Pahala Sholat Dhuha

Pahala sholat Dhuha tidak hanya berupa dicukupi harta,tapi juga diampuni segala dosa.

Pahala sholat Dhuha tidak hanya berupa dicukupi harta, tapi juga diampuni segala dosa. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang selalu mengerjakan sholat Dhuha niscaya akan diampuni dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. Turmudzi). Selama ini sholat Dhuha dilaksanakan agar seseorang diberikan keluasan rezeki.

Secara filosofis, hadits ini dapat dipahami bahwa untuk mendapatkan rezeki yang lapang, seseorang harus terbebas dari dosa-dosa terlebih dahulu. Agar terbebas  dari dosa-dosa itu, Nabi SAW mengajarkan untuk sholat Dhuha. Logikanya, Allah SWT akan memberikan begitu saja keluasan rezeki kepada orang yang tak lagi berdosa.

Secara praksis, sholat Dhuha merupakan bukti pengakuan seorang hamba bahwa sejatinya rezeki bukan berasal dari yang dia cari, tapi dari yang Allah SWT beri. Inilah cara orang beriman yang senantiasa melibatkan Allah SWT dalam berbagai urusan, termasuk dalam persoalan penghidupan. Tak ada daya bagi manusia untuk mencari rezeki.

Tatkala seseorang sholat Dhuha, sejatinya ia tengah memohon kepada Allah SWT dengan kasih dan cinta-Nya agar Dia “bekerja” untuknya.  Artinya, ia memahami bahwa rezeki yang didapat bukan karena kerjanya, tapi karena pemberian Allah SWT. Apalagi, seberapa digdayakah tenaga dan ilmu manusia untuk mendapatkan rezeki?

Berdasar cara pandang ini, maka sejatinya rezeki bukan dicari tapi tinggal dijemput, karena memang Allah SWT telah menghamparkannya di muka bumi. Formulanya, kian dekat seseorang kepada Allah SWT, maka kian hebat rezeki yang didapat. Jadilah ia tak lagi mencari-cari harta, tapi harta yang mengejar-ngejar dirinya.

Dalam sudut pandang tasawuf, orang bertakwa yang tak lagi berdosa, ia tak lagi membutuhkan harta, kecuali sekadar agar kuat berdiri beribadah. Sebagian besar harta yang dimilikinya dibagi-bagikan kepada yang memerlukan. Dalam konteks inilah, Allah SWT melipatgandakan harta itu berlipat-lipat. Begitu seterusnya.

Berdasar informasi di atas, untuk mendapatkan harta yang lapang, bisa dimulai dengan banyak bertobat. Dan lagi-lagi kreteria orang bertobat adalah orang yang konsisten sholat Dhuha. Nabi SAW bersabda, “Tidaklah seseorang selalu mengerjakan sholat Dhuha kecuali ia telah tergolong sebagai orang yang bertobat.” (HR. Hakim).

Dalam Alquran  orang yang bertobat dan memohon ampun akan beroleh bermacam rezeki. “Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, sungguh, Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu. Dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu.” (QS. Nuh/71: 11-13). Seorang mukmin, kian bertobat jadi kian kaya.

Pahala yang diraih seorang hamba  tergantung dari intensitas dan kuantitas rakaat sholat Dhuha yang didirikannya. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang sholat Dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditulis sebagai orang yang lalai. Barangsiapa yang mengerjakannya sebanyak empat rakaat, maka dia ditulis sebagai orang yang ahli ibadah.

Barangsiapa yang mengerjakannya enam rakaat, maka dia diselamatkan di hari itu. Barangsiapa mengerjakannya delapan rakaat, maka Allah tulis dia sebagai orang yang taat. Dan barangsiapa yang mengerjakannya dua belas rakaat, maka Allah akan membangun sebuah rumah di surga untuknya.” (HR. Thabrani).

Semoga Allah SWT memberikan kemudahan kepada kita agar bisa konsisten melaksanakan sholat Dhuha. Karena ternyata kelapangan rezeki yang didapat dari sholat Dhuha hanyalah “pahala hiburan”. Pahala yang sesungguhnya dari sholat Dhuha adalah diampuni segala dosa dan akan dibangunkan sebuah rumah nan indah di surga. Amin.

Oleh Dr KH Syamsul  Yakin MA

KHAZANAH REPUBLIKA

Orang yang Paling Baik dan Buruk Menurut Rasulullah SAW

Rasulullah menjelaskan orang paling baik dan orang paling buruk.

وَالْعَصْرِۙ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ 

”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, nasihat-menasihati dengan kebenaran, serta nasihat-menasihati dalam kesabaran (QS al-Ashr [103]: 1-3).

Di antara karunia Allah yang paling berharga bagi manusia adalah usia, waktu, dan kesempatan hidup. Dengan ketiga hal itu manusia bisa berkarya, mengukir prestasi, beribadah, dan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Jika orang Barat berkata bahwa waktu adalah uang (time is money), lalu bangsa Arab mengibaratkan waktu laksana pedang yang jika tidak ditebas ia akan menebas, Islam mengajarkan waktu adalah kehidupan. Menyia-nyiakan waktu berarti menyia-nyiakan kehidupan.

Sumpah Allah dengan keseluruhan waktu menjadi petunjuk atas hal itu. Dalam Alquran Allah bersumpah dengan waktu fajar, subuh, dhuha, siang, asar, dan malam. Di samping untuk menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya, sumpah Allah dengan waktu merupakan isyarat agar manusia mempergunakan waktu yang dimiliki secara optimal.

أنَّ رجلًا قالَ : يا رسولَ اللَّهِ أيُّ النَّاسِ خيرٌ ؟ قالَ : مَن طالَ عمرُهُ ، وحَسنَ عملُهُ ، قالَ : فأيُّ النَّاسِ شرٌّ ؟ قالَ : مَن طالَ عمرُهُ وساءَ عملُهُ

Ketika Rasulullah SAW ditanya, ”Siapa manusia terbaik?” Beliau menjawab, ”Orang yang panjang usianya dan baik amalnya.” Beliau kembali ditanya, ”Lalu siapa manusia terburuk?” Jawab Rasul, ”Orang yang panjang usianya tetapi jelek amalnya.” (HR at-Tirmidzi).

Karena itu, generasi saleh terdahulu begitu menghargai waktu. Usia singkat yang Allah karuniakan pada mereka benar-benar dimanfaatkan untuk amal-amal positif, hingga melahirkan banyak karya yang monumental.

Misalnya, sahabat yang bernama Sa’ad ibn Mu’adz. Ia masuk Islam pada usia 30 tahun dan meninggal pada usia 37 tahun. ”Singgasana Tuhan berguncang karena kematian Sa’ad ibn Mu’adz,” begitu komentar Rasulullah atas kematian Sa’ad. Meski hanya tujuh tahun bersama Islam, ia telah memberikan kontribusi besar dalam jihad dan dakwah Islam.

Contoh lainnya, Imam Nawawi yang berusia tidak lebih dari 40 tahun, tetapi berhasil menulis sekitar 500 buku. Salah satunya kitab Riyadhus Shalihin yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Lewat karya-karya dan jasa yang ditorehkan itu, hidup mereka membentang hingga akhir zaman, jauh melampaui usia biologisnya.

Mereka itulah teladan umat yang mampu meresapi keluhuran ajaran Nabi SAW dalam sabdanya: 

لا تَزُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَدَمَا عَبْدٍ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ جَسَدِهِ فِيمَا أَبْلاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيهِ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ أَخَذَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ 

”Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti sehingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa dipergunakan, ilmunya dalam hal apa ia amalkan, dan hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan.” (Hadits sahih Riwayat At Tirmidzi dan Ad Darimi).

KHAZANAH REPUBLIKA


Mendulang Pahala Di Saat Hujan

Dalam pandangan seorang mukmin, hujan bukan sekedar peristiwa alam biasa namun ia sebuah rahmat dari Allah untuk kelangsungan kehidupan manusia. Bahkan dengan adanya hujan orang-orang yang beriman bisa meraup banyak pahala dengan melakukan berbagai amalan yang pernah dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam.

Melakukan amalan sunnah di saat hujan sebagai aplikasi mencintai apa yang pernah diteladankan Rasul mulia, bisa jadi amalan ini mudah dilakukan tetapi terkadang terasa asing di zaman ini karena sedikitnya orang yang melakukannya.

Membuka Anggota Tubuh Agar Terguyur Hujan

Imam Muslim dalam Shahih-nya (hadits no.898) membawakan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu. Ia berkata:

أَصَابَنَا وَ نَحْنُ مَعَ رَسُوْلِ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم مَطَرٌ قَالَ: فَحَسَرَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم ثَوْبَهُ حَتَّى أَصَابَهُ مِنَ المَطَر، فَقُلْنَا: لِمَا صَنَعْتَ هَذَا؟ قَالَ: لِإِنَّهُ حَرِيْثٌ عَهْدِ بِرَبِّهِ

Kami pernah kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian Kami mengatakan, “wahai Rasulullah mengapa engkau melakukan demikian?”, Kemudian Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan”.

Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (3/464) mengatakan; “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi ulama madzhab kami (syafi’iyyah) tentang dianjurkannya menyingkap sebagian badan (selain aurat) pada awal turunnya hujan, agar terguyur air hujan tersebut. Dan mereka juga berdalil dari hadits ini bahwa seseorang yang tidak memiliki keutamaan, apabila melihat orang yang berilmu melakukan sesuatu yang tidak ia ketahui, hendaknya ia menanyakan untuk diajari lalu ia mengamalkan dan mengajarkan pada orang lain”.

Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan atas disunnahkannya seseorang untuk menyingkap tubuhnya, seperti lengan atau kepalanya sehingga terkena guyuran hujan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Karenanya, disyariatkan bagi seorang muslim untuk membuka, misalnya, kopiah atau ujung selendang dari pundaknya atau dari lengan tangannya sehingga terguyur hujan, atau anggota badan lainnya yang boleh disingkap di hadapan orang lain seperti telapak kaki, betis, kepala, tangan dan lainnya” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 13/64).

Seorang muslimah pun bisa melakukan amalan ini dengan tetap menjaga auratnya atau melakukannya di tempat yang aman dari jangkauan laki-laki yang bukan mahram.

Perbanyak Do’a

Sunnah yang berbarakah yang perlu disosialisasikan saat hujan ialah memperbanyak do’a kebaikan kepada Allah Ta’ala.

اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَا فِعًا

Ya Allah turunkanlah hujan yang bermanfaat” (HR. Bukhari, disebutkan dalam al-Fath [518]).

Biasakan juga berdo’a di saat hujan deras dengan ketulusan hati karena waktu itu termasuk saat mustajab.

Semangat Mengamalkan Sunnah

Sebagai seorang mukmin yang berupaya mencontoh beliau, tentu kita bersemangat untuk mengamalkan sunnah ini, meski hanya sekali sebagai pengagungan padanya.
Ketika kita melakukannya dengan niat menghidupkan sunnah yang ditinggalkan mayoritas manusia insyaallah menjadikan kita terbiasa mengikuti sunnah dan atsar, sehingga akan merasa bahagia karena melakukan amal shalih.

Dalam Majmu’ Al Fatawa (2/177), Syaikh Ibnu Baz mengatakan, “Mengikuti sunnah mendatangkan kebaikan dan barakah serta kebahagiaan di dunia dan akhirat”.

Allamah Abdullah bin Abdul Aziz Al-Anshari dalam kitab Ad-Durar As-Sunniyah (4/256) menyebutkan bahwa termasuk mengamalkan sunnah adalah mereka dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dalam kelakuan-kelakuannya, baik berpakaian, makan, minum dan lainnya.

Wallahu a’lam.

Referensi :
1. Kumpulan Lengkap Amalan Nabi Yang Diremehkan (terjemah), Haifa Binti Abdullah Ar-Rasyid, As-Salam, Solo,2012
2. Do’a dan Dzikir Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam (terjemah) dr. Said bin Ali bin Wahf al-Qohthoni, Maktabah Al Hanif, Yogyakarta, 2005

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Artikel Muslimah.or.id

Rezeki Allah Tidak Meleset

SAUDARAKU, jika ada yang pernah melintasi jalan Cileunyi ke arah selatan, maka kita akan melihat deretan penjual Tahu Sumedang. Rata-rata mereka melambaikan tangannya ke arah kendaraan yang melintas.

Jika ada kendaraan yang bermaksud membeli, maka kendaraan itu akan menepi kepada salah satu dari mereka. Atau kadang, meski mereka semua melambaikan tangannya, terkadang tak ada satupun kendaraan yang menepi, dan kendaraan justru menepi di penjual ubi cilembu beberapa kilometer dari mereka.

Demikianlah rezeki itu. Allah Swt. yang menghendaki rezeki-Nya bagi kita. Tidak ada yang meleset sedikitpun dari kita. Jikalau Allah menghendaki rezeki tertentu bagi X, dan X sedang duduk bersebalahan dengan Y dan Z, maka rezeki itu tidak akan meleset kepada yang lain selain kepada X. Berjubelnya orang yang berdoa di multazam, tidak akan membuat Allah Swt. keliru memberikan rezeki-Nya. Allah pasti memberikan rezeki-Nya secara tepat dan akurat. Subhaanalloh.

Allah Swt. berfirman, “Jika Allah menimpakan sesuatu kemadhorotan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus [10] : 107).

Jika seluruh jin dan manusia di alam ini bergabung demi untuk menghalangi rezeki Allah terhadap kita, maka mustahil mereka bisa melakukannya. Mustahil ada yang bisa mengganggu kehendak Allah Swt. Demikian juga sebaliknya, jikalau Allah Swt. enggan untuk memberi, maka sampai jungkir balik pun kita memelas bersujud kepada makhluk, maka tetap tidak akan terjadi.

Maka, yakinlah bahwa tak ada penguasa rezeki selain Allah Swt. Oleh sebab itu, jemputlah rezeki dengan cara-cara yang disukai Allah. Bekerjalah dengan jujur, berniagalah dengan jujur, jauhi iri dengki dan dusta. Jikalau kita berjualan buah di antara deretan toko yang lain yang juga berjualan buah, namun malah toko tetangga yang banyak pembelinya, maka tidak perlu jengkel dan kotor hati, karena rezeki Allah tidak akan meleset.

Lebih baik tingkatkanlah kualitas buah yang kita jual dan tingkatkanlah kualitas pelayanan kita kepada konsumen, karena inilah ladang amal sholeh kita. Insyaa Allah, niscaya pertolongan dan kemudahan Allah akan datang kepada setiap hamba-Nya yang berupaya ikhtiar dengan cara-cara yang Allah ridhoi.

Jangankan rezeki di antara deretan toko-toko, rezeki di antara kakak beradik yang satu rumah saja bisa berbeda. Jangankan kakak beradik, anak kembar saja akan berbeda takdir dan rezekinya. Oleh karena itu tidak perlu sibuk mengurusi pemberian Allah kepada orang lain, lebih baik sibuk mengurusi amal sholeh kita kepada Allah Swt. karena itulah yang akan kembali kepada diri kita.

Bersandar dan berharaplah hanya kepada Allah Swt. Berusahalah hanya karena agar Allah ridho. Tidak perlu mengejar kecintaan makhluk kepada kita demi agar rezeki kita bertambah, kejarlah cinta Allah agar Allah mencintai kita dan mencukupi segala keperluan kita dengan cara-Nya yang luar biasa. Wallohualam [*]

Oleh KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Standar Harta Berlebih Wajib Qurban Menurut Imam Mazhab

Jika kelebihan harta tidak berqurban, Rasulullah mengingatkan jangan dekati masjid.

Anjuran berqurban tidak untuk semua Muslim. Tepatnya berqurban bagi mereka yang memiliki uang lebih alias uangnya nganggur tak terpakain dengan jumlah nilai yang besar.

Ustaz Ahmad Zarkasih Lc. mengatakan, dikategorikan mampu untuk berqurban ialah yang mempunyai kelebihan harta sebanyak 20 dinar. Jadi jika tidak memiliki nilai dengan jumlah tersebut tidak diwajibkan berqurban.

“Ini kata madzhab al-Hanafiyah,” kata Ustaz Ahmad Zarkasih saat memberikan pendapatnya terkait ukuran kemampuan.

Menurutnya, dalam beberapa literasi al-Malikiyah, disebutkan bahwa standar mampu berqurban ia yang punya kelebihan harta 30 Dinar. 20 atau 30 Dinar adalah harta lebih, alias tidak terpakai atau nganggur. 

Jadi kata dia, ukurannya, bukan rumah, bukan kendaraan, bukan perabotan, bukan juga dagangan, itu semua tidak terhitung. Sebanyak 20 atau 30 dinar adalah harta yang memang disimpan sedang kebutuhannya sudah terpenuhi semua. “20 atau 30 dinar itu memang kelebihan,” katanya.

Jadi kata Ustaz Ahmad Zarkasih mengatakan, dalam madzhab Al-Hanafiyah, orang yang punya kelebihan harta 20 dinar, wajib berkurban. Jika memiliki kelebihan harta tidak berqurban maka Rasulullah mengingatkan jangan dekati tempat ibadah atau masjid. “Wajib. Karena memang qurban bagi madzhab ini hukumnya wajib. Jika mampu tapi tidak berqurban, dosa yang didapat,” katanya.

Kalau 1 Dinar saat ini senilai 2 juta rupiah sekian, maka tinggal dikalikan saja 20 atau 30 dinar. Dan nilai ini dihitung setelah kebutuhannya selama setahun itu terpenuhi. “Setidaknya mereka punya pertimbangan dan mempersiapkan apa yang menjadi kebutuhan setelah Idul Adha,” katanya.

Lalu di luar kebutuhan itu, mereka masih punya senilai 20 dinar yang bebas dari kebutuhan tersebut. Karena memang standar yang dipakai adalah standar zakat; yakni nishab zakat harta emas dan perak yang merupakan alat tukar. Dan kewajiban zakat itu ada setiap setahun (haul), bukan setiap bulan; karenanya nilai atau standar mampu dalam madzhab ini juga cukup tinggi. 

Jadi madzhab ini memang menghukumi qurban sebagai kewajiban, yang konsekuensinya jika orang tidak melakukannya, pasti berdosa. “Akan tetapi mereka juga memberi standar yang tinggi kepada mereka yang wajib qurban,” katanya.

IHRAM

Keutamaan Berpuasa pada 9 Hari Awal Dzulhijjah

Memang tidak ada hadits khusus yang menunjukkan anjuran terhadap hal ini. Akan tetapi anjuran berpuasa pada hari-hari ini sudah tercakup dalam keumuman hadits karena puasa termasuk amal salih.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam al-Liqa’ asy-Syahri (no. 26):

Telah sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر – أي: عشر ذي الحجة- قالوا: يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء

“Tidaklah ada suatu hari yang beramal salih pada hari-hari itu lebih dicintai Allah daripada beramal pada sepuluh hari ini –yaitu sepuluh hari awal Dzulhijjah-.” Mereka [para sahabat] bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah jihad fi sabilillah juga tidak lebih utama darinya?”. Beliau menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seorang lelaki yang berangkat berjihad dengan jiwa dan hartanya lalu dia kembali dalam keadaan tidak membawa apa-apa dari itu semua (alias mati syahid, pent).” [1]

Hadits ini menunjukkan bahwa seyogyanya kita memperbanyak amal salih pada sepuluh hari awal Dzulhijjah… Dan semestinya kita juga mengerjakan puasa pada sepuluh hari itu; karena puasa termasuk bentuk amal salih. Memang tidak ada hadits khusus yang menunjukkan anjuran terhadapnya. Akan tetapi anjuran ini sudah termasuk dalam keumuman hadits tersebut, karena puasa termasuk dalam kategori amal salih. Oleh sebab itu, seyogyanya kita berpuasa pada sembilan hari yang pertama, karena hari yang kesepuluh adalah hari raya (Iedul Adha) sehingga tidak boleh berpuasa pada hari itu. Anjuran puasa ini semakin diperkuat pada hari Arafah kecuali bagi para jama’ah haji.

Catatan Akhir:
[1] HR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma

Sumber : تبشير الإخوة بثبوت سُنِّية صوم أيام عشر ذي الحجة (Tabsyir al-Ikhwah bi Tsubut Sunniyati Shaumi Ayyami ‘Asyara Dzilhijjah) karya Syaikh Abdul Qadir bin Muhammad bin Abdurrahman al-Junaid.

Makalah beliau selengkapnya dapat Anda download di situs: http://islamancient.com/play.php?catsmktba=102101

Oleh Ustadz Ari Wahyudi

KONSULTASI SYARIAH

Inilah Amalan Bulan Dzulhijjah yang Perlu Anda Ketahui

Amalan Bulan Dzulhijjah yang Wajib Anda Tahu

Alhamdulillah, kita sekarang memasuki bulan mulia, bulan Dzulhijjah. Di Bulan ini sebagian besar pengguna internet ingin mengetahui amalan-amalan bulan Dzulhijjah yang shahih. Baik, berikut ini artikel yang kami rangkum untuk pembaca KonsultasiSyariah.com.

1. Memperbanyak amal shalih di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.

Sebagaimana dalam adis dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ

“Tidak ada hari dimana suatu amal salih lebih dicintai Allah melebihi amal salih yang dilakukan di sepuluh hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah, pen.).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad fi sabilillah? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Termasuk lebih utama dibanding jihad fi sabilillah. Kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad), dan tidak ada satupun yang kembali (mati dan hartanya diambil musuh, pen.).” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Turmudzi).

2. Puasa 9 Hari pertama dan Puasa Arofah

Abu Qatadah radliallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفّر السنة التي قبله ، والسنة التي بعده

“…puasa hari arafah, saya berharap kepada Allah agar menjadikan puasa ini sebagai penebus (dosa, pen.) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya..” (HR. Ahmad dan Muslim).

Dari Ummul Mukminin, Hafshah radliallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa asyura, sembilan hari pertama Dzulhijjah, dan tiga hari tiap bulan. (HR. An Nasa’i, Abu Daud, Ahmad, dan disahihkan Al-Albani).

3. Memperbanyak dzikir, takbir dan tahlil

Hadis dari Abdullah bin Umar , bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما من أيام أعظم عند الله ولا أحب إليه من العمل فيهن من هذه الأيام العشر فاكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد

“Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari itu.” (HR. Ahmad dan Sanadnya dishahihkan Syekh Ahmad Syakir).

Bahkan para sahabat radhiallahu ‘anhum bertakbir di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا

“Dulu Ibn Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Mereka berdua mengucapkan kalimat takbir kemudian orang-orang pun bertakbir disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Bukhari secara muallaq, Bab: Keutamaan beramal di hari tasyriq).

4. Shalat Idul Adha

Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

قدم رسول الله -صلى الله عليه وسلم- المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال « ما هذان اليومان ». قالوا كنا نلعب فيهما فى الجاهلية. فقال رسول الله -صلى الله عليه وسلم- « إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الأضحى ويوم الفطر ».

Bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, masyarakat Madinah memiliki dua hari yang mereka rayakan dengan bermain. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dua hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Kami merayakannya dengan bermain di dua hari ini ketika zaman jahiliyah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memberikan ganti kepada kalian dengan dua hari yang lebih baik: Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ahmad, dan disahihkan al-Albani).

5. Menyembelih Qurban

Allah berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Laksanakanlah salat untuk Rab-mu dan sembelihlah kurban.” (QS. Al-Kautsar: 2).

KONSULTASI SYARIAH

Gulung Tikar di Akhirat

Kebangkrutan sesungguhnya terjadi setelah kehidupan di dunia berakhir.

Dalam benak kebanyakan orang, gulung tikar (bangkrut) sering dimaknai dengan kepailitan material atau harta saat berbisnis. Hal tersebut bisa disebabkan anjloknya harga mata uang di pasar, turunnya rate saham, bahkan terbatasnya perusahaan untuk berniaga. Apalagi kondisi pandemi seperti sekarang ini, telah menimbulkan kerugian yang besar. Banyak pengusaha yang  sampai merumahkan atau melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pekerjanya, sampai menjual aset perusahaan.

Pada hakikatnya, kondisi tersebut hanya bersifat temporary atau sementara. Mungkin saja dalam karun waktu tidak terlalu lama, seseorang atau sebuah perusahaan bisa bangkit dari keterpurukannya. Berapa banyak orang yang bangkrut atau gagal dalam berbisnis, setelah 2-3 tahun berusaha sekuat tenaga dan pikiran, dapat kembali menaikkan kondisi ekonomi, bahkan lebih baik dari sebelumnya.

Kenyataannya, tidak sedikit miliarder yang tutup usia tetap memiliki kekayaan yang melimpah. Namun, ada pula yang meninggalkan tumpukan utang dan kerugian di penghujung hidupnya.  Keduanya berhenti ketika ajal menjemput. Tagihan perusahaan tidak berlanjut sampai ke alam kubur dan profit saham tidak pula memberikan keistimewaan dalam kuburan. 

Lantas, bagaimana cara memaknai “gulung tikar” yang sebetulnya ? Dalam Al-Minhaj Syarh Shahih muslim, Imam An-Nawawi menguraikan kata muflis (orang yang bangkrut) dalam hadis Nabi SAW (No. 2581). Kebangkrutan yang sesungguhnya bukan dalam kehidupan dunia. Akan tetapi ada setelah kehidupan di dunia ini berakhir.

Rasul SAW. mengabarkan kepada kita bahwa kelak nanti di akhirat ada orang yang rajin shalat, puasa, sedekah, membaca Alquran, membawa segudang amal saleh dan pahala, tetapi tak disangka menyimpan hamparan “utang” disebabkan cacian, tuduhan, korupsi, tipuan kepada orang yang telah dizaliminya. Maka habislah semua amalnya, dan hanya tersisa dosanya. Bahkan ditumpuk lagi dengan dosa orang yang telah dizalimi karena ia tidak sanggup menggantinya. Lalu dicampakkanlah ia ke neraka.

Hadits ini merefleksikan bahwa tidak selamanya orang yang rajin ibadah, puasa, sedekah, hafal Quran 30 juz dan ribuan hadis, akan terbebas dari dusta, zalim, korupsi dan kemungkaran lain. Dalam buku  Menggapai Kesalehan Sosial, Dr  Hasan Basri Tanjung  MA meresapi makna hadits di atas, bahwa Rasul SAW  hendak mengajarkan kepada kita akan dua macam amal saleh yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, yakni kesalehan individual atau ritual dan kesalehan sosial. 

Sejatinya, orang yang baik ibadah ritualnya akan baik pula amal sosialnya. Karena mu’amalah adalah buah dari ibadah. Bukan berarti tidak pernah melakukan kesalahan, tapi ia segera menyadari, memohon ampunan dan tidak mengulanginya (QS. Ali ‘Imran : 135). 

Adapun orang yang beribadah sosial, peduli dengan anak yatim dan dhuafa, membantu korban bencana alam, menjalin hubungan sosial yang baik dengan masyarakat, namun tidak mendirikan shalat, puasa, zakat dan sedekah, merekalah orang yang tertipu. Bahkan, orang banyak menyebutnya orang baik atau dermawan, padahal tidak sedikit pun nilai perbuatannya di sisi Allah SWT. 

Syeikh Mutawalli Sya’rawi, dalam Tafsir As-Sya’rawi, ketika menjelaskan makna surat Al-Baqarah ayat 25 menyebutkan, bahwa Allah SWT  menginginkan hamba-Nya yang beriman untuk selalu beramal saleh (perintah yang selaras dengan manhaj/islam). Agar hati yang beriman dan suci, tidak ditopang dengan amal yang buruk atau hina. Maka dari itu Allah menyandingkan surga atau balasan yang baik dengan “alladzina aamanu” (orang-orang yang beriman) dan ‘amilus-sholihat (orang-orang yang beramal saleh).

Kerap kali kezaliman, cacian, hate speech, korupsi, maksiat merongrong pahala amal saleh tanpa kita sadari. Sepatutnya kita beristighfar kepada Allah SWT seraya memohon maaf kepada mereka yang kita rugikan dan hinakan. Jangan sampai di akhirat kelak, kita baru menyadari bahwa “utang” lebih banyak dari amal saleh. Karena itulah “gulung tikar” yang sesungguhnya. Na’udzubillahi min dzalik. 

Wallahu’alam bishowab.

Oleh  Ihza Aulia Sururi Tanjung

KHAZANAH REPUBLIKA

Peta Kehidupan Seorang Muslim

Allah Swt Berfirman :

وَٱعۡبُدۡ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأۡتِيَكَ ٱلۡيَقِينُ

“Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu.” (QS.Al-Hijr:99)

Ayat singkat ini sebenarnya adalah peta bagi kehidupan seorang muslim. Sebuah petunjuk jalan yang harus selalu menjadi pegangan agar bisa menerangi perjalanannya hingga mencapai tujuan.

Dari ayat itu kita belajar bahwa :

(1). Setiap muslim memiliki satu tujuan yang jelas, yang telah di tentukan oleh Allah Swt dalam Firman-Nya :

وَٱعۡبُدۡ رَبَّكَ

“Dan sembahlah Tuhanmu…”

Dalam ayat lain Allah Swt Berfirman :

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS.Adz-Dzariyat:56)

(2). Tiada amalan yang bernilai kecuali ada unsur ibadah di dalamnya. Karenanya setiap muslim harus menjadikan seluruh gerak-gerik dalam hidupnya untuk beribadah kepada Allah Swt.

قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS.Al-An’am:162)

(3). Ibadah tidak bisa dilakukan semau kita, ibadah harus dilakukan sesuai dengan apa yang di ajarkan oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an dan sesuai dengan ajaran suci Nabi Muhammad saw.

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.” (QS.Al-Hasyr:7)

(4). Seorang muslim harus selalu menyadari bahwa tujuan utama dalam hidupnya adalah menyembah Allah Swt sepanjang hidupnya. Artinya tiada batas waktu dalam menyembah Allah hingga jatah waktu kita hidup di dunia ini telah habis.

حَتَّىٰ يَأۡتِيَكَ ٱلۡيَقِينُ

“.. sampai yakin (ajal) datang kepadamu.” (QS.Al-Hijr:99)

(5). Dan poin yang terakhir, setiap muslim harus memahami bahwa keyakinan itu seringkali naik dan turun. Ketakwaan itu kadang bertambah dan kadang berkurang. Setiap orang memiliki kadarnya masing-masing dan semua itu tidak akan di raih tanpa Jihadun Nafs (melawan hawa nafsu) dan kesabaran yang tinggi.

أَمۡ حَسِبۡتُمۡ أَن تَدۡخُلُواْ ٱلۡجَنَّةَ وَلَمَّا يَعۡلَمِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ مِنكُمۡ وَيَعۡلَمَ ٱلصَّابِرِينَ

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS.Ali ‘Imran:142)

Dari beberapa poin di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa peta kehidupan seorang muslim yang harus ia jalani ada dalam Firman Allah Swt :

قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ

Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.” (QS.Yusuf:108)

Semoga Bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Alasan di Balik Anjuran Mencatat Utang Piutang Menurut Islam

Islam menganjurkan mencatat utang piutang antarkedua belah pihak.

Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Salah satunya adalah perkara mengenai utang-piutang.

secara tunai untuk waktu yang ditentukan (utang-piutang), hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil.” 

Prof Quraish Shihab dalam kitab tafsir Al-Mishbah menjelaskan, perintah ayat tersebut secara redaksional ditujukan kepada orang-orang beriman. Tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi utang-piutang.

Kata dainun dalam ayat tersebut memiliki banyak arti, namun huruf-huruf di kata dain (yakni dal, ya, nun) selalu menggambarkan hubungan antardua pihak. Salah satunya adalah kedudukan lebih tinggi dari pihak yang lain. Kata ini antara lain bermakna utang, pembalasan, ketaatan, dan agama.

Kemudian, sang penulis utang-piutang juga diperintahkan menuliskannya secara adil. Yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah SWT dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah, sebagaimana dipahami dari kata adil di antara kami.

KHAZANAH REPUBLIKA