Janganlah Kebencian Membuat Kita Berlaku tak Adil

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا  “Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka).” (QS Al-Maidah: 2)

Petikan dari ayat kedua surat Al-Maidah ini rasanya istimewa sekali. Allah SWT menegur para sahabat agar tidak berlaku aniaya kepada orang-orang yang mereka benci.  

Konteksnya di masa itu orang musyrikin Makkah memang sangat keterlaluan, karena menghasung hak-hak kaum Muslimin untuk bisa berkunjung ke Baitullah Masjidil Haram. 

Namun bersama dengan kebencian itu, justru Allah SWT menegur para sahabat agar berlaku adil kepada orang yang dibenci.  

Larangan ini jelas sulit untuk dikerjakan. Kepada orang yang kita benci, kok kita malah dilarang berlaku zalim. Padahal seharusnya, kalau kita mengikuti nafsu, mumpung dia pernah bikin gara-gara sama kita, lalu kita punya kesempatan balas dendam, maka bisa-bisa saja kita zalimi.  

Orang yang kita benci itu enaknya kan kita musuhi bersama-sama, atau setidaknya kita rampas uangnya, bisa juga kita bikin dia ketakutan, atau bisa juga kita intimidasi.    

Ternyata perbuatan macam itulah yang justru dilarang Allah. Benci boleh, tapi berlaku zalim kepada yang kita benci ternyata malah dilarang.   

Sebagian para ahli tafsir mufassirin menceritakan bahwa turunnya ayat ini terkait dengan awal mula terjadinya Perjanjian Hudaibiyah.

Nabi SAW dan 1.500 sahabat berpanas-panas melintasi padang pasir menuju ke Baitullah dalam rangka umroh. Ternyata baru sampai di Hudaibiyah, rombongan umroh dihadang dan tidak boleh masuk ke Makkah. 

Akhirnya Nabi SAW dan para sahabat gagal total masuk Makkah, dan terpaksa bertahallul dan sembelih hadyu hanya di luar Kota Makkah. Siapa yang tidak kesal ditolak masuk ke kampung halaman sendiri. 

Maka setelah ditanda-tanganinya Perjanjian Hudaibiyah itu, ada beberapa kaum musyrikin yang terlihat hendak menunaikan umroh. Saat itu ada sebagian sahabat usul agar umat Islam menghalangi mereka pergi umroh. Lalu turunlah ayat ini.  

Pelajaran dari ayat ini buat saya pribadi mengajarkan bahwa bermusuhan itu harus profesional dan adil, tidak asal sradak-sruduk seenak berok. 

Oleh : Pengasuh Rumah Fiqih, Ustads Ahmad Sarwat Lc, MA

KHAZANAH REPUBLIKA

Alquran adalah Obat

Setiap peyakit ada obatnya maka apabila obatnya tepat maka sembuhlah penyakit itu

اْلحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيْدًا أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلهَ إِلاَّاللَّهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ: فَيَا عِبَادَ اللَّهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اتَّقُوْا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ، وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

Hadirin Jama’ah jum’ah rahimakumullah

Dalam khutbah jum’at ini marilah kita bersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan  karunianya  sehingga  kita  dapat  melaksanakan  jama’ah  shalat  jum’at.  Dan  marilah  kita tingkatkan  pula  kuwalitas  iman  dan  taqwa  kita  kepada  Allah  SWT  agar  kita  mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan hidup ini atas dasar petunjuk Al Qur’an yang mengandung pelajaran, rahmad dan obat penyembuh dari segala penyakit yang ada di dalam dada.

Berbicara tentang Al-Qur’an sebagai obat penyembuh tentu sangat berkaitan erat degan suatu penyakit tertentu. Jika ditelaah beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang berbicara tentang penyakit dan pengobatannya dapat dijelaskan dalam beberapa hal sebagai berikut, yaitu;

Pertama, penyakit Jasmani atau Fisik Manusia. Penyakit jasmani merupakan penyakit yang menyerang pada organ tubuh manusia yang bersifat jasmaniyah seperti penyakit kanker, jantung, ginjal, lambung, darah tinggi, kolesterol, asam urat, triglesirida, diabetes dan segala penyakit yang dirasakan oleh            manusia yang bersifat fisik atau jasmani, baik yang menyangkut pada organ dalam manusia maupun pada organ tubuh yang  nampak dari luar, baik yang bisa dideteksi secara langsung maupun harus dengan alat tegnologi medis.

Penyakit yang bersifat jasmani ini jika dilacak di dalam beberapa Hadits Nabi Muhammad SAW pada umumnya menggunakan istilah daa’in yang berarti penyakit sedangkan obat yang diperlukan untuk pengobatanya biasa menggunakan istilah dawaa’un. Sebagaimana dalam sebuah Hadits dari Jabir  RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَِإذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الداءِ بَ رَأَ بِِإذْنِ الل وِ عَز وَجَل )رواه مسلم(

“Setiap peyakit ada obatnya maka apabila obatnya tepat maka sembuhlah penyakit itu dengan ijin Allah Azza wa Jalla (HR. Muslim)”

Terkait dengan beberapa penyakit tersebut, Al Qur’an lebih banyak berbicara tentang langkah-langkah preventifnya atau pencegahan. Misalnya dalam QS Al-Baqarah 168

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Atau agar kebugaran tubuh terjaga, maka mengkonsumsi madu adalah pilihan yang baik. Madu lebah adalah salah satu obat penyembuh berbagai macam penyakit yang hingga sekarang ini madu lebah masih sangat relevan untuk digunakan sebagai pengobatan yang sangat baik (QS. An Nahl: 69)

ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ فَٱسۡلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلٗاۚ يَخۡرُجُ مِنۢ بُطُونِهَا شَرَابٞ مُّخۡتَلِفٌ أَلۡوَٰنُهُۥ فِيهِ شِفَآءٞ لِّلنَّاسِۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ

kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.

Hadirin Jama’ah jum’ah rahimakumullah

Kedua, penyakit Rahani (Hati). Penyakit rahani (hati) merupakan penyakit yang menyerang pada rahani (hati) manusia yang ada di dalam dada, seperti penyakit iri, dengki, ria’, ujub, sombong, munafiq, khawatir, resah, gelisah, was-was, bimbang, ragu dan sebagainya. Penyakit rohani ini di dalam Al-Qur’an biasa disebut dengan istilah mariidhun, sedang jenis obat yang dipakai untuk menyemuhkannya biasa di sebut dengan Syifaa’un dan cara pengobatannyapun tentu sangat berbeda dengan penyakit jasmani. (Al Baqarah : 10)

فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضٗاۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمُۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.

Bagi seorang mu’min tentu sangat meyakini bahwa Al Qur’an merupakan obat penawar penyakit rahani yang manjur dan sangat relevan sepanjang zaman, apa lagi zaman modern sekarang ini umat manusia banyak mengalami gangguan psikologis sebagai akabiat kekeringan ruhani, keresahan jiwa dan kegalauan hati, maka Al Qur’an merupakan jawaban alternatif untuk mengatasinya. (QS. Yunus : 57)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٞ لِّمَا فِي ٱلصُّدُورِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.

Pemahaman Al-Qur’an sebagai obat dilakukan dengan cara membaca, menelaah dan merenungkan kandungan Al Qur’an seraya megambil pelajaran untuk menjadi petunjuk dan pedoman hidup sehingga kita mampu memahami hakekat dan makna kehidupan ini. Dalam kondisi tertentu kita bisa menjadikan Al-Qur’an sebagai lafadz do’a dan dzikir guna penyembuhan penyakit rahani dan kejiwaan manusia baik dilakukan oleh si pasien sendiri maupun melalui perantara orang lain yang professional dibidangnya.

Hadirin Jama’ah jum’ah rahimakumullah

Ketiga, hubungan Ketenangan Rahani Terhadap Penyakit Jasmani

Ketenangan hati manusia sangat erat berhubungan dengan kesehatan jasmani, karena semakin sehat ruhani manusia akan berdampak pada kesahatan jasmaninya, dengan kata lain penyakit ruhani bisa menimbulkan berbagai macam penyakit jasmani. Sebagaimana dalam sebuah Hadits Nabi dari Nu’man bin Yasir, bahwa Rasulullah SAW bersabda;

ِإن ِف اْلَسَدِ مُضْغَةً ِإذَا صَلَحَتْ صَلَحَ اْلَسَدُ كُلُّوُ وَِإذَا فَسَدَتْ فَسَدَ اْلَسَدُ كُلُّوُ أَالَ وَىِيَ الْقَلْبُ )رواه البخاري و مسلم(

“Ketahulilah bahwa di dalam tubuh (manusia) ada mudghoh jika itu sehat maka sehat pula organ tubuhnya dan jika ia sakit maka sakit  pula organ  tubuhnya yang lain, ingatlah hal itu adalah qolbu (hati) (HR.Bukhari dan Muslim)”

بَارَكَ اللَّهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأَيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتُهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَقُلْ رَّبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ

Khutbah Kedua

اْلحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلهَ إِلاَّاللَّهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ: فَيَا عِبَادَ اللَّهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اتَّقُوْا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Hadirin Jama’ah jum’ah rahimakumullah

Dengan uraian yang kami sampaikan di atas memberikan pemahaman bagi kita semua bahwa

Pertama, penyakit menurut jenisnya bisa dikelompokkan menjadi dua yaitu penyakit jasmani dan penyakit ruhani. Penyembuhan penyakit jasmani dilakukan dengan memeriksakan kepada dokter, sedang penyakit rahani bisa dilakukan dengan penyembuhan spiritual seraya mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ritual ibadah sesuai petunjuk Al Qur’an.

Kedua, dalam jangka waktu tertentu penyakit ruhani bisa berdampak pada penyakit jasmani, tetapi tidak semua penyakit jasmani disebabkan karena faktor penyakit ruhani, tetapi karena faktor usia, sebab faktor usia lanjut biasanya secara metabolisme organ tubuhnya sudah mengalami perubahan.

Ketiga, Allah menurunkan penyakit sekaligus dengan obatnya, hal ini menjadi pendorong kepada umat Islam untuk bereksperimn dan mengadakan penelitian untuk menemukan obat penyembuh bagi suatu penyakit, tentu juga termasuk covid 19 yang hingga kini belum ditemukan obat penawarnya.

Demikian khutbah jum’at yang dapat kami sampaikan mudah-mudahan menambah keyakinan dan keimanan kita kepada Allah SWT, dan kita termasuk hamba yang diberi kesehatan oleh Allah baik sehat jasmani maupun rahani kita, Amiin.

اْلحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِميْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ والْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ فَيَاقَاضِيَ الْحَاجَاتِ.

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْئَلُكَ عِلْمًا نَفِعًا وَرِزْقًا وَاسِعًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Oleh M Jindar Wahyudi, Ketua PD Muhammadiyah, Kab. Boyolali

KHAZANAH REPUBLIKA

Mengalah Demi Meraih Keridhaan Orang Tua

Sebagai anak kita diwajibkan untuk mengalah demi meraih keridhaan orangtua, meskipun hal tersebut terkadang berat,

karena;

– Terkadang orangtua tidak paham seperti apa yang kita maksud

– Terkadang orangtua tidak sependapat dengan pendapat kita

– Terkadang orangtua memaksakan pendapat mereka terhadap kita

– Terkadang orangtua terlalu berlebihan dalam memprotek anak meskipun anaknya sudah dewasa dan menikah

– Terkadang orangtua masih menganggap kita anak kecil padahal kita sudah dewasa dan berkeluarga

– Terkadang kita sebagai anak yang harus dituntut memahami orangtua bukan orangtua yang memahami anaknya.

Coba perhatikan hadits berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى جِئْتُ أُرِيدُ الْجِهَادَ مَعَكَ أَبْتَغِى وَجْهَ اللَّهِ وَالدَّارَ الآخِرَةَ وَلَقَدْ أَتَيْتُ وَإِنَّ وَالِدَىَّ لَيَبْكِيَانِ. قَالَ « فَارْجِعْ إِلَيْهِمَا فَأَضْحِكْهُمَا كَمَا أَبْكَيْتَهُمَا ».

Artinya: “Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Seseorang pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya datang ingin berjihad bersamamu, mencari wajah Allah dan (nikmat/surga) di kehidupan akhirat, dan sesungguhnya kedua orangtua benar-benar menangis. Beliau bersabda: “Kembalilah kepada keduanya, buatlah mereka berdua tertawa sebagaimana kamu telah membuat mereka menangis.” HR. Ibnu Majah.

SOBAT…

SEMOGA SETELAH INI KITA LEBIH MENGALAH DEMI MENGGAPAI RIDHA ORANGTUA, ASALKAN HAL TERSEBUT BUKAN TAAT DALAM KEMASIATAN ATAU MENINGGALKAN KEWAJIBAN KEPADA ALLAH TA’ALA.

Ditulis oleh Ahmad Zainuddin

14 Dzulhijjah 1434H, Dammam Arab Saudi.

Al-Qahhâr, Allah Yang Maha Menundukkan

Nama terbaik Allah SwT yang menunjukkan kebesaran-Nya adalah al-Qahhâr

Nama terbaik Allah SwT yang menunjukkan kebesaran dan keperkasaan-Nya adalah al-Qahhâr. Kata “al-Qahhâr” merupakan bentuk superlative (mubâlaghah) dari Qâhir, yang berarti: perkasa, sangat kuat dan dahsyat, sehingga berkuasa dalam menjinakkan dan menundukkan segala sesuatu demi suatu tujuan tertentu.

Manusia yang mengimani Allah sebagai al-Qahhâr harus bersikap rendah hati, tidak arogan dan sombong, karena segala sesuatu yang ada di alam raya ini berada dalam genggaman kekuasaan-Nya. Namun, tidak sedikit manusia yang bersifat angkuh, berlaku diktator dan sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya. Seharusnya, dengan memahami hakikat al-Qahhâr, hamba menyadari sepenuh hati pentingnya menyerah, tunduk, dan patuh kepada Allah, karena Dialah Pencipta dan Pengatur langit dan bumi berikut isinya

Menyerah, tunduk, dan patuh kepada Allah adalah jalan iman dan Islam (istislâm) yang benar dan lurus. Komitmen teologis (tauhid ubudiyah) tersebut idealnya membuat hamba selalu memohon perlindungan kepada Al-Qahhâr dan menyerahkan segala tipu daya (makar) musuh-musuh Islam, ketika mereka membenci, antipati, dan bermakar menghancurkan Islam. Oleh karena itu, umat Islam harus meyakini bahwa Allah itu sebaik-baik pembalas tipu daya orang-orang kafir yang memusuhi Islam.

Selain maha menundukkan kehidupan dunia, al-Qahhâr juga Penguasa hari kiamat dan hari pembalasan. Di akhirat kelak, Allah Maha Menundukkan semua makhluk, termasuk manusia, sehingga Dia berkuasa menghidupkan kembali semua manusia dan mengumpulkannya di padang Mahsyar. “(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka (manusia) berkumpul (di Padang Mahsyar) menghadap Allah Yang Maha Esa, Mahaperkasa.” (QS Ibrahim[14]: 48). Jika semua manusia akan kembali kepada Allah, dan akan dihidupkan dan dibangkitkan dari kematiannya di akhirat untuk dimintai pertanggung jawabannya terhadap amal perbuatannya selama hidup di dunia, maka setiap harus memiliki kesadaran eskatologis, kesadaran akan pentingnya percaya bahwa hari akhir itu ada, sedangkan penguasanya adalah Allah, yang juga Maha Mengumpulkan, Menghisab dan Mengadili semua manusia.

Kesadaran eskatologis ini mestinya dapat menyadarkan hamba untuk mempersiapkan bekal terbaik untuk kehidupan akhirat  dengan trilogi iman, ilmu, dan amal shalih sekaligus  sinergi iman, islam, dan ihsan yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena akuntabilitas pengadilan Allah di akhirat itu tidak dapat diintervensi dan dikalahkan oleh siapapun. Al-Qahhar itu pemegang supremasi pengadilan dan pembalasan di akhirat yang membuat semua manusia bertekuk lutut di hadapan-Nya. Karena itu, ketundukan yang paling indah adalah tunduk secara totalitas kepada al-Qahhar dengan mendekatkan diri kepada-Nya.

Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah.

KHAZANAH REPUBLIKA

Apa Kerugian Terbesar Menurutmu?

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mau merugi. Semua orang berharap kesuksesan dan keberhasilan. Tapi kerugian apa yang terbesar? Kerugian apa yang tak tergantikan?

Jika kita menengok pada ayat Al-Qur’an, akan kita temukan Firman Allah Swt :

قُلۡ إِنَّ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٱلَّذِينَ خَسِرُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ وَأَهۡلِيهِمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡخُسۡرَانُ ٱلۡمُبِينُ

“Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari Kiamat.” Ingatlah! Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (QS.Az-Zumar:15)

Tiada kerugian yang lebih besar dari kerugian di akhirat. Sebesar apapun “kesuksesanmu” di dunia, sebanyak apapun hartamu, setinggi apapun jabatanmu, sehebat apapun prestasimu, jika engkau tak mendapatkan apapun di akhirat maka kau akan menjadi orang yang paling merugi.

Kerugian sejati adalah ketika surga memiliki 8 pintu yang luasnya seperti timur dan barat lalu tak satu pun yang terbuka untukmu.

Mari kita menjaga diri dan keluarga kita agar tidak merugi di akhirat.

قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا

“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (QS.At-Tahrim:6)

Semoga Allah menjadikan kita semua dari penghuni surga.

KHAZANAH ALQURAN

Ibadah dalam Surat Az-Zumar (Bag 2)

 Pada poin selanjutnya, dalam surat ini disebutkan macam-macam pengaruh ibadah dalam kehidupan manusia.

Poin (7)

1). Ibadah mengantarkan pada syukur.

بَلِ ٱللَّهَ فَٱعۡبُدۡ وَكُن مِّنَ ٱلشَّٰكِرِينَ

“Karena itu, hendaklah Allah saja yang engkau sembah dan hendaklah engkau termasuk orang yang bersyukur.” (QS.Az-Zumar:66)

2. Ibadah mengantarkan pada kerelaan dan keyakinan bahwa segala manfaat dan madhorot ada di tangan-Nya.

قُلۡ أَفَرَءَيۡتُم مَّا تَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ إِنۡ أَرَادَنِيَ ٱللَّهُ بِضُرٍّ هَلۡ هُنَّ كَٰشِفَٰتُ ضُرِّهِۦٓ أَوۡ أَرَادَنِي بِرَحۡمَةٍ هَلۡ هُنَّ مُمۡسِكَٰتُ رَحۡمَتِهِۦۚ قُلۡ حَسۡبِيَ ٱللَّهُۖ عَلَيۡهِ يَتَوَكَّلُ ٱلۡمُتَوَكِّلُونَ

Katakanlah, “Kalau begitu tahukah kamu tentang apa yang kamu sembah selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan bencana kepadaku, apakah mereka mampu menghilangkan bencana itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat mencegah rahmat-Nya?” Katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku. Kepada-Nyalah orang-orang yang bertawakal berserah diri.” (QS.Az-Zumar:38)

3. Ibadah mengantarkan kepada zuhud di dunia dan tidak pernah merasa sombong dengannya. Dalam hal ini Allah memberikan gambaran dunia ini dalam Firman-Nya :

أَلَمۡ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَسَلَكَهُۥ يَنَٰبِيعَ فِي ٱلۡأَرۡضِ ثُمَّ يُخۡرِجُ بِهِۦ زَرۡعٗا مُّخۡتَلِفًا أَلۡوَٰنُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصۡفَرّٗا ثُمَّ يَجۡعَلُهُۥ حُطَٰمًاۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكۡرَىٰ لِأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ

“Apakah engkau tidak memperhatikan, bahwa Allah menurunkan air dari langit, lalu diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi, kemudian dengan air itu ditumbuhkan-Nya tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, kemudian menjadi kering, lalu engkau melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS.Az-Zumar:21)

(Poin 8)

Pada poin selanjutnya Allah menyebutkan hanya Allah yang punya hak untuk disembah.

1. Karena Dia Pencipta langit dan bumi dan Dia-lah yang mengatur segalanya.

وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۚ

Dan sungguh, jika engkau tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Niscaya mereka menjawab, “Allah.” (QS.Az-Zumar:38)

2. Karena Dia lah yang memberi rezeki pada setiap makhluk. Dia memberi kepada yang Dia kehendaki dan menahan dari siapapun yang Dia kehendaki.

أَوَلَمۡ يَعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقۡدِرُۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ

“Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasinya (bagi siapa yang Dia kehendaki)? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman.” (QS.Az-Zumar:52)

Poin 9

Kemudian Allah Swt menyebutkan pengaruh atau hasil dari ibadah pada jiwa manusia.

Salah satunya adalah kelapangan dada.

أَفَمَن شَرَحَ ٱللَّهُ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَٰمِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٖ مِّن رَّبِّهِۦ

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam….” (QS.Az-Zumar:22)

Kedua adalah kelembutan hati dalam menerima kebenaran (tidak keras dan kaku).

ٱللَّهُ نَزَّلَ أَحۡسَنَ ٱلۡحَدِيثِ كِتَٰبٗا مُّتَشَٰبِهٗا مَّثَانِيَ تَقۡشَعِرُّ مِنۡهُ جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُمۡ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمۡ وَقُلُوبُهُمۡ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah.” (QS.Az-Zumar:23)

Dan yang ketiga, seorang yang beribadah akan mendapatkan keamanan dan ketentraman dalam jiwanya dan tidak pernah merasa kacau dan gelisah.

ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا رَّجُلٗا فِيهِ شُرَكَآءُ مُتَشَٰكِسُونَ وَرَجُلٗا سَلَمٗا لِّرَجُلٍ هَلۡ يَسۡتَوِيَانِ مَثَلًاۚ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِۚ بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ

“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (hamba sahaya) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan, dan seorang hamba sahaya yang menjadi milik penuh dari seorang (saja). Adakah kedua hamba sahaya itu sama keadaannya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS.Az-Zumar:29)

Keempat, penjagaan Allah Swt kepada mereka.

أَلَيۡسَ ٱللَّهُ بِكَافٍ عَبۡدَهُۥۖ

“Bukankah Allah yang mencukupi hamba-Nya?” (QS.Az-Zumar:36)

Poin 10

Dan dalam surat ini juga akan kita temukan dua gambaran kondisi yang bertentangan antara mereka yang beribadah dan mereka yang menentang Allah Swt.

Mereka yang beribadah adalah mereka yang sukses dan mendapat keberuntungan.

وَيُنَجِّي ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ بِمَفَازَتِهِمۡ لَا يَمَسُّهُمُ ٱلسُّوٓءُ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa karena kemenangan mereka. Mereka tidak disentuh oleh azab dan tidak bersedih hati.” (QS.Az-Zumar:61)

Dan yang menentang Allah Swt, mereka lah orang-orang yang merugi.

فَٱعۡبُدُواْ مَا شِئۡتُم مِّن دُونِهِۦۗ قُلۡ إِنَّ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٱلَّذِينَ خَسِرُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ وَأَهۡلِيهِمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡخُسۡرَانُ ٱلۡمُبِينُ

Maka sembahlah selain Dia sesukamu! (wahai orang-orang musyrik). Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari Kiamat.” Ingatlah! Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (QS.Az-Zumar:15)

Dan tentunya masih banyak lagi pengaruh yang luar biasa dari ibadah kepada Allah dan besarnya kerugian bagi mereka yang menolaknya.

Itulah beberapa poin tentang ibadah dalam Surat Az-Zumar. Semoga bisa memberi manfaat untuk kita semua.

KHAZANAH ALQURAN

Apa Itu Wakaf Uang dan Apa Manfaatnya?

Presiden Joko Widodo meluncurkan gerakan nasional wakaf uang (GNWU)

Tanggal 25 Januari 2021 menjadi salah satu tonggak penting perkembangan wakaf.

Presiden Joko Widodo meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang, simbolisasi pengakuan negara atas instrumen keuangan sosial Islam, yaitu wakaf dalam berkontribusi untuk pembangunan nasional. Momentum ini juga menjadi penanda, wakaf uang akan memasuki babak baru dalam sistem ekonomi nasional.

Sebetulnya, apa itu wakaf uang? Situs Badan Wakaf Indonesia (BWI) menguraikan panjang lebar tentang arti dan manfaat wakaf uang.

Menurut BWI, istilah wakaf uang belum dikenal di zaman Rasulullah. Wakaf uang (cash waqf) baru dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. 

Imam az Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam.

Di Turki, pada abad ke 15 H praktek wakaf uang telah menjadi istilah yang familiar di tengah masyarakat. 

Wakaf uang biasanya merujuk pada cash deposits di lembaga-lembaga keuangan seperti bank, di mana wakaf uang tersebut biasanya diinvestasikan pada profitable business activities. 

Keuntungan dari hasil investasi tersebut digunakan kepada segala sesuatu yang bermanfaat secara sosial keagamaan.

Pada abad ke 20 mulailah muncul berbagai ide untuk meimplementasikan berbagai ide-ide besar Islam dalam bidang ekonomi, berbagai lembaga keuangan lahir seperti bank, asuransi, pasar modal, institusi zakat, institusi wakaf, lembaga tabungan haji, dll. 

Lembaga-lembaga keuangan Islam sudah menjadi istilah yang familiar baik di dunia Islam maupun non Islam.

Dalam tahapan inilah lahir ide-ide ulama dan praktisi untuk menjadikan wakaf uang salah satu basis dalam membangun perkonomian umat. Dari berbagai seminar, yang dilakukan oleh masyarakat Islam, maka ide-ide wakaf uang ini semakin menggelinding. 

Negara- negara Islam di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara sendiri memulainya dengan berabagai cara.

Di Indonesia, sebelum lahirnya UU No. 41 tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang Wakaf Uang (11/5/2002).

Wakaf Uang (Cash Wakaf/Wagf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.

Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.

Wakafuang hukumnya jawaz (boleh)

Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.

Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.

Ihwal diperbolehkannya wakaf jenis ini, ada beberapa pendapat yang memperkuat fatwa tersebut.

Pertama, pendapat Imam al-Zuhri (w. 124H.) bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf ‘alaih (Abu Su’ud Muhammad. Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997], h. 20-2 1).

Kedua, mutaqaddimin dari ulaman mazhab Hanafi (lihat Wahbah al-Zuhaili, al Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, [Damsyiq: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h. 162) membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud r.a: “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”.

Ketiga, pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i: “Abu Tsyar meriwayatkan dari Imam al-Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)”. (al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, [Beirut: Dar al-Fikr,1994[, juz IX,m h. 379).

KHAZANAH REPUBLIKA

Sebenarnya Apa yang Dimaksud dengan Amal Saleh?

Amal saleh kerap diartikan dengan makna yang berbeda. Secara sederhana, amal saleh sebenarnya memiliki arti tentang perbuatan atau aktivitas yang baik. Baik yang dimaksud di sini tentu saja kebaikan yang sesuai dengan ajaran dalam agama Islam. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan amal saleh?

Menerka Makna Amal Saleh

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Quran al-Karim: Tafsir Atas Surat- Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (1997) mengartikan bahwa amal saleh adalah amal yang diterima dan dipuji oleh Allah Swt.

Menurut pendapat tokoh Islam lain yakni Syekh Muhammad al-Ghazali dalam Al-Musykilat fi al-Thariq al- Hayah al-Islamiyyahmenyatakan bahwa amal saleh adalah setiap usaha keras yang dikorbankan untuk berkhidmat terhadap agama. Apabila didedah secara semantik, kata ‘amal dalam amal shaleh berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti pekerjaan. Kata tersebut satu makna dengan kata al-fi’l.

Perbedaan dari dua kata tersebut adalah kata ‘amal biasanya digunakan untuk menggambarkan aktivitas yang dilakukan dengan sengaja dan dengan maksud atau tujuan tertentu. Sementara al-fi’l adalah kata yang digunakan untuk menjelaskan satu pekerjaan, baik yang disengaja dan tidak disengaja.

Dalam Al-Kitab wa Al-Quran: Qiraah Mu’ashirah, Muhammad Syahrur mencatat bahwa kata ‘amal adalah harakah wa’iyahyaqumu biha al-insan ‘ala wajh al-‘umum.

Artinya adalah gerak sadar yang dilakukan oleh manusia secara umum atau bisa disebut dengan work. Sementara al-fi’l adalah ‘amalun mu’rafun muhaddadunyang bermakna perbuatan yang sudah pasti dan tertentu atau bisa disebut dengan do.

Amal Saleh dalam Al-Qur’an

Dalam al-Qur’an, kata ‘amal tercatat digunakan dalam dua konteks. Dua konteks yang dimaksud adalah konteks positif dan negatif. Dalam konteks positif, ada ungkapan ‘amiluw al-shalihat, sementara dalam konteks negatif kata ‘amal diekspresikan dengan kalimat ‘amiluw al-sayyiat. Konteks yang pertama paling banyak disebutkan dalam al-Qur’an.

Konteks yang kedua, konteks negatif, hanya disebutkan tidak lebih dari tiga kali dalam keseluruhan surat dan ayat dalam Al-Qur’an. Penyebutan tersebut ada dalam surat al-A’raf: 42, al-Nahl: 119, dan al-Qashash: 84.

Penyebutan kata ‘amal dalam Al-Qur’an dalam konteks positif dan negatif dicatat oleh Muhammad Fuadi al-Baqi dalamAl-Mu’jam al-Mufahras lialfazh al-Quran al- Karim.

Amal saleh adalah lawan dari amal su’ atau ‘amal sayyiat. Term su’ atau sayyih bermakna tunggal atau mufrad. Sementara term sayyiat bermakna plural atau jamma’, Keduanya term tersebut berasal akar kata yang sama.

Dalam Surat al-Jatsiyah ayat 20 diartikan bahwa mereka yang beriman dan beramal salihat dipertentangkan dengan mereka yang melakukan kejahatan (sayyi’at). Arti lengkap ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut:

“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang salih, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka’ amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (QS. al-Jatsiyah/45: 21)

Hal yang sama pun ditemukan dalam surat al-Mukmin atau Ghafir/40:40 dan al-Taubah/9: 102-103, serta al-Nisa’/4: 123-124. Kata salih juga dipertentangkan dengan sayyi’ah (dalam bentuk tunggal). Berikut ayat-ayatnya:

“Barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barang siapa mengerjakan amal salih baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rejeki di dalamnya tanpa hisab.”

“Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan baik dengan pekerjaan yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

“Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi balasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak pula penolong baginya selain dari Allah. Barang siapa yang mengerjakan amal-amal salih, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”

Selain, istilah ‘amal su’ atau amal sayyiah atau sayyiat, istilah amal saleh dalam konteks negatif juga diperlawankan dengan istilah ‘amal ghair shalih‘Amal ghair shalih bermakna tentang perbuatan yang tidak baik. Istilah tersebut disebutkan hanya satu kali yakni pada surat Hud ayat 46.

Tolok Ukur Amal Saleh

Muhammad Abduh dalam Tafsir Juz ‘Amma (1993) menegaskan bahwa amal shaleh adalah amal yang bermanfaat dan berguna bagi diri pelakunya, keluarga, masyarakat dan seluruh uamt manusia, dan tidak membahayakan seseorang kecuali dalam rangka menolak bahaya yang lebih besar.

Dalam ajaran agama Islam, apa yang menjadi tolok ukur atau mi’yar amal shaleh adalah agama, akal, atau adat istiadat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental agama.

Hal inilah yang menjadi salah satu syarat dari amal saleh. Amal shaleh mesti menunjukkan secara nyata dalam menghasilkan manfaat dan menolak mudarat. Syarat lainnya adalah apabila pekerjaan tersebut dimotivasi oleh keikhlasan karena Allah Swt., maka motivasi tersebut dalam terminologi hadis Nabi Muhammad Saw. dinamakan sebagai niat.

Nabi Muhammad Saw. menyatakan: “Setiap pekerjaan ditentukan nilainya oleh niat, dan setiap orang beroleh imbalan sesuai dengan niatnya”. Hadis tentang niat ini bisa dibaca secara lengkap dalam Imam al-Nawawi,Riyadh al-Shalihin (1990).

Quraish Shihab menyatakan bahwa perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai amal saleh adalah apabila pada dirinya telah memenuhi nilai-nilai tertentu yang berfungsi sesuai dengan tujuan kehadirannya, atau tujuan penciptaannya.

Ia mengandaikan sebuah kursi bisa berfungsi dengan baik. Apabila kursi tersebut bisa diduduki dengan nyaman, maka kursi tersebut adalah baik, misalnya memiliki kaki kursi yang lengkap.

Apabila salah satu dari bagian kaki kursi rusak, maka kursi tersebut masuk dalam kategori kursi yang tidak berfungsi dengan baik sebagai tempat duduk. Maka, menurut Quraish Shihab, sesuatu bisa dipandang sebagai amal saleh apabila berfungsi dengan baik dan mendatangkan nilai manfaat.

Sementara itu, segala perbuatan yang menimbulkan mudarat maka tidak bisa dinamakan sebagai amal saleh, tetapi amal salah. Oleh sebab itu sebagian ulama menyatakan bahwa sebuah pekerjaan bisa dikatakan baik jika mampu membawa dampak, manfaat, dan menolak mudarat.

Sampai di sini kita bisa menyimpulkan bahwa tolok ukur suatu amal baik atau tidak menurut Quraish Shihab adalah terletak pada nilai dan manfaat serta mudarat yang dikandung dalam setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan.

Pendapat Muhammad Abduh dan Quraish Shihab diperkuat dengan pendapat Murtadha Muthahhari yang menegaskan bahwa apabila manusia ingin menyempurnakan perbuatan yang dilakukan menjadi perbuatan yang baik atau amal saleh, maka ia memiliki memiliki dua hal yakni nazhariy dan ‘amaliy.

Murtadha Muthahari dalam Durus min Al-Quran (1991) menegaskan bahwa nazhariy dan ‘amaliy termasuk ke dalam pokok-pokok ajaran Islam atau disebut sebagai ushuluddin.

Maka dari itu, hal yang pertama mesti ada dalam amal saleh adalah mengenal, mengimani dan meyakini pokok-pokok ajaran Islam yang telah ditentukan. Selanjutnya, berulah seseorang bisa melaksanan amal saleh atau beramal saleh.[]

BINCANG SYARIAH

Serial Fiqh Zakat (Bag. 11): Zakat Gaji Bulanan

Definisi Gaji Bulanan

Gaji bulanan adalah upah yang diperoleh pekerja tertentu di setiap bulan sebagai kompensasi atas pekerjaannya. [Nawazil az-Zakat Dirasah Fiqhiyah Ta-shiliyah li Mustajaddat az-Zakathlm. 287]

Inilah yang umumnya terjadi pada para pegawai saat ini, karena mereka menerima gaji secara bulanan, bukan tahunan.

Agar kita mengetahui hakikat zakat dari gaji bulanan, terlebih dahulu kita harus menjelaskan perihal maal mustafad yang diperoleh di pertengahan haul harta zakat (obyek zakat) yang lain. Apakah ia mempunyai haul tersendiri, ataukah haul maal mustafad mengikuti harta zakat yang sudah ada?

Zakat Maal Mustafad dan Pembagiannya

Apa itu maal mustafad? Dr. al-Qardhawi menyatakan bahwa maal mustafad adalah,

هو المالُ الذي يدخُلُ في مِلكيَّة الشَّخصِ بعد أنْ لم يكنْ، سواءٌ كان من النَّقْدَين، أو من العَقارِ، أو من النَّعَمِ، أو غير ذلك، وهو يشمَلُ الدَّخلَ المنتظِمَ للإنسانِ مِن راتبٍ أو أجْرٍ، كما يشمَلُ المكافآتِ والأرباحَ العارضةَ، والهباتِ والإرثَ، ونحوَ ذلك

“Harta yang menjadi milik seseorang setelah sebelumnya tidak ada, baik harta itu berupa emas dan perak; properti; hewan ternak; atau harta yang lain. Tercakup dalam maal mustafad adalah pendapatan rutin yang diperoleh seseorang seperti gaji atau upah, demikian pula mencakup pesangon, hasil keuntungan, hibah, warisan, dan yang sejenis.” [Fiqh az-Zakah, 1: 164]

Jadi, maal mustafad ini mencakup segala macam tambahan pendapatan selain harta zakat yang telah dimiliki seseorang. [Nawazil az-Zakat Dirasah Fiqhiyah Ta-shiliyah li Mustajaddat az-Zakathlm. 287]

Berkaitan dengan zakat maal mustafad, secara sederhana kita bisa mengategorikan sebagai berikut:

Pertama: maal mustafad merupakan keuntungan perdagangan atau hasil ternak

Jika maal mustafad adalah keuntungan dari aktivitas perdagangan atau hasil ternak, maka haulnya mengikuti haul harta pokok.

Sebagai contoh: A memiliki lima unta yang digembalakan (saa-imah) sejak bulan Muharram. Kemudian di akhir tahun, yaitu di bulan Dzulhijjah, kelima unta itu melahirkan sehingga diperoleh lima anak unta. Lima unta yang terakhir ini apakah memiliki haul sendiri atau mengikuti haul induknya?

Dalam kasus ini, haul lima unta terakhir mengikuti haul induknya. Sehingga ketika bulan Muharram berikutnya tiba, A harus menunaikan zakat dari kepemilikan sepuluh unta tersebut, meskipun kelima anak unta itu baru dimiliki selama sebulan.

Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan,

أجمع أهل العِلم أنَّ الرَّجلَ إذا كان عنده نِصابٌ، ويكون المستفادُ مِن نَمائِه كربحِ مالِ التِّجارة ونتائِجِ السائمة، يجب ضمُّه إلى ما عنده مِن أصلِه، فيَعتَبِر حولًا بحَوْلِه

“Ulama bersepakat bahwa seorang dengan harta yang telah mencapai nishab, kemudian memperoleh tambahan dari perkembangan harta tersebut, baik berupa keuntungan harta perdagangan dan hasil ternak, maka wajib menggabungkannya dengan harta pokok. Sehingga haulnya mengikuti haul harta pokok.” [al-Isyraf, 3: 53]

Ibnu Qudamah rahimahullah menyampaikan adanya ijmak dalam hal ini. Beliau rahimahullah menyatakan,

أن يكون المستفادُ مِن نَمائِه كربحِ مال التِّجارة ونِتاجِ السائمة، فهذا يجب ضمُّه إلى ما عندَه من أصله، فيعتبر حَوله بِحَوْلِه. لا نعلمُ فيه خلافًا

Maal mustafad yang diperoleh karena berkembangnya harta pokok, seperti keuntungan dari komoditas perdagangan dan hasil ternak, maka maal mustafad seperti ini wajib digabungkan dengan hart pokok. Sehingga haulnya mengikuti haul harta pokok. Kami tidak mengetahui ada pendapat lain yang menyelisihi.” [al-Mughni, 2: 468]

Demikian pula dengan keuntungan komoditas perdagangan yang dijadikan obyek jual-beli. Sebagai contoh, B adalah pemilik toko sembako yang mulai membuka tokonya di awal bulan Muharram dengan modal sembako senilai Rp85.000.000,-. Ketika tiba bulan Muharram berikutnya, dia telah memiliki komoditas perdagangan berupa sembako senilai Rp125.000.000,-. Dalam kasus ini, haul untuk penambahan komoditas perdagangan tersebut mengikuti haul harta pokoknya. Jadi ketika tiba bulan Muharram berikutnya, tidak boleh mengatakan bahwa ini adalah barang-barang baru dan merupakan keuntungan yang baru diperoleh. Akan tetapi, haul penambahan komoditas perdagangan itu mengikuti haul harta pokoknya. Dengan demikian, B wajib menunaikan zakat seluruh komoditas perdagangan yang dimilikinya.

Kedua: maal mustafad bukan berupa keuntungan perdagangan atau hasil ternak; serta jenisnya berbeda dengan jenis harta yang telah ada

Diasumsikan bahwa A mempunyai unta yang sudah mencapai nishab dan memperoleh sejumlah harta yang lain berupa warisan atau hibah. Misalnya, dia mendapat hibah uang sebesar Rp50.000.000,-; atau dia menerima gaji bulanan sebesar Rp10.000.000,- ; atau dia mewarisi harta ayahnya sebesar Rp100.000.000,-. Dalam kasus ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa setiap harta tersebut tidak digabungkan dengan unta yang telah dimiliki. Dengan demikian, unta yang telah dimiliki memiliki haul tersendiri. Sementara berbagai tambahan harta di atas masing-masing memiliki haul tersendiri yang berlaku saat diperoleh jika telah mencapai nishab.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

أن يكون المستفادُ مِن غيرِ جِنس ما عنده، فهذا له حُكمُ نفْسِه، لا يُضمُّ إلى ما عنده في حَولٍ ولا نِصاب، بل إنْ كان نِصابًا استقبَلَ به حولًا وزكَّاه، وإلَّا فلا شيءَ فيه. وهذا قولُ جمهور العلماء. ورُوي عن ابن مسعودٍ وابن عباس ومعاوية أنَّ الزَّكاةَ تجب فيه حين استفادَه. قال أحمد عن غيرِ واحدٍ: يزكِّيه حين يستفيدُه. وروى بإسنادِه عن ابن مسعود، قال: كان عبدُ الله يُعطينا ويزكِّيه. وعن الأوزاعي فيمَن باع عبدَه أو دارَه، أنَّه يزكِّي الثَّمَن حين يقع في يدِه إلَّا أن يكونَ له شَهْرٌ يُعلَمُ، فيؤخِّره حتى يزكِّيَه مع ماله. وجمهورُ العلماء على خلافِ هذا القول؛ منهم أبو بكر وعمرُ وعثمانُ وعليٌ رَضِيَ اللهُ عنهم

“Apabila maal mustafad merupakan harta yang tidak sejenis dengan harta yang telah dimiliki, maka maal mustafad ini memiliki hukum tersendiri. Sehingga haul dan nishabnya tidak digabungkan dengan harta yang telah dimiliki. Bahkan apabila maal mustafad itu telah mencapai nishab, maka silakan dimiliki hingga haul terpenuhi kemudian ditunaikan zakatnya.” [al-Mughni, 2: 468]

Ketika menjelaskan jenis maal maustafad yang diperoleh di antara rentang waktu haul harta yang telah dimiliki seseorang, al-Kasani rahimahullah menyatakan,

فإن كان من خلافِ جنْسِه كالإبل مع البقر، والبقر مع الغنم، فإنَّه لا يُضمُّ إلى نِصاب الأصل، بل يستأنِفُ له الحَوْلَ بلا خلافٍ

“Apabila maal mustafad itu berbeda jenis dengan harta yang telah dimiliki, seperti unta dan sapi, atau sapi dan kambing, maka tidak perlu menggabungkan maal mustafad dengan harta pokok (harta awal). Namun, maal mustafad memiliki haul tersendiri. Tak ada pendapat lain yang menyelisihi hal ini.” [Badaai’ ash-Shanaai’, 2: 13]

Ketiga: maal mustafad bukan berupa keuntungan perdagangan atau hasil ternak; tapi sejenis dengan harta yang telah ada

Misalnya, A mempunyai uang sebanyak Rp85.000.000,- kemudian ia menerima honor sebesar Rp10.000.000,. Apakah haul honor ini mengikuti haul uang yang telah dimilikinya atau ia memiliki haul tersendiri?

Dalam kasus ini ulama berbeda pendapat.

Pendapat pertama

Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa selama maal mustafad itu sejenis dengan harta yang telah dimiliki, maka keduanya digabungkan sehingga memiliki haul yang sama dengan haul harta pokok.

Pendapat kedua

Mayoritas ulama menyatakan masing-masing memiliki haul tersendiri. [asy-Syarh al-Kabir, 1: 432; al-Majmu’, 5: 367; al-Mughni, 2: 468]

Pendapat yang dikemukakan oleh mayoritas ulama tersebut adalah pendapat yang lebih tepat, karena penggabungan haul maal mustafad pada harta pokok terjadi setidaknya karena dua alasan: (a) maal mustafad terlahir dari harta pokok seperti domba yang terlahir dari induknya dan (b) maal mustafad merupakan cabang dari harta pokok seperti keuntungan yang diperoleh dari komoditas perdagangan. Adapun maal mustafad dengan kepemilikan yang baru tidaklah dimiliki dengan mengembangkan harta yang telah dimilikinya, sehingga tidak perlu digabungkan dengan haul harta pokok. [al-Majmu’, 5: 367]

Zakat Gaji Bulanan

Ketika kita memahami uraian di atas dan perbedaan pendapat yang ada, sekarang kita bisa mengemukakan permasalahan yang berkaitan dengan zakat gaji bulanan. Misalnya, seorang pegawai menerima gaji pada bulan Muharram sebesar Rp10.000.000,-. Demikian juga di bulan Shafar, Rabi’ al-Awwal, dan seterusnya.

Menurut ulama Hanafiyah, haul gaji tersebut dimulai pada awal penerimaan gaji, yaitu bulan Muharram. Hal ini karena mereka berpandangan maal mustafad harus digabungkan karena sejenis dengan harta pokok.

Namun, berdasarkan pendapat mayoritas ulama, setiap gaji memiliki haul tersendiri. Dengan demikian, gaji yang diterima bulan Muharram wajib ditunaikan zakatnya di bulan Muharram berikutnya apabila jumlahnya masih mencapai nishab. Demikian pula dengan gaji yang diterima bulan Shafar wajib ditunaikan zakatnya di bulan Shafar berikutnya; dan demikian seterusnya.

Akan tetapi, mempraktikkan hal ini sangat sulit karena membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Oleh karena itu, al-Lajnah ad-Daaimah Kerajaan Arab Saudi memfatwakan bahwa sebaiknya seseorang menentukan suatu waktu dan melihat berapa banyak gaji yang terkumpul di waktu itu. Untuk gaji yang telah memenuhi haul, dia menunaikan zakatnya tepat waktu. Adapun gaji yang belum memenuhi haul, maka dia bisa menunaikannya lebih awal. Hal ini mengingat menunaikan zakat lebih awal diperbolehkan menurut mayoritas ulama. [Fatwa no. 282, Majmu’ Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah 9/280]

Dengan demikian, apabila seseorang benar-benar mengutamakan pendapat mayoritas ulama, maka dia harus membuat jadwal penghitungan yang berisi kapan setiap gaji itu diterima dan kapan haul setiap gaji tersebut terpenuhi. Namun apabila hal ini sulit dipraktikkan, maka dia disarankan melakukan apa yang difatwakan al-Lajnah ad-Daaimah di atas.

Demikian yang dapat disampaikan. Wallahu ta’ala a’lam.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id