Ini Empat Golongan Orang yang Wajib Membayar Fidyah

Secara bahasa, fidyah adalah harta yang diberikan sebagai tebusan. Secara istilah, fidyah didefinisikan sebagai sejumlah harta dalam kadar tertentu yang wajib diberikan kepada fakir miskin sebagai ganti dari ibadah puasa Ramadan yang telah ditinggalkan. Dalil yang menjadi dasar kewajiban membayar fidyah bagi orang yang meninggalkan puasa Ramadan adalah firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 184 berikut;

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.

Namun demikian, tidak semua orang yang meninggalkan puasa Ramadan harus membayar fidyah. Menurut para ulama, hanya empat golongan orang yang wajib membayar fidyah.

Pertama, orang yang tidak mampu berpuasa baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Ini misalya, orang yang sudah lanjut usia dan orang sakit yang tidak ada harapan sembuh. Mereka berdua tidak wajib puasa Ramadan dan juga tidak wajib mengqadhanya, melainkan hanya wajib membayar fidyah setiap hari satu mud makanan pokok kepada fakir miskin.

Kedua, orang yang mati dan masih memiliki tanggungan qadha puasa Ramadan.

Ketiga, orang hamil atau menyusui yang tidak puasa di bulan Ramadan karena khawatir terhadap kandungan atau bayinya. Selain wajib mengganti puasa yang ditinggalkan, juga wajib membayar fidyah setiap hari satu mud makanan pokok kepad fakir miskin.

Keempat, orang yang tidak kunjung mengqadha puasanya sampai puasa Ramadan berikutnya tiba. Selain tetap wajib mengganti puasa yang ditinggalkan, juga wajib membayar fidyah setiap hari satu mud makanan pokok kepada fakir miskin.

Ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah berikut;

على من تجب فدية الصوم؟

الفدية تجب على من لا يستطيع الصوم لا في الحال ولا في المستقبل مثل: الشيخ الهرم، والمرأة المسنة، والمريض مرضاً لا يرجى برؤه، وتجب الفدية في تركة من مات وفي ذمته صوم واجب، وتجب على المرأة الحامل والمرضع إذا أفطرتا خوفا على الجنين أو الولد، وتجب كذلك على من أخر قضاء رمضان حتى دخل رمضان القابل إذا كان تأخيره بلا عذر شرعي.

Siapa yang wajib membayar fidyah puasa?

Fidyah wajib bagi orang yang tidak mampu berpuasa, baik saat ini maupun di masa yang akan datang. Seperti orang yang tua renta, perempuan lanjut usia, orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya. Fidyah juga wajib diambil dari harta peninggalan orang yang meninggal jika dia memiliki tanggungan puasa wajib. Fidyah wajib bagi perempuan yang hamil dan menyusui, jika keduanya tidak berpuasa karena khawatir terhadap kandungan atau anaknya. Juga fidyah wajib bagi orang yang mengakhirkan qadha puasa Ramadan hingga Ramadan berikutnya datang, dan tidak ada uzur syar’i dalam pengakhiran tersebut.

BINCANG SYARIAH

Beberapa Sunnah Ketika Makan Sahur

Dalam melaksanakan ibadah puasa, disyariatkan untuk makan sahur. Berikut ini beberapa sunnah (tuntunan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terkait makan sahur.

Makan sahur hukumnya sunnah muakkadah

Makan sahur tidaklah wajib dan bukan syarat sah puasa. Namun hendaknya orang yang berpuasa bersemangat untuk melakukannya karena para ulama mengatakan hukumnya sunnah muakkadah (sangat ditekankan). Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً

Artinya:

“Bersahurlah karena dalam makanan sahur terdapat keberkahan” (HR. Bukhari no.1922, Muslim no.1095).

Ibnul Munzir mengatakan:

وأجمَعُوا على أنَّ السُّحورَ مندوبٌ إليه

Artinya:

“Ulama ijma’ bahwa sahur hukumnya dianjurkan” (Al-Ijma’, hal. 49).

Dianggap sudah makan sahur jika makan atau minum di waktu sahur, walaupun hanya sedikit. Dan di dalam makanan sahur itu terdapat keberkahan. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

السُّحورُ كلُّه بركةٌ فلا تَدَعُوه ، و لَو أن يَجرَعَ أحدُكُم جَرعةً مِن ماءٍ ، فإنَّ اللهَ عزَّ وجلَّ وملائكتَه يُصلُّونَ على المتسحِّرينَ

Artinya:

“Makanan sahur semuanya berkah, maka jangan tinggalkan ia. Walaupun kalian hanya meneguk seteguk air. Karena Allah ‘azza wa jalla dan para Malaikatnya berselawat kepada orang-orang yang sahur” (HR. Ahmad no.11101, dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no.1070).

Disunnahkan mengakhirkan makan sahur mendekati waktu terbitnya fajar

Dianjurkan untuk menunda sahur hingga mendekati waktu terbitnya fajar, selama tidak dikhawatirkan datangnya waktu fajar ketika masih makan sahur. Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu bertanya kepada Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu:

كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً

Artinya:

“Berapa biasanya jarak sahur Rasulullah dengan azan (subuh)? Zaid menjawab: sekitar 50 ayat” (HR. Bukhari no.1921, Muslim no.1097).

Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan:

في قوله: قَدْرُ خَمسينَ آيةً؛ أي: متوسِّطةٌ، لا طويلةٌ ولا قصيرةٌ ولا سريعةٌ ولا بطيئةٌ

Artinya:

“Perkataan Zaid [sekitar 50 ayat] maksudnya dengan kecepatan bacaan yang pertengahan. Tidak terlalu panjang, tidak terlalu pendek, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat” (Fathul Bari, 1/367).

Dari sini kita ketahui kekeliruan sebagian yang bersengaja makan sahur larut malam sekitar pukul 2 atau pukul 3 malam ketika waktu subuh sekitar pukul 4 pagi.

Disunnahkan makan sahur dengan tamr (kurma kering)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda:

نِعْمَ سَحورُ المؤمِنِ التَّمرُ

Artinya:

“Sebaik-baik makanan sahur adalah tamr (kurma kering)” (HR. Abu Daud no. 2345, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Disebutkan Mausu’ah Haditsiyyah Durar Saniyyah dalam syarah hadis ini: “Makanan terbaik bagi seorang mukmin ketika sahur adalah kurma, sebagai persiapan dirinya untuk berpuasa. Karena waktu sahur dan kurma, dua-duanya memiliki keberkahan yang membantu seorang yang berpuasa di siang hari”.

Baca Juga: Barakah dalam Makanan Sahur

Gunakan waktu sahur untuk banyak beristighfar

Waktu sahur adalah salah satu waktu yang terbaik untuk meminta ampunan Allah. Allah Ta’ala berfirman tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa, salah satunya:

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُون

Artinya:

“Ketika waktu sahur (akhir-akhir malam), mereka berdoa memohon ampunan” (QS. Adz Dzariyat: 18).

Gunakan waktu sahur untuk banyak berdoa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنا تَبارَكَ وتَعالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إلى السَّماءِ الدُّنْيا، حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فيَقولُ: مَن يَدْعُونِي فأسْتَجِيبَ له، مَن يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَن يَسْتَغْفِرُنِي فأغْفِرَ له

Artinya:

“Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir pada setiap malamnya. Kemudian berfirman: ‘Orang yang berdoa kepada-Ku akan Ku kabulkan, orang yang meminta sesuatu kepada-Ku akan Kuberikan, orang yang meminta ampunan dari-Ku akan Kuampuni‘” (HR. Bukhari no.1145, Muslim no. 758).

Gunakan waktu sahur untuk banyak membaca Al-Qur’an

Waktu malam secara umum adalah waktu yang baik untuk membaca Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا

Artinya:

“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan” (QS. Al Muzammil: 6).

Juga sebagaimana pada hadis Zaid bin Tsabit, mengisyaratkan bahwa para sahabat biasa memanfaatkan waktu setelah makan sahur untuk membaca Al-Qur’an.

Wallahu a’lam. Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Tarawih Cepat vs Tarawih Santai

Bismillahirrahmanirrahim 

Tuma’ninah dalam salat termasuk salah satu rukun salat, baik salat wajib maupun sunnah. Semakin besar kadar tuma’ninah dalam salat, maka pahala pun akan semakin besar.

Dalilnya adalah hadis yang menceritakan seorang yang salah salatnya atau dikenal dengan hadis al-musii’ fi sholaatihi.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita,

أنَّ رَجُلًا دَخَلَ المَسْجِدَ فَصَلَّى، ورَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في نَاحِيةِ المَسْجِدِ، فَجَاءَ فسَلَّمَ عليه، فقالَ له

“Bahwasanya seseorang masuk ke masjid kemudian melaksanakan salat. Ketika itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di dalam masjid tersebut. Usai salat, lelaki itu datang mendekat ke Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberi salam kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi berkata kepadanya,

ارْجِعْ فَصَلِّ فإنَّكَ لَمْ تُصَلِّ

“Ulangi salatmu, karena sebenarnya kamu belum salat.”

فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ سَلَّمَ، فَقَالَ: وعَلَيْكَ، ارْجِعْ فَصَلِّ فإنَّكَ لَمْ تُصَلِّ، قالَ في الثَّالِثةِ: فأعْلِمْنِي،

“Lelaki itu pun salat kembali. Usai salat, dia datang ke Nabi dan memberi salam. Lalu Nabi menjawab, ‘Wa’alaik … (Semoga demikian pula untuk Anda). Ulangi salatmu, karena sebenarnya kamu belum salat.’ Beliau berkata dengan perkataan yang sama untuk ketiga kalinya. Lelaki itu kemudian berkata kepada Nabi, ‘Mohon ajari saya salat yang benar.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajarinya.”

إذا قُمْتَ إلى الصَّلَاةِ، فأسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ، فَكَبِّرْ واقْرَأْ بما تَيَسَّرَ معَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَكَ حتَّى تَعْتَدِلَ قائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حتَّى تَطْمَئِنَّ ساجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حتَّى تَسْتَوِيَ وتَطْمَئِنَّ جالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حتَّى تَطْمَئِنَّ ساجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ افْعَلْ ذلكَ في صَلَاتِكَ كُلِّهَا

“Jika Anda hendak salat, sempurnakanlah wudhu, lalu menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah, lalu bacalah ayat Al-Quran yang mudah bagi Anda. Kemudian ruku’lah sampai ruku’nya terasa tuma’ninah. Lalu bangkitlah dan ber-i’tidal-lah (bangkit dari ruku’) seraya berdiri. Kemudian sujudlah sampai sujudnya terasa tuma’ninah. Lalu bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil tuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai tuma’ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap salatmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur lelaki itu supaya mengulang salat. Hal ini karena tidak adanya tuma’ninah pada salatnya yang menyebabkan salat tidak sah. Sehingga teguran Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Ulangi salatmu, karena sebenarnya kamu belum salat” ini juga bisa disampaikan kepada siapa saja yang terlalu cepat salatnya atau tidak tuma’ninah dalam salatnya.

Perbandingan mana yang lebih utama, antara tarawih cepat 23 raka’at, dengan 11 raka’at santai, sama dengan membandingkan antara kuantitas dengan kualitas. Tentu kualitas lebih unggul daripada sekedar banyak-banyakan kuantitas. Maka salat tarawih dengan sedikit raka’at namun khusyu’ dan tuma’ninah, lebih besar pahalanya dan lebih utama daripada tarawih banyak raka’at tetapi tergesa-gesa tidak khusyu‘.

Syekh ‘Alwi bin Abdul Qadir As-Saqof (pengasuh website Ilmiyah dorar.net) menerangkan,

ولو خُيِّرَ المأمومُ بينَ مَسجِدَينِ، فالأوْلى -واللهُ أعلَمُ- أنْ يَختارَ مَن قدَّمَ التَّروِّيَ والطُّمأنينةَ في الصَّلاةِ على مَن قدَّمَ عددَ الرَّكَعاتِ وصلَّى إحْدى عَشْرةَ ركعةً خَفيفةً جدًّ

“Kalau makmum diberi pilihan antara salat di dua masjid, maka yang lebih utama –wallahu a’lam– memilih masjid yang imamnya lebih memperhatikan tuma’ninah dalam salat, daripada imam yang lebih perhatian pada jumlah raka’at. Dia melakukan salat sebelas rakaat adalah sangat ringan.” Silakan dilihat fatwanya di sini. 

Demikian…

Wallahua’lam bis showab.

Penulis : Ahmad Anshori

Artikel : Muslim.or.id

Manfaat Psikis Ibadah Puasa

IBADAH puasa –yang sedang ditunaikan oleh umat Islam seluruh dunia saat ini– memiliki banyak manfaat. Manfaat secara fisik puasa sudah banyak dibahas di berbagai artikel dan buku. Tulisan ini berfokus pada manfaat  puasa secara psikis.

Dalam buku berjudul “Al-Qur`an wa ‘Ilmu an-Nafs” (2001: 293) karya Dr. Muhammad Utsman Najāti, disebutkan bahwa puasa memiliki banyak manfaat secara psikis. Penjelasan beliau mengenai masalah ini bisa dituangkan dalam beberapa poin berikut:

Pertama, mendidik dan melati jiwa manusia. Kedua, mengobati banyak penyakit kejiwaan, bahkan fisik.Menahan diri dari makan dan minum mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari sebulan penuh misalnya melatih manusia untuk melawan syahwat dan mengontrolnya. Upaya ini bisa menanamkan spirit takwa dalam jiwa yang menunaikan puasa.

Tujuan dari ibadah puasa –sebagaimana keterangan surah Al-Baqarah ayat 183– adalah agar orang beriman menjadi pribadi yang senantiasa bertakwa. Maksudnya, orang yang menunaikannya seakan sedang membentengi jiwanya dari berbagai kemaksiatan. Kuncinya adalah pengendalian syahwat.

Dari sini, penulis dan pembaca bisa mengerti mengapa Nabi ﷺ bersabda, “Puasa adalah perisai (tameng).” Karena peran-peran puasa pada hakikatnya mirip benteng atau baju perisai dalam perang yang fungsinya bisa melindungi dari serangan musuh. Hanya saja, yang dilindungi dalam ibadah puasa di antaranya adalah jiwa manusia agar tidak menjadi budak syahwat.

Lebih saksama, ketika hadits-hadits tentang puasa dibaca, terdapat banyak nilai puasa yang berpengaruh positif secara psikis. Misalnya, ketika puasa dilarang berkata kotor, berbuat bodoh dan sia-sia, bahkan ketika diprovokasi berkelahi maka tidak boleh dilayani, cukup membalasnya secara verbal bahwa dirinya sedang berpuasa.

Pengendalian diri semacam ini membuat jiwa semakin kuat dan mudah dikendalikan untuk berbuat taat. Bukankah Nabi Muhammad ﷺ pernah berujar, orang kuat sejati bukanlah yang jago gulat (kuat secara fisik), tapi yang kuat menahan amarah. Nah di sini, peran ibadah puasa menjadi begitu signifikan.

Jika puasa dijalankan dengan proses dan niat yang benar, maka menurut Dr. Usman Najati akan berpengaruh positif pada psikis manusia. Orang demikian akan mampu memiliki keinginan kuat dan kebulatan tekad yang akan berfungsi bukan saja dalam pengendalian diri pribadi tapi juga bisa berpengaruh pada interaksi sosial.

Tidak kalah penting dari semua itu, ibadah puasa juga bisa melatih nurani manusia sehingga ia menjadi hamba Allah yang konsisten menjaga adab-adab yang luhur. Dampak paling positifnya adalah yang jadi kontrol bukan lagi peraturan undang-undang, tapi nuraninya sendiri. Ia akan tetap melakukan kebaikan di manasa saja, meski tidak disorot media atau hiruk pikuk manusia. Ini karena nuraninya bisa menjadi kontrol.

Dalam ibadah puasa juga melatih manusia memiliki sifat-sifat luhur yang sangat berguna bagi kesehatan jiwa. Misalnya, membuatnya mampu untuk bersabar, bukan saja pada makan, minum dan hubungan intim, tapi juga dalam mengendalikan syahwat. Dengan kesabaran, maka segenap beban berat tidak membuatnya pesimis bahkan putus asa dalam perjuangan menuju akhirat.

Manfaat lain dari ibadah puasa secara psikis adalah bisa menanamkan pada jiwa orang kaya tentang rasa sakit, lapar dan kesusahan yang dialami orang-orang yang tak punya. Sehingga, nanti muncul rasa belas kasih, tidak tega kepada orang fakir miskin. Kemudian mendorongnya untuk berderma dan membantu kesusahan hidup mereka. Ini semua bisa menguatkan spirit solidaritas sosial dalam tatanan masyarakat.

Selain manfaat yang disebutkan tadi, bisa ditambahkan juga manfaat psikis dari ibadah puasa yang disebutkan oleh Ahmad Syarifuddin dalam buku “Puasa Menuju Sehat Fisik dan Psikis” (2003: 175) di antaranya: mengantar sikap hidup takwa, membangun kepercayaan diri, mengurangi tekanan jiwa, menjaga kstabilan emosi, menjamkan mata hati dan intuisi. Itu semua bisa diraih ketika ibadah puasa dijalankan dengan sebenar-benaranya.

Untuk meraih puasa yang bisa menyehatkan secara psikis memang tidak bisa ditempuh dengan puasa biasa-biasa saja. Meminjam istilah Imam Ghazali, bukanlah puasa pada level awam yang hanya sekadar meninggalkan makan, minum dan berhubungan intim.

Tapi puasa pada level khusus dan super khusus yang berarti mengendalikan diri juga dari berbagai maksiat, dosa bahkan pada puncaknya adalah menahan diri dari segala sesuatu yang bisa memalingkan diri kita dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

Orang seperti ini biasa memandang ibadah puasa sebagai nilai yang terus dijalankan bukan saja dalam bulan Ramadhan, tapi pada bulan-bulan lainnya. Meski di luar Ramadhan tidak ada puasa sebulan penuh, tapi ibadah-ibadah puasa sunnah yang lain banyak sekali yang bisa dilaksanakan. Yang tak kalah penting adalah puasa dalam perngertian subtantif yang berarti pengendalian jiwa dan raga dari sesuatu yang haram.

Puasa demikian adalah sepanjang hayat, dan waktu berbukanya adalah ketika ajal menjemput. Terkait hal ini ada ungkapan menarik dari generasi salaf terdahulu:

صُمِ الدُّنْيَا وَاجْعَلْ فِطْرَكَ الْمَوْتَ الدُّنْيَا كُلُّهَا شَهْرُ صِيَامِ الْمُتَّقِيْنَ يَصُوْمُوْنَ فِيْهِ عَنِ الشَّهَوَاتِ الْمُحَرَّمَاتِ فَإِذَا جَاءَهُمُ الْمَوْتُ فَقَدِ انْقَضَى شَهْرُ صِيَامِهِمْ وَاسْتَهَلُّوا عِيْدَ فِطْرِهِمْ.

“Teruslah berpuasa selama di dunia, dan jadikanlah waktu berbukamu adalah kematian. Dunia seluruhnya adalah hari berpuasa bagi orang bertakwa. Mereka berpuasa dari syahwat yang diharamkan. Ketika ajal sudah tiba, maka telah usailah waktu berpuasa mereka, dan mereka memulai berbuka.” (Ibnu Rajab, Lathaiful Ma’arif, 293)

Dengan pemahaman demikian maka kesehatan psikis dari ibadah puasa bisa dinikmati bukan saja pada bulan Ramadhan, tapi sepanjang tahun, bahkan sepanjang hayat. Kalau kita perhatikan pada momen pertempuran Badar Kubra (2 H), mengapa umat Islam dengan bekal minim, kekuatan 3 kali lipat lebih kecil dari musuh, tapi bisa memenangkan pertempuran yang menghubah peta dunia?

Jawabannya mudah, karena pada momentum itu kewajiban puasa ditetapkan dan dampak secara psikis sangat besar. Keterbatasan-keterbatasan bekal fisik yang dihadapi akhirnya bisa dilampaui, karena mental, jiwa dan batinnya sudah menjadi pemenang. Perubahan besar itu terkandung dalam syariat puasa.*/Mahmud Budi Setiawan, LC

HIDAYATULLAH

Jangan Berpaling dari Ramadhan yang Memiliki Banyak Keutamaan

RAMADHAN adalah bulan yang paling mulia. Pada bulan inilah permulaan turunnya Al-Qur’an. Dia adalah bulan ketaatan, ibadah, dan perbuatan baik. Dia juga bulan ampunan, rahmat, dan keridhaan. Dalam bulan ini terdapat Lailatul Qadar (Malam Kemuliaan) yang lebih baik daripada seribu bulan. Dengan sarana bulan ini, seorang mukmin memperbaiki perilaku keagamaannya dan menata urusan dunianya. Pada bulan ini banyak kesempatan bagi terkabulnya doa.

Banyak hadits Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam yang menyebutkan keutamaan bulan Ramadhan dan keutamaan berpuasa di dalamnya, di antaranya sebagai berikut:

Sabda Nabi SAW,

“Bulan paling utama adalah bulan Ramadhan, dan hari paling utama adalah hari Jumat.” (Diriwayatkan Ath-Thabrani dari Abdullah bin Mas’ud)

Juga,

“Seandainya manusia mengetahui besarnya pahala yang tersedia di bulan Ramadhan, niscaya dia berharap bulan Ramadhan itu sepanjang tahun.” (Diriwayatkan Ath-Thabrani, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Baihaqi dari Abu Mas’ud al-Ghifari)

Ath-Thabrani meriwayatkan dari Ubadah bin Shamit bahwa pada suatu hari, ketika bulan Ramadhan tiba, Rasulullah SAW bersabda,

“Bulan Ramadhan yang penuh berkah telah datang. Dalam bulan ini Allah melimpahkan rahmat kepada kalian, menghapus kesalahan, dan mengabulkan doa. Allah Ta’ala memerhatikan perlombaan kalian di dalamnya, dan Dia membanggakan kalian kepada para malaikat-Nya. Karena itu, perlihatkanlah giatnya diri kalian kepada Allah. Sesungguhnya orang yang sengsara adalah yang tidak mendapatkan rahmat Allah Azza wa Jalla dalam bulan ini.”

Sabda Nabi saw.,

“Apabila bulan Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.” (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Sabda beliau,

“Shalat lima waktu, shalat Jumat hingga shalat Jumat berikutnya, dan bulan Ramadhan hingga bulan Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa-dosa yang dilakukan di sela-selanya, asalkan dosa-dosa besar dijauhi.” (Diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah)

Sabda beliau,

“Setiap amal manusia dilipatgandakan pahalanya. Satu amal kebaikan diberi pahala sepuluh, sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman, ‘Kecuali puasa, sebab puasa adalah untuk-Ku, dan Akulah yang memberi pahala atasnya. Karena, demi Akulah orang yang berpuasa meninggalkan syahwat dan makanannya.’ Orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: ketika berbuka dan ketika bertemu Tuhannya. Dan sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah daripada aroma minyak misik.” (Diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah)

Dalam sebuah riwayat at-Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda,

“Sesungguhnya Tuhan kalian berfirman, ‘Setiap amal kebaikan diberi pahala sepuluh kali lipat, sampai tujuh ratus kali lipat. Puasa adalah untuk-Ku, dan Akulah yang akan memberi pahala atasnya.’ Puasa adalah pelindung dari api neraka, dan sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah daripada bau minyak wangi. Jika salah seorang di antara kalian sedang berpuasa lalu dia diganggu oleh seseorang, hendaknya dia berkata, ‘Aku sedang berpuasa! Aku sedang berpuasa!”‘

Sabda beliau,

“Barangsiapa menunaikan shalat Tahajud di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keinginan untuk mendapat pahala dari Allah, niscaya dosanya yang telah lampau diampuni.” (Muttafaq ‘alahi. Diriwayatkan Bukhari dan lain-lain dari Abu Hurairah)

Artinya, barangsiapa menghidupkan malam-malam Ramadhan dengan shalat Tarawih atau dengan kegiatan lain (seperti dzikir, istigfar, dan membaca Al-Qur’an) karena memercayai pahala yang dijanjikan oleh Allah, serta berharap mendapat ganjaran dari Allah semata dengan menunaikan amalnya secara ikhlas karena-Nya, tanpa menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, niscaya dosa-dosanya akan diampuni. Hanya saja, dosa yang berkaitan dengan hak-hak sesama manusia bergantung dari pemberian maaf dari pihak yang bersangkutan.

Diriwayatkan dari Salman r.a., ia berkata, “Rasulullah SAW pernah menyampaikan khotbah kepada kami pada akhir bulan Sya’ban. Beliau bersabda,

“Wahai saudara-saudara sekalian, bulan yang agung dan penuh berkah sudah hampir tiba, bulan yang di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik daripada seribu bulan, bulan yang puasanya ditetapkan oleh Allah sebagai kewajiban dan shalat Tahajudnya sebagai ibadah sunnah. Barangsiapa melakukan sebuah amal sunnah di dalamnya, maka dia seperti orang yang menunaikan sebuah amal fardhu di luarnya; dan barangsiapa melakukan sebuah amal fardhu di dalamnya, maka dia terhitung seperti orang yang menunaikan tujuh puluh amal fardhu di luarnya. Dia adalah bulan kesabaran, dan pahala kesabaran adalah surga. Dia adalah bulan penghiburan (kepada kaum miskin). Pada bulan tersebut rezeki seorang mukmin bertambah. Barangsiapa memberi buka kepada seseorang yang berpuasa, niscaya dosa-dosanya akan diampuni, dirinya akan dibebaskan dari neraka, dan dia mendapat pahala seperti orang yang berpuasa tersebut tanpa berkurang sedikit pun pahalanya.”

Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua orang punya harta untuk memberi buka kepada orang yang berpuasa!”

Rasulullah saw bersabda,

“Allah memberi pahala ini kepada siapa pun yang memberi buka kepada orang yang berpuasa, meskipun hanya dengan sebutir kurma, seteguk air putih, atau campuran susu. Bagian awal bulan ini adalah rahmat, bagian tengahnya adalah ampunan dosa, dan bagian akhirnya adalah pembebasan dari neraka. Barangsiapa memberi budaknya keringanan dari pekerjaan pada bulan ini, niscaya Allah akan mengampuni dosanya dan membebaskannya dari neraka. Perbanyaklah melakukan empat perkara dalam bulan ini, dua di antaranya untuk membuat Tuhan kalian ridha, dan dua lagi pasti kalian perlukan. Dua perkara untuk membuat Tuhan kalian ridha adalah mengucapkan syahadat Laa ilaaha illailah (tiada tuhan selain Allah) dan beristigfar, sedangkan dua perkara yang pasti kalian perlukan adalah memohon surga kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari neraka. Barangsiapa memberi minum kepada orang yang berpuasa, niscaya Allah akan memberinya minum dari telagaku, sehingga dia tidak akan haus lagi sampai dia masuk surga.” (Diriwayatkan Ibnu Khuzaimah)*

HIDAYATULLAH

Doa Ketika Hendak Melaksanakan Shalat Tarawih

Ketika kita berada di bulan Ramadan, kita dianjurkan untuk melaksanakan shalat Tarawih. Shalat ini khusus dilaksanakan pada bulan Ramadan setelah melaksanakan shalat Isya terlebih dahulu. Shalat Tarawih hukumnya sunnah dan dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjamaah. Meski begitu boleh juga dilaksanakan sendirian di rumah tanpa berjamaah.

Kesunnahan melakukan shalat Tarawih ini berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dari Sayidah Aisyah, dia berkisah;

انَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ

Pada suatu malam Rasulullah Saw melaksanakan shalat di masjid, maka para sahabat mengikuti shalat beliau. Pada malam berikutnya, beliau kembali melaksanakan shalat di masjid dan orang-orang yang mengikuti bertambah banyak. Pada malam ketiga atau keempat, orang-orang banyak sudah berkumpul namun beliau tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Ketika pagi harinya, beliau bersabda; Sungguh aku mengetahui apa yang kalian lakukan tadi malam dan tidak ada yang menghalangi aku untuk keluar shalat bersama kalian. Hanya saja aku khawatir nanti diwajibkan atas kalian.’ Kejadian ini di bulan Ramadan.

Dalam kitab Al-Masyrab Al-Shafi Al-Hani, Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar menyebutkan bahwa ketika hendak melaksanakan shalat Tarawih, kita hendaknya membaca doa berikut sebanyak tiga kali;

اَللَّهُمَّ اِنَّا قَابَلْنَاكَ فَاقْبَلْنَا وَعَلَى طَاعَتِكَ اَعِنَّا يَا كَرِيْمُ

Alloohumma innaa qoobalnaaka faqbalnaa wa ‘alaa thoo-‘atika a’innaa yaa kariim.

Ya Allah, kami menghadap-Mu maka terimalah kami, dan tolonglah kami untuk taat kepada-Mu, wahai Dzat Yang Maha Mulia.

BINCANG SYARIAH

Mendidik Anak dengan Puasa

Puasa Ramadhan menjadi salah satu model pendidikan keluarga dalam mendidik anak.

Setiap mukmin diperintahkan Allah SWT agar memelihara keluarganya (quw anfusakum) dari siksa api neraka (QS at-Tahrim [66]: 6). Berdasarkan perintah itu, pendidikan dalam keluarga mesti dilakukan orang tua terhadap anak-anaknya.

Puasa Ramadhan menjadi salah satu model pendidikan keluarga yang patut dioptimalkan orang tua dalam mendidik anak-anaknya, terutama di masa pandemi ini. Ibadah puasa memberikan edukasi positif bagi sikap keberagamaan anak di bawah bimbingan dan keteladanan orang tua dan dukungan masyarakat lingkungannya.

Abdullah Nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Awlad menjelaskan, Rasulullah SAW memerintahkan orang tua untuk mendidik anaknya mendirikan shalat sejak usia tujuh tahun. Dari perintah shalat ini, dapat disamakan dengan puasa. Kita latih anak-anak untuk melakukan puasa jika mereka kuat.

Dengan membiasakan anak berpuasa, maka terjadi pendidikan akidah, ibadah dan akhlak dalam keluarga. Pertama, pendidikan akidah. Saat berpuasa, mereka akan merasakan bahwa Allah SWT senantiasa mengawasinya sehingga tidak berani makan dan minum, meski ia bisa bersembunyi dari penglihatan orang tua, saudara dan teman-temannya. Inilah pendidikan akidah yang fundamental; tidak sekedar meyakini keberadaan Tuhan, tetapi juga teraplikasi dalam perilakunya.

Kedua, pendidikan ibadah. Tidak saja melaksanakan ibadah puasa, sejumlah ibadah lain juga dibiasakan dengan melibatkan keluarga secara bersama, seperti shalat fardhu jamaah, tarawih, zikir, tadarus, berinfak, dan zakat fitrah. Pembiasaan ibadah ini efektif dilakukan untuk mendidik anak agar menjadi hamba yang saleh.

Ketiga, pendidikan akhlak. Aneka akhlak mulia ditanamkan dan dibiasakan saat berpuasa kepada anak, sepeti disiplin, jujur, sabar, berkata santun, empati, tolong menolong, dan menghargai orang lain. Selama puasa anak dituntun menjauhi perilaku buruk, sebab merusak puasa. Sabdanya: “Sesungguhnya menggunjing dan berdusta merusak puasa” (HR at-Tirmidzi).

Keberhasilan mendidik anak dalam keluarga sangat ditentukan oleh orang tuanya dengan mengedepankan keteladanan dan keikhlasan mendidik anak-anaknya dalam menjalankan ibadah puasa dan amaliah Ramadhan lainnya. Bukankah Nabi SAW juga berhasil mendidik umat karena keteladan akhlaknya? (Qs. Al-Ahzab [33]: 21 dan Qalam [68]: 6).

Selain itu, intensitas hubungan dan komunikasi antara orang tua dan anak juga terbangun dalam keluarga selama puasa. Kebersamaan saat berbuka dan makan sahur semakin memperkuat perhatian dan kasih sayang orang tua dengan menyediakan makanan yang halal lagi bergizi.

Demikian keberkahan Ramadhan dalam memperkuat pendidikan keluarga yang bertakwa, yaitu terpelihara dari dosa dan siksa api neraka.

Wallahu a’lam.

OLEH MUHAMMAD KOSIM

REPUBLIKAid

5 Hikmah Allah SWT Mematikan Manusia di Dunia

Allah SWT menciptakan manusia dan akan mematikannya di dunia

Setiap yang bernyawa pasti akan mati, termasuk manusia. Kelahiran manusia di dunia semata hanyalah untuk mempersiapkan kematian. Namun, kematian memiliki hikmah yang apabila dipahami akan mendatangkan ketakwaan. 

Setidaknya ada lima hikmah mengapa Allah SWT mematikan manusia. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam situs Mawdoo3

Hikmah yang pertama yaitu mempertegas kekuasaan Allah SWT, khususnya sejak proses penciptaan manusia. Kemudian, menjalani kehidupannya di bumi. Hingga akhirnya, manusia meninggal dunia. Semua itu terjadi hanya karena kekuasaan Allah SWT. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman: 

فَلَوْلَا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ*تَرْجِعُونَهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ “Maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (QS Al Waqiah 86-87). 

Hikmah kedua, mengenalkan hakikat manusia melalui kematian. Karena, Allah menciptakan manusia tidak sia-sia, tetapi untuk alasan dan tujuan yang besar.

Hikmah ketiga, Allah SWT mempercayakan manusia sebagai khalifah di bumi. Mereka berhasil hidup berdampingan satu sama lain. Jika manusia tidak melahirkan keturunan, maka manusia sebagai khalifah di muka bumi ini akan sirna.  

Hikmah keempat, Allah mematikan manusia dari dunia ini untuk mengetahui mereka yang mematuhi-Nya dan mereka yang tidak mematuhi-Nya. Dalam Alquran, Allah berfirman: 

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ “Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Mahapengampun.” (QS Al Mulk 2) 

Hikmah kelima, merasakan nikmat besar dari Allah SWT. Jika bukan karena kematian, manusia tidak akan bisa hidup di bumi, dan manusia tidak akan mendapat tempat yang baik di dalamnya.

Sumber: mawdoo3

KHAZANAH REPUBLIKA

Ketika Azan Magrib, Buka Puasa atau Shalat Magrib Lebih Dahulu?

Berikut penjelasan hukum terkait Ketika Azan Magrib berkumandang, buka puasa atau shalat Magrib lebih dahulu?

Bulan Ramadhan adalah bulan mulia. Bulan penuh berkah. Ramadhan adalah bulan istimewa. Dalam Ramadhan terkandung rahmat, ampunan, dan pembebasan dari siksaan api neraka. Ini semua bonus dari Allah bagi hamba-Nya yang melaksanakan puasa dengan sempurna.

Nah salah satu satu kegembiraan orang yang berpuasa adalah ketika tiba waktu buka puasa. Tak bisa dipungkiri, mayoritas masyarakat Indonesia menganggap waktu berbuka puasa adalah sesuatu yang sangat istimewa. Untuk itu, pelbagai usaha dilakukan agar hidangan buka puasa serba istimewa.

Menu makanan untuk berbuka puasa pun dibuat beragam, tak cukup satu macam.  Hidangan santap berbuka pun terdiri dari kolak, sirup, gulai rendang, kurma, ayam bakar, ikan bakar dan goreng, ayam krispi dan menu makanan lainnya. Pemandangan ini sudah lazim kita temui. Pendek kata, menu makanan saat berbuka cenderung lebih istimewa  dibanding hari lain, di luar bulan Ramadhan.

Nah kemudian datang permasalahan, menurut hukum fiqih Islam, ketika datang waktu Magrib atau waktu berbuka puasa, apakah yang terlebih didahulukan  berbuka puasa (santap makanan) atau Salat Magrib?

Menurut Dar Ifta Mesir  bahwa orang yang berpuasa ketika telah datang Magrib atau waktu berbuka, maka lebih utama mendahulukan berbuka puasa, kemudian dilanjutkan shalat Magrib. Begini penjelasan Lembaga Fatwa Mesir;

يستحبُّ أن يكون الفطر قبل صلاة المغرب

Artinya; Disunatkan untuk mendahulukan berbuka puasa, sebelum melaksanakan shalat Magrib.

Pendapat ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Sunan Abi Daud. Berikut hadis nabi tersebut;

عن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قال: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ، فَعَلَى تَمَرَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

Artinya: Dari Anas bin Malik, ia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum shalat dengan ruthab (kurma basah), jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada tamar, beliau meminum seteguk air.

Dalam hadis ini terdapat keterangan bahwa Rasulullah terlebih dahulu berbuka puasa, kemudian melanjutkan shalat Magrib. Pasalnya, ketika perintah  mendahulukan berbuka puasa atau makanan yang sudah sudah disajikan, supaya setelah makan bisa fokus mengerjakan salat. Bila shalat Magrib didahulukan maka dikhawatirkan mengurangi khusyuk  shalat.

Lebih lanjut, menurut Dar Ifta Mesir, ada pun hikmah didahulukan berbuka puasa, untuk mengamalkan sunah Nabi, yakni menyegerakan berbuka. Di samping itu, Nabi juga mensunatkan ketika berbuka dengan menggunakan kurma basah atau kurma kering. Bila tak ada, maka bisa dengan air putih.

Hal itu termaktub dalam hadis Nabi Muhammad;

إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ فَإِنَّهُ طَهُورٌ

Artinya; Jika salah seorang dari kalian berbuka puasa, maka berbukalah dengan kurma (tamr), karena hal itu mengandung keberkahan. Jika tidak ada, maka berbukalah dengan air karena air itu mensucikan (HR. Imam Tirmidzi).

Demikian penjelasan terkait ketika azan Magrib, buka puasa atau shalat Magrib lebih dahulu?

BINCANG SYARIAH

Benarkah Rasululah Memerintahkan Umat Muslim Membunuh Orang Kafir Sampai Dia Bersyahadat?

Pertanyaan;

Assalamualaikum Warahmatullah wabarakatuh,

Min Bincang Syariah, saya mau bertanya Benarkah Rasululah Memerintahkan Umat Muslim Membunuh Orang Kafir Sampai Dia Bersyahadat. Pasalnya ada beberapa penceramah yang mendakwahkan demikian. Saya mohon penjelasannya, Min. Terimakasih

Jawaban;

Waalaikum Salam Warahmatullah Wabarakatuh

BincangSyariah.Com— Penanya yang budiman. Berikut jawaban kami terkait pertanyaan pembaca setia Bincang Syariah.

Dalam ajaran Islam membunuh merupakan perbuatan tercela. Menghilangkan nyawa manusia termasuk dosa besar. Pembunuhan dikategorikan sebagai dosa besar setelah syirik, baik yang dibunuh itu seorang muslim maupun non-muslim.

Dalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam Q.S al Isra’ ayat 33;

Artinya; Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allâh (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. [al-Isrâ`/17:33].

Selanjutnya, ada juga larangan membunuh manusia  dari baginda Nabi. Demikian itu termaktub dalam hadis riwayata Imam Bukhari dan Muslim. Nabi bersabda;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ

Artinya: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari baginda Nabi, beliau bersabda: “Jauhilah tujuh dosa yang akan membua binasa”, lantas sahabat  bertanya, “Wahai Rasullah, dosa apakah itu?”

Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. (HR Imam Bukhari/2615 dan 6465, dan Imam Muslim/89).

Kemudian persoalan, Nabi menganjurkan membunuh orang kafir sehingga mereka bersyahadat? Penting kita ketahui bersama, Muhammad adalah Nabi yang diutus Allah sebagai rahmat bagi sekalian alam. Muhammad adalah manusia penuh kasih dan cinta dalam hatinya.

Menurut Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulum ad Din, bahwa karakter yang tercermin dalam diri Nabi adalah Al-Quran. Sejatinya, kehidupan Rasulullah merupakan sikap teladan yang universal bagi manusia di seluruh dunia. Dalam diri Rasullulah menjangkau pelbagai lini kehidupan, baik itu kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Pendek kata, perilaku Nabi menjangkau seluruh bidang aktivitas manusia.

Sebagaimana dalam firman Allah dalam al-Ahzab ayat 21;

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

Artinya; Sesungguhnya pada diri Rasulullah (Muhammad) itu terdapat pola keteladanan yang baik bagimu.”

Salah satu tauladan yang ditunjukkan Nabi adalah cinta dan kasih terhadap manusia. Meskipun ia seorang non muslim. Hubungan indah dibangun Nabi dengan komunitas Kristen dan Yahudi di negeri Madinah.

Namun, harus diakui dalam pelbagai firman dan hadis Nabi ada beberapa teks ayat atau hadis yang menyuruh untuk berperang. Pada kesempatan ini, tulisan kita batasi terkait teks hadis yang menyuruh berperang dan membunuh non Muslim.

Berikut hadisnya;

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan supaya mereka menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukan itu maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali karena alasan-alasan hukum Islam. Sedangkan perhitungan terakhir mereka terserah kepada Allah. (HR: AL-Bukhari dan Muslim)

Tak bisa dipungkiri, hadis ini sering disalahpahami orang yang membacanya. Kesalapahaman dalam menilik hadis ini datang dari dua kutub. Kutub pertama, diwakili oleh seorang muslim yang radikal, mereka memahami hadis ini sebagai legitimasi untuk memerangi dan membunuh seluruh kafir yang enggan memeluk agama Islam.

Sedangkan kutub kedua diwakili oleh sebagian non-muslim. Mereka  menganggap hadis ini bukti otentik Islam sebagai agama yang mengajarkan terorisme dan  kekerasan. Islam bagi mereka disebarkan melalui perperangan dan pembunuhan.

Tentu saja kedua anggapan di atas sangat tidak benar. Islam bukanlah agama yang disebar dengan kekerasan. Islam tak juga agama perang. Islam itu cinta damai dan kemanusiaan. Untuk itu, terkait hadis di atas penting kita memahami konteks turun hadis ini. Dan penting juga kita memahami apa sejatinya maksud ini.

Menurut Ibn Taimiyah dalam hadis tersebut, kata an-nas bukanlah memerangi seluruh non muslim. Dan bukan pula membunuh seluruh non muslim. Ada pun kata an-nas dalam hadits di atas adalah orang-orang (manusia) yang ingin memerangi umat Islam. Dalam hadis ini manusia yang boleh atau diizinkan diperangi, hanya orang-orang musyrik yang mengangkat senjata dan ingin berperang dengan umat Islam.

Ada pun orang-orang musyrik atau non muslim lain yang mengikat tali damai dengan orang Islam, maka tak boleh diperangi. Ibn Taimiyah memperkuat argumennya dengan firman Allah dalam Q.S Albaqarah ayat 190;

وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ

artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190).

Dalam Jurnal Ilmu–Ilmu Ushuluddin Vol. 07, No.01, Juli 2019, Muhammad Mundzir membahas hadis di atas dengan judul Reinterpretasi Hadis Perintah “Membunuh Manusia Sampai Mengucap Syahadat” Sebagai Upaya Deradikalisasi Agama, dengan mengutip Ibn Hajar dalam kitab Fathul Bari, ia mengatakan bahwa matan hadis  di atas menggunakan lafazd “hatta yashadu”, merupakan hadis yang sanadnya gharib. Hadis itu dimulai dari periwayatan Waqid dan Syu’bah.

Di samping itu, Ibn Hajar al-‘Asqalaniy juga mengatakan hadis yang sanadnya gharib dari periwayatan Abdul Malik. Dengan demikian, Imam Bukhari dan Muslim memberikan kesimpulan akhir bahwa hadis tersebut matannya shahih, sedangkan dan sanadnya gharib.

Lebih lanjut, Ibn hajar berpendapat hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar di atas, sejatinya merupakan sebuah respon dari perdebatan  antara Umar dan Abu Bakar. Perdebatan itu terjadi ketika melihat orang-orang yang melarang untuk berzakat dan orang-orang yang tidak ingin mengeluarkan zakat, sehingga Umar geram dan ingin membunuhnya.

Akan tetapi, Abu Bakar menambahkan dengan lafadz Illa bi Haqqi Islam, sehingga membunuh bukan jalan satu-satunya tatkala terdapat orang yang melarang zakat, tetapi mengajak mereka untuk masuk Islam.

Pada sisi lain, Muhammad Khudari dalam artikel Bahaya Salah Memahami Hadist ‘Memerangi Orang-orang Musyrik’, menuliskan bila kita telisik redaksi hadits sejenis dengan hadis di atas dari pelbagai jalur riwayat, maka tidak ada yang menggunakan redaksi “umirtu an aqtula”.

Seluruh hadits hadits menggunakan redaksi “umirtu an uqaatila”. Ada pun dalam ilmu gramatika bahasa Arab, dua redaksi hadis anata “an aqtula” dengan “an uqaatila” memiliki perbedaan makna yang signifikan. Jika redaksi “an uqaatila” ini menunjukkan bahwa perbuatan penyerangan itu dilakukan oleh dua pihak.

Tentu ini berbeda dengan “an aqtula”, yang dimaksud dengan redaksi ini adalah penyerangan oleh satu pihak. Apa arti ini? Perintah untuk memerangi orang-orang musyrik atau non Islam dalam hadis di atas, mana kala para kaum musyrik itu terlebih dahulu memerangi umat Islam. Inilah maksud hadist di atas.

Larangan Rasulullah membunuh kaum kafir Mua’had, dzimmi, dan Musta’man

Terdapat dalam pelbagai hadis Nabi, yang menyebutkan bahwa Islam melarang membunuh kaum non muslim dari kalangan Mua’had, dzimmi, dan Musta’man. Rasul dengan tegas melarang memerangi dan membunuh orang non muslim yang tak menyatakan perang dan menyerang Islam.

Sembari itu, Rasul pun mengancam orang yang membunuh orang kafir jenis ini. Pasalnya mereka adalah orang yang dilindungi dan haram untuk disakiti dan perangi. Nabi mengatakan membunuh dan menyerang tiga golongan tersebut, termasuk dosa besar.

Nabi bersabda;

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

Artinya; Barangsiapa membunuh kafir mu’ahad, maka ia tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga itu bisa tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun. (HR Imam Bukhari).

Adapun yang dimaksud dengan kafir Mua’ahad adalah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar al Asqallany dalam kitab Fathul Bari, kaum kafir mu’ahad adalah orang kafir yang memiliki perjanjian dengan kaum Muslimin. Perjanjian itu berupa membayar jizyah, perjanjian damai dari pemerintah Islam, atau orang yang memiliki jaminan keamanan dari seorang Muslim.

Di samping itu juga, terdapat hadis Rasullah yang melarang membunuh orang kafir dzimmi. Pelaku yang melanggar, maka itu tergolong dosa besar dan tak akan masuk surga pelakunya.

Rasullah bersabda;

مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

Artinya: Siapa saja yang membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sejatinya, bau surga itu bisa tercium dari perjalanan empat puluh tahun (HR Imam An Nasa’i).

Demikian penjelasan terkait benarkah Rasululah memerintahkan umat muslim membunuh orang kafir sampai dia bersyahadat.

BINCANG SYARIAH