Memakai Pakaian Terbaik ketika Shalat (Bag. 1)

Termasuk di antara penyempurna shalat adalah memakai pakaian terbaik, bukan “asal pakaian”. Perkara ini termasuk yang dilalaikan oleh kaum muslimin, banyak di antara kaum muslimin yang melalaikannya, dan tidak memperhatikan sama sekali. 

Salah satu bentuk penyempurnaan shalat

Shalat adalah hubungan yang sangat kuat antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Seorang hamba berdiri menghadap Rabb semesta alam, bermunajat kepada-Nya, membaca firman-firman-Nya, berdzikir kepada-Nya, dan juga berdoa memohon kepada-Nya. Oleh karena itu, ketika seseorang mendirikan shalat, hendaknya dia berada dalam kondisi terbaik dan keadaan yang paling sempurna. Syariat pun menggariskan bahwa seseorang yang hendak shalat harus suci badan, pakaian dan tempat shalatnya. Sebagaimana hal ini dibicarakan secara luas dalam kitab-kitab fiqih yang khusus membahas masalah ini. 

Termasuk di antara penyempurna shalat adalah memakai pakaian terbaik, bukan “asal pakaian”. Perkara ini termasuk yang dilalaikan oleh kaum muslimin, banyak di antara kaum muslimin yang melalaikannya, dan tidak memperhatikan sama sekali. Bahkan, shalat menjadi perkara remeh bagi sebagian kaum muslimin, dan berpindah dari perkara ibadah menjadi perkara adat kebiasaan. 

Memakai pakaian terbaik ketika shalat

Termasuk di antara adab yang perlu diperhatikan oleh orang yang hendak shalat adalah memakai pakaian terbaik dalam semua shalat, baik shalat wajib ataupun shalat sunnah. Maksud berpakaian tidak hanya sekedar menutup aurat kemudian selesai (cukup). Akan tetapi, maksud dari berpakaian adalah memperindah penampilan ketika berdiri di hadapan Rabb semesta alam.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap kali (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)

Ayat ini adalah dalil kewajiban menutup aurat dengan memakai pakaian setiap kali mendirikan shalat. Pakaian merupakan salah satu nikmat Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, karena dengan berpakaian, seseorang dapat menutup auratnya. Pakaian juga dapat memperindah penampilan seseorang. Yang demikian itu tidaklah terwujud kecuali dengan memakai pakaian yang bersih. 

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

ولهذه الآية، وما ورد في معناها من السنة، يستحب التجمل عند الصلاة، ولا سيما يوم الجمعة ويوم العيد، والطيب لأنه من الزينة، والسواك لأنه من تمام ذلك

“Dalam ayat ini dan juga dalil dari As-Sunnah yang semakna dengannya (terkandung faidah) dianjurkannya memperindah penampilan ketika shalat, lebih-lebih pada hari Jum’at dan hari raya (hari ‘id). (Juga dianjurkan) memakai wangi-wangian, karena hal itu termasuk dalam perhiasan, dan juga siwak, karena hal itu termasuk dalam perkara yang menyempurnakannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3: 402)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, 

وَيَسْتَحِبُّونَ لِلْوَاحِدِ الْمُطِيقِ عَلَى الثِّيَابِ أَنْ يَتَجَمَّلَ فِي صَلَاتِهِ مَا اسْتَطَاعَ بِثِيَابِهِ وَطِيبِهِ وَسِوَاكِهِ

“Sesungguhnya para ulama menganjurkan bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk memperindah pakaiannya sesuai dengan kemampuannya, baik itu berkaitan dengan pakaian, wangi-wangian, dan juga siwak.” (At-Tamhiid, 6: 369)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata,

أمر الله سبحانه بأخذ الزينة لما فيها من ستر العورات , ولما فيها من الجمال

“Allah Ta’ala memerintahkan untuk memakai az-ziinah (pakaian), karena untuk menutup aurat dan juga karena terdapat keindahan.” (Majmu’ Al-Fataawa, 4: 111)

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata,

فأمر بأخذ الزينة لا بستر العورة فقط , مما يدل على أن المسلم ينبغي له أن يلبس أحسن ثيابه وأجملها في الصلاة للوقوف بين يدي الله تبارك وتعالى , فيكون المصلي في هذا الموقف على أكمل هيئة ظاهرا وباطنا

“Allah Ta’ala memerintahkan untuk memakai pakaian terbaik, tidak hanya menutup aurat saja. Hal ini menunjukkan bahwa seorang muslim hendaknya memakai pakaian terbaik dan terindah (yang dia miliki) ketika berdiri menghadap Allah Ta’ala. Sehingga orang yang shalat di kondisi tersebut berada dalam keadaan yang paling sempurna, baik secara lahir dan batin.” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika ditanya tentang seseorang yang senang berpakaian dan memakai sandal yang bagus,

إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)

Asy-Syaukani rahimahullah berkata,

والحديث أيضا يدل على أن محبة لبس الثوب الحسن والنعل الحسن وتخير اللباس الجميل ليس من الكبر في شيء، وهذا مما لا خلاف فيه فيما أعلم

“Hadits ini menunjukkan disukainya memakai pakaian dan sandal yang bagus (indah). Memilih untuk memakai pakaian yang bagus bukanlah termasuk dalam kesombongan sedikit pun. Ini termasuk perkara yang saya ketahui tidak ada khilaf di dalamnya … “ (Nailul Authar, 2: 124)

Perhatikan pakaianmu ketika shalat

Sebagian orang yang shalat tidaklah memperhatikan hal ini. Mereka shalat dalam kondisi memakai pakaian yang terdapat kotoran (meskipun tidak najis) atau bau yang mengganggu jamaah di sekitarnya. Misalnya memakai pakaian yang kumal dan tidak pernah dibersihkan (dicuci). Dia tidak berusaha menggantinya, padahal memiliki kemampuan. Atau sengaja memakai pakaian yang sudah banyak berlubang, padahal memiliki pakaian lain yang lebih layak. 

Padahal ketika dia hendak menghadap orang yang memiliki kedudukan tinggi di dunia, dia tidak akan memakai pakaian dengan model semacam itu. Akan tetapi, dia pasti memilih dan mencari pakaian paling bagus yang dia miliki, dan memakai wangi-wangian dengan wewangian terbaik yang dia miliki. Bagaimana mungkin seseorang itu sangat perhatian ketika pergi menghadap makhluk, namun tidak memiliki perhatian ketika menghadap sang Khaliq. Ini merupakan salah satu tanda ketika seseorang sudah meremehkan perkara shalat.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55737-memakai-pakaian-terbaik-ketika-shalat-bag-1.html

Mendidik Jiwa Untuk Bertawakal

Dalam Al-Qur’an begitu banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang nilai-nilai kebaikan. Ayat-ayat ingin membangun jiwa manusia dengan pondasi yang kokoh agar tidak mudah digoyahkan oleh rayuan dan tidak mampu dijatuhkan oleh tekanan.

Tawakal kepada Allah adalah salah satu pondasi yang wajib tertanam dalam jiwa seorang mukmin. Dengan bertawakal, seluruh kehidupan seseorang akan berubah. Dengan kepasrahan kepada Allah seluruh badai masalah akan dihadapi dengan penuh ketenangan dan ketegaran.

Allah swt berfirman :

وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱلۡحَيِّ ٱلَّذِي لَا يَمُوتُ وَسَبِّحۡ بِحَمۡدِهِۦۚ وَكَفَىٰ بِهِۦ بِذُنُوبِ عِبَادِهِۦ خَبِيرًا

“Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup, Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa hamba-hamba-Nya.” (QS.Al-Furqan:58)

Tawakal kepada Allah akan membawa kita pada ketaatan dan kepasrahan mutlak kepada Yang Maha Kuasa.

Tawakal kepada Allah akan membawa seseorang untuk terus maju, karena ia selalu bersandar pada kekuatan Yang Maha Mampu, sehingga tidak ada satu pun rintangan yang mustahil ia lewati.

Tawakal kepada Allah membangun jiwa manusia menjadi jiwa yang pemberani dan tidak bergantung pada kekuasaan orang-orang durjana. Karena baginya, kekuatan sesungguhnya hanya milik Allah. Ia tidak sibuk dengan jabatan dan posisi dunia yang sesaat akan sirna.

Tawakal kepada Allah adalah sumber kekuatan yang menjauhkan seseorang dari kesombongan, kesewenangan dan kedurjanaan. Karena ia selalu sadar bahwa semua kelebihan yang ia miliki hanyalah pemberian Allah.

Tawakal membawa seseorang memiliki akhlak yang mulia sehingga ia fokus untuk bertakwa, selalu memberi maaf dan membantu orang lain dalam kehidupannya.

Takwa artinya kita memasrahkan semua urusan kita kepada Dzat Yang Maha Mampu, yang tidak akan mengecewakan siapapun yang mengandalkannya, yang akan selalu membimbimbing hamba-Nya menjalani jalan kesuksesan.

Coba lihat ayat yang kita sebutkan tadi :

وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱلۡحَيِّ ٱلَّذِي لَا يَمُوتُ

“Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup, Yang tidak mati.”

Pasrahkan semua urusanmu hanya kepada-Nya. Jangan sampai engkau sibuk dengan rintangan dan kesedihan yang menghalangimu. Jangan sampai engkau sibuk dengan cercaan orang-orang yang menghinamu. Cukup Allah, Pemilik segala sesuatu. Tempat engkau menyandarkan segala masalahmu.

وَسَبِّحۡ بِحَمۡدِهِۦۚ

“Dan bertasbihlah dengan memuji-Nya.”

Ingatlah selalu untuk mengagungkan dan memuliakan Allah. Puji lah Dia selalu sehingga hatimu dipenuhi dengan kecintaan kepada-Nya dan tunduk pada kekuatan-Nya yang tak tertandingi.

وَكَفَىٰ بِهِۦ بِذُنُوبِ عِبَادِهِۦ خَبِيرًا

“Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa hamba-hamba-Nya.”

Dia-lah Yang Maha Mengetahui semua rahasia kita dan apa yang tersembunyi dalam hati kita. Tiada yang luput dari Ilmu-Nya. Dengan Rahmat-Nya, Allah akan mengampuni pendosa dan dengan Rahmat dan Keadilan-Nya, Allah akan memberikan siksa.

Bertawakal-lah kepada Dzat yang tidak pernah mati. Pasrahkan dirimu kepada Dzat yang kekuatannya tak terbatas, agar kita mampu menghadapi semua masalah yang merintangi kehidupan kita.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Bahaya Rakus Harta dan Pesan Rasulullah untuk Sahabat

Rasulullah berpesan kepada sahabat berhati-hati terhadap harta.

Setiap orang ingin memiliki harta dunia. Ini fitrah manusia. Dan, Allah SWT tidak melarang manusia untuk memiliki harta dunia. Bumi dengan segala isinya memang Allah SWT sediakan bagi manusia. Allah SWT tidak pandang orang, baik yang beriman maupun tidak, dipersilakan untuk menikmati bumi dan isinya.

Manusia sendiri adalah makhluk ciptaan Allah SWT. Dalam konteks ini, manusia sama dengan makhluk-makhluk Allah SWT yang lain. Manusia memiliki hak, tetapi ia juga mempunyai kewajiban terhadap Sang Penciptanya. Dalam masalah harta dunia, manusia berhak mencari sebanyak-banyaknya semaksimal yang bisa ia dapatkan. 

Tetapi, manusia juga memiliki kewajiban untuk taat kepada Allah SWT yang menyuruh manusia untuk hanya mencari harta dengan jalan yang halal dan tidak merugikan orang lain.

Selain halal dan tidak merugikan orang lain, manusia oleh Allah SWT juga diimbau untuk tidak rakus dengan harta dunia. Karena, orang yang rakus biasanya tidak menghiraukan rambu-rambu yang telah Allah SWT buat. Kerap kali bahkan rambu-rambu itu malah diterjang sehingga langkah yang ditempuh untuk mendapatkan harta itu sudah lepas dari jalan yang halal. Tidak hanya itu, bahkan akhirnya kerap kali merugikan orang lain. Harta yang didapatkannya pun hilang keberkahannya. Dan, harta yang hilang keberkahan tidak akan membawa manfaat pada orang yang bersangkutan.

Ketika manusia sudah tidak lagi sekadar menginginkan harta dunia, bahkan mereka ingin menguasai semuanya, berarti ia sudah terkena penyakit rakus yang sangat dibenci Allah SWT. Rasulullah SAW mengibaratkan orang ini dengan orang yang makan, namun tidak kenyang-kenyang. Selalu dan selalu ingin mendapatkan yang lebih daripada apa yang didapatkannya tanpa menghiraukan orang lain yang banyak ia rugikan. Apa yang ia dapatkan? Bisa jadi hartanya bertambah banyak. Tetapi, tidak dengan keberkahannya.

Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk tidak hanyut dan tergoda dengan kemilau harta dunia karena ia kerap kali menjerumuskan manusia pada jurang penderitaan. Allah SWT sudah mengatur rezeki setiap manusia. Rasulullah SAW pernah ditawari oleh Allah SWT dengan Gunung Uhud yang akan diubah-Nya menjadi emas untuk beliau. Namun, beliau menolaknya. Beliau tidak tergoda harta dunia, apalagi sampai rakus mendapatkannya. 

Rasulullah SAW bersabda kepada Hakim bin Hizam, Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu indah menggoda. Barang siapa yang tidak mengambilnya dengan rakus, maka ia akan mendapati berkah. Dan, barang siapa yang mengambilnya dengan rakus, maka ia tidak akan mendapati berkah, dan ia seperti orang makan yang tidak merasa kenyang. (HR Bukhari dari Hakim bin Hizam)

KHAZANAH REPUBLIKA

26 Tahun Tak Pernah Shalat, Gadis Ini jadi Belajar Shalat selama Dikarantina karena Corona

Seorang gadis di Singapura bernama Nur Rashima Murat (27) mengalami perubahan luar biasa karena adanya pandemi Corona. Melalui media sosialnya, Shima bercerita blak-blakan bahwa selama ini tak pernah shalat meski beragama Islam. Namun ketika harus dikarantina karena Corona, ia jadi belajar untuk shalat.

Melalui media sosialnya, Shima mengunggah foto sajadah berwarna biru dengan banyak kertas berjejer di atasnya.

Kertas-kertas itu berisi tulisan bacaan salat yang sedang dihafalkan oleh Shima.

“Setelah 26 tahun hidup, ini adalah shalat subuh pertamaku.
Aku harus jujur bahwa aku melakukannya sangat lama, lebih dari 10 menit.
Aku rasa ada beberapa kalimat (bacaan shalat) yang tidak aku ucapkan dengan benar.
Tapi Insya Allah aku akan bisa menguasainya suatu hari nanti.
Teruntuk kamu, terimakasih telah menuntunku ke jalan yang benar pada akhirnya.
Jika aku tahu semudah ini melaksanakan shalat, aku pasti akan belajar dan melakukannya dari dulu,” tulis Shima.

Shima mengaku memang sudah ada niatan untuk shalat usai putus dengan tunangannya, namun niatan tersebut belum mampu terwujud.

Kepada Mstar, Shima menceritakan secara lengkap tentang apa yang ia alami.

Shima berkata jujur bahwa selama 26 tahun hidupnya, ia memang tidak pernah shalat. Bukan karena ayah ibu tak pernah mengajarinya, tapi karena ia malas.

“Sejujurnya selama 26 tahun ini saya tidak pernah shalat, bukan karena ayah ibu tidak mengajari tapi karena saya malas,” ucapnya.

Hingga belum lama ini, gadis yang tinggal di Singapura itu baru kembali dari Eropa. Sepulang dari Eropa, Shima harus menjalani karantina untuk mencegah penularan Covid-19. Kesempatan itu lantas digunakannya untuk belajar shalat.

Shima merasa ini adalah saat yang tepat karena ia harus tinggal di rumah selama beberapa waktu.

“Saya banyak meninggalkan shalat dan ini adalah waktu untuk memperbaikinya. Saya hanya duduk di rumah saja sehingga saya bisa fokus belajar bacaan shalat,” ucapnya.

Niat itu ternyata bisa terwujud dengan baik. Shima mengaku tak mengalami kesulitan ketika harus menghapal bacaan shalat. Ia bahkan takjub karena bisa menghapalkannya dalam waktu singkat.

“Alhamdulillah sekarang saya bisa shalat dengan tenang. Saya tidak perlu pakai banyak catatan lagi. Suprisingly saya bisa hapal hanya dalam waktu sehari,” kata Shima.

Shima yang merupakan anak ketiga dari lima bersaudara itu juga bersyukur bisa menjalani karantina dengan lancar. []

ISLAMPOS


Syekh Abdul Qadir Jaelani dan Iblis yang Mengaku Jadi Nabi

Syeh Abdul Qadir digoda Iblis untuk mengakui nabi baru.

Iblis berjanji akan senantiasa menggona anak cucu Adam dan menyesatkannya dari jalan Allah SWT.  Dalam sebuah riwayat dikisahkan Syekh Abdul Qadir Jaelani, seorang ulama yang sangat tinggi ilmunya, suatu malam bermunajat mendekatkan diri kepada Allah. 

Tiba-tiba dari sudut atas mihrab muncul cahaya yang sangat menyilaukan. Dari arah cahaya tersebut terdengar suara, ”Wahai Abdul Qadir, aku adalah Tuhanmu, apa yang telah aku haramkan bagimu telah aku halalkan.”

Syekh Abdul Qadir tertegun mendengar suara tersebut. Setelah sadar dari kekagetannya, beliau berkata dalam hati, ”Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasulullah yang terakhir, maka tidak mungkin Allah SWT akan mengubah syariatnya.” 

Kemudian Abdul Qadir yakin bahwa cahaya yang datang itu bukan suara Tuhan melainkan iblis. Lalu beliau mengucapkan ta’awudz: a’udzubillahi minasyaitanir rajim. 

Tiba-tiba cahaya itu terbakar sambil berkata, ”Sudah banyak orang yang telah aku perdayai, tetapi engkau luput dari tipu dayaku ini.”

Kisah tersebut dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak mudah tertipu oleh bujuk rayu iblis dan setan. Iblis dan setan telah bersumpah senantiasa berusaha memperdaya dan membelokkan arah kita dari jalan Allah (QS Al-A’raf [7] : 16-17). 

Syekh Abdul Qadir Jaelani yang bagi sebagian umat Islam dianggap sebagai waliyullah, sampai diganggu oleh iblis bahkan hampir terjerumus menganggap dirinya sebagai nabi atau rasul baru. Berkat ketinggian ilmu dan kedekatannya kepada Allah akhirnya beliau selamat dari keyakinan sesat tersebut. 

Dalam Islam diyakini bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir. ”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi-nabi.” (QS Al-Ahzab [33] :40). Tidak ada lagi nabi dan rasul setelah beliau. Syariat yang beliau bawa adalah syariat yang sudah final dan berlaku sepanjang zaman. Allah tidak akan mengubah atau menggantinya dengan menunjuk nabi atau rasul baru.

KHAZANAH REPUBLIKA

Tiada Tempat Bagi Kesedihan Di Hati Mukmin

Idealnya seorang mukmin selalu sadar bahwa ia tidak sendirian dalam mengatur kehidupannya. Disana ada Dzat yang Maha Kasih, yang memiliki Kuasa untuk menentukan dan mengatur kehidupannya.

Kesadaran ini sangat mahal harganya karena bila kita telah benar-benar meyakininya maka kehidupan kita akan dipenuhi dengan ketenangan dan ketentraman.

Ketika seorang ayah harus meninggalkan keluarganya untuk mencari nafkah dan ia tak berhenti khawatir dengan keadaan keluarganya, maka semua kekhawatiran itu akan sirna ketika ia mengingat firman-Nya :

فَٱللَّهُ خَيۡرٌ حَٰفِظٗاۖ وَهُوَ أَرۡحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ

“Maka Allah adalah penjaga yang terbaik dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” (QS.Yusuf:64)

Ketika seseorang sangat marah dan kecewa dengan tipu daya musuh yang menyerangnya, ia akan mengobati rasa sakit di hatinya dengan firman Allah swt :

قُلِ ٱللَّهُ أَسۡرَعُ مَكۡرًاۚ إِنَّ رُسُلَنَا يَكۡتُبُونَ مَا تَمۡكُرُونَ

Katakanlah, “Allah lebih cepat pembalasannya (atas tipu daya itu). Sesungguhnya malaikat-malaikat Kami menuliskan tipu dayamu.” (QS.Yunus:21)

Ketika semua teman dan kawan meninggalkannya dan tidak seorang pun yang mengulurkan tangan untuknya. Ia akan segera tenang ketika mengingat firman Allah swt :

فَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ مَوۡلَىٰكُمۡۚ نِعۡمَ ٱلۡمَوۡلَىٰ وَنِعۡمَ ٱلنَّصِيرُ

“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (QS.Al-Anfal:40)

Dia pun sadar dan yakin bahwa Allah tidak mengizinkan orang lain ikut campur terhadap urusanku karena Allah punya cara yang lebih indah untuk menyelesaikannya.

Setiap kali bisikan setan datang untuk membuatnya sedih dengan apa yang terjadi di masa lalu dan membuatnya ketakutan dengan apa yang akan terjadi di masa depan, saat itu firman Allah yang penuh kesejukan ini akan mengusir semua kegelisahan dan rasa takut itu. Allah swt berfirman :

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (QS.Fushilat:30)

Setiap kali kita dilanda rasa sedih, rindu, takut atau kecewa dengan yang di lakukan oleh orang lain. Ingatlah firman Allah :

ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبِّي عَلَيۡهِ تَوَكَّلۡتُ وَإِلَيۡهِ أُنِيبُ

“Itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya aku kembali.” (QS.Asy-Syura:10)

Renungkan selalu ayat ini dengan penuh keyakinan bahwa Allah pasti akan menyelamatkanmu dan akan memberikan jalan keluar untukmu. Sebagaimana firman-Nya :

وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا

“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS.Ath-Thalaq:3)

Tiada tempat bagi kesedihan di hati seorang mukmin, karena ia selalu memasrahkan semuanya kepada Allah.

Jadikan kepasrahan kita sebagai kendaraan untuk menjalani berbagai rintangan di kehidupan ini.

وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ وَلِيّٗا وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ نَصِيرٗا

“Cukuplah Allah menjadi pelindung dan cukuplah Allah menjadi penolong (bagimu).” (QS.An-Nisa’:45)

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Hukum Safar di Hari Jum’at

Dalam artikel kali ini akan dibahas menganai hukum bepergian jauh (safar) di hari Jum’at

2 Kondisi Safar di Hari Jum’at

Perlu diketahui bahwa ada dua kondisi (keadaan) safar di hari Jum’at, yaitu:

Pertama, safar yang dilakukan (berangkat) sebelum zawal (sebelum matahari bergeser ke arah barat).

Kedua, safar yang dilakukan setelah zawal dan sebelum shalat Jum’at didirikan.

Kondisi Pertama

Berangkat safar sebelum zawal di hari Jum’at

Safar yang dilakukan sebelum zawal di hari Jum’at, baik dilakukan pada waktu subuh atau pada waktu dhuha, maka hukumnya boleh menurut pendapat yang paling kuat dari dua pendapat ulama dalam masalah ini. 

Terdapat atsar dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, 

أَبْصَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَجُلًا عَلَيْهِ أُهْبَةُ السَّفَرِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: إِنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ جُمُعَةٍ، وَلَوْلَا ذَلِكَ لَخَرَجْتُ، فَقَالَ عُمَرُ: إِنَّ الْجُمُعَةَ لَا تَحْبِسُ مُسَافِرًا، فَاخْرُجْ مَا لَمْ يَحِنِ الرَّوَاحُ

“’Umar bin Khaththab melihat seseorang yang berada dalam kondisi hendak safar. Orang itu mengatakan, “Sesungguhnya hari ini adalah hari Jum’at. Seandainya hari ini bukan hari Jum’at, tentu aku akan berangkat safar.” ‘Umar kemudian mengatakan, “Sesungguhnya hari Jum’at itu tidaklah menahan seseorang dari safar. Berangkatlah selama sore hari belum tiba.” [1]

Dari Shalih bin Kaisan, beliau berkata,

أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ خَرَجَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ، وَلَمْ يَنْتَظِرِ الْجُمُعَةَ

“Sesungguhnya Abu ‘Ubaidah berangkat safar di hari Jum’at dalam sebagian safar beliau, dan tidak menunggu shalat Jum’at.” [2]

Dari Al-Hasan, beliau berkata, 

لَا بَأْسَ بِالسَّفَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، مَا لَمْ يَحْضُرْ وَقْتُ الصَّلَاةِ

“Tidak masalah untuk safar di hari Jum’at, selama waktu shalat Jum’at belum tiba.” [3]

Atsar-atsar (riwayat) ini secara keseluruhan menunjukkan bolehnya safar pada hari Jum’at selama waktu shalat Jum’at belum tiba (belum masuk). Hal ini karena seseorang tidaklah diperintahkan untuk menghadiri shalat Jum’at sebelum ada panggilan adzan. 

Sebagian ulama melarang safar di hari Jum’at setelah terbit fajar, sampai dia mendirikan shalat Jum’at terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan beberapa atsar dari para salaf yang menunjukkan terlarangnya hal tersebut. Wallahu a’lam. [4]

Kondisi Kedua

berangkat safar setelah zawal di hari Jum’at

Adapun safar yang dilakukan setelah zawal (setelah matahari geser ke arah barat), maka hal ini terlarang bagi orang-orang yang memiliki kewajiban shalat Jum’at, sebelum dia menunaikan shalat Jum’at terlebih dahulu. Hal ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Alasannya, setelah zawal itu sudah masuk waktu shalat Jum’at, dan umumnya, imam shalat Jum’at itu sudah hadir di masjid ketika zawal. Sehingga, dengan sengaja safar setelah zawal, dia telah sengaja meninggalkan kewajiban shalat Jum’at. 

Juga berdasarkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 9)

Sisi pendalilan dari ayat di atas, Allah Ta’ala memerintahkan untuk segera menuju shalat Jum’at dan meninggalkan jual beli. Karena aktivitas jual beli adalah sarana untuk menyibukkan diri di dalamnya sehingga menyebabkan lalai dan tidak mendatangi shalat Jum’at. Demikian pula, safar ketika sudah ada panggilan adzan Jum’at itu dilarang, karena akan menyebabkan seseorang tidak menghadiri shalat Jum’at. Dan mengaitkan hukum larangan ini dengan adanya adzan Jum’at itu lebih baik daripada mengaitkannya dengan zawal. [5]

Perlu diketahui bahwa tidak terdapat satu pun hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan safar pada hari Jum’at. [6] Adapun hadits-hadits yang berkaitan dengan hal itu, maka haditsnya dha’if sehingga tidak bisa dijadikan sebagai sandaran. Di antara hadits tersebut adalah hadits yang berisi doa malaikat bagi orang-orang yang safar di hari Jum’at bahwa para malaikat tidak akan menemani safarnya dan tidak akan tertunaikan tujuan safarnya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan semakna dengannya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. [7]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

السفر يوم الجمعة إن كان بعد أذان الجمعة الثاني فإنه لا يجوز لقوله تعالى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسَعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ [الجمعة:9] فلا يجوز للإنسان أن يسافر في هذا الوقت

“Safar di hari Jum’at, jika setelah adzan Jum’at yang kedua, maka tidak diperbolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 9) Jadi, seseorang tidak boleh memulai safar di waktu tersebut.” [8]

Asy-Syaukani rahimahullah berkata setelah menyebutkan tentang berbagai pendapat ulama tentang hukum safar di hari Jum’at,

“Dzahirnya adalah bolehnya safar sebelum masuk waktu shalat Jum’at dan setelah masuk waktu shalat Jum’at, karena tidak ada larangan dalam masalah ini. Adapun hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar, keduanya tidak layak dijadikan sebagai dalil adanya larangan tersebut. Karena telah diketahui kedha’ifannya dan bertentangan dengan dalil-dalil yang lebih kuat, juga bertentangan dengan hukum asal (yaitu boleh, pent.). Maka tidaklah hukum tersebut dipindah dari hukum asalnya (yaitu boleh, pent.) kecuali dengan dalil (yang berisi larangan) yang shahih. Dan dalil (larangan) tersebut, tidaklah ditemukan.

Adapun safar di waktu shalat Jum’at, maka dzahirnya adalah tidak diperbolehkannya hal itu bagi orang-orang yang memiliki kewajiban shalat Jum’at. Kecuali jika dikhawatirkan adanya mudharat jika dia menunda safar demi menghadiri shalat Jum’at, seperti tertinggal dari rombongan yang tidaklah mungkin bisa berangkat safar kecuali bersama rombongan tersebut. Juga ‘udzur-‘udzur lain yang mirip dengan hal itu. Syariat memperbolehkan tidak menghadiri shalat Jum’at karena adanya ‘udzur berupa hujan. Maka diperbolehkannya (tidak shalat Jum’at) karena hal-hal yang termasuk masyaqqah (kesulitan)tentu lebih layak lagi.” [9] 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

والأحسن ألا يسافر إلا إذا كان يخشى من فوات رفقته أو مثل أن يكون موعد الطائرة في وقتٍ لا يسمح له بالحضور أو ما أشبه ذلك وإلا فالأفضل أن يبقى.

“Yang lebih baik adalah tidak safar (menjelang tibanya waktu shalat Jum’at), kecuali jika dikhawatirkan tertinggal dari rombongan, atau misalnya jam keberangkatan pesawat terbang di waktu yang tidak memungkinkan menghadiri shalat Jum’at, atau semacam itu. Jika tidak (dalam kondisi demikian), maka yang lebih afdhal adalah menunda keberangkatan.” [8]

Berdasarkan hal tersebut, maka hukum asalnya adalah terlarang safar ketika sudah masuk waktu shalat Jum’at. Namun dikecualikan jika hal itu menyebabkan dia tertinggal rombongan, atau tertinggal jadwal keberangkatan pesawat, atau udzur sejenis itu yang bisa menggugurkan kewajiban shalat Jum’at. Demikian pula, ketika memungkinkan baginya untuk shalat Jum’at di perjalanan, sebagaimana hal itu sangat memungkinkan di zaman ini, berbeda dengan safar-safar di zaman sebelumnya. [10]

[Selesai]

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55639-hukum-safar-di-hari-jumat.html

Makna Kata “Al Wail” di Dalam Alquran

Para pembaca yang budiman rahimakumullah, di dalam Al Qur’an sering kita dapati kata “al wail” yang sering diterjemahkan: celaka. Namun apa makna sebenarnya dari “al wail”? Simak pemaparan singkat berikut ini.

Kata “Al Wail” di Dalam Alquran

Diantaranya ayat-ayat Al Qur’an yang memuat kata “al wail” adalah firman Allah ta’ala:

فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ

“Maka Al WAIL bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka AL WAIL bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan AL WAIL bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan” (QS. Al Baqarah: 79).

Allah ta’ala juga berfirman:

اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَوَيْلٌ لِلْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ شَدِيدٍ

“Allah-lah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan AL WAIL bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih” (QS. Ibrahim: 2).

Allah ta’ala juga berfirman:

فَوَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ

“Maka AL WAIL di hari itu bagi orang-orang yang mendustakan” (QS. At Thur: 11, Al Mursalat: 40, Al Mursalat: 45, Al Mursalat: 49, Al Muthaffifin: 10).

Allah ta’ala juga berfirman:

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ

“AL WAIL bagi orang-orang yang mencurangi timbangan” (QS. Al Muthaffifin: 1).

Allah ta’ala juga berfirman:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

“AL WAIL bagi orang-orang yang shalat, yaitu yang lalai dalam shalatnya” (QS. Al Maun: 4-5). 

Dan ayat-ayat lainnya di dalam Al Qur’an. Lalu apa makna dari al wail?

Penjelasan Makna Kata “Al Wail” 

Dijelaskan oleh Ibnu Manzhur rahimahullah dalam kamus beliau yang fenomenal, kitab Lisanul ‘Arab:

الوَيْلُ يقال لمن وقع في الهَلَكَة

“Al wail dikatakan kepada orang yang terjerumus dalam kebinasaan”

Beliau juga mengatakan:

الأَزهري: وقد قال أَكثر أَهل اللغة إِن الويل كلمة تقال لكل من وقع في هَلَكَة وعذاب

“Al Azhari mengatakan: mayoritas ahli bahasa menjelaskan bahwa al wail adalah kata yang diucapkan kepada setiap orang yang jatuh pada kebinasaan dan adzab”.

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah menjelaskan makna “al wail” dengan mengatakan:

والويل يطلق على العذاب والحرب والزجر

Al wail maknanya adalah adzab, jatuh pada suatu yang diperangi atau dilarang” (Fathul Baari, 5/350).

Sehingga dari semua penjelasan di atas, al wail maknanya adalah ancaman adzab yang pedih di akhirat terhadap manusia.

Terdapat tafsiran lain, bahwa “al wail” adalah nama lembah di neraka Jahannam. Terdapat dalam hadits:

وَيْلٌ وادٍ في جَهنَّمَ يهوي به الكافرُ أربعينَ خريفًا قبْلَ أنْ يبلُغَ قعرَها

“Wail adalah sebuah lembah di neraka Jahannam, yang orang-orang kafir diseret ke dalamnya sejauh 40 tahun sebelum mencapai dasarnya” (HR. Ibnu Hibban no.7467).

Namun hadits ini dha’if, karena terdapat perawi bernama Darraj yang meriwayatkan dari Abul Haitsam dari Abu Sa’id. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Daud As Sijistani rahimahullah: “Haditsnya darraj mustaqimah (hasan) kecuali riwayat beliau dari Abul Haitsam dari Abu Sa’id”. Sehingga hadits ini dinilai lemah oleh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Shahih Ibni Hibban (7467) dan Al Albani dalam Dha’if At Targhib (2136).

Namun para ahli tafsir menukil tafsiran Ibnu Abbas radhiallahu’anhu serta sebagian salaf yang senada dengan hadits. Al Qurthubi rahimahullah menjelaskan:

 ويل أي شدة عذاب في الآخرة . وقال ابن عباس : إنه واد في جهنم يسيل فيه صديد 

“Wail artinya adzab yang pedih di akhirat. Dan Ibnu Abbas mengatakan: wail adalah sebuah lembah di neraka Jahannam yang mengalir di dalamnya sungai nanah” (Tafsir Al Qurthubi pada surat Al Muthaffifin).

Al Baghawi rahimahullah juga menuturkan:

قال ابن عباس: “شدة العذاب”، وقال سعيد بن المسيب: “ويل واد في جهنم لو سيرت فيه جبال الدنيا لانماعت من شدة حره”

“Ibnu Abbas berkata: wail artinya adzab yang pedih. Dan Sa’id bin Musayyab berkata: wail adalah sebuah lembah di neraka Jahannam, yang jika gunung-gunung di dunia di masukkan ke sana maka semuanya akan meleleh” (Tafsir Al Baghawi terhadap Al Baqarah ayat 79).

Kesimpulan

Dari semua penjelasan di atas, kesimpulannya, al wail memiliki dua makna:

  1. Adzab yang pedih di akhirat
  2. Lembah di neraka Jahannam yang sangat panas dan mengalir di sana sungai nanah

Na’udzubillahi min dzalik

Demikian pemparan singkat ini. Tentunya semua kita berharap tidak mendapatkan al wail di akhirat kelak, semoga Allah ta’ala jauhkan kita dari al wail.

Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam.

**

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55698-makna-kata-al-wail-di-dalam-alquran.html

Jangan Keliru, Inilah Sunah Malam Jumat Yang Sebenarnya !!

Banyak di luar sana yang mungkin salah kaprah mengartikan amalan malam jumat itu sendiri. Padahal sunah malam jumat tidak selalu identik dengan “kegiatan tertentu” seperti apa yang banyak orang pikirkan.

Adapun di dalam hadist sendiri terkait amalan sunah di hari jumat adalah dengan melakukan mandi sunah sebelum sholat jumat. Bisa jadi hadist tersebut dihubung-hubungkan dengan “kegiatan tersebut” pada malam jumat.

Jadi mungkin bisa saya pertegas lagi bahwa tidak ada dasar dalil baik Quran ataupun Hadist mengenai hal tersebut.

Lalu Apa Amalan Sunah Malam Jumat yang Sebenarnya ?

Yang pasti dalil perihal amalan sunah malam jumat yang jelas-jelas ada adalah membaca Surat Al-Kahfi. Terkait dalil tentang sunah membaca Al-Kahfi di malam jumat juga merupakan dalil dhoif atau lemah.

Dari Sa’id al-Khudriy ia berkata, Rasulullah Saw bersabda:


مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ.

“Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, maka ia akan mendapat cahaya antara dirinya dan rumah yang mulia (Mekkah)” (HR. Ad Darimi).

Di samping kita di sunahkan untuk membaca surat AL-Kahfi di hari jumat, amalan-amalan lainnya yang bisa kita lakukan adalah dengan memperbanyak Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW.

“Perbanyaklah shalawat untukku pada hari jum’ah dan malam jumah, karena barangsiapa yang bershalawat untukku dengan satu shalawat, niscaya Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali” (HR. Baihaqi).

Sebenarnya hanya ada dua amalan tersebut yang bisa kita sebut sebagai sunah malam jumat. Bukan seperti apa yang di pikirkan oleh orang banyak. Sementara yang lainnya adalah palsu, lemah dan bahkan tidak memiliki sumber yang jelas.

Jadi memang dalam masalah beribadah kita tidak boleh sembarangan ataupun mengarang-ngarang, namun semua itu harus bersumber pada Al-Quran dan Hadist. Termasuk seperti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apabila tidak, maka kemungkinan amalan yang kita lakukan tanpa dasar tersebut di tolak atau tidak di terima oleh Allah SWT.

Pada dasarnya Islam itu mudah, hanya saja terkadang kitalah yang membuatnya susah dengan menambah-nambah amalan tertentu yang tidak di syariatkan.

Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

“ … Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agama-mu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [QS. Al-Maa’idah: 3].

Menurut Tafsir Ibnu Katsir:

“(Ayat) ini merupakan nikmat Allah Azza wa Jalla terbesar yang diberikan kepada umat ini (umat Islam), tatkala Allah menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali.”

Apabila kita berpaku pada ayat di atas, maka jika kita menambah-nambahi sesuatu bisa dikatakan kita menyelisihi ayat di atas. Karena Allah SWT saja menyatakan bahwa Islam itu agama yang lengkap dan sempurna. Lalu kenapa masih di tambah-tambahi dengan sesuatu yang tidak di syariatkan? Wallahu a’lam.

FIMADANI

Bolehkah Menggunakan Hand Sanitizer yang Mengandung Alkohol?

Bolehkah menggunakan hand sanitizer yang mengandung alkohol?

Jawabannya, boleh. Alasannya:

  • Alkohol pada hand sanitizer bukanlah khamar. Sedangkan yang dilarang dalam Alquran dan hadits untuk khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan.
  • Asal alkohol adalah zat yang suci. Adapun khamar menurut pendapat sebagian ulama adalah zat suci, walau mayoritas ulama menganggapnya najis. Alkohol sekali lagi berbeda dengan khamar.
  • Alkohol pada hand sanitizer digunakan untuk luar tubuh dan tidak bisa dikonsumsi, berbeda dengan khamar yang memang diproduksi untuk diminum (dikonsumsi).

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23911-bolehkah-menggunakan-hand-sanitizer-yang-mengandung-alkohol.html