Menag: Kepastian Penyelenggaraan Haji Diputuskan 20 Mei

Menteri Agama Fachrul Razi akan menunggu jawaban Pemerintah Arab Saudi sampai tanggal 20 Mei terkait jadi tidaknya ibadah haji diselenggarakan tahun 2020 ini.

Jika sampai tanggal 20 Mei Saudi tidak memberikan jawab, pemerintah Indonesia tidak akan mengirimkan jamaah haji meski persiapan sudah selesai.”Kita kasih batas waktu sampai 20 Mei inilah ya,” kata Fachrul Razi saat dihubungi Republika, Selasa (12/5).

Apalagai kata dia, tanggal 20 Mei itu Pemerintah Aran Saudi menerapkan libur panjang untuk perayaan hari raya Idul Fitri selama dua minggu. Sehingga sulit melakukan koordinasi di saat warga dan pemerintahannya sedang melaksanakan liburan. “Karena saya monitor menjelang lebaran itu libur panjang. Ya sekitar 20 Mei sudah libur sampai dua minggu,” katanya.

Lalu jamaah haji yang sudah membayar lunas Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Fachrul Razi menerangkan, semua itu sudah ada taknisnya dan sudah disampaikan kepada dewan di Komisi VIII saat rapat. Kemenag tinggal menunggu masukan-masukan selanjutnya.  “Hal itu sudah ada polanya sedang dikoordinasikan, kemarin ada beberapa masukan dari Komisi VIII bagus kita ikutin juga,” katanya.

Pada intinya kata Fachrul Razi, Kemenag dan Komisi VIII sepakat, jika haji tidak jadi diselenggarakan dan uang jamaah harus dikembalikan, maka uang itu sudah dipastikan aman dan memiliki nilai manfaat bagi jamaah haji yang akan berangkat tahun selanjutnya. Terkait bagaimana uang jamaah itu aman dan masih memiliki nilai manfaat semua itu diatur Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

“Komisi VIII hasil rapat dengan kita artinya sama-sama uang itu dapat diamankan maksimal. Hendaknya itu dikelolah oleh BPKH di acara terspisah jadi nila manfaatnya dapat dikembalikan kepada calon jamaah haji yang berangkat tahun depan,” katanya.

Menurut dia, meski dikembalikan kepada jamaah uang itu, tetap dalam pengelolaan BPKH, artinya jamaah tidak mengambil ke masing-masing bank penerima setoran. Tujuan dikelola BPKH agar uang itu masih memiliki nilai manfaat yang dapat digunakan untuk jamaah haji tahun depan.”Sudah ada polanya dikelola oleh BPKH, masih ada nilai manfaatnya yang masih dimanfaatkan jamaah yang bersangkutan,” katanya.

Akan tetapi kata dia, jika ada jamaah yang.memang betul-betul memiliki keperluan yang sangat mendesak, boleh menggunakannya. Namun hal itu semua sudah menjadi tanggungjawab BPKH. “Iya tidak kembali ke jamaah tapi ke BPKH. Tapi jika memang betul sangat mendesak mau gunakan bisa saja tapi secara umum BPKH,” katanya.

IHRAM

Memakai Pakaian Terbaik ketika Shalat (Bag. 5)

Memiliki perhatian dengan bau yang wangi dan tidak mengganggu jamaah lainnya

Termasuk di antara kesempurnaan kondisi dan keadaan seseorang ketika shalat adalah memperhatikan bau badan, yaitu menghindari segala sesuatu yang bisa menimbulkan bau yang tidak sedap, baik itu berupa bawang merah, bawang putih, atau bawang bakung.

Syariat telah melarang seorang muslim yang memakannya untuk hadir ke masjid. Karena dalam kondisi semacam itu, bisa mengganggu dan menyakiti malaikat dan kaum muslimin yang hadir di masjid. Dan menutup pintu gangguan ini lebih utama dibandingkan dengan memperhatikan maslahat satu orang yang ingin hadir ke masjid tersebut. 

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ يُرِيدُ الثُّومَ فَلَا يَغْشَنَا فِي مَسْجِدِنَا

“Barangsiapa yang makan dari pohon ini, maksudnya bawang putih, maka janganlah dia mendatangi masjid.” (HR. Bukhari no. 854 dan Muslim no. 564)

Juga dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ

“Barangsiapa makan bawang merah, bawang putih, serta bawang bakung, janganlah dia mendekati masjid kami, karena malaikat merasa tersakiti dari bau yang juga membuat manusia merasa tersakiti (disebabkan baunya).” (HR. Muslim no. 564)

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا، فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا، وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ

“Barangsiapa yang makan bawang putih atau bawang merah, maka hendaklah dia memisahkan diri dari kami atau memisahkan diri dari masjid kami, dan hendaklah dia duduk di rumahnya.” 

Beliau pernah dibawakan satu keranjang berisi sayur mayur berupa bawang merah, lalu beliau mendapatkan bau (yang kurang enak). Lalu beliau pun bertanya, dan beliau diberitahu bahwa bau itu karena di dalamnya berisi bawang merah. 

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

قَرِّبُوهَا

“Dekatkanlah ia kepada sebagian pemiliknya.” 

Ketika beliau melihatnya, maka beliau tidak suka untuk memakannya. 

Beliau bersabda, 

كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا تُنَاجِي

“Makanlah, karena aku membisiki malaikat yang kalian tidak membisikinya.” (HR. Muslim no. 564)

Pemahaman sebaliknya yang bisa disimpulkan dari hadits-hadits di atas adalah bahwa bau yang enak (wangi) itu menjadi suatu keharusan bagi orang-orang yang ingin datang ke masjid, demikian pula ke tempat shalat pada saat hari raya ‘id (‘idul fitri dan ‘idul adha). 

Siapa saja yang mengkonsumsi bawang merah, bawang putih, atau bawang bakung, diperintahkan untuk menjauh dari masjid dan diperintahkan untuk berdiam diri di rumahnya. Hal ini bukan karena dia punya alasan syar’i (ma’dzur) untuk tidak hadir ke masjid, akan tetapi untuk mencegah orang tersebut mengganggu dan menyakiti jamaah yang hadir di masjid. Dia telah terluput dari keutamaan shalat berjamaah, dia tidak memiliki perhatian bahwa kondisinya akan mengganggu dan menyakiti malaikat, dan juga tidak memperhatikan bagaimanakah perasaan kaum muslimin yang merasa terganggu karena baunya. 

Imam Ahmad rahimahullah -dalam salah satu riwayat dari beliau- berpendapat haramnya datang ke masjid bagi orang-orang yang makan bawang merah atau semisalnya (yang menimbulkan bau tidak enak), sampai baunya menjadi hilang. Hal ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm, dan berargumentasi bahwa hukum asal larangan adalah menunjukkan hukum haram. [1]

Larangan tersebut bukanlah berarti shalat jama’ah di masjid itu tidak wajib

Yang hendaknya diperhatikan adalah bahwa larangan atas orang-orang yang memiliki bau yang tidak enak (disebabkan karena mereka makan bawang) bukanlah artinya bahwa shalat jama’ah di masjid itu tidak wajib atas mereka. Hal ini karena larangan bagi orang-orang yang makan bawang tersebut bukan karena gugurnya kewajiban shalat berjamaah di masjid, bahkan mereka tetap memiliki kewajiban untuk shalat jama’ah di masjid. Akan tetapi, mereka terhalang dari datang ke masjid karena adanya faktor penghalang (maani’), yaitu bau yang tidak enak dan mengganggu. Sehingga dia pun diperintahkan untuk tetap berada di rumahnya karena adanya faktor penghalang (maani’) tersebut. 

Perkara ini sama saja dengan bolehnya tidak menghadiri shalat jama’ah bagi orang-orang yang sudah dihidangkan makanan. Dengan catatan bahwa dia sangat membutuhkan makanan tersebut (sangat lapar), dan makanan tersebut mubah dan siap disantap (bukan masih dalam kondisi sangat panas sehingga belum bisa langsung dimakan). Akan tetapi, jika seseorang berbuat akal-akalan dengan menghidangkan makanan di setiap waktu datangnya shalat, supaya dia boleh tidak ke masjid, maka itu diharamkan atasnya. [2]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَحَضَرَ العَشَاءُ، فَابْدَءُوا بِالعَشَاءِ

“Jika shalat hampir ditegakkan (iqamah sudah dikumandangkan, pen.), sedangkan makan malam telah dihidangkan, maka dahulukanlah makan malam.” (HR. Bukhari no. 5465 dan Muslim no. 557)

Memakan bawang merah dan bawang putih yang sudah dimasak dan baunya menjadi hilang

Larangan dalam hadits-hadits di atas (larangan bagi yang memakan bawang untuk pergi ke masjid), itu khusus berlaku untuk memakan bawang yang masih mentah, karena baunya yang tidak enak. Adapun bawang yang sudah dimasak, yang sudah hilang baunya, maka tidak terlarang. Akan tetapi, jika setelah dimasak dan bau yang tidak enak tersebut masih ada (masih tersisa), maka tetap terlarang. Hal ini karena syari’at mengkaitkan hukum larangan tersebut dengan bau yang tidak enak. Sehingga jika sebabnya masih ada (bau tidak enak), hukum larangan tersebut tetap berlaku. 

Dari Qurrah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari dua pohon ini, beliau bersabda,

مَنْ أَكَلَهُمَا فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا وَقَالَ إِنْ كُنْتُمْ لَا بُدَّ آكِلِيهِمَا فَأَمِيتُوهُمَا طَبْخًا قَالَ يَعْنِي الْبَصَلَ وَالثُّومَ

“Barangsiapa memakan keduanya, janganlah ia mendekati masjid kami!” Dan beliau bersabda, “Apabila kalian harus memakannya, hilangkan bau keduanya dengan dimasak!” Qurrah berkata, “Yaitu bawang merah dan bawang putih.” (HR. Abu Dawud no. 3827, shahih) 

Apakah larangan hanya berlaku kalau betul-betul masuk ke dalam masjid saja?

Larangan hadir di masjid dalam hadits-hadits di atas tidak hanya berlaku untuk masuk ke dalam bagian dalam masjid saja, akan tetapi juga berlaku untuk halaman atau teras madjid. Dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata dalam potongan khutbah beliau yang panjang,

ثُمَّ إِنَّكُمْ، أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ لَا أَرَاهُمَا إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ، هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنَ الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ، أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ، فَمَنْ أَكَلَهُمَا فَلْيُمِتْهُمَا طَبْخًا

“ … Kemudian kalian wahai manusia telah memakan dua pohon yang aku memandangnya sebagai pohon yang busuk, yaitu bawang merah dan putih. Sungguh aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mendapatkan baunya dari seorang laki-laki di masjid niscaya dia menyuruh pergi, lalu dia dikeluarkan ke al-Baqi’. Barangsiapa yang memakan keduanya, hendaklah dia menghilangkan baunya dengan cara dimasak.” (HR. Muslim no. 567)

Bagaimana dengan bau rokok?

Jika bau yang ditimbulkan dari memakan bawang merah dan bawang putih itu menyebabkan pelakunya tidak boleh datang ke masjid, padahal hukum asal memakannya adalah halal, lalu bagaimana lagi dengan bau yang ditimbulkan karena bau rokok yang itu diharamkan secara syariat? 

Jika seorang perokok itu datang ke masjid, tentu bau rokoknya akan mengganggu kaum muslimin yang ada di masjid, dan sebelum itu, dia telah menyakiti para malaikat dengan bau rokoknya. Bagaimana mungkin dia bermunajat kepada Rabb-nya, membaca firman-firman-Nya, berdzikir dan berdoa kepada-Nya, dalam kondisi bau mulutnya yang busuk karena rokok? Lalu, bagaimana lagi dengan mereka yang justru merokok di dalam masjid dan mengganggu kaum muslimin dengan bau dan asap rokok? 

Tidak diragukan lagi, perokok juga masuk ke dalam larangan hadir ke masjid sebagaimana dilarangnya orang-orang yang memakan bawang merah dan bawang putih, karena memiliki sebab yang sama, yaitu bau yang tidak enak dan akan mengganggu jamaah kaum muslimin. Bahkan, larangan untuk bau perokok itu lebih berat dibandingkan makan bawang. 

Perokok terus-menerus terjerumus  dalam perkara yang haram, dia telah menjerumuskan dirinya ke dalam perkara yang membahayakan kesehatannya, berdasarkan informasi yang valid dari ilmu kedokteran medis. Merokok juga berarti telah menyia-nyiakan harta. 

Bagaimana mungkin perokok bau tersebut ridha menyakiti kaum muslimin karena bau rokok yang ada di badan, mulut, dan di bajunya? Padahal, di masjid dia bersebelahan dengan kaum muslimin yang sedang shalat dan beribadah dalam bentuk yang lainnya. Dan hal itu bisa menjadi sebab kaum muslimin yang lain menjadi tidak khusyu’ saat sedang beribadah kepada Allah Ta’ala. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ آذَى الْمُسْلِمِينَ فِي طُرُقِهِمْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ لَعْنَتُهُمْ

“Siapa saja yang mengganggu kaum muslimin di jalan-jalan mereka, maka pasti mendapatkan laknat dari mereka.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir no. 3050) [3] [4]

Jika demikian hukuman mengganggu kaum muslimin di jalan-jalan umum, lantas bagaimana lagi dengan mengganggu kaum muslimin di masjid?

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56435-memakai-pakaian-terbaik-ketika-shalat-bag-5.html

Memakai Pakaian Terbaik ketika Shalat (Bag. 4)

Baca pembahasan sebelumnya Memakai Pakaian Terbaik ketika Shalat (Bag. 3)

Memakai penutup kepala

Sebagaimana telah kami bahas sebelumnya bahwa yang diperintahkan adalah memakai pakaian terbaik ketika shalat, yaitu shalat dalam kondisi dan keadaan yang paling baik dan sempurna. Allah Ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap kali (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)

Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا صلى أحدكم فليلبس ثوبيه، فإن الله أحق من تزين له

“Jika salah seorang di antara kalian shalat, pakailah dua pakaian. Karena sesungguhnya Allah lebih berhak untuk mendapatkan penampilan yang terbaik.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Ausath 10: 170 dan Al-Baihaqi 2: 236. Al-Albani berkata, “Sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim)

Dan bukanlah termasuk dalam penampilan yang terbaik ketika seseorang shalat dalam kondisi tidak menutupi kepala, lebih-lebih ketika dia berdomisili di suatu daerah yang menilai bahwa menutup kepala termasuk bagian dari adat kebiasaan mereka sehari-hari. Atau ketika masyarakat setempat menilai bahwa tidak memakai penutup kepala itu bukanlah perkara yang bisa diterima, karena mereka memang adat kebiasaan mereka sejak lama adalah menutup kepala. Dan termasuk perkara yang telah kita ketahui dalam masalah fiqh berpakaian adalah berpakaian sesuai dengan adat kebiasaan setempat, dengan syarat tetap memperhatikan kaidah-kaidah syariat dalam masalah berpakaian. Para ulama pun menyebutkan bahwa dimakruhkan bagi seseorang untuk menyelisihi masyarakat setempat dalam masalah berpakaian, dan perbuatan itu termasuk dalam memakai pakaian popularitas (pakaian yang tampil beda).

Adapun di suatu daerah yang menilai bahwa menutup kepala bukanlah termasuk dalam adat kebiasaan mereka, maka tidak mengapa jika tidak menutup kepala. 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

لكن لو كنا في بلد اعتادوا ألا يلبسوا اللباس فوق الرأس، صار كشف الرأس عندهم لا نقص فيه، ولا ينقص الصلاة شيئاً؛ لماذا؟ لأن الزينة لا تتناوله. فالزينة في كل موضع بحسبه

“ … akan tetapi, ketika kita berada di suatu negeri yang memiliki adat kebiasaan tidak memakai penutup di atas kepala, maka tidak memakai penutup kepala bagi mereka itu bukanlah perbuatan tercela dan tidak mengurangi kesempurnaan shalat sedikit pun. Mengapa demikian? Karena hal itu bukan termasuk bagian dari az-ziinah (pakaian terbaik). Maka az-ziinah itu berbeda-beda sesuai dengan tempat (daerah) masing-masing.” (Jilsaatu Ar-Ramadhaniyyah, 2: 149 [Maktabah Asy-Syamilah])

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah ditanya, “Ada imam yang memimpin shalat dalam keadaan tidak memakai penutup kepala. Bagaimanakah hukumnya?”

Beliau rahimahullah menjawab,

لا حرج في ذلك ؛ لأن الرأس ليس من العورة ، وإنما الواجب أن يصلي بالإزار والرداء؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم : « لا يصلي أحدكم في الثوب الواحد ليس على عاتقه منه شيء » لكن إذا أخذ زينته واستكمل لباسه كان ذلك أفضل؛ لقول الله جل وعلا : { يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ } أما إن كان في بلاد ليس من عادتهم تغطية الرأس فلا بأس عليه في كشفه .

“Hal itu tidaklah menjadi masalah, karena kepala tidak termasuk aurat. Yang wajib adalah shalat dengan menggunakan izar (kain yang menutupi bagian atas) dan rida’ (kain yang menutupi bagian bawah semacam sarung). Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah salah seorang dari kalian shalat memakai satu kain, tanpa mengenakan suatu kain pun di atas pundaknya.” 

Akan tetapi, jika seseorang memakai pakaian yang terbaik dan yang paling sempurna, itulah yang lebih afdhal, berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya),  “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap kali (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)

Adapun jika berada di suatu daerah (wilayah) yang menutup kepala itu bukan termasuk adat kebiasaan mereka, maka tidak masalah jika tidak menutup kepala.” (Majmu’ Al-Fataawa, 10: 405)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56429-memakai-pakaian-terbaik-ketika-shalat-bag-4.html

Satu Bulan Bersama Al-Qur’an (Hari Ke – 19)

Hari ini kita akan kembali merenungkan beberapa ayat-ayat suci Al-Qur’an. Allah swt Berfirman :

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُصۡلِحُ عَمَلَ ٱلۡمُفۡسِدِينَ

“Sungguh, Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang yang berbuat kerusakan.” (QS.Yunus:81)

وَأَنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي كَيۡدَ ٱلۡخَآئِنِينَ

“Dan bahwa Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (QS.Yusuf:52)

وَلَا يَحِيقُ ٱلۡمَكۡرُ ٱلسَّيِّئُ إِلَّا بِأَهۡلِهِۦ

“Rencana yang jahat itu hanya akan menimpa orang yang merencanakannya sendiri.” (QS.Fathir:43)

وَيَمۡكُرُونَ وَيَمۡكُرُ ٱللَّهُۖ وَٱللَّهُ خَيۡرُ ٱلۡمَٰكِرِينَ

“Mereka membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS.Al-Anfal:30)

وَمَا يَمۡكُرُونَ إِلَّا بِأَنفُسِهِمۡ وَمَا يَشۡعُرُونَ

“Tapi mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya.” (QS.Al-An’am:123)

Ayat-ayat di atas adalah tiang-tiang kokoh yang harus menjadi pegangan dalam hidup kita. Ayat-ayat ini harus selalu di ingat sebagai senjata kita dalam menolak bujuk rayu setan yang selalu mengajak untuk berbuat keburukan.

Semua ayat di atas ingin memberi isyarat penting bahwa :

1. Segala macam rencana keburukan dan kejahatan yang telah di atur sedemikian rupa, pasti akan digagalkan oleh Allah Swt.

2. Setiap pengkhianatan tidak akan bertahan lama. Cepat atau lambat bau busuk pengkhianatan akan tercium dan rencana kotornya akan terungkap.

Sebagaimana kita saksikan Zulaikha yang telah menyusun rencana untuk menjebak Nabi Yusuf as dengan rapi dan sangat tertutup, namun semuanya terbongkar melalui dirinya sendiri.

قَالَتِ ٱمۡرَأَتُ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡـَٰٔنَ حَصۡحَصَ ٱلۡحَقُّ أَنَا۠ رَٰوَدتُّهُۥ عَن نَّفۡسِهِۦ وَإِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ

Istri Al-Aziz berkata, “Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggoda dan merayunya, dan sesungguhnya dia termasuk orang yang benar.” (QS.Yusuf:51)

3. Setiap rencana busuk cepat atau lambat pasti akan kembali kepada pelakunya !

Maka tinggalkanlah segala bentuk keburukan dan kebusukan karena Allah tidak akan membiarkan hal-hal tersebut menjadi langgeng dan bertahan lama.

Berhati-hatilah dengan segala bentuk pengkhianatan, karena Allah swt tidak akan membiarkan rencana busuk seorang pengkhianat berjalan mulus. Semuanya akan segera terbongkar pada waktunya.

Dan yang terpenting ingatlah selalu bahwa setiap makar, keburukan dan rencana jahat pasti akan kembali pada pelakunya maka jangan pernah merencanakan dan melakukan suatu keburukan kepada orang lain.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Resep Tenang Hati Malam Ini

JADIKANLAH Allah sebagai Pengatur hidup kita. Karena memang Dialah yang mengatur segalanya. Biarlah Allah mengatur segalanya dengan segala sifat kasih sayangNya, kelembutan dan keadilanNya, keagungan dan kemurahanNya. Dia adalah segala-galanya dan aturanNya adalah aturan terbaik dan terindah.

Saat kita masih terus tergoda untuk mengeluhkan apa yang ada dan apa yang terjadi, ada dua hal yang mungkin telah melarat belakangi: pertama, kita tak pernah dekat atau bersama Allah, selalu menjauh dari perintahnya dan mendekat dengan larangannya; kedua, kita sedang mendewakan kemampuan otak dan manajemen diri kita serta lupa bahwa diri kita penuh dengan keterbatasan.

Kita manusia ini dalah anak perubahan, sangat mungkin untuk berpindah dari satu kedaan pada keadaan yang lain, untuk berpindah dari satu takdir ke takdir yang lain. Tidak semua perubahan itu bisa kita pantau dan ketahui sendiri. Ada banyak perubahan yang datang tiba-tiba. Lalu siapakah pengontrol perubahan itu? Apakah kontrolnya ada di tangan kita? Jawabannya adalah jelas, TIDAK. Kontrol penuh adalah hak istimewa Allah. Lalu mengapa kita tak mau belajar kembali, pasrah dan tunduk patuh kepadaNya?

Cara Allah seringkali di luar kalkulasi pikiran kita. Ambil contoh sederhana saja. Jika kita mengeluarkan sejumlah uang untuk membantu orang lain, itu bermakna jumlah uang kita berkurang. Allah berfirman bahwa shadaqahmu itu akan berbuah untung berkali lipat untukmu. Saat kita membantu hamba Allah yang lain, hitungan dzahir kita adalah membuang waktu dan tenaga untuk orang lain, bukan untuk kepentingan dirinya. Rasulullah bersabda: “Allah senantiasa membantu seorang hamba, selama hamba itu membantu saudaranya.” Kita membantu orang lain, Allah membantu kita. Manakah yang paling untung?

Ikutilah petunjuk dan janganlah menantang perintah Allah dan Rasulullah, maka tenanglah hati kita, damailah jiwa kita. Selamat istirahat saudaraku, sahabatku. Jangan lupa mendoakan saya sekeluarga ya. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

24 Jam di Bulan Ramadhan (Amalan di Sepuluh Hari Terakhir

Ini serial terakhir dari buku 24 Jam di Bulan Ramadhan, yaitu tentang amalam di sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Pertama: Lebih serius dalam beribadah pada akhir Ramadhan

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim, no. 1175)

Dikatakan oleh istri tercinta beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari, no. 2024 dan Muslim, no. 1174).

Kedua: Melakukan i’tikaf

I’tikaf maksudnya adalah berdiam di masjid beberapa waktu untuk lebih konsen melakukan ibadah.

Dalam hadits disebutkan,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:- أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. (HR. Bukhari, no. 2026 dan Muslim, no. 1172).

Hikmah beliau seperti itu disebutkan dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri berikut di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Aku pernah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari Ramadhan yang pertama. Aku berkeinginan mencari malam lailatul qadar pada malam tersebut. Kemudian aku beri’tikaf di pertengahan bulan, aku datang dan ada yang mengatakan padaku bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari yang terakhir. Siapa saja yang ingin beri’tikaf di antara kalian, maka beri’tikaflah.” Lalu di antara para sahabat ada yang beri’tikaf bersama beliau. (HR. Bukhari, no. 2018 dan Muslim, no. 1167).

Ketiga: Meraih lailatul qadar

Allah menyebut keutamaan lailatul qadar,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)

Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr: 3-5)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari, no. 1901)

Bisa juga kita mengamalkan do’a yang pernah diajarkan oleh Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam jikalau kita bertemu dengan malam Lailatul Qadar yaitu do’a: “ALLAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU’ANNI” (artinya: Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan do’a ini pada ‘Aisyah, istri tercinta beliau.

Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/20357-24-jam-di-bulan-ramadhan-amalan-di-sepuluh-hari-terakhir.html

3 Perkara yang Disukai Abu Dzar Al Ghifari Sahabat Nabi SAW

Abu Dzar menyukai tiga perkara dalam menghadapi dunia.

Terdapat tiga perkara yang sebenarnya harus menjadi renungan dan pelajaran bagi kita di zaman sekarang ini. Karena, kebanyakan kita lebih mencintai hidup di dunia dan isinya hingga lupa akan kematian.

Lebih mencintai kenyang sehingga lupa akan saudara-saudaranya yang kelaparan. Dan, lebih mencintai rasa sehat dan lupa akan syukur kepada Allah SWT.

Sebuah kisah datang dari sahabat Rasulullah SAW yaitu Abu Dzar al Ghifari. Dia adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW dari suku Ghifar, yang kualitas keimanannya diakui oleh nabi dan para sahabat. Hal ini terbukti pada awal dia masuk Islam, di mana orang lain masuk Islam dengan sembunyi-sembunyi, sementara dia dengan terang-terangan. 

Bahkan, dia mengucapkan kalimat syahadat serta memproklamasikan diri sebagai seorang Muslim di hadapan orang-orang kafir Quraisy yang tengah berkumpul di Kabah, sehingga dia dikeroyok sampai babak belur.

Suatu ketika, dia ditanya oleh Rasulullah SAW tentang apa yang disenanginya di dunia ini. Abu Dzar menjawab, ”Tidak ada yang aku senangi, kecuali tiga perkara, yaitu ketika aku ingat mati, ketika aku lapar, dan ketika aku sakit.”

Jawaban Abu Dzar tentunya mengundang keanehan bagi kebanyakan manusia lain. Karena, siapa orang yang suka mengingat mati? Siapa pula orang yang suka lapar? Dan, siapa yang suka rasa sakit?

Kemudian, Nabi bertanya lagi karena beliau tahu bahwa sahabatnya itu tidak mungkin menjawab seperti itu tanpa alasan. ”Mengapa kamu menyukai tiga perkara itu, sedangkan kebanyakan manusia membencinya?”

Dia menjawab, ”Aku suka mengingat mati. Karena, dengan mengingatnya, hatiku akan lunak, tidak akan keras bagaikan batu, dan akan mengantarku untuk selalu beramal sebelum kematianku datang. Aku menyukai rasa lapar.

Karena, dia menumbuhkan jiwa sosialku, bagaimana mungkin aku akan merasakan pahitnya lapar yang diderita orang lain, sedangkan perutku kenyang? Dengan kenyang, aku akan menjadi pemalas. Sementara itu, rasa sakit akan membuat aku sadar terhadap kelemahanku di hadapan Allah SWT, tidak pantas sombong dan takabur, serta mengakui keagungan-Nya dengan sepenuh hati.”

Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang beriman, bertakwalah, dan perhatikan apa yang telah kamu kerjakan untuk menghadapi hari esok (akhirat), sesungguhnya Allah Mahateliti dengan apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Hasyr [59]: 18).

KHAZANAH REPUBLIKA

Ramadhan Bulan Taubat!

Bulan Ramadhan adalah bulan taubat. Bulan ini adalah bulan yang spesial bagi para pendosa yang ingin kembali kepada Allah swt. Bulan ini adalah bulan pemutihan bagi mereka yang banyak kesalahan dan ingin membersihkan dirinya.

Bertaubat adalah kembali kepada Allah dengan mengingat dan menyesali dosa-dosa kita.

Manusia tak pernah luput dari salah dan dosa, karenanya Allah swt mewajibkan kita untuk selalu bertaubat dan memohon ampunan dari-Nya. Bila di hari-hari biasa kita dianjurkan untuk selalu bertaubat dan memperbanyak istighfar, maka di hari-hari Ramadhan anjuran itu jauh lebih diutamakan.

Diriwayatkan bahwa di malam pertama di bulan Ramadhan Allah mengutus malaikat untuk berseru,

“Wahai orang yang ingin melakukan kebaikan bersegera lah..

Wahai orang yang ingin melakukan keburukan berhenti lah..”

Sungguh bulan suci ini adalah bulan yang penuh rahmat dan taufik dari Allah swt. Setiap moment menggiring kita menuju kebaikan. Begitu hilal Ramadhan telah tampak jiwa kita otomatis bergejolak merindukan kedekatan dengan Allah swt. Karenanya Ramadhan adalah waktu yang paling tepat dan paling mudah untuk kita bisa kembali dan bertaubat.

Setiap sisi di bulan ini mendukung kita untuk mensucikan diri dan mendekat kepada Ilahi. Apabila kita tidak mampu bertaubat di bulan ini maka kita akan sangat sulit untuk bisa bertaubat di bulan yang lain. Bertaubat di bulan ini sangatlah mudah karena suasana, momentum dan kondisi jiwa kita sangat mendukung akan hal itu.

Maka janganlah kita mempersulit apa yang telah menjadi mudah di bulan ini. Bukankah Rasulullah saw bersabda,

“Sungguh celaka orang yang mendapati bulan Ramadhan namun setelah bulan suci itu meninggalkannya ia belum diampuni oleh Allah swt.”

Di bulan suci ini setiap hamba menjadi tamu Allah swt. Selayaknya tuan rumah akan memberi yang terbaik bagi tamunya. Apalagi tuan rumah di bulan ini adalah Rabbul Alamin, tidak akan sekalipun Allah swt mengecewakan tamunya.

Tinggal pilihan berada ditangan kita. Akankah kita akan menyambut undangan ini?

Sudahkah kita memanfaatkan momentum ini?

Siapkah kita menerima jamuan Allah berupa rahmat, ampunan serta anugerah yang tak ada bandingannya di bulan suci ini?

Maka ingatlah selalu firman-Nya,

وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

“Dan bertobatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS.An-Nur:31)

Dalam ayat lain Allah swt berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةٗ نَّصُوحًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya.” (QS.At-Tahrim:8)

Marilah kita memohon taufik dari Allah agar mampu bertaubat di bulan yang mulia ini. Sisihkan waktu untuk memperbanyak ibadah dan memohon ampunan dari Allah swt. Karena apabila di bulan Ramadhan saja kita tidak mendapat ampunan, bagaimana kita akan berharap ampunan di bulan-bulan yang lain?

Semoga bermanfaat

KHAZANAH ALQURAN

10 Nasihat Penyubur Iman di Tengah Wabah Pandemi Corona

Hari-hari ini kita menghadapi musibah wabah pandemi corona yang merata hampir di seluruh dunia. Namun, sedahsyat apapun wabah ini terjadi seorang muslim tidak seharusnya berputus asa dari pertolongan Allah Ta’ala, oleh karenanya dalam artikel kali ini kita akan membahas 10 nasihat yang akan menyuburkan iman kita di masa pandemi ini

Nasihat Pertama

Kita harus meyakini bahwa apa pun yang terjadi, maka itu semua telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك، ولو اجتمعوا على أن يضروك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك، رُفعت الأقلام وجفت الصحف.

“Ketahuilah bahwa jika seluruh umat bersatu untuk memberikanmu suatu manfaat, maka mereka tidak akan bisa memberikanmu manfaat kecuali sesuai apa yang telah Allah tuliskan untukmu. Dan jika mereka bersatu untuk memberikanmu suatu madharat, maka mereka tidak akan bisa memberikanmu madharat kecuali sesuai apa yang telah Allah tuliskan untukmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”

Nasihat Kedua

Bertakwa dan bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkan kita untuk mendapatkan jalan keluar.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَن يَتَّقِ اللَّـهَ يَجعَل لَهُ مَخرَجًا * وَيَرزُقهُ مِن حَيثُ لا يَحتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّل عَلَى اللَّـهِ فَهُوَ حَسبُهُ

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Dia akan memberikan baginya jalan keluar dan memberikan baginya rezeki dari arah yang tidak disangka-disangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah maka Dia adalah cukup baginya.”

Nasihat Ketiga

Menempuh sebab untuk mencegah dan menghindari wabah corona tidaklah menafikan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata,

الالتفات إلى الأسباب شرك في التوحيد، ومحو الأسباب أن تكون أسبابا نقص في العقل، والإعراض عن الأسباب بالكلية قدح في الشرع.

“Bersandar pada sebab adalah kesyirikan dalam bertauhid, menafikan sebab adalah kecacatan dari akal, dan berpaling dari sebab seluruhnya adalah celaan terhadap syari’at.”

Di antara kesalahan lainnya dalam masalah ini adalah berkata, “Kita tidak takut kepada corona, kita hanya takut kepada Allah,” kemudian tidak menempuh sebab sama sekali untuk mencegah dan menghindari wabah corona. Ketahuilah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling takut kepada Allah, akan tetapi setiap sebelum berangkat perang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum selalu melakukan persiapan, seperti perbekalan, senjata, dan baju perang.

Nasihat Keempat

Meyakini bahwa wabah ini terjadi karena dosa-dosa kita, sembari ber-husnuzhan kepada Allah dan kepada orang lain.

Syaikh Sulaiman ar-Ruhailiy hafizhahullah berkata,

من الأدب عند نزول البلاء أن يسيء الإنسان الظن بنفسه فيقول: لعل الله ابتلاني وابتلى الناس بسبب ذنوبي، فيتوب، ويحسن الظن بالله ويعلم أن لله في ذلك حكمة، ويحسن الظن بغيره ويقول: لعل الله أراد رفعتهم.

“Di antara adab ketika turun musibah adalah hendaknya seseorang berpikir buruk tentang dirinya dengan berkata, ‘Mungkin Allah mengujiku dan orang-orang lainnya karena dosa-dosaku,’ sehingga dia pun bertaubat. Dan hendaknya dia ber-husnuzhan kepada Allah dan mengetahui bahwa Allah memiliki hikmah di balik semua ini. Dan hendaknya dia ber-husnuzhan kepada orang lain dengan berkata, ‘Mungkin Allah hendak mengangkat derajat mereka.’”

Nasihat Kelima

Bersabar atas musibah yang menimpa kita, dan meyakini bahwa pasti ada hikmah dan pahala yang besar dari Allah di balik semua ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَاصبِروا ۚ إِنَّ اللَّـهَ مَعَ الصّـٰبِرينَ

“Bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَنَبلُوَنَّكُم بِشَىءٍ مِنَ الخَوفِ وَالجوعِ وَنَقصٍ مِنَ الأَموٰلِ وَالأَنفُسِ وَالثَّمَرٰتِ ۗ وَبَشِّرِ الصّـٰبِرينَ * الَّذينَ إِذا أَصـٰبَتهُم مُصيبَةٌ قالوا إِنّا لِلَّـهِ وَإِنّا إِلَيهِ رٰجِعونَ * أُولـٰئِكَ عَلَيهِم صَلَوٰتٌ مِن رَبِّهِم وَرَحمَةٌ ۖ وَأُولـٰئِكَ هُمُ المُهتَدونَ

“Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Mereka itulah orang-orang yang mendapat keberkahan dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Nasihat Keenam

Lihatlah betapa lemahnya manusia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala! Renungkanlah bagaimana canggihnya teknologi dan majunya ilmu pengetahuan, yang selama ini banyak disombongkan oleh orang-orang kafir dan fasiq, ternyata tidak mampu untuk menahan dan menghindari salah satu dari makhluk Allah yang sangat kecil!

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلِلَّـهِ جُنودُ السَّمـٰوٰتِ وَالأَرضِ ۚ وَكانَ اللَّـهُ عَزيزًا حَكيمًا

“Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi. Dan Allah adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَخُلِقَ الإِنسـٰنُ ضَعيفًا

“Dan manusia diciptakan bersifat lemah.”

Nasihat Ketujuh

Kembalikan setiap perkara kepada ahlinya, yang dalam masalah ini adalah para ulama’ dan umara’. Bertanyalah kepada para ulama’ jika kita tidak tahu hukum dari sebuah permasalahan, sehingga kita tidak berkata dan berbuat tanpa dilandasi ilmu. Dengarkanlah dan patuhilah himbauan dan perintah dari pemerintah selama tidak ada kemaksiatan di dalamnya, apalagi jika himbauan dan perintah tersebut adalah untuk kemashlahatan umum di tengah wabah corona ini. Demikian pula, bertanyalah kepada para dokter tentang permasalahan wabah corona ini sehingga kita mendapatkan informasi dan ilmu yang benar, bukan informasi bohong atau hoaks.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَسـَٔلوا أَهلَ الذِّكرِ إِن كُنتُم لا تَعلَمونَ

“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِذا جاءَهُم أَمرٌ مِنَ الأَمنِ أَوِ الخَوفِ أَذاعوا بِهِ ۖ وَلَو رَدّوهُ إِلَى الرَّسولِ وَإِلىٰ أُولِى الأَمرِ مِنهُم لَعَلِمَهُ الَّذينَ يَستَنبِطونَهُ مِنهُم

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil-amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang bisa menarik kesimpulan yang benar tentangnya akan dapat mengetahuinya.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يـٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا إِن جاءَكُم فاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنوا أَن تُصيبوا قَومًا بِجَهـٰلَةٍ فَتُصبِحوا عَلىٰ ما فَعَلتُم نـٰدِمينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum karena kejahilan kalian yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian tersebut.”

Nasihat Kedelapan

Janganlah futur ketika wabah merebak dan setelah wabah berakhir nanti bi-idznillah. Gunakan waktu yang banyak selama periode berdiam diri di rumah ini untuk menuntut ilmu syar’iy, beramal ibadah, dan mengerjakan kewajiban kita yang lainnya. Walaupun kajian-kajian ilmu diliburkan sementara, manfaatkan media yang ada untuk tetap menuntut ilmu. Dan ke depannya jangan sia-siakan lagi kajian ilmu yang ada. Demikian pula, saat ini kita tidak bisa shalat jama’ah di masjid, sehingga membuat banyak orang sangat merindukannya, bahkan orang-orang yang selama ini tidak pernah pergi ke masjid. Oleh karena itu, ke depannya jangan sia-siakan lagi kesempatan untuk shalat jama’ah ke masjid ketika wabah corona ini sudah mereda bi-idznillah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

احرص على ما ينفعك، واستعن بالله، ولا تعجز.

“Bersemangatlah untuk apa-apa yang bermanfaat untukmu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah.”

Nasihat Kesembilan

Tolonglah orang yang mengalami kesulitan, terutama mereka yang terdampak dengan merebaknya wabah corona ini. Bantu mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bantu para dokter dan tenaga medis dengan berdiam diri di rumah jika tidak ada hal darurat yang mengharuskan kita untuk keluar rumah. Dan bantu mereka dengan mendonasikan sebagian rezeki kita untuk membeli APD dan alat-alat kesehatan lainnya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه.

“Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.”

Nasihat Kesepuluh

Tidak boleh menimbun bahan makanan, masker, APD, dan barang-barang lainnya yang sangat dibutuhkan saat ini dengan kadar yang melebihi kebutuhan dirinya dan keluarganya.

Dari Ma’mar ibn ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يحتكر إلا خاطئ.

“Tidaklah seseorang menimbun kecuali dia adalah pendosa.”

Disadur dari buku “Tuntunan Ibadah Ramadhan di Tengah Wabah Corona” (download di sini)

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56433-10-nasihat-penyubur-iman-di-tengah-wabah-pandemi-corona.html

Antara Doa dan Pemberian Allah

SAUDARAKU, Syaikh Ibnu Athaillah menulis dalam karyanya, Al Hikam, “Jangan sampai permintaanmu kepada Allah, engkau jadikan sebab pemberian Allah.” Jadi, manakala kita berdoa, meminta kepada Allah, janganlah kita menganggap bahwa Allah memberi disebabkan permintaan kita kepada-Nya. Karena jika demikian, maka berarti Allah diatur oleh kita. Tidak demikian.

Hakikatnya, doa yang kita panjatkan kepada Allah adalah bentuk ibadah kita kepada-Nya. Demikian juga dengan ikhtiar yang kita lakukan, itu adalah amal sholeh kita. Perkara Allah memberi, Allah mengabulkan, maka itu mutlak kehendak Allah semata.

Sungguh, Allah Maha Mengetahui keperluan seluruh makhluk-Nya, termasuk kita. Bahkan, kita punya keperluan juga itu adalah kehendak Allah. Dan, yang menyediakan segala sesuatu yang bisa memenuhi keperluan kita pun adalah Allah. Jadi, sebelum kita meminta kepada Allah, maka sesungguhnya Allah sudah mengetahui keperluan kita. Mengapa? Karena Allah yang menciptakan kita.

Jadi, ketika Allah memerintahkan kita untuk berdoa dan meminta kepada-Nya, maka itu bukanlah agar kita memberitahu keperluan kita. Melainkan supaya kita beribadah, tunduk, bersandar dan memohon hanya kepada-Nya. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya doa adalah ibadah.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)

Kita bisa merasakan lapar, namun kita tidak mengerti mengapa kita harus merasakan lapar. Kemudian, kita memerlukan makanan dan makanan pun ada sehingga kita bisa menutupi rasa lapar kita. Bagaimana itu terjadi? Tiada lain adalah karena Allah menciptakan kita, Allah menciptakan rasa lapar, dan Allah pula yang menciptakan makanan. Allah menciptakan haus, Allah pula menciptakan air. Allah menciptakan paru-paru, dan Allah pula menciptakan oksigen. Subhaanalloh.

Saudaraku, Allah memberi bukan karena kita meminta, namun karena Allah Maha Memberi. Kita diperintahkan berdoa dan meminta, adalah sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Bayangkan jikalau setiap yang kita perlukan, hanya bisa kita peroleh dengan cara meminta terlebih dahulu, tentu banyak hal yang sampai hari ini belum kita miliki padahal sangat kita perlukan.

Jangan dulu jauh-jauh, kita perhatikan diri kita sendiri. Perhatikan rambut kita, warnanya, bentuknya, tingkat kelenturannya, jumlahnya, kecocokannya dengan bentuk wajah kita, pertumbuhannya meski berulang kali kita pangkas, ketiadaan rasa sakit ketika kita memangkasnya. Maa syaa Allah.. Kita tidak pernah memintanya, namun Allah memberikan secara sempurna dan sangat detail, cocok dengan keperluan kita. Itu baru rambut, belum organ lainnya.

Rasulullah Saw bersabda, “Doa adalah saripati ibadah” (HR. Tirmidzi). Yang terpenting dari doa bukanlah terkabulnya doa, yang terpenting dari doa adalah kita menjadi hamba Allah yang tunduk dan hanya menjadikan Allah semata sebagai tempat bersandar dan meminta. Boleh jadi yang kita dapatkan sesuai dengan doa kita, namun boleh jadi tidak sesuai dengan doa kita. Namun, itu tidaklah penting, karena yang penting dari doa kita adalah kita mentauhiidkan Allah Swt.

Sebaik-baiknya doa adalah yang dicontohkan oleh para nabi dan rasul. Salah satu doa yang bisa kita contoh adalah doa nabi Yunus a.s manakala beliau berdoa, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zholim.” (QS. Al Anbiyaa [21] : 87)

Dalam doa ini, nabi Yunus a.s mentauhiidkan Allah Swt., lalu bertasbih mensucikanNya bahwa setiap perbuatan Allah pastilah yang terbaik meski hal itu tidak sesuai keinginan kita sebagai makhluk. Apalah arti keinginan kita, karena keinginan kita seringkali didorong oleh hawa nafsu. Kemudian, nabi Yunus a.s merendahkan diri di hadapan Allah Swt. dengan mengakui tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki kekuatan apa-apa kecuali jika Allah memberikan.

Maka saudaraku, semoga kita termasuk golongan orang yang gemar berdoa kepada Allah sebagai bentuk ibadah kita kepada-Nya. Diiringi rasa optimis, baik sangka dan keyakinan bahwa apapun takdir Allah pastilah yang terbaik bagi kita. Wallohualam bishowab. [*]

Oleh KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK