Manfaat Bersyukur Kembali kepada yang Bersyukur

Apa manfaat bersyukur?

Dalam ayat ke-12 dari surah Luqman disebutkan,

وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ

“Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri.”

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang bersyukur, maka manfaat dan pahalanya akan kembali kepada dirinya sendiri. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

‎وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِأَنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ

Dan barangsiapa yang beramal saleh maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan).” (QS. Ar-Ruum: 44). (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:114).

Sebaliknya barangsiapa yang mengingkari nikmat atau enggan bersyukur,

‎وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Luqman: 12).

Allah itu Maha Kaya (Al-Ghaniy), tidak butuh pada hamba. Jika hamba tidak bersyukur, itu pun tidak membuat Allah tersakiti. Jika seluruh penduduk di muka bumi kufur, Allah tidak bergantung pada yang lainnya. Laa ilaha illallah, tidak ada yang berhak disembah selain Allah (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:114). Yahya bin Salam berkata, “Allah itu Maha Kaya (Al-Ghaniy), tidak butuh pada selain Dia. Allah pun Maha Terpuji (Al-Hamid) dalam segala perbuatan-Nya.” (Fath Al-Qadir, 4:312).

Dalam hadits qudsi ditunjukkan bahwa Allah tidak butuh pada rasa syukur seorang hamba dan jika mereka tidak bersyukur, itu pun tidaklah mengurangi kekuasaan Allah. Hadits qudsi tersebut menyebutkan,

‎يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا

Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertakwa seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga.” (HR. Muslim, no. 2577).

Ayat dari surah Luqman di atas mengajarkan kepada kita untuk bersyukur atas berbagai macam nikmat, lebih-lebih lagi dengan nikmat yang begitu besar yang Allah anugerahkan. Kepahaman terhadap agama adalah suatu nikmat yang besar dan begitu berharga. Kepahaman terhadap agama Islam pun termasuk hikmah. Jika kita diberikan anugerah ilmu oleh Allah, rajin-rajinlah untuk selalu bersyukur kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

‎وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (QS. Ibrahim: 7).

Mengenai surah Ibrahim ayat ketujuh, Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Siapa yang bersyukur atas nikmat Allah, Allah akan menjadikannya semakin taat.” Ar-Rabi’ berkata, “Siapa yang bersyukur atas nikmat Allah, maka Allah akan menambahkan karunia.” Muqatil berkata, “Siapa yang bersyukur atas nikmat Allah, maka Allah akan menambahkan baginya kebaikan di dunia.” (Lihat Zaad Al-Masiir, 4:347).

Begitu pula terhadap nikmat yang terlihat kecil dan sepele, syukurilah. Jika nikmat kecil saja tidak bisa disyukuri, bagaimana lagi dengan nikmat yang besar. Dalam hadits disebutkan,

‎مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

Barang siapa yang tidak mensyukuri sesuatu yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4:278. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 667, 2:272)

Kesimpulannya, bersyukur memiliki manfaat kembali kepada diri orang yang bersyukur dan akan membuat nikmatnya akan terus ditambah oleh Allah. Syukur tentu saja dengan taat kepada Allah.

Semoga kita menjadi hamba yang bersyukur.

Referensi:

  • Fath Al-Qadir Al-Jam’u bayna Fanni Ar-Riwayah wa Ad-Dirayah min ‘Ilmi At-Tafsir. Cetakan kedua, Tahun 1426 H. Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani. Tahqiq: Dr. ‘Abdurrahman ‘Umairah. Penerbit Darul Wafa’.
  • Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah. Cetakan Tahun 1415 H. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Alhani. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.
  • Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  • Zaad Al-Masiir. Cetakan keempat, Tahun 1407 H. Ibnul Jauzi (Abul Farah Jamaluddin ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Al-Jauzi Al-Qurasyi Al-Baghdadiy. Penerbit Al-Maktab Al-Islami.

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Sosok Nabi Muhammad yang Membuat Orang Tertarik Ajaran Islam

Sosok Nabi Muhammad membuat orang tertarik pada Islam.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Kendati tidak boleh menggambar Rasulullah, banyak riwayat yang dapat memberikan gambaran rinci mengenai sosok Rasulullah. Pendiri Pusat Studi Alquran (PSQ), Prof. M. Quraish Shihab mengatakan Rasulullah memiliki rambut hitam yang panjangnya sampai ke ujung telinganya.

Dia memiliki dahi agak lebar, giginya putih bersih namun jarang. Sebab, ada beberapa yang patah karena terkena tombak. Dia juga rajin bersiwak. Matanya indah, putih dan hitam, bukan biru.

Sementara kulitnya sangat harus, walaupun itu diceritakan oleh orang yang hanya berjabat tangan dengan beliau. Warna kulit Rasulullah putih kemerah-merahan. Sedangkan saat berjalan, Rasulullah dilukiskan sebagai orang yang berjalan di dataran rendah, cepat dan gesit.

“Dan kalau dia menunjuk, tidak dengan satu atau dua jari, tapi dengan seluruh tangan. Itu menunjukkan suatu kehormatan. Kalau dia menoleh bukan hanya dengan kepalanya, melainkan dengan seluruh badannya,” kata Quraish Shihab dalam video bertajuk Gaya Hidup Nabi di kanal Youtube Najwa Shihab.

Jika dia berbicara, kerap kali diulangi pembicaraannya tiga kali sambil memukul-mukul jarinya. Itu pertanda bahwa orang berpikir tentang apa yang diucapkannya. Rasulullah tidak digambarkan sebagai sosok yang mencaci maki. Makiannya yang paling buruk dengan mengatakan “semoga dahinya terkena lumpur.” Jika dia menegur orang pun tidak dengan menegurnya. Dia hanya berkata, “Mengapa ada orang berlaku ini?”.

Rasulullah senang senyum dan bercanda. Saat ada candaan yang lucu, dia tidak terbahak-bahak, tapi terlihat semua giginya.

“Ada seorang nenek tua datang kepada Nabi, dia berkata, “Doakan saya masuk surga wahai Nabi,” Nabi ini ingin bercanda, lalu dia berkata, “Di surga tidak ada orang tua.” Kemudian nenek itu menangis DNA Nabi berkata, “Bukan itu maksud saya, kamu nanti jadi wanita cantik dan muda. Karena di surga tidak ada yang tua,” ujar Quraish Shihab.

Rasulullah merupakan sosok suami yang sangat mandiri. Setiap pagi, dia memeras sendiri susu sapi untuknya. Kalau ada alas kaki yang robek, dia jahit sendiri. Selain itu, Rasulullah juga merupakan suami yang sangat romantis.

Jika Aisyah minum di satu gelas, di tempat Aisyah meletakkan bibirnya, Rasulullah ambil gelas tersebut dan meletakkan juga bibirnya di tempat itu. Itu semua yang menjadi orang tertarik kepadanya. Di saat yang sama, Rasulullah juga gagah dan berwibawa. Beliau berkata, “Aku mendapat kemenangan karena orang takut kepadaku.”

Menurut para ulama, Rasulullah merupakan seorang yang gagah, berwibawa, orang bersimpati padanya, dan dia juga bersimpati pada orang lain. “Ini yang membuat orang tertarik ajaran Islam bahkan sebelum mengenal ajaran Islam. Karena beliau menjadi teladan kita semua,” ucap dia. 

Sumber:

Nabi Muhammad yang Membuat Orang Tertarik Islam” href=”https://www.youtube.com/watch?v=ei22qOYpHTc&t=76s” target=”_blank”>https://www.youtube.com/watch?v=ei22qOYpHTc&t=76s

KHAZANAH REPUBLIKA

Hadis-Hadis tentang Menangis Karena Takut Pada Allah

Menangis termasuk perbuatan yang dikenal sebagai salah satu ekspresi batin bagi manusia. Banyak faktor yang membuat orang menangis. Kadang seseorang menagis karena datangnya sebuah kondisi yang memilukan, seperti wafatnya orang tua, tidak lulus ujian, atau tidak jadi bersanding dengan pujaan hati.

Kadang menangis juga terjadi karena berada dalam kondisi begitu bahagia, yang dikenal sebagai terharu. Contohnya misalnya, anak kita menjadi juara kelas, terharu melihat fakir miskin bahagia, atau mendengar kabar bahwa teman yang dulunya sakit parah sudah sembuh total.

Namun perlu diketahui bahwa semua tangisan tadi bila didasari atas ketakutan pada Allah SWT niscaya kita akan mendapatkan keutamaan. Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki mengkompilasikan satu bab khusus berisi hadis-hadis tentang menangis karena takut kepada Allah (al-buka’ min khosyyatillah). Ini seperti disebutkan dalam kitab Khoshois al-Ummah al-Muhammadiyah,

pertama; dari sahabat Anas Bin Malik, nabi bersabda;

4367- عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ , رَضِيَ الله عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : عَيْنَانِ لاَ تَمَسُّهُمَا النَّارُ أَبَدًا : عَيْنٌ بَاتَتْ تَكْلَأ الْمُسْلِمِينَ فِي سَبِيلِ الله ، وَعَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ الله .

Rasulullah bersabda; dua mata yang selamanya tidak akan disentuh oleh api neraka yakni mata yang semalaman menjaga kaum muslimin di peperangan dan mata yang menangis karena takut pada Allah (Ahmad bin Abi Bakar al-Bushiry, Ittihaf al-Kiyaroh al-Maharoh Bi Zawaid al-Masanid al-Asyaroh, j. 5 h. 125).

Kedua; dari sahabat Abu Hurairah, nabi bersabda;

7667- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ رَفَعَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يَلِجُ النَّارَ أَحَدٌ بَكَى مِنْ خَشْيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَعُودَ اللَّبَنُ فِي الضَّرْعِ ، وَلاَ يَجْتَمِعُ غُبَارٌ فِي سَبِيلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَدُخَانُ جَهَنَّمَ فِي مِنْخَرَيْ مُسْلِمٍ أَبَدًا.

Seseorang yang menagis karena takut pada Allah Tidak akan pernah masuk neraka  sampai susu kembali ke dalam kantong kelenjar susu binatang dan selamanya tidak akan  berkumpul antara debu yang ada dalam peperangan dengan asap api neraka jahanam pada hidung orang muslim. (al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala as-Shahihayn

Ketiga; dari Hasan, Nabi Saw. bersabda;

825 – عن الحسن قال : « ما اغرورقت عين بمائها إلا حرم الله جسدها على النار فإن سالت على خد صاحبها لم يرهق ، وجهه قتر ولا ذلة أبدا وليس من عمل إلا له وزن وثواب إلا الدمعة فإنها تطفئ بحورا من النار ، ولو أن رجلا بكى من خشية الله تعالى في أمة من الأمم لرجوت أن ترحم تلك الأمة ببكاء ذلك الرجل »

Tidak ada mata yang dipenuhi oleh cucuran air kecuali Allah haramkan jasadnya atas api neraka, dan bila air mata itu mengalir pada pipinya maka wajahnya tidak akan pernah ditimpa kesusahan dan kehinaan, tidak ada perbuatan yang tidak ada nilai dan pahalanya kecuali tetesan air mata karena tetesan itu dapat memadamkan lautan api neraka, dan andaikan ada seseorang yang menangis karena takut pada Allah taala di antara satu umat dari berbagai umat di dunia niscaya aku akan menyangi umat itu karena tangisanya. (al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman)

Keempat; dari sahabat Abu Hurairah, nabi bersabda;

660 – عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

Rasulullah bersabdaTujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) imam yang adil, (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh, (3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid,(4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Aku benar-benar takut kepada Allâh.’ (6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.(al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, j. 1 h. 133).

Kelima; dari sahabat ‘Umamah, ‘Uqbah berkata;

22665- عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: قَالَ عُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ مَا النَّجَاةُ قَالَ امْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ.

‘Uqbah Bin ‘Amir berkata; saya bertanya; wahai Rasulullah bagaimana acaranya untuk mendapatkan keberhasilah itu? Beliau menjawab: tahanlah lisanmu(agar hanya kebaikan yang keluar darinya), hendaklah rumahmu memberikan keluasan kepadamu(kenyamanan bagimu), dan menagiskah atas segala kesalahanmu (Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad. j. 8 h. 431)

Wallahu A’lam

BINCANG SYARIAH

Hukum Mencukur Jenggot Jenazah

Syariat Islam mengajarkan bagaimana kita memperlakukan jenazah dengan baik dan santun mulai dari proses memandikan, mengkafani, mensalati sampai menguburkannya. Bahkan semua pekerjaan tadi wajib dilakukan hal ini sudah dijelaskan oleh para ulama dalam berbagai karya. Abu Bakar al-Hishni dalam kitab Kifayatu al-Akhyar (h. 159) misalnya mengatakan,

لَا خِلَافَ أَنَّ الْمَيِّتَ الْمُسْلِمَ يَلْزَمُ النَّاسَ الْقِيَامُ بِأَمْرِهِ فِي هَذِهِ الْأَرْبَعَةِ وَالْقِيَامُ بِهَذِهِ الْأَرْبَعَةِ فَرْضُ كِفَايَةٍ بِالْإِجْمَاعِ ذَكَرَهُ الرَّافِعِيُّ وَالنَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُمَا

“Para ulama sepakat bahwa masyarakat wajib(fardu kifayah) melakukan 4 hal (memandikan, mengkafani, mensalatkan, dan menguburkan) untuk mayat muslim sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam ar-Rofi’i, Imam an-Nawawi, dan lainnya.”

Dan sudah lumrah dikenal masyarakat jika di saat salah satu diantara kita wafat tentu mereka akan melakukan cara-cara tadi sampai tuntas. Hal ini didasari pada ajaran agama bahwa manusia atau bani Adam harus dihormati baik dia masih hidup ataupun sudah meninggal. Sebagaimana ditegaskan oleh firman Allah surat  al-Isra’ [17]: 70 berikut;

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan

Namun dalam proses memandikan jenazah ternyata ada sebagian masyarakat yang bertanya tentang hukum mencukur jenggot jenazah. Apakah jenazah yang sudah dimandikan boleh dicukur jika memiliki janggut atau rambut yang lain?

Berikut ini penjelasan tentang hukum mencukur jenggot jenazah, seperti dikutip dari Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (j. 35 h. 233-234) dan Muhammad bin ‘Abd al-Hamid Hasunah dalam kitab al-Lihyah fi al-Kitab wa as-Sunnah wa Aqwaal Salaf al-Ummah (h. 91) (buku dapat diunduh secara legal dan gratis di waqfeya.com),

Menurut Mazhab Hanafi; menyisir rambut jenazah, mencukur, dan mencabutnya hukumnya makruh karena semua itu tidak diperlukan.

Sementara ulama mazhab Maliki masih dirinci; bila rambut itu tidak haram dicukur saat masa hidupnya seperti rambut kepala maka makruh mencukurnya saat wafat. Sedangkan bila saat hidup memang haram dicukur seperti bulu jengggot maka haram pula dicukur ketika meninggal dunia

Sementara menurut mazhab Hanbali menyisir rambut mayat hukumnya makruh baik itu rambut kepala ataupun jenggot sebab itu akan berakibat tercabutnya beberapa rambut padahal menyisir rambut tidak dibutuhkan. Dan menurut mereka, mencukur jenggot jenazah serta rambut kepalanya hukumnya haram.

Sedangkan mazhab Syafi’i; menyisir rambut mayat tidak haram dan merupakan tindakan yang baik sebab demi menghilangkan kotoran-kotoran, dan bekas-bekas daun bidara yang menempel di pangkal-pangkal rambut. Menyisir rambut bisa dilakukan dengan menggunakan sikat gigi yang disikatkan ke jenggot dengan cara yang lembut agar meniminalisir rotoknya rambut.

BINCANG SYARIAH

Shalat Menjadi Kesenangan Hati (Bag. 1)

Salat merupakan penyejuk hati dan penenang jiwa. Momen untuk bermunajat bagi orang-orang yang hatinya sedang gundah dan jiwanya sedang resah adalah saat salat, terutama di dalam sujud. Posisi sujud itulah saat terdekatnya seorang hamba dengan Rabbnya. Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا بِلَالُ ! أَرِحْنـــَا بِالصَّلَاة

“Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan salat” (HR. Ahmad no. 23088 dan Abu Dawud no. 4985. Dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 7892).

Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa istirahat Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang cinta kepada Allah Ta’ala terletak pada salat. Adapun orang yang lalai dan berpaling, maka dia tidak merasakan kenikmatan tersebut. Bahkan mereka merasakan salat sebagai sesuatu yang sangat berat dilaksanakan, ibarat mereka sedang berdiri di atas bara api. Oleh karena itu, mereka sangat ingin segera menyelesaikan salatnya dikarenakan tidak adanya kesenangan di hatinya dan tidak ada istirahat baginya di dalam salat tersebut.

Jika seseorang senang terhadap sesuatu dan hatinya merasa bisa istirahat dengan hal tersebut, maka hal yang paling berat adalah berpisah dengannya. Sebaliknya, orang yang terpaksa melakukan sesuatu yang tidak disenanginya akan sangat bahagia ketika berpisah dengan sesuatu tersebut. Orang yang merasa terpaksa melaksanakan salat akan tersiksa dengan lamanya salat, sekalipun dia memiliki waktu luang dan badan yang sehat.

Enam hal yang perlu dihadirkan saat shalat

Salat bisa menjadi qurratul ‘ain (kesenangan hati) dan istirahatnya hati ketika salat tersebut menghadirkan 6 hal, yaitu: (1) ikhlas, (2) kejujuran dan ketulusan, (3) mengikuti dan mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, (4) ihsan, (5) menyadarri anugerah dari Allah Ta’ala, (6) merasa kurang dalam amalan.

Pada artikel ini akan kami bahas empat poin yang pertama. Tiga poin terakhir insyaallah akan kami bahas pada artikel selanjutnya.

Ikhlas

Hal yang membawa dan mendorong orang yang ikhlas dalam salatnya untuk melaksanakan salat adalah harapannya kepada Allah, rasa cinta kepada-Nya, mencari rida-Nya, mendekat kepada-Nya, mencari cinta-Nya dan karena melaksanakan perintah-Nya. Hamba tersebut mendirikan salat sama sekali bukan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dunia.

Kejujuran dan ketulusan

Hamba yang jujur dan tulus dalam salat akan memusatkan hatinya dalam salat untuk Allah Ta’ala dan berusaha semaksimal mungkin untuk menyempurnakan secara lahir maupun batin. Secara lahir, seorang hamba akan berusaha agar gerakan dan ucapan dalam rangkaian salat bisa sesempurna mungkin. Adapun secara batin, seorang hamba akan berusaha supaya bisa khusyuk dan merasa senantiasa dilihat oleh Allah Ta’ala. Aspek batin ini ibarat ruh salat, sedangkan gerakan dan ucapan dalam salat ibarat badannya.

Jika salat kosong dari ruh, maka salat tersebut seperti badan yang tidak memiliki ruh. Adapun salat yang sempurna secara lahir dan batin, maka dia akan diberikan cahaya seperti cahaya matahari. Allah Ta’ala akan meridainya, dan salat itu berkata kepada orang yang salatnya sempurna tersebut, “Semoga Allah Ta’ala menjagamu sebagaimana Engkau telah menjagaku.”

Mengikuti dan mencontoh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam

Seorang hamba harus bersungguh-sungguh melaksanakan salat, sebagaimana salat Rasululllaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Dia berpaling dari hal-hal baru yang dibuat manusia dalam salat, baik berupa penambahan maupun pengurangan yang sama sekali tidak ada nukilan dari Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam maupun seorang pun dari para sahabat.

Ihsan

Ihsan yakni beribadah kepada Allah Ta’ala dalam keadaan seolah-olah melihat-Nya. Hal ini bisa bisa terwujud bagi hamba yang sempurna keimanannya kepada Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sampai seolah-olah dia melihat Allah beristiwa’ di atas Arsy, berbicara dengan perintah-Nya dan larangan-Nya, mengatur urusan makhluk Nya, semua perkara turun dari sisi-Nya dan juga naik kepada-Nya, amalan hamba dan ruh hamba akan dihadapkan kepada-Nya ketika matinya. Dia menyaksikan semua itu dengan hatinya. Menyaksikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, menyaksikan bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang berdiri sendiri, tidak membutuhkan makhluk dan terus menerus mengurus makhluk-Nya. Dia menyaksikan bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Perkasa, Maha Bijaksana, memerintah dan melarang, mencintai dan membenci, rida dan murka, melakukan apa yang dikehendaki, menghukumi dengan apa yang diingini-Nya, dan mengetahui seluruh perbuatan hamba yang lahir maupun batin.

Ihsan ini merupakan pokok bagi seluruh amalan hati. Jika hamba beribadah kepada Allah Ta’ala dengan keadaan seolah-olah melihat-Nya, maka akan muncul sifat malu, mengagungkan Allah, rasa takut, cinta, kembali kepada Allah dengan bertaubat dan mengikhlaskan amal, tawakal, menghinakan diri di hadapan-Nya, memotong bisikan setan serta mengumpulkan tujuannya untuk Allah Ta’ala.

Kadar kedekatan hamba kepada Allah Ta’ala sesuai dengan kadar ihsannya. Oleh karena itu, salat yang dilakukan oleh setiap orang memiliki kadar yang berbeda-beda pula karena kadar ihsan setiap orang berbeda. Bisa jadi salat dua orang terlihat sama namun nilai keutamaannya jauh berbeda ibarat jauhnya langit dengan bumi.

[Bersambung]

Sumber:

Disarikan dari kitab Ta’zhiim Ash-Shalaat  hal. 83-87, karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434, penerbit Daar Al fadhiilah.

* * *

Penulis: Apt. Pridiyanto

Artikel: Muslim.or.id

MUSLIMorid

Macam-Macam Hubungan dengan Allah di dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an menyebutkan macam-macam hubungan manusia dengan Allah Swt yang menciptakannya, memberinya rezeki dan mengatur segala urusannya.

Dalam kajian ini kita akan menyebutkan tiga bentuk hubungan antara seorang hamba dengan Allah Swt :

1. Hubungan yang berdiri dengan dasar penentangan kepada Allah dan melampaui batas-batas sebagai seorang hamba.

Al-Qur’an menyebut hubungan ini adalah hubungan yang melampaui batas.

Allah swt berfirman :

كَلَّآ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَيَطۡغَىٰٓ – أَن رَّءَاهُ ٱسۡتَغۡنَىٰٓ

“Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas, apabila melihat dirinya serba cukup.” (QS.Al-‘Alaq:6-7)

2. Hubungan yang dibangun dengan dasar perasaan berjasa karena telah memeluk Islam.

Allah Swt berfirman :

يَمُنُّونَ عَلَيۡكَ أَنۡ أَسۡلَمُواْۖ قُل لَّا تَمُنُّواْ عَلَيَّ إِسۡلَٰمَكُمۖ بَلِ ٱللَّهُ يَمُنُّ عَلَيۡكُمۡ أَنۡ هَدَىٰكُمۡ لِلۡإِيمَٰنِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ

“Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar.” (QS.Al-Hujurat:17)

3. Hubungan yang dibangun dengan dasar penghambaan, rasa cinta, rasa takut dan harap kepada Allah Swt.

Kecintaan itu melahirkan ketaatan dan kekhusyu’an dihadapan Allah Swt. Dan ini adalah hubungan yang sehat antara seorang hamba dengan Tuhannya, yang akan mengantarkan seseoeang menuju kebahagiaan dunia dan akhiratnya.

Hubungan inilah yang akan menjaga seorang hamba dari perasaan ujub, congkak dan sombong sehingga akan menyelamatkannya dari siksa Allah Swt.

Dan Al-Qur’an telah menyebutkan banyak sekali ayat tentang hubungan yang satu ini. Yaitu disaat menceritakan para Nabi ataupun disaat memberikan sifat bagi orang-orang mukmin yang sejati.

Seperti dalam Firman-Nya ketika menceritakan para Nabi :

إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبٗا وَرَهَبٗاۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ

“Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS.Al-Anbiya’:90)

Dan Firman-Nya ketika menyifati kaum mukminin. :

إِنَّ ٱلَّذِينَ هُم مِّنۡ خَشۡيَةِ رَبِّهِم مُّشۡفِقُونَ – وَٱلَّذِينَ هُم بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمۡ يُؤۡمِنُونَ – وَٱلَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمۡ لَا يُشۡرِكُونَ – وَٱلَّذِينَ يُؤۡتُونَ مَآ ءَاتَواْ وَّقُلُوبُهُمۡ وَجِلَةٌ أَنَّهُمۡ إِلَىٰ رَبِّهِمۡ رَٰجِعُونَ – أُوْلَٰٓئِكَ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَهُمۡ لَهَا سَٰبِقُونَ

“Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Tuhannya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Tuhannya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS.Al-Mu’minun:57)

Itulah beberapa hubungan antara seorang hamba dengan Allah Swt yang disebutkan didalam Al-Qur’an.

Semoga bermanfaat

KHAZANAH ALQURAN

Alasan Hidup Harus Penuh Pahala: Kita Hidup 1,5 Jam Saja?

Hidup di dunia merupakan ladang mencari pahala akhirat

Hidup dunia hanya sementara dan akhirat selama-lamanya. Hidup di dunia yang sementara ini butuh bekal begitu pun dengan akhirat butuh bekal banyak daripada hidup di dunia. 

Jadi, kata Maharani dalam bukunya “Kesalahan Persepsi dalam Al-Qur’an” mengatakan, bahwa hidup di dunia ini adalah untuk berjuang supaya bisa selalu taat sehingga menghasilkan pahala.  

Hidup di dunia ini sungguh sangat singkat seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat al-Mu’minun ayat 112-114:  

قَالَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِي الْأَرْضِ عَدَدَ سِنِينَ # قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ فَاسْأَلِ الْعَادِّينَ #قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا ۖ لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi? A”Mereka menjawab , “kami tinggal di bumi sehari atau setengah hari maka tanyakan kepada mereka yang menghitung. Dia Allah berfirman, “Kamu tidak tinggal di bumi melainkan sebentar saja, kalau kamu benar-benar mengetahui.” Allah juga berfirman dalam surat as-Sajdah ayat 5: 

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ “Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi kemudian urusan itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadar lamanya adalah seribu tahun menurut perhitungan.”  

Tentang berapa lama manusia hidup di dunia Maharani menghitungnya, 1 hari di akhirat  sama dengan seribu tahun di dunia. Bila mengambil patokan usia Rasulullah 63 tahun dan 24 jam itu sama dengan seribu tahun maka dengan usia 63 tahun manusia berarti hanya hidup 1,5  jam di dunia ini. 

“Betapa sebetarnya! Kalau direnungkan, memang benar betapa cepatnya waktu berlalu. Masa-masa sekolah dasar, SMP SMA, kuliah, sampai memiliki keluarga, kemudian menjadi tua sungguh sangat cepat,” katanya.  

Jadi pada akhirnya, kata Maharani, manusia akan mati, sesuai firman Allah SWT surat Ali Imran ayat 185: كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.”    

KHAZANAH REPUBLIKA

Masa Remaja Nabi SAW

Umat Islam patut terus menggali sirah Rasulullah dari berbagai aspek dan masa.

Pada masa kecil, Rasulullah SAW  tumbuh sangat pesat. Malahan, dikatakan bahwa pertumbuhannya sehari setara dengan sebulan manusia biasa. Ketika berumur dua tahun, beliau tumbuh menjadi anak yang kuat dalam pangkuan Halimah As-Sa’diah. 

Memasuki usia empat tahun, terjadi peristiwa Syaqqus Shadr (pembelahan dada) oleh malaikat Jibril. Syeikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi mengatakan dalam kitabnya,  Fiqh As-Sirah An-Nabawiyah, kejadian ini merupakan salah satu indikasi kenabiannya dan bukti bahwa Allah SWT. memilih dan menyiapkannya untuk mengemban tugas yang agung kelak (HR. Muslim). 

Setelah kejadian tersebut, Halimah pun merasa khawatir akan terjadi hal-hal lain padanya. Lalu, dia bergegas mengembalikan Muhammad kepada  ibunda Siti Aminah. Namun Sang Ibunda juga tak begitu lama membersamainya. Saat Muhammad berusia enam tahun,  Siti Aminah wafat, dan meninggalkan Muhammad hidup tanpa kehangatan kedua orang tuanya. 

Selepas kepergian ibunda, ia diasuh oleh kakeknya,  Abdul Muthalib. Ia sungguh mencintai dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Akan tetapi, ketika usia Muhammad  tepat  delapan tahun dua bulan dan sepuluh hari, kakeknya pun wafat. Kemudian pengasuhan Muhammad  beralih kepada pamannya,  Abu Thalib.

Pada masa pengasuhan Abu Thalib inilah, beliau menjalani masa remaja. Ketika Muhammad  berusia 12  tahun, Abu Thalib mengajaknya pergi ke Syam (sekarang meliputi Suriah, Palestina, Yordania dan Lebanon) untuk berbisnis. 

Tatkala kafilahnya sampai di Bushra, mereka berjumpa dengan seorang pendeta Nasrani bernama Buhaira. Dia mulai memperhatikan Muhammad,  menghampiri dan berbicara dengannya. Tak lama, ia menengok ke Abu Thalib dan bertanya “Apa hubunganmu dengan anak kecil ini ?” “Ia anakku,” jawabnya. “Ia bukan anakmu, dan semestinya anak itu tidak memiliki ayah yang masih hidup,” kata Buhaira. 

Abu Thalib pun mengakui bahwa dia adalah keponakannya. Pendeta itu lalu meminta kepada Abu Thalib untuk membawanya  pulang kembali, takut akan orang-orang Yahudi yang hendak menyakitinya. Lantas ia pun membawanya kembali ke Mekkah. 

Setelahnya, Ahmad (nama lain Nabi SAW)  menjalani masa remajanya dengan menggembala kambing, kendati upah yang didapat hanya beberapa qirath (satu qirath:  0,2 g berlian) (HR. Bukhari). Tidak lain kecuali untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membantu paman yang menanggung banyak anak. 

Layaknya remaja zaman itu, banyak sekali yang rusak akibat perbuatan maksiat. Tapi dengan izin Allah, Ahmad muda nan gagah terjaga dari perbuatan yang merugikan kebanyakan kawan sebayanya. Sampai suatu ketika Nabi bercerita tentang dirinya, bahwa dia pernah dua kali duduk mendengarkan pesta perkawinan ketika zaman jahiliah, tapi Allah tutup telinganya hingga tertidur dan terbangun esoknya dengan terik matahari. “Setelah itu, aku tidak pernah lagi berniat (mengikuti) perbuatan buruk.” (HR. Thabrani).

Ketika Muhammad menginjak usia 20  tahun, di Mekkah terjadi peristiwa Harbul Fijar (Peperangan Fijar). Perang yang meletup antara Kabilah Quraisy bersama Bani Kinanah melawan Qais dan ‘Aylan. Beliau pun ikut berperang dengan paman-pamannya dan menyiapkan anak panah untuk mereka.

Pasca kemenangan Kabilah Quraisy  dalam peperangan tersebut, disepakatilah perjanjian yang diabadikan dengan istilah Halful Fudhul. Bertambahlah pengalamannya dalam masalah diplomasi dan negosiasi. Sedemikian terkesannya, beliau berkata — setelah diutus menjadi Rasul — “Aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jad’an perjanjian yang lebih aku sukai daripada unta merah [kendaraan elit waktu itu], dan sekiranya aku diundang pada momen yang sama pada hari ini, tentu aku memenuhinya.”

Menjelang usia dewasa yang matang, Muhammad  semakin menekuni dunia bisnis. Menurut Syeikh Mubarikfuri dalam Ar-Rahiq Al-Makhtum,  Nabi berdagang dengan mitra terbaiknya Saib bin Abi Saib. Barulah ketika berumur dua puluh lima tahun, Muhammad menjalin kerja sama bisnis dengan Siti Khadijah, wanita kaya raya nan mulia.  

Mengenal lebih jauh pribadi Nabi SAW  bukan hanya ketika peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang bertepatan 12 Rabiul Awwal setiap tahun. Namun, kewajiban kita sebagai umatnya patut terus menggali sejarah kehidupannya (sirah) dari berbagai aspek dan masa.  

Kiranya, gambaran masa remaja Rasulullah tersebut dapat menguatkan hati kita untuk lebih mencintai  dan menjadikannya panutan dalam merangkai kehidupan. Juga menceritakannya kepada keluarga dan sanak saudara serta masyarakat luas. Apalagi disaat Rasulullah dinistakan oleh Presiden Perancis Macron dan para pembeci Islam beberapa waktu lalu. 

Allahu a’lam bishowab.

Oleh Ihza Aulia Sururi Tanjung

KHAZANAH REPUBLIKA

Menghormati Keturunan Nabi?

Di tengah-tengah arus media sosial yang kian hari kian gencar. Muncul isu-isu baru yang melanda dunia sosial. Yaitu isu tentang pro-kontra terhadap sikap seorang Habib di negara yang demokrasi ini. Gelagat demikian tentu sangat krusial yang oleh umat muslim harus disikapi sebaik mungkin. Sebab, membiarkannya malah justru akan menimbulkan kubu perpecahan.

Habib atau yang dalam bahasa Arabnya dikenal dengan Zurriyatun Nabi adalah mereka yang secara garis keturnanannya berasal dari Nabi. Tepatnya dari Fatimah (putri Nabi) dengan Sayyidina Ali. Jadi siapapun mereka yang lahir dari keturunan keduanya (Hasan dan Husein) disebutlah seorang Habib. Lalu pertanyaanya, bagaimana kewajiban kita sebagai umat Muslim terhadap Habib?

Dalam kitab Syarhu al-Aqidah at-Thaháwiyah lil a-Barak, bab Minhaj Ahlisunnah fi Azwaji an-Nabi, juz 1, halaman 377, diterangkan bahwa kewajiban kita sebagai umat Muslim adalah menjaganya, atau sekurang-kurangnya menghormati sebegitu hormatnya, tanpa menyakiti, apalagi melecehkan satu sama lainnya. Sebab mereka yang lahir dari keturunan Nabi, tentu dipastikan hasil dari benih yang suci dari segala ketidakbaikan (ar-rijsu). Tapi sekali lagi, kesucian para keturuan Nabi tersebut bukan secara mutlak. Sebab bisa jadi, meski keturunan Nabi, ada juga yang katakanlah tidak berpibadi baik ala Nabi (maaf tanpa mengurangi rasa hormat saya) seperti suka mencaci orang lain, mendoakan orang lain tidak baik, bersikap angkuh dan sombong merendahkan fisik orang lain, dan lain-lain. Jelasnya, begini menurut Imam at-Thaháwi dalam kitabnya tersebut:

قال الطحاوي: (وذرِّيَّاته المقدسين من كل رجس) ليس على إطلاقه؛ لأن فيهم المحسن والمسيء،

Dari ibarat di atas ini tentu menunjukkan kepada kita, bahwa di antara keturuan Nabi sekalipun, bukan lantas kemudian dinyatakan baik. Tetapi ada juga keturunan Nabi yang secara sikap bisa dikatakan tidak baik sepertihalnya Nabi. Tidak lembut tuturnya, tidak menyayangi umat manusia, atau apalah yang menjadi teladan dari semua sosok Nabi. Maka konsukuensinya, tidak boleh kemudian menisbahkan ketidakbaikan Habib tersebut (yang secara nasab bersambung kepada Nabi namun secara perilaku tidak sama sekali) kepada keturunan Nabi. Atau dengan bahasa lain, menisbatkan tipikal demikian, jelas bukan suatu yang dibenarkan. Lebih jelasnya, berikut ibarah tersebut:

وقال: [وذرياته المقدسين من كل رجس] ، وهذا ليس ثابتاً لكل ذرية النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم، إنما المقصود أن من عرف منهم بالتقوى والإيمان فإنه هو الذي يُحسن فيه القول، وأما من استوجب القول السيئ فإنه يثبت له، لكن من دون أن ينال من نسبه ولا من اتصاله بالنبي صلى الله عليه وسلم.

Maaf pendek kata, teks di atas ini sekurang-kurangnya mengajarkan kepada kita bahwa perilaku yang sama sekali melenceng dari kepribadian baik Nabi, bagi penulis, bukan hal sepenuhnya disandarkan kepada predikat penyematan keturunan Nabi. Sebab sudah menjadi aksioma, Nabi adalah sosok teladan manusia sedunia. Lelaki yang sangat penuh kasih sayang terhadap segala umat manusia. Bukan suka membenci, menghardik, apalagi mencaci maki sesama umatnya.

Hal ini selaras dengan pendapat Dr. Rasyid bin Hasan al-Alma’ei dalam kitabnya, Man Hum Ahlu al-Bait? Yang mengatakan begini:

وأهل السنة يحبونهم ويكرمونهم؛ لأن ذلك من محبة النبي -صلى الله عليه وسلم- وإكرامه، وذلك بشرط أن يكونوا مستقيمين على الملة، كما كان عليه سلفهم كالعباس وبنيه وعلي وبنيه، أما من خالف السنة ولم يستقم على الدين فإنه لا تجوز موالاته ولو كان من أهل البيت

Artinya: Ahlusunnah mencintai dan memuliakan para Ahlu al-Bait (keturunan Nabi), karena mencintai Ahlul al-Bait termasuk mencintai Rasul dan memuliakanya.  Dengan syarat, mereka (Ahlu al-Bait) tetap berada di agamanya, sebagaimana para pendahulunya seperi Abbas dan keturunan-keturunannya. Dan jika mereka tidak berada di sunnah-sunnah Nabinya, (meski keturunan Nabi) maka tidak boleh mengikutinya.

Ulama kontemporer Mesir memaknai kata “Muwálah” dengan bersahabat. Sebagian ada yang memberikan makna dengan “menolong, atau membantu”. Ringkasnya, jika ketidakbaikan itu muncul meski dari keturunan Nabi, maka kita sebagai umat Islam harus benar-benar pintar jeli dan teliti. Bukan malah membantu terhadap ketidakbaikan tersebut, kemudian menyulutkan api kebenciaan di tengah-tengah persaudaran seagama ini dengan bentuk caci-mencaci. Apakah kita masih mau menghormati keturunan nabi yang suka mencaci-maki?

ALIF.id

Rasulullah Mendamaikan Umat Manusia dengan Islam: Tafsir QS. Ali ‘Imran [3]: 103

Sayyid Muhammad Al-Maliki dalam Manhaj Al-Salaf fi Fahmi Al-Nushush baina Al-Nadhriyyah wa Al-Tathbiq (tt., 9) menyebutkan bahwa Islam datang untuk mengajak umat manusia agar saling asih, mencintai, menyayangi, dan melarang untuk saling berpecah belah. Bahkan beliau menyebutkan bahwa bercerai berai adalah menjadi sebab segala fitnah dan musibah. Lebih lanjut, bercerai berai melahirkan permusuhan dan kebodohan.

Upaya untuk menelaah pandangan para mufassir sangat penting untuk mendapatkan rumusan pemahaman yang tidak terputus dari wacana-wacana terkait dengan pemahaman para ulama dalam bidang al-Qur’an dan tafsir. Meskipun sebenarnya, argumen Sayyid Muhammad al-Maliki di atas telah menggunakan pendekatan wacana para mufassir, namun dalam kesempatan kali ini adalah untuk membuka lebih jelas lagi.

Persaudaraan, persatuan, dengan kerangka berfikir Sayyid Muhammad al-Maliki di atas, adalah poin penting dalam ajaran Islam. Dalam Al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 103 disebutkan:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُون

Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali ‘Imran [3]: 103)

Menurut keterangan dari Al-Zamakhsyari (467-538 H) dalam Tafsir Al-Kasysyaf (1998: Vol. 1, 601), ayat ini adalah sebuah larangan untuk bercerai-berai sebagaimana yang terjadi pada masa jahiliyyah, yaitu saling bermusuhan satu sama lain hingga terjadi peperangan di antara mereka. Ayat ini juga adalah larangan untuk mengucapkan kata-kata yang menyebabkan perpecahan.

Dalam sejarah Arab, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Baidhawi, disebutkan bahwa suku Aus dan Khazraj adalah dua saudara namun anak keturunannya mengalami pemusuhan hingga terjadi peperangan antara keduanya selama 120 tahun sampai Allah memadamkan api peperangan dan kebencian diantara mereka dengan perantara agama Islam (Al-Qaujawi: 1999, Vol, 3, 136).

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan banyak riwayat terkait dengan pembahasan ayat ini, diantaranya adalah riwayat dari Qatadah bahwa maksud dari ayat “wadzkuru ni’matallah ‘alaikum idzkuntuntum a’da’an fallafa baina qulubikum” adalah yang terjadi pada masyarakat Arab pada waktu itu adalah saling membunuh, orang-orang yang kuat akan menindas yang lemah sehingga. dengan datangnya Islam melalui perantara Nabi mereka berubah menjadi saudara yang saling mengasihi satu sama lain, demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya, sesungguhnya saling mengasihi adalah rahmat dan perpecahan adalah adab (Al-Qurthubi: 2001, Vol. 5, 650).

Di sini jelaslah bagi kita bahwa Islam ketika awal kemunculannya adalah untuk menjadi solusi dan sarana menyatukan puing-puing komponen masyarakat yang saling berserakan dan terpecah belah. Yang diungkapkan oleh Sayyid Muhammad di atas adalah otentisitas Islam, yaitu sebagai agama yang melarang dan membendung sikap dan tindakan yang bisa menimbulkan atau menyebabkan perpecahan. Karena perbedaan bukan menjadi alasan untuk bertikai dan berpecah belah, melainkan, sebagaimana dalam istilah al-Qur’an, adalah untuk saling mengenal satu sama lain.

Sejarah yang disampaikan oleh Chaiwat Satha-Anand tentang sikap Nabi ketika mengajak perwakilan dari setiap suku untuk mengangkat bersama-sama sorban yang di atasnya terdapat hajar aswad, sebagai dasar argumentasi aktivia nir-kekerasan adalah sangat beralasan dan kredibel. Bahkan Satha Anand tidak hanya melihat dari perspektif Islam dalam menggelorakan semangat nir-kekerasan, melainkan dari kombinasi berbagai ajaran agama.

Kesimpulannya adalah bahwa Islam secara dasariah adalah perdamaian. Pandangan diatas dan informasi bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin menjadi penting untuk disadari terutama oleh umat muslim Indonesia maupun dunia. Bahkan rahmat Nabi juga sangat banyak tersebar di berbagai keterangan perihal kemuliaan sifat Nabi dalam kitab-kitab shirah al-nabawiyyah.

Sehingga semestinya arah pemahaman memurnikan agama adalah dengan menjadikan agama sebagai amunisi untuk berdamai dengan orang lain bukan malah dengan agama memecah belah persaudaraan dan kesatuan. Tekanan untuk beragama dalam konteks Indonesia adalah agar setiap warganya menjalin persaudaraan dan menjaga persatuan bukan membenturkan satu sama lain dengan nama agama. Sehingga, trauma yang dirasakan oleh yang menolak untuk beragama terobati, karena agama telah kembali kepada asalnya sebagai juru damai dan pemersatu umat manusia.

MADANINEWS