Arab Saudi Denda Pendatang Ilegal Selama Haji 10 Ribu Riyal

Pemerintah Arab Saudi akan mendenda siapa pun yang memasuki Kota Makkah tanpa izin selama musim haji 2020. Kebijakan ini diambil lantaran ibadah haji tahun ini digelar secara terbatas karena adanya pandemi Covid-19.

Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi mengonfirmasi besaran denda bagi pendatang ilegal adalah 10 ribu riyal Saudi atau sekitar Rp 38 juta. Jika pelanggaran berulang, denda akan dilipatgandakan menjadi 20 ribu riyal Saudi.

Sebagaimana dilansir Al Arabiya, Ahad (12/7), kebijakan denda ini akan mulai berlaku pada 19 Juli (28 Dzulqadah) hingga 2 Agustus (12 Dzulhijjah). “Sumber resmi di Kementerian Dalam Negeri meminta semua warga dan penduduk mematuhi instruksi musim haji tahun ini, menekankan petugas keamanan akan memulai tugas mereka di semua jalan dan jalur yang mengarah ke situs suci untuk mencegah pelanggaran dan mengontrol setiap upaya untuk memasuki area selama periode yang ditentukan,” demikian bunyi pernyataan kementerian Dalam Negeri sebagai dirilis Saudi Press Agency.

Arab Saudi menggelar ibadah haji secara terbatas tahun ini guna menekan risiko penularan Covid-19. Jumlah jamaah dibatasi hanya 10 ribu orang. Jumlah itu turun drastis jika dibandingkan tahun lalu yang mencapai 2,5 juta jamaah.

IHRAM


Mengenal Nama Allah “Ash-Shamad”

“Ash-Shamad” adalah salah satu nama Allah Ta’ala yang agung, yang terdapat di dalam surat Al-Ikhlas. Surat Al-Ikhlas diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan sebagian orang-orang musyrik yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengatakan, 

انْسُبْ لَنَا رَبَّكَ

“Sebutkan nasab Tuhanmu.” Maka Allah Ta’ala pun menurunkan ayat,

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

“Katakanlah, “Dia-lah Allah, Tuhan Yang maha esa.” (QS. Al-Ikhlas [112]: 1) (HR. Tirmidzi no. 3363, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Terdapat beberapa riwayat dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum tentang tafsir dari nama Allah “Ash-Shamad”. 

Tafsir pertama

Yang dimaksud dengan Ash-Shamad adalah,

الصمد الذي لا جوف له

“Yang tidak memiliki al-jauf (rongga perut untuk menampung makanan).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 1/299/665 dan Ath-Thabarani dalam Mu’jam Al-Kabir, 2/22/1162)

Tafsir kedua

Yang dimaksud dengan Ash-Shamad adalah,

الصمد الذي يصمد إليه في الحوائج

“Yang menjadi tujuan (tempat bergantung) agar semua kebutuhan terpenuhi.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dalam At-Tauhiid, 2/62; Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 1/303/687; dan Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Shifat, 1/159/104)

Artinya, Allah Ta’ala adalah Dzat yang menjadi tempat bergantung semua makhluk, sehingga apa yang mereka butuhkan itu bisa terpenuhi. Dengan kata lain, semua makhluk membutuhkan Allah Ta’ala.

Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan (20: 245),

إنه المستغني عن كل أحد، والمحتاج إليه كل أحد.

“Yang tidak membutuhkan segala sesuatu dan segala sesuatu membutuhkan-Nya.” Ini adalah penjelasan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Tafsir kedua ini tidak bertentangan dengan tafsir yang pertama, bahkan selaras dan merupakan konsekuensi dari tafsir pertama. Hal ini jika Dzat Allah Ta’ala itu tidak membutuhkan yang lainnya (termasuk tidak membutuhkan makanan dan minuman), maka hal ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang sempurna sehingga layak menjadi tempat bergantung semua makhluk. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Pemaknaan Ash-Shamad sebagai Dzat yang menjadi tempat bergantung semua hajat kebutuhan adalah pemaknaan yang benar. Pemaknaan ini juga menguatkan dan menunjukkan pemaknaan yang pertama. Pemaknaan ini tidaklah menafikan pernyataan bahwa Allah tidak memiliki rongga. Bahwa Allah Ta’ala tidak memiliki rongga (untuk menampung makanan dan minuman) adalah sebuah keniscayaan, karena Allah Ta’ala dibutuhkan oleh semua manusia. Hal ini karena kebutuhan terhadap sesuatu didasari atas sifat yang ada pada sesuatu tersebut.” (Bayaan Talbiis Jahmiyyah, 7/556)

Tafsir ketiga

Yang dimaksud dengan Ash-Shamad adalah,

الصمد : السيد الذي قد انتهى سؤدده

“Pemimpin yang mencapai puncak kesempurnaan dalam kepemimpinannya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 1/299/666 dan Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Shifat, 1/157/99)

Ada juga yang menafsirkan Ash-Shamad dengan,

الذي لا يأكل الطعام

“Dzat yang tidak makan (tidak butuh makanan).” 

Ada juga yang menafsirkan dengan,

الباقي بعد خلقه الدائم

“Yang tetap ada, meskipun semua makhluk tiada.“ (Diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dalam At-Tauhid, 2/62)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Kami telah menegaskan di pembahasan yang lain bahwa mayoritas tafsir ulama salaf tidaklah berbeda (bertentangan satu sama lain). Akan tetapi, terkadang mereka menjelaskan satu sifat dengan sifat (penjelasan) yang bermacam-macam. Terkadang, setiap ahli tafsir menyebutkan satu jenis atau person tertentu hanya sebagai contoh saja (bukan sebagai pembatasan). Hal ini untuk memberikan penjelasan kepada penanya, seperti seorang penerjemah yang ditanyakan kepadanya, apa itu roti? Lalu dia menyebutkan roti jenis tertentu sebagai contoh (bukan untuk membatasi bahwa roti hanya itu saja, pent.).” (Bayaan Talbiis Jahmiyyah, 7/535)

Kesimpulan

Kesimpulan, semua tafsir atau penjelasan ulama di atas adalah benar, karena intinya kembali bahwa Allah Ta’ala Maha sempurna dalam segala hal. Dia tidak membutuhkan makhluk lainnya, siapa dan apa pun makhluk tersebut. Bahkan sebaliknya, seluruh makhluk membutuhkan Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana perkataan Muqatil,

إنه: الكامل الذي لا عيب فيه

“Sesungguhnya Ash-Shamad adalah Dzat yang maha sempurna, yang tidak memiliki cacat (aib) sedikit pun.” (Tafsir Al-Qurthubi, 20/245)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57399-mengenal-nama-allah-ash-shamad.html

Raih Al-Kautsar dengan Mendirikan Sholat dan Berqurban

Sebagai surat ke-108, Al Kautsar merupakan surat yang diturunkan di Makkah dan menjadi surat terpendek dalam Al-Quran. Namun demikian, Al-Kautsar nyatanya memiliki arti yang berlimpah atas nikmat.

Mengutip buku Tafsir Juz Amma karangan Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, Al Kautsar memang merupakan nikmat yang berlimpah. Utamanya yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ia berkata, ‘’Muhammad bin Fudhail meriwayatkan kepada kami dari Al Mukhtar bin Fulful, dari Anas bin Malik, ia berkata ‘Rasulullah tidur sebentar lalu beliau mengangkat kepalanya sambil tersenyum, baik beliau bersabda kepada orang-orang, ataupun mereka berkata pada beliau, ‘’Kenapa engkau tertawa?’’ Rasulullah menjawab, ‘Baru saja diturunkan satu surat kepadaku.’’

Selanjutnya beliau membaca, ‘’Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. ‘Sungguh, kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak.’’ Sampai selesai. Beliau kembali bertanya, ‘’Tahukah kalian apakah al-Kautsar itu?’’, ‘’Itulah sungai yang Tuhanku ‘Azza wa Jalla berikan kepadaku di surga. Di dalamnya banyak kebaikan. Umatku datang ke sana pada hari Kiamat.

Imam Ahmad juga berkata, ‘’Muhammad bin Abi Adi bercerita kepada kami dari Humaid, dari Anas, ia berkata, ‘’Rasulullah bersabda, ‘’Aku masuk surga. Ternyata aku sudah berada di sungai. Di kedua tepinya perkemahan mutiara. Lantas aku menemukan tanganku ke tempat yang mengalir, ternyata itu minyak kesturi adzfar. Aku bertanya, ‘Apa ini wahai Jibril?, ‘Ia menjawab, ‘Inilah Al-Kautsar yang telah Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepadamu. (HR. Ahmad, 12008).

Lebih lanjut, meski ada tiga ayat yang keseluruhannya menjelaskan nikmat, ada syarat sholat dan kurban yang harus dilakukan.

Secara spesifik, hal tersebut ada di ayat ke-2 Al-Kautsar.

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ

(Fa ṣalli lirabbika wan-ḥar)

Artinya: Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.

Mengutip buku Tafsir Fi Zhilalil Qur’an jilid 24, disebutkan makna dalam ayat tersebut. Yaitu, setelah diberi penegasan terkait nikmat yang berlimpah, maka Rasulullah diarahkan untuk mensyukuri nikmat dan memurnikan ibadah hanya kepada Allah, dengan menunaikan sholat dan menyembelih hewan qurban dengan ikhlas karena-Nya.

Hal itu, dinilai perlu dilakukan untuk menghiraukan kemusyrikan orang musyrik.

Tak hanya itu, dalam buku Tafsir Al-Fatihah dan Juz Amma karangan Muhammad Chirzin, juga menyebutkan hal serupa. Ayat itu menyerukan sholat dengan ikhlas, dan perintah menyembelih hewan qurban pada hari raya Idul Adha karena Allah.

Lebih lanjut, Tafsir Al Mukhtashar yang berada di bawah pengawasan Imam Masjidil Haram, Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid menyebutkan, ayat itu mengandung perintah, ‘Maka ikhlaskanlah sholatmu seluruhnya hanya untuk Tuhanmu,dan sembelih lah binatang sembelihanmu untuk Nya dan hanya dengan nama Nya semata.’

Lebih jauh, dalam Tafsir Min Fathil Qadir tulisan Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman menambahkan, dalam ayat tersebut menyebutkan, qurban pada hari tasyriq, lebih baik dari pada zakat yang dibayarkan pada hari fitri. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk mensyukuri Al-Kautsar pemberiannya dengan mendirikan sholat dan berqurban.

Dijelaskan juga, Allah menyebutkan ayat tersebut, dikarenakan dua perintah di dalamnya memiliki kandungan yang sebaik-baiknya amal ibadah seseorang. Selain, menjadi cara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Sholat yang ditegaskan, juga bisa diartikan sebagai ketundukan hati dan jiwa hamba kepada Allah. Sedangkan, berqurban dalam perintah selanjutnya, merupakan langkah mendekatkan diri kepada Allah dengan hewan qurban terbaik, dan untuk mengeluarkan harta yang menjadi fitrah bagi setiap orang.

IHRAM

Penjagaan Allah Kepada Hamba-Nya

Allah ‘Azza wa Jalla berjanji kepada setiap orang yang senatiasa menjaga Allah, maka Allah pun akan menjaganya. Hal ini sebagaimana ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma : 

احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ

” Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. “ (H.R Tirmidzi)

Berkenaan dengan penjagaan Allah kepada para hamba, Syaikh ‘Abdurrozzaq bin Abdil Muhsin al Badr hafidzahullah memberikan penjelasan sebagai berikut :

Barangsiapa yang menjaga batasan-batasan Allah dan memenuhi hak-hak-Nya, maka Allah pasti akan senantiasa menjaganya karena sesungguhnya balasan akan setimpal dengan amalan. Penjagaan Allah bagi para hamba-Nya meliputi dua hal :

Penjagaan Dalam Urusan Dunia

Allah akan menjaga hamba tersebut dalam kebaikan urusan dunianya, seperti menjaga tubuhnya, anak-anaknya, keluarganya, dan kekayaannya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : 

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللّهِ

“ Bagi setiap manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. “ (Ar Ra’d : 11)

Ibnu ‘Abbas radhiyalahu ‘anhuma berkata :

هم الملائكة يحفظونه بأمر الله ، فإذا جاء القدر خلَّوا عنه

Mereka adalah para malaikat yang menjaga manusia dengan perintah Allah. Jika ada takdir yang akan menimpanya maka malaikat ini akan menyingkir darinya.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata :

إن مع كل رجلٍ ملَكين يحفظانه مما لم يُقدَّر فإذا جاء القدر خلَّيا بينه وبينه ، وإن الأجل جُنّة حصينة

“ Setiap orang disertai dua malaikat yang menjaganya dari segala sesuatu yang tidak ditakdirkan padanya. Jika datang takdir Allah padanya, maka keduanya meninggalkannya dan apa yang ditakdirkan tersebut. Sesungguhnya ajal merupakan perisai yang melindungi.

Penjagaan Dalam Perkara Agama 

Bentuk kedua dari penjagaan Allah merupakan bentuk penjagaan yang paling mulia, yaitu penjagaan Allah dalam perkara agama dan imannya. Allah menjaga kehidupannya dari berbagai macam racun pemikiran sesat dan dari berbagai syahwat yang haram. Allah akan menjaga agamanya ketika akhir hayatnya sehingga orang tersebut meninggal dalam keadaan beriman. Ini yang dimaksud dalam hadis Ibnu Mas’ud bahwa Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam doa beliau : 

للَّهُمَّ احْفَظْنِي بِالإِسْلاَمِ قَائِمًا ، وَاحْفَظْنِي بِالإِسْلاَمِ قَاعِدًا ، وَاحْفَظْنِي بِالإِسْلاَمِ رَاقِدًا ، وَلاَ تُشْمِتْ بِي عَدُوًّا حَاسِدًا

“ Ya Allah jagalah aku selalu di atas Islam baik ketika berdiri, duduk, dan berbaring. Jangan jadikan musuh dan orang yang hasad menguasai diriku.” (Diriwayatkan Al Hakim dalam mustadraknya) 

Sumber : http://al-badr.net/muqolat/2943 

Alih bahasa : Adika Mianoki

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57397-penjagaan-allah-kepada-hamba-nya.html

Berqurbanlah Hanya Karena Allah

Qurban secara bahasa adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih hewan atau dengan perbuatan baik lainnya. Maka berqurban merupakan ibadah yang mulia, dan tidak boleh diniatkan untuk selain Allah.

Dosen STID DI Al Hikmah, Jakarta Ustaz Hermansyah, Lc. MA mengatakan hal itu sebagaimana dijelaskan dalam hadits bahwa berqurban walaupun dengan seekor lalat bisa menyebabkan seseorang masuk ke dalam neraka jika bukan karena Allah.

“Berkorbanlah.” Maka dia menjawab, “Aku tidak punya apa-apa untuk dikorbankan.” Maka mereka mengatakan, “berkorbanlah, walaupun hanya dengan seekor lalat.” 

Maka dia pun berkorban dengan seekor lalat, sehingga mereka pun memperbolehkan dia untuk lewat dan meneruskan perjalanan. Karena sebab itulah dia masuk neraka.

Ustaz Hermansyah menuturkan, ketika itu juga putra Nabi Adam yaitu Qabil dan Habil melakukan qurban tapi ternyata qurban Habil diterima dan qurban Qabil tidak diterima. Semua itu karena Qabil tidak dilandasi ketaqwaan, kurang ikhlas dan berqurban dengan sesuatu yang kurang berharga.

“Oleh karena itu berqurban merupakan bukti ketaqwaan seorang hamba kepada Allah. Dan berqurban adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah yang merupakan perbuatan terpuji dan diperintahkan oleh Allah,” katanya.

Orang bisa diketahui ketaqwaannya dengan ibadah qurban. Karena taqwa itu harus dibuktikan dengan ketaqwaan sosial. Dan sifat pelit atau menahan harta adalah bukan sifat orang yang bertaqwa. 

Oleh karena itu barang siapa diberikan keluasan rezeki lalu dia tidak mau berqurban maka amat dicela oleh Rasulullah SAW  dalam sabdanya :  

“Barangsiapa yang memiliki kelapangan untuk berqurban, namun dia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat sholat kami.” HR Ibnu Majah, Ahmad dan Al Hakim.

Para ulama menyatakan hadits ini menunjukkan bahwa nabi tidak suka ia mendekati musholla Nabi SAW, padahal sholat itu ibadah yang paling agung dan diwajibkan, dan itu juga menunjukkan betapa besar dosa orang yang mampu dan tidak mau berqurban.

Dan kita pun mengetahui bahwa ibadah qurban itu juga meneladani sosok bapaknya para nabi yaitu Nabi Ibrahim AS dan anaknya Ismail AS. Nabi Ibrahim adalah sosok yang diuji kedekatannya dengan Allah. Apakah Ibrahim lebih mengutamakan kedekataan dengan Allah atau tidak. 

Hingga beliau diuji oleh Allah dengan sosok anaknya yang beliau sayangi  untuk diqurbankan dan ternyata Ibrahim memenuhi perintah Allah dan akhirnya Allah menggantinya dengan seekor kibas yang besar karena pengorbanan nabi Ibrahim tersebut. 

Dan mendekatkan diri kepada Allah itu bagi orang beriman adalah tujuan dari segala tujuan. Allah berfirman 

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah: sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”(Al An’am:162)

Oleh karena itu ia harus diupayakan semaksimal mungkin dan sebaik mungkin. Dan sungguh kita terharu bahwa ketika ada berita istimewa dari seorang ibu yang hidup sebatang kara dan berprofesi sebagai pemulung menyetorkan uangnya 10 juta ke masjid untuk berqurban. 

Betapa mulianya manusia seperti itu disisi Allah. Ia telah berjuang untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah qurbannya dan hasil usaha jerih payahnya. Dan kelak orang seperti ini akan mendapatkan kedudukan yang tinggi dan dekat dengan Allah di surganya kelak. Dia rela hidup sederhana tapi masih berbagi dan peduli kepada orang lain. Dia telah memenuhi perintah Allah : “Maka sholatlah kamu dan berqurbanlah”.

“Semoga hati kita terketuk untuk secara rutin berqurban demi kedekatan diri kita kepada Allah dan demi menggapai surga-Nya. Aamin ya Rabbal Alamin,” katanya.

IHRAM

Alasan Mengapa Air Bekas Wudhu Jangan Dikeringkan Dulu

Dalam sejumlah riwayat Rasulullah menganjurkan tak mengusap air wudhu.

Wudhu mempunyai banyak keutamaan, tak terkecuali dengan air yang dipergunakan bersuci, hendaknya tidak diusap dalam kondisi tertentu usia berwudhu. 

Lalu bolehkah kita mengeringkan air bekas wudhu kita? Dalam buku “Panduan Shalat An-Nisaa” karya Abdul Qadir Muhammad Manshur dijelaskan, ulama-ulama kalangan mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali sepakat bahwa tidak apa-apa mengeringkan dan mengusap air dengan sapu tangan atau sepotong kain setelah wudhu dan mandi.  

Ibnu Mundzir meriwayatkan dibolehkannya pengeringan dari Utsman bin Affan, Husain bin Ali, Anas bin Malik, Bisyr bin Abu Mas’ud, Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Alqamah, Aswad, Masruq, Dhahhak, ats-Tsuri, dan Ishaq.

Mereka yang membolehkan pengeringan ini bersandar pada hadits-hadits Rasulullah SAW. Adapun hadits-hadis yang disandarkan adalah hadits riwayat Tirmidzi berbunyi, “Aku melihat Nabi Muhammad SAW mengusap wajah beliau dengan ujung pakaian beliau ketika berwudhu.”

Hadits ini menyebut mengeringkan air setelah wudhu dibolehkan, namun kadar haditsnya dhaif. Sedangkan hadits lainnya riwayat Imam an- Nasa’i berbunyi, “Abu Maryam Iyas bin Ja’far meriwayatkan dari seorang sahabat bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki sapu tangan atau sepotong kain untuk mengusap wajah beliau ketika berwudhu.” 

Hadits ini memiliki kadar hadits yang sahih. Adapun kemakruhan mengeringkan air dalam wudhu (bukan dalam mandi) diriwayatkan Ibnu Abbas. Sedangkan Jabir bin Abdullah meriwayatkan larangan untuk mengeringkan itu.

Kemakruhan mengeringkan air didasarkan pada argumentasi-argumentasi beragam. Pertama, air wudhu akan ditimbang pada hari kiamat sehingga dimakruhkan menghilangkan nya dengan pengeringan. Hal ini juga disandar kan pada hadits yang diriwayatkan az-Zuhri.  

Namun, Abdul Qadir Muhammad Manshur berpendapat, yang dimaksud air yang digunakan dalam wudhu akan ditimbang itu bukan air yang tersisa pada anggota wudhu. Para ulama juga sepakat bahwa air wudhu merupakan cahaya pada hari kiamat kelak.  

Hukum makruh mengeringkan air wudhu disamakan sebagai menghilangkan sisa ibadah. Ulama yang sepakat menjatuhi makruh dalam perkara ini berpendapat, air bertasbih selama menempel pada anggota wudhu. Namun, al-Qari berkata tidak bertasbihnya air wudhu ketika dikeringkan membutuhkan dalil naqli yang sahih.

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari disebutkan, Rasulullah  tidak mengambil kain yang diberikan kepada beliau, lalu beliau beranjak sambil mengibaskan kedua tangan beliau.” 

Kunci Rezeki itu Tawakal kepada Allah

Kunci rezeki mudah datang adalah dengan seorang muslim bertawakal kepada Allah.

Contohlah bagaimana burung tawakal dalam mencari rezeki.

Hadits Ke-49 dari Jamiul Ulum wal Hikam Ibnu Rajab

الحَدِيْثُ التَّاسِعُ وَالأَرْبَعُوْنَ

عَنْ عُمرَ بن الخطَّابِ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – عَنِ النَّبيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ : (( لَو أَنَّكُمْ تَوكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرزُقُ الطَّيرَ ، تَغدُو خِماصاً ، وتَروحُ بِطَاناً )) رَوَاهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَابْنُ حِبَّانَ فِي ” صَحِيْحِهِ ” وَالحَاكِمُ ، وَقَالَ التِّرمِذِيُّ : حَسَنٌ صَحِيْحٌ .

Hadits Ke-49

Dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi di waktu pagi dalam keadaan lapar dan kembali di waktu sore dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya, dan Al-Hakim. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih). [HR. Ahmad, 1:30; Tirmidzi, no. 2344; Ibnu Majah, no. 4164; dan Ibnu Hibban, no. 402. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini kuat dan perawinya tsiqqah, terpercaya, termasuk perawi shahihain, selain ‘Abdullah bin Hubairah yang merupakan perawi Imam Muslim].

Faedah hadits

Pertama: Hadits ini menjadi dalil pokok dalam masalah tawakal.

Kedua: Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Tawakal itu jadi sebab terbesar datangnya rezeki.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:496-497)

Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)

Nabi shallalahu ‘alaihi wa salam membacakan ayat ini pada Abu Dzarr, beliau berkata kepadanya,

لَوْ أَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ أَخَذُوْا بِهَا لَكَفَتْهُمْ

“Seandainya manusia seluruhnya memperhatikan ayat ini, tentu hal itu akan mencukupi mereka.” Maksudnya, seandainya kaum muslimin merealisasikan takwa dan tawakal dengan benar, urusan dunia dan agama mereka akan tercukupi. (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:497)

Kedua: Inti dari tawakal adalah benar dalam menyandarkan hati kepada Allah dalam meraih maslahat atau menolak mudarat, berlaku dalam perkara dunia maupun akhirat seluruhnya. Dalam tawakal, kita menyandarkan seluruh urusan kepada Allah. Dalam tawakal, kita merealisasikan iman dengan benar yaitu meyakini bahwa tidak ada yang memberi, tidak ada yang mencegah, tidak ada yang mendatangkan mudarat, tidak ada yang mendatangkan manfaat selain Allah. (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:497)

Ketiga: Mewujudkan tawakal bukan berarti tidak melakukan usaha sama sekali. Karena usaha juga diperintahkan untuk dilakukan. Berusaha sudah termasuk sunnatullah. Karena Allah memerintahkan untuk mencari sebab bersamaan dengan bertawakal kepada-Nya.

Keempat: Menempuh sebab dengan usaha badan kita merupakan bentuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati (batin) kita adalah bagian dari keimanan kepada Allah. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:498.

Kelima: Buah dari tawakal adalah rida pada qadha’ (ketetapan) Allah. Oleh karenanya, sebagian ulama menafsirkan tawakal dengan rida kepada Allah. Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:508.

Referensi:

  1. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  2. Fath Al-Qawi Al-Matin fii Syarh Al-Arba’in wa Tatimmah Al-Khamsiin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-‘Abbad Al-Badr.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/25326-kunci-rezeki-tawakal-kepada-allah-hadits-jamiul-ulum-wal-hikam-49.html

7 Penemuan di Zaman Keemasan Islam yang Mengubah Dunia

Salah satu temuan peradaban Islam: Kaca Pembesar dan Kincir Angin.

ZAMAN Keemasan Islam secara umum disepakati terjadi diantara Abad ke 8 dan 14 Masehi. Itu adalah periode yang terkenal karena berkembangnya budaya, ekonomi dan perkembangan ilmu pengetahuan Islam.

Periode itu berakhir dengan Invasi Mongol yang menghancurkan dan Pengepungan Baghdad pada 1258 Masehi. Sepanjang periode ini para pemikir Islam mampu mengembangkan beberapa perangkat, konsep, arsitektur, dan instrumen menarik yang membantu meningkatkan umat manusia secara keseluruhan.

Dalam artikel berikut, kami akan membahas beberapa pertanyaan umum tentang Islam dan menyoroti tujuh penemuan penting mereka sepanjang “Zaman Keemasan” mereka.

Apa yang ditemukan oleh ahli matematika Muslim?

Salah satu bidang yang dunia Islam membuat kontribusi signifikan kepada dunia adalah dalam matematika. Sebagian besar pekerjaan mereka akan dibangun di atas lompatan dan batasan besar yang dibuat oleh polimatik Yunani seperti Archimedes dan Euclid.

Mereka mampu, misalnya, untuk sepenuhnya mengembangkan sistem nilai tempat desimal. Matematikawan Islam juga membuat studi sistematis pertama tentang aljabar dan membuat kemajuan besar dalam geometri dan trigonometri.

1. Kincir Angin horizontal pertama kali muncul selama Zaman Keemasan Islam

Sementara bentuk awal kincir angin dikembangkan oleh Heron dari Iskandariyah pada Abad ke-1 M, kincir angin bidang horizontal pertama kali dijelaskan oleh Ahmad Y. al-Hassan pada abad ke-10 Masehi.

Kincir angin ini, secara teknis disebut kincir angin panemone, terbuat dari enam sampai dua belas layar yang ditutupi dengan anyaman buluh atau kain. Seperti kincir angin “yang sebenarnya”, kincir angin ini digunakan untuk menggiling biji-bijian atau mengambil air dari akuifer.

Kincir angin vertikal mulai muncul di Eropa pada Abad ke-12. Tidak jelas apakah ini dikembangkan dari kincir panemone yang telah menyebar luas di sepanjang Timur Tengah dari Abad ke-10 M.

2. Astrolabe disempurnakan para astronom Muslim

Astrolab adalah campuran antara planisphere (grafik bintang dasar komputer) dan dioptra (tabung penampakan). Alat bantu navigasi mekanis ini memang perangkat yang sangat kuno.

Dari bukti arkeologis dan sastra mereka tampaknya pertama kali ditemukan selama periode Helenistik di Yunani antara 220 dan 150 SM. Astrolab juga ditulis secara luas oleh Theon dari Alexandria pada abad ke-4 Masehi. Astrolab terus digunakan secara luas di seluruh dunia berbahasa Yunani sepanjang periode Bizantium setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi.

Selama periode abad pertengahan, para astronom Muslim menyempurnakan teknologi lebih lanjut dengan menambahkan skala sudut pada desainnya. Mereka juga menambahkan lingkaran yang menunjukkan azimuth di cakrawala.

Orang pertama yang diakui memunculkan inovasi baru ini adalah ahli matematika abad ke delapan Muhammad al-Fazari. Perangkat yang dimodifikasi ini banyak digunakan setelahnya, dan digunakan untuk navigasi dan menemukan kiblat di Makkah.

3. Oud adalah penemuan Islam

Oud, instrumen kecapi leher pendek berbentuk seperti pir, pertama kali muncul di dunia Islam selama “Zaman Keemasan” mereka. Bagi banyak sejarawan musik, secara luas dianggap sebagai cikal bakal Lute Eropa.

Menariknya itu bukan akhir dari cerita. Oud, pada gilirannya, mungkin berasal dari kecapi Persia sebelumnya, dan instrumen serupa lainnya telah digunakan di Timur Tengah selama ribuan tahun.

Bukti deskripsi pertama tentang Oud berasal dari musisi Muslim abad ke-11 Al-Hasan Ibn al-Haytham. Saat ini Oud masih banyak digunakan di Timur Tengah dan masih menjadi favorit para musisi di seluruh dunia.

4. Rebab mungkin merupakan cikal bakal biola

Rebab, juga dikenal sebagai jawza atau djooza, adalah jenis alat musik senar yang pertama kali muncul selama abad ke-8 Masehi. Dengan cepat menyebar ke seluruh dunia Islam melalui rute perdagangan di sebagian besar Afrika Utara, Timur Tengah dan Timur Jauh, dan beberapa bagian Eropa.

Sering dikatakan bahwa Rebab adalah cikal bakal dari semua instrumen yang tertekuk yang mengikutinya, seperti biola (abad ke-10 M) di Eropa. Apapun masalahnya, salah satu instrumen senar tertekuk tertua, disebut ravanastron, pertama kali muncul di Sri Lanka ribuan tahun sebelumnya.

5. Marching Band Militer

Instrumen seperti drum dan terompet telah digunakan oleh pasukan militer selama ribuan tahun. Bahkan, drum dan gong, khususnya, disebutkan dalam Sun Tzu’s “The Art of War” hampir 2.500 tahun yang lalu.

Legiun Romawi juga terkenal karena penggunaan tanduknya yang ditampilkan oleh para profesional khusus yang disebut Aeneators.  Tetapi, ini dulunya berfungsi untuk memberikan instruksi dan perintah kepada unit di medan perang dan tidak selalu untuk tujuan seremonial.

Contoh pertama band militer resmi untuk kegiatan non-tempur berasal dari tentara Ottoman sekitar abad ke-11 Masehi. Disebut “Nevbet“, band-band militer prototipe ini akhirnya akan menjadi Mehtaran yang terkenal dari Kekhilafahan Utsmaniyyah (Ottoman).

6. Kaca pembesar bisa jadi adalah penemuan Islam

Bukti tertulis pertama dari perangkat yang mirip dengan kaca pembesar berasal dari karya Aristophanes pada abad ke-5 SM, “The Clouds“. Dalam dokumen ini, ia bercanda tentang bagaimana lensa dapat digunakan untuk menyalakan rabuk yang dijual di apotek pada saat itu.

Pliny the Elder juga kemudian benar tentang bola kaca yang diisi dengan air dapat digunakan untuk membakar luka. Seneca juga menulis tentang bagaimana perangkat tersebut dapat digunakan untuk membaca huruf “tidak peduli seberapa kecil atau redupnya”.

Namun, deskripsi pertama lensa cembung yang digunakan untuk pembesaran berasal dari Kitab Optik oleh Ibn al-Haytham pada abad ke-11 Masehi. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin yang tampaknya telah memperkenalkan (diperkenalkan kembali dengan baik) konsep tersebut ke Eropa selama abad ke-13.

7. Pabrik Kertas, juga merupakan penemuan Islam

Paper Mills atau pabrik yang membuat kertas, mungkin pertama kali muncul di dunia Islam selama “Zaman Keemasan” mereka. Tetapi masalahnya adalah bahwa hanya ada sedikit bukti fisik, dan dokumen masa itu sering membingungkan dan saling bertentangan.

Apa yang “diketahui” adalah bahwa pabrik bertenaga manusia dan hewan digunakan oleh pembuat kertas Muslim dan Cina sekitar masa itu. Tapi daripada gedung khusus, kita biasanya menyebutnya “pabrik”, referensi sering merujuk ke pusat-pusat produksi yang disebut, kira-kira “pabrik kertas”.

Jika benar, maka seorang kandidat awal dapat menjadi “pabrik” yang mungkin telah ada selama era Abbasiyah di Baghdad pada abad ke-8 Masehi. Apa pun masalahnya, bukti jelas pertama untuk pabrik kertas berasal dari 1282 M di Kerajaan Spanyol Aragon.*

HIDAYATULLAH



Pengalaman Haji Rumadi Ahmad yang Bikin Rindu Kabah

Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) Rumadi Ahmad mengisahkan pengalaman hajinya yang paling berkesan. Haji pertama saat itu di tahun 2012.

Saat itu dia dipercaya menjadi petugas haji (PPIH). Meski menjadi petugas, masih leluasa untuk umroh dan juga diperbolehkan ikut berhaji.

Tentu sebagai petugas, sebagian besar waktu yang dihabiskannya di Arab Saudi untuk beinteraksi dengan jamaah terutama melayani jamaah haji. “Seperti jika ada jamaah yang sakit atau hal-hal lain. Paling sering saya lakukan adalah melayani jamaah yang tersesat dan tidak tahu arah pulang,”ujar dia kepada Republika.co.id, Jumat (10/6).

Pernah sekitar pukul 03.00 ada jamaah yang diantar seseorang dengan seluruh barangnya hilang. Rumadi yang juga dosen UIN Syarif Hidayataullah selalu terenyuh setiap bertemu dengan jamaah yang mengalami masalah serupa. 

Pasalnya tidak hanya satu atau dua jamaah saja yang seperti itu. Selama menjadi petugas haji, tidak tehitung dia membantu orang dengan kasus yang sama. Ini menjadi pelajaran bagi dirinya sendiri ketika satu saat di kemudian hari melaksanakan haji dan umroh hanya sebagai jamaah semata.

“Alhamdulillah saya bersyukur, saya kembali diundang menjadi tamu Allah untuk menunaikan ibadah haji kembali,” tutur dia.

Ini merupakan penantiannya selama lima tahun setelah mendaftar haji reguler. Tidak sendiri, haji kedua ini Rumadi mengajak serta istrinya. 

Usai berhaji di 2012, dia memutuskan untuk mendaftar haji. Sebagai jamaah haji dan pernah menjalankan haji sebelumnya dia telah memahami tahapan pelaksanaan haji. Apalagi ketika itu dia juga menjadi petugas haji.

“Ketika saya berhaji ini ada kejadian yang tidak saya duga. Tiba-tiba ada rombongan menteri Agama, dirjen Haji dan kawan-kawan petugas haji dari Kemenag. Saya tidak tahu sama sekali ada rencana kunjungan itu,” ujar dia.

Menag dan rombongan juga pasti tidak tahu dia menjadi jamaah haji. Dia tidak menduga menag dan rombongan berhenti di lantai yang ditinggali dan memeriksa kamar jamaah. 

Menag dan rombongan yang hampir semuanya dikenal terkejut dia berangkat menjadi jamaah haji reguler.  “Saya lebih kaget lagi karena waktu itu saya sedang makan mie dan berpakaian ala kadarnya. Menag dan rombongan akhirnya masuk ke kamar saya dan berbincang-bincang di sana,”jelas dia.

Jika dibandingkan ketika kali pertama berhaji tahun 2012 dan haji tahun 2017 situasinya sudah jauh berbeda. Penginapan jamaah sudah jauh lebih baik dibanding sebelumnya. 

Demikian juga dengan layanan transportasi. Selain itu katering selama di Makkah dan Madinah juga cukup baik waktu itu. Hanya libur beberapa hari ketika menjelang prosesi haji.

Rumadi menjelaskan menag yang ditemuinya  saat itu adalah Lukman Hakim Saifudin yang juga pernah mengabdi di Lakpesdam PBNU pada awal 90-an dan kini Rumadi menjadi ketuanya.

Selain berhaji dua kali, Rumadi juga memiliki kesempatan berumroh di tahun 2019 bersama istri dan kedua anaknya. “Dahulu saya tidak percaya kalau ada orang cerita rindu ka’bah. Tapi sekarang saya merasakan. Siapapun yang pernah berkunjung ke ka’bah pasti merindukan,” kisah dia.

Demikian juga dengan ziarah ke makam Rasulullah di masjid nabawi. Jadi, jika ada kesempatan pasti ingin kembali ziarah ke Tanah Suci. Secara khusus selama menjalankan ibadah ini beberapa kali dia tidak mengalami pengalaman spiritual yang berbeda. 

Tetapi siapapun yang berdoa di multazam depan Ka’bah pasti setiap Muslim merasa tenang dan tenteram hatinya. Begitu juga ketika dapat sholat di Raudhah Masjid Nabawi, rasanya seperti bersama Rasulullah.

IHRAM

Memahami Makna Syirik

Saat membaca judul di atas, mungkin terbersit di dalam benak kita sebuah pertanyaan, “mengapa kita harus memahami syirik? Bukankah syirik adalah dosa yang terbesar?” Jika memang demikian, maka simaklah perkataan Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu ini,

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي

Dahulu manusia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kebaikan, sedangkan aku justru bertanya kepada beliau tentang keburukan disebabkan rasa takut keburukan itu akan menimpaku.”[1]

Sebagaimana seorang muslim dituntut untuk mengetahui berbagai macam kebaikan agar dapat mengamalkannya, begitu pula selayaknya bagi dia untuk mengetahui pelbagai macam keburukan agar mampu menghindarinya. Jika dicermati sejenak, betapa banyak kitab-kitab ulama terdahulu yang mengupas masalah dosa-dosa besar. Hal itu bertujuan untuk memperingatkan umat agar tidak terjerumus ke dalamnya.

Terlebih lagi perkara syirik, yang merupakan kezaliman terbesar, yang mampu menyeret manusia menjadi bahan bakar api neraka selama-lamanya. Sudah sepantasnyalah kita memahami hakikat kesyirikan itu sendiri. Karena siapa yang tidak mengetahuinya, dikhawatirkan akan terperosok di dalamnya tanpa disadarinya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh penyair Arab, Abu Faras al-Hamdani,

عَرَفْتُ الشَّرَّ لَا لِلشَّر … رِ لَكِنْ لِتَوَقِّيهِ

وَمَنْ لَا يَعْرِفِ الشَّرَّ … مِنَ النَّاسِ يَقَعْ فيهِ!

Aku mengetahui keburukan bukan untuk berbuat keburukan…

Akan tetapi agar mampu terhindar darinya…

Karena barang siapa dari manusia yang tidak mengetahui keburukan..

Suatu saat akan terjerumus ke dalamnya![2]

Makna Syirik

Secara etimologi, syirik berarti persekutuan yang terdiri dari dua atau lebih yang disebut sekutu. Sedangkan secara terminologi, syirik berarti menjadikan bagi Allah tandingan atau sekutu. Definisi ini bermuara dari hadis Nabi tentang dosa terbesar,

أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهْوَ خَلَقَكَ

…Engkau menjadikan sekutu bagi Allah sedangkan Dia yang menciptakanmu.”[3]

Sebagian ulama membagi makna syirik menjadi makna umum dan makna khusus. Bermakna umum, jika menyekutukan Allah di dalam peribadahan hamba kepada-Nya (uluhiyyah), menyekutukan-Nya di dalam perbuatan-Nya (rububiyyah), nama-Nya, dan sifat-Nya (al-asma’ wa ash-shifat).

Akan tetapi, jika disebutkan secara mutlak, syirik berarti memalingkan suatu ibadah kepada selain Allah. Dan inilah makna syirik secara khusus. Sebagaimana tauhid bermakna mengesakan Allah -dalam ibadah- jika disebut secara mutlak. Karena kesyirikan jenis inilah yang diperangi oleh Rasulullah semasa hidup beliau. Bahkan, kesyirikan pertama yang terjadi di muka bumi ini disebabkan oleh penyelewengan dalam beribadah kepada selain Allah yang telah menimpa kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam.

Diriwayatkan bahwa di zaman Nabi Nuh terdapat beberapa orang saleh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kepada manusia-manusia setelah mereka untuk mendirikan patung orang-orang saleh tersebut dan menamakannya dengan nama-nama mereka. Hal itu bertujuan untuk membuat mereka semangat dalam beribadah tatkala melihat patung tersebut.

Kala itu tiada seorang pun yang menyembah patung itu. Akan tetapi, ketika generasi pembuat patung wafat dan manusia berada di dalam kungkungan kebodohan, maka generasi setelahnya menjadikan patung-patung tersebut sebagai sesembahan. Mereka telah menduakan Allah dan itulah sebesar-besar dosa.

Fenomena Syirik

Syirik di dalam ibadah (uluhiyyah)

Syirik di dalam uluhiyyah Allah bermakna menyekutukan Allah di dalam ibadah. Atau dengan arti lain menyelewengkan ibadah kepada selain Allah. Ini adalah definisi syirik ketika penyebutannya bersifat mutlak. Karena kesyirikan ini yang paling menjamur, dan parahnya, tidak banyak orang yang menyadari akan hal itu. Betapa banyak manusia menduakan Allah di dalam penghambaan dirinya tanpa mereka sadari.

Termasuk ibadah di antaranya adalah salat, zakat, puasa, sembelihan, sumpah, doa, istigasah, cinta, takut, harap, dan segala bentuk peribadahan seorang hamba kepada Allah. Oleh sebab itu, termasuk bentuk kesyirikan ketika seseorang menyembelih kurban untuk jin semisal sesajen, berdoa meminta pertolongan kepada orang mati, atau penyelewangan ibadah lainnya kepada selain Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

Dan sesungguhnya masjid-masjid itu ialah milik Allah. Maka janganlah kalian menyembah sesuatu pun di dalamnya selain Allah.” (QS. Al-Jinn: 18)

Syirik di dalam perbuatan Allah (rububiyyah)

Syirik di dalam rububiyyah Allah berarti meyakini adanya selain Allah yang melakukan perbuatan-perbuatan Allah. Atau menyamakan makhluk dengan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan rububiyyah-Nya. Misalnya, memercayai adanya sang pencipta selain Allah, pemberi rezeki, penurun hujan, dan pengatur alam semesta.

Syirik jenis ini umumnya sedikit. Karena kaum kafir Quraisy yang diperangi oleh Rasulullah pun meyakini tauhid jenis ini. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Katakanlah wahai Muhammad, ‘Siapakah yang memberi kalian rezeki dari langit dan bumi? Siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan? Siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka katakan, ‘Lantas mengapa kalian tidak bertakwa?” (QS. Yunus: 31)

Syirik di dalam nama dan sifat-Nya (asma’ wa shifat)

Syirik di dalam al-asma’ wa ash-shifat bermakna menjadikan sekutu bagi Allah, baik itu di dalam salah satu nama-Nya, atau salah satu sifat-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. Asy-syura: 11)

Salah Kaprah tentang Syirik

Sebagian orang ada yang menyempitkan definisi syirik. Mereka mengatakan syirik adalah mengesakan Allah dalam perbuatan yang menjadi kekhususan bagi-Nya saja, atau dalam arti lain sifat rububiyah Allah semata. Misalkan keyakinan adanya pencipta, pemberi rezeki, pengatur alam semesta selain Allah. Sampai di sini, benar. Mereka yang menjadikan tandingan bagi Allah dalam perbuatan yang merupakan kekhususan bagi-Nya, maka itu termasuk syirik besar yang dapat menyebabkan seorang keluar dari koridor Islam.

Akan tetapi, tatkala mereka mengatakan bahwa orang yang telah meyakini ke-rububiyah-an Allah bukanlah orang yang musyrik, maka ini adalah kesalahan yang besar. Karena ternyata Al-Quran mengisahkan tentang kaum kafir yang juga mengakui bahwa Allah-lah pencipta mereka,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

Dan jika engkau bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’ Maka mereka pasti menjawab, ‘Allah.’ Lantas bagaimana mereka dapat dipalingkan?” (QS. Az-Zukhruf: 87)

Sebagian lagi berpendapat bahwa syirik itu berarti tidak mengucapkan kalimat syahadat. Jadi, jika seseorang telah mengucapkan kalimat syahadat, maka ia terlepas dari perbuatan syirik. Maka ini merupakan kekeliruan yang nyata. Karena kaum munafik di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan kalimat syahadat, akan tetapi Allah menggambarkan kondisi mereka kelak,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

Sungguh, orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan terbawah dari neraka. Dan engkau tidak mendapati seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisa’: 145)

Sebagian lagi mengatakan bahwa jika seseorang telah menyembah Allah, telah beribadah kepada Allah, maka ia telah terlepas dari syirik. Maka ini pun kesalahan yang jelas. Toh, kaum kafir Quraisy dahulu juga menyembah Allah. Namun di samping itu, mereka juga menyembah berhala. Ketika mereka ditimpa kesulitan, mereka mengikhlaskan ibadah mereka hanya untuk Allah. Allah Ta’ala menceritakan ihwal kaum kafir saat dikungkung mara bahaya,

هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ حَتَّى إِذَا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنْجَيْتَنَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ فَلَمَّا أَنْجَاهُمْ إِذَا هُمْ يَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَق

Dialah yang menjadikan kalian mampu berjalan di darat dan berlayar di lautan. Sehingga apabila kalian berada di atas kapal, dan melajulah kapal itu membawa mereka dengan tiupan angin yang tenang dan mereka bergembira karenanya, tiba-tiba badai datang disertai gelombang yang menghantam dari segala penjuru. Mereka pun mengira bahwa bahaya telah mengungkung mereka. Maka mereka lantas berdoa kepada Allah dengan tulus ikhlas, ‘Sekiranya Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, niscaya kami termasuk orang-orang yang bersyukur.’ Akan tetapi ketika Allah telah menyelamatkan mereka, mereka justru berbuat kezaliman di muka bumi tanpa alasan yang benar.”(QS. Yunus: 22-23)

Akhir kata, semoga artikel ini memperluas cakrawala pemikiran kita tentang makna syirik yang sebenarnya. Sehingga kita bisa lebih waspada agar tidak terjerumus ke dalamnya.

_________

[1] HR. Bukhari: 3060, dan Muslim: 1847

[2] Jami’ Dawawin asy-Syi’r al-‘Arabi ‘ala Marr al-‘Ushur, 16/41. Maktabah Syamilah.

[3] HR. Bukhari: 7520, dan Muslim: 86

Daftar Pustaka
  1. Sholih bin Fauzan Al-Fauzan. 1417. Al-Irsyad ash-Shahih al-I’tiqad wa ar-Radd ‘ala Ahli asy-Syirk wa al-Ilhad (Cetakan ke-2). Riyadh – Arab Saudi: Dar Ibn Khuzaimah.
  2. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.1430. Syarh Kasyf asy-Syubuhat (Cetakan ke-1). Kairo – Mesir: Dar Ibn Hazm.
  3. Ushul al-Iman fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunah. Maktabah Syamilah.

Penulis: Roni Nuryusmansyah

Muraja’ah: Ust. Muhsan Syarafuddin, Lc, M.HI

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/18629-memahami-makna-syirik.html