Manhajus Salikin: Pembatal Shalat

Apa saja pembatal shalat yang dibahas dalam kitab Manhajus Salikin karya Syaikh As-Sa’di.

# Fikih Manhajus Salikin karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di

Kitab Shalat

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitabnya Manhajus Salikin,

تَبْطُلُ الصَّلاَةُ :

-1بِتَرْكِ رُكْنٍ أَوْشَرْطٍ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ عَمْدًا أَوْسَهْوًا أَوْجَهْلاً

-2وَبِتَرْكِ وَاجِبٍ عَمْدًا

-3وَبِالكَلاَمِ عَمْدًا

-4وَبِالقَهْقَهَةِ

-5وَبِالحَرَكَةِ الكَثِيْرَةِ عُرْفًا المُتَوَالِيَةِ لِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ

لِأَنَّهُ فِي الأُوَلِ تَرَكَ مَا لاَ تَتِمُّ العِبَادَةُ إِلاَّ بِهِ وَبِالأَخِيْرَاتِ فَعَلَ مَايُنْهَى عَنْهُ فِيْهَا

“Shalat itu batal karena:

  1. dengan meninggalkan rukun atau syarat padahal ia mampu melakukannya; meninggalkan di sini dengan sengaja, lupa, atau tidak tahu.
  2. meninggalkan wajib shalat secara sengaja,
  3. berbicara dengan sengaja,
  4. tertawa (dengan keluar suara),
  5. bergerak banyak dalam shalat secara ‘urf (anggapan orang) disebut banyak, dilakukan berturut-turut, dan bukan darurat.

Dua yang pertama jadi pembatal karena ibadah tidaklah sempurna kecuali dengannya. Sedangkan tiga berikutnya dianggap membatalkan shalat karena melakukan yang dilarang di dalam shalat.”

Shalat batal berarti belum gugur kewajiban

Bab kali ini menjelaskan tentang pembatal dan hal yang dimakruhkan, di mana tidak disyariatkan sujud sahwi karena tidak ada dalil akan hal itu. Shalat yang rusak (batal) berarti shalat tersebut belum melepas kewajiban, ia dituntut melakukan shalat tersebut kembali, baik dalam bentuk adaa-an (kerjakan shalat pada waktunya) maupun qadha-an (kerjakan shalat di luar waktunya). Sedangkan makruh berarti sesuatu yang diperintahkan untuk ditinggalkan dengan larangan tidak tegas.

Kaedah meninggalkan syarat, rukun, dan wajib shalat

  1. Jika seseorang meninggalkan syarat, rukun, atau wajib shalat dengan sengaja padahal mampu melakukannya, maka shalatnya tidaklah sah.
  2. Jika meninggalkan syarat, rukun dalam keadaan tidak tahu atau lupa, maka wajib dilakukan kembali lalu melakukan sujud sahwi.
  3. Jika meninggalkan wajib shalat dalam keadaan tidak tahu atau lupa, maka ditambal dengan sujud sahwi.
  4. Jika meninggalkan syarat atau rukun shalat karena tidak mampu, maka tidak ada kewajiban apa pun sebagai pengganti.

Kaedah meninggalkan perintah dan melakukan larangan karena lupa

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan penting yang perlu diperhatikan bahwa siapa yang melakukan yang haram dalam keadaan lupa, maka ia seperti tidak melakukannya. Sedangkan yang meninggalkan perintah karena lupa, itu bukan alasan gugurnya perintah. Namun bagi yang mengerjakan larangan dalam keadaan lupa, maka itu uzur baginya sehingga tidak terkenai dosa.” (I’lam Al-Muwaqi’in, 2:51).

Peringatan!

Orang yang tidak tahu tidak ada udzur, kalau ia lakukan kesalahan untuk shalat saat ini, maka ia mengulangi shalat yang saat itu saja. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang yang jelek shalatnya (yaitu Khalad bin Raafi’, cerita hadits ini ada dalam hadits Abu Hurairah dan hadits Rifa’ah bin Raafi’). Adapun shalat yang dulu-dulu tidak perlu diulangi. Karena beban hukum ada ketika telah sampainya ilmu. Lihat Ghayah Al-Muqtashidin, 1:286.

Ada kaedah dari Ibnu Taimiyah yang berbunyi,

أَنَّ الْحُكْمَ لَا يَثْبُتُ إلَّا مَعَ التَّمَكُّنِ مِنْ الْعِلْمِ

“Hukum tidaklah ditetapkan kecuali setelah sampainya ilmu.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 19:226).

Dalil kaedah ini adalah firman Allah,

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

Dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al Isra’: 15).

Kenapa sampai meninggalkan syarat, rukun, dan wajib shalat membatalkan shalat?

Dalam Ghayah Al-Muqtashidin (1:286) disebutkan bahwa hal ini dikarenakan meninggalkan sesuatu yang shalat tidaklah sempurna kecuali dengannya dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim, no. 1718)

Masih berlanjut pembahasan tentang pembatal shalat insya Allah.

Referensi:

  1. Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  2. Syarh Manhaj AsSalikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23840-manhajus-salikin-pembatal-shalat.html

Mengapa Menolak Jenazah Covid-19?

Kewaspadaan berbeda dengan kepanikan. Sikap waspada dibangun di atas dasar ilmu yang jelas. Adapun kepanikan biasanya hanya berlandaskan rumor yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Mewaspadai penularan virus Covid-19 adalah sebuah keharusan. Sebab wabah tersebut memang amat membahayakan. Namun kewaspadaan itu tidak boleh kebablasan. Hingga menyeret kepada sikap panik berlebihan.

Contohnya: adalah menolak jenazah pasien Covid-19.

Fenomena yang terjadi di berbagai daerah ini, tidak bisa dibenarkan dari aspek manapun. Aspek sosial, kesehatan maupun agama.

Pertama: Aspek Sosial

Dalam kondisi wabah seperti ini, semestinya kepedulian antar masyarakat justru dihidupkan. Kita harus saling peduli, bahu membahu dan bantu membantu.

Para penderita Covid-19 adalah korban yang sepatutnya mendapatkan empati. Bukan malah dikucilkan, dibenci atau disakiti.

Saat mereka mengalami intimidasi sedemikian rupa, justru akan merugikan kita bersama.

Sebab dapat membuat orang yang mengalami gejala, merasa khawatir untuk melapor dan memeriksakan diri. Ini sangat berbahaya. Mengakibatkan virus tidak terdeteksi. Sehingga menyulitkan untuk memutus rantai penyebarannya. Berpeluang besar untuk menularkan virus tersebut kepada orang-orang di sekelilingnya. Tanpa disadari.

Apalagi bila penderita itu adalah tenaga medis dan para medis. Mereka adalah pahlawan kita saat ini. Mereka rela mempertaruhkan nyawa demi merawat para korban.

Pantaskah orang-orang yang telah berjasa besar, justru dikucilkan masyarakat, diusir dari kontrakan atau ditolak jenazahnya?

Bukankah itu adalah sikap membalas air susu dengan air tuba? Di mana hati nurani kita?

Kedua: Aspek Kesehatan

Banyak penolakan terjadi, dikarekan rumor yang berkembang, bahwa jenazah bisa menularkan virus. Sehingga membahayakan lingkungan sekitar.

Padahal para pakar kesehatan telah meluruskan pemahaman keliru tersebut.

dr. Edi Suyanto SpF, SH, MH, Kepala Departemen Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSU dr. Soetomo Surabaya mengatakan,

“Secara ilmiah ilmu kedokteran, korban atau jenazah kemungkinan menularnya sudah tidak ada. Apalagi virus corona. Dia (virus corona) harus hidup pada inangnya. Inangnya sudah mati, virusnya juga ikut mati. Sama dengan HIV/AIDS sama H5N1 (Flu Burung) “.

Hermawan Saputra, anggota Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menambahkan, “Corona ditularkan melalui batuk dan bersin. Kira-kira kalau orang meninggal apa bisa batuk dan bersin?”

Lantas bagaimana dengan cairan yang mungkin keluar dari jenazah?

Potensi penularan dari cairan tersebut, telah diantisipasi dengan protokol yang ketat.

Jenazah akan dibungkus plastik, lalu dikafani, kemudian dibungkus plastik lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam kantong jenazah. Lalu dimasukkan ke dalam peti yang tidak tembus air. Di setiap lapisan tadi dilakukan dekontaminasi. Terakhir jenazah sesegera mungkin dimakamkan. Di lokasi yang tidak dekat dengan sumber mata air.

Setelah berbagai prosedur cermat di atas, apalagi yang dikhawatirkan?

Alhamdulillah, hingga kini tidak ada laporan dari negara mana pun di seluruh dunia mengenai kasus penularan virus Corona melalui jenazah.

Ketiga: Aspek Agama

Dalam Islam, hukum memakamkan jenazah adalah fardhu kifayah. Demikian ijma’ para ulama. Bila tidak dilakukan, akibatnya semua orang bakal memikul dosanya.

Saking pentingnya hal ini, agama kita memberi aturan agar menyegerakan perawatan, pengantaran dan pemakaman jenazah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَسْرِعُوا بِالْجَنَازَةِ

“Segerakanlah (penanganan) jenazah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Manakala ada penolakan jenazah, itu akan berakibat tertundanya pemakaman. Bahkan di suatu wilayah, karena ditolak di mana-mana, jenazah sempat tertahan hingga dua hari!

Sudah matikah naluri kemanusiaan?

Keimanan seseorang tidak dianggap sempurna, kecuali manakala ia mencintai saudaranya, seperti ia mencintai dirinya sendiri.

Bila jenazah yang terkatung-katung tadi adalah orang tua kita, bagaimana gerangan perasaan kita?

Ingat, balasan yang akan didapatkan seseorang, adalah sesuai dengan perbuatan yang ia lakukan.

Pesantren Tunas Ilmu Kedungwuluh Purbalingga.

Ustadz Abdullah Zaen, M.A.

Read more https://konsultasisyariah.com/36292-mengapa-menolak-jenazah-covid-19.html

Perbedaan Al-Jannah, Al-Jinnah dan Junnah

Kali ini kita kembali mengkaji berbagai keindahan bahasa dalam Al-Qur’an.

Ada banyak kata dalam Al-Qur’an yang memiliki susunan huruf yang sama tapi berbeda dalam harakatnya. Uniknya satu perbedaan harakat ini membawa kita pada perbedaan makna yang sangat jauh.

Seperti contoh dibawah ini :

1. Al-Jannah الجَنَّة (Bila menggunakan harakat fathah untuk huruf ج, maka kata ini memiliki arti “Surga” atau “Kebun”.

Allah swt berfirman :

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَنَّةِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ

“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.” (QS.Al-Baqarah:82)

Atau dalam ayat lain Allah swt berfirman :

إِنَّا بَلَوۡنَٰهُمۡ كَمَا بَلَوۡنَآ أَصۡحَٰبَ ٱلۡجَنَّةِ

“Sungguh, Kami telah menguji mereka (orang musyrik Mekah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun.” (QS.Al-Qalam:17)

2. Al-Jinnah الجِنَّة (Bila menggunakan harakat kasrah pada huruf ج, maka kata ini memiliki arti “Jin” atau “Setan”.

ٱلَّذِي يُوَسۡوِسُ فِي صُدُورِ ٱلنَّاسِ – مِنَ ٱلۡجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ

“Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.” (QS An-Nas:5-6)

3. Junnah جُنَّة (Bila menggunakan harakat dhommah pada huruf ج, maka kata ini memiliki arti “Perisai” atau “Pelindung”.

ٱتَّخَذُوٓاْ أَيۡمَٰنَهُمۡ جُنَّةٗ فَصَدُّواْ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ

“Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai.”
(QS.Al-Munafiqun:2)

Itulah beberapa makna dari kata جنة. Semoga dapat menambah khazanah keilmuan kita.

KHAZANAH ALQURAN

Bukti Nyata Kematian Bukan Akhir Hidup Manusia

Pasien-pasien mengaku mengalami pengalaman berbeda saat mati sementara itu.

Kematian merupakan misteri yang sukar diterima logika manusia. Masih banyak yang bertanya apakah ada alam lain setelah mati ataukah mati menjadi akhir dari perjalanan manusia?

Untuk menjawab pertanyaan itu, tim dokter dari Universitas Southampton, Inggris, merilis hasil empat tahun penelitian terhadap 2.060 pasien gagal jantung. Mereka tersebar di 15 rumah sakit di Inggris, Amerika Serikat, hingga Austria. Dari 330 pasien selamat, ada 140 orang yang disurvei.

Dilansir dari Telegraph, dari riset tersebut, peneliti menemukan ada 40 persen pasien yang mengalami kesadaran setelah jantung mereka dinyatakan berhenti secara klinis sebelum berdetak kembali. Seorang pria bahkan mengingat, saat rohnya meninggalkan jasad, dia dapat menyaksikan jenazahnya dari pojok ruangan. Saat diwawancara, pekerja sosial berusia 57 tahun itu mampu mendeskripsikan bagaimana para perawat bekerja dan suara mesin dinyalakan.

Pimpinan peneliti, Dr Sam Parnia dari Universitas Southampton, menjelaskan, dalam kasus ini pasien tersebut bisa menyadari apa yang terjadi selama tiga menit kematiannya. Padahal, secara klinis, otak tidak bisa bekerja saat jantung berhenti.

Masih dari riset tersebut, pasien-pasien yang diwawancarai mengaku mengalami pengalaman berbeda saat mati sementara itu. Ada yang merasa ditenggelamkan ke dalam air dalam, ada juga yang merasakan kedamaian. Karena itu, dia mengatakan, penelitian ini membutuhkan penyelidikan lebih lanjut.

Dr Musa bin Fathullah Harun dalam bukunya, Perjalanan Rabbani, menjelaskan, kematian merupakan pindahnya roh dari jasad, bukan berakhirnya kehidupan. Kematian pun hanya menjadi perpindahan dari alam dunia yang fana ke alam barzakh, yaitu alam pemisah antara dunia dan akhirat.

Maut menjadi pintu gerbang untuk melalui akhirat. Roh manusia yang wafat akan tinggal di alam barzakh hingga hari kebangkitan manusia dari kuburnya pada kiamat kelak.

Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Imam Tirmidzi. “Sesungguhnya kubur itu awal persinggahan dari persinggahan-persinggahan akhirat. Barang siapa yang selamat darinya, yang sesudahnya lebih mudah darinya. Barang siapa yang tidak selamat darinya, yang sesudahnya lebih sukar darinya. (HR Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad dari Utsman bin Affan RA).

Tidak hanya menunggu datangnya sangkakala sebagai pertanda kiamat tiba, roh pun bisa berkunjung. Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam bukunya berjudul Roh mengungkapkan, selama di alam barzakh, roh orang-orang yang meninggal dunia bisa saling bertemu.

Ibnu Qoyyim mendasarkan dalilnya pada QS an-Nisa ayat 69. Allah SWT berfirman, “Dan siapa yang menaati Allah dan Rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, syuhada, dan orang-orang yang saleh. Mereka merupakan teman yang sebaik-baiknya.”

Ibnu Qoyyim menulis bahwa kebersamaan ini berlaku di dunia, alam barzakh, hingga hari pembalasan. Menurut Ibnu Qoyyim, ayat tersebut turun saat para sahabat Rasulullah SAW khawatir jika Nabi meninggal dunia dan berpisah dengan mereka. Jarir meriwayatkan dari Manshur, dari Abudh-Dhuha dan Masruq. “Para sahabat Nabi shalallahu’alaihi wa sallam berkata kepada beliau, ‘Tidak seharusnya kita berpisah dengan engkau di dunia ini. Jika engkau meninggal maka engkau akan ditinggikan di atas kami sehingga kami tidak bisa melihat engkau.'”

Di samping itu, Allah SWT juga berfirman di dalam QS al-Fajr: 27-30. “Hai, jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka, masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

Sang syekh juga mengungkapkan, roh terdiri atas dua macam. Roh yang mendapatkan siksa dan roh yang mendapatkan kenikmatan. Roh yang mendapatkan siksaan akan disibukkan dengan siksaan yang menimpanya. Mereka pun tidak bisa saling berkunjung dan bertemu. Sementara itu, roh-roh yang mendapatkan kenikmatan mendapatkan kebebasan dan tidak terbelenggu.

KHAZANAH REPUBLIKA

Ramadhan Saat Wabah Covid-19, Habib Zen: Sambut dengan Iman

Menyambut Ramadhan di saat wabah Covid-19 bisa dengan segenap iman.

Ketua Umum Rabithah Alawiyah, Habib Zein bin Umar Smith, mengatakan selama ini umat Islam selalu menyambut datangnya Ramadhan dengan gembira untuk beribadah. Baca Juga

Menurut dia, biasanya umat Islam mengekspresikannya dengan melakukan persiapan yang sifatnya lahir atau tampak, seperti menyiapkan kebutuhan makanan.

Namun, di tengah situasi virus Covid-19 ini dia mengimbau agar umat Islam melakukan persiapan yang sifatnya batiniyah atau sesuatu yang tidak tampak.

“Banyak terlupa bahwa sebenarnya yang perlu disiapkan sekarang adalah masalah batiniyah, bagaimana kita menghadapi Ramadhan. Nah, karena sekarang ada musibah, ini sebenarnya satu kesempatan untuk mempersiapkan datangnya Ramadhan dengan jiwa, dengan hati, dengan keimanan,” ujarnya kepada Republika.co.id, Jumat (10/4).

Menurut dia, seluruh umat Islam memang dianjurkan mempersiapkan diri untuk beribadah di bulan Ramadhan. Namun, untuk menghindari bahaya virus Covid-19, pada Ramadhan kali ini umat Islam hendaknya beribadah di rumahnya masing-masing.

“Sekarang Allah SWT mentakdirkan kita untuk beribadah antara seorang diri dengan Sang Khaliq (Pencipta). Jadi, sifatnya lebih ibadah sirri, ibadah sendiri, bermuhasabah, bermunajat kepada Allah,” ucapnya.

Dia menambahkan, dalam Ramadhan terkadang umat terlalu fokus pada masalah ritual keagamaan yang sifatnya berjamaah. Namun, dalam siatuasi sekarang ini umat diberikan kesempatan untuk berhubungan dengan Allah secara personal.

“Ini adalah kesempatan yang bisa beribadah antara kita sendiri dan Allah SWT. Tinggal sekarang bagaimana kita mempersiapkan diri, memohon ampun, dan berdoa agar semua musibah yang dialami umat manusia diangkat Allah SWT,” kata Habib Zein.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bolehkah Petugas Medis tak Puasa Ramadhan?

Petugas medis wajib meng-qadha puasa Ramadhan di lain waktu.

Ramadhan sudah di depan mata. Menjadi kewajiban bagi seorang Muslim yang telah baligh untuk menjalankan ibadah puasa. Meski demikian, pada Ramadhan tahun ini, beberapa orang dengan profesi tertentu dituntut bekerja ekstra, terutama di antaranya petugas medis dalam merawat pasien-pasien yang terpapar penyakit virus corona (Covid-19).

Untuk melakukan tugas tersebut, petugas medis perlu fisik dan stamina prima. Nah, dengan pekerjaan yang menguras stamina itu, bolehkah seorang petugas medis yang menangani pasien Covid-19 tidak berpuasa? Adakah keringanan bagi mereka agar dapat melaksanakan puasa di lain hari (meng-qadha puasa), misalnya ketika wabah Covid-19 telah berakhir?

Menjawab pertanyaan ini, Ustaz Wijayanto menerangkan, seorang Muslim yang mempunyai hambatan berat diperbolehkan tidak berpuasa Ramadhan. Kendati demikian, orang tersebut tetap dikenakan ke wajiban meng-qadha puasa dan membayar fidyah. Hal ini sesuai dengan keterangan dalam surah al-Baqarah ayat 184 dan 185.

Ustaz Wijayanto menjelaskan, petugas medis tetap berkewajiban meng-qadha atau mengganti puasa Ramadhannya di lain waktu. Sebab, halangan yang membuat petugas medis tidak berpuasa tidak bersifat permanen atau terus-menerus.

“Orang Muslim yang berat menjalankan puasa, boleh tidak berpuasa, tapi membayar fidyah. Harus meng-qadha karena halangan sesaat, bukan permanen,” kata Ustaz Wijayanto.

Ustaz Jeje Zainuddin juga menjelaskan adanya rukhsah atau keringanan bagi orang yang bekerja berat untuk tidak berpuasa. Ia menjelaskan, para dokter dan tenaga medis lainnya bisa tergolong orang yang menda patkan rukhsah untuk tidak berpuasa ketika mereka harus bekerja ekstra untuk mem berikan penanganan kepada pasien tanpa henti.

Para dokter dan tenaga medis itu, menurut sebagian fukaha, bisa masuk kategori alladziina yuthîqûnahu, yaitu orang yang sang gup berpuasa tetapi dengan susah payah. Hal ini tertulis dalam surah Al Baqarah ayat 184.

KHAZANAH REPUBLIKA

Gaji Berkurang Kok Hidup Semakin Berkah

SESEORANG datang kepada Imam Syafii mengadukan tentang kesempitan hidup yang ia alami. Dia memberi tahukan bahwa ia bekerja sebagai orang upahan dengan gaji 5 dirham. Dan gaji itu tidak mencukupinya.

Namun anehnya, Imam Syafii justru menyuruh dia untuk menemui orang yang mengupahnya supaya mengurangi gajinya menjadi 4 dirham. Orang itu pergi melaksanakan perintah Imam Syafii sekalipun ia tidak paham apa maksud dari perintah itu.

Setelah berlalu beberapa lama orang itu datang lagi kepada Imam Syafii mengadukan tentang kehidupannya yang tidak ada kemajuan. Lalu Imam Syafii memerintahkannya untuk kembali menemui orang yang mengupahnya dan minta untuk mengurangi lagi gajinya menjadi 3 dirham. Orang itupun pergi melaksanakan anjuran Imam Syafii dengan perasaan sangat heran.

Setelah berlalu sekian hari orang itu kembali lagi menemui Imam Syafii dan berterima kasih atas nasihatnya. Ia menceritakan bahwa uang 3 dirham justru bisa menutupi seluruh kebutuhan hidupnya, bahkan hidupnya menjadi lapang. Ia menanyakan apa rahasia di balik itu semua?

Imam Syafii menjelaskan bahwa pekerjaan yang ia jalani itu tidak berhak mendapatkan upah lebih dari 3 dirham. Dan kelebihan 2 dirham itu telah mencabut keberkahan harta yang ia miliki ketika tercampur dengannya. Lalu Imam Syafii membacakan sebuah syair:

Dia kumpulkan yang haram dengan yang halal supaya ia menjadi banyak.
Yang haram pun masuk ke dalam yang halal lalu ia merusaknya.

Barangkali kisah ini bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita dalam bekerja. Jangan terlalu berharap gaji besar bila pekerjaan kita hanya sederhana. Dan jangan berbangga dulu mendapatkan gaji besar, padahal etos kerja sangat lemah atau tidak seimbang dengan gaji yang diterima.Baca jugaYuk Menjadi Orang Terbaik seperti Kata Rasulullah


Kemana Pun Menghadap, Keagungan Allah Kita Temukan


Inikah Tanda-Tanda Akhir Zaman Itu?

Bila gaji yang kita terima tidak seimbang dengan kerja, artinya kita sudah menerima harta yang bukan hak kita. Itu semua akan menjadi penghalang keberkahan harta yang ada, dan mengakibatkan hisab yang berat di akhirat kelak.

Harta yang tidak berkah akan mendatangkan permasalahan hidup yang membuat kita susah, sekalipun bertaburkan benda-benda mewah dan serba lux. Uang banyak di bank tapi setiap hari cek-cok dengan istri. Anak-anak tidak mendatangkan kebahagiaan sekalipun jumlahnya banyak. Dengan teman dan jiran sekitar tidak ada yang baikan.

Kendaraan selalu bermasalah. Ketaatan kepada Allah semakin hari semakin melemah. Pikiran hanya dunia dan dunia. Harta dan harta. Penglihatan selalu kepada orang yang lebih dalam masalah dunia. Tidak pernah puas, sekalipun mulutnya melantunkan alhamdulillah tiap menit.

Kening selalu berkerut. Satu persatu penyakitpun datang menghampir. Akhirnya gaji yang besar habis untuk cek up ke dokter sana, periksa ke klinik sini. Tidak ada yang bisa di sisihkan untuk sedekah, infak dan amal-amal sosial demi tabungan masa depan di akhirat. Menjalin silaturrahim dengan sanak keluarga pun tidak.

Semakin kelihatan mewah pelitnya juga semakin menjadi. Masa bodoh dengan segala kewajiban kepada Allah. Ada kesempatan untuk salat ya syukur, tidak ada ya tidak masalah. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk serius dalam bekerja dan itqan, hingga rezeki kita menjadi berkah dunia dan akhirat

Semoga menjadi nasihat terutama buat diri saya dan kita semua. [*]

INILAH MOZAIK

Hukum Meninggalkan Shalat Jum’at

Shalat Jum’at adalah ibadah yang agung yang dilaksanakan di hari yang mulia. Ia juga merupakan syi’ar Islam yang besar. Hukumnya fardhu ‘ain bagi lelaki Muslim. Oleh karena itu, meninggalkan shalat Jum’at juga merupakan perkara yang fatal.

Meninggalkan shalat Jum’at adalah dosa besar

Dalam riwayat lain, dari Abul Ja’d Adh Dhamri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat jum’at tiga kali karena meremehkannya, maka Allah akan kunci hatinya” (HR. Abu Daud no.1052, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dalam riwayat lain, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثًا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

Barangsiapa yang meninggalkan shalat jum’at tiga kali padahal bukan kondisi darurat, maka Allah akan kunci hatinya” (HR. Ibnu Majah no.1126, dihasankan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Al Munawi rahimahullah menjelaskan makna hadits ini:

أي : ختم عليه وغشاه ومنعه ألطافه ، وجعل فيه الجهل والجفاء والقسوة ، أو صير قلبه قلب منافق

“Maksudnya: Allah akan mengunci hatinya, menutupnya dan menghalanginya dari kasih sayang Allah. Dan Allah akan jadikan kejahilan, kekasaran dan kekerasan hati padanya. Atau Allah akan jadikan hatinya seperti hati orang munafik” (Faidhul Qadir, 6/133).

Ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat Jum’at tanpa udzur, ia telah melakukan dosa besar. 

Bahkan dalam hadits yang lain, orang yang meninggalkan shalat Jum’at tanpa udzur diancam lebih keras lagi. Dari Abul Ja’d Adh Dhamri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن ترَك الجمعةَ ثلاثًا مِن غيرِ عذرٍ فهو منافقٌ

“barangsiapa yang meninggalkan shalat jum’at tiga kali tanpa udzur, maka dia orang munafik” (HR. Ibnu Hibban no.258, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib no.727).

Bahkan Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu mengatakan:

من ترَكَ الجمعةَ ثلاثَ جمعٍ متوالياتٍ فقد نَبذَ الإسلامَ وراءَ ظَهْرِهِ

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jum’at tiga kali berturut-turut maka ia telah melemparkan Islam ke belakang punggungnya” (HR. Al Mundziri dalam At Targhib wat Tarhib, 1/132, ia mengatakan: “sanadnya shahih”).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan:

ترك الجمعة لا يجوز، وهو على خطر، صاحبها على خطر إذا تعمد تركها، عند جمع من أهل العلم يراه كافراً إذا تعمد تركها

“Meninggalkan shalat jum’at itu tidak diperbolehkan. Orang yang melakukannya dalam bahaya besar, jika ia melakukannya dengan sengaja. Menurut sebagian ulama, orang yang melakukannya bisa kafir jika ia bersengaja meninggalkan shalat jum’at” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/9823/).

Meninggalkan shalat Jum’at karena udzur

Yang dicela dalam hadits-hadits di atas adalah yang meninggalkan shalat jum’at dengan sengaja, tanpa ada udzur. Karena ancaman dalam hadits dikaitkan dengan syarat “… karena meremehkannya”, “… tanpa udzur” atau “… padahal bukan kondisi darurat”. Adapun jika ada udzur atau kondisi darurat maka tidak berdosa dan bukan orang munafik.

Demikian juga sebagaimana disebutkan hadits dari Thariq bin Syihab radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الجمعةُ حقٌّ واجبٌ على كلِّ مسلمٍ فبجماعةٍ إلاَّ أربعةً عبدٌ مملوكٌ أوِ امرأةٌ أو صبيٌّ أو مريضٌ

“Shalat Jum’at adalah wajib bagi setiap Muslim dengan berjama’ah kecuali empat orang: hamba sahaya, wanita, anak kecil, orang sakit” (HR. Abu Daud no. 1067, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dalam riwayat lain dari Tamim Ad Dari radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الجمعةُ واجبٌ إلا على امرأةٍ أو صبيٍّ أو مريضٍ أو مسافرٍ أو عبدٍ

“Shalat Jum’at itu wajib bagi kecuali wanita, anak kecil, orang sakit, musafir atau hamba sahaya” (HR. Al Bukhari dalam at Tarikh Al Kabir, 2/337).

Maka budak, wanita, anak kecil, orang sakit, dan musafir tidak dicela dan tidak disebut munafik ketika meninggalkan shalat jum’at. Karena mereka memiliki udzur.

Dan diantara udzur yang menyebabkan bolehnya meninggalkan shalat Jum’at adalah adanya penyakit. Al Mardawi rahimahullah dalam kitab Al Insaf mengatakan:

وَيُعْذَرُ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ بِلَا نِزَاعٍ، وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ

“Diberi udzur untuk meninggalkan shalat jama’ah dan shalat jum’at bagi orang sakit tanpa ada khilaf di antara ulama. Demikian juga diberi udzur untuk meninggalkan shalat jama’ah dan shalat jum’at ketika ada kekhawatiran terkena penyakit”.

Orang yang mendapati kesulitan untuk melaksanakan shalat Jum’at, maka ada kemudakan baginya untuk tidak menghadiri shalat Jum’at. Sebagaimana kaidah fikih yang disepakati para ulama:

المشقة تجلب التيسير

“Adanya kesulitan, menyebabkan adanya kemudahan”.

Dan orang yang tidak menghadiri shalat Jum’at, baik karena ada udzur maupun karena sengaja, wajib baginya untuk shalat zhuhur empat raka’at. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

من لم يحضر صلاة الجمعة مع المسلمين لعذر شرعي من مرض أو غيره أو لأسباب أخرى صلى ظهرا ، وهكذا المرأة تصلي ظهرا ، وهكذا المسافر وسكان البادية يصلون ظهرا كما دلت على ذلك السنة ، وهو قول عامة أهل العلم ، ولا عبرة بمن شذ عنهم ، وهكذا من تركها عمدا ، يتوب إلى الله سبحانه ، ويصليها ظهرا

“Siapa yang tidak melakukan shalat Jumat bersama kaum muslimin karena udzur syar’i, baik berupa sakit, atau lainnya, maka ia wajib shalat Zhuhur. Demikian pula wanita, dia wajib shalat Zhuhur. Begitupula dengan musafir dan penduduk yang tinggal di gurun pedalaman, mereka wajib shalat Zhuhur, sebagaimana disebutkan dalam hadits. Inilah pendapat mayoritas ulama, pendapat yang syadz (nyeleneh) dalam masalah ini tidak dianggap. Demikian pula bagi yang meninggalkannya dengan sengaja, hendaknya dia bertaubat kepada Allah dan dia wajib shalat Zhuhur.” (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 12/332).

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

**

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55747-hukum-meninggalkan-shalat-jumat.html

Memakai Pakaian Terbaik ketika Shalat (Bag. 1)

Termasuk di antara penyempurna shalat adalah memakai pakaian terbaik, bukan “asal pakaian”. Perkara ini termasuk yang dilalaikan oleh kaum muslimin, banyak di antara kaum muslimin yang melalaikannya, dan tidak memperhatikan sama sekali. 

Salah satu bentuk penyempurnaan shalat

Shalat adalah hubungan yang sangat kuat antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Seorang hamba berdiri menghadap Rabb semesta alam, bermunajat kepada-Nya, membaca firman-firman-Nya, berdzikir kepada-Nya, dan juga berdoa memohon kepada-Nya. Oleh karena itu, ketika seseorang mendirikan shalat, hendaknya dia berada dalam kondisi terbaik dan keadaan yang paling sempurna. Syariat pun menggariskan bahwa seseorang yang hendak shalat harus suci badan, pakaian dan tempat shalatnya. Sebagaimana hal ini dibicarakan secara luas dalam kitab-kitab fiqih yang khusus membahas masalah ini. 

Termasuk di antara penyempurna shalat adalah memakai pakaian terbaik, bukan “asal pakaian”. Perkara ini termasuk yang dilalaikan oleh kaum muslimin, banyak di antara kaum muslimin yang melalaikannya, dan tidak memperhatikan sama sekali. Bahkan, shalat menjadi perkara remeh bagi sebagian kaum muslimin, dan berpindah dari perkara ibadah menjadi perkara adat kebiasaan. 

Memakai pakaian terbaik ketika shalat

Termasuk di antara adab yang perlu diperhatikan oleh orang yang hendak shalat adalah memakai pakaian terbaik dalam semua shalat, baik shalat wajib ataupun shalat sunnah. Maksud berpakaian tidak hanya sekedar menutup aurat kemudian selesai (cukup). Akan tetapi, maksud dari berpakaian adalah memperindah penampilan ketika berdiri di hadapan Rabb semesta alam.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap kali (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)

Ayat ini adalah dalil kewajiban menutup aurat dengan memakai pakaian setiap kali mendirikan shalat. Pakaian merupakan salah satu nikmat Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, karena dengan berpakaian, seseorang dapat menutup auratnya. Pakaian juga dapat memperindah penampilan seseorang. Yang demikian itu tidaklah terwujud kecuali dengan memakai pakaian yang bersih. 

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

ولهذه الآية، وما ورد في معناها من السنة، يستحب التجمل عند الصلاة، ولا سيما يوم الجمعة ويوم العيد، والطيب لأنه من الزينة، والسواك لأنه من تمام ذلك

“Dalam ayat ini dan juga dalil dari As-Sunnah yang semakna dengannya (terkandung faidah) dianjurkannya memperindah penampilan ketika shalat, lebih-lebih pada hari Jum’at dan hari raya (hari ‘id). (Juga dianjurkan) memakai wangi-wangian, karena hal itu termasuk dalam perhiasan, dan juga siwak, karena hal itu termasuk dalam perkara yang menyempurnakannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3: 402)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, 

وَيَسْتَحِبُّونَ لِلْوَاحِدِ الْمُطِيقِ عَلَى الثِّيَابِ أَنْ يَتَجَمَّلَ فِي صَلَاتِهِ مَا اسْتَطَاعَ بِثِيَابِهِ وَطِيبِهِ وَسِوَاكِهِ

“Sesungguhnya para ulama menganjurkan bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk memperindah pakaiannya sesuai dengan kemampuannya, baik itu berkaitan dengan pakaian, wangi-wangian, dan juga siwak.” (At-Tamhiid, 6: 369)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata,

أمر الله سبحانه بأخذ الزينة لما فيها من ستر العورات , ولما فيها من الجمال

“Allah Ta’ala memerintahkan untuk memakai az-ziinah (pakaian), karena untuk menutup aurat dan juga karena terdapat keindahan.” (Majmu’ Al-Fataawa, 4: 111)

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata,

فأمر بأخذ الزينة لا بستر العورة فقط , مما يدل على أن المسلم ينبغي له أن يلبس أحسن ثيابه وأجملها في الصلاة للوقوف بين يدي الله تبارك وتعالى , فيكون المصلي في هذا الموقف على أكمل هيئة ظاهرا وباطنا

“Allah Ta’ala memerintahkan untuk memakai pakaian terbaik, tidak hanya menutup aurat saja. Hal ini menunjukkan bahwa seorang muslim hendaknya memakai pakaian terbaik dan terindah (yang dia miliki) ketika berdiri menghadap Allah Ta’ala. Sehingga orang yang shalat di kondisi tersebut berada dalam keadaan yang paling sempurna, baik secara lahir dan batin.” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika ditanya tentang seseorang yang senang berpakaian dan memakai sandal yang bagus,

إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)

Asy-Syaukani rahimahullah berkata,

والحديث أيضا يدل على أن محبة لبس الثوب الحسن والنعل الحسن وتخير اللباس الجميل ليس من الكبر في شيء، وهذا مما لا خلاف فيه فيما أعلم

“Hadits ini menunjukkan disukainya memakai pakaian dan sandal yang bagus (indah). Memilih untuk memakai pakaian yang bagus bukanlah termasuk dalam kesombongan sedikit pun. Ini termasuk perkara yang saya ketahui tidak ada khilaf di dalamnya … “ (Nailul Authar, 2: 124)

Perhatikan pakaianmu ketika shalat

Sebagian orang yang shalat tidaklah memperhatikan hal ini. Mereka shalat dalam kondisi memakai pakaian yang terdapat kotoran (meskipun tidak najis) atau bau yang mengganggu jamaah di sekitarnya. Misalnya memakai pakaian yang kumal dan tidak pernah dibersihkan (dicuci). Dia tidak berusaha menggantinya, padahal memiliki kemampuan. Atau sengaja memakai pakaian yang sudah banyak berlubang, padahal memiliki pakaian lain yang lebih layak. 

Padahal ketika dia hendak menghadap orang yang memiliki kedudukan tinggi di dunia, dia tidak akan memakai pakaian dengan model semacam itu. Akan tetapi, dia pasti memilih dan mencari pakaian paling bagus yang dia miliki, dan memakai wangi-wangian dengan wewangian terbaik yang dia miliki. Bagaimana mungkin seseorang itu sangat perhatian ketika pergi menghadap makhluk, namun tidak memiliki perhatian ketika menghadap sang Khaliq. Ini merupakan salah satu tanda ketika seseorang sudah meremehkan perkara shalat.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55737-memakai-pakaian-terbaik-ketika-shalat-bag-1.html

Mendidik Jiwa Untuk Bertawakal

Dalam Al-Qur’an begitu banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang nilai-nilai kebaikan. Ayat-ayat ingin membangun jiwa manusia dengan pondasi yang kokoh agar tidak mudah digoyahkan oleh rayuan dan tidak mampu dijatuhkan oleh tekanan.

Tawakal kepada Allah adalah salah satu pondasi yang wajib tertanam dalam jiwa seorang mukmin. Dengan bertawakal, seluruh kehidupan seseorang akan berubah. Dengan kepasrahan kepada Allah seluruh badai masalah akan dihadapi dengan penuh ketenangan dan ketegaran.

Allah swt berfirman :

وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱلۡحَيِّ ٱلَّذِي لَا يَمُوتُ وَسَبِّحۡ بِحَمۡدِهِۦۚ وَكَفَىٰ بِهِۦ بِذُنُوبِ عِبَادِهِۦ خَبِيرًا

“Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup, Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa hamba-hamba-Nya.” (QS.Al-Furqan:58)

Tawakal kepada Allah akan membawa kita pada ketaatan dan kepasrahan mutlak kepada Yang Maha Kuasa.

Tawakal kepada Allah akan membawa seseorang untuk terus maju, karena ia selalu bersandar pada kekuatan Yang Maha Mampu, sehingga tidak ada satu pun rintangan yang mustahil ia lewati.

Tawakal kepada Allah membangun jiwa manusia menjadi jiwa yang pemberani dan tidak bergantung pada kekuasaan orang-orang durjana. Karena baginya, kekuatan sesungguhnya hanya milik Allah. Ia tidak sibuk dengan jabatan dan posisi dunia yang sesaat akan sirna.

Tawakal kepada Allah adalah sumber kekuatan yang menjauhkan seseorang dari kesombongan, kesewenangan dan kedurjanaan. Karena ia selalu sadar bahwa semua kelebihan yang ia miliki hanyalah pemberian Allah.

Tawakal membawa seseorang memiliki akhlak yang mulia sehingga ia fokus untuk bertakwa, selalu memberi maaf dan membantu orang lain dalam kehidupannya.

Takwa artinya kita memasrahkan semua urusan kita kepada Dzat Yang Maha Mampu, yang tidak akan mengecewakan siapapun yang mengandalkannya, yang akan selalu membimbimbing hamba-Nya menjalani jalan kesuksesan.

Coba lihat ayat yang kita sebutkan tadi :

وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱلۡحَيِّ ٱلَّذِي لَا يَمُوتُ

“Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup, Yang tidak mati.”

Pasrahkan semua urusanmu hanya kepada-Nya. Jangan sampai engkau sibuk dengan rintangan dan kesedihan yang menghalangimu. Jangan sampai engkau sibuk dengan cercaan orang-orang yang menghinamu. Cukup Allah, Pemilik segala sesuatu. Tempat engkau menyandarkan segala masalahmu.

وَسَبِّحۡ بِحَمۡدِهِۦۚ

“Dan bertasbihlah dengan memuji-Nya.”

Ingatlah selalu untuk mengagungkan dan memuliakan Allah. Puji lah Dia selalu sehingga hatimu dipenuhi dengan kecintaan kepada-Nya dan tunduk pada kekuatan-Nya yang tak tertandingi.

وَكَفَىٰ بِهِۦ بِذُنُوبِ عِبَادِهِۦ خَبِيرًا

“Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa hamba-hamba-Nya.”

Dia-lah Yang Maha Mengetahui semua rahasia kita dan apa yang tersembunyi dalam hati kita. Tiada yang luput dari Ilmu-Nya. Dengan Rahmat-Nya, Allah akan mengampuni pendosa dan dengan Rahmat dan Keadilan-Nya, Allah akan memberikan siksa.

Bertawakal-lah kepada Dzat yang tidak pernah mati. Pasrahkan dirimu kepada Dzat yang kekuatannya tak terbatas, agar kita mampu menghadapi semua masalah yang merintangi kehidupan kita.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN