Hikmah Penahapan Penerapan Syariat Islam Masa Nabi

Agama Islam diturunkan tidak serta-merta menjadi beban bagi umat manusia kala itu. Proses penyesuaian Nabi Muhammad Saw dan risalah yang dibawanya dengan situasi dan kondisi masyarakat Arab Jahiliah ketika itu membuat proses penyempurnaan syariat di bumi Arab mengalami penahapan yang cukup bijak dan sesuai dengan hajat manusia kala itu.

Hal ini sebagaimana dinarasikan dalam ungkapan Ummul mukminin Aisyah ra. di bawah ini.

قالت عائشة : إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنْ الْمُفَصَّلِ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الْإِسْلَامِ نَزَلَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ لَا تَشْرَبُوا الْخَمْرَ لَقَالُوا لَا نَدَعُ الْخَمْرَ أَبَدًا وَلَوْ نَزَلَ لَا تَزْنُوا لَقَالُوا لَا نَدَعُ الزِّنَا أَبَدً

Aisyah berkata : “Surat Alquran yang turun di masa awal adalah surat-surat pendek yang di dalamnya disebutkan surga dan neraka. Hingga Islam sudah menancap erat di hati orang-orang, barulah turun ayat mengenai halal dan haram. Andaikan saja yang turun di masa awal adalah ayat yang berbunyi ‘jangan engkau minum khamr’ tentu mereka akan berkata ‘kami akan minum khamr selamanya’. Andaikan ayat yang turun berbunyi ‘jangan kalian berzina’ tentu mereka akan berkata ‘kami tidak akan meninggalkan zina selamanya’

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya, Abdurrazaq dalam Mushannaf-nya, al-Baihaiqi dalam Dalail al-Nubuwwah, al-Shan’ani dalam Mushannaf-nya.

Melihat redaksi ungkapan yang disampaikan oleh Aisyah ra kita memahami bagaimana dinamika Nabi Muhammad dalam menyebarkan risalah yang dibawanya, yakni dengan cara bertahap.

Contoh yang terkenal adalah syariat mengenai ziarah kubur. Dalam hadisnya Rasulullah menegaskan bahwa dahulu ziarah kubur dilarang, namun pada akhir hayatnya beliau malah menganjurkan kepada umat Islam agar melakukan ziarah kubur. Sebagaimana tertuang dalam hadis di bawah ini:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا

“Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku pernah melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah”

Hadis ini menjelaskan bagaimana syariat islam yang diterima masyarakat Arab ketika itu mengalami perubahan dan penyesuaian. Semula masyarakat Arab gemar untuk mengagungkan orang yang sudah meninggal dengan cara menyembah kuburannya, akan tetapi ketika akidah umat islam sudah kuat dan terjaga, maka berziarah tidak lagi dilarang, bahkan dianjurkan karena hal itu bisa mengingatkan manusia pada akhirat.

Demikian pula yang terjadi pada kasus pelarangan khamr. Bermula dari ayat ke-67 pada surat Annahl yang menginformasikan bahwa dalam buah kurma dan anggur terdapat hal yang memabukkan dan bisa menjadi sumber rezeki yang baik. Berlanjut kepada surat Albaqarah ayat 219 yang berisi informasi bahwa dalam khamr dan judi terdapat manfaat dan mudarat, namun kemudaratannya lebih besar ketimbang manfaatnya.

Kemudian pada surat Annisa ayat 43 Allah melarang umat Islam agar jangan menenggak khamr ketika hendak melakukan salat, dikarenakan hal tersebut bisa mengacaukan esensi salat seseorang. Hingga tiba pada final pelarangan khamr secara mutlak sebagaimana tertuang dalam surat Almaidah ayat 90 :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”

Proses penahapan di atas dikenal juga dengan istilah naskh-mansukh, yakni menggantikan status hukum syariat yang lama dengan yang baru disertai dalil yang lebih mutakhir. Hal ini membuktikan bahwa dalam proses penegakan syariat Islam, Allah begitu memperhatikan kondisi lawan dialog dakwah ketika itu, yang mau tidak mau membutuhkan proses penahapan dan penyesuaian. Karena kalau tidak, sebagaimana ungkapan Aisyah di muka, maka Islam akan terkesan seram dan begitu menyulitkan.

Wallahu A’lam

BINCANG SYARIAH

Serial Do’a: Doa Apabila Singgah di Suatu Tempat

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ.
A’UUDZU BIKALIMAATILLAAHIT-TAAMMAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQ
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan makhluk-Nya.”
(HR. Muslim)

HR. Muslim: 4/2080

Read more https://yufidia.com/7191-serial-doa-doa-apabila-singgah-di-suatu-tempat.html

Arab Saudi Umumkan Tiga Paket Biaya Haji Mulai Rp 46 Juta

Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi mengumumkan persyaratan dan tata cara pendaftaran haji 2021. Informasi ini disampaikan melalui portal elektronik jamaah haji dalam negeri.

Tak hanya itu, kementerian haji juga mengizinkan perempuan mendaftar haji tanpa wali laki-laki (mahram) bersama dengan perempuan lain. Muslim yang ingin melakukan haji diharuskan mendaftar masing-masing.

Dilansir di Saudi Gazette, Selasa (15/6), dalam pelaksanaan ibadah haji tahun ini, kementerian telah mengumumkan tiga paket haji. Paket pertama diberi nama Hospitality Package Camps seharga 12.113 riyal Saudi atau Rp 46 juta.

Paket kedua adalah Distinguished Hospitality Camps dihargai 14.381 riyal atau Rp 54,6 juta. Sementara, paket ketiga Distinguished Hospitality Towers seharga 16.560 riyal atau setara Rp 62,9 juta.

Adapun persyaratan yang harus dimiliki calon jamaah haji, antara lain berusia 18 sampai 65 tahun, memiliki kondisi kesehatan yang baik, telah mendapatkan vaksin Covid-19, serta bebas dari penyakit kronis. Pendaftaran calon jamaah haji ini akan tersedia bagi warga negara dan penduduk di dalam Arab Saudi atau ekspatriat yang tidak melakukan haji dalam lima tahun terakhir.

Periode pendaftaran haji akan dibuka mulai 13 Juni hingga 23 Juni melalui http://localhaj.haj.gov.sa. Pada 25 Juni akan dimulai pendaftaran tahap kedua yang meliputi penyortiran dan penyelesaian pendaftaran.

Kementerian mengatakan pembayaran dan pembelian paket harus dalam waktu tiga jam setelah calon jamaah memilih paket untuk menghindari pembatalan otomatis. “Penyortiran dilakukan berdasarkan standar kesehatan dan regulasi. Dengan mempertimbangkan kelompok usia. Prioritas adalah untuk aplikasi terdaftar yang belum pernah melakukan haji sebelumnya,” ujar kementerian. 

https://saudigazette.com.sa/article/607732/SAUDI-ARABIA/Ministry-reveals-3-packages-for-Hajj-costs-from-SR12000-to-16000

IHRAM

Doa Keluar Rumah

Dikutip dari buku Bekal Haji karya Ustaz Firanda Andirja, berikut doa keluar rumah:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَىَّ

Allaahumma innii a’uudzu bika an adhilla au udhalla, au azilla au uzalla, au azhlima au uzhlama, au ajhala au yujhala ‘alayya.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (setan atau orang yang berwatak setan), berbuat kesalahan atau disalahi, menganiaya atau dianiaya (orang), dan berbuat bodoh atau dibodohi” (HR Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah).

Doa keluar rumah lainnya yakni,

بِسْم اللَّهِ توكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لا حوْلَ وَلا قُوةَ إلاَّ بِاللَّهِ

Bismillah, tawakkaltu ‘alallaah, laa haula wa laa quwwata illa billah

“Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah!” (HR Abu Daud, At-Tirmidzi).

IHRAM

Hikmah Perilaku Husnuzan Terhadap Allah, Diri Sendiri, serta Orang Lain

Bila selama ini kita termasuk orang yang selalu berprasangka, ada baiknya tanyakan kembali dalam hati, apakah prasangka tersebut lebih sering yang baik atau justru yang buruk?

Bila jawabannya yang buruk, yuk mulailah menggeser itu menjadi baik.

Husnuzan menurut bahasa berasal dari lafal bahasa Arab ‘husnun’ yang berarti baik dan ‘adzzhonnu’ yang berarti prasangka.

Maka kata husnuzan artinya prasangka baik yang merupakan lawan dari su’udzan atau prasangka buruk.

Sementara bila disimak secara istilah, husnuzan adalah setiap pikiran, anggapan, serta prasangka baik terhadap orang lain.

Hikmah perilaku husnuzan perlu kita pahami agar kita senantiasa menerapkannya di kehidupan sehari-hari.

Hikmah Perilaku Husnuzan dengan Sesama

Membiasakan berperilaku husnuzan perlu kita lakukan terhadap sesama muslim atau lainnya selama mereka tidak mengusik dan mendzalimi kita.

Apabila setiap orang telah terbiasa dan senantiasa meresapi hikmah perilaku husnuzan ini, maka Insya Allah akan terwujud masyarakat yang harmonis, rukun, dan saling menjaga.

Hukum berhusnuzan terhadap sesama manusia adalah mubah atau diperbolehkan.

Saat kita berhusnudzan pada orang lain, sama halnya kita telah menganggap bahwa orang itu baik.

Husnuzan dalam kehidupan sehari-hari akan membawa berbagai dampak positif, sedangkan bila terus menerus berprasangka buruk akan membawa dampak negatif dalam kehidupan kita maupun orang lain.

Bentuk-bentuk husnuzan

Husnuzan dapat dilakukan terhadap Allah SWT, diri sendiri, dan orang lain.

Tentunya yang paling utama adalah berhusnuzan kepada Allah, sebab Dia-lah yang telah melimpahkan berbagai karunia dan kasih sayang kepada kita sebagai manusia, di antaranya memberi kita kehidupan, memberi nikmat sehat, iman dan Islam kepada kita, dan masih banyak lagi.

Seluruh pemberian Allah yang kita terima harus selalu kita sikapi dengan berprasangka baik misalnya selalu bersyukur kepada Allah dan bersikap sabar terhadap segala cobaan yang terjadi dalam hidup kita. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda,

“Allah Ta’ala berfirman, Aku sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku.” (Muttafaqun’alaih).

Setelah berhusnuzan terhadap Allah, kita harus pula berprasangka baik kepada diri sendiri, yaitu berpikir positif terhadap segala kemampuan yang dimiliki diri kita serta usaha yang telah kita lakukan.

Ciri-ciri orang yang berhusnuzan terhadap diri sendiri antara lain memiliki rasa percaya diri, selalu berusaha secara maksimal, selalu berpikir positif serta rela berkorban.

Dengan begitu, niscaya kita akan selalu memiliki semangat tinggi untuk meraih kesuksesan dalam hidup.

Lengkapi penerapan husnuzan kita dengan berprasangka baik pada orang lain, yang berarti menganggap atau memandang orang lain itu baik.

Orang yang memiliki sikap husnuzan terhadap orang lain niscaya hidupnya akan punya banyak teman, disukai kawan, dan disegani lawan.

Sebaliknya, Allah sudah melarang kita untuk merprasangka buruk kepada orang lain dengan mencari-cari kesalahan orang lain apalagi sampai menggunjingnya. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran,

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa, janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain…” (Q.S. Al-Hujurat: 12).

Berikut manfaat dari membiasakan berhusnuzan dalam kehidupan, yakni

  • Dicintai oleh Allah SWT;
  • Membentuk pribadi yang tangguh, tidak mudah putus asa dan selalu optimis;
  • Mendapat ketenangan hidup;
  • Dijauhkan dari hal-hal buruk dan perbuatan keji;
  • Mempererat tali persaudaraan sehingga terjalin ukhuwah erat antar sesama muslim;
  • Mendapat timbal balik yang baik dari sesama.

Islam telah menganjurkan umatnya agar senantiasa menjaga prasangka baik dan menjauhi prasangka buruk, hikmah perilaku husnuzan sesungguhnya nyata sebagai contoh akhlaq, sifat, atau perilaku terpuji yang perlu kita terapkan kapan pun di mana pun.

Kebaikan akan selalu menyertai kita dan orang lain bila kita bisa melakukannya, ya. Insya Allah.

UMMA

Maksud Husnuzhan (Berbaik Sangka) Kepada Allah dan Kondisi yang Paling Menuntut untuk Itu

Pertanyaan

Allah Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi ‘Aku (tergantung) persangkaan hamba-Ku kepada-Ku’. Apakah hal ini berarti bahwa ketika seseorang berprasangka kepada Allah rahmat-Nya lebih luas dibanding hukuman-Nya, maka hamba ini akan perlakukan dengan kasih sayang (rahmat) lebih besar dibandingkan dengan hukuman. Begitu juga sebaliknya? Bagaimana sikap yang seimbang dalam mengamalkan hadits ini?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Berprasangka baik kepada Allah Ta’ala merupakan ibadah hati yang mulia. Belum banyak orang memahami dengan sebenarnya. Akan kami jelaskan menurut keyakinan ahlu sunnah wal jamaah dan sesuai dengan pemahaman salaf, baik ucapan maupun perbuatan.

Sesungguhnya berprasangka baik kepada Allah Ta’ala yakni meyakini apa yang layak untuk Allah, baik dari nama, sifat dan perbuatanNya.  Begitu juga meyakini apa yang terkandung dari pengaruhnya yang besar. Seperti keyakinan bahwa Allah Ta’ala menyayangi para hamba-Nya yang berhak disayangi, memaafkan mereka dikala bertaubat dan kembali, serta menerima dari mereka ketaataan dan ibadahnya. Dan meyakini bahwa Allah Ta’ala mempunyai  berbagai macam hikamh nan agung yang telah ditakdirkan dan ditentukan.

Siapa yang mengira bahwa husnuzhan kepada Allah tidak perlu diimbangi dengan perbuatantelah keliru dan salah, serta tidak memahami ibadah ini dengan cara yang benar. Tidak bermanfaat berprasangka baik dengan meninggalkan kewajiban atau dengan melakukan kemaksiatan. Barangsiapa yang berprasangka seperti itu maka dia termasuk terpedaya, memiliki pengharapan yang tercela serta  keinginan yang mengada-ada dan merasa aman dari azab Allah. Semuanya itu membahayakan dan membinasakan.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Telah jelas perbedaan antara husnuzhan dan ghurur (terpedaya  diri sendiri). Berprasangka baik mendorong lahirnya amal, menganjurkan, membantu dan menuntun untuk melakukannya. Inilah sikap yang benar. Tapi kalau mengajak kepada pengangguran dan bergelimang dalam kemaksiatan, maka itu adalah ghurur (terpedaya diri sendiri). Berprasangka baik itu adalah pengharapan (raja), barangsiapa pengharapannya membawa kepada kataatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka itu adalah pengharapan yang benar. Dan barangsiapa yang keengganannya beramal dianggap sebagai sikap berharap, dan sikap berharapnya berarti  enggan beramal atau meremehkan, maka itu termasuk terpedaya.‘ (Al-Jawab Al-Kafi, hal. 24)

Syekh ShAleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: “Prasangka yang baik kepada Allah seharusnya disertai meninggalkan kemaksiatan. Kalau tidak,maka itu termasuk sikap merasa aman dari azab Allah. Jadi,  prasangka baik kepada Allah harus disertai dengan melakukan sebab datangnya kebaikan dan sebab meninggalkan kejelekan, itulah pengharapan yang terpuji. Sedangkan prasangka baik kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban dan melakukan yang diharamkan, maka itu adalah pengharapan yang tercela. Ini termasuk sifat merasa aman dari makar Allah.” (Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2/269)

Kedua:

Seharusnya, seorang muslim senantiasa berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Ada dua tempat yang selayaknya seorang muslim memperbanyak khusnuzhan kepada Allah.

Pertama: Ketika menunaikan ketaatan (kepada Allah).

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ في نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً  (رواه البخاري، رقم  7405 ومسلم ، رقم 2675 )

“Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku tergantung persangkaan hamba kepadaKu. Aku bersamanya kalau dia mengingat-Ku. Kalau dia mengingatku pada dirinya, maka Aku mengingatnya pada diriKu. Kalau dia mengingatKu di keramaian, maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik dari mereka. Kalau dia mendekat sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Kalau dia mendekat kepada diri-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Kalau dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR bukhari, no. 7405 dan Muslim, no. 2675)

Dapat diperhatikan dalam hadits ini, hubungan yang sangat jelas sekali antara husnuzhan dengan amal.  Yaitu mengiringinya dengan mengajak untuk mengingat-Nya Azza Wa Jalla dan mendekat kepada-Nya dengan ketaatan. Siapa yang berprasangka baik kepada Tuhannya Ta’ala semestinya akan mendorongnya berbuat ihsan dalam beramal.

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:

“Sesungguhnya seorang mukmin ketika berbaik sangka kepada Tuhannya, maka dia akan memperbaiki amalnya. Sementara orang buruk, dia berprasangka buruk kepada Tuhannya, sehingga dia melakukan amal keburukan.” (HR. Ahmad, hal. 402).

Ibnu Qayim rahimahullah berkata:

“Siapa yang dengan sungguh-sungguh memperhatikan, akan mengetahui bahwa khusnuzhan kepada Allah adalah memperbaiki amal itu sendiri. Karena yang menjadikan amal seorang hamba itu baik, adalah karena dia memperkirakan Tuhannya akan memberi balasan dan pahala dari amalannya serta menerimanya. Sehingga yang menjadikan dia beramal adalah prasangka baik itu. Setiap kali baik dalam prasangkanya, masa semakin baik pula amalnya.”

Secara umum, prasangka baik akan mengantar seseorang melakukan sebab keselamatan. Sedangkan  kalau melakukan sebab kecelakaan, berarti dia tidak ada prasangka baik.” (Al-Jawabu Al-Kafi, hal. 13-15 )

Abul Abbas Al-Qurtubi rahimahullah berkata:

“Pendapat lain mengatakan, maknanya adalah: Mengira akan dikabulkan apabila berdoa, mengira diterima ketika bertaubat, mengira diampuni ketika memohon ampunan, mengira diterima amalnya ketika melaksanakannya  dengan memenuhi persyaratan, serta berpegang teguh terhadap kejujuran janji-Nya dan lapangnya KeutamaanNya.

Saya katakan demikian, karena dikuatkan dengan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam; ‘Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan (doanya).’ (HR. Tirmizi dengan sanad shahih)

Begitu juga seyogyanya bagi orang yang bertaubat, orang yang memohon ampunan dan pelaku suatu amal yang bersungguhh-sungguh dalam melaksanakan semua itu, hendaknya meyakini bahwa Allah akan menerima amalnya dan memafkan dosanya. Karena Allah Ta’ala telah berjanji akan menerima taubat yang benar dan amal yang shaleh. Sedangkan kalau dia beramal dengan amalan-amalan tersebut tapi berkeyakinan atau menyangka bahwa Allah Ta’la tidak menerimanya dan hal itu tidak bermanfaat, maka hal itu termasuk putus asa terhadap rahmat dan karunia Allah . Itu termasuk di antara dosa besar. Barangsiapa yang meninggal dunia dalam kondisi seperti itu, maka dia akan mendapatkan apa yang dia kira (yakini). Sebaliknya, mengira bakal diampuni dan mendapat rahmat sementara dia terus menerus melakukan kemaksiatan, maka hal itu termasuk kebodohan. Hal itu dapat menjerumuskannya kepada pemahaman murji’ah (seseorang tidak akan kafir dengan perbuatannya). ” Al-Mufhim Syarh Muslim, 7/ 5,6)

Kedua: Ketika mengalami musibah dan saat menjelang kematian.

Dari jabir radhiallahu anhu dia berkata, Aku mendengar Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tiga hari sebelum wafat bersabda:

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ  ( رواه مسلم، رقم  2877 )

 “Janganlah salah satu di antara kalian meninggal dunia kecuali dia berprasangka baik kepada Allah.” (HR. Muslim, 2877)

Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 10/220 dikatakn, ” Seorang mukmin diharuskan berprasangka baik kepada Allah Ta’ala, dan lebih ditekankan dalam prasangkan baik kepada Allah ketika ditimpa musibah dan ketika akan meninggal dunia.

Al-Khatab berkata, “Dianjurkan bagi yang akan meninggal dunia berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Berprasangka baik kepada Allah meskipun sangat dianjurkan ketika mau meninggal dunia dan dalam kondisi sakit, akan tetapi sepantasnya seseorang senantiasa berprasangka baik kepada Allah. “

Silahkan lihat dalam kitab Syarh Muslim, karangan Nawawi, 17/10.

Dari penjelasan tadi, jelas bahwa berprasangka baik kepada Allah Ta’ala itu tidak boleh disertai dengan meninggalkan kewajiban dan tidak pula dengan melakukan kemaksiatan. Barangsiapa yang menyakini hal itu, maka dia tidak menempatkan nama, sifat dan prilaku Allah yang selayaknya untuk difahami secara benar. Dirinya terjatuh pada kesalahan yang fatal. Sementara orang-orang mukmin yang mengenal kepada Tuhannya, maka dia beramal dengan sebaik mungkin dan berprasangkan baik kepada Tuhannya bahwa Dia akan menerimanya. Berprasangka baik ketika akan meninggal dunia, bahwa Dia akan memaafkan dan memberi rahmat kepadanya meskipun mereka kurang dalam melakukan kebaikan. Maka dia berharap dapat merealisasikan hal itu kepada-Nya Ta’ala sebagaimana yang Allah janjikan.

 Wallahu’alam.

ISLAMQA

Janganlah Berburuk Sangka Kepada Allah

Para pembaca yang budiman, perlu untuk kita ketahui bersama bahwa Alloh adalah Dzat yang maha sempurna, baik dari Nama, Sifat maupun perbuatan-Nya. Tidak ada satupun aib atau cela yang terdapat pada Alloh.

Sebagai bentuk realisasi tauhid, kita dilarang mengingkari nama dan sifat yang telah ditetapkankan oleh Alloh Ta’ala. Kita wajib percaya dan menerima sesuatu yang telah ditetapkan Alloh kepada para hambaNya.

Segala Sesuatu Diciptakan Dengan Hikmah

Alloh menciptakan langit dan bumi beserta isinya, semuanya tentu mengandung hikmah yang agung dan tidak dalam rangka kesia-siaan. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah (hanya sia-sia saja). Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka…” (Ash-Shood: 27). Termasuk tatkala Alloh memberikan manfaat (kebaikan) atau suatu mudhorot (musibah) pada seseorang, tentunya hal ini juga mengandung hikmah yang agung di dalamnya.

Untuk itu kita harus selalu berhusnuzhon (berprasangka baik) terhadap segala sesuatu yang telah Alloh tetapkan kepada para hamba-Nya agar kita termasuk orang-orang yang beruntung.

Rahasia di Balik Musibah

Para pembaca yang budiman, tidaklah Alloh menimpakan suatu musibah kepada para hambaNya yang mu’min kecuali untuk tiga hal:

  1. Mengangkat derajat bagi orang yang tertimpa musibah, karena kesabarannya terhadap musibah yang telah Alloh tetapkan.
  2. Sebagai cobaan bagi dirinya.
  3. Sebagai pelebur dosa, atas dosanya yang telah lalu.

Su’udzon Itu Tercela

Su’udzon (berprasangka buruk) pada Alloh merupakan sifat tercela yang harus dijauhi dari diri setiap orang yang beriman karena hal ini merupakan salah satu dari dosa besar. Sikap seperti ini juga merupakan kebiasaan orang-orang kafir dan munafiq. Mereka berprasangka kepada Alloh dengan prasangka yang buruk dan mengharapkan kekalahan dan kehancuran kaum muslimin. Akan tetapi Alloh membalik tipu daya mereka serta mengancam mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan akhirat.

Alloh berfirman yang artinya, “Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Alloh. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Alloh memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.” (Al-Fath: 6)

Adzab dunia yang akan diterima oleh orang kafir dan munafiq adalah berupa keresahan dan kegelisahan yang melanda hati mereka tatkala melihat keberhasilan kaum muslimin. Adapun adzab akhirat, mereka akan mendapatkan murka Alloh serta dijauhkan dari rahmat Alloh dan dimasukkan ke dalam neraka jahannam yang merupakan sejelek-jelek tempat kembali.

Berprasangka buruk pada Alloh merupakan bentuk cemooh atau ingkar pada takdir Alloh, Misalnya dengan mengatakan “Seharusnya kejadiannya begini dan begitu.” Atau ucapan, “Kok rejeki saya akhir-akhir ini seret terus ya? Lagi apes memang…” serta bentuk ucapan-ucapan yang lain. Banyak orang berprasangka buruk pada Alloh baik yang berkaitan dengan dirinya sendiri maupun orang lain. Tidak ada yang dapat menghindar dari prasangka buruk ini kecuali bagi orang-orang yang memahami nama dan sifat Alloh. Maka sudah selayaknya bagi orang yang berakal dan mau membenahi diri, hendaklah ia memperhatikan permasalahan ini dan mau bertobat serta memohon ampun terhadap prasangka buruk yang telah ia lakukan.

Jauhi Prasangka Buruk Kepada Alloh

Sikap berburuk sangka merupakan sikap orang-orang jahiliyah, yang merupakan bentuk kekufuran yang dapat menghilangkan atau mengurangi tauhid seseorang. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Alloh seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: ‘Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Alloh.’ Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.’ Katakanlah: ‘Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.’ Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (Ali-Imran: 154)

Perlu untuk kita ketahui bersama, berprasangka buruk kepada Alloh dapat terjadi pada tiga hal, yaitu:

  1. Berprasangka bahwa Alloh akan melestarikan kebatilan dan menumbangkan al haq (kebenaran). Hal ini sebagaimana persangkaan orang-orang musyrik dan orang-orang munafik. Alloh berfirman yang artinya, “Tetapi kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya (terbunuh dalam peperangan, pen) dan syaitan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa.” (Al-Fath: 12)Perbuatan seperti ini tidak pantas ditujukan pada Alloh karena tidak sesuai dengan hikmah Alloh janji-Nya yang benar. Inilah prasangka orang-orang kafir dan Neraka Wail-lah tempat mereka kembali.
  2. Mengingkari Qadha’ dan Qadar Alloh yaitu menyatakan bahwa ada sesuatu yang terjadi di alam ini yang di luar kehendak Alloh dan taqdir Alloh. Seperti pendapat Sekte Qodariyah.
  3. Mengingkari adanya hikmah yang sempurna dalam taqdir Alloh. Sebagaimana pendapat Sekte Jahmiyah dan Sekte Asy’ariyah.

Iman dan tauhid seorang hamba tidak akan sempurna sehingga ia membenarkan semua yang dikabarkan oleh Alloh, baik berupa nama dan sifat-sifat-Nya, kesempurnaan-Nya serta meyakini dan membenarkan janji-Nya bahwa Dia akan menolong agama ini

Untuk itu sekali lagi marilah kita instropeksi diri, apakah kita termasuk orang yang seperti ini (orang gemar berprasangka buruk pada Alloh) sehingga kita dijauhkan dari surga Alloh yang kekal? Kita berdo’a kepada Alloh agar menjauhkan kita semua dari berprasangka buruk kepadaNya. Wallohu a’lam.

***

Penulis: Abu Farhan Wali Sabara
Artikel www.muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/39-janganlah-berburuk-sangka-kepada-allah.html

Doa Keselamatan Keluarga

“Ya Tuhanku, selamatkanlah aku beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan.” (asy-Syua’ra [26]:169).

Setiap kepala rumah tangga punya tanggung jawab menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan buruk masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, dianjurkan membaca doa di atas. Doa tersebut dipanjatkan oleh Nabi Luth AS agar keluarganya terhindar dari perbuatan masyarakatnya waktu itu.

* Bahrul Ulum/Hidayatullah.com

Alquran dan Sains: Tumbuhnya Uban Akibat Emosi dan Rasa Takut

ALQURAN dan sains kali ini mengungkap tumbuhnya rambut uban di kepala. Uban biasanya disebut-sebut sebagai tanda menuanya seseorang. Rambut bewarna putih ini kerap disembunyikan, yaitu dengan cara mengecatnya atau mencabutnya.

Namun ternyata tumbuhnya rambut uban di kepala bisa jadi karena faktor lain, misalnya penyakit, emosi, atau rasa tekut. Hal ini seperti dijelaskan Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam.

Dikutip dari ‘Buku Pintar Sains dalam Alquran Mengerti Mukjizat Ilmiah Firman Allah’ karya Dr Nadiah Thayyarah, diterangkan bahwa faktor tumbuhnya uban menurut Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam karena adanya emosi yang meuncak tinggi.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَكَيْفَ تَتَّقُونَ إِن كَفَرْتُمْ يَوْمًا يَجْعَلُ ٱلْوِلْدَٰنَ شِيبًا

Fa kaifa tattaquna ing kafartum yaumay yaj’alul-wildana syiba

Artinya: “Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban.” (QS Al Muzzammil: 17)

ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ ۖ وَهُوَ ٱلْعَلِيمُ ٱلْقَدِيرُ

Allahullazi khalaqakum min da’fin summa ja’ala mim ba’di ḍa’fing quwwatan ṡumma ja’ala mim ba’di quwwatin ḍa’faw wa syaibah, yakhluqu ma yasya’, wa huwal-‘alimul-qadīr

Artinya: “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS Ar-Rum: 54)

Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa uban di kepala disebabkan oleh emosi jiwa dan rasa takut. Dijelaskan juga dalam tafsir Al Qurthubi, “Bab An-Nadzir atau tentang uban; tanda-tanda dekatnya ajal dan usia tua seperti melemahnya pandangan, membungkuknya punggung, dan berubannya rambut.”

Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam bersabda, dalam beberapa surah Alquran, salah satunya Surah Hud, telah membuat rambut beliau beruban. lni akibat terlalu tinggi emosi beliau dan begitu besar rasa takut beliau manakala membaca surah-surah tersebut.

Berbagai riset ilmiah modern membuktikan rambut yang ada di kepala jumlahnya ditaksir sekira 200 ribu helai. Setiap rambut memiliki 1 pembuluh darah dan 1 saraf, otot, kelenjar, serta umbi.

Masing-masing rambut juga hidup sekira 3 tahun. Dengan demikian, rambut akan terus memperbarui diri secara total 1 kali dalam 2.000 hari.

Sementara itu, sebagian besar ahli meyakini uban adalah penyakit kulit yang bersumber dari saraf emosi. Ini disebabkan kurangnya suplai darah yang mengandung gizi ke rambut. Padahal jauh sebelum para ahli ada, kitab suci Alquran telah menyebutkan hakikat ini sejak 1.400 tahun silam.

Wallahu a’lam bishawab.

MUSLIM OKEZONE