliyah Juga Beriman?

Beriman Sekaligus Menyekutukan Allah?

Pertanyaan ini mungkin terbetik dalam benak ketika membaca firman Allah ta’ala dalam al-Quran surat Yusuf ayat 106. Allah ta’ala berfirman,

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” [Yusuf: 106]

Mengapa Allah ta’ala menetapkan keberadaan iman pada diri penyembah berhala? Padahal kita tahu bahwa keimanan dan kesyirikan besar ( syirik akbar) tidak mungkin bersatu. Jika demikian, apa makna ayat di atas?

Keimanan  Penyembah Berhala

Keimanan yang dimaksud dalam ayat di atas adalah pengakuan (al-iqrar) dan pembenaran (at-tashdiq), yang merupakan hal nyata yang dilakukan oleh kaum musyrikin. Mereka mengakui rububiyah Allah ta’ala. Mereka tidak mengingkari bahwa Sang Pencipta, Sang Pemberi rezeki, Sang Penguasa, Sang Pengatur, Yang Maha Menghidukan, Yang Maha Mematikan adalah Allah ta’ala. Namun, bersama dengan pengakuan tersebut, mereka membuat tandingan bagi Allah ta’ala dalam peribadahan alias melakukan kesyirikan.

Pengakuan inilah keimanan mereka yang diisyaratkan dalam ayat tersebut. Demikian pula dengan kesyirikan mereka dalam peribadahan, pun diisyaratkan dalam ayat itu. Hal itu tercermin dan tampak dalam kalimat talbiyah yang diucapkan kaum musyrikin ketika mereka berhaji,

لبيك لا شريك لك، إلا شريكا هو لك، تملكه وما ملك

Aku menjawab panggilan-Mu, ya Allah; tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang menjadi milik-Mu; Engkau menguasainya dan ia tidak berkuasa.” [HR. Muslim: 1185]

Ternyata meski mengakui rububiyah Allah ta’ala dan beribadah kepada-Nya, mereka juga mempersembahkan peribadahan kepada selain Allah. Tentu hal itu adalah kesyirikan yang nyata.

Hal ini menunjukkan bahwa keimanan yang selaras dengan ajaran agama dan menafikan kesyirikan besar tidak akan terwujud pada diri seseorang dengan hanya mengakui rububiyah Allah ta’ala. Akan tetapi, keimanan tersebut harus diiringi dengan perbuatan mengesakan Allah ta’ala dalam peribadahan. Itulah tauhid uluhiyah yang menjadi inti dakwah para rasul ‘alaihim as-salam.

Contoh Keimanan  Penyembah Berhala di Masa Jahiliyah

Di antara bukti pengakuan kaum musyrikin terhadap rububiyah Allah ta’ala adalah apa yang disampaikan dalam firman-Nya,

قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ. سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ. قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ. سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ . قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ . سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ فَأَنَّىٰ تُسْحَرُونَ

Katakanlah, ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah, ‘Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’ [al-Mukminun: 84-89]

Dalam surat al-Ankabut, Allah ta’ala berfirman,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).” [al-Ankabut: 61]

Juga firman-Nya,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’, Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah’, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” [al-Ankabut: 63]

Di antara bukti keimanan mereka adalah pengakuan kaum musyrikin terhadap kehendak (masyi’ah) Allah ta’ala yang merupakan tuntutan dari rububiyah Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ ۚ كَذَٰلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّىٰ ذَاقُوا بَأْسَنَا ۗ قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا ۖ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun’. Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?’ Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.” [al-An’am: 148]

Dan di antara atsar terkait ayat 106 surat Yusuf tersebut adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau menyatakan,

من إيمانهم، إذا قيل لهم: من خلق السماء؟ ومن خلق الأرض؟ ومن خلق الجبال؟ قالوا: الله، وهم مشركون

Di antara keimanan mereka (kaum musyrikin) adalah jika mereka ditanya siapa yang menciptakan langit, bumi, dan pegunungan? Niscaya mereka akan menjawab bahwa Allah yang menciptakan itu semua. Namun, meski begitu, mereka tetap berbuat kesyirikan.”

Ikrimah rahimahullah juga mengatakan,

تسألهم من خلقهم؟ ومن خلق السماوات والأرض، فيقولون: الله. فذلك إيمانهم بالله، وهم يعبدون غيره

Tanyalah mereka siapa yang menciptakan diri mereka, serta yang menciptakan langit dan bumi? Pasti mereka akan menjawab bahwa Allah yang menciptakan semua itu. Itulah keimanan mereka kepada Allah. Meski demikian, mereka juga tetap menyembah selain-Nya” [lihat Tafsir ath-Thabari, diakses di http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura12-aya106.html]

Bentuk keimanan yang juga dipraktikkan kaum musyrikin adalah keimanan temporer yang yang dilakukan ketika mereka menghadapi marabahaya. Ketika Allah ta’ala menyingkirkan marabahaya itu, serta-merta mereka kembali berbuat kesyirikan! Beberapa ayat dalam al-Quran menunjukkannya, di antaranya adalah firman Allah ta’ala,

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” [al-Ankabut: 65]

Kesimpulan

Keimanan yang dimaksud dalam ayat 106 surat Yusuf adalah pengakuan kaum musyrikin terhadap rububiyah Allah ta’ala. Pengakuan terhadap rububiyah ini boleh jadi masih mencakup kesyirikan seperti kondisi kaum musyrikin di zaman kenabian. Berbeda dengan pengakuan terhadap tauhid uluhiyah yang sama sekali tidak mengandung kesyirikan, dimana keberadaannya akan meniadakan kesyirikan besar.  Oleh karena itu, setiap orang yang hanya mengakui rububiyah Allah ta’ala belum menjadi orang beriman hingga bertauhid uluhiyah, karena ia tahu bahwa tauhid rububiyah adalah prasyarat tauhid uluhiyah.

Sebagian ulama memperluas mafhum (pemahaman) ayat di atas, di mana mereka memasukkan kesyirikan kecil tercakup dalam kesyirikan yang diisyaratkan dalam ayat tersebut. Dengan demikian, ayat tersebut juga mencakup seorang muslim yang terjangkit dengan kesyirikan kecil seperti terjerumus dalam riya dan semisalnya.  Wallahu ta’ala a’lam.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Sumber: https://muslim.or.id/66871-penyembah-berhala-di-masa-jahiliyah-juga-beriman.html

Kiat-Kiat agar Doa Dikabulkan (Bag. 3)

Baca pembahasan sebelumnya Kiat-Kiat agar Doa Dikabulkan (Bag. 2)

Kiat Kedua : Berdoa di Waktu yang Mustajab

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan ada enam keadaan waktu mustajab terkabulnya doa, yaitu :

1. Saat Sepertiga Malam Terakhir

Waktu ini adalah di antara waktu yang paling mustajab terkabulnya doa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ ، مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ ، وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

“ Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, lalu Dia berfirman, ‘ Barangsiapa yang berdoa pada-Ku, Aku akan memperkenankan doanya. Barangsiapa yang meminta pada-Ku, pasti akan Aku beri. Barangsiapa yang meminta ampun pada-Ku, pasti akan Aku ampuni.’ ” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwasanya waktu ini merupakan waktu mulia yang penuh dengan keberkahan dan sekaligus merupakan waktu yang paling mustajab untuk berdoa. Maka hendaknya setiap muslim bersungguh-sungguh dalam mengambil kesempatan baik ini dan bersemangat agar tidak terluput satu malam pun untuk tidak berdoa kepada Allah di waktu yag penuh berkah ini.

2. Ketika Selesai Azan

Maksudnya adalah waktu tepat setelah azan selesai dikumandangkan, karena sesunggguhnya saat ini merupakan waktu yang agung untuk berdoa. Waktu ini lebih spesifik dibanding waktu antara azan dan iqamah, karena terdapat dalil yang menunjukkan bahwa barangsiapa mendengar azan, kemudian mengikuti ucapan muadzin, kemudian langsung berdoa setelah selesai azan maka doanya mustajab. Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amru radhiyallahu ‘anhu dalam sebuah hadis,

أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْمُؤَذِّنِينَ يَفْضُلُونَنَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « قُلْ كَمَا يَقُولُونَ فَإِذَا انْتَهَيْتَ فَسَلْ تُعْطَهْ

“ Ada seseorang yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh para muadzin telah mengungguli kami dalam kebaikan.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab, ‘Ucapkanlah seperti yang mereka kumandangkan. Jika  telah selesai maka berdoalah niscaya akan dikabulkan.’ (HR. Abu Dawud, hasan)

Hadis ini menunjukkan keterkaitan doa dengan mendengar azan dan mengikuti ucapan muadzin. Apabila seorang muslim mendengar azan, kemudian mengikuti ucapan muadzin, kemudian mengucapkan doa setelah azan, hendaknya setelah itu dia tidak berhenti namun dilanjutkan dengan berdoa dengan permohonan yang diinginkannya karena waktu tersebut adalah kesempatan besar untuk diijabahnya doa.

3. Antara Azan dan Iqomah

Terdapat hadis mengenai keutamaan berdoa di waku antara azan dan iqomah. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

الدُّعَاءُ لَا يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ

“ Doa antara azan dan iqamah tidak akan tertolak. “ (H.R Tirmidzi, sahih)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إذا نُودي بالصلاةِ فُتِّحتْ أبوابُ السماءِ ، و اسْتُجيبَ الدعاءُ

“ Apabila azan dikumandangkan, maka terbukalah pintu-pintu langit dan doa dikabulkan.”  (H.R Ath-Thuyalasi dalam musnadnya, sahih)

Maka hendaknya setiap mukmin memperbanyak untuk dirinya di waktu-waktu ini dengan doa meminta kebaikan dari Allah Rabbul ‘aalamin.

4. Di Akhir Salat Wajib

Maksudnya adalah di akhir salat wajib sebelum salam. Keadaan ini merupakan waktu yang utama. Ini merupakan waktu yang tepat terkabulkan doa karena di sini terkumpul banyak sebab-sebab terkabulnya doa. Pada saat ini seorang muslim dalam kondisi yang suci, menghadap ke arah kiblat, sebelumnya bertakbir dan mengagungkan Allah serta membaca firman-Nya, kemudian rukuk dan sujud dengan penuh penghinaan diri kepada Allah Rabbul ‘aalamiin, kemudian duduk tasyahud setelah amal-amal yang agung sebelumnya, kemudian mengucapkan doa tahiyat, kemudian setelahnya mengucapkan persaksian tauhidullah, kemudian berselawat kepada Nabi dengan selawat yang sempurna –yaitu shalawat Ibrahimiyyah-. Aktifitas ini seluruhnya merupakan bentuk penghambaan yang agung yang menjadikan kondisi sebelum salam ini merupakan waktu yang paling penting pengkabulan Allah terhadap setiap doa orang yang salat dan meminta kepada-Nya. Oleh karena itu, terdapat hadis dari sahabat  Ibnu Mas’ud tatkala Nabi mengajarkan tasyahud akhir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثم يتخير من الدعاء أعجبه إليه فيدعو

Kemudian hendaknya ia memilih dari doa yang paling ia senangi, lalu ia berdoa.” (H.R Bukhari)

5. Ketika Khatib Naik Mimbar Sampai Selesai Salat Jumat

Terdapat hadis yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنَّ في الجُمُعَةِ لَساعَةً، لا يُوافِقُها مُسْلِمٌ، يَسْأَلُ اللَّهَ فيها خَيْرًا، إلَّا أعْطاهُ إيَّاهُ

“ Sesungguhnya pada hari Jum’at ada suatu waktu, tidaklah seorang hamba meminta kepada Allah kebaikan melainkan Allah akan berikan kepadanya.” (H.R Muslim)

Mayoritas ulama berpendapat bahwasanya waktu yang dimaksud yaitu sejak naiknya imam ke atas mimbar sampai selesainya salat Jumat. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan sahabat Abu Musa Al Asy’ari,

هي ما بَينَ أن يجلِسَ الإمامُ إلى أنْ تُقضَى الصَّلاةُ

“ Waktu tersebut adalah antara duduknya imam sampai berakhirnya salat. “ (H.R Muslim)

Sudah selayakanya setiap muslim bersemangat mengaminkan doa khatib dan menaruh perhatian untuk banyak berdoa takala menunaikan salat jumat, lebih-lebih lagi tatakala sujud, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ العَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ ، فَأكْثِرُوا الدُّعَاءَ

“ Keadaan paling dekat antara hamba dengan rabb-Nya adalah tatakala sujud, maka perbanyaklah doa ketika itu. “ (H.R Muslim)

Demikian pula hendaknya bersungguh-sungguh untuk bedoa ketika tasyahud akhir sebelum salam, karena hal ini merupakan waktu terkabulnya doa sebagaimana penjelasan di atas.

6. Waktu Setelah Asar Hari Jumat

Yang dimaksud adalah waktu akhir setelah shalat asar sampai terbenamnya matahari di hari Jumat. Terdapat hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

“ Siang hari jumat ada dua belas jam. Tidaklah seorang muslim meminta kepada Allah sesuatu kecuali Allah pasti akan kabulkan. Maka mintalah di waktu  setelah salat ashar. “ (H.R Abu Dawud, sahih)

Oleh karena itu, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam kitab beliau Zaadul Ma’aad  bahwasanya yang paling rajih tentang batas waktu yang utama di hari Jumat yang merupakan waktu terkabulnya doa adalah dua pendapat berikut:

Pertama, ketika imam naik mimbar sampai berakhirnya waktu salat Jumat.

Kedua, akhir waktu setelah salat asar sampai sebelum maghrib di hari Jumat.

Hendaknya setiap muslim bisa menyemangati dirinya sendiri untuk tidak melewatkan dua waktu yang utama ini dengan bersungguh-sungguh berdoa di waktu tersebut serta menaruh perhatian yang khusus sehingga bisa meraih kebaikan yang banyak.

Inilah di antara enam kondisi yang merupakan waktu terkabulnya doa. Tentunya penyebuatan enam kondisi di atas hanyalah contoh dan bukan merupakan pembatasan. Masih banyak kondisi lain yang juga merupakan kondisi terkabulkannya doa sebagaimana disebutkan dalam banyak dalil  lainnya.

Inilah kiat penting yang kedua agar doa dikabukan, yaitu memperhatikan waktu dan kondisi mustajab terkabulnya doa.  InsyaAllah bersambung dengan penjelasan kiat-kiat lainnya agar doa dikabulkan.

Sumber : Ad Duaa alladzii Laa Yurod  karya  Syekh Prof. Dr. ‘Aburrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al Badr hafidzahullah yang diunduh dari : https://www.al-badr.net/ebook/192

Penyusun : Adika Mianoki

Sumber: https://muslim.or.id/66869-kiat-kiat-agar-doa-dikabulkan-bag-3.html

Kisah : Memilih Tenggelam dalam Kolam Madu

Setetes madu jatuh keatas tanah. Semut kecil meliriknya dan segera menghampiri tetesan itu. Perlahan ia mendekat mencicipi manisnya madu itu.

Ia ingin pergi tapi aroma madu itu menggodanya. Sekali lagi ia nikmati madu itu seteguk lagi. Lalu ia hendak pergi.

Sebelum pergi, semut itu menoleh kembali pada tetesan madu. “Sepertinya aku kurang puas jika menikmati madu itu dari pinggirnya saja.”

Akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam tetesan madu itu demi menikmatinya lebih dalam dan lebih puas.

Masuklah semut kecil yang lugu ini kedalam tetesan madu. Ia pun merasakan kenikmatan yang luar biasa.

Namun sayang, tak butuh waktu lama ia pun kesulitan bernafas. Ia berusaha keluar dari kubangan madu itu namun tak mampu. Tubuhnya menempel ke tanah dan tak bisa bergerak karena terbelenggu oleh madu.

Begitulah kondisinya hingga ia pun harus mati karena menuruti nafsu. Andai ia puas dengan kenikmatan yang pertama, kisahnya tidak akan berakhir tragis seperti ini.

Orang bijak berpesan,

“Dunia ini bagai kolam madu yang besar. Siapa yang merasa cukup dengan kenikmatan di pinggirannya maka ia akan selamat. Dan siapa yang memilih untuk tenggelam ke lautan madu itu, maka ia akan binasa.”

Karena itu Al-Qur’an berulang kali memperingatkan bahwa dunia ini hanyalah kesenangan yang membuat manusia lalai dan terperdaya.

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS.Ali ‘Imran:185)

Kesenangan duniawi terus membuat manusia lalai hingga kematian menjemputnya, sementara ia tetap saja belum merasa puas dengan semua kenikmatan tersebut.

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ – حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS.At-Takatsur:1)

Dalam sebuah Hadist Qudsi, Allah swt berpesan,

يَا ابْنَ آدَم عِنْدَكَ مَا يُكْفِيْكَ . وَأَنْتَ تَطْلُبُ مَا يُطْغِيْكَ . لَا بِقَلِيْل تَقْنَع، وَلَا بِكَثِيْر تَشْبَع.

إِنْ أَنْتَ أَصْبَحْتَ مُعَافَى فِي جَسَدِك، آمِنًا فِي سِرْبِك، عِنْدَكَ قُوْت يَوْمِك، فَقُلْ عَلَى اللَّهِ العَفَاء.

“Wahai anak Adam, engkau memiliki sesuatu yang cukup namun dirimu meminta sesuatu yang membuatmu menjadi sewenang-wenang.

Engkau tidak merasa cukup dengan yang sedikit dan tidak merasa kenyang dengan sesuatu yang banyak.

Bila engkau bangun di pagi hari dengan tubuh yang sehat, lingkungan yang aman dan memiliki apa yang kau butuhkan untuk hari itu maka ucapkan “Semua ini cukup.”

Semoga bermanfaat

KHAZANAH ALQURAN

Kekuatan Istighfar: Penyebab Kemenangan dalam Perang

BETAPA banyak peperangan antara kaum Muslimin dan orang-orang kafir  yang sedang berlangsung pada saat ini, baik berupa perang urat syaraf, perang informasi, perang peradaban, perang pemikiran, maupun perang militer sebagaimana yang terjadi di Palestina, Libanon, Iraq, Afghanistan, Cechnya, Somalia, Sudan  dan lain-lainnya.

Para tentara Islam sangat memerlukan istighfar agar diberikan kekuatan oleh Allah dan dikuatkan kedudukan mereka. Allah berfiman :

وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُواْ لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَمَا ضَعُفُواْ وَمَا اسْتَكَانُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَوَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلاَّ أَن قَالُواْ ربَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada doa mereka selain ucapan: “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS: Ali Imran : 146-147).

Dari sini, kita mengetahui bahwa kekalahan-kekalahan yang diderita kaum Muslimin dalam segala bidang, termasuk dalam bidang militer, karena banyaknya dosa yang mereka kerjakan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala ketika menerangkan sebab kekalahan yang diderita kaum Muslimin dalam Perang Uhud :

وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُم بِإِذْنِهِ حَتَّى إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الأَمْرِ وَعَصَيْتُم مِّن بَعْدِ مَا أَرَاكُم مَّا تُحِبُّونَ مِنكُم مَّن يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ الآخِرَةَ ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ وَلَقَدْ عَفَا عَنكُمْ وَاللّهُ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada sa’at kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesungguhnya Allah telah mema’afkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang orang yang beriman.” (QS: Ali Imran : 152).

Allah juga berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ تَوَلَّوْاْ مِنكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُواْ وَلَقَدْ عَفَا اللّهُ عَنْهُمْ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

”Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi ma’af kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS: Ali Imran : 155).

Dua ayat dari surat Ali Imran di atas, menerangkan kepada kita bahwa sebab utama kekalahan yang diderita kaum Muslimin pada perang Uhud adalah karena sebagian dari pasukan panah tidak taat kepada perintah Rasulullah ﷺ untuk tetap berada di atas bukit. Dan kalau diselidiki lebih jauh lagi, ternyata yang mendorong mereka menyelisihi perintah Rasulullah adalah keinginan mereka untuk ikut mengumpulkan harta rampasan perang. Allah mengungkapkannya dengan kalimat: ”minkum man yuridu dunya“ (sebagian dari kamu menginginkan dunia).

Kemudian pada ayat 155 dari Surat Ali Imran di atas, Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang lari terbirit-birit pada Perang Uhud penyebabnya adalah dosa-dosa yang pernah mereka kerjakan pada masa lalu.  Berkata Ibnu Katsir  di dalam tafsirnya (2/146) :

ببعض ذنوبهم السالفة، كما قال بعض السلف: إن من ثواب الحسنة الحسنة بعدها، وإن من جَزَاء السيئةَ السيئة بعدها

“(Mereka digelincirkan syetan dan kalah) disebabkan karena dosa-dosa mereka yang terdahulu (sebelum berperang), sebagaimana perkataan para ulama salaf : “Sesungguhnya balasan dari perbuatan baik adalah kebaikan sesudahnya, dan sesungguhnya balasan perbuatan jelek adalah kejelekan sesudahnya,“ demikian kutip Ibnu Katsir.*/Dr. Ahmad Zain An-NajahPusat Kajian Fiqih (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Konsisten Beramal Shalih

Peribahasa mengatakan: ada asap, ada api. Jadi, “api” apakah yang mengepulkan “asap” kemuliaan dari dalam diri mereka? Kita berharap dapat menguak sedikit rahasia ini, dan meraih manfaat dengan meneladaninya.

Di dalam Al-Qur’an, sebenarnya Allah telah mengisyaratkan rahasia di balik semangat mereka, dengan berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 218).

Perasaan senada juga diabadikan oleh Allah dalam surah Al-Ma’idah ayat 83-84: “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui; seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi. Mengapa kami tidak mau beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang shalih?”

Ayat-ayat ini menegaskan bahwa pengharapan kepada rahmat dan karunia Allah-lah yang mendorong seseorang konsisten di jalan-Nya. Pengharapan adalah bahan bakar bagi api iman, sehingga terus berkobar, menerangi, menghangatkan. Tanpa pengharapan, iman akan padam dan membeku sehingga mandul dan tidak menghasilkan amal shalih. Maka, wajar jika salah satu aspek terpenting dalam iman adalah ar-raja’ (pengharapan).

Bayangkanlah seseorang yang berlari 42 km dalam lomba marathon, atau menempuh ratusan kilometer dalam lomba balap sepeda. Mengapa mereka terus maju, walau pun didera kelelahan yang amat sangat?

Ya, karena mereka berharap bisa sampai ke garis finis dan mengambil hadiahnya, atau tujuan-tujuan lain. Jika saja tidak ada harapan apa pun di balik kerja kerasnya, padahal ia terus berjuang mati-matian, maka kita pantas mempertanyakan kewarasan akalnya.

Namun, semata-mata memiliki pengharapan kepada Allah tidak selalu mencukupi untuk melecut semangat beramal shalih. Fakta menunjukkan betapa banyaknya orang yang cita-citanya setinggi langit, namun usahanya tidak pantas dihargai.

Mengapa mereka berani memelihara angan-angan hebat, dan pada saat bersamaan tidak malu untuk duduk berpangku tangan, enggan memeras keringat guna mewujudkannya? Ya, karena mereka tidak merasa takut terhadap akibat perbuatannya.

Maka, Islam memperkenalkan konsep al-khauf (takut), sebagai penyeimbang dari ar-raja’ (pengharapan). Keduanya harus setimbang dalam diri seorang muslim, agar ia konsisten beramal shalih.

Mutharrif bin ‘Abdillah bin asy-Syikhir (ulama’ Tabi’in) bercerita: kami pernah mendatangi Yazid bin Shauhan, dan beliau berkata, “Wahai hamba-hamba Allah, bermurah hatilah dan berbuat baiklah; karena sesungguhnya sarana seorang hamba untuk sampai kepada Allah itu ada dua saja, yaitu takut dan harap.” (Riwayat al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab).

Abu ‘Ali Ahmad bin Muhammad ar-Rudzabari (w. 322 H) juga berkata, “Takut dan harap itu ibarat sepasang sayap burung. Jika keduanya sejajar, maka burung pun akan seimbang dan sempurnalah terbangnya. Jika salah satu dari keduanya berkurang, maka akan berkurang pulalah keseimbangan dan kesempurnaan terbangnya. Jika kedua-duanya lenyap, maka burung itu pasti terancam kematian. Oleh karenanya ada dikatakan: ‘seandainya takut dan harap dalam (hati) seorang mukmin itu ditimbang, niscara akan sejajar.” (Riwayat al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab).

Perasaan takut dan harap memang harus dijaga agar tetap seimbang. Sebab, jika jiwa seseorang cuma didominasi ketakutan, ia akan menjadi gila. Sebaliknya, jika hanya dipenuhi pengharapan, ia akan lalai dan sembrono. Hanya saja, apa yang seharusnya diharapkan dan ditakuti, agar semangat beramal shalih senantiasa terpelihara?

لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤمِنُ مَا عِنْدَ الله مِنَ العُقُوبَةِ ، مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ ، وَلَوْ يَعْلَمُ الكَافِرُ مَا عِنْدَ الله مِنَ الرَّحْمَةِ ، مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أحَدٌ

“Seandainya seorang Mukmin mengetahui adzab yang ada di sisi Allâh, niscaya tidak ada seorang pun yang akan terlalu berambisi untuk meraih Surga-Nya. Dan seandainya orang kafir mengetahui kasih sayang Allâh, niscaya tidak ada seorang pun yang akan berputus asa dari meraih Surga-Nya.” (Riwayat Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah).

Jadi, jangan merasa aman dari ancaman hukuman dan siksa Allah yang tiada taranya. Sebab kita bukan makhluk yang bersih dari kesalahan dan dosa.

فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُعَذِّبُ عَذَابَهُۥٓ أَحَدٌ

وَلَا يُوثِقُ وَثَاقَهُۥٓ أَحَدٌ

Allah berfirman: “Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya. Dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya.” (QSL:  Al-Fajr: 25-26).

Akan tetapi, jangan segan untuk bernaung di bawah keteduhan rahmat-Nya yang lebih lapang dari seluruh jagad raya. Rasulullah ﷺ bersabda:

ن لله مائة رحمة أنزل منها رحمة واحدة بين الجن والإنس والبهائم والهوام، فيها يتعاطفون، وبها يتراحمون، وبها تعطف الوحش على ولدها، وأخر الله تسعا وتسعين رحمة يرحم بها عباده يوم القيامة

“Sesungguhnya Allah memiliki 100 rahmat. Salah satu di antaranya diturunkannya kepada kaum jin, manusia, hewan, dan tetumbuhan. Dengan rahmat itulah mereka saling berbelas kasih dan menyayangi. Dengannya pula binatang liar mengasihi anaknya. Dan Allah mengakhirkan 99 rahmat untuk Dia curahkan kepada hamba-hamba-Nya pada hari kiamat.” (Riwayat Ahmad dari Abu Sa’id).

Semoga seimbangnya perasaan takut dan harap ini mampu mendorong kita beramal shalih, dan konsisten di dalamnya. Amin. Wallahu a’lam.*

Oleh: Alimin Mukhtar, Pengasuh PP Arrahmah-Malang

HIDAYATULLAH

Amalan Tukang Sol Sepatu Kalahkan Haji Ratusan Ribu Orang

Pada suatu masa ketika Abdullah bin Mubarak berhaji, ia tertidur di Masjidil Haram. Di dalam tidurnya, ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit, kemudian yang satu berkata kepada yang lain, “Berapa banyak orang yang berhaji pada tahun ini?”. “Enam ratus ribu,” jawab yang lain. 

Lalu, ia bertanya lagi, “Berapa banyak yang diterima?” Jawabnya, “Tidak seorang pun yang diterima, hanya ada seorang tukang sepatu dari Damsyik bernama Muwaffaq. Dia tidak dapat berhaji, tetapi diterima hajinya sehingga semua yang haji pada tahun itu diterima dengan berkat hajinya Muwaffaq.” 

Ketika Abdullah bin Mubarak men dengar percakapannya itu, maka ter bangun lah ia dari tidurnya, dan langsung berangkat menuju Damsyik mencari orang yang bernama Muwaffaq. Ketika bertemu dengan Muwaffaq, Abdullah bin Mubarak menceritakan mimpinya dan bertanya, “Kebaikan apakah yang telah Engkau lakukan sehingga mencapai derajat yang sedemikian itu?” 

Jawab Muwaffaq, “Tadinya aku ingin berhaji, tapi tidak terlaksana karena ke adaanku, tetapi mendadak aku mendapat uang tiga ratus dirham dari pekerjaanku membuat dan menambal sepatu, lalu aku berniat haji pada tahun ini. Pada saat itu istriku sedang hamil maka suatu hari, dia mencium bau makanan dari rumah tetanggaku dan ingin mencicipi makanan itu. Aku pun pergi ke rumah tetanggaku dan menyampaikan tujuanku kepadanya.” 

Tetanggaku kemudian menjelaskan, “Aku terpaksa membuka rahasiaku, sebenarnya anak-anakku sudah tiga hari tanpa makanan, karena itu aku keluar mencari makanan untuk mereka. Tiba-tiba menemukan bangkai himar di suatu tempat, lalu aku potong bagian tubuhnya dan aku bawa pulang untuk dimasak. Adapun makanan ini halal bagi kami dan haram untukmu.” 

Ketika aku mendengar jawaban itu, aku segera kembali ke rumah dan meng ambil uang tiga ratus dírham, dan kuserahkan kepada tetanggaku tadi seraya menyuruhnya agar membelanjakan uang itu untuk keperluan anak-anak yatim, yang ada dalam pemeliharaannya itu. 

“Sebenarnya hajiku adalah di depan pintu rumahku,” ujar Muwaffaq menutup kisahnya. Allahu Akbar. (Irsyadul ‘Ibad ila Sabilir Rasyad karya Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari).

Kisah di atas memberikan pelajaran berharga kepada kita, kaum Muslimin, bahwa sesungguhnya haji adalah amalan yang utama. Berjihad juga amalan utama, tetapi menyantuni anak yatim, orang miskin, dan orang telantar merupakan amalan yang lebih utama dan mulia. Beribadah haji itu untuk kepentingan pribadi, sedangkan menyantuni anak yatim dan memberikan makan kepada fakir miskin, menjadi ibadah sosial yang manfaatnya itu lebih besar. Meskipun belum berangkat haji, hal itu menyebab kan mabrurnya semua amalan ibadah lainnya. 

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran 92).

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa membantu keperluan saudaranya maka Allah akan membantu keperluannya.” (Muttafaq ‘alaih).

Oleh Imam Nur Suharno

IHRAM

Menjaga Semangat Berkurban

Semangat berkurban ini hendaknya menjadi spirit kolektif dalam membangun bangsa dan negara.

Tidak terasa kaum Muslimin akan kembali merayakan Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban. Meski masih dalam kondisi pandemi Covid-19, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat, semangat berkurban tidak boleh luntur dari kehidupan kaum Muslimin.

Semangat berkurban ini hendaknya menjadi spirit kolektif dalam membangun bangsa dan negara serta dalam upaya untuk mencegah wabah Covid-19. Siapa pun dan apa pun profesinya, seluruh elemen bangsa harus semangat berkurban dengan melepaskan egonya dan bersinergi dalam mengelola bangsa.

Sebagai penggiat media cetak, elektronik dan sejenisnya, berkurban dengan menyajikan informasi dan berita yang menyejukkan (bukan provokatif) dan dapat dipertanggungjawabkan (bukan hoaks).

Seorang pengusaha, berkurban dengan bisnis yang halal dan memberikan hak kepada karyawan sebelum keringatnya mengering. Sebagai orang yang berpunya (kaya), berkurban dengan banyak berderma.

Sebagai orang tua, berkurban dengan menjadikan keluarga sebagai ladang penyiapan generasi yang berakhlakul karimah. Sebagai anak, berkurban dengan berbakti kepada orang tua, membahagiakan, dan menjaga nama baik keluarga.

Sebagai guru, berkurban dengan mengerahkan seluruh potensi untuk membentuk siswa yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual. Sebagai siswa, berkurban dengan mengerahkan seluruh potensi untuk menyerap ilmu dan mengamalkan, berbakti kepada guru, menjaga nama baik almamater, dan mempersiapkan diri untuk turut dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagai pemimpin, berkurban dengan memberikan hak dan tidak menelantarkan rakyatnya, dan akan bekerja keras untuk mengantarkan kepada kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dan sejahtera.

Sebagai rakyat, berkurban dengan mengerahkan kemampuan untuk mendukung setiap program dan kebijakan yang berorientasi untuk kemaslahatan rakyat dan akan mengingatkan terhadap segala bentuk penyimpangan.

Sebagai politisi (anggota legislatif), berkurban dengan memeras pikiran dan tenaga untuk kemaslahatan rakyat yang memberi mandat, bukan memanfaatkan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan golongannya.

Sebagai pejabat, berkurban dengan memberikan pelayanan prima, bukan malah memanfaatkan untuk memperkaya diri dengan meminta imbalan, padahal telah digaji oleh negara yang berasal dari uang rakyat.

Sebagai apa pun kita, berkurban untuk memberikan manfaat kehidupan yang lebih besar kepada umat, bangsa, dan negara. Puncak kebaikan itu manakala seseorang mampu memberikan manfaat seluas-luasnya untuk kepentingan umat.

Jika semangat berkurban ini dijadikan spirit dalam membangun bangsa dan mengendalikan wabah Covid-19 maka dapat mengantarkan kepada kehidupan yang lebih baik dan terbebas dari wabah Covid-19.

Wallahu a’lam.

OLEH IMAM NUR SUHARNO

KHAZANAH REPUBLIKA

Para Sahabat Nabi yang Wafat Akibat Terjangkit Wabah Amwas

Pandemi Corona tak kunjung usai menimpa Indonesia. Virus ini terus bermutasi.  Melahirkan virus varian baru. Jauh lebih ganas dan lebih mematikan. Angka terjangkit Covid-19 pun tembus dua jutaan. Kini, tsunami Covid-19 melanda Indonesia. Ngerinya, Corona kini menjalar ke pelbagai daerah. Rumah sakit penuh. Petugas medis kewalahan.

Pandemi akibat wabah, bukanlah hal baru bagi umat Islam. Tercatat, wabah Tha’un Amwas, sempat melanda pada masa awal Islam. Wabah ini terjadi masa tampuk kekuasaan di bawah Khilafah Umar bin Khattab. Wabah thaun amwas terjadi di tahun 18 Hijriah.

Syaikh Al Baladzuri dalam kitab Futuhul Buldan, mengatakan wabah ini dinamakan dengan Tha’un ‘Amwas, karena wabah ini muncul dari sebuah daerah bernama Amwas. Sebuah wilayah yang terletak di negeri Syam—atau lebih dikenal sekarang dengan sebutan Suriah.

Wabah penyakit Amwas yang terjadi pada tahun 18 Hijriah menimbulkan korban jiwa yang banyak. Dalam Wabah ini menelan korban hingga 15.000 Jiwa. Syaikh Al Baladzuri menyebutkan banyak para sahabat Nabi yang meninggal dunia akibat virus Amwas.

Berikut daftar nama sahabat Nabi yang wafat akibat pandemi Amwas.

  • Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Seorang sahabat Nabi, teman karib Umar bin Khattab. Kala itu, Abubaidah menjabat sebagai panglima perang seluruh pasukan Islam di Syam. Ia menghembuskan nyawa di usia 58 tahun.
  • Muadz bin Jabal. Sahabat Nabi yang warak dan alim. Banyak meriwayatkan hadis dari Baginda Nabi. Ia wafat di daerah Aqhuwan bagian Yordania dalam usia cukup muda 38 tahun. Menurut satu riwayat, ketika Abu Ubaidah sedang sakit, ia menunjuk Muadz bin Jabal sebagai pengganti sebagai komando perang.
  • Al Fadhal bin Al Abbas bin Abdul Muthalib, seorang sepupu Nabi Muhamad. Ia memiliki kuniyah (panggilan) Abu Muhammad. Keluarga terdekat Nabi Muhammad. Anak paman Nabi bernama Abbas bin Abdul Muthalib. Ia meregang nyawa akibat kekejaman wabah Amwas.
  • Syurahbil bin Hasanah , memiliki panggilan akrab dengan nama Abu Abdillah. Ia sahabat Nabi yang ikut dalam penaklukan Syam, dan mati dalam usia 69 tahun.
  • Harist bin Hisyam bin Mughiroh Al Makhzumi. Ia wafat terkena wabah Amwas. Namun ada juga yang meriwaytakan cerita versi lain, Harist bin Hisyam mati syahid dalam peperangan Ajnadain.
  • Suhail bin Amru, mati akibat pandemi Ia memilki kuniyah Abu Yazid. Semasa hidupnya, Suhail orang yang terpandang dari Bani Luay.

Inilah Para sahabat yang gugur akibat wabah Amwas. Tentu, bukan ini saja daftar sahabat yang meninggal. Masih banyak yang lain. Mereka yang mati akibat ganasnya pandemi.

BINCANG SYARIAH

Amal dan Iman

Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baaz

Pertanyaan:

Samahatus Syaikh, sebagian orang ada yang berpendapat bahwa amal bukan termasuk rukun (pilar) keimanan. Menurut mereka, amal adalah bagian penyempurna (iman) saja. Sejauh mana kebenaran pendapat ini?

Jawaban:

Dalam masalah amal, ada perinciannya. Sebagian amal ada yang termasuk pokok keimanan, dan sebagian yang lain termasuk penyempurna atasnya. Iman adalah ucapan dan amalan, ia bertambah dan berkurang. Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah terdiri dari ucapan dan amalan. Ia bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.

Salat adalah iman. Zakat adalah iman. Puasa adalah iman. Haji adalah iman. Amar ma’ruf dan nahi munkar pun (termasuk) iman. Demikian seterusnya. Meskipun demikian, sebagian diantaranya ada yang jika ditinggalkan menyebabkan pelakunya tergolong pelaku maksiat (dan tidak menjadi kafir, pent).

Orang yang tidak menunaikan zakat (misalnya) menjadi termasuk pelaku maksiat dan bukan kafir. Atau orang yang membatalkan puasa Ramadan tanpa uzur, maka dia pun termasuk pelaku maksiat namun tidak menjadi kafir berdasarkan pendapat yang benar. Atau orang yang menunda-nunda ibadah haji padahal dia mampu, maka dia termasuk pelaku maksiat dan tidak menjadi kafir.

Adapun orang yang meninggalkan salat, maka menurut pendapat yang benar (lebih kuat) dia adalah kafir. Melakukan sujud kepada selain Allah, pelakunya juga dihukumi kafir. Orang yang mencela Allah atau mencela Rasul-Nya, dia pun dihukumi kafir. Menyembelih untuk -persembahan kepada- selain Allah, pelakunya juga dihukumi kafir.

Penerjemah: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/66867-amal-dan-iman.html