Ingat Allah Hati Menjadi Tenang

MEMANG, kita sering melihat banyak orang yang hidup berkecukupan yang secara nyata-nyatanya mereka adalah tergolong orang-orang yang sering berbuat dosa. Lantas bagaimana halnya dengan adanya keyakinan bahwa balasan dari perbuatan baik adalah kebaikan?

Orang-orang yang sering terlihat berbuat dosa, namun terlihat nyaman dengan berbagai kepemilikian duniawinya, walau demikian bagaimana dengan kondisi hati mereka? Apakah ada ketenangan di hati mereka? Pasti tidak ada. Karena, hanya dengan berzikir kepada Allah hati menjadi tenteram. Buat apa memiliki kekayaan duniawi kalau hati gelisah, makan tidak tenang, tidur tidak nyenyak.

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Radu : 28)

Balasan terbaik bukanlah dengan apa yang ia miliki dari kekayaan duniawi, tetapi semakin dekat kepada Allah, hati yang semakin mantap, yakin dan istiqomah dalam beribadah kepada Allah.

Di saat kita memiliki niatan yang baik, kita lantas dituntun oleh Allah, bersabar dalam berusaha, sehingga saat bertemu dengan rezeki semua dilakukan dengan penuh keberkahan. Ditambah dengan dikeluarkannya sedikit dari rezeki yang kita miliki untuk berjuang di jalan Allah, maka semakin nikmat karunia yang telah Allah berikan ini.

Jangan pernah merasa tidak adanya pertanggungjawaban atas perbuatan kita di dunia ini, karena semua hal yang kita lakukan diawasi dan diperhitungkan oleh Allah untuk diberi balasan bahkan di dunia ini juga, kecuali perbuatan dosa yang segera dimohonkan ampunan-Nya. Semua hal akan dipertanggungjawabkan, karena pada hari perhitungan kelak, anggota tubuh ini akan bersaksi.

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yaasiin: 65)

Oleh karena itu, berhati hatilah dalam menjaga pikiran dan sikap kita. Terus bersihkan hati, agar kita semakin mudah dalam merasakan kehadiran dan pengawasan Allah. Seseorang yang tauhidnya bagus, dapat dipastikan bahwa akhlaknya juga terjaga. Karena, dia yakin bahwa Allah Maha Melihat, sehingga dia akan sibuk dengan Allah tanpa perlu berakting dan berpura-pura.

“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Alquran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yunus: 61)

Kita tidak tahu sesuatu yang terjadi di masa depan. Saat ujian di sekolah, misalnya, sebagai murid tidak akan pernah tahu materi yang nantinya akan keluar. Sedangkan Allah Maha Tahu apa pun yang akan terjadi di kemudian hari dengan detail. Jadi bergantung saja pada Allah, berdoa dengan sungguh-sungguh, ikhtiar dengan benar dan baik, dan lakukanlah hal-hal yang Allah sukai, dan berharaplah semua akan dimudahkan. [

INILAH MOZAIK

Mengembalikan Fungsi Masjid di Masa Rasulullah

Masjid Istiqlal meluncurkan program Majelis Mudzakarah, Rabu (2/9) hari ini. Peluncuran yang dilakukan secara virtual ini dipimpin langsung oleh Imam Besar masjid Istiqlal, KH Nasaruddin Umar dan Ketua majelis mudzakarah Masjid Istiqlal (M3I), KH Quraish Shihab.

KH Quraish Shihab mengatakan, peluncuran majelis mudzakarah ini merupakan upaya untuk mengingat kembali fungsi masjid seperti yang diterapkan pada masa rasulullah SAW. Mantan menteri Agama ini juga menjelaskan makna dasar dan arti yang terkandung dari majelis mudzakarah.

“Majelis itu memiliki arti mengajak orang yang berbaring untuk duduk, dan mengajak orang yang duduk untuk bergerak, melakukan suatu kegiatan. Majelis ini harus dimaknai sebagai membangunkan yang tidur, mengajak yang tidak aktif untuk aktif, dan segera bangkit untuk melakukan kegiatan,” jelasnya saat memberikan sambutan dalam acara peluncuran Majelis Mudzakarah Masjid Istiqlal, Rabu (2/9).

“Sedangkan Mudzakarah adalah suatu kata yang menunjukkan kegiatan timbal balik. Diambil dari huruf yang memiliki makna asasi, pertama, jantan, dan kedua, mengingat atau menyebut, memelihara, dan menunjukkan keterlibatkan dua pihak. Maka majelis mudzakarah ini diartikan sebagai tempat yang berisi kegiatan yang melibatkan dua pihak untuk saling mengingatkan, saling menguatkan, dan saling memperkokoh,” ujarnya.

Adapun alasan majelis mudzakarah diluncurkan dari masjid, kata KH Quraish, tak lain untuk mengingatkan kembali fungsi masjid sebagaimana yang dilakukan Rasulullah. Jika pada masanya, Rasulullah memusatkan seluruh kegiatan di masjid, baik sosial, ekonomi, kesenian, kebudayaan, bahkan pemerintahan, maka Majelis Mudzakarah ini akan berfungsi sebagai pengingat dan penyalur ajaran yang telah nabi muhammad SAW berikan.

“Fungsi masjid sangat banyak, meski sekarang fungsi itu sudah dialihkan ke lembaga lain. Walaupun masjid saat ini tidak lagi berfungsi sebagaimana fungsi masjid pada masa Rasulullah, tapi nilai nilai yang diajarkan nabi harus tetap disalurkan, dan itu dapat terwujud melalui mudzakarah yaitu saling ingat-mengingatkan,” jelasnya.

Selain meluncurkan majelis mudzakarah, Masjid Istiqlal juga akan mengadakan beberapa program unggulan lain, seperti program Pendidikan Kader Ulama (PKU), yang akan diadakan secara nasional dan internasional.

Melalui program ini, para peserta akan diberikan sertifikat kader ulama dari Masjid Istiqlal dan sertifikat akademik setara magister jurusan ilmu tafsir dari Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an (PTIQ) Jakarta.

“Program ini bersifat nasional dan kami akan mengundang seluruh pimpinan dari seluruh daerah untuk mengirim utusannya yang insyaAllah akan mampu memimpin umat, dan imam di masjid daerah masing-masing,” ujarnya.  

“Di kesempatan selanjutnya, kami juga akan membuka program PKU level internasional dengan meminta peserta dari komunitas Muslim seluruh dunia, khususnya utusan dari masjid negara di setiap negara. InsyaAllah ini akan kita laksanakan dalam waktu dekat,” tambahnya.

Imam Besar Masjid Istiqlal sekaligus Ketua Harian Badan Pelaksana Masjid Istiqlal, KH Nasaruddin Umar menjelaskan Masjid Istiqlal juga telah menyiapkan rentetan program lain seperti program pendidikan pascatahfidz, majelis pengkajian Masjid Istiqlal, lembaga pengkajian dan pengembangan ekonomi umat, sharing bersama ulama dan umara, juga workshop imam-imam besar masjid negara dari seluruh dunia.

“Kita akan terus mengadakan program dan kegiatan, baik online maupun offline, dan berharap agar masyarakat dapat terus berpartisipasi dan mendukung program-program yang ada,” tutupnya.  

Peresmian Majelis Mudzakarah Masjid Istiqlal (M3I) ini juga dihadiri oleh Imam Islamic Center of New York, KH Syamsi Ali, Guru Besar UIN Jakarta, KH Said Aqil Husin Al Munawwar, Dosen Monash University, Nadisyah Hosen dan sejumlah tokoh islam lainnya.

IHRAM



Mengapa Husain Cucu Nabi SAW Bawa Keluarga Saat Dibantai?

usain cucu Nabi SAW dibantai bersama keluarga di Karbala

Mengapa Sayidina Husain  RA membawa serta keluarganya dalam ekspedisi ke kufah? Bukankah hal itu membawa keluarganya pada bahaya? Pertanyaan itu lah yang sering muncul dari waktu ke waktu khususnya pada 10 Muharam atau peringatan tragedi Karbala. 

Pada hari itu, cucu Nabi Muhammad yakni Husain  bin Ali dibantai bersama pengikutnya di Karbala oleh tentara penguasa Umayah kala itu yakni Yazid bin Muawiyah. Lalu mengapa Husain  harus membawa keluarganya? 

Peneliti Pemikiran Islam, Mohamed Fathi Al Nady, mengatakan apa yang dilakukan Husain  dengan membawa keluarganya ke Karbala adalah hal normal.  

“Dia membawa keluarganya bersamanya karena dia tak dapat menjamin keamanan mereka di tempat lain, seandainya dia berhasil merebut kekuasaan di Kufah, umat Islam akan membalas dendam dengan merugikan keluarganya dimanapun mereka berada. Jadi tampaknya lebih baik dan lebih aman bahwa mereka (keluarga Husain ) menemaninya dalam perjalanan,” kata Fathi Al Nady seperti dilansir About Islam pada Jumat (28/8).  

Al Nady menjelaskan bahwa yang memperkuat pandangan itu adalah bahwa Husain  mempercayai janji-janji kaum Kufah untuk mendukungnya. 

Al Nady mengatakan orang-orang Kufah mengirimkan surat yang menegaskan dukungan untuk tujuan Husain . Bahkan jelas Al Nady berdasarkan laporan sejarah bahwa 12 ribu orang bersenjata dari Kufah menyatakan kesiapan membela Husain  saat tiba. 

“Jadi dia (Husain ) percaya bahwa mereka (kaum Kufah) akan dapat melindunginya dan membantunya menegakan aturannya. Sayangnya seperti dituliskan buku- buku sejarah, orang Kufah tak menerima tantangan ini dan mereka mengecewakan Husain dalam perjuangan melawan tirani dan kediktatoran Yazid bin Muawiyah. Dan pengkhianatan itu menyebabkan pembunuhan tragis Husain dan pengikutnya,” katanya.

Sumber: https://aboutislam.net/shariah/special-coverage-shariah/al-hussein-took-family-karbala/

KHASANAH REPUBLIKA

Halalkah Mengonsumsi Kepiting?

Bagi penyuka seafood, kepiting tentu bukan sesuatu yang asing. Bahkan, bisa jadi kepiting merupakan menu favorit. Dari sisi cita rasa, daging kepiting memang sangat lezat. Hanya saja, tak sedikit Muslim yang mempertanyakan status kehalalan kepiting. Maklum, banyak yang mengira kepiting termasuk hewan yang hidup di dua alam dan beracun pula. Anda juga mempertanyakannya?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebenarnya telah menerbitkan fatwa mengenai hal ini. Intinya, MUI menyatakan kepiting halal, kecuali yang beracun. Pada rapat Komisi Fatwa MUI, 15 Juni 2002,  Dr Sulistiono, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, menjelaskan, ada empat jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarrica, Scylla olivacea, dan Scylla pararnarnosain. Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut ‘kepiting’.

Dalam makalah berjudul “Eko-Biologi Kepiting Bakau (Scylla spp)”, yang disampaikan waktu itu, Sulistiono mengatakan, kepiting adalah jenis binatang air karena bernapas dengan insang, berhabitat di air, dan tidak akan mengeluarkan telur di darat melainkan di air karena ia memerlukan oksigen dari air.

Kepiting, termasuk keempat jenis di atas, ada yang hidup di air tawar saja, di air laut saja, dan hidup di air laut dan tawar. “Jadi, tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam (laut dan darat),” ujar Sulistiono.

Lalu, bagaimana dengan anggapan bahwa kepiting ini beracun? Nah, ini juga perlu diluruskan. Sebagian besar jenis kepiting justru tidak beracun, kecuali kepiting kelapa yang banyak ditemukan di perairan Maluku.  Di sisi lain, seperti dikatakan pakar pangan halal Dr H Anton Apriyantono, tidak ada satu nas pun, baik dari Alquran maupun hadis, yang mengharamkan hewan yang hidup di dua alam.

Yang ada adalah pengharaman kodok, yang kebetulan hidup di dua alam. Mungkin, kata Anton, para ulama terdahulu menyimpulkan keharaman hewan yang hidup di dua alam berdasarkan qiyas (logika kesetaraan) terhadap kodok dan hewan buas seperti buaya yang menurut pemahaman mereka hidup di dua alam.

Komisi Fatwa MUI pun, kata Anton, telah melakukan kajian mengenai status kehalalan hewan yang hidup di dua alam. Kesimpulannya, tidak ada dasar nas yang mengharamkan hewan yang hidup di dua alam. “Itu sebabnya, Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa bahwa kepiting itu halal,” kata Anton yang pernah menjadi anggota Tim Penyempurnaan SK Menteri Agama tentang pedoman pemeriksaan kehalalan makanan.  

Sebetulnya, lanjut mantan menteri pertanian ini, tidaklah tepat alasan kepiting haram  dikarenakan punya capit. “Bagaimana dengan ikan lele yang punya patil?” ucapnya retoris.

Dalam surah al-A’raf ayat 157 disebutkan, Allah mengharamkan makanan yang khabaits (buruk dan menjijikkan). Nah, atas dasar inilah kemudian Imam Syafii mengharamkan kepiting, penyu, dan lain-lain, sebagaimana termaktub dalam buku Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd.

Tapi, menurut Anton, masalah khabaits ini juga masih bisa diperdebatkan. Sebab, sebagian besar orang tidak memandang kepiting sebagai makanan yang khabaits. Itulah sebabnya, Komisi Fatwa MUI menghalalkannya. “Lagi pula, definisi hewan yang hidup di dua alam juga masih diperdebatkan.”

IHRAM



Ketinggalan Puasa Tasua, Bolehkah Puasa Sehari Asyura Saja?

Setelah tahu Yahudi dan Nasrani juga mengagungkan hari asyura, Rasulullah tak ingin hanya puasa sehari di tanggal 10 Muharram. Beliau berazzam menambah satu hari puasa lagi di tanggal 9 Muharram, yakni puasa tasua.

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan orang agar berpuasa padanya, mereka berkata, “Ya Rasulullah, ia adalah suatu hari yang dibesarkan oleh orang Yahudi dan Nasrani.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika datang tahun depan, insya Allah kita berpuasa juga pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas berkata, “Maka belum lagi datang tahun berikutnya itu, Rasulullah SAW pun wafat.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Yang menjadi pertanyaan, ada kalanya seorang muslim baru tahu bahwa puasa tasua adalah sunnah. Ada pula yang lupa bahwa Jumat kemarin adalah tanggal 9 Muharram sehingga tidak puasa tasua. Nah, bolehkah puasa asyura jika pada 9 Muharram tidak menjalankan puasa tasua? Bolehkah puasa asyura jika ketinggalan puasa tasua?

Boleh Puasa Asyura Tanpa Puasa Tasua

Tidak ada satu pun ulama yang mengharamkannya. Boleh bagi seorang muslim puasa sehari saja di tanggal 10 Muharram. Yakni puasa asyura. Dan insya Allah ia tetap mendapatkan keutamaannya yaitu Allah mengampuni dosanya setahun sebelumnya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang puasa asyura.

سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Rasulullah ditanya tentang puasa asyura, beliau menjawab, “dapat menghapus dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim)

Namun yang lebih utama adalah tidak hanya puasa di tanggal 10 Muharram, namun menambahkan puasa sehari sebelumnya. Yakni puasa tasua. Jika puasa tasua terlewat, bisa menambahkannya dengan puasa tanggal 11 Muharram. Sehingga, puasanya tidak sama dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang hanya puasa sehari di tanggal 10 Muharram.

Tingkatan Puasa Asyura

Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa puasa asyura memiliki tiga tingkatan.

Pertama, berpuasa selama tiga hari, yaitu hari kesembilan, kesepuluh dan kesebelas. Kedua, berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh. Ketiga, berpuasa pada hari kesepuluh saja ,” tulis Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah.

Dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan jika seseorang berpuasa Asyura tanpa Tasu’a, disunnahkan baginya –menurut mazhab Syafi’i- berpuasa pula pada tanggal 11 Muharram. Bahkan Imam Syafi’i sendiri dalam kitab Al Umm dan Al Imlaa’ menyatakan kesunnahan berpuasa pada tiga hari tersebut sekaligus.

Semoga Allah mudahkan kita menjalankan puasa asyura dan Allah ampuni dosa kita setahun sebelumnya. Juga Allah mudahkan kita mengirinya dengan puasa tasua (9 Muharram) atau puasa 11 Muharram. Penjelasan lengkap mulai keutamaan hingga tata cara puasa asyura bisa dibaca di artikel Niat Puasa Asyura. Wallahu a’lam bish shawab.

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]

Rasa Takutmu Pada Akhirat adalah Penyelamatmu!

Allah Swt berfirman :

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّمَنۡ خَافَ عَذَابَ ٱلۡأٓخِرَةِۚ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat.” (QS.Hud:103)

Salah satu pegangan orang-orang Sholeh adalah selalu mengingat akhirat. Dalam melangkah, dalam berbuat, dalam menentukan keputusan, semuanya dipertimbangkan berdasarkan rasa takut kepada kehidupan akhirat.

Rasa khawatir dan “takut” terhadap nasib di akhirat mendorong manusia untuk berhati-hati dan lebih taat kepada Tuhannya.

Mari kita renungkan bersama ayat-ayat dibawah ini :

(1).

يَخَافُونَ يَوۡمٗا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلۡقُلُوبُ وَٱلۡأَبۡصَٰرُ

“Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat).” (QS.An-Nur:37)

(2).

قُلۡ إِنِّيٓ أَخَافُ إِنۡ عَصَيۡتُ رَبِّي عَذَابَ يَوۡمٍ عَظِيمٖ

Katakanlah (Muhammad), “Aku benar-benar takut akan azab hari yang besar (hari Kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku.” (QS.Al-An’am:15)

(3).

وَٱتَّقُواْ يَوۡمٗا تُرۡجَعُونَ فِيهِ إِلَى ٱللَّهِۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ

“Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizhalimi (dirugikan).” (QS.Al-Baqarah:281)

Dan banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan bahwa semakin besar rasa takut kita kepada akhirat maka semakin besar pula dorongan kita untuk taat kepada Allah dan menghindari maksiat.

Ingatlah selalu bahwa kita semua akan kembali pulang ke rumah abadi. Semua hanya tentang waktu, antara saya dan anda tiada yang tau siapa yang akan lebih dulu kembali.

Manfaatkan waktu sebaik mungkin dan jadikanlah akhiratmu sebagai pertimbangan dalam menentukan setiap langkahmu !

Semoga bermanfaat..

KHAZANAH ALQURAN

Sifat dan Ciri Firqatun Najiyah

Fatwa Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan

Pertanyaan:

Siapakah firqatun naajiyah (golongan yang selamat) di zaman ini? Bagaimanakah sifat dan ciri khasnya?

Jawaban:

Al-firqatun naajiyah al-manshurah (golongan yang selamat dan mendapatkan pertolongan) di zaman ini, hingga datangnya hari kiamat, adalah yang dikatakan (dijelaskan) oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya masalah ini.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

إفترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة. وافترقت النصارى على اثنين وسبعين فرقة. وستفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة

“Orang Yahudi berpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan. Orang Nasrani berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sedangkan umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya (terancam) masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan saja.”

Para sahabat bertanya,

من هي يارسول الله؟

“Siapakah mereka, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab,

ماكان على مثل ما أنا عليه اليوم وأصحابي

“Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya.” (HR. Tirmidzi no. 2641, Hakim 1: 129, dan lain-lain. Lihat Ash-Shahihah no. 203, 204, dan 1492)

Allah Ta’ala mengatakan tentang mereka,

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah [9]: 100)

Di antara sifat mereka adalah: berpegang teguh pada jalan (sunnah) yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Di antara sifat mereka adalah: mereka bersabar di atas kebenaran, tidak berpaling kepada ucapan (pendapat) orang-orang yang menyelisihi mereka, dan mereka tidak mempedulikan celaan orang-orang yang mencela mereka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Senantiasa ada sekelompok umatku yang dimenangkan atas kebenaran, tidak akan membahayakan mereka orang yang memusuhi mereka hingga hari kiamat, sedangkan mereka tetap seperti itu” (HR. Muslim no. 1920).

Di antara sifat mereka adalah: mereka mencintai as-salaf ash-shalih [1]memuji mereka, mendoakan mereka, dan berpegang teguh dengan atsar [2] mereka.

Di antara sifat mereka adalah: tidak merendahkan satu pun generasi salaf, baik dari kalangan sahabat atau generasi setelahnya. [3]

Sedangkan di antara sifat golongan yang menyimpang adalah: mereka membenci generasi salaf, membenci manhaj salaf, dan memperingatkan agar menjauhinya. [4] [5]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

Ketika Wanita Muslimah Menikah dengan Lelaki Non Muslim

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah

Soal :

Apabila ada seorang pria yang beragama Nasrani menikah dengan seorang Muslimah, lalu mereka mempunyai anak. Bagaimana status anak tersebut dalam syari’at Islam?

Jawab :

Pernikahan antara seorang lelaki Nasrani dengan seorang Muslimah adalah pernikahan yang batil. Allah Ta’ala berfirman :

وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا

“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman” (QS. Al-Baqarah: 221).

Maka tidak diperbolehkan lelaki kafir menikah dengan seorang wanita Muslimah. Allah Ta’ala juga berfirman :

لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّ

“Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka” (QS. Al-Mumtahanah: 10).

Apabila lelaki tersebut menikahinya, maka pernikahannya tidak sah dan anak-anaknya adalah anak zina. Dan anak hasil zina itu dinasabkan hanya kepada ibunya, dan tidak boleh dinasabkan kepada bapaknya.

Kecuali apabila pasangan suami istri yang berbeda agama tersebut tidak memahami hukum Islam (tentang tidak bolehnya nikah beda agama), maka ini perkara yang berbeda. Pernikahan mereka tidak sah, namun anak-anak hasil pernikahan mereka boleh dinasabkan kepada bapaknya, disebabkan adanya udzur yaitu kebodohan mereka, karena senggama yang mereka lakukan adalah watho’ syubhah (senggama yang dilakukan atas dasar nikah yang syubhat).

Adapun jika pasangan tersebut sebenarnya sudah mengetahui hukum Islam (dalam masalah ini), akan tetapi mereka bermudah-mudahan (untuk menikah) dan tidak mempedulikan hukum Allah Ta’ala, maka anak-anaknya menjadi anak zina. Dan anak-anaknya dinasabkan hanya kepada ibunya, bukan kepada bapaknya. 

Dan si lelaki ini wajib dijatuhi hukuman had (oleh pemerintah) dikarenakan hubungan biologisnya terhadap perempuan Muslimah tanpa hak. Hukum ini wajib ditegakkan apabila terjadi pada negeri yang punya kemampuan dalam menegakkan hukum islam.

Soal :

Bagaimana jika si lelaki tersebut masuk Islam?

Jawab :

Pertama, mereka harus dipisahkan dahulu. Kemudian jika si lelaki tersebut masuk Islam, maka ia harus menikah ulang dari awal. Jika masuk Islam dan Allah beri ia hidayah kepada Islam, maka ia menikah ulang dari awal.

***

Sumber: website binbaz.or.sa, url: https://bit.ly/2EEB4w2 

Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo

Pemuraja’ah: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Usai Hijrah, Rasulullah Bangun Perekonomian Umat

Rasulullah membangun ekonomi umat usai berhijrah.

Imam Masjid New York Shamsi Ali meningatkan umat Islam bahwa perintah mendasar Syariah Islam yang turun di priode Makkah hanya satu, sholat. Perintah melaksanakan sholat itu turun sekitar dua tahun sebelum Hijrahnya Rasul melalui peristiwa Isra Mi’raj.

“Dua tahun setelah Rasul hijrah ke Madinah turunlah perintah berzakat. Yaitu kewajiban umat Islam untuk mengeluarkan hartanya sebesar 2,5 persen sekali dalam setahun (haul), jika telah memenuhi jumlah tertentu (nishob),”ujar dia dalam rilis yang diterima Republika, Selasa (1/9).

Perintah zakat itu sendiri, sebagaimana syahadat dan sholat, menjadi salah satu pilar atau rukun Islam.  Jika sholat menitik beratkan kepada relasi vertikal seorang muslim dengan Tuhannya, zakat menekankan relasi horizontal seorang muslim kepada sesama. Kedua aspek relasi inilah yang menjadi dasar ubudiyah dalam Islam. Atau lebih dikenal bahasa Al-qurannya hablun minallah wa hablun minan naas.

Perintah sholat diturunkan di Makkah karena memang periode Makkah lebih menekankan aspek hablun minallah atau relasi vertikal keagamaan. Sementara Zakat yang relevansinya sangat dominan secara sosial turun di Madinah. Kerena periode Madinah memang dipahami sebagai awal pembentukan kehidupan Umat secara jama’i. Yang tentunya juga karena prioritas risalah di Madinah adalah penguatan (empowerment) umat pada sisi komunalnya (jamaah).

Dalam menyikapi perintah zakat ini, Rasul tidak saja memahaminya sebagai sekadar perintah untuk mengeluarkan harta. Sebaliknya justru dipahami sebagai perintah untuk memperkuat basis perekonomian umat.

Dengan kata lain, Rasulullah memahami perintah Zakat tidak sekadar memberikan 2,5 persen harta. Tapi dipahami secara pro aktif dan dengan visi yang lebih besar. Bahwa ada perintah memberi maka di balik perintah itu ada perintah lainnya. Dan perintah itu adalah economic empowerment atau membangun kekuatan ekonomi bagi Umat.

Untuk mengimplementasikan pemahaman itu, beliau melakukan beberapa hal, di antaranya:

Pertama, membeli sebuah sumur. Perlu diingat air ketika itu bagaimana minyak di masa kita. Bayangkan jika kota New York misalnya kehabisan minyak (sebelum solar energy ditemukan).

“Saya yakin kehidupan menjadi lumpuh. Sumut Madinah menjadi fondasi hidup itu sendiri. Dan Karenanya atas anjuran Rasulullah SAW, Sumur tersebut dibeli oleh sahabat Utsman Ibnu Affan,”ujar dia.

Kedua, membeli pasar dari masyarakat Yahudi. Sejak masa itu juga sebenarnya umat Yahudi memiliki kelebihan dalam bisnis dan keuangan. Bahkan Rasulullah SAW sendiri sebagai pribadi pernah meminjam uang dari masyarakat Yahudi.

Di Madinah ada sebuah pasar yang sangat terkenal dan strategis dalam perekonomian masyarakat. Kebetulan saja pasar itu dimiliki oleh komunitas Yahudi.

Sebagai tindak lanjut dari perintah zakat, Rasulullah SAW mengumpulkan para sahabat yang kira-kira punya modal, dan juga dikenal memiliki kemampuan bisnis, seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Kepada mereka disampaikan urgensi umat Islam memiliki pasar sebagai pusat penguatan perekonomian umat.

Mereka setuju dan memberikan investasi terbaik mereka untuk membeli pasar tersebut. Melalui pasar ini umat kemudian melakukan aktifitas ekonomi dan membangun basis perekonomian mereka. Dan pada akhirnya tidak lagi bergantung kepada Komunitas lain.

Dari peristiwa ini dipahami bahwa  pemberdayaan ekonomi umat menjadi krusial dalam pembentukan peradaban manusia. Ketika umat lemah secara ekonomi maka yang terjadi kemudian adalah ketergantungan. Dan sudah pasti klaim peradaban dengan ketergantungan kepada orang lain adalah paradoks yang nyata.

Jika hal ini dikembalikan kepada situasi kolektif umat masa kini, kita akan dapati bahwa dari sekian banyak kebutuhan dasar umat adalah perbaikan ekonominya. Umat ini sungguh beruntung menempati sisi-sisi bumi yang kaya. Jika tidak rindang dan hijau dengan hutan, atau dengan kekayaan bahari (laut), Allah memberinya dengan kekayaan minyak dan pertambangan.

Lalu kenapa umat masih tertinggal secara ekonomi?  

Jawabannya karena umat perlu berzakat. Yaitu Zakat (bersuci) dari ketamakan dan kekikiran. Ketamakanlah di dunia Islam itulah yang menjadikan kekayaan alam kita diselewengkan sedemikian rupa. Akibatnya terjadi berbagai kerusakan dalam berbagai manifestasinya.

Kalaulah saja perintah Zakat dipahami secara benar, secara pro aktif dan inovatif, serta dikelolah secara profesional dan jujur, Umat akan terkuatkan secara ekonomi.

“Sekaligus saya yakin bahwa permasalahan kemiskinan yang masih mengungkung Umat ini dapat terselesaikan,”pungkasnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bulan Suro Dalam Persepsi Islam dan Masyarakat (Bag.2)

Merasa Sial Dengan Waktu Tertentu

Inilah tinjauan kedua kita yaitu merasa sial dengan waktu tertentu. Merasa sial biasa muncul ketika seseorang mendapatkan bencana atau musibah. Ketika terjadi seperti ini barulah dia mengatakan, “Waduh! Bencana ini karena kesialan dari Si A atau kesialan pada bulan ini.” Itulah yang dicontohkan oleh Fir’aun. Ketika dia mendapatkan bencana barulah dia mengatakan bahwa ini semua disebabkan oleh Musa. Artinya Musa-lah yang mendatangkan kesialan.

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini.

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raaf [7]: 131)

Perhatikanlah ayat di atas. Ketika Fir’aun dan pengikutnya mendapatkan hujan, kesuburan, rizki yang melimpah dan keselamatan, mereka menyatakan bahwa itu adalah karena mereka memang pantas untuk mendapatkannya. Mereka tidaklah mengakui bahwa limpahan nikmat tersebut berasal dari Allah lalu mensyukuri-Nya.

Namun, tatkala hujan tidak turun, kekeringan dan berbagai bencana datang, mereka menyatakan bahwa ini semua adalah kesialan dari Musa dan pengikutnya.

Begitulah juga kelakuan orang Arab dahulu. Tatkala mereka ingin melakukan sesuatu, terlebih dahulu mereka menggertak (membentak) buruk. Jika burung tersebut terbang ke arah kiri, ini pertanda sial. Namun, jika burung terbang ke arah kanan, ini pertanda baik (berkah).

Lihatlah pada penutup Al A’rof ayat 131 di atas. Terakhir, Allah Ta’ala katakan bahwa kesialan yang menimpa mereka sebenarnya adalah ketetapan dari Allah.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ahli tafsir Qur’an, mengatakan: maksud ayat terakhir ini adalah bahwa apa saja yang menimpa mereka berasal dari ketetapan Allah. (Lihatlah penjelasan ini dalam Zadul Masir pada tafsir surat Al A’raaf ayat 131)

Beranggapan sial dalam agama ini dikenal dengan istilah tathoyyur. Istilah ini berasal dari perbuatan orang Arab yang kami ceritakan di atas. Ketika mereka melakukan sesuatu, mereka membentak burung terlebih dahulu. Jika burung tersebut ke arah kiri, ini berarti pertanda sial sehingga mereka mengurungkan niat mereka untuk melakukan sesuatu tadi.

Perlu diketahui bahwa merasa sial seperti di atas dan contoh lainnya bukan hal yang biasa-biasa saja bahkan perbuatan ini termasuk kesyirikan sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan sendiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ »

“Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)

Ringkasnya, beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan.

Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa [42] : 30)

Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan, “Jadi, hendaklah seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.” (Lihat I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah)

Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ‘azza wa jalla.

Lalu pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana? Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.

Berbagai Ritual di Bulan Suro

Terakhir, kita akan melihat berbagai macam ritual yang dilaksanakan di bulan Suro.

Di Solo akan diarak seekor Kebo (dinamakan Kyai Slamet) di tengah manusia lalu diambil berkah dari kotorannya. Ada yang menganggap bahwa kotoran ini –jika disimpan- akan mendatangkan banyak rizki dan memperlancar usaha.

Kami cuma bisa berkomentar, “Ini suatu yang tidak masuk akal. Kok hanya kotoran apalagi kotoran kebo bisa diambil berkahnya [?] Sunggguh sangat tidak logis! Apalagi ini adalah ngalap berkah yang termasuk kesyirikan karena di dalamnya terdapat ketergantungan pada selain Allah dalam mengambil manfaat dan menolak bahaya. Na’udzubillahi min dzalik.”

Di tempat lain ketika memasuki bulan Suro yang dianggap sangat sakral, kita juga akan melihat orang-orang membersihkan pusaka atau benda-benda keramatnya seperti keris, kereta peninggalan leluhur dan lain sebagainya. Ada juga yang melakukan arak-arakan tumpeng lalu diambil berkahnya. Juga ada yang melakukan ritual kum-kum untuk penyucian diri. Dan masih banyak ritual lainnya ketika itu.

Bulan suro dianggap amatlah sakral, sehingga jadi ajang ritual-ritual tadi. Yang jelas, ritual-ritual tadi tidak terlepas dari kesyirikan dan bid’ah (sesuatu yang diada-adakan). Agama Islam tidak pernah mengajarkan ritual-ritual semacam itu. Ritual-ritual tadi hanya warisan leluhur yang turun temurun yang tidak pernah diajarkan sama sekali oleh agama ini. Seorang yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya dengan benar tentu tidak akan melakukan ritual-ritual semacam ini apalagi ritual ini tidak terlepas dari kesyirikan dan bid’ah. Maka seharusnya seorang muslim berpikir berulang kali untuk melakukan ritual-ritual tadi karena akibat syirik dan bid’ah yang sangat besar.

Di antara bahaya syirik adalah akan menghapus seluruh amalan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am[6]: 88)

Apabila orang seperti ini tidak bertaubat, maka diharamkan baginya surga. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al Maidah [5]: 72)

Subhanallah, sungguh sangat mengerikan sekali dampak dari berbuat syirik.

Begitu juga dampak dari berbuat bid’ah. Pelaku bid’ah tidak akan merasakan nikmatnya meminum air di telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat nanti dan mereka tidak akan mendapatkan syafa’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’” (HR. Bukhari no. 7049)

Dalam riwayat lain dikatakan,

إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى

“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)

Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang berbuat bid’ah. Seharusnya ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja yang kita ikutilah dan itu akan membuat kita merasa cukup. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)

Sebagaimana yang telah kami jelaskan di awal bahwa bulan Muharram adalah bulan yang mulia. Bulan ini disebut bulan haram karena berbagai macam keharaman seperti pembunuhan dilarang ketika itu. Ini berarti keharaman yang lebih besar dari pembunuhan lebih keras lagi untuk dilarang. Jadi, perbuatan syirik dan bid’ah lebih keras pelarangannya ketika dilakukan pada bulan haram termasuk bulan Suro (bulan Muharram). Wallahu a’lam bish showab.

Semoga kita dijauhkan oleh Allah dari berbuat syirik dan bid’ah.

Semoga Allah memperbaiki aqidah dan keyakinan kaum muslimin. Semoga Allah memudahkan dalam setiap hajat kita. Da semoga kita termasuk orang-orang yang bersabar ketika menghadapi musibah dan setiap takdir Allah.

Allahumman fa’ana bima ‘alamtanaa, wa ‘alimnaa maa yanfa’una wa zidna ‘ilma. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Diselesaikan di rumah tercinta Pangukan, Sleman pada pagi hari yang diberkahi, 28 Dzulhijah 1429 H

Referensi:

  1. Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Maktabah Al ‘Ilmi
  2. Faidhul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Abdur Rouf Al Manawi, Al Maktabah At Tijariyah Al Kubro, Mesir
  3. I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah, Syaikh Sholih bin Fauzan
  4. Syarh As Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abdur Rahman bin Abi Bakr Abul Fadhl As Suyuthi, Asy Syamilah
  5. Syarh Masa’il Jahiliyyah, Syaikh Sholih bin Fauzan
  6. Syarh Shohih Muslim, An Nawawi, Asy Syamilah
  7. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ At Tirmidzi, Muhammad Abdur Rahman bin Abdur Rohim Al Mubarokfuri Abul ‘Ala, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut
  8. Zadul Maysir, Ibnul Jauziy, Asy Syamilah

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.


Artikel www.muslim.or.id