Aa Gym: Tokoh Beri Teladan Patuh Protokol Kesehatan

Aa Gym mengimbau, momentum Covid-19 perlu disikapi secara bijak.

Pendakwah senior sekaligus pendiri Daarut Tauhid, KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), menyampaikan pentingnya menjaga protokol kesehatan. Beliau pun mengimbau kepada semua elemen, terlebih tokoh, untuk memberikan teladan patuh protokol kesehatan.

“Inilah saatnya kita bahu-membahu, setiap tokoh harus berusaha memberikan yang terbaik minimal keteladanan dan perhatian yang sungguh-sungguh untuk mengingatkan seluruh masyarakat agar mematuhi protokol kesehatan,” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (4/12).

Beliau mengingatkan seluruh elemen masyarakat di negeri ini jangan sampai lalai menerapkan protokol kesehatan. Sebab di tengah situasi pandemi dan tren peningkatan penularan yang meningkat, menurutnya, kelalaian menerapkan protokol kesehatan hanya akan memperburuk situasi.

Di sisi lain, ia pun mengingatkan sesungguhnya wabah Covid-19 bisa juga menjadi jalan keberkahan bagi Indonesia. Asalkan segenap umat dan masyarakatnya mampu bahu-membahu dan bersatu padu untuk berjuang memerangi Covid-19.

“Karena musuh kita yang paling utama saat ini adalah Covid-29,” ujarnya.

Wabah Covid-19 yang hadir di Indonesia dan dunia ini dinilai telah menjadi ancaman nyata pada kesehatan, ekonomi, penddidikan, hingga kegiatan ibadah yang dilakukan kurang sempurna. Wabah ini pun dinilai dapat merusak masa depan bangsa dan masyarakat apabila tidak dibenahi secara bersama-sama.

Aa Gym mengimbau, momentum Covid-19 perlu disikapi secara bijak dengan bersama-sama bisa mengerahkan pikiran, tenaga, waktu, serta kemampuan dalam memecahkan masalah di negeri ini. Sehingga ke depannya diharapkan Indonesia mampu menyelesaikan banyak permasalahan seperti perbedaan pendapat dengan cara yang baik. 

Aa Gym pun mengajak semua pihak fokus dan sungguh-sungguh ambil bagian di dalam membantu menyelesaikan wabah ini sebaik-baiknya. Dan kepada semua masyarakat, ia berpesan, kedisiplinan dalam mematuhi protokol kesehatan ditambah sebagai orang yang beriman harus dilengkapi dengan protokol ibadah, doa, istighfar, hingga protokol sedekah.

“Mudah-mudahan kesungguhan dalam menyempurnakan ikhtiar dan doa ini akan mendatangkan keberkahan pertolongan Allah bagi kita semua,” ujarnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Memakmurkan Masjid

Orang-orang yang memakmurkan masjid amat mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya.

Pada masa Rasulullah SAW, bangunan masjid begitu sederhana. Nabi SAW dan para sahabat membangunnya dengan tanah liat yang dikeraskan (batu bata). Atapnya berbahan dedaunan, sedangkan tiangnya hanya dari batang pohon kurma.

Masjid –dalam hal ini Mas jid Nabawi– kemudian mulai direnovasi semasa kekhalifahan Umar bin Khattab. Amirul Mukminin memberi tambahan batu bata dan dahan kurma meski masih mengikuti bentuk bangunan pada masa Rasulullah. Tiang utama diganti dengan kayu.

Pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, renovasi masjid kian digencarkan. Utsman membangun dinding masjid dari batu yang diukir. Utsman juga menambahkan batu kapur. Dia juga menambahkan tiang dari batu berukir, sedangkan atapnya menggunakan batang kayu pilihan.

Meski bermaterial sederhana, masjid pada zaman Rasulullah SAW mempunyai fungsi yang istimewa. Almarhum Prof Mustafa Ali Yaqub, imam besar Masjid Istiqlal, menjelaskan, masjid pada zaman Rasulullah setidaknya memiliki lima fungsi. Masjid berfungsi sebagai tempat peribadatan, tempat pembelajaran, musyawarah, merawat orang sakit, hingga asrama.

Orang-orang yang memakmurkan masjid amat mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya. Pernah pada satu waktu, ada seorang perempuan berkulit hitam yang sudah renta selalu membersihkan masjid. Dialah Ummu Mahjan. Nenek yang setiap hari menjaga dan membersihkan Masjid Nabawi agar bersih dari kotoran.

Kala itu, dia sadar jika tenaganya sudah amat terbatas untuk membantu jihad di jalan Allah. Karena itu, Ummu Mahjan pun memilih mengabdikan dirinya untuk Masjid Nabawi. Saat dia wafat, para sahabat menguburkannya dan tidak memberitahu Rasulullah SAW yang sedang tidur.

Nabi SAW bertanya tentang dia. Masyarakat sekitar Madinah menjawab, “Dia telah meninggal.”

Beliau pun berujar, “Mengapa kalian tidak memberitahukan perihal kematiannya? Tunjukkan kuburnya kepadaku. Lantas beliau mendatangi kuburnya dan shalat di atasnya.” (HR Bukhari dan Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad).

Kemuliaan pemakmur masjid

Sungguh besar kemuliaan mereka yang kerap mendatangi masjid dengan berjalan kaki. Saat dia datang pada pagi dan sore hari, Allah akan menyediakan tempat tinggal baginya yang baik di surga.

Tidak hanya itu, jasadnya pun haram untuk dibakar api neraka. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang kedua kakinya berdebu di jalan Allah, maka Allah mengharamkan orang itu untuk masuk neraka.” (HR Bukhari, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan Ahmad).

Kemuliaan mereka bertambah besar karena Allah sendiri yang akan menjadi penjaminnya hingga meninggal dunia. Kalau sudah mendapatkan jaminan dari Allah SWT, para pencinta masjid tak perlu takut akan urusan dunia. Dengan ikhtiar dan tawakal, dunia akan mendatangi mereka. “…Orang yang pergi ke masjid. Ia akan mendapatkan jaminan dari Allah (Allah menjadi penjaminnya) hingga meninggalnya Allah akan memasukkannya ke dalam surga atau mengembalikan semua yang telah diperolehnya berupa pahala dan ghanimah….” (HR Abu Dawud).

Bonus lainnya adalah terhapusnya dosa. Nabi SAW juga mengungkapkan, orang yang memperbanyak langkah menuju ke masjid maka kesalahan-kesalahannya akan terhapuskan. Derajatnya pun akan terangkat.

Meski demikian, dalam hadis yang lain disebutkan jika penghapusan dosa tersebut hanya akan terjadi jika kita mendatangi masjid untuk mendirikan shalat. “… Tidak ada yang mendorongnya (menuju masjid) kecuali karena shalat, tidak ada keinginan kecuali untuk melaksanakan shalat, maka tidaklah ia melangkah kecuali diangkat satu derajat karenanya dan dihapus dosa karenanya sampai ia memasuki masjid.”

Apabila dia sudah memasuki masjid, pahalanya dihitung sama dengan melakukan shalat selama shalat yang menahannya. Tidak mengherankan jika Rasulullah SAW mengungkapkan, mereka yang paling banyak mendapatkan pahala dalam shalat adalah mereka yang paling jauh (jarak rumahnya ke masjid) dan paling jauh perjalanannya menuju masjid.

Orang yang akan menunggu waktu shalat hingga dia melaksanakan shalat bersama imam lebih besar phalanya dari orang yang melaksanakan shalat kemudian tidur. Wallahu a’lam.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Bekerja Sebagai Tukang Ojek

Pertanyaan:

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bagaimana Hukum bekerja Sebagai tukang Ojek ? Saya mahasiswa, dan di Selingan waktu ada rencana mau bekerja sebagai Driver Ojek Online.

جَزَاك اللهُ خَيْرًا

(Dari Arya Buana di Balikpapan Anggota Grup WA Bimbingan Islam N06 G-57)

Jawab

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Pada dasarnya boleh saja bekerja sebagai tukang ojek, asalkan tidak memboncengkan lawan jenis. Dan bila ojeknya secara online maka anda bisa memastikan terlebih dahulu bahwa yang akan anda antarkan adalah laki-laki.

Wallahu a’lam.

Konsultasi Bimbingan Islam

Dijawab oleh Ustadz Dr. Sufyan Baswedan Lc MA

BIMBINGAN ISLAM

Salah Paham Karena Baca Buku Terjemah Sendirian, Apakah Dosa?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang salah paham karena baca buku terjemah sendirian, apakah dosa?
selamat membaca.

Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga. Saya mau bertanya ustadz.

Ustadz mau bertanya, apakah saya berdosa jika pernah salah paham dalam membaca suatu kitab terjemahan yang mana saya sendiri bermalasan dalam mendengarkan kajian namun lebih suka dengan membaca buku saja?
Kajian-kajian video atau audio sangat jarang diikuti. Apakah ada udzur atas kesalahan saya?
Tapi ana bertekad untuk suatu saat nanti belajar langsung dari asatidz saat saya masuk mondok, insyaa Allah.
Jazaakallaahu khairan katsiiraa..

(Disampaikan oleh Fulan, Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Sahabat Bias yang semoga Allah muliakan anda dan kita semua.

Tekad yang sangat baik, semoga Allah mudahkan keinginan anda dalam belajar untuk masuk pesantren.

pesantren atau tidak, kewajiban kita adalah belajar, karena tidak semua orang di tuntut masuk pesantren, tetapi  yang dituntun adalah belajar islam. Sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim”
(HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913)

kemudian dalam belajar maka hendaknya seorang mengikuti bagaimana para ulama belajar. Sehingga ada baiknya kita mencoba mencari tahu adab dan siroh mereka dalam balajar, supaya kita tergerak  dan berjalan sesuai dengan apa yang dinasihatkan oleh para salaf.
Diantara yang banyak mereka wasiatkan dan mereka anjurkan adalah pentingnya talaqqi/duduk langsung dengan guru dalam berjalan, terlebih pada awal kita melangkah untuk menuntut ilmu. itu yang harus diusahakan, sehingga mau tidak mau, cobalah duduk mencari majelis ilmu secara riil/nyata.
Bila belum memungkinkan, karena alasan kesibukan dan minimnya kajian yang ada di sekitar, minimalnya mencoba belajar dari mendengar atau melihat dari audio atau video. Sekali lagi hal ini dilakukan karena keadaan darurat atau sebagai tambahan jadwal belajar, bukan belajar utama, karena utamanya kita duduk di majelis ilmu dengan raga dan pikiran kita, ilmu lebih berkah dan bermanfaat insyaallah.

Terkait dengan membaca otodidak tanpa ada guru yang mengarahkan sebelum kita mempunyai modal dasar ilmu maka ini akan membahayakan diri kita.

sebagaimana ungkapan yang sering kita dengar ,’

مَنْ كَانَ شَيْخُهُ كِتَابَهُ فَخَطَئُهُ أَكْثَرْ مِنْ صَوَابِهِ

Barangsiapa yang gurunya adalah bukunya, maka kesalahannya lebih banyak daripada benarnya”.

Hal tersebut bila kita membaca ilmu tanpa dasar dasar ilmu yang benar atau kita membaca ilmu dari para penulis yang tidak kita kenal, sehingga banyak kesalahan kesalahan dalam memahami tulisan atau kita telan mentah mentah tulisan tersebut tanpa ada penimbang dengan pemikiran yang terlontar.

mengomentari pepatah diatas syekh Ibnu Utsaimin menjelaskan,
“Bahwa perkataan ini tidaklah benar maupun salah secara mutlak. Akan tetapi seseorang yang belajar dari sebuah buku dan orang-orang yang dikenal dengan ilmunya serta dapat dipercaya dalam menyampaikan ilmunya, secara bersamaan maka hal ini dapat meminimalisir kesalahan yang terjadi.”

Ringkasnya, bila kita lalai dan bermudah mudah dalam membaca dan buku bacaan, maka ada potensi dosa karena kelalaian kita. Namun bila sudah mencoba belajar dengan cara dan proses yang benar, walau ada kesalahan dalam memahami karena ijtihad kita, selama kita terus mengembangkan diri dan siap untuk berubah, insyaallah tidak mengapa.
Sebagaimana para ulama di beberapa pendapat pernah salah dan berubah setelah mendapatkan pendapat atau dasar yang lebih kuat.

Wallahu ta’ala a’lam.

Dijawab oleh :
Ustadz Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله
Jum’at, 19 Rabiul Akhir 1442 H/ 04 Desember 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Faidah Belajar Ilmu Nahwu

Bismillah …

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tidaklah tersembunyi bagi kita begitu besar keutamaan menimba ilmu agama. Dan di antara ilmu yang penting dipahami oleh setiap penimba ilmu adalah ilmu kaidah bahasa Arab, terkhusus lagi ilmu nahwu.

Ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang mengatur keadaan akhir kata dalam bahasa Arab, perubahannya, dan kedudukan kata di dalam setiap kalimat.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Ilmu nahwu adalah ilmu yang mulia. Ilmu yang menjadi wasilah (perantara). Dengan sebab ilmu ini, akan mengantarkan kepada dua hal yang penting.

Pertama, untuk memahami Kitabullah dan Sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena banyak hal yang bisa dipahami dari keduanya atau banyak hal di dalamnya yang hanya bisa dipahami dengan mengetahui nahwu.

Kedua, untuk meluruskan lisan (bahasa) sebagaimana ucapan bahasa Arab yang semestinya. Bahasa Arab ini merupakan bahasa dari Kalam Allah ‘azza wa jalla (Al-Qur’an) atau bahasa yang dengan itu kalam Allah ‘azza wa jalla diturunkan. Oleh sebab itulah, memahami nahwu adalah perkara yang sangat penting.” (Lihat Syarh Al-Ajurrumiyah, hal. 5)

Syaikh Abdullah al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Seorang yang hendak berijtihad, dia harus mengetahui ilmu yang menjadi syarat wajib untuk bisa memahami ucapan yaitu ilmu bahasa (Arab) dan ilmu nahwu. Adapun bahasa (Arab), hal ini karena sesungguhnya Al-Qur’an dan As-Sunnah menggunakan bahasa Arab. Sehingga tidak bisa dipahami dalil-dalilnya -secara langsung- oleh orang yang tidak paham (bodoh) tentang bahasa (Arab). Adapun nahwu, maka sesungguhnya makna-makna itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan i’rob (perubahan akhir kata). Oleh sebab itu, sudah seharusnya untuk mengetahui ilmu nahwu dan i’rob.” (Lihat Syarh Al-Waraqat, hal. 256-257)

Bukan itu saja, seorang yang hendak berijtihad juga harus memahami ilmu ushul fiqih. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “[Di antara syarat ijtihad] yang kelima adalah mengetahui bahasa (Arab) dan ushul fiqih yang berkaitan dengan penunjukan lafal. Misalnya lafal yang (menunjukkan makna) umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan, dsb. Agar ia bisa menetapkan hukum sesuai dengan konsekuensi dari penunjukan-penunjukan tersebut.” (Lihat Syarh Ushul min ‘Ilmi al-Ushul, hal. 516)

Banyak hal di dalam ilmu Al-Qur’an, ilmu ushul fiqih, ilmu tafsir, ilmu tauhid, ilmu hadits, dan yang lainnya yang hanya akan bisa dipahami dengan gamblang dan jelas apabila seorang telah memahami kaidah bahasa Arab dan ilmu nahwu pada khususnya.

Lebih luas lagi, para ulama menjelaskan bahwa salah satu sebab terjadinya penyimpangan dan bid’ah dalam agama ini adalah “bodoh mengenai sumber-sumber hukum dan sarana-sarana untuk memahaminya”. Dan termasuk dalam sarana untuk memahami sumber hukum -yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah- adalah ilmu tentang bahasa Arab dan uslub (gaya bahasanya). (Lihat ‘Ilmu Ushul Bida’ oleh Syaikh Ali al-Halabi, hal. 44-45)

Sebagaimana diketahui, bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah berbahasa arab. Hal ini menunjukkan bahwa memahami maksud Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bergantung pada pemahaman tentang bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang ada di dalamnya. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban setiap muslim untuk mempelajari bahasa Arab yang bisa menegakkan urusan agamanya. Sehingga dia bisa bersyahadat dan membaca Kitab Allah dengan baik. (Lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 378)

Setelah membaca ini semuanya, kiranya tidak salah apabila kita perlu kembali menggalakkan gerakan untuk memahamkan ilmu bahasa Arab ini kepada segenap kaum muslimin, di desa ataupun di kota, dari jenjang SD sampai perguruan tinggi. Bukanlah suatu hal yang berlebihan, sebab inilah bahasa kitab suci kita, bahasa syari’at kita, bahasa Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan bahasa inilah kita berdoa, berdzikir, dan mengucapkan bacaan-bacaan sholat kita …

Ketika kursus bahasa Inggris sedemikian diminati, kursus bahasa ini dan itu sedemikian laris, maka sudah semestinya pelajaran bahasa Arab lebih digalakkan di masjid-masjid kaum muslimin. Sebuah tempat yang sangat mulia bagi majelis ilmu agama … Sebuah tempat yang paling Allah cintai di atas muka bumi ini. Sehingga ilmu syar’i akan tumbuh berkembang menghiasi hati para pemuda harapan negeri …

‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu pernah berpesan, “Pelajarilah bahasa arab, karena sesungguhnya ia adalah bagian dari agama kalian.”

Siapakah yang peduli dengan agamanya? Siapakah yang hendak menjaga kemuliaan agamanya? Siapakah yang ingin mencapai kejayaan dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam … ??

Kepada Allah Ta’ala semata kita memohon taufik dan pertolongan.

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

MUSLIM.orid

Jangan Pernah Melayani Perdebatan di Dunia Maya

Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan agar kita sebaiknya meninggalkan perdebatan di dunia maya atau sosial media. Beberapa pertimbangannya adalah sebagai berikut:

  1. Perintah agar kita meninggalkan debat, meskipun kita benar.
  2. Debat di dunia maya cukup sulit mencapai tujuan, yaitu untuk mencari kebenaran. Debat di dunia maya tidak ada aturan seperti diskusi ilmiah, semisal pembahasan loncat-loncat dan tidak ada kesepakatan patokan ilmiah.
  3. Terkadang kita tidak mengenal lawat debat kita, bisa jadi dia adalah orang yang kurang berilmu dengan modal googling saja, belum lagi kalau lawan debat ternyata memakai akun palsu.
  4. Debat dapat mengeraskan hati dan membuat tersesat apabila debat menjadi hobi.
  5. Tidak jarang debat di dunia maya hanya berujung “saling ngotot” yang berujung saling mengolok-ngolok padahal sesama muslim itu bersaudara.

Berikut penjabarannya:

  1. Perintah agar kita meninggalkan debat, meskipun kita benar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُبْطِلٌ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُحِقٌّ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan, sementara dia berada di atas kebatilan, maka Allah akan bangunkan sebuah rumah baginya di pinggiran surga. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan, padahal dia berada di atas kebenaran, maka Allah akan membangun sebuah rumah baginya di atas surga.” (Shahih at-Targhib wat Tarhib, no. 138)

  1. Debat di dunia maya cukup sulit mencapai tujuan, yaitu untuk mencari kebenaran.

Debat di dunia maya tidak ada aturan seperti diskusi ilmiah, semisal pembahasan loncat-loncat dan tidak ada kesepakatan patokan ilmiah. Setiap orang akan semaunya sendiri saja ketika berbicara dan setiap orang memiliki patokan dan prinsip ilmiah yang berbeda-beda.

Apabila kita berdebat dengan orang yang tidak tidak memiliki standar ilmiah yang benar, tentu akan sia-sia berdebat dengan orang tersebut. Agama Islam adalah agama yang ilimiah, berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salafus shalih.

  1. Terkadang kita tidak mengenal lawat debat kita. Bisa jadi dia adalah orang yang kurang berilmu dengan modal googling saja, belum lagi kalau lawan debat ternyata memakai akun palsu.

Apabila lawan debat kita orang yang tidak berilmu atau bahkan orang yang (maaf) bodoh, tentu ini akan membuang-buang waktu saja.

Perhatikanlah syair dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berikut ini:

إذا نطق السفيه فلا تجبه .. فخير من إجابته السكوت

فإن كلمته فرجت عنه .. وإن خليته كمدا يموت

“Apabila orang dungu itu berbicara, maka tidak usah dijawab.

Sebaik-baik jawaban untuknya adalah diam.

Jika kamu menjawabnya, kamu memberi jalan untuknya.

Jika kamu biarkan, dia akan mati sambil marah.” (Diiwaan Asy-Syafi’i)

  1. Debat dapat mengeraskan hati dan membuat tersesat apabila debat itu menjadi hobi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوْا الْجَدَلَ، ثُمَّ قَرَأَ : مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً

“Tidaklah sebuah kaum menjadi sesat setelah mereka dulunya berada di atas hidayah, kecuali orang yang suka berdebat. Kemudian beliau membaca (ayat), “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu, melainkan dengan maksud membantah saja.’” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

  1. Tidak jarang debat di dunia maya hanya berujung “saling ngotot” yang berujung saling mengolok-ngolok, padahal sesama muslim itu bersaudara.

Perhatikan wasiat Nabi Sulaiman ‘alaihis salam kepada anaknya,

يَا بُنَيَّ، إِيَّاكَ وَالْمِرَاءَ، فَإِنَّ نَفْعَهُ قَلِيلٌ، وَهُوَ يُهِيجُ الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ

“Wahai anakku, tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan dia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” (Syu’abul Iman no. 8076, Al-Baihaqi)

Demikian, semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Al-Qur’an Ingin Membahagiakanmu, Bukan Menyulitkanmu!

Pada awal Surat Thoha, Allah Swt menyebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada hati Nabi Muhammad Saw tidak untuk memberatkan atau menyulitkan beliau dan umatnya, tapi Al-Qur’an diturunkan untuk mengantarkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

طه – مَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡقُرۡءَانَ لِتَشۡقَىٰٓ

“Tha Ha. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah.” (QS.Tha-Ha:1-2)

Seperti yang disebutkan pada bagian akhir Surat Thaha, sejak Nabi Adam as dan Iblis dikeluarkan dari surga, manusia terbagi menjadi dua, yaitu orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang sengsara.

Orang yang bahagia menurut Al-Qur’an adalah orang yang beriman dan mengikuti petunjuk Allah Swt.

قَالَ ٱهۡبِطَا مِنۡهَا جَمِيعَۢاۖ بَعۡضُكُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوّٞۖ فَإِمَّا يَأۡتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدٗى فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقَىٰ

Dia (Allah) berfirman, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka (ketahuilah) barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS.Tha-Ha:123)

Sementara orang-orang yang sengsara adalah mereka yang menentang dan berpaling dari mengingat Allah Swt.

وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS.Tha-Ha:124)

Ibnu Abbas pernah menafsirkan arti kehidupan yang sempit adalah kesengsaraan.

Coba renungkan bagaimana awal dari Surat Thaha menyebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk mengajakmu pada kebahagiaan bukan membebani atau menyengsarakanmu, lalu di akhir surat ini di tekankan kembali tentang siapa sebenarnya yang sengsara dan siapa sebenarnya yang bahagia.

Kebahagiaan hanya akan di raih dengan mengikuti petunjuk-Nya. Dan siapapun yang berpaling dari kebenaran pasti hidupnya akan sengsara.

Semoga bermanfaat

KHAZANAHALQURAN

Menurut Sahabat Salman al-Farisi, Ini Ciri Orang yang Shalat Malam Tapi Tidak Dapat Pahala

Salman Al Farisi adalah salah seorang sahabat Rasulullah. Salman al-Farisi dianggap oleh Rasulullah sebagai salah seorang ahli bait ‘keluarga’sekalipun Salman al-Farisi tidak memiliki hubungan darah dengan Rasulullah. Salman itu seorang pemuda yang berasal dari Negeri Persia.

Salman al-Farisi adalah salah seorang sahabat Rasulullah sangat rajin dan taat dalam beribadah. Dia mengahabiskan akhir malamnya dengan beribadah kepada Allah. Dikisahkan dari seorang sahabat yang bernama Thariq bin Syihab ketika dia tidur di rumah Salman al-Farisi untuk menyelidiki tahajudnya.

Pada akhir malam, Thariq bin Shihab melihat Salman bagun dari tidurnya dan kemudian ia melihat Salman mealaksanakan shalat. Setelah selesai dari melaksanakan shalat, Salman al-Farisi menasehati Thariq bin Shihab.

Salam berpesan, “Jagalah shalat lima waktu ini, karena ia merupakan pelebur dari berbagai dosa selama kamu tidak melakukan dosa besar. Kemudian Salman menjelaskan kepada Thariq bin Shihab tentang tinkatan-tingkatan manusia ketika melalui malam-malam mereka.”

Menurut Salman Al Farisi, manusia dalam menghabiskan malamnya terbagi ke dalam tiga tingkatan, sebagaimana yang tertera dalam kitab Hilyatul Auliya’:

Pertama, orang yang menanggung dosa tetapi tidak memiliki pahala pada malam harinya. Menurut Salman, orang dengan kategori ini adalah orang yang memanfaatkan gelapnya malam dan kelalaian manusia untuk shalat malam tetapi di samping itu dia juga menjerumuskan dirinya dalam melakukan kemaksiaan.

Orang itu menanggung dosa tetapi tidak mendapakan pahala. Dengan artian, dia tidak mendapatkan pahala dari shalat malamnya tersebut dikarenakan ia juga menenggelamkan dirinya kedalam kemaksiatan.

Kedua, orang yang mendapatkan pahala dan tidak mendapatkan dosa. Menurut Salman al-Farisi, kategori orang ini adalah orang yang memanfaatkan gelapnya malam dan kelalaian manusia untuk bangun dan kemudian meaksanakan shalat.

Orang ini menghiasi malam-malamnya hanya unuk beribadah kepada Allah. Akan tetapi, dia tidak menjerumuskan dirinya kedalam kemaksiatan. Iniah orang yang mendapatkan pahala pada malam harinya dan tidak mendapatkan dosa.

Ketiga, orang yang tidak mendapatkan pahala dan juga tidak mendapatkan dosa. Maksud golongan orang seperti ini menurut Salman al-Farisi adalah orang yang setelah melaksanakan shalat Isya kemudian ia tidur. Ia tidak bangun lagi di akhir malamnya untuk Qiyamullail dan juga tidak untuk berbuat maksiat. Iniah orang yang tidak berpahala pada malam harinya dan juga tidak menanggung dosa.

BINCANG SYARIAH

Awas, Zaman Penuh Fitnah Tuntut Ilmu yang Benar

ADA yang bertanya dan meminta nasihat kepada Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan; tentang zaman ini, di mana banyak fitnah di dalamnya, dan tersebarnya ahlul bida (orang yang membuat ajaran baru dalam agama).

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawabnya. Pertama, aku nasihatkan kepada anda untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa taala memperbanyak doa agar Allah menguatkan kita di atas agama ini dan menjaga kita dari buruknya fitnah.

Kemudian, aku nasihatkan kepada anda untuk menuntut ilmu dari para ulama dengan bersemangat, karena sesungguhnya seseorang tidak akan terjaga dari fitnah -dengan izin Allah- kecuali dengan ilmu yang benar.

Adapun apabila engkau tidak memiliki ilmu yang benar, boleh jadi engkau berada dalam fitnah namun engkau tidak menyadarinya dan tidak mengetahui bahwasanya hal tersebut adalah fitnah. Maka belajarlah (ilmu agama) dari para ulama, dan janganlah anda malas untuk menuntut ilmu, apapun yang terjadi. []

Apa yang Mesti Kita Perbuat agar Allah SWT Menolong Kita?

Allah SWT memberikan pertolongan jika hamba-Nya menolong agama-Nya

Segala yang ada di alam semesta, termasuk suasana dan keadaan di dalamnya ada di tangan Allah SWT. Tak ada satu lembar daun pun yang jatuh tanpa izin Allah SWT.  

“Maka usaha kita adalah bagaimana Allah menolong kita. Karena tanpa pertolongan Allah usaha apa saja yang kita buat tidak ada kekuatan apa-apa, tapi jika Allah sudah tolong kita tidak ada satu kekuatan apapun yang bisa menghalaunya. Yakinlah,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Tahfizul Qur’an dan Ilmu Hadist Barokah Madinah al-Minangkabawi, KH Zulkifli Ahmad Jundim Lc, saat menyampaikan tausiyah virtualnya, Jumat (4/12). 

Lalu apa yang mesti kita buat agar Allah SWT menolong kita? Jawabannya, kata KH Zulkifli, sudah disebutkan dalam Alquran 47 ayat 7: 

 إِن تَنصُرُوا۟ ٱللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ “Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”

“Allah akan tolong kita bila kita mau bantu Agama Allah dengan mengajak manusia sebanyak banyak kembali kepada jalan Allah bukan kepada jalan setan,” katanya. 

Maka dari itu, kata KH Zulkifli, luangkanlah waktu dan fokuskanlah diri kita serta libatkan diri, harta, pikiran, dan waktu kita dalam usaha nubuwah dakwah illallaah dengan sungguh sungguh.

Jika tidak mau juga karena sibuk urusan dunia maka waktu kita juga akan habis tapi bukan dalam perkara agama yang diridhai Allah “Tingkatkan pengorbanan sampai nanti Allah ridha dan Allah turunkan nushrotullah, pertolonganya,” katanya.   

KHAZANAH REPUBLIKA